Anda di halaman 1dari 18

ALERGI OBAT

Makalah ini disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok


Mata Kuliah Keperawatan KMB II Semester V

Dosen Pengampu :

Disusun oleh Kelompok 3 Tingkat 3B:

1. Lina Rihartin
2. Maghfirah Dwi P
3. Mayang Tri R
4. Mela Marsela
5. Mochamad Nurdin C
6. Nida Nur Amalia
7. Nisaroha
8. Nur Agisni M.A
9. Yulia Dewi

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN.

AKADEMI KEPERAWATAN MUHAMMADIYAH CIREBON

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena

berkat rahmat-Nya penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Alergi

Obat”. Penyusunan makalah ini bertujuan sebagai penunjang mata kuliah KMB II

yang nantinya dapat digunakan mahasiswa untuk menambah wawasan dan

pengetahuannya.

Penyusun menyadari bahwa dalam proses penyusunan makalah ini masih

jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penyusunanya. Namun

demikian, penyusun telah berupaya dengan kemampuan dan pengetahuan yang

dimiliki sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, masukan,

saran, kritik, dan usul yang sifatya untuk perbaikan dari berbagai pihak khususnya

Bapak/Ibu sangat diharapkan untuk penyempurnaan makalah ini.

Harapan penyusun semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan

pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk

maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Cirebon, September 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................................1

1.1 Latar Belakang .......................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................2

1.3 Tujuan Penulisan ....................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN TEORI .....................................................................................2

2.1Definisi Alergi Obat ................................................................................3


2.2 Faktor-Faktor yang mempengaruhui alergi obat ...................................3
2.3 Manifestasi Klinis ..................................................................................4
2.4 Diagnosis Alergi Obat ............................................................................5
2.5 Pengobatan Untuk Alergi Obat ............................................................11
2.6 Pencegahan Untuk Seseorang Yang Mengalami Alergi Obat..............12

BAB 3 PENUTUP .................................................................................................13

3.1 Kesimpulan...........................................................................................13
3.2 Saran .....................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................14

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Alergi adalah salah satu penyakit yang sering dijumpai di masyarakat. Alergi
merupakan suatu kondisi reaksi hipersensitivitas yang terjadi ketika sistem imun
bekerja secara berlebihan terhadap bahan yang umumnya tidak menimbulkan
reaksi pada orang normal. Bahan penyebab alergi disebut alergen yaitu
misalnya debu, jamur, tungau, bulu binatang, atau makanan, seperti kacang-
kacangan, telur, kerang, ikan dan susu. (Elshemy, 2013)

Diperkirakan 10-20% penduduk di dunia pernah atau sedang menderita


penyakit tersebut. Lebih dari 25% populasi di negara industri menderita alergi.
Berdasarkan data dari Asthma and Allergic Foundation of America, alergi
menempati urutan ke enam sebagai pencetus dari penyakit kronis di Amerika.
(Elshemy, 2013)

Setiap individu memiliki sistem imun yang berbeda. Semakin lemah sistem
imun seseorang maka orang tersebut semakin rentan untuk terkena penyakit. Efek
paparan alergen pun bervariasi dari satu individu terhadap individu lainnya.
Kondisi alergi ditandai oleh beberapa gejala seperti gatal pada area tubuh tertentu,
mual, muntah, hingga sesak nafas dan kondisi terburuk adalah kematian.
Gejala yang muncul tergantung dari bagian tubuh yang terpapar alergen. Jika
mengenai saluran pernafasan dapat terjadi batuk, hidung gatal, pilek, kongesti
hidung, dan mengi. Alergi makanan berhubungan dengan gejala mual, muntah,
nyeri perut dan diare. Alergi pada kulit dapat menimbulkan lesi, kemerahan,
bula, rasa gatal dan lain sebagainya. (Elshemy, 2013)

Reaksi hipersensitivitas obat termasuk dalam reaksi adversi obat yang tidak
dapat diduga. Reaksi adversi obat dapat dibedakan menjadi tipe A
(farmakologi/toksik) dan tipe B (hipersensitivitas). Manifestasi penyakit pada tipe
A dapat diprediksi, bergantung pada dosis obat, efek toksik dari obat pada dosis
yang disarankan atau dosis yang berlebihan. Tipe B memiliki manifestasi klinis
yang tidak dapat di duga dan berbeda tiap individu. Gejala terjadi dalam satu

1
hingga enam jam setelah meminum obat atau beberapa jam hingga hari dengan
gejala yang muncul bisa ringan (bersin) hingga berat (anafilaksis). (Brockow,
2015). Mengingat gejala yang timbul dari reaksi hipersensitivitas sangat
beragam dan bahkan bisa mengancam nyawa, maka diperlukan suatu
pemahaman yang baik terhadap penanganan reaksi hipersensitivitas tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan alergi obat?
2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhui alergi obat?
3. Apa saja manifestasi klinis?
4. Apa saja diagnosis alergi obat?
5. Apa saja pengobatan untuk alergi obat?
6. Apa saja pencegahan untuk seseorang yang mengalami alergi obat?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian alergi obat.


2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhui alergi obat
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis
4. Untuk mengetahui diagnosis alergi obat
5. Untuk mengetahui pengobatan untuk alergi obat
6. Untuk mengetahui pencegahan untuk seseorang yang mengalami alergi
obat.

2
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi Alergi Obat

Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon yang
berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. (Coombs dan Gell).
Alergi obat merupakan suatu kondisi ketika seseorang mengalami berbagai gejala
setelah mendapatkan obat tertentu, baik obat minum, oles, maupun suntik. Alergi
obat adalah reaksi alergi dimana sistem kekebalan tubuh bereaksi secara
berlebihan (abnormal) terhadap obat-obatan tertentu yang di konsumsi oleh
seseorang.

Alergi obat adalah reaksi hipersensitivitas yang melibatkan mekanisme imun


(IgE atau T cell-mediated atau jarang melibatkan kompleks imun atau reaksi
sitotoksik). Semua kasus reaksi hipersensitivitas obat tanpa melalui mekanisme
imun (5%-10%) atau proses imunologis tidak terbukti, maka diklasifikasikan
sebagai reaksi hipersensitivitas non-imun (Thien FCK, 2006).

Jadi dapat disumpulkan bahwa alergi obat adalah reaksi berlebihan dari sistem
kekebalan tubuh terhadap obat. Pada individu yang mengalami alergi obat, sistem
kekebalan tubuh bereaksi berlebihan terhadap obat yang digunakan, karena obat
dianggap sebagai benda asing yang dapat membahayakan tubuh. Obat yang
mampu memicu alergi bisa berupa obat herbal, obat yang dijual bebas dari apotek,
maupun dari resep dokter. Namun, ada beberapa obat yang lebih berisiko memicu
alergi obat.

2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhui Alergi Obat


Beberapa faktor risiko membuat seseorang cenderung lebih mudah mengalami
alergi obat, yaitu:

a. Adanya riwayat alergi, misalnya alergi makanan


b. Riwayat alergi obat dalam keluarga
c. Penggunaan obat dalam jangka waktu lama, dosis tinggi, atau penggunaan
berulang-ulang

3
d. Adanya penyakit tertentu yang berkaitan dengan alergi obat, misalnya HIV
2.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis alergi obat dapat di klasifiasikan menurut organ yang
terkena atau yang menurut mekanisme kerusakan jaringan akibat jaringan
imunologik (Gell dan Comb) ( tipe 1 sd IV). Untuk memudakan pengertian
pathogenesis dan pengobatannya.
1. Tipe I (hipersensitivitas tipe cpat)
Manifestasi klinis yang terjadimerupakan efek mediator kimia yang
menyebabkan kontraksi otot polos,meningkatnya permeabilitas kapiler
serta hpersekresi kelenjar mucus.
a. Kejang bronkus yang gejalanya berupa sesak, kadang-kadang kejang
bronkus disertai kejang farings. Bila keadaan ini juga disertai edema
larings bisa sangat gawat karena penderita tidak dapat atau sulit
bernafas.
b. Urtikaria
c. Angioedema
d. Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilaktik dapat terjadi beberapa
menit setelah suntikan seperti penisilin.
Menifestasi klinis renjatan anafilaktik dapat terjadi dalam waktu 30
menit setelah pemberian obat. Karena hal tersebut mengenai beberapa
organ dan secara potensial membahayakan, rekasi ini sering disebut
sebagai anafilaksis. Penyebabnya yang tersering adalah penisilin.
2. Tipe II
Manifestasi klinistipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia
hemolitik, trombositopena, eosinofilia dan granulositopenia. Nefritis
interstial dapat juga merupakan reaksi alergi tipe ini.
3. Tipe III
Manifestasi klinis tipe III dapat berupa :
1. Urtikaria, angiodema, mekulopapula, eritem multiforme, dan lain-lain.
Gejala tersebut sering disertai pruritus.
2. Demam
3. Kelainan seni, artralia, dan efusi sendi

