Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

MODUL 10 (DARAH & KEGANASAN)


KULITKU MERAH DAN GATAL
SKENARIO 4

Muhammad Farhan Hardians


71220811053
SGD 3
DOSEN TUTOR: dr. Dody Firmanda, Sp. An

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
2023/2024
LEMBAR PENILAIAN MAKALAH
NO Bagian yang Dinilai Skor Nilai

1. Ada makalah 60

2. Keseuaian dengan LO 0 – 10

3. Tata Cara Penulisan 0 – 10

4. Pembahasan Materi 0 – 10

5. Cover dan Penjilidan 0 – 10

TOTAL

NB : LO = Learning Objective
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga saya
selaku mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatra
Utara dapat menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat
waktunya. Makalah ini yang berjudul Kulitku merah dan gatal.
Makalah ini berisikan tentang materi Reaksi hipersensitivitas.
Saya menyadari dalam pembuatan makalah ini belum sempurna.
Sehingga, sumbang saran, kritik dan masukkan akan kami terima
dengan penuh rasa terima kasih. Selain itu, saya dan teman sgd 3
juga mengucapkan banyak terima kasih kepada tutor bernama dr.
Dody Firmanda, Sp. An yang sudah bersedia membimbing saya dan
teman sgd saya sehingga makalah ini dapat di selesaikan.
Saya juga berharap dengan adanya makalah ini dapat menjadi
referensi bagi teman teman sekalian untuk bahan belajar. Akhir kata,
saya sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai
akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.
Aamiin

Medan,25 Desember 2023

Muhammad Farhan Hardians


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................... 3
DAFTAR ISI .............................................................................. 4
SKENARIO -4............................................................................ 5
BAB I ........................................................................................ 6
PENDAHULUAN ........................................................................ 6
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH ......................................... 6
1.2. IDENTIFIKASI MASALAH ................................................ 7
1.3. TUJUAN PENULISAN ...................................................... 7
BAB II ....................................................................................... 8
PEMBAHASAN .......................................................................... 8
2.1 Hipersensitivitas........................................................... 8
2.2 Etiologi & Patofisiologi .................................................. 9
2.3 Tanda dan gejala ........................................................ 16
2.4 Pemeriksaan diagnostik ............................................. 16
2.5 Komplikasi dan prognosis kasus hipersensitivitas ...... 17
2.6 Penyakit yang berhubungan dengan hipersensitivitas 19
BAB III .................................................................................... 23
PENUTUP ............................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 24
SKENARIO -4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Reaksi hipersensitivitas merupakan respons yang
berlebihan dari sistem kekebalan tubuh terhadap
substansi tertentu, yang pada umumnya tidak
berbahaya bagi kebanyakan orang. Fenomena ini bisa
berkembang menjadi masalah serius yang memengaruhi
kesehatan seseorang. Berbagai faktor dapat memicu
reaksi hipersensitivitas, mulai dari paparan alergen
seperti debu, bulu hewan, makanan tertentu, hingga
obat-obatan. Di antara faktor-faktor tersebut, keparahan
reaksi dapat bervariasi dari kasus ringan seperti ruam
kulit atau pilek, hingga kondisi yang mengancam jiwa
seperti anafilaksis. Ketidakmampuan tubuh dalam
mengatur respons terhadap zat-zat ini menjadi landasan
utama dalam kasus reaksi hipersensitivitas yang sering
kali menuntut penanganan medis dan intervensi yang
tepat.
Seringkali, diagnosa reaksi hipersensitivitas dapat
menjadi rumit karena gejalanya sering mirip dengan
kondisi lain atau mungkin tidak langsung terkait dengan
alergen yang dipicu. Ketidakpastian dalam
mengidentifikasi pemicu reaksi hipersensitivitas dapat
memperlambat proses pengobatan dan penanganan yang
efektif. Disamping itu, beberapa reaksi alergi juga dapat
berkembang dari waktu ke waktu, mulai dari respons
yang ringan hingga yang sangat parah. Hal ini
menimbulkan risiko bagi individu yang mungkin tidak
menyadari tingkat sensitivitas mereka terhadap suatu
zat tertentu. Oleh karena itu, pemahaman mendalam
tentang reaksi hipersensitivitas dan pendekatan yang
teliti dalam menentukan pemicu alergi menjadi sangat
penting dalam upaya pencegahan dan penanganan
kondisi ini.

1.2. IDENTIFIKASI MASALAH


1. Gatal disertai munculnya bercak-bercak kemerahan
2. Riwayat alergi obat
3. Sesak napas
4. Konsumsi obat antibiotic
5. Pemeriksaan fisik di jumpai urtikaria, angioedema,
edema palpebra, dan wheezing.
1.3. TUJUAN PENULISAN
1. Mahasiwa mampu menjelaskan definisi dan
klasifikasi hipersensitivitas.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi dan
Patofisiologi hipersensitivitas.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala
hipersensitivitas.
4. Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan
pemeriksaan diagnostik hipersensitivitas.
5. Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi dan
prognosis hipersensitivitas.
6. Mahasiswa mampu menjelaskan penyakit yang
berhubungan dengan hipersensitivitas.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hipersensitivitas
A. Definisi
Respon kekebalan tubuh yang pada dasarnya melindungi organisme
terhadap infeksi atau bahkan kanker memiliki kemungkinan untuk
menimbulkan kerusakan pada jaringan tubuh. Ketika respons
kekebalan tersebut menjadi merugikan, kondisi ini dikenal sebagai
hipersensitivitas, yang dapat menimbulkan penyakit. Konsep ini
muncul karena individu yang responsif terhadap suatu antigen
menjadi sensitif terhadapnya, sehingga reaksi patologis atau
berlebihan menjadi manifestasi dari keadaan hipersensitif. Meskipun
respons kekebalan biasanya diatur dengan baik untuk melindungi
tubuh dari infeksi, terkadang respons ini dapat menjadi tidak
terkontrol atau ditujukan kepada zat yang pada umumnya tidak
berbahaya, atau bahkan pada jaringan tubuh sendiri. Situasi semacam
ini dapat mengakibatkan respons yang seharusnya bermanfaat
menjadi penyebab penyakit.

Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas


terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya.
Hipersensitivitas merujuk pada respons sistem kekebalan tubuh yang
berlebihan dan tidak diinginkan yang berpotensi menyebabkan
kerusakan pada jaringan tubuh

B. Klasifikasi
Reaksi hipersensitivitas dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis
berdasarkan mekanisme kekebalan utama yang bertanggung jawab
atas cedera yang terjadi. Tiga di antaranya merupakan variasi dari
cedera yang diperantarai oleh antibodi, sedangkan satu jenis lagi
dipicu oleh sel T.

Jenis utama dari reaksi hipersensitivitas adalah sebagai berikut:


• Tipe I (Hipersensitivitas segera): Disebut juga sebagai alergi,
reaksi ini disebabkan oleh sel TH2, antibodi IgE, serta sel mast dan
leukosit lainnya. Sel mast melepaskan mediator yang
memengaruhi pembuluh darah, otot polos, dan sitokin yang
mengundang serta mengaktifkan sel-sel peradangan.
• Tipe II (Gangguan yang dimediasi oleh antibodi): Reaksi ini
disebabkan oleh antibodi IgG dan IgM yang terikat pada antigen
di jaringan atau sel. Antibodi ini merusak sel melalui fagositosis
atau lisis, serta menyebabkan kerusakan pada jaringan dengan
memicu peradangan. Antibodi juga dapat mengganggu fungsi
seluler dan menyebabkan penyakit tanpa terjadi cedera pada sel
atau jaringan.
• Tipe III (Gangguan yang dimediasi kompleks imun): Reaksi ini
terjadi ketika antibodi IgG dan IgM mengikat antigen, umumnya
dalam sirkulasi, membentuk kompleks antigen-antibodi yang
menumpuk di pembuluh darah dan memicu peradangan. Leukosit
yang direkrut seperti neutrofil dan monosit, menghasilkan
kerusakan pada jaringan dengan melepaskan enzim lisosom dan
radikal bebas yang bersifat toksik.
• Tipe IV (Gangguan hipersensitivitas dimediasi oleh sel T):
Sebagian besar disebabkan oleh respons imun di mana limfosit T
dari subset TH1 dan TH17 memproduksi sitokin yang memicu
peradangan serta mengaktifkan neutrofil dan makrofag, yang
bertanggung jawab atas kerusakan jaringan. Sel CTL CD8+ juga
dapat berperan dengan langsung menghancurkan sel inang.

2.2 Etiologi & Patofisiologi


A. Etiologi

Respons imun yang berpotensi merugikan dapat berkaitan dengan


berbagai jenis antigen dan memiliki berbagai penyebab mendasar.

• Autoimunitas : Reaksi terhadap antigen yang merupakan bagian


dari tubuh sendiri, terjadi ketika sistem kekebalan gagal mengenali
dan membedakan antara "diri" dan "asing," menyebabkan kondisi
autoimun yang dapat menimbulkan penyakit autoimun.
• Reaksi terhadap mikroba : Respons berlebihan atau persisten
terhadap antigen mikroba dapat menghasilkan pembentukan
antibodi yang membentuk kompleks imun, memicu peradangan.
Contohnya termasuk glomerulonefritis pasca-streptokokus,
tuberkulosis, dan respons yang berujung pada penyakit jantung
rematik. Respons normal terhadap infeksi, seperti pada hepatitis
virus, juga bisa berujung pada cedera jaringan karena sistem
kekebalan tubuh merespons infeksi dengan merusak jaringan.
• Reaksi terhadap antigen lingkungan : Sekitar 20% populasi
rentan terhadap alergi terhadap zat lingkungan, yang terjadi akibat
respons imun yang tidak biasa terhadap antigen yang umumnya
tidak berbahaya.
Kerugian jaringan dalam kondisi ini disebabkan oleh mekanisme
yang sama yang digunakan tubuh untuk menghilangkan patogen,
seperti antibodi, limfosit T, dan sel-sel efektor lainnya. Permasalahan
inti dalam penyakit-penyakit ini adalah respons kekebalan tubuh yang
diaktifkan secara tidak tepat dan sulit dikendalikan karena sistem
kekebalan tubuh sulit untuk dihentikan setelah dimulai. Karena
peradangan menjadi elemen utama dalam patologi gangguan ini,
sering kali mereka dikategorikan sebagai penyakit inflamasi yang
disebabkan oleh respons kekebalan tubuh yang abnormal.

B. Patofisiologi

1) Hipersensitivitas tipe 1 (Reaksi Cepat/Alergi)

Berikut adalah urutan peristiwa yang umum terjadi dalam reaksi


hipersensitivitas segera (Gambar 1) :

• Aktivasi sel TH2 dan produksi antibodi IgE: Alergen


memasuki tubuh melalui berbagai rute seperti inhalasi,
ingestasi, atau suntikan. Beberapa faktor, seperti rute
masuknya, dosis, paparan kronis, dan faktor genetik, dapat
mempengaruhi respons kuat sel TH2 terhadap alergen. Reaksi
hipersensitivitas segera cenderung menjadi prototipe respons
TH2. Sel TH2 merespons dengan mengeluarkan sitokin
seperti IL-4, IL-5, dan IL-13, yang bertanggung jawab atas
sebagian besar reaksi ini.
• Sensitisasi sel mast oleh antibodi IgE: Sel mast, yang tersebar
luas di jaringan, ekspresikan reseptor FcεRI yang memiliki
afinitas tinggi terhadap IgE. Meskipun konsentrasi IgE dalam
serum rendah, reseptor FcεRI sel mast selalu terisi oleh IgE.
Jika alergen berikatan dengan IgE yang spesifik pada sel mast,
hal ini memicu reaksi sensitif pada sel mast untuk melepaskan
mediator-mediator tertentu.
• Aktivasi sel mast dan pelepasan mediator-mediator: Ketika
individu yang telah disensitisasi oleh paparan alergen terkena
alergen lagi, alergen tersebut berikatan dengan IgE pada sel
mast, memicu pelepasan mediator-mediator dari sel mast. Hal
ini mengakibatkan serangkaian reaksi biokimia yang
menghasilkan pelepasan berbagai mediator dari sel mast.
Proses ini menggambarkan urutan peristiwa yang umum terjadi
dalam reaksi hipersensitivitas segera, yang melibatkan interaksi
kompleks antara sel TH2, antibodi IgE, dan sel mast, serta pelepasan
mediator-mediator yang berkontribusi pada manifestasi klinis dari
reaksi alergi tersebut.
Gambar 1. Urutan peristiwa dalam hipersensitivitas segera (tipe I) dimulai dengan
paparan terhadap alergen. Alergen ini akan merangsang respons sel TH2 dan memicu
produksi IgE pada individu yang memiliki kecenderungan genetik tertentu. IgE yang
dihasilkan ini akan berikatan dengan reseptor Fc (FcεRI) yang terletak pada sel mast. Ketika
terjadi paparan ulang terhadap alergen, sel mast diaktifkan dan merespons dengan
melepaskan mediator-mediator tertentu yang bertanggung jawab atas gejala patologis dari
hipersensitivitas segera.

2) Hipersensitivitas tipe 2 (Reaksi Sitotoksik/Antibodi)

Mekanisme penyakit yang disebabkan oleh antibodi (Gambar 2)


meliputi:

• Opsonisasi dan fagositosis: Antibodi melapisi sel-sel dan


memungkinkan fagositosis oleh neutrofil dan makrofag.
Contohnya adalah reaksi transfusi atau anemia hemolitik
autoimun.
• Peradangan: Antibodi yang terikat dengan antigen dapat memicu
peradangan dan merusak jaringan dalam kondisi seperti
glomerulonefritis atau penolakan organ transplantasi.
• Disfungsi sel: Antibodi yang menargetkan protein inang dapat
mengganggu fungsi sel, misalnya, pada miastenia gravis yang
menyebabkan kelemahan otot atau penyakit Graves yang memicu
produksi hormon tiroid yang berlebihan. Antibodi juga dapat
menghambat atau menetralkan aksi molekul-molekul penting,
menyebabkan gangguan fungsional.
Gambar 2. Mekanisme cedera yang dimediasi oleh antibodi. (A) Opsinasi sel oleh
antibodi dan komponen komplemen serta ditelan oleh fagosit. (B) Peradangan yang diinduksi
oleh pengikatan antibodi ke reseptor Fc pada leukosit dan oleh produk degradasi komplement.
(C) Antibodi anti-reseptor mengganggu fungsi normal reseptor. Dalam contoh-contoh ini,
antibodi terhadap reseptor asetilkolin (ACh) mengganggu transmisi neuromuskuler pada
penyakit miastenia gravis, dan antibodi terhadap reseptor hormon perangsang tiroid (TSH)
mengaktifkan sel-sel tiroid pada penyakit Graves.

3) Hipersensitivitas tipe 3 (Reaksi Kompleks imun)

Penyakit sistemik yang dimediasi oleh kompleks imun, seperti


serum sickness akut, menggambarkan tiga fase patogenesis (Gambar
3) :

• Pembentukan kompleks imun: Respons kekebalan terhadap


antigen protein memicu pembentukan antibodi. Antibodi ini
bereaksi dengan antigen yang membentuk kompleks antigen-
antibodi dalam darah.
• Deposisi kompleks imun: Kompleks antigen-antibodi
terdeposisi di berbagai jaringan, seringkali di tempat filtrasi
darah, seperti glomeruli dan sendi, dipengaruhi oleh
karakteristik kompleks dan perubahan vaskular lokal.
• Peradangan dan kerusakan jaringan: Deposisi kompleks imun
memicu reaksi peradangan melalui aktivasi komplemen dan
reseptor Fc pada leukosit. Gejala klinis muncul seperti
demam, urtikaria, nyeri sendi, dan pembesaran kelenjar getah
bening. Kerusakan jaringan tergantung pada lokasi deposisi
kompleks.
Sindrom serum sickness akut dapat sembuh melalui fagositosis dan
degradasi kompleks imun setelah pemberian dosis besar antigen.
Serum sickness kronis bisa terjadi akibat paparan berulang atau
berkepanjangan terhadap antigen. Model reaksi Arthus menunjukkan
nekrosis jaringan akibat vaskulitis kompleks imun, menyerupai
penyakit kompleks imun sistemik, dengan gejala edema, pendarahan,
dan ulserasi.
Gambar 3. Penyakit kompleks imun. Tahapan-tahapan berurutan dalam induksi penyakit
kompleks imun sistemik (hipersensitivitas tipe III).

4) Hipersensitivitas tipe 4 (Reaksi Lambat/Seluler)

Penyakit autoimun dan reaksi terhadap bahan kimia lingkungan


serta mikroba persisten diduga terjadi akibat reaksi sel T yang
berperan dalam menyebabkan kerusakan jaringan dan penyakit.
Terdapat dua jenis reaksi sel T yang mengakibatkan kerusakan:
a. Peradangan yang Dimediasi oleh Sel CD4+
• Reaksi hipersensitivitas tipe tertunda (DTH) merupakan
contohnya, yang melibatkan sel T CD4+ dan sitokin seperti
IFN-γ yang merusak jaringan dan memicu inflamasi.
• Hipersensitivitas ini terjadi beberapa waktu setelah paparan
antigen pada individu yang diimunisasi sebelumnya.
• Reaksi kulit PPD pada uji tuberkulin adalah contoh DTH yang
melibatkan reaksi peradangan dan akumulasi sel-sel
mononuklear.
• Reaksi DTH terhadap mikroba persisten dapat menghasilkan
peradangan granulomatosa, membentuk granuloma yang
melibatkan sel T CD4+ dan makrofag.
b. Sitotoksisitas yang Dimediasi oleh Sel CD8+
• CTL CD8+ membunuh sel target yang mengekspresikan
antigen, seperti dalam diabetes tipe 1, penolakan transplantasi,
atau respons terhadap virus.
• Sel T CD8+ juga berperan dalam reaksi inflamasi yang
menyerupai DTH, terutama setelah infeksi virus atau paparan
agen sensitisasi kontak.

Gambar 4. Mekanisme reaksi hipersensitivitas yang dimediasi oleh sel T (tipe IV). (A)
Sel CD4+ TH1 (dan kadang-kadang sel CD8+ T, tidak ditunjukkan) merespons antigen
jaringan dengan mengeluarkan sitokin yang merangsang peradangan dan mengaktifkan
fagosit, yang menyebabkan cedera jaringan. Sel CD4+ TH17 berkontribusi pada peradangan
dengan merekrut neutrofil (dan, dalam tingkat yang lebih rendah, monosit). (B) Pada
beberapa penyakit, limfosit T sitotoksik CD8+ (CTL) membunuh langsung sel-sel jaringan
yang mengekspresikan antigen intraseluler (ditunjukkan sebagai batang orange di dalam sel).
APC, Sel yang menyajikan antigen.

2.3 Tanda dan gejala


Hipersensitivitas merupakan respon yang berlebihan dari sistem
kekebalan tubuh terhadap zat-zat yang pada dasarnya tidak berbahaya
yang terdapat di lingkungan sekitar. Gejala yang umumnya muncul
meliputi sensasi gatal, kulit memerah, timbulnya ruam, urtikaria,
pembengkakan pada bibir, lidah, dan saluran udara (angioedema), rasa
mual, muntah, kram perut, sesak napas, mengi dan bronkospasme,
stridor, serta kejadian sinkop atau pingsan.

2.4 Pemeriksaan diagnostik


Pemeriksaan diagnostik pada kasus hipersensitivitas melibatkan
beberapa tes klinis dan laboratorium untuk mengidentifikasi reaksi
hipersensitivitas terhadap obat-obatan dan faktor lainnya. Beberapa
metode yang digunakan meliputi :

• Tes Kulit : Tes tusuk (prick test) dan tes intradermal (tes lilit)
adalah tes kulit yang umum digunakan. Tes tusuk melibatkan
tusukan kecil pada kulit dengan larutan obat, sementara tes
intradermal melibatkan penyuntikan kecil di bawah lapisan kulit.
Kedua tes ini memeriksa respons kulit terhadap zat yang
dicurigai.
• Tes Provokasi : Tes provokasi dilakukan di bawah pengawasan
medis yang ketat. Ini melibatkan pemberian dosis kecil zat yang
dicurigai dapat memicu reaksi hipersensitivitas. Tes ini
membantu mengkonfirmasi kehadiran reaksi hipersensitivitas
terhadap obat atau zat tertentu.
• Tes Basofil Aktivasi (BAT) : Metode ini melibatkan pengujian
basofil dalam darah untuk mendeteksi reaksi hipersensitivitas
terhadap beberapa jenis obat tertentu. Tes ini penting dalam
situasi di mana tes in vitro lainnya tidak tersedia.
• Tes Lymphocyte Activation Test (LAT) : Tes ini mengaktifkan
limfosit dengan antigen yang dicurigai dan mengukur
responsnya. Ini membantu mengidentifikasi reaksi
hipersensitivitas pada tingkat seluler.
• Tes Transformasi Lymfosit (LTT) : Tes ini juga menguji
respons limfosit terhadap antigen yang dicurigai untuk
mengidentifikasi reaksi hipersensitivitas. Ini sering digunakan
dalam penelitian atau kasus-kasus tertentu di mana respons
limfosit terhadap zat tertentu penting.

2.5 Komplikasi dan prognosis kasus hipersensitivitas


A. Hipersensitivitas tipe 1 (Anafilaksis)

Anafilaksis adalah kondisi darurat yang berpotensi mengancam


jiwa karena adanya reaksi hipersensitivitas yang melibatkan seluruh
tubuh. Biasanya dimulai dengan gejala di kulit dan pernapasan, seperti
rasa gatal, ruam merah yang gatal (urtikaria), pembengkakan di bawah
kulit (angioedema), kesulitan bernapas (mengi), dan sesak napas
(dispnea). Gejala ini kemudian berkembang menjadi masalah pada
sistem tubuh secara keseluruhan yang dapat menyebabkan kegagalan
fungsi organ-organ utama dan berpotensi berujung pada kematian.

Komplikasi dari anafilaksis dapat meliputi gangguan pernapasan


serius, penurunan kadar oksigen dalam darah, penurunan tekanan
darah, kegagalan multiorgan, dan dalam kasus ekstrim, kematian.
Pasien dengan penyakit jantung koroner yang mengalami hipoksia
dan hipotensi berisiko mengalami kerusakan pada otot jantung.
Hipoksia yang berkelanjutan juga berpotensi merusak jaringan otak,
meningkatkan risiko cedera akibat kehilangan koordinasi dan pingsan.

Dalam banyak kasus, prognosis anafilaksis baik jika pasien segera


mendapat penanganan medis dan pemantauan yang tepat. Kematian
akibat anafilaksis jarang terjadi, hanya sekitar 1% yang memerlukan
perawatan di rumah sakit, dan hanya 0,1% dari kunjungan ke unit
gawat darurat yang berakhir dengan kematian. Akses cepat ke layanan
medis dan tindakan yang diberikan terutama dalam satu jam pertama
setelah kejadian sangat penting dalam keselamatan dan pemulihan
pasien.
B. Hipersensitivitas tipe 2 (Demam Rematik Akut)

Demam rematik merupakan reaksi autoimun yang timbul setelah


infeksi oleh bakteri Streptococcus A beta-hemolitikus grup A
(GABHS). Ini dapat menyebabkan komplikasi jantung serius seperti
kerusakan katup, gagal jantung, dan endokarditis. Prognosis
tergantung pada pengobatan yang cepat; tanpa perawatan yang tepat,
dapat terjadi komplikasi jantung yang berpotensi mengancam jiwa..

C. Hipersensitivitas tipe 3 (Eritema Multiforme tipe


minor)
Eritema multiforme adalah kondisi kulit yang bersifat akut, terbatas
dalam waktu tertentu, dan sering kambuh, sering kali terkait dengan
respons tubuh yang berlebihan terhadap infeksi atau obat. Terdapat
dua jenis eritema multiforme, yakni tipe minor dan mayor. Tipe minor
menunjukkan gambaran eritema multiforme dengan atau tanpa satu
lesi di membran mukosa, sedangkan tipe mayor melibatkan dua atau
lebih membran mukosa. Eritema multiforme tipe minor terjadi karena
reaksi hipersensitivitas tipe 3, sedangkan tipe mayor dapat berasal dari
proses autoimun atau merupakan perkembangan lebih lanjut dari tipe
minor.

Prognosis eritema multiforme dipengaruhi oleh luasnya area kulit


yang terkena, jenis lesi, dan tingkat keparahan penyakit. Lesi pada
mukosa umumnya sembuh tanpa bekas, sementara lesi pada kulit bisa
meninggalkan luka.

Komplikasi eritema multiforme dapat meliputi dehidrasi dan


ketidakseimbangan elektrolit karena kesulitan dalam makan dan
minum akibat lesi di daerah mulut. Ketika lesi memengaruhi mukosa
mata, dapat terjadi komplikasi seperti keratitis, konjungtivitis, dan
masalah penglihatan. Lesi pada mukosa saluran pernapasan dapat
menyebabkan esofagitis dan pneumonia, meskipun hal ini jarang
terjadi.

D. Hipersensitivitas tipe 4 (Dermatitis Kontak Alergi)


Dermatitis kontak alergi adalah peradangan kulit yang terjadi
sebagai respons terhadap reaksi alergi atau hipersensitivitas tipe
lambat (tipe 4) terhadap zat alergen tertentu. Paparan berulang
terhadap alergen ini mengakibatkan aktivasi sel T khusus, yang
kemudian menyebabkan gejala klinis seperti gatal-gatal, kemerahan
kulit (eritema), pembengkakan (edema), benjolan kecil (papul),
gelembung berisi cairan (vesikel), retakan pada kulit (fisura),
perubahan pola garis kulit (likenifikasi), bahkan perubahan warna
kulit (pigmentasi). Gejala ini tidak hanya terbatas pada area kontak
langsung dengan alergen, tetapi juga dapat menyebar ke area tubuh
lainnya.

Dermatitis kontak alergi dapat meninggalkan perubahan pigmen


pada kulit, baik berupa area yang lebih terang (hipopigmentasi) atau
lebih gelap (hiperpigmentasi), yang bisa mengganggu secara
kosmetik. Lesi juga rentan terhadap infeksi sekunder karena
kerusakan pada lapisan pelindung kulit. Penggunaan antibiotik topikal
umumnya diperlukan untuk mengatasi infeksi.

Prognosis dermatitis kontak alergi tergantung pada paparan alergen.


Jika pasien bisa menghindari paparan alergen, kemungkinan
dermatitis berulang dapat diminimalkan. Tetapi jika alergen tidak
teridentifikasi atau paparan terus terjadi, misalnya karena pekerjaan,
maka dermatitis mungkin akan berlanjut atau kambuh. Kasus
berkepanjangan diyakini memerlukan waktu lebih lama untuk
sembuh. Pada beberapa situasi, neurodermatitis dapat berkembang, di
mana pasien cenderung terus menggaruk atau menggosok area yang
terkena dermatitis kontak alergi.

2.6 Penyakit yang berhubungan dengan hipersensitivitas


A. Hipersensitivitas tipe 1

Reaksi hipersensitivitas cepat dapat menunjukkan gejala dalam


bentuk gangguan sistemik atau terlokalisasi (Tabel 1), tergantung
pada cara paparan antigen. Paparan antigen protein secara sistemik
seperti lebah atau penisilin dapat menyebabkan anafilaksis. Gejala
termasuk gatal, ruam (urtikaria), dan kemerahan kulit, disertai dengan
kesulitan bernapas akibat penyempitan saluran napas
(bronkokonstriksi) dan edema laring. Bagian sistem pencernaan juga
dapat terpengaruh dengan munculnya muntah, kram perut, dan diare.
Tanpa perawatan cepat, anafilaksis bisa mengakibatkan syok,
kegagalan sirkulasi, dan kematian.

Reaksi lokal terjadi ketika antigen hanya mempengaruhi area


spesifik seperti kulit (kontak), saluran pencernaan (tertelan), atau
paru-paru (terhirup). Dermatitis atopik, alergi makanan, demam
serbuk sari, dan beberapa jenis asma adalah contoh reaksi
terlokalisasi. Meskipun demikian, terkadang paparan alergen melalui
penelan atau inhalasi juga bisa menyebabkan reaksi sistemik.

B. Hipersensitivitas tipe 2

Hipersensitivitas tipe II yang disebabkan oleh antibodi terjadi ketika


antibodi menargetkan antigen pada permukaan sel atau komponen
jaringan lainnya. Antigen tersebut bisa berupa molekul normal yang
merupakan bagian integral dari membran sel atau matriks
ekstraseluler. Selain itu, antigen juga dapat berasal dari luar tubuh
(antigen eksogen), seperti metabolit obat yang diserap. Jenis reaksi ini
menjadi pemicu beberapa penyakit penting (Tabel 2).
C. Hipersensitivitas tipe 3

Berikut beberapa contoh gangguan kompleks imun beserta antigen


yang terlibat yang terdaftar dalam (Tabel 3). Penyakit yang

disebabkan oleh gangguan kompleks imun biasanya memiliki sifat


sistemik, sering kali memengaruhi ginjal (glomerulonefritis), sendi
(artritis), dan pembuluh darah kecil (vaskulitis), yang merupakan
lokasi umum bagi deposisi kompleks imun.

D. Hipersensitivitas tipe 4
Kelainan autoimun serta reaksi patologis terhadap bahan kimia di
lingkungan dan mikroba yang bersifat menetap, saat ini diidentifikasi
sebagai hasil dari aktivitas reaksi sel T (Tabel 4).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Reaksi hipersensitivitas merupakan respons
berlebihan dari sistem kekebalan tubuh terhadap zat
atau lingkungan yang dianggap asing oleh tubuh. Jenis
reaksi ini dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe,
yaitu tipe I (reaksi alergi), tipe II (hipersensitivitas
sitotoksik), tipe III (hipersensitivitas kompleks imun),
dan tipe IV (hipersensitivitas selular). Masing-masing tipe
reaksi tersebut memiliki karakteristik dan mekanisme
respons kekebalan tubuh yang berbeda, yang
menyebabkan manifestasi gejala yang beragam dan
terkadang dapat bersifat ringan hingga mengancam jiwa.
Pemahaman mendalam tentang berbagai jenis reaksi
hipersensitivitas sangat penting untuk mengidentifikasi,
mencegah, serta memberikan penanganan yang sesuai
terhadap kondisi ini.
3.2 Saran
Saya sebagai penulis memohon saran dan kritikannya
guna untuk menyempunakan tugas makalah saya
dengan judul “Kulitku merah dan gatal”.
DAFTAR PUSTAKA
Romano, A., Torres, M. J., Castells, M., Sanz, M. L., & Blanca, M.
(2011). Diagnosis and management of drug hypersensitivity
reactions. The Journal of allergy and clinical immunology, 127(3
Suppl), S67–S73. https://doi.org/10.1016/j.jaci.2010.11.047
Dougherty, J. M., Alsayouri, K., & Sadowski, A. (2023). Allergy. In
StatPearls. StatPearls Publishing.
Mikhail, I., Stukus, D. R., & Prince, B. T. (2021). Fatal Anaphylaxis:
Epidemiology and Risk Factors. Current allergy and asthma reports,
21(4), 28. https://doi.org/10.1007/s11882-021-01006-x
Murphy, P. B., Atwater, A. R., & Mueller, M. (2023). Allergic Contact
Dermatitis. In StatPearls. StatPearls Publishing.
Sokumbi, O., & Wetter, D. A. (2012). Clinical features, diagnosis, and
treatment of erythema multiforme: a review for the practicing
dermatologist. International journal of dermatology, 51(8), 889–902.
https://doi.org/10.1111/j.1365-4632.2011.05348.x
Chowdhury, M. D. S., Koziatek, C. A., & Rajnik, M. (2023). Acute
Rheumatic Fever. In StatPearls. StatPearls Publishing.
Karnen Garna Baratawidjaja, I. R. (2014). Imunologi Dasar. In S. Setiati,
I. Alwi, A. W. Sudoyo, & M. S. K., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I Edisi VI (pp. 83-92). Jakarta: InternaPublishing.
Kumar, V., Abbas, A. K., & Aster, J. C. (2018). Robbins Basic Pathology
10th ed. Philadelphia: Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai