Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

SLE

Pembimbing:

dr. Muhammad Agus Toha, Sp.PD

Disusun Oleh:

Naufal Faris Irfandio

202110401011136

SMF ILMU PENYAKIT DALAM

RSU HAJI SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2022
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT SLE

Referat dengan judul SLE telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas

dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di bagian Ilmu

Penyakit Dalam

Surabaya, 7 Juli 2022

Pembimbing

dr. Muhammad Agus Toha, Sp.PD.

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,


atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
SLE. Penyusunan tugas ini merupakan salah satu tugas yang penulis laksanakan
selama mengikuti kepaniteraan di SMF Ilmu Penyakit Dalam RSU Haji Surabaya.
Penulis mengucapkan terima kepada dr. Muhammad Agus Toha, Sp.PD,
selaku dokter pembimbing atas bimbingan dan waktunya dalam penyusunan tugas
ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga referat ini dapat memberikan manfaat
pada pembaca. Penulis menyadari bahwa penyusunan tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan. Dalam kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan saran
yang dapat membangun demi kesempurnaan responsi ini.

Surabaya, 7 Juli 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................... iii


DAFTAR ISI......................................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................... 2
2.1.Definisi........................................................................................................................ 2
2.2.Etiologi........................................................................................................................ 2
2.3.Epidemiologi............................................................................................................... 2
2.4. Patofisiologi............................................................................................................... 3
2.5. Manifestasi Klinis...................................................................................................... 6
2.6.Pemeriksaan Laboratorium.......................................................................................... 8
2.7. Diagnosis.................................................................................................................... 10
2.8.Diagnosis Banding....................................................................................................... 11
2.9.Pengelolaan.................................................................................................................. 12
2.10.Komplikasi................................................................................................................. 18
2.11.Prognosis.................................................................................................................... 19
BAB III KESIMPULAN...................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 22

i
BAB I
PENDAHULUAN
Faktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa
penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun antara lain lupus
eritematosus. Penyakit lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun
yang bersifat kronis yang melibatkan multi organ, seperti pada kulit, sistem saraf,
ginjal, gastrointestinal, mata, juga rongga mulut. Etiologi lupus eritematosus belum
bisa dipastikan tetapi terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskannya, dan semua
teori tersebut memiliki patogenesis yang sama.
Manifestasi klinis LES sangat bervariasi dengan perjalanan penyakit yang sulit
diduga, tidak dapat diobati, dan sering berakhir dengan kematian. Kelainan
tersebut merupakan sindrom klinis disertai kelainan imunologik, seperti disregulasi
sistem imun, pembentukan kompleks imun dan yang terpenting ditandai oleh adanya
antibodi antinuklear, dan hal tersebut belum diketahui penyebabnya yang berkaitan
dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh,
dan ditandai olehinflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat
episodik diselangi episode remisi.
Lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun kronis. Etiologi
lupus eritmatosus, sama seperti penyakit autoimun lainnya sampai saat ini belum
pasti, tetapi prognosis dapat baik bila diberikan terapi yang adekuat
contohnya pada beberapa kasus lupus yang ringan, seperti pada penyakit yang
bermanifestasi pada kulit.
Angka kejadian penyakit ini cukup tinggi, baik di seluruh dunia maupun di
negara berkembang termasuk Indonesia. Penatalaksanaan penyakit ini
membutuhkan kerjasama multidisiplin dan dukungan dari berbagai pihak.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang

terjadi karena produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri

yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau

beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh
darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi.
Berdasarkan sumber lain, sistemik lupus erythematosus (SLE) adalah
penyakit multisistem yang disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat
deposisi immune kompleks. 8erdapat spektrum manifestasi klinis yang luas
dengan remisi dan eksaserbasi. Respons imun patogenik mungkin berasal
dari pencetus lingkungan serta adanya gen tertentu yang rentan.

2.2 ETIOLOGI

1. Autoimun (kegagalan toleransi diri)


2. Cahaya matahari (UV)
3. Stress
4. Agen infeksius seperti virus, bakteri (virus Epstein Barr,
Streptokokus, klebsiella)
5. Obat — obatan: Procainamid, Antipsikotik, Chlorpromazine,
Isoniazid
6. Obat kimia : merkuri dan silikon
7. Perubahan hormon
2.3 EPIDEMIOLOGI
Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik
utama di dunia. Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi
pada berbagai populasi yang berbeda-beda bervariasi antara 2,9/100.000 -
400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro,
Cina dan mungkin juga Filipina. Faktor ekonomi dan geografik tidak
mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia,
tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada

3
wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara (5,5-9).
Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di
rumah sakit. Dari 3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia / RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, yang melakukan
penelitian pada periode yang berbeda diperoleh data sebagai berikut : 1969-1970
ditemukan 5 kasus SLE (Ismail Ali); 1972-1976 ditemukan 1 kasus SLE dari setiap
666 kasus yang dirawat; 1988-1990 insidensi rata-rata ialah sebesar 37,7 per 10.000
perawatan.
Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000
perawatan (Purwanto, dkk). Di medan antara tahun 1984-1986 didapatkan insidensi
sebesar 1,4 per 10.000 perawatan (Tarigan).
2.4 PATOFISIOLOGI
Tidak diketahui etiologi pasti. Ada faktor keluarga yang kuat terutama pada
keluarga dekat. Resiko meningkat 25—50% pada kembar identik dan 5% pada
kembar dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa
sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi
genetiknya, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat
menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau
regulasi sistem imun.

4
Terjadinya SLE dimulai dengan interaksi antara gen yang rentan serta faktor
lingkungan yang menyebabkan terjadinya respons imun yang abnormal. Respon
tersebut terdiri dari pertolongan sel T hiperaktif pada sel B yang hiperaktif pula,
dengan aktivasi poliklonal stimulasi antigenik spesifik pada kedua sel tersebut. Pada
penderita SLE mekanisme yang menekan respon hiperaktif seperti itu, mengalami
gangguan. Hasil dari respon imun abnormal tersebut adalah produksi autoantibodi
dan pembentukan imun kompleks. Subset patogen autoantibodi dan deposit imun
kompleks di jaringan serta kerusakan awal yang ditimbulkannya merupakan
karakteristik SLE.
Antigen dari luar yang akan di proses makrofag akan menyebabkan berbagai
keadaan seperti : apoptosis, aktivasi atau kematian sel tubuh, sedangkan beberapa
antigen tubuh tidak dikenal (self antigen) contoh: nucleosomes, U1RP, Ro/SS-A.
Antigen tersebut diproses seperti umumnya antigen lain oleh makrofag dan sel B.
Peptida ini akan menstimulasi sel T dan akan diikat sel B pada reseptornya sehingga
menghasilkan suatu antibodi yang merugikan tubuh. Antibodi yang dibentuk
peptida ini dan antibodi yang terbentuk oleh antigen external akan merusak target
organ (glomerulus, sel endotel, trombosit). Di sisi lain antibodi juga berikatan
dengan antigennya sehingga terbentuk imun kompleks yang merusak berbagai
organ bila mengendap.
Perubahan abnormal dalam sistem imun tersebut dapat mempresentasikan
protein RNA, DNA dan phospolipid dalam sistem imun tubuh. Beberapa
autoantibodi dapat meliputi trombosit dan eritrosit karena antibodi tersebut
dapat berikatan dengan glikoprotein II dan III di dinding trombosit dan eritrosit.
Pada sisi lain antibodi dapat bereaksi dengan antigen cytoplasmic trombosit dan
eritrosit yang menyebabkan proses apoptosis.
Peningkatan imun kompleks sering ditemukan pada SLE dan ini
menyebabkan kerusakan jaringan bila mengendap. Imun kompleks juga berkaitan
dengan komplemen yang akhirnya menimbulkan hemolisis karena ikatannya pada
receptor C3b pada eritrosit. Kerusakan pada endotel pembuluh darah terjadi akibat
deposit imun kompleks yang melibatkan berbagai aktivasi komplemen , PMN dan
berbagai mediator inflamasi.
Keadaan-keadaan yang terjadi pada cytokine pada penderita SLE adalah
ketidakseimbangan jumlah dari jenis-jenis cytokine. Keadaan ini dapat
meningkatkan aktivasi sel B untuk membentuk antibodi.

5
Berbagai keadaan pada sel T dan sel B yang terjadi pada SLE :
✓ Sel T :
-Lymphopenia
-Penurunan sel T supressor
-Peningkatan sel T helper
-Penurunan memori dan CD4
-Penurunan aktivasi sel T supressor
-Peningkatan aktivasi sel T helper
✓ Sel B :
-Aktivasi sel B
-Peningkatan respon terhadap cytokine.
Bagian terpenting dari patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme
regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas.

6
2.5 GEJALA KLINIK
Onset penyakit dapat spontan atau didahului faktor presipitasi seperti kontak
dengan sinar matahari, infeksi, obat, penghentian kehamilan, trauma fisik/psikis.
Setiap serangan biasanya didahului gejala umum seperti demam, malaise,
kelemahan, anorexia, berat badan menurun, iritabilitas. Demam ialah manifestasi
yang paling menonjol kadang-kadang dengan menggigil.
Manifestasi kulit berupa butterfly appearance. Manifestasi kulit yang lain berupa
lesi discoid, erythema palmaris,periungual erythema, alopesia. Mucous membran
lession cenderung muncul pada periode eksaserbasi pada 20% penderita juga
didapatkan fenomena Raynaud.
Manifestasi gastrointestinal berupa nausea, diare, GIT discomfort. Gejala
menghilang dengan cepat bila manifestasi sistemiknya diobati dengan adekuat.
Nyeri GIT mungkin disebabkan peritonitis steril dan arteritis pembuluh darah
kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis juga dapat
menimbulkan pankreatitis.
Manifestasi muskuloskeletal berupa athralgia, myalgia, myopathi. Joint
symptoms dengan atau tanpa aktif sinovitis ada pada 90% penderita. Atritis
cenderung menjadi deformasi, dan gambaran ini hampir selalu tidak didapatkan
pada pemeriksaan radiografi.
Manifestasi ocular, termasuk conjungtivitis, fotofobia, transient atau
permanent monoocular blindness dan pandangan kabur. Pada pemeriksaan fundus dapat
juga ditemukan cotton-wool spots pada retina (cytoid bodies).
Pleurisi, pleural effusion, bronkopneumonia, pneumonitis sering dijumpai.
Pleural effusion unilateral ringan lebih sering dijumpai daripada bilateral. Mungkin
didapatkan sel LE pada cairan pleura. Pleural effusion menghilang dengan terapi
yang adekuat. Restriktif pulmonary disease juga mungkin dijumpai.
Manifestasi di jantung dapat berupa cardiac failure akibat dari micarditis dan
hipertensi. Cardiac aritmia juga sering dijumpai. Valvular incompetence yang sering
dijumpai adalah mitral regurgitasi.
Vasculitis pada percabangan mesenterica sering muncul dan dihubungkan
dengan polyarteritis nodusa, termasuk ditemukan adanya aneurysma pada
percabangannya. Abdominal pain (setelah makan), ileus, peritonitis, perforasi
dapat terjadi.
Adenopati menyeluruh dapat ditemukan, terutama pada anak-anak, dewasa
muda, dan kulit hitam. Splenomegali terjadi pada 10% penderita. Secara histologis
lien menunjukan fibrosis periarterial (onion skin lesion).
Hepatomegali mungkin juga dapat ditemukan, tetapi jarang disertai ikterus.
Kelenjar parotis dapat membesar pada 6% kasus SLE.
Pada Drug Induce Lupus Erythematosus kelainan pada ginjal dan SSP
jarang ditemukan. Anti Ds-DNA, hipocomplementemia serta kompleks imun juga
jarang ditemukan.
Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE
Penyakit SLE dapat ringan atau berat sampai mengancam nyawa . Kriteria untuk