4
4. Limfadenopati
5. Lain-lain :
- kejang perut, mual
- neuritis optic
- glomerulonefritis
- gejala veskulitis lain
Gejala timbul 5 sampai 20 hari setelah pemberian obat, terapi bila
sebelumnya pernah mendapat obat tersebut, gejala dapat timbul dalam
waktu 1-5 hari.
4. Tipe IV
Manifestasinya dapat berupa reaksi paru akut, seperti : demam,sesak,batuk
dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebaban reaksi ini yaitu
nitrofurantoin. Nefritis in terstistial dan hepatitis juga dapat merupakan
manifestasi reaksi alergi obat.
Namun demikian dermatitis merupakan manifestasi yang paling sering.
Kadang-kadang gejala baru timbul bertahun-tahun setelah sensititasi.
Contohnya pemakaian obat topical (sulfa, penisilin, atau antihistamin).
Bila penderita telah sensitif, gejala dapat muncul 18-24 jam setelah obat
dioleskan.
2.4 Diagnosis Alergi Obat
1. Anamnesis

Wawancara mengenai riwayat penyakit pasien merupakan cara yang


paling penting untuk diagnosis alergi obat. Kesulitan yang sering timbul yaitu
apakah gejala yang dicurigai timbul sebagai manifestasi alergi obat atau karena
penyakit dasamya. Diagnosis ini dikonfirmasi dengan berbagai pemeriksaan
tambahan, seperti:

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis pasien alergi obat


adalah:

a) Mencatat semua obat yang dipakai pasien termasuk vitamin, tonikum,


dan juga obat yang sebelumnya telah sering dipakai tetapi tidak
menimbulkan gejala alergi obat.

5
b) Riwayat pemakaian obat masa lampau dan catat bila ada reaksi.
c) Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat sampai
timbulnya gejala. Pada reaksi anafilaksis gejala timbul segera, tetapi
kadang-kadang gejala alergi obat baru timbul 7 - 10 hari setelah
pemakaian pertama.
d) Mencatat lama pemakaian serta riwayat pemakaian obat sebelumnya.
Alergi obat sering timbul bila obat diberikan secara berselang-seling,
berulang-ulang, serta dosis tinggi secara parenteral.
e) Manifestasi klinis alergi obat sering dihubungkan dengan jenis obat
tertentu.
f) Diagnosis alergi obat sangat mungkin bila gejala menghilang setelah obat
dihentikan dan timbul kembali bila pasien diberikan obat yang sama.
g) Pemakaian obat topikal (salep) antibiotik jangka lama merupakan salah
satu jalan terjadinya sensitisasi obat yang harus diperhatikan.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang cermat dapat membantu untuk mengetahui


kemungkinan mekanisme yang mendasari reaksi hipersensitivitas dan juga
mengarahkan pada pemeriksaan penunjang dan tes diagnostik yang diperlukan.
Manifestasi klinis yang sering terjadi pada pasien alergi obat dan contoh obat
yang menjadi penyebab dapat dilihat pada Tabel 1. 2

Tabel 1.2 Manifestasi klinis dari alergi obat

Manifestasi Gambaran Klinis Contoh Obat Kausatif


Kulit - Difus, makula dan papul Allopurinol, penisilin,
Exanthema - Terjadi beberapa hari cephalosporin,
pasca inisiasi obat antikonvulsan, sulfonamid
Urtika, -Onset dalam hitungan Antibiotik, ACE inhibitor,
Angioedema menit hingga jam setelah antikonvulsan, agen
administrasi obat neuromuscular blocking,
-Potensial untuk anafilaksis platinum, media
-Seringkali IgE-mediated radiokontras, NSAIDs,
narkotik
Erupsi obat -Plak hiperpigmentasi Antibiotik sulfonamid dan
yang terjadi pada tempat tetrasiklin, NSAIDs, ASA,
yang sama setelah paparan sedatif, agen kemoterapi,

6
ulang obat
SJS -Demam, nyeri Sulfonamid,
tenggorokan, lelah, nevirapine,
melibatkan okular kortikosteroid,
- Ulkus dan lesi lain pada antikonvulsan,
membran mukosa, seperti NSAIDs (oxicams),
mulut dan bibir, dan area allopurinol, phenytoin,
tubuh lain karbamazepine,
lamotrigine,
barbiturat, agen
psikotropik, pantoprazole,
tramadol
TEN - Mirip SJS, tapi Sama seperti SJS
biasanya melibatkan
epidermal yang
signifikan
- Potensi mengancam
nyawa
Hematologi - Anemia hemolitik, Penisilin,
leukopeni, Trombositopeni sulfonamid,
antikonvulsan,
cephalosporin,
kuinin, heparin, tiazid, gold
salts
Hepatik - Hepatitis, cholestatic Sulfonamid,
jaundice phenothiazin,
karbamazepine,
eritromisin, agen
antituberkulosis,
allopurinol, gold
Renal - Nefritis interstitial, Penisilin,
Glomerulonephritis sulfonamid,
allopurinol, PPIs,
ACE
inhibitors, NSAIDs
Reaksi - Urtikaria/angioedema, Antibiotik,
multiorgan bronkospasme, agen
Anafilaksis gejala gastrointestinal, neuromuscular blocking,
hipotensi anestesi, media
radiokontras, protein
rekombinan (omalizumab)
DRESS - Erupsi kutaneus, Antikonvulsan,
demam, eosinofilia, sulfonamid,
disfungsi hepatik, minosiklin,
limfadenopati allopurinol,
strontium ranelate
Serum - Urtikaria, arthralgia, Heterologous
Sickness demam antibodies,
infliximab, allopurinol,

7
tiazid, antibiotik (cefaclor)
dan bupropion
DILE - Arthralgia, mialgia, Hidralazine,
demam, Malaise prokainamid,
isoniazid, kuinidin,
minosiklin, antibiotik, dan
agen anti–TNF-alpha
Vaskulitis - Vaskulitis kutaneous Sulfonamid antibiotik
atau Visceral dan
diuretik,
hidralazine, penisilamine,
propylthiouracil

Ket :
ACE: angiotensin-converting enzyme; NSAIDs: non-steroid anti-inflammatory
drugs; SJS: Stevens-Johnson syndrome; TEN: Toxic Epidermal Necrolysis;
DRESS: Drug rash with eosinophilia and systemic symptoms; DILE:
drug-induced lupus erythematosus; ASA: acetylsalicylic acid; PPIs: proton
pump inhibitors; TNF: Tumour Necrosis Factor

8
3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Penunjang Umum

Pemeriksaan penunjang umum berdasarkan indikasi diantaranya adalah


pemeriksaan darah perifer lengkap dengan hitung jenis, laju endap darah, c-
reactive protein, tes autoantibodi, tes imunologis khusus, pemeriksaan rontgen dan
elektrokardiografi. Jika reaksi alergi obat melibatkan ginjal, maka diperlukan
pemeriksaan urinalisis untuk mencari proteinuria, eosinofil dan casts pada urin.
Adanya eosinofil pada urin dan peningkatan kadar total IgE dapat mengarahkan
kepada adanya nefritis interstitial. Jika ada kecurigaan vaskulitis yang disebabkan
alergi obat, maka perlu dilakukan pemeriksaan laju endap darah, C-reactive
protein, tes komplemen dan beberapa tes autoantibodi seperti antinuclear antibody
(ANA), antinuclear cytoplasmic antibody (c-ANCA),dan perinuclear cytoplasmic
antibody (p-ANCA). Hasil tes ANA yang positif mengarahkan kepada diagnosis
dari sindrom lupus imbas obat. (Joint Task Force on Practice Parameters, 2010)

b. Pemeriksaan Penunjang Khusus

Prosedur tes kulit, seperti skin prick testing (SPT) dan tes intradermal (tes
dimana alergen diinjeksikan ke dalam dermis kulit) berguna untuk diagnosis
reaksi IgE-mediated (tipe I). Protokol tes kulit yang sudah terstandarisasi untuk
penisilin dan juga anastesi lokal, muscle relaxants, dan sangat sensitif untuk
substansi protein dengan berat molekul yang besar, seperti insulin atau antibodi
monoklonal. Tes kulit positif terhadap obat mengkonfirmasi adanya spesifik
antigen IgE dan mendukung diagnosis reaksi hipersensitivitas tipe I. Nilai
prediktif negatif dari tes kulit terhadap penisilin sangat tinggi dengan reagen yang
sesuai dan karenanya hasil tes negatif berguna untuk menyingkirkan alergi
penisilin. Tes kulit negatif terhadap agen lainnya (kecuali protein berat molekul
yang besar) tidak efektif untuk menyingkirkan keberadaan spesifik
IgE.(Warrington, 2011)

Uji kulit yang ada pada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat
(penisilin, insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat-obat yang lain masih

9
diragukan nilainya (Romano, 2011) Hal ini terjadi dikarenakan beberapa hal,
antara lain (Djauzi, 2006):

a) Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismenya dan


bukan oleh obat aslinya, sehingga bila kita melakukan uji kulit dengan
obat aslinya, hasilnya kurang dapat dipertanggung jawabkan kecuali
penisilin yang telah diketahui hasil metabolismenya serta obat-obat yang
mempunyai berat molekul besar (insulin, hormon adrenokortikotropik,
serum serta vaksin yang mengandung protein telur).
b) Beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya histamin
(kodein, tiamin), sehingga uji positif yang tejadi adalah semu (false
positive).
c) Konsentrasi obat terlalu tinggi, juga menimbukan hasil positif semu.
Sebagian besar obat mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya
merupakan hapten, oleh sebab itu sukar untuk menentukan antigennya.
(Djauzi, 2006)

Seperti telah dibicarakan sebelumnya, reaksi alergi obat tipe I terutama


ditunjang dengan pemeriksaan uji kulit, sayangnya uji tersebut hanya terbatas
pada beberapa macam obat. Pemeriksaan Radio Allergo Sorbent test (RAST)
yaitu pemeriksaan untuk menentukan adanya IgE spesifik terhadap berbagai
antigen. Tetapi untuk obat, jenis antigennya juga terbatas. Pemeriksaan ini
berguna pada kasus-kasus dengan risiko tinggi seperti pada pasien yang mungkin
timbul bila dilakukan uji kulit atau bila tidak dapat dilakukan uji kulit. (Djauzi,
2006)

Pemeriksaan untuk diagnosis reaksi sitolitik (tipe II), seperti pada anemia
hemolitik dapat ditunjang dengan pemeriksaan Coombs indirek, sedangkan
trombositopenia dengan pemeriksaan fiksasi komplemen atau reaksi aglutinasi.
Pemeriksaan hemaglutinasi dan komplemen dapat menunjang reaksi obat tipe III.
Dibuktikan dengan adanya antibodi IgG atau IgM terhadap obat. Sedangkan
pemeriksaan laboratorium untuk reaksi alergi tipe IV selain sangat rumit, hasilnya
pun sering tidak memuaskan. (Djauzi, 2006)

10
2.5 Pengobatan Untuk Alergi Obat
1. Hentikan pemakaian obat yang menyebabkan alergi/ yang di curigai

Tindakan pertama adalah menghentikan pemakaian obat yang dicurigai.


Frekuensi alergi obat ternyata tidak berjauh beda antara penderita atopi atau non
atopi, tetapi penderita riwayat penyakit alaergi tipe I (atopi) seperti asma alergik
atau eksim, lebih besar 3 sampai 10 kali kemungkinanya untuk mendapat reaksi
anafilaksis.

Disamping kewaspadaan untuk mengenal tanda dini reaksi anafilaktik,


sebelum menyuntik sebaiknya disdiakan dahulu obat-obat untuk menanggulangi
keadaan darurat alergik. Obat-obat tersebut adalah adrenalin, antihistamin,
kortikosteroid, aminofilin dan diazepam yang semuanya dalam bentuk suntikan,
pasien diminta tunggu 20 menit setelah disuntikkan sebelum diperbolehkan
pulang.

Obat-obat tersebut dapat diandalkan untuk mencegah reaksi yang ringan yang
biasanya merupakan gejala dan tidak bisa diandalkan untuk mencegah reaksi yang
fatal.

2. Pada beberapa kasus memerlukan obat untuk meredakan gejala

Alergi obat dapat diatasi dengan menghindari konsumsi jenis obat yang
menjadi pencetusnya dan obat lain yang berpotensi alergi karena kemiripan bahan
dasarnya. Tanyakan selalu pada dokter yang menangani, jenis obat yang harus
dihindari.

