Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PATOFISIOLOGI

“REAKSI HIPERSENSITIVITAS”

Oleh :
Bella Mayasari (482012108129P)
Destia Ayu Andini (482012108131P)
Fia Maretha Rahma (482012108136P)
Mealdry Dwie Almira (482012108139P)
Muhammad Pahlan Piruzzi (482012108142P)
Nabilah Putri Rizqi (482012108145P)
Preti Marsyanda Putri (482012108146P)
Ratika Agustine Khairunnisa (482012108152P)
Yoriza Afriola (482012108157P)
Zharifah Azzahra (482012108158P)

Dosen Pengampu :
Dr. dr. H. Ibrahim Edy Sapada, M. Kes.

PROGRAM STUDI S1 FARMASI ALIH JENJANG


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
SITI KHADIJAH PALEMBANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini pada Mata Kuliah
Patofisiologi dengan judul " Hipersensitivitas” tepat pada waktunya.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi penulis dan pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki
bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Kami menyadari, jika makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan maka
kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin.

Palembang, Juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
A. Definisi Hipersensitivitas..............................................................................3
B. Klasifikasi Reaksi Hipersensitivitas..............................................................3
C. Paparan Alergen............................................................................................8
D. Faktor Risiko Alergi......................................................................................8
E. Diagnostik.....................................................................................................9
F. Terapi..........................................................................................................10
BAB III PENUTUP...............................................................................................14
A. Kesimpulan.................................................................................................14
B. Saran............................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu penyakit yang sering dijumpai di masyarakat adalah alergi.
Alergi merupakan penyakit yang tidak menular. Kecenderungan seseorang
mengalami alergi akan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu genetik (keturunan) dan
lingkungan sebagai faktor eksternal tubuh. Alergi merupakan suatu kondisi reaksi
hipersensitivitas yang terjadi ketika sistem imun bekerja secara berlebihan
terhadap bahan yang umumnya tidak menimbulkan reaksi pada orang normal.
Penyebab alergi disebut allergen, misalnya debu, jamur, tungau, bulu binatang,
atau makanan, seperti kacang-kacangan, telur, kerang, ikan dan susu.
Kesadaran masyarakat terhadap penyakit alergi saat ini masih rendah.
Banyak yang menganggap alergi hanyalah penyakit biasa, padahal alergi dapat
menimbulkan beban biaya serta acaman lebih besar bila dibiarkan dan tidak
ditangani dengan cepat. Alergi dapat berpotensi memicu penyakit dari mulai yang
kronis seperti asma, hingga yang bersifat fatal dan mematikan seperti anafilaksis
syok.
Semakin lemah sistem imun seseorang maka orang tersebut semakin
rentan untuk terkena penyakit. Efek paparan alergen pun bervariasi dari satu
individu terhadap individu lainnya. Kondisi alergi ditandai oleh beberapa gejala
seperti gatal pada area tubuh tertentu, mual, muntah, hingga sesak nafas dan
kondisi terburuk adalah kematian. Gejala yang muncul tergantung dari bagian
tubuh yang terpapar alergen. Jika mengenai saluran pernafasan dapat terjadi
batuk, hidung gatal, pilek, kongesti hidung, dan mengi. Alergi makanan
berhubungan dengan gejala mual, muntah, nyeri perut dan diare. Alergi pada kulit
dapat menimbulkan lesi, kemerahan, bula, rasa gatal dan lain sebagainya. Dalam
pengobatan penyakit alergi, penderita dapat melakukan berbagai upaya mulai dari
menghindari pemicu alergi (alergen), mencari dan mendapatkan informasi tentang
alergi lewat kegiatan edukasi dan penyuluhan, mendapatkan pengobatan yang

1
tepat atau bahkan terapi kekebalan (immunoterapi). Makalah ini ditujukan untuk
memahami reaksi hipersensitivitas atau alergi.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, maka dapat dirumuskan masalah yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan hipersensitivitas?
2. Apa saja klasifikasi reaksi hipersensitivitas?
3. Apa yang dimaksud paparan alergan?
4. Apa saja faktor resiko dari alergi?
5. Apa saja mediator dalam reaksi alergi?

C. Tujuan Penulisan
Ada pun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian dari hipersensitivitas
2. Mengetahui klasifikasi reaksi hipersensitivitas
3. Mengetahui yang dimaksud paparan alergan
4. Mengetahui faktor resiko dari alergi
5. Mengetahui mediator dalam reaksi alergi

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, Reaksi ini timbul akibat
adanya respon imun berlebihan, sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan
tubuh. Reaksi ini melibatkan antibodi, limfosit, dan sel lainnya yang termasuk
dalam komponen sistem imun sebagai pelindung fisiologis tubuh. Reaksi alergi
terbagi menjadi 4 macam menurut Gell dan Coombs yaitu tipe I – IV (Hikmah &
Dewanti, 2010).

B. Klasifikasi Reaksi Hipersensitivitas


1. Klasifikasi menurut waktu timbulnya reaksi
a) Reaksi cepat
Terjadi dalam hitungan detik dan menghilang max 2 jam
b) Reaksi intermediet
Terjadi dalam beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam
c) Reaksi lambat.
Terjadi setelah 48 jam terpapar antigen
2. Mekanisme Respon Hipersensitivitas
a) Opsonisasi dan fagositosis yang diperantai komplemen dan Fc
reseptor sel T
b) Inflamasi yang diperantai oleh komplemen dan Fc Reseptor
c) Disfungsi sel yang diperantai oleh antibodi
3. Mekanisme Reaksi Imunnologis
a) Hipersensitivitas Tipe I

3
Hipersensitivitas Tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau
anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan
bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan
gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian.
Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun
terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam.
Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen
seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat
dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe
I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE
total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu
penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu
penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak
terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat
dikarenakan beberapa  penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll.
Contoh penyakit hipersensitivitas tipe I antara lain Konjungtivitis, Asma,
Rinitis, Anafilaktic shock.
Urutan kejadiannya hipersensitivitas tipe I
1) Fase sensitisasi: Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mastosit dan basofil.
2) Fase aktivasi: Waktu selama terjadi pemaparan ulang dengan antigen yang
spesifik, mastosit melepas isinya yang berisikan granual yang
menimbulkan reaksi.
3) Fase efektor: Waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai
efek bahan-bahan yang dilepas mastosit dengan aktivitas farmakologik.

4
b) Hipersensitivitas Tipe II

Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G


(IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel
dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau
jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya,
antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan
bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang)
yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan
kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada  permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian  berikatan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkan lisis sel darah merah), dan Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi
dengan membran permukaan glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan
ginjal).

5
c) Hipersensitivitas Tipe III

Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal


ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan
terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau
peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi
dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit.
Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen
(spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh
secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut
sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus.
Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks
antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di
dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit,
ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun
karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi.
Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness)

6
yang dapat memicu terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun
karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh
paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga
menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi.
d) Hipersensitivitas Tipe IV

Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai


sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas
perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan
dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan
kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena
paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah
hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan
reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
Mekanisme hipersensivitas terjadi dalam reaksi jaringan setelah beberapa
menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Urutan kejadian
reaksi antigen adalah :
1) Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel mast
dan basofil.
2) Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul
yang menimbulkan reaksi.

7
3) Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediatormediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas
farmakologik (Baratawidjaja, 2006).

C. Paparan Alergen
Alergen yang menyebabkan respon hipersensivitas merupakan suatu protein
atau subtansi kimia yang terikat protein. Alergen tipikal ini termasuk protein
dalam serbuk sari (pollen), tungau (house dust mites), bulu binatang, makanan,
jamur (mold) dan obat-obatan seperti antibiotik penisilin. Tidak seperti infeksi
oleh kuman yang menstimulasi respon imun bawaan yang menyebabkan dominasi
produksi TH1, pada paparan oleh alergen menyebabkan tubuh merespon dengan
dominasi produksi TH2 yang memicu reaksi hipersensitivitas.
Paparan alergen di dalam ruangan (indoor allergen) seperti tungau
meningkatkan risiko terjadinya rinitis alergi. Tungau merupakan alergen utama
penyebab penyakit alergi, terutama rinitis alergi dan asma. Dermatophagoides
pteronyssinus (Der p) dan Dermatophagoides farinae (Der f) adalah spesies
tungau yang paling banyak dijumpai.

D. Faktor Risiko Alergi


1. Genetik
Gejala alergi pada anak yang mempunyai orang tua dengan alergi akan lebih
parah dibandingkan dengan anak dengan orang tua tanpa alergi. Anak yang
memiliki saudara dengan penyakit alergi mempunyai hampir dua kali lipat risiko
alergi makanan dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat keluarga alergi.
Risiko alergi makanan tertinggi pada anak dengan kedua orang tua alergi dan satu
atau lebih saudara kandung dengan alergi
2. Usia
Perkembangan penyakit alergi atopi yang berhubungan dengan
bertambahnya usia disebut dengan atopic march. Dermatitis alergi muncul pada 6
bulan pertama sampai beberapa tahun awal kehidupan. Dermatitis alergi dengan

8
IgE spesifik alergen yang muncul pada usia 2-4 tahun mempunyai risiko tinggi
untuk berkembang menjadi asma dan rinitis alergi dibandingkan dermatitis alergi
tanpa perantara IgE. Prevalensi rinitis alergi terbesar pada masa anak-anak dan
remaja usia sekolah, kemudian menurun secara signifikan seiring bertambahnya
usia.
3. Stres
Hubungan antara stres dan sistem imun melalui 2 jalur yaitu autonomic
nervous system (ANS) dan axis hyphophyseal-pituitaryadrenal (HPA). Stres
menstimulasi sekresi adrenocorticotrophic hormone (ACTH) dan mengaktivasi
korteks adrenal untuk mensekresi kortisol dan katekolamin oleh medula. Kortisol
dan katekolamin menghambat produksi IL-12 oleh TH1. Kortisol juga
berpengaruh langsung terhadap sel TH2 sehingga meningkatkan produksi IL-4,
IL-10, dan IL-13. ANS yang terdiri dari sistem saraf simpatis dan parasimpatis di
sistem saraf pusat (SSP), memodulasi sistem imun melalui neurotransmiter,
neuropeptida, dan hormon. Stres dapat meningkatkan produksi noradrenalin dapat
menurunkan produksi sitokin IL-12. Hal tersebut menyebabkan sistem imun
menjadi dominan sel TH2 sehingga memicu terjadinya reaksi alergi.
4. Lingkungan
Urbanisasi yang cepat dan industrialisasi di seluruh dunia telah
meningkatkan polusi udara dan menyebabkan paparan terhadap populasi. Pada
saat yang sama prevalensi penyakit asma dan alergi meningkat di negara-negara
industri. Paparan kronik polusi udara seperti Nitric oxides (NO dan NO2), volatile
organic compounds, ozon, sulfur dioksida (SO2) dapat menginduksi gejala pada
pasien dengan rinitis alergi

E. Diagnostik
1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya:
stenosis pilorik, Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan
dengan obstruksi, cystic fibrosis, peptic disease dan sebagainya.
2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna
dan pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit,

9
tartrazine, toksin, fungi (aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera),
bakteri (Salmonella, Escherichia coli, Shigella), virus (rotavirus, enterovirus),
parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat, pestisida, kafein, glycosidal
alkaloid solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang, tomat), triptamin
(tomat), tiramin (keju) dan sebagainya.
3. Reaksi psikologi

F. Terapi
Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar :
1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin (epinefrin,
isoetarin, isoproterenol, bitolterol) dan nonkatelomin (efedrin, albuterol,
metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan
fenoterol). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan
bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat
maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan menghambat
hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.
b. Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada
reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai
antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah daripada
melawan kerja histamine.
c. Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini
merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat
merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator
karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan asma akut. Kromolin
paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.
d. Kortikosteroid

10
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan
alergi. Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah
pemberian peroral atau intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit
prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung yang
meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas
vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.
3. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang
diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat
menghambat pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E
ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan pemaparan
terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya melepaskan
histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum
terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-
olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak melepaskan
histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar berapapun
4. Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti
traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, Reaksi ini timbul akibat
adanya respon imun berlebihan, sehingga menimbulkan kerusakan pada
jaringan tubuh.
2. Alergen yang menyebabkan respon hipersensivitas merupakan suatu protein
atau subtansi kimia yang terikat protein.
3. Gejala klinis alergi ditentukan oleh berbagai macam mediator yang berasal
dari berbagai sel seperti sel mast, basofil, eosinofil dan neutrofil.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk
itu saya membutuhkan saran dan kritik yang membangun kepada para pembaca
agar pembuatan makalah selanjutnya bisa lebih baik.

12
DAFTAR PUSTAKA

Borges MS, Fonseca FC, Hulett AC, Aveledo LG. Hypersensitivity reactions to
nonsteroidal anti-inflammatory drugs: an update. Pharmaceuticals.
2010;3:10-18.

Campbell, dkk. 2002. Biologi Jilid I Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga

David K. Male, Jonathan Brostoff, Ivan Maurice Roitt, David B. Roth


(2006). Immunology. Mosby. ISBN 978-0-323-03399-2. 

Elshemy A, Abobakr M. Allergic reaction: symptoms, diagnosis, treatment and


management. Journal of scientific and innovative research. 2013;2(1):123-
144.

Tak W. Mak, Mary E. Saunders, Maya R. Chaddah (2008). Primer to the immune


response. Academic Press. ISBN 978-0-12-374163.

Tanjung A, Yunihastuti E. Prosedur diagnostik penyakit alergi. In: Sudoyo AW,


Setiyohadi B, Alwi I, K. MS, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006; p.377-381.

Schrijvers R, Gilissen L, Chiriac AM, Demoly P. Pathogenesis and diagnosis of


delayed-type drug hypersensitivity reactions, from bedside to bench and
back. Clin Transl Allergy. 2015;5(31):1-10.

13

Anda mungkin juga menyukai