dikatakan SLE ringan adalah :
- Diagnosis SLE telah ditegakkan atau sangat dicurigai
- Secara klinis tenang
- Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
- Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit
- Tidak ditemukan tanda efek samping atau toksisitas pengobatan
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana
tercantum di bawah ini, yaitu:
- Jantung : vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade jantung,
hipertensi maligna
- Paru-paru : hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru,
infark paru, fibrosis interstitial
- Gastrointestinal : pankreatitis, vaskulitis mesenterika
- Ginjal : nefritis persisten, RPGN (rapidly progressive glomerulonephritis), sindroma
nefrotik
- Kulit : vaskulitis, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)
- Neurologi : kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,
mononeuritis, polyneuritis, neuritis optic, psikosis, sindroma demielinisasi
- Otot : miositis
- Hematologi : anemia hemolitik, netropenia (leukosit < 1.000/mm3),
trombositopenia < 50.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia, trombosis
vena atau arteri
- Konstitusional : demam tinggi yang persiten tanpa bukti infeksi
2.6 PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan :
- Hematologi
Ditemukan anemia, leukopenia, trombocytopenia.
- Kelainan imunologi
Ditemukan ANA, Anti-Ds-DNA, rheumatoid factor, STS false positive,
dan lain-lain. ANA sensitive tapi tidak spesifik untuk SLE. Antibody double-
stranded DNA (Anti-Ds DNA) dan anti-Sm spesifik tapi tidak sensitive.
Depresi pada serum complement (didapatkan pada fase aktif) dapat berubah
menjadi normal pada remisi. Anti-Ds DNA juga berhubungan dengan
aktivitas dari perjalanan penyakit SLE , tetapi anti-Sm tidak.
Suatu varietas antibody antinuclear lain dan juga anticytoplasmic
(Ro,La,Sm,RNP,Jo-1) berguna secara diagnostik pada penyakit jaringan ikat dan
kadang ditemukan pada SLE dengan negatif ANA. Serologi Tes Siphillis false
positive dapat ditemukan 5-10% penderita. Mereka disertai antikoagulan
lupus,yang manifestasi sebagai perpanjangan Partial Thrombiplastin (PTT). Kadar
complemen serum menurun pada fase aktif dan paling rendah kadarnya pada SLE
dengan nefritis aktif. Urinalisis dapat normal walaupun telah terjadi proses pada
ginjal. Untuk menilai perjalanan SLE pada ginjal dilakukan biopsy ginjal dengan
ulangan biopsy tiap 4-6 bulan. Adanya silinder eritrosit dan silinder granuler
menandakan adanya nefritis yang aktif.
Frekuensi pemeriksaan abnormal yang didapatkan pada pemeriksaan
laboratorium pada SLE :
1. Anemia 60%
2. Leukopenia 45%
3. Trombocytopenia 30%
4. False test for syphilis 25%
5. Lupus anticoagulant 7%
6. Anti-cardiolipin antibody 25%
7. Direct coomb test positive 30%
8. Proteinuria 30%
9. Hematuria 30%
10. Hypocomplementemi 60% 11. ANA 95-100%
12. Anti-native DNA 50%
13. Anti-Sm 20%
Beberapa obat dapat menyebabkan ANA tes positf dan kadang-
kadang sindroma mirip lupus.Gejala menghilang jika obat dihentikan
segera. Obat-obat yang dapat memicu timbulnya SLE terhadap orang
dengan predisposisi genetik :
0 Definite ascociation
Chlorpromazine Methyldopa Isoniazid
Hydralazine Procainamide Quinidine

0 Possible ascociation
Beta-blocker Methimazole Levodopa
Captopril Nitrofurantion Lithium
Carbamazepine Penicillinamine Sulfonamide
Cimetidine Phenitoin Trimethadione
Ethosuximide Propylthiouracil Sulfasalazine
Hydrazine

0 Unlikely ascociation
Allopurinol Penicillin Griseofulvin
Chlortalidone Phenylbutazone Streptomycin
Gold salt Reserpine Methysergide
Tetracycline Oral contraceptive
2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis SLE harus dipikirkan pada:
- Wanita muda
- Didapatkan lesi pada area yang terekspose matahari
- Manifestasi sendi
- Depresi dari hemoglobin, sel darah putih, sel darah merah,trombosit
- Tes serologi yang positif (ANA, anti-native DNA, serum komplemen yang
rendah)
Kriteria yang umum digunakan untuk klasifikasi dan diagnosis adalah kriteria
American Rheumatism Association (ARA). Sensitivitas dan spesifisitas kriteria ini sekitar
96% ketika dihubungkan dengan sindrom rematik lain. Bagaimanapun, nilai prediktif kriteria
ini lebih rendah. Pasien dapat dinyatakan sebagai bukan SLE (tidak memenuhi kriteria atau
hanya memenuhi satu kriteria), possible SLE (hanya memenuhi dua kriteria), probable SLE
(hanya memenuhi 3 kriteria), atau definite SLE (memenuhi setidaknya empat kriteria).
Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (Sumber: Harrison’s Principles ofInternal
Medicine, 17 th edition)
Malar rash
Fixed erythema, flat or raised, over the malar eminences
Discoid rash
Erythematous circular raised patches with adherentkeratotic scaling and follicular plugging;
atrophic scarringmay occur
Photosensitivity
Exposure to ultraviolet light causes rash
Oral ulcers
Includes oral and nasopharyngeal ulcers, observed byphysician
Arthritis
Nonerosive arthritis of two or more peripheral joints, withtenderness, swelling, or effusion
Serositis
Pleuritis or pericarditis documented by ECG or rub orevidence of effusion
Renal disorder
Proteinuria >0.5 g/d or ≥3+, or cellular casts
Neurologic disorder
Seizures or psychosis without other causes
Hematologic disorder
Hemolytic anemia or leukopenia (<4000/μL) or lymphopenia (<1500/μL) or
thrombocytopenia (<100,000/μL) in the absence of offending drugs
Immunologic disorder
Anti-dsDNA, anti-Sm, and/or anti-phospholipid
Antinuclear antibodies
An abnormal titer of ANA by immunofluorescence or anequivalent assay at any point in time
in the absence of drugsknown to induce ANAs If ≥4 of these criteria, well documented, are
present at any time in a patient's history, the diagnosis is likely to be SLE. Specificity is
~95%: sensitivity is ~75%.
Pada pasien ini didiagnosa sebagai SLE karena memenuhi kriteria diagnosis SLE yaitu lebih
daripada 4 kriteria daripada 11 kriteria yang dinyatakan diatas. Kriteria-kriteria yang telah
dipenuhi oleh pasien ini adalah malar rash pada bagian wajah, fotosensitivitas (kemerahan
yang memberat dengan eksposur pada cahaya matahari), non-erosive arthritis pada sendi
lutut, renal disorder (protein di uria sebanyak 25,00 mg/dl), hematologic disorder (anemia),
neuropsychiatry disorder (lupus serebri) dan penemuan anti-nuclear test, ANA yang positif.
Pasien ini memenuhi 7 daripada 11 kriteria diagnosis sehingga boleh digolongkan dalam
kategori definite SLE.

2.8 DIAGNOSIS BANDING


Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan
diagnosis akibat gambaran klinis yang mirip aau beberapa tes laboratorium yang
serupa, yaitu:
a. Undifferentiated connective tissue disease
b. Sindroma Sjogren
c. Sindroma antibody antifosfolipid (APS)
d. Fibromialgia (ANA positif)
e. Purpura trombositopenik idiopatik
f. Lupus imbas obat
g. Artritis reumatoid
h. Vaskulitis
i. Rheumatoid arthritis dan penyakit jaringan konektif lainnya.
j. Endokarditis bacterial subacute
k. Septikemia oleh Gonococcus/Meningococcus disertai dengan arthritis ,lesi
kulit.
l. Drug eruption.
m. Limfoma.
n. Leukemia.
o. Trombotik trombositopeni purpura.

2.9 PENGELOLAAN
➢ Tujuan
Meningkatkan kualitas hidup pasien dengan pengenalan dini dan pengobatan
paripurna. tujuan khusus : a) mendapatkan masa remisi yang panjang, b) menurunkan
aktifitas penyakit seringan mungkin, c) mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ
agar aktifitas hidup keseharian baik.
➢ Pilar Pengobatan
1. Edukasi dan konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan sekitar
agar dapat hidup mandiri. Pasien memrlukan edukasi mengenai cara mencegah kekambuhan
antara lain dengan melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai
tabir surya, payung, atau topi, melakukan latihan secara teratur, pengaturan diet agar tidak
kelebihan berat badan, osteoporosis, atau dislipidemia. Diperlukan informasi akan
pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktifitas penyakit ataupun akibat
pemakaian obat-obatan.
2. Latihan/program rehabilitasi
3. Istirahat
4. Terapi fisik
5. Terapi dengan modalitas
A. Pengobatan SLE Ringan
- Edukasi

Pasien diberikan harapan yang realistis sesuai keadaannya, hindari paparan ultra
violet berlebihan, hindari kelelahan, berikan pengetahuan akan gejala dan tanda
kekambuhan, anjurkan agar pasien mematuhi jenis pengobatan dan melakukan
konsultasi teratur.