Bila reaksi alergi sudah terlanjur terjadi, pengobatan yang dapat diberikan
umumnya meliputi pemberian antihistamin untuk menekan respons alergi tubuh.
Reaksi anafilaksis harus ditangani segera dengan obat epinefrin atau adrenalin
untuk menghindari akibat fatal. Reaksi anafilaksis yang mengancam nyawa adalah
efek atau komplikasi terberat dari alergi obat.

Tindakan berupa desensitisasi obat dapat dilakukan oleh dokter untuk


mengurangi tingkat sensitivitas alergi yang dialami. Secara bertahap, obat yang
berpotensi menyebabkan alergi akan diberikan. Dimulai dengan dosis terendah.
Bila tidak ada reaksi, perlahan akan ditingkatkan dosisnya. Akan tetapi

11
desensitisasi harus dilakukan di bawah pengawasan ketat dokter mengingat reaksi
alergi dapat terjadi sewaktu- waktu.

2.6 Pencegahan Untuk Seseorang Yang Mengalami Alergi Obat

Pencegahan reaksi alergi obat dapat dilakukan dengan mengetahui secara pasti
jenis obat pencetus alergi. Selalu informasikan pula hal ini kepada tenaga medis
setiap kali seorang penyandang alergi berobat. Hal ini dilakukan agar obat yang
diberikan kemudian bebas dari bahan-bahan yang dapat memicu reaksi alergi.

Selain itu, seseorang yang memiliki alergi obat diharapkan mengenakan


‘gelang alergi’ yang mencantumkan jenis obat yang harus dihindari. Dalam
kondisi darurat, gelang tersebut dapat memberikan informasi setiap saat yang
menghindarkan seorang pasien dari reaksi alergi yang berbahaya.

12
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Alergi obat merupakan suatu kondisi ketika seseorang mengalami berbagai
gejala setelah mendapatkan obat tertentu, baik obat minum, oles, maupun suntik.
Alergi obat adalah reaksi alergi dimana sistem kekebalan tubuh bereaksi secara
berlebihan (abnormal) terhadap obat-obatan tertentu yang di konsumsi oleh
seseorang.

Strategi yang efektif untuk manajemen alergi obat adalah dengan menghindari
atau menghentikan pemakaian obat yang dicurigai. Bila pada saat itu pasien
memakai bermacam-macam obat, kalau mungkin semuanya dihentikan. Tetapi
bila tidak, dapat diberikan obat yang esensial saja dan diketahui paling kecil
kemungkinannya menimbulkan reaksi alergi. Dapat juga diberikan obat lain yang
struktur imunokimianya berlainan.

Cara yang efektif untuk mencegah atau mengurangi terjadinya reaksi


hipersensitivitas terhadap obat yaitu memberikan obat sesuai indikasinya.
Pasien harus mengetahui obat-obat yang menyebabkan alergi padanya, termasuk
obat yang diberikan dalam bentuk campuran dengan obat yang lain.

3.2 Saran
Diharapkan pada setiap pembaca memberikan saran dan kritik yang membangun
demi kesempurnaan makalah ini.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Joint Task Force on Practice Parameters; American Academy of Alergy,

Asthma and Immunology; American College of Allergy, Asthma and

Immunology; Joint Council of Allergy, Asthma and Immunology. Drug

allergy: an updated practice parameter. Ann Allergy Asthma Immunol.

2010;105(4):259-73.

2. Warrington R, Silviu-Dan F. Drug allergy. Asthma & Clinical

Immunology. 2011;7(1):1-8.

3. Romano A, Torres MJ, Castells M, Sanz ML, Blanca M. Diagnosis and

management of drug hypersensitivity reactions. Journal Allergy Clin

Immunol. 2011;127(3):67-73.

4. Djauzi S, Sundaru H, Mahdi D, Sukmana N. Alergi obat. In: Sudoyo

AW, Setiyohadi B, Alwi I, K. MS, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. 2006; p.387-391.

5. Thien FCK. Drug hypersensitivity. Medical Journal of Australia.

2006;185(6):333-338.

6. Elshemy A, Abobakr M. Allergic reaction: symptoms, diagnosis, treatment


and management. Journal of scientific and innovative research.
2013;2(1):123-144.
7. Brockow K, Przybilla B, Aberer W, Bircher AJ, Brehler R, Dickel H, et

al.Guideline for the diagnosis of drug hypersensitivity reactions. Allergo

J Int. 2015;24:94-105.

14
15

Anda mungkin juga menyukai