Anda di halaman 1dari 24

WRAP UP SKENARIO 2

BLOK MEKANISME PERTAHANAN TUBUH


“Gatal Dan Bentol Merah Di Seluruh Tubuh”

Kelompok : A-10
Ketua : Farah Alyaa Khairunnisa (1102017084)
Sekretaris : Inas Fakhira Assagaf (1102017108)
Anggota : Ahmad Furqon Abdusyakur (1102017011)
Annisa Purnamaningsih (1102017033)
Ayu Sugiarti (1102016036)
Dhea Rachma Kusuma Dewi (1102017067)
Fadilah Dirayati (1102017080)
Indriyani Timin (1102017109)
Jihan Putri Minangi (1102017117)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
Jalan Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510
Telp.62.21.4244574 Fax. 62.21. 424457
DAFTAR ISI

Daftar Isi ............................................................................................................................. 2


Skenario ............................................................................................................................... 3
Kata Sulit ............................................................................................................................. 4
Pertanyaan ........................................................................................................................... 5
Jawaban ................................................................................................................................ 5
Hipotesis ................................................................................................................................ 6
Sasaran Belajar .................................................................................................................... 7
LO. 1. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas ..................................................... 9
LO. 2. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe I ........................................... 10
LO. 3. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe II .......................................... 12
LO. 4. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe III ........................................ 14
LO. 5. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe IV ........................................ 16
LO. 6. Memahami dan Menjelaskan Peran Antihistamin dan Kortikosteroid .................. 17
LO. 7. Memahami dan Menjelaskan Kemaslahatan dan Kemudharatan Terhadap
Pemberian Obat ................................................................................................................. 22
Daftar Pustaka ...................................................................................................................... 24

2
SKENARIO

Gatal Dan Bentol Merah Di Seluruh Tubuh

Seorang perempuan berusia 25 tahun datang ke dokter dengan keluhan demam dan sakit
menelan sejak 2 minggu yang lalu. Dokter memberikan antibiotika golongan penisilin.
Setelah minum antibiotika tersebut timbul gatal dan bentol-bentol merah yang hampir merata
di seluruh tubuh, timbul bengkak pada kelopak mata dan bibir. Ia memutuskan utuk kembali
berobat ke dokter. Pada pemeriksaan fisik didapatkan angioedem di mata dan bibir, dan
urtikaria di seluruh tubuh. Dokter menjelaskan keadaan ini diakibatkan oleh reaksi alergi
(hipersensitivitas tipe cepat), sehingga ia mendapatkan obat anti histamine dan kortikosteroid.
Dokter memberikan saran agar selalu berhati-hati dalam meminum obat.

3
KATA SULIT

1. Alergi : Koreksi dimana tubuh memiliki respon yang berlebihan terhadap


sesuatu zat misalnya makanan atau obat.
2. Angioedem : Reaksi vaskular pada dermis bagian dalam atau bagian subkutan,
edema yag disebabkan oleh dilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler.
3. Urtikaria : Reaksi vaskular lapisan dermis bagian atas yang ditandai dengan
gambaran sementara bercak atau bentol yang agak menonjol dan lebih merah atau lebih
pucat daripada kulit sekitarnya dan seiring kali disertai dengsn rasa gatal yang hebat.
4. Hipersensitivitas: Keadaan berubahnya reaktivitas, ditandai dengan reaksi tubuh
berubah respon imun yang berlebihan terhadap suatu yang dianggap benda asing.
5. Anti Histamin : Agen yang melawan histamin.
6. Kortikosteroid : Kumpulan hormon steriod yang dihasilkan di kulit kelenjar adrenal.
7. Penisilin : Antibiotik yang digunakan untuk menngani infeksi yang disebabkan
bakteri.

4
PERTANTAAN
1. Mengapa terjadi angioedem? Dan mengapa terjadi di mata dan bibir?
2. Mengapa terjadi urtikaria di seluruh tubuh?
3. Mengapa antibiotik dapat menyebabkan alergi?
4. Mengapa disebut hipersensitivitas tipe cepat?
5. Mengapa diberikan anti histamin?
6. Bagaiman fungsi fisiologis pengaruh obat kortikosteroid terhadap diagnosa pasien?
7. Apa ada faktor lain yang bisa mendukung terjadinya alergi setelah pemberian
antibiotik golongan penisilin?
8. Apa saja tipe hipersensitivitas?
9. Apakah ada terjadi komplikasi pada reaksi hipersensitivitas?
10. Kenapa alergi dapat menimbulkan gatal-gatal dan bentol?
11. Bagaimana pendangan islam terhadap pemberian obat?
12. Apa antibodi yang naik pada alergi obat?
13. Bagaimana cara mencegah alegi?
JAWABAN
1. Karena histamin menyebabkan vasodilatasi sehingga terjadi edema. Terjadi di mata
dan bibir karena mata dan bibir merupakan bagian dari lapisan submukosa.
2. Karena urtikaria terjadi pada lapisan superfisial yang terdapat di seluruh tubuh.
3. Karena indikasi dari IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu yang berkaitan
dengan mediator alergi yaitu sel yang masuk.
4. Karena reaksinya berlangsung cepat yaitu 5 sampai 30 menit dan menghilangpun
dengan cepat.
5. Untuk menekan histamin H1 berlebih yang menyebabkan bentol.
6. Anti inflamasi untuk mengurangi bengkak dan kemerahan.
7. Faktor ketahanan tubuh dan benda yang dianggap asing oleh tubuh.
8. Menurut Gell & Coombs : ada hipersensitivitas tipe I (reaksi cepat), hipersensitivitas
tipe II (antibody mediated cytotocsity), hipersensitivitas tipe III (komplex imun), dan
hipersensitivitas tipe IV (tipe lambat).
Menurut waktu : ada rekasi cepat, intermediate, dan rekasi lambat.
9. Komplikasi pada hipersensitivitas tipe I : edema jalan napas, syok kardiovaskular, dan
hipotensi.
10. Karena histamin H1 naik.
11. Boleh yang halal dan meperhatikan manfaat dan kemudharatannya.
12. IgE (hipersensitivitas tipe I), IgM dan IgG (hipersensitivitas tipe II), sel T cd4 dan cd8
(hipersensitivitas tipe IV).
13. Dengan menghindari penyebab alergi.