- Obat-obatan

- Anti analgetik

- Anti inflamasi non steroidal (OAINS)

- Glukokortikoid topikal potensi ringan (untuk mengatasi ruam)

- Klorokuin basa 4mg/kg BB/hari

- Kortikosteroid dosis rendah < 10 mg/hari prednisone

- Tabir surya : topikal minimum sun protection factor 15 (SPF 15)

- Istirahat

B. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa


- Glukokortikoid dosis tinggi
Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia : 40-60 mg/hari (1mg/kg BB)
Prednisone atau metilprednisolon intravena sampai 1 g/hari selama 3 hari berturut-turut.
Selanjutnya diberikan oral.
- Obat imunosupresan atau sitotoksik

Azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, klorambusil, siklosporin dan nitrogen mustard.


Tergantung dari berat ringannya penyakit serta organ yang terlibat, misalnya pada lupus nefritis
diberikan siklofosfamid (oral/intravena) azatioprin; arthritis berat diberikan metotreksat
(MTX). Penderita SLE tidak dapat sembuh sempurna(sangat jarang didapatkan remisi
yang sempurna). Meskipun begitu dokter bertugas untuk memanage dan mengkontrol supaya
fase akut tidak terjadi. Tujuan pengobatan selain untuk menghilangkan gejala, juga
memberi pengertian dan semangat kepada penderita untuk dapat bekerja dan melakukan
kegiatan sehari-hari. Terapi terdiri dari terapi suportif yaitu diit tinggi kalori tinggi protein
dan pemberian vitamin.
Beberapa prinsip dasar tindakan pencegahan eksaserbasi pada SLE, yaitu:
 Monitoring teratur
 Penghematan energi dengan istirahat terjadwal dan tidur cukup
 Fotoproteksi dengan menghindari kontak sinar matahari atau dengan pemberian sunscreen
lotion untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari
 Atasi infeksi dengan terapi pencegahan pemberian vaksin dan antibiotik yang adekuat.
 Rencanakan kehamilan / hindari kehamilan.

Berikut adalah beberapa terapi medikamentosa pada penderita SLE :

1. Non-Steroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID):


NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antipiretik dan anti-
inflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan arthralgia/arthritis.
Aspirin adalah salah satu yang paling banyak ditelitikegunaannya. Ibuprofen dan
indometasin cukup efektif untuk mengobati SLE dengan arthritis dan pleurisi, dalam kombinasi
dengan steroid dan antimalaria. Keterbatasan obat ini adalah efek samping pada saluran
pencernaan terutama pendarahan dan ulserasi, dengan efek samping yang lebih sedikit
diharapkan dapat mengatasi hal ini, tetapi belum ada penelitian mengenai efektivitasnya pada
SLE. Efek samping lain dari OAINS adalah : reaksi hipersensitivitas, gangguan renal, retensi
cairan, meningitis aseptik.
2. Antimalaria
Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah lama
diketahui, dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk SLE kulit terutama LE
diskoid dan LE kutaneus subakut. Obat ini bekerja dengan cara mengganggu pemrosesan
antigen di makrofag dan sel penyaji antigen yang lain dengan meningkatkan di dalam
vakuola lisosomal. 0uga menghambat fagositosis, migrasi netrofil, dam metabolisme
membran fosfolipid. Antimalaria dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi sinar UV.
Hidrosiklorokuin menghambat reaksi kulit karena sinar UV. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa antimalaria dapat menurunkan kolesterol total, HDL dan LDL, pada
penderita SLE yang menerima steroid maupun yang tidak.
Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia : hidroksiklorokuin (dosis 200- 400mg/hari),
klorokuin (250mg/hari), kuinarkrin (100mg/hari). Hidroksiklorokuin lebih efektif dari
pada klorokuin, dan efek sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling
sering adalah efek pada saluran pencernaan, kembung, mual, dan muntah; efek samping lain
adalah timbulnya ruam, toksisitas retin, dan neurologis (jarang).
3. Kortikosteroid
Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekanisme antiinflamasi dan. Dari
berbagai jenis steroid, yang paling sering digunakan adalah prednison dan metilprednisolon.
Pada SLE yang ringan (kutaneus, arthritis/arthralgia) yang tidak dapat dikontrol oleh
NSAID dan antimalaria, diberikan prednisone 2,5 mg sampai 5 mg perhari. Dosis
ditingkatkan 201 tiap 1 sampai 2 minggu tergantung dari respon klinis. Pada SLE yang akut
dan mengancam jiwa langsung diberikan steroid, NSAID dan antimalaria tidak efektif pada
keadaan itu. Manifestasi serius SLE yang membaik dengan steroid antara lain : vaskulitis,
dermatitis berat, poliarthritis, poliserosistis, myokarditis, lupus pneumonitis,
glomeruloneftritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik, neuropati perifer dan krisis lupus.
Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regimen pemberian
steroid:
Regimen I : daily oral short acting (prednison, prednisolon, metilprednisolon),
dosis: 1-2 mg/kg BB/hari dimulai dalam dosis terbagi, lalu diturunkaan secara bertahap
(tapering) sesuai dengan perbaikan klinis dan laboratoris. Regimen ini sangat cepat
mengontrol penyakit ini, 5-10 hari untuk manifestasi hematologis atau saraf, serositis, atau
vaskulitas; 3- 10 minggu untuk glomerulonephritis.
Regimen II : methylprednisolone intravena, dosis: 500-1000 mg/hari, selama 3-5
hari atau 30 mg/kg BB/hari selam 3 hari. Regimen ini mungkin dapat mengontrol penyakit
lebih cepat daripada terapi oral setiaap hari, tetapi efek yang menguntungkan ini hanya
bersifat sementara, sehingga tidak digunakan untuk terapi SLE jangka lama.
Regimen III : kombinasi regimen 1 atau 2 dengan obat sitostatik azayhioprine
atau cyclophosphamide.
Setelah kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan kecepatan 2,5-5
mg/minggu sampai dicapai maintenance dose.
4. Methoreksat
Methoreksat adaalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis untuk penyakit
rematik efek imunosupresifnya lebih lemah daripada obat alkilating atau azathrioprin.
Methorekxate dosis rendah mingguan, 7,5-15 mg, efektif sebagai “steroid spring agent” dan
dapat diterima baik oleh penderita, terutama pada manifestsi kulit dan mukulosketetal.
Gansarge dkk. melakukan percobaan dengan memberikan Mtx 15 mg/minggu pada
kegagalan steroid dan antimalaria.
Efek samping Mtx yang paling sering dipakai adalah: lekopenia, ulkus oral,
toksisitas gastrointestinal, hepatotoksisitas.untuk pemantauan efek samping diperlukan
pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi ginjal dan hepar. Pada penderita dengan efek samping
gastrointestinal, pemberian asam folat 5 mg tiap minggu akan mengurangi efek tersebut.
5. Imunosupresan atau sitostatik yang lain.
 Azathhioprine (Imuran AZA),
 Cylophosphamide (chitokxan, CTX),
 Chlorambucil (leukeran, CHL),
 Cyclosporine A,
 Tacrolimus (FK506),
 Fludarabine,
 Cladribine,
 Mycophenolate mofetil
6. Terapi hormonal
 Dehidroxyepiandrosterone Sulfate (DHEAS)
 Danazol
7. Pengobatan Lain Dapsone
Dapsone atau diaminophenylsulphone, bekerja dengan cara mengganggu
metabolisme folat dan menghambat asam para aminobenzoat, dan menghambat jalur
alternative komplemen serta sitotoksisitas netrofil. Tersedia sejak lebih dari 50 tahun yang
lalu untuk pengobatan lepra. Dapson ternyata efektif untuk pengobatan Lupus eritematosus
kutaneus. Leukopenia, dan trombositopenia pada SLE, dengan dosis 50-150 mg/hr. hampir
semua penderita yang menerima dapsone akan mengalami anemia hemolitik ringan yang
biasanya berhubungan dengan dosis.
8. Clofazimine (Lamprene)
Clofazimine adalah anti leprosi juga yang telah terbukti untuk LE kutaneus yang
refrakter. Digunakan dengan dosis antara 100 sampai 200
mg/hr. efek samping yang terutama adalah warna kulit yang berubah menjadi pink
atau coklat gelap, dan menjadi kering.
9. Thalidomide
Thalidomide dengan dosis 50 sampai 100 mg/hr serta dosis pemeliharaan 25 sampai
5o mg/hr, efektif untuk LE kutaneus refrakter. Obat ini bekerja dengan menghambat TNF
alfa. Obat ini dikontraindikasikan pada kehamilan karena banyak laporan mengenai
terjadinya malformasi janin (fokomelia).
10. Immunoglobulin intravena
Immunoglobulin intravena (IVIg) bekerja dengan menghambat reseptor Fc
reikuloendotelial. Terapi ini berguna untuk mengatasi trombositopenia, dan pada keadaan
mengamcam jiwa, dengan dosis 2 k/kgBB/hari. 5 hari berturut-turut setiap bulan. IVIg
sangat mahal, oleh karena itu hanya digunakan pada SLE yang resisten terhadap terapi
standar, atau pada keadaan SLE yang berat.
11. Transplantasi Sumsum Tulang
Hanya diberikan pada kasus SLE yang paling agresif dan rekfrakter. Terapi ini
masih merupakan eksperimental untuk saat ini.
2.10 Komplikasi
Komplikasi neurologis bermanifestasi sebagai perifer dan central berupa psikosis,
epilepsi, sindroma otak organik, periferal dan cranial neuropati, transverse myelitis, stroke.
Depresi dan psikosis dapat juga akibat induksi dari obat kortikosteroid. Perbedaan antara
keduanya dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid. Psikosis
lupus membaik bila dosis steroid dinaikkan, dan pada psikosis steroid membaik bila dosisnya
diturunkan.
Komplikasi renal berupa glomerulonefritis dan gagal ginjal kronik. Manifestasi yang
paling sering berupa proteinuria. Histopatologi lesi renal bervariasi mulai glomerulonefritis
fokal sampai glomerulonfritis membranoploriferatif difus. Keterlibatan renal pada SLE
mungkin ringan dan asimtomatik sampai progresif dan mematikan. Karena kasus yang
ringan semakin sering dideteksi, insidens yang bermakna semakin menurun. Ada 2
macam kelainan patologis pada renal berupa nefritis lupus difus dan nefritis lupus
membranosa. Nefritis lupus difus merupakan manifestasi terberat. Klinis berupa sebagai
sindroma nefrotik, hipertensi, gagal ginjal kronik.
2.11 Prognosis
Bervariasi ,tergantung dari komplikasi dan keparahan keradangan.Perjalanan SLE
kronis dan kambuh-kambuhan seringkali dengan periode remisi yang lama. Dengan
pengendalian yang baik pada fase akut awal prognosis dapat baik.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Lupus eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem


tubuh menyerang jaringannya sendiri. Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE
sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya
berbagai sistem dalam tubuh. Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit.
Luas dan jenis gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi
adalah kelainan organ yang sudah terjadi.

1
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyaki
Dalam Jillid 2. Ed. Ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
2. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 18thed. New York: Mc-Graw Hill; 2012.
3. Mathias, L. M., & Stohl, W. (2020). Systemic lupus erythematosus (SLE): emerging
therapeutic targets., Expert Opinion on Therapeutic Targets, DOI:
10.1080/14728222.2020.1832464
4. Michaud, M., Catros, F., Ancellin, S., & Gaches, F. (2019). Treatment of systemic lupus
erythematosus, doi:10.1136/annrheumdis-2019-215799
5. Pan, L., Lu, M.-P., Wang, J.-H., Xu, M., & Yang, S.-R. (2019). Immunological
pathogenesis and treatment of systemic lupus erythematosus.
6. Tanaka, Y. (2020). State‐of‐the‐art treatment of systemic lupus erythematosus.
International Journal of Rheumatic Diseases.

Anda mungkin juga menyukai