Dosen Pengampu :
1. Lina Rihartin
2. Maghfirah Dwi P
3. Mayang Tri R
4. Mela Marsela
5. Mochamad Nurdin C
6. Nida Nur Amalia
7. Nisaroha
8. Nur Agisni M.A
9. Yulia Dewi
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena
Obat”. Penyusunan makalah ini bertujuan sebagai penunjang mata kuliah KMB II
pengetahuannya.
dimiliki sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, masukan,
saran, kritik, dan usul yang sifatya untuk perbaikan dari berbagai pihak khususnya
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
3.1 Kesimpulan...........................................................................................13
3.2 Saran .....................................................................................................13
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Alergi adalah salah satu penyakit yang sering dijumpai di masyarakat. Alergi
merupakan suatu kondisi reaksi hipersensitivitas yang terjadi ketika sistem imun
bekerja secara berlebihan terhadap bahan yang umumnya tidak menimbulkan
reaksi pada orang normal. Bahan penyebab alergi disebut alergen yaitu
misalnya debu, jamur, tungau, bulu binatang, atau makanan, seperti kacang-
kacangan, telur, kerang, ikan dan susu. (Elshemy, 2013)
Setiap individu memiliki sistem imun yang berbeda. Semakin lemah sistem
imun seseorang maka orang tersebut semakin rentan untuk terkena penyakit. Efek
paparan alergen pun bervariasi dari satu individu terhadap individu lainnya.
Kondisi alergi ditandai oleh beberapa gejala seperti gatal pada area tubuh tertentu,
mual, muntah, hingga sesak nafas dan kondisi terburuk adalah kematian.
Gejala yang muncul tergantung dari bagian tubuh yang terpapar alergen. Jika
mengenai saluran pernafasan dapat terjadi batuk, hidung gatal, pilek, kongesti
hidung, dan mengi. Alergi makanan berhubungan dengan gejala mual, muntah,
nyeri perut dan diare. Alergi pada kulit dapat menimbulkan lesi, kemerahan,
bula, rasa gatal dan lain sebagainya. (Elshemy, 2013)
Reaksi hipersensitivitas obat termasuk dalam reaksi adversi obat yang tidak
dapat diduga. Reaksi adversi obat dapat dibedakan menjadi tipe A
(farmakologi/toksik) dan tipe B (hipersensitivitas). Manifestasi penyakit pada tipe
A dapat diprediksi, bergantung pada dosis obat, efek toksik dari obat pada dosis
yang disarankan atau dosis yang berlebihan. Tipe B memiliki manifestasi klinis
yang tidak dapat di duga dan berbeda tiap individu. Gejala terjadi dalam satu
1
hingga enam jam setelah meminum obat atau beberapa jam hingga hari dengan
gejala yang muncul bisa ringan (bersin) hingga berat (anafilaksis). (Brockow,
2015). Mengingat gejala yang timbul dari reaksi hipersensitivitas sangat
beragam dan bahkan bisa mengancam nyawa, maka diperlukan suatu
pemahaman yang baik terhadap penanganan reaksi hipersensitivitas tersebut.
2
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi Alergi Obat
Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon yang
berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. (Coombs dan Gell).
Alergi obat merupakan suatu kondisi ketika seseorang mengalami berbagai gejala
setelah mendapatkan obat tertentu, baik obat minum, oles, maupun suntik. Alergi
obat adalah reaksi alergi dimana sistem kekebalan tubuh bereaksi secara
berlebihan (abnormal) terhadap obat-obatan tertentu yang di konsumsi oleh
seseorang.
Jadi dapat disumpulkan bahwa alergi obat adalah reaksi berlebihan dari sistem
kekebalan tubuh terhadap obat. Pada individu yang mengalami alergi obat, sistem
kekebalan tubuh bereaksi berlebihan terhadap obat yang digunakan, karena obat
dianggap sebagai benda asing yang dapat membahayakan tubuh. Obat yang
mampu memicu alergi bisa berupa obat herbal, obat yang dijual bebas dari apotek,
maupun dari resep dokter. Namun, ada beberapa obat yang lebih berisiko memicu
alergi obat.
3
d. Adanya penyakit tertentu yang berkaitan dengan alergi obat, misalnya HIV
2.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis alergi obat dapat di klasifiasikan menurut organ yang
terkena atau yang menurut mekanisme kerusakan jaringan akibat jaringan
imunologik (Gell dan Comb) ( tipe 1 sd IV). Untuk memudakan pengertian
pathogenesis dan pengobatannya.
1. Tipe I (hipersensitivitas tipe cpat)
Manifestasi klinis yang terjadimerupakan efek mediator kimia yang
menyebabkan kontraksi otot polos,meningkatnya permeabilitas kapiler
serta hpersekresi kelenjar mucus.
a. Kejang bronkus yang gejalanya berupa sesak, kadang-kadang kejang
bronkus disertai kejang farings. Bila keadaan ini juga disertai edema
larings bisa sangat gawat karena penderita tidak dapat atau sulit
bernafas.
b. Urtikaria
c. Angioedema
d. Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilaktik dapat terjadi beberapa
menit setelah suntikan seperti penisilin.
Menifestasi klinis renjatan anafilaktik dapat terjadi dalam waktu 30
menit setelah pemberian obat. Karena hal tersebut mengenai beberapa
organ dan secara potensial membahayakan, rekasi ini sering disebut
sebagai anafilaksis. Penyebabnya yang tersering adalah penisilin.
2. Tipe II
Manifestasi klinistipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia
hemolitik, trombositopena, eosinofilia dan granulositopenia. Nefritis
interstial dapat juga merupakan reaksi alergi tipe ini.
3. Tipe III
Manifestasi klinis tipe III dapat berupa :
1. Urtikaria, angiodema, mekulopapula, eritem multiforme, dan lain-lain.
Gejala tersebut sering disertai pruritus.
2. Demam
3. Kelainan seni, artralia, dan efusi sendi
4
4. Limfadenopati
5. Lain-lain :
- kejang perut, mual
- neuritis optic
- glomerulonefritis
- gejala veskulitis lain
Gejala timbul 5 sampai 20 hari setelah pemberian obat, terapi bila
sebelumnya pernah mendapat obat tersebut, gejala dapat timbul dalam
waktu 1-5 hari.
4. Tipe IV
Manifestasinya dapat berupa reaksi paru akut, seperti : demam,sesak,batuk
dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebaban reaksi ini yaitu
nitrofurantoin. Nefritis in terstistial dan hepatitis juga dapat merupakan
manifestasi reaksi alergi obat.
Namun demikian dermatitis merupakan manifestasi yang paling sering.
Kadang-kadang gejala baru timbul bertahun-tahun setelah sensititasi.
Contohnya pemakaian obat topical (sulfa, penisilin, atau antihistamin).
Bila penderita telah sensitif, gejala dapat muncul 18-24 jam setelah obat
dioleskan.
2.4 Diagnosis Alergi Obat
1. Anamnesis
5
b) Riwayat pemakaian obat masa lampau dan catat bila ada reaksi.
c) Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat sampai
timbulnya gejala. Pada reaksi anafilaksis gejala timbul segera, tetapi
kadang-kadang gejala alergi obat baru timbul 7 - 10 hari setelah
pemakaian pertama.
d) Mencatat lama pemakaian serta riwayat pemakaian obat sebelumnya.
Alergi obat sering timbul bila obat diberikan secara berselang-seling,
berulang-ulang, serta dosis tinggi secara parenteral.
e) Manifestasi klinis alergi obat sering dihubungkan dengan jenis obat
tertentu.
f) Diagnosis alergi obat sangat mungkin bila gejala menghilang setelah obat
dihentikan dan timbul kembali bila pasien diberikan obat yang sama.
g) Pemakaian obat topikal (salep) antibiotik jangka lama merupakan salah
satu jalan terjadinya sensitisasi obat yang harus diperhatikan.
2. Pemeriksaan Fisik
6
ulang obat
SJS -Demam, nyeri Sulfonamid,
tenggorokan, lelah, nevirapine,
melibatkan okular kortikosteroid,
- Ulkus dan lesi lain pada antikonvulsan,
membran mukosa, seperti NSAIDs (oxicams),
mulut dan bibir, dan area allopurinol, phenytoin,
tubuh lain karbamazepine,
lamotrigine,
barbiturat, agen
psikotropik, pantoprazole,
tramadol
TEN - Mirip SJS, tapi Sama seperti SJS
biasanya melibatkan
epidermal yang
signifikan
- Potensi mengancam
nyawa
Hematologi - Anemia hemolitik, Penisilin,
leukopeni, Trombositopeni sulfonamid,
antikonvulsan,
cephalosporin,
kuinin, heparin, tiazid, gold
salts
Hepatik - Hepatitis, cholestatic Sulfonamid,
jaundice phenothiazin,
karbamazepine,
eritromisin, agen
antituberkulosis,
allopurinol, gold
Renal - Nefritis interstitial, Penisilin,
Glomerulonephritis sulfonamid,
allopurinol, PPIs,
ACE
inhibitors, NSAIDs
Reaksi - Urtikaria/angioedema, Antibiotik,
multiorgan bronkospasme, agen
Anafilaksis gejala gastrointestinal, neuromuscular blocking,
hipotensi anestesi, media
radiokontras, protein
rekombinan (omalizumab)
DRESS - Erupsi kutaneus, Antikonvulsan,
demam, eosinofilia, sulfonamid,
disfungsi hepatik, minosiklin,
limfadenopati allopurinol,
strontium ranelate
Serum - Urtikaria, arthralgia, Heterologous
Sickness demam antibodies,
infliximab, allopurinol,
7
tiazid, antibiotik (cefaclor)
dan bupropion
DILE - Arthralgia, mialgia, Hidralazine,
demam, Malaise prokainamid,
isoniazid, kuinidin,
minosiklin, antibiotik, dan
agen anti–TNF-alpha
Vaskulitis - Vaskulitis kutaneous Sulfonamid antibiotik
atau Visceral dan
diuretik,
hidralazine, penisilamine,
propylthiouracil
Ket :
ACE: angiotensin-converting enzyme; NSAIDs: non-steroid anti-inflammatory
drugs; SJS: Stevens-Johnson syndrome; TEN: Toxic Epidermal Necrolysis;
DRESS: Drug rash with eosinophilia and systemic symptoms; DILE:
drug-induced lupus erythematosus; ASA: acetylsalicylic acid; PPIs: proton
pump inhibitors; TNF: Tumour Necrosis Factor
8
3. Pemeriksaan Penunjang
Prosedur tes kulit, seperti skin prick testing (SPT) dan tes intradermal (tes
dimana alergen diinjeksikan ke dalam dermis kulit) berguna untuk diagnosis
reaksi IgE-mediated (tipe I). Protokol tes kulit yang sudah terstandarisasi untuk
penisilin dan juga anastesi lokal, muscle relaxants, dan sangat sensitif untuk
substansi protein dengan berat molekul yang besar, seperti insulin atau antibodi
monoklonal. Tes kulit positif terhadap obat mengkonfirmasi adanya spesifik
antigen IgE dan mendukung diagnosis reaksi hipersensitivitas tipe I. Nilai
prediktif negatif dari tes kulit terhadap penisilin sangat tinggi dengan reagen yang
sesuai dan karenanya hasil tes negatif berguna untuk menyingkirkan alergi
penisilin. Tes kulit negatif terhadap agen lainnya (kecuali protein berat molekul
yang besar) tidak efektif untuk menyingkirkan keberadaan spesifik
IgE.(Warrington, 2011)
Uji kulit yang ada pada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat
(penisilin, insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat-obat yang lain masih
9
diragukan nilainya (Romano, 2011) Hal ini terjadi dikarenakan beberapa hal,
antara lain (Djauzi, 2006):
Pemeriksaan untuk diagnosis reaksi sitolitik (tipe II), seperti pada anemia
hemolitik dapat ditunjang dengan pemeriksaan Coombs indirek, sedangkan
trombositopenia dengan pemeriksaan fiksasi komplemen atau reaksi aglutinasi.
Pemeriksaan hemaglutinasi dan komplemen dapat menunjang reaksi obat tipe III.
Dibuktikan dengan adanya antibodi IgG atau IgM terhadap obat. Sedangkan
pemeriksaan laboratorium untuk reaksi alergi tipe IV selain sangat rumit, hasilnya
pun sering tidak memuaskan. (Djauzi, 2006)
10
2.5 Pengobatan Untuk Alergi Obat
1. Hentikan pemakaian obat yang menyebabkan alergi/ yang di curigai
Obat-obat tersebut dapat diandalkan untuk mencegah reaksi yang ringan yang
biasanya merupakan gejala dan tidak bisa diandalkan untuk mencegah reaksi yang
fatal.
Alergi obat dapat diatasi dengan menghindari konsumsi jenis obat yang
menjadi pencetusnya dan obat lain yang berpotensi alergi karena kemiripan bahan
dasarnya. Tanyakan selalu pada dokter yang menangani, jenis obat yang harus
dihindari.
Bila reaksi alergi sudah terlanjur terjadi, pengobatan yang dapat diberikan
umumnya meliputi pemberian antihistamin untuk menekan respons alergi tubuh.
Reaksi anafilaksis harus ditangani segera dengan obat epinefrin atau adrenalin
untuk menghindari akibat fatal. Reaksi anafilaksis yang mengancam nyawa adalah
efek atau komplikasi terberat dari alergi obat.
11
desensitisasi harus dilakukan di bawah pengawasan ketat dokter mengingat reaksi
alergi dapat terjadi sewaktu- waktu.
Pencegahan reaksi alergi obat dapat dilakukan dengan mengetahui secara pasti
jenis obat pencetus alergi. Selalu informasikan pula hal ini kepada tenaga medis
setiap kali seorang penyandang alergi berobat. Hal ini dilakukan agar obat yang
diberikan kemudian bebas dari bahan-bahan yang dapat memicu reaksi alergi.
12
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Alergi obat merupakan suatu kondisi ketika seseorang mengalami berbagai
gejala setelah mendapatkan obat tertentu, baik obat minum, oles, maupun suntik.
Alergi obat adalah reaksi alergi dimana sistem kekebalan tubuh bereaksi secara
berlebihan (abnormal) terhadap obat-obatan tertentu yang di konsumsi oleh
seseorang.
Strategi yang efektif untuk manajemen alergi obat adalah dengan menghindari
atau menghentikan pemakaian obat yang dicurigai. Bila pada saat itu pasien
memakai bermacam-macam obat, kalau mungkin semuanya dihentikan. Tetapi
bila tidak, dapat diberikan obat yang esensial saja dan diketahui paling kecil
kemungkinannya menimbulkan reaksi alergi. Dapat juga diberikan obat lain yang
struktur imunokimianya berlainan.
3.2 Saran
Diharapkan pada setiap pembaca memberikan saran dan kritik yang membangun
demi kesempurnaan makalah ini.
13
DAFTAR PUSTAKA
2010;105(4):259-73.
Immunology. 2011;7(1):1-8.
Immunol. 2011;127(3):67-73.
AW, Setiyohadi B, Alwi I, K. MS, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
2006;185(6):333-338.
J Int. 2015;24:94-105.
14
15