5
HIPOTESIS

Reaksi hipersensitivitas pada suatu obat dapat menimbulkan reaksi alergi yang ditandai
dengan munculnya angioedema dan urtikaria. Selain karena reaksi obat alergi juga dapat
terjadi karena ketahanan tubuh menurun dan masuknya benda yang dianggap asing oleh
tubuh. Reaksi alergi dapat diobati dengan pemberian antihistamin dan kortikosteroid. Tujuan
dari pemberian anti histamin yaitu untuk menekan histamin H1 berlebih yang menyebabkan
bentol, sedangkan tujuan pemberian kortikosteroid untuk inti inflamasi agar mengurangi
bengkak dan kemerahan. Jika ditinjau dari pandangan islam, pemberian obat harus melihat
manfaat dan kumudhorotannya.

6
SASARAN BELAJAR
LO. 1. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas
LI. 1.1 Definisi
LI. 1.2 Etiologi
LI. 1.3 Klasifikasi
LO. 2. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe I
LI. 2.1 Definisi
LI. 2.2 Etiologi
LI. 2.3 Mekanisme
LI. 2.4 Mediator
LI. 2.5 Jenis Reaksi
LO. 3. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe II
LI. 3.1 Definisi
LI. 3.2 Etiologi
LI. 3.3 Mekanisme
LI. 3.4 Jenis Reaksi
LO. 4. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe III
LI. 4.1 Definisi
LI. 4.2 Etiologi
LI. 4.3 Mekanisme
LI. 4.4 Jenis Reaksi
LO. 5. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe IV
LI. 5.1 Definisi
LI. 5.2 Etiologi
LI. 5.3 Mekanisme
LI. 5.4 Jenis Reaksi
LO. 6. Memahami dan Menjelaskan Peran Antihistamin dan Kortikosteroid
LI. 6.1 Farmakodinamik
LI. 6.2 Farmakokinetik

7
LI. 6.3 Indikasi
LI. 6.4 Kontra Indikasi
LI. 6.4 Efek Samping
LO. 7. Memahami dan Menjelaskan Kemaslahatan dan Kemudharatan Terhadap
Pemberian Obat

8
SASARAN BELAJAR
LO. 1. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas
LI. 1.1 Definisi
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang
pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya.
LI. 1.2 Etiologi
1. Autoimunitas
Secara normal, sistem imun tidak bekerja untuk melawan antigen individu sendiri. Fenomena
ini disebut “self-tolerance”, yaitu kita mentoleransi antigen kita sendiri. Terkadang terjadi
kegagalan pada self-tolerance, yang mengakibatkan reaksi melawan sel tubuh dan jaringan
sendiri dan ini disebut autoimunitas.
2. Reaksi melawan mikroba
Terdiri dari banyak tipe reaksi melawan antigen mikroba yang dapat menyebabkan penyakit.
Dalam beberapa kasus, reaksi muncul berlebihan atau antigen mikroba tetap ada. Jika
antibody dibentuk melawan antigen tersebut, maka antibody akan mengikat antigen mikroba
dan membentuk kompleks imun, yang dapat mengendap apda jaringan dan memicu
inflamasi. Sel T merespon melawan mikroba yang akan meningkatkan inflamasi hingga
parah, terkadang dengan adanya formasi granuloma yang dapat menyebabkan kerusakan
jaringan di tuberculosis dan penyakit infeksi lainnya.
3. Reaksi melawan antigen di lingkungan
Sebagian besar individu sehat tidak bereaksi secara kuat untuk melawan zat yang umum pada
lingkungan (contoh : serbuk, bulu binatang, debu), tetapi hampir 20% dari populasi alergi
terhadap zat tersebut. Alergi adalah penyakit yang disebabkan oleh berlebihannya respon
imun terhadap beberapa beberapa jenis yang tidak infeksius yang sebaliknya tidak berbahaya.
LI. 1.3 Klasifikasi
Reaksi hipersensitivitas berdasarkan waktu timbulnya reaksi :
1. Reaksi cepat
a. Terjadi dalam hitungan detik, dan menghilang dalam 2 jam.
b. Ikatan silang antara alergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi
pelepasan mediator vasoaktif.
c. Manifestasi berupa reaksi anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal.
2. Reaksi intermediet
a. Terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam.
b. Melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui
aktivasi komplemen atau sel NK/ADCC.
c. Menifestasi berupa :
i. Reaksi tranfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik
autoimun.
ii. Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis
nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid dan LES.

9
Reaksi ini diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang disebabkan
oleh sel neutrofil atau sel NK.
3. Reaksi lambat
a. Terlihat sampai 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen yang terjadi oleh
aktivasi sel Th.
b. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang
menimbulkan kerusakan jaringan.
c. Contoh reaksi : dermatitis kontak, reaksi M.tuberkulosis dan reaksi penolakan
tandur.
Pembagian reaksi hipersensitivitas berdasarkan Gell dan Coombs :
1. Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi cepat atau reaksi alergi, ikatan silang antara
antigen dan IgE yang diikat sel mast dan basophil melepas mediator vasoaktif.
2. Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotoksik atau reaksi sitolitik/IgG dan IgM,
ab terhadap permukaan sel menimbulkan destruksi sel dengan bantuan komplemen
atau ADCC (antibody dependent cell cytotoxicity).
3. Reaksi hipersensitivitas tipe III atau reaksi kompleks imun, kompleks Ag-Ab
mengaktifkan komplemen dan respons inflamasi melalui infiltrasi masf neutrophil.

4. Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau reaksi lambat atau seluler, sel Th1 yang di
sensitasi melepaskan sitokin yang mengaktifkan makrofag atau sel Tc yang berperan
dalam kerusakan jaringan. Sel Th2 dan Tc menimbulkan respon sama.

LO. 2. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe I


LI. 2.1 Definisi
Reaksi hipersensitivitas tipe I atau yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis
adalah respon alergik yang muncul dalam waktu sekitar 20 menit setelah orang yang
tersensitisasi terpajan ke suatu allergen.
LI. 2.2 Etiologi
Penyebab hipersensitivitas tipe I yaitu alergen. Alergen pada umumnya berupa serbuk sari,
sengatan lebah, penisilin, makanan tertentu, jamur,debu, bulu dan serpihan kulit hewan.
Alergen yang masuk kedalam tubuh sehingga menimbulkan respon imun berupa produksi
IgE.
LI. 2.3 Mekanisme
Pada eaksi tipe I, alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respons imun berupa
produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi. Urutan
kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikiu.
1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk membentuk IgE sampai diikat silang
oleh reseptor spesifik pada permukaan sek mast/basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang
spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan
reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE.

10
3. Fase efektor yaitu waktu yang terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan aktivasi farmakologik.

LI. 2.4 Mediator


1. Histamin
Ada 4 reseptor histamine dengan efeknya masing-masing.
a. H1 : meningkatkan permeabilitas vaskular, vasodilatasi, dan kontraksi otot polos.
b. H2 : sekresi mukosa gaster, aritmia jantung
c. H3 : SSP (regulator)
d. H4 : eusinofil
2. PG dan LT, berperan pada bronkokonstriksi, peningkatan permeabilotas vaskuler dan
produksi mucus.
3. Sitokin, yang dilepas oleh sel mast dan basophil seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, IL-
13, GM-CSF, dan TNF-alfa. IL-4 dan IL-13 meningkatkan produksi IgE oleh sel B. IL-5
berperan dalam pengerahan dan aktivasi eosinophil. Kadar TNF-alfa yang tinggi dan
dilepas sel mast berperan dalam renjatan anafilaksis.
LI. 2.5 Jenis Reaksi
a. Reaksi lokal
Reaksi hipersensitifitas tipe 1 lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang biasanya
melibatkan permukaan epitel tempat alergan masuk. Kecenderungan untuk menunjukkan
reaksi Tipe 1 adalah diturunkan dan disebut atopi. Sedikitnya 20% populasi menunjukkan
penyakit yang terjadi melalui IgE seperti rinitis alergi, asma dan dermatitis atopi. IgE yang
biasanya dibentuk dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh sel mast/basofil. IgE yang sudah
ada pada permukaan sel mast akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat pula
terjadi secara pasif bila serum (darah) orang yang alergi dimasukkan ke dalam kulit/sirkulasi
orang normal. Reaksi alergi yang mengenai kulit, mata, hidung dan saluran nafas.
b. Reaksi sistemik – anafilaksis

11
Anafilaksisi adalah reaksi Tipe 1 yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa menit saja.
Anafilaksis adalah reeaksi hipersensitifitas Gell dan Coombs Tipe 1 atau reaksi alergi yang
cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Sel mast dan basofil merupakan sel
efektor yang melepas berbagai mediator. Reaksi dapat dipacu berbagai alergan seperti
makanan (asal laut, kacang-kacangan), obat atau sengatan serangga dan juga lateks, latihan
jasmani dan bahan anafilaksis, pemicu spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.
c. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang melibatkan
pengelepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE. Mekanisme pseudoalergi
merupakan mekanisme jalur efektor nonimun. Secara klinis reaksi ini menyerupai reaksi Tipe
I seperti syok, urtikaria, bronkospasme, anafilaksis, pruritis, tetapi tidak berdasarkan atas
reaksi imun. Manifestasi klinisnya sering serupa, sehingga kulit dibedakan satu dari lainnya.
Reaksi ini tidak memerlukan pajanan terdahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi
anafilaktoid dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras dengan yodium, AINS,
etilenoksid, taksol, penisilin, dan pelemas otot.

LO. 3. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe II


LI. 3.1 Definisi
Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik adalah reaksi yang
terjadi karena dibentuk antibodi IgG dan IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel
pejamu.
LI. 3.2 Etiologi
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa IgG dan IgE untuk melawan antigen
pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler.
LI. 3.3 Mekanisme
Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek
toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ-R dan juga sel
NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC.
Reaksi Tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik.

Antibodi spesifik terhadap antigen sel dan jaringan dapat berdeposit di jaringan dan
menyebabkan jejas dengan menginduksi inflamasi lokal, atau mengganggu fungsi sel normal.
Antibodi terhadap antigen jaringan menginduksi inflamasi dengan memanggil dan
mengaktivasi leukosit. Antibodi IgG dari subkelas IgG1 dan IgG3 terikat pada reseptor Fc
neutrofil dan makrofag dan mengaktivasi leukosit-leukosit ini, menyebabkan inflamasi. IgM
mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur klasik, menyebabkan produksi zat-zat yang
dihasilkan komplemen yang merekrut leukosit dan menginduksi inflamasi. Ketika leukosit
teraktivasi di situs deposit antibodi, sel-sel ini memproduksi substansi seperti intermediet
reaktif oksigen dan enzim lisosom yang merusak jaringan disekitarnya. Jika antibodi terikat
pada sel, seperti eritrosit dan platelet, sel akan teropsonisasi dan dapat dicerna dan
dihancurkan oleh fagosit penjamu.

12
Beberapa antibodi dapat menyebabkan penyakit tanpa secara langsung menyebabkan jejas
jaringan. Misalnya pada antibodi terhadap reseptor hormon yang dapat menghambat fungsi
reseptor; pada beberapa kasus myasthenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin
menghambat transmisi neuromuskular dan menyebabkan paralisis. Antibodi lainnya dapat
mengaktivasi reseptor tanpa adanya hormon fisiologis; seperti pada Graves’ disease, dimana
antibodi terhadap reseptor TSH menstimulasi sel tiroid bahkan tanpa keberadaan hormon
tiroid.

Reaksi yang bergantung pada Komplemen

Hipersensitivitas Reaksi yang bergantung pada ADCC


Tipe II

Disfungsi Sel akibat Antibodi

LI. 3.4 Jenis Reaksi


a. Reaksi transfusi
Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai gen. Bila
darah individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi transfusi, oleh
karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan kerusakan
darah direk oleh hemolisis masif intravaskular. Reaksi dapat cepat atau lambat. Reaksi cepat
biasanya disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM.
Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma dan disaring melalui
ginjal dan menimbulkan hemoglobinuria. Beberapa hemoglobin diubah menjadi bilirubin
yang pada kadar tinggi bersifat toksik.
b. Penyakit hemolitik bayi baru lahir
Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir ditimbulkan oleh imkompabilitas Rh dalam
kehamilan, yaitu pada ibu dengan golongan darah Rhesus negatif dan janin dengan Rhesus
positif.
c. Anemia hemolitik
Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat diabsorpsi
nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks
molekul hapten pembawa. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk antibodi yang
selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis
dengan dan anemia progresif.

LO. 4. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe III


LI. 4.1 Definisi

13
Reaksi hipersensitivitas tipe III ini disebut juga kompleks imun. Dalam keadaan normal
kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke hati, limpa dan disana
dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati, limpa dan paru tanpa bantuan
komplemen.
LI. 4.2 Etiologi
Reaksi hipersensitivitas tipe III terjadi karena pengendapan kompleks imun (antigen-
antibodi) yang sudah difagosit sehingga akan mengaktivasi komplemen dan mengakumulasi
leukosit polimorfonuklear di jaringan.
LI. 4.3 Mekanisme
Dalam keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke hati,
limpa dan disana dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati, limpa dan paru
tanpa bantuan komplemen. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dn
cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk
dimausnhakan, karena itu dapat berada dalam sirkulasi. Didga bahwa gangguan fungsi fagosit
merupakan salah satu penyebab kompleks tersebut sulit dimusnahkan. Meskipun kompleks
imun berada di dalam sirkulasi untuk jangka waktu lama, biasanya tidak berbahaya.
Permasalahan akan timbul bila kompleks imun tersebut mengendap di jaringan.
1. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang
terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) ata dari jaringan
sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disetai antigen dalam jumalh yang
berlebihan,tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif. Makrofag ang diaktifkan
kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun sehingga makrofag dirangsng terus
menerus untuk melepas berbagai bahan yang dapat merusak jaringan.
Kompleks imun yang terdiri atas antigen sirkulasi dan IgM atau IgG3 (dapat juga IgA)
diendapkan di membran basal vaskular dan membran basal ginjal yang menimbulkan
reaksi inflamasi lokal dan luas. Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan agregrasi
trombosit, aktivasi makrofag, perubahan permeabilitas vaskular, aktivasi sel mast,
produksi dan penglepasan mediator inflamasi dan bahan kemotaktik serta influksi
neutrofil. Bahan toksik yang dilepas neutrofil dapat menimbulkan kerusakan jaringan
setempat.
2. Kompleks imun mengendap di jaringan
Hal yang memungkinkan terjadinya pengendapan kompleks imun di jaringan ialah
ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskular yang meningkat, antara
lain karena histamin yang dilepas sel mast.

14
LI. 4.4 Jenis Reaksi
a. Reaksi local atau fenomena Arthus
Artus yang menyuntikan serum kuda ke dalam kelinci intradermal berulang kali ditempat
yang sama menemukan reaksi yang makin menghebat di tempat suntikan. Mula-mula hanya
terjadi eritem ringan dan edem ddalam 2—4 jam sesudah suntikan. Reaksi tersebut
menghilang keesokan harinya. Suntikan kemudian menimbulkan edem yang lebih besar dan
suntikan yang ke 5-6 menimbulkan perdarahan dan nekrosis yang sulit sembuh.

b. Reaksi Tipe III sistemik – serum sickness


Antigen dalam jumlah besar yang masuk kedalam sirkulasi darah membentuk komoleks
imun. Bila antigen jauh berlebihan dibanding antibody, kompleks yang dibentuk adalah lebih
kecil yang tidak mudah untuk dibersihkan fagosit sehingga dapat menimbulkan kerusakan
jaringan tipe III diberbagai tempat.

LO. 5. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe IV

15
LI. 5.1 Definisi
Reaksi hipersensitivitas tipe IV merupakan hipersensitivitas tipe lambat yang dikontrol oleh
reaktivitas sel T terhadap antigen. Baik CD4+ maupun CD8+ berperan dalam reaksi tipe IV.
Sel T melepas sitokin, bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya menimbulkan
respons inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas lambat. Contohnya
dermatitis kontak yang diinduksi oleh etilendiamine, neomisin, anestesi topikal, antihistamin
topikal dan steroid topikal.
LI. 5.2 Etiologi
Penyebab hipersensitivitas tipe IV yaitu imunogen seperti virus, bakteri, fungus, hapten, obat,
poison ivy, deterjen, dan parfum.
LI. 5.3 Mekanisme
a. Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV
Reaksi tipe IV merupakan hipersensitivitas granulomatosis. Biasanya terjadi terhadap bahan
yang tidak dapat disingkirkan dari rongga tubuh seperti talcum dalam rongga peritoneum dan
kolagen sapi dari bawah kulit. Reaksi khas DTH seperti respons imun lainnya mempunyai 2
fase yang dapat dibedakan yaitu fase sensitasi dan fase efektor. Berbagai APC seperti sel
Langerhans (SD di kulit) dan makrofag yang menangkap antigen dan membawanya ke
kelenjar limfoid regional untuk dipresentasikan ke sl T. Sel T yang diaktifkan pada umumnya
adalah sel CD4⁺ terutama Th1, tetapu pada beberapa hal sel CD8⁺ dapat juga diaktifkan.
Pajanan ulang dengan antigen menginduksi sel efektor. Pada fase efektor, sel Th1 melepas
berbagai sitokin yang mengerahkan dan mengaktifkan makrofag dan sel inflamasi
nonspesifiklain.
b. Sitokin yang berperan dalam DTH
Diantara sitokin yang diproduksi, sel Th1 berperan dalam menarik dan mengaktifkan
makrofag ke tempat infeksi. IL-3 dan GM-CSF menginduksi hematopoesis lokal dari sel
garis granulosit-monosit. Neutrofil dan monosit dalam sirkulasi menempel pada molekul
adhesi sel endothel dan bergerak keluar dari vaskular menuju rongga jaringan. Neutrofil
nampak dini pada reaksi, memuncak pada 6 jam. Infiltrasi monosit terjadi antara 24-48 jam
setelah pajanan dengan antigen monosit yang masuk jaringan menjadi mekrofag yang ditarik
ke tempat DTH oleh kemokin seperti MCP-1/CCL2. MIF mencegah makrofag untuk
berimigrasi keluar dari lokasi reaksi DTH.
LI. 5.4 Jenis Reaksi
a. Dermatitis kontak
Dermatitis kontak adalah penyakit CD4+ yang dapat terjadi akibat kontak dengan bahan tidak
berbahaya, merupakan contoh reaksi DTH. Kontak dengan bahan seperti formaldehid, nikel,
terpenting dan berbagai bahan aktif dalam cat rambut yang menimbulkan dermatitis kontak
terjadi melalui sel Th1.
b. Hipersensitivitas tuberkulin
Hipersensitivitas tuberkulin adalah bentuk alergi bakterial spesifik terhadap produk filtrat
biarkan M. Tuberkulosis yang bila disuntikkan ke kulit, akan menimbulkan reaksi
hipersensitivitas lambat tipe IV. Yang berperan dalam reaksi ini adalah sel limfosit CD4+ T.

16
Setelah suntikan intrakutan ekstrak tuberkulin atau derivat protein yang dimurnikan (PPD),
daerah kemerahan dan indurasi timbul di tempat suntikan dalam 12-24 jam. Pada individu
yang pernah kontak dengan M. Tuberkulosis, kulit bengkak terjadi pada hari ke 7-10 pasca
induksi. Reaksi dapat dipindahkan melalui sel T.
c. Reaksi Jones Mote
Reaksi jones mote adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap antigen protein yang
berhubungan dengan infiltrasi basofil mencolok di kulit di bawah dermis. Reaksi juga disebut
hipersensitivitas basofil kutan. Dibanding dengan hipersensitivitas tipe IV lainnya, reaksi ini
adalah lemah dan nampak beberapa hari setelah pajanan dengan protein dalam jumlah kecil.
Tidak terjadi nekrosis dan reaksi dpaat diinduksi dengan suntikan antigen larut seperti
ovalbumin dengan ajuvan freund.
d. T cell cytolysis (penyakit CD8+)
Dalam T cell mediated cytolysis, kerusakan terjadi melalui sel CD8+ / CTL / Tc yang
langsung membunuh sel sasaran. Penyakit yang ditimbulkan hipersensitivitas selular
cenderung terbatas kepada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik. Pada penyakit
virus hepatitis, virus sendiri tidak sitopatik, tetapi kerusakan ditimbulkan oleh respons CTL
terhadap hepatosit yang terinfeksi.
Sel CD8+ yang spesifik untuk antigen atau sel autologus dapat membunuh sel dengan
langsung. Pada banyak penyakit autoimun yang terjadi melalui mekanisme selular, biasanya
ditemukan baik sel CD4+ maupun CD8+ spesifik untuk self-antigen dan kedua jenis sel
tersebut dapat menimbulkan kerusakan.

LO. 6. Memahami dan Menjelaskan Peran Antihistamin dan Kortikosteroid


LI. 6.1 Farmakodinamik
ANTI HISTAMIN
a. Antagonis Reseptor H1 (AH1)
1. Antagonis terhadap histamin. AH1 menghambat efek histamine pada pembuluh
darah, bronkus, dan bermacam-macam otot polos; selain itu AH 1 bermanfaat untuk
mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai penglepasan
histamine endogen berlebihan
2. Otot polos. AH1 efektif menghambat kerja histamine pada otot polos usus dan
bronkus
3. Permeabilitas kapiler, Peninggian permeabilitas kapiler dan edema akibat
histamine, dapat dihambat dengan efektif oleh AH1.
4. Reaksi anafilaksis dan alergi. Reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi
refrakter terhadap pemberian AH1, karena disini bukan histamine saja yang
berperan tetapi autacoid lain yang dilepaskan. Efektivitas AH1 melawan beratnya
reaksi hipersensitivitas berbeda-beda, tergantung beratnya gejala akibat histamine
5. Kelenjar Eksokrin. Efek perangsang histamine terhadap sekresi cairan lambung
tidak dapat dihambat oleh AH1. AH1dapat menghambat sekresi saliva dan sekresi
kelenjar eksokrin lain akibat histamine.
6. Susunan syaraf pusat. AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek
perangsangan yang kadangpkadang terlihat dengan dosis AH 1 biasanya adalah

17
insomnia, gelisah, dan eksitasi. Dosis terapi AH 1 umumnya menyebabkan
penghambatan SSP dengan gejala misalnya kantuk, berkurangnya kewaspadaan,
dam waktu reaksi yang lambat.
7. Anastesi local. AH1 yang baik untuk anastesi local adalah prometazin dan prilamin.
Akan tetapi untuk menibulkan efek tersebut dibutuhkan kadat yang beberapa kali
lebih tinggi daripada sebagai antihistamin.
8. Antikolinergik. Dapat timbul pada beberapa pasien berupa mulut kering, kesukaran
miksi dan impotensi.
9. Sistem kardiovaskular. Dalam dosis terapi, AH1 tidak memperlihatkan efek yang
berarti pada system kardiovaskular.
b. Antagonis Reptor H2 (AH2)
Antagonis reseptor H2 berkerja menghambat sekresi asam lambung. Burimamin dan
metiamid merupakan antagonis resptor H2 yang pertama kali ditemukan, namun
karena toksik tidak digunakan diklinik. Antagonis reseptor H2 yang ada dewasa ini
adalah simetidin, ranitidine, famotidine, dan nizatidin.
1. Simetidin dan Ranitidin
Simetidin dan renitidin menghambat reseptro H2 secara selektif dan reversible.
Perangsang reseptor H2 akan merangsang sekresi asal m=lambung, sehingga pada
pemberian simetidin atau ranitidine sekresi asam lambung dihambat. Pengaruh
fisiologik simetidin dan ranitidine terhadap resptor H2 lainnya =, tidak begitu penting.
Walaupun tidak sebaik penekanan sekresi asam lambung pada keadaan basal,
simetidin dan ranitidine dapat menghambat sekresi asam lambung akibat
perangsangan obat muskarinik, stimulasi vagus, atau gastrin. Simetidin dan ranitidine
juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung.
2. Famotidine
Sama halnya dengan simitidin dan ranitidine, famotidine merupakan AH2 sehingga
dapat menghambat sekresi asam labung pada keadaan basal, malam dan akibat
distimulasi oleh pentagastrin. Famotidine 3x lebih poten daripada ranitidine dan 20x
lebih poten dari pada simetidin.
3. Nizatidine
Potensi nizatidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang lebih sama dengan
ranitidine.
KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.selain itu juga
mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf dan organ lain.
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid.
Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-inflamasi,
sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil.
a) Efek pada mineral kortikoid ialah terhadap keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan
pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar sangat kecil.
b) Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan massa kerjanya.
c) Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam.
d) Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis antara 12-36 jam.
e) Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36 jam.

a. Kortikosteroid diabsorbsi cukup baik pada pemberian oral. Untuk mencapai kadar
tinggi dengan cepat dalam cairan tubuh diberikan secara IV. Untuk mendapatkan efek
yang lama, diberikan secara IM. Glikokortikoid dapat diabsorbsi melalui kulit, sakus
konjungtiva dan ruang synovial.

18
b. Biotransformasi terjadi didalam dan diluar hati. Metabolitnya merupakan senyawa
inaktif atau berpotensi rendah. Proses reduksi dan menjadi lebih mudah larut yang
kemudian dieksresikan terutama terjadi di hepar dan sebagian kecil di ginjal.

LI. 6.2 Farmakokinetik


ANTI HISTAMIN
1. AH1
Setelah pemberian oral atau parental, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya timbul 15-30
menitsetelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH 1 generasi I
setelah pemberian dosis tunggal umumnya 4-6 jam. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru
sedangkan limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya rendah. Tempat utama biotransfarmasi
AH1 adalah hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan ginjal. AH1 diekskresi melalui urin
setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.
2. AH2
a. Simetidin
Bioavailabilitas oral simetidin sekitar 70 %. Sama dengan setelah pemberian IV atau IM.
Ikatan protein plasmanya hanyalah 20 %. Absorpsi simetidin diperlambat oleh makanan,
sehingga simetidin diberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk
memperpanjang efek pada periode pasca makan. Absorpsi simetidin terutama terjadi
pada menit ke 60-90. Simetidin masuk ke dalam SPP dan kadarnya dalam cairan spinal
10-20 % dari kadar serum. Sekitar 50-80 % dari dosis IV dan 40 % dari dosis oral
simetidin diekskresi dalam bentuk asal dalam urin. Masa peruh eliminasinya sekitar 2
jam.
b. Renitidin
Biovailabilitas renitidin yang diberikan secara oral sekitar 50 % dan meningkat pada
pasien penyakit hati. Masa [paruhnya kira-kira 1,7 – 3 jam pada orang dewasa, dan
menmanjang pada orang tua dan pada pasien gagal ginjal. Pada pasien penyakit hati
masa paruh ranitidine juga memanjang menskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kada
puncak pada plasma dicapai 1.3 ja setalah penggunana 150 mg ranitidine secara oral, dan
yang terikat protein plasma hanya 15%. Ranitidine mengalami metabolisme lintas utama
dihati dalam jumlah cukup besar setelah pemberian oral. Rranitidin dan metabolitnya
dieksresi rerutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidine yang
diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral dieksresi dalam urin dalam bentuk
asal.
c. Famotidin
Famotidin mencapai kadar puncak diplasma kira-kira dalam 2 jam setelah
penggunaanan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam dan bioavailibitas 40-50%.
Metabolit utama adalah famotidine-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal, sekitar 25% dari
dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin.npada pasien gagal ginjal berat masa paruh
eliminasi dapat melebnihi 20 jam.
d. Nizatidin

19
-Bioavailibitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak dipengaruhi oleh makanan atau
antikolinergik. Klirens menurun pada pasien uremik dan usia lanjut.
-Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oraldicapai dalam 1 jam, masa paruh
plasma sekitar satu setengah jam dan lama kerja sampai dengan 10 jam. Nizatidin
disekresikan terutama melalui ginjal; 90 % dari dosis yang digunakan ditemukan diurin
dalam 16 jam.
KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid diabsorbsi cukup baik pada pemberian oral. Untuk mencapai kadar tinggi
dengan cepat dalam cairan tubuh diberikan secara IV. Untuk mendapatkan efek yang lama,
diberikan secara IM. Glikokortikoid dapat diabsorbsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan
ruang synovial.
Biotransformasi terjadi didalam dan diluar hati. Metabolitnya merupakan senyawa inaktif
atau berpotensi rendah. Proses reduksi dan menjadi lebih mudah larut yang kemudian
dieksresikanterutama terjadi di hepar dan sebagian kecil di ginjal.
LI. 6.3 Indikasi
ANTI HISTAMIN
a. Antagonis reseptor H1 (AH1)
AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit aergi dan mencegah atau
mengobati mabuk perjalanan.
b. Antagonis reseptor H2 (AH2)
Efektif untuk mengtasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat penyembuhannya.
Selain itu, juga efektif untuk mengatasi gejala dan mempercepat penyembuhan tukak
lambung. Dapat pula untuk gangguan refluks lambung-esofagus.

KORTIKOSTEROID
Indikasi utama adalah untuk reaksi alergi akut berat yang dapat membahayakan kehidupan,
seperti status asmatikus, anafilaksis, dan dermalitis exfoliativa. Selain itu, juga untuk reaksi
alergi berat yang tidak membahayakan kehidupan tetapi sangat mengganggu, misalnya
dermatitis kontak berat, serum sickness, dan asma akut yang berat.
Indikasi lain adalah untuk penyakit alergi kronik berat sambil menunggu hasil pengobatan
konvensional, atau untuk mengatasi keadaan eksaserbasi akut pada pasien yang memakai
kortikosteroid dosis rendah jangka panjang, harus dinaikkan dosisnya bila terjadi eksaserbasi.
LI. 6.4 Kontra Indikasi
ANTI HISTAMIN
a. Antihistamin H1 : bayi premature, ibu menyusui, narrow-angle glaucoma, stenosing
peptic uloer, hipertropi prostat simptomatik, gejala saluran nafas atas, pasien tua, pasien
yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI)

20
b. Antihistamin H2 : kehamilan dan ibu menyusui.
KORTIKOSTEROID
a. Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid. Pemberian
dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat
merupakan kontraindikasi relatif dapat dilupakan, terutama pada keadaan yang
mengancam jiwa pasien
b. Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atu beberapa minggu, kontraindikasi
relative yaitu diabetes melitustukak peptik/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau
gangguan system kardiovaskular lainnya.
LI. 6.4 Efek Samping
ANTI HISTAMIN
A. AH1
Efek yang palingsering adalah sedaso, yang justru menguntungkan pasien yang dirawat di RS
atau pasien yang perlu banyak tidur. Tapi efek ini menggangu bagi pasien yang memerlukan
kewaspadaan tingkat tinggi. Sehingga kemungkinan terjadi nya kecelakaan.
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 adalah vertigo, tinnitus, lelah,
penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euphora, gelisah, insomnia, dan tremor. Efek
samping yang paling sering juga nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada
epigastrium, konstipasi atau diar; efek samping ini akan berkurang jika AH 1 diberikan
sewaktu makan.
Efek samping yang mungkin timbul oleh AH1 adalah mulut kering, dysuria, palpitasi,
hipotensi, sakit kepala, rasa berat, dan lemah pada tangan. AH 1 bisa menimbulkan aleri pada
pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat penggunaan local berupa dermatitis alergik.
Demam dan fotosensitivitas juga pernah dilaporkan terjadi AH1 jarang menimbulkan
komplikasi berupa leukopenia dan agranulositosis.
B. AH2
a. Simetidin dan Ranitidin
Efek samping ini antara lain nyeri kepala, pusing, malaise, myalgia, mual, diare,
konstipasi, ruam kulit, pruritus, kehilangan libido, dan impoten.
b. Famotidin
Efek samping famotidin biasanya ringan dan jarang terjadi, misalnya sakit kepala,
pusing, konstipasi dan diare. Seperti halnya dengan renitidin, famotidine nampaknya
lebih baik dari simetidin karena tidak menimbulkan efek antiandrogenik
c. Nizatidin
Nizatidin umumnya jarang menimbulkan efek samping. Efek samping ringan saluran
cerna dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat dan transaminase serum ditemukan
pada beberapa pasien yang nampaknnya tidak menimbulkan gejala klinik yang
bermakna.

21
KORTIKOSTEROID
Manfaat yang diperoleh dari penggunaan glukokortikoid sangat bervariasi. Harus
dipertimbangkan dengan hati-hati pada setiap penderita terhadapbanyaknya efek pada setiap
bagian organism ini. Efek utama yang tidakdiinginkan dari glukokortikoidnya dan
menimbulkan gambaran klinik sindromcushing iatrogenik. Sindrom cushing iatrogenik
disebabkan oleh pemberian glukokortikoid jangka panjang dalam dosis farmakologik untuk
alasan yang bervariasi.
Efek samping jangka pendek :
1. Peningkatan tekanan cairan di mata (glaukoma).
2. Retensi cairan, menyebabkan pembengkakan di tungkai.
3. Peningkatan tekanan darah.
4. Peningkatan deposit lemak di perut, wajah dan leher bagian belakang.
Efek samping jangka panjang :
1. Katarak.
2. Penurunan kalsium tulang yang menyebabkan osteoporosis dan tulang rapuh sehingga
mudah patah.
3. Menurunkan produksi hormon oleh kelenjar adrenal.
4. Menstruasi tidak teratur.
5. Mudah terinfeksi.
6. Penyembuhan luka yang lama.
LO. 7. Memahami dan Menjelaskan Kemaslahatan dan Kemudharatan Terhadap
Pemberian Obat
Kitab al-Mustashfa, Imam al-Ghazali mengemukakan penjelasan tentang al-maslahah yaitu:
“Pada dasarnya al-maslahah adalah suatu gambaran untuk mengabil manfaat atau
menghindarkan kemudaratan, tapi bukan itu yang kami maksudkan, sebab meraih manfaat
dan menghindarkan kemudaratan terseut bukanlah tujuan kemasalahatan manusia dalam
mencapai maksudnya. Yang kami maksud dengan maslahah adalah memelihara tujuan syara.
Ungkapan al-Ghazali ini memberikan isyarat bahwa ada dua bentuk kemaslahatan, yaitu:
Kemasalahatan menurut manusia, dan Kemaslahatan menurut syari‟at.
Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah dikisahkan bahwa seorang Anshar terluka di perang
Uhud. Rasulullah pun memanggil dua orang dokter yang ada di kota Madinah, lalu bersabda,
“Obatilah dia.”
Dalam riwayat lain ada seorang sahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, apakah ada kebaikan
dalam ilmu kedokteran?” Rasullah menjawab, “Ya,”
Begitu pula yang diriwayatkan dari Hilal bin Yasaf bahwa seorang lelaki menderita sakit di
zaman Rasulullah. Mengetahui hal itu, beliau bersabda, “Panggilkan dokter.” Lalu Hilal

22
bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah dokter bisa melakukan sesuatu untuknya?” “Ya,” jawab
beliau. (HR Ahmad dalam Musnad: V/371 dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf: V/21)
Hilal meriwayatkan bahwa Rasulullah mnjenguk orang sakit lalu bersabda, “Panggilkan
dokter!” kemudian ada yang bertanya, “Bahkan engkau mengatakan hal itu, wahai
Rasulullah?” “Ya,” jawab beliau.
Berdasarkan pemaparan di atas, tampak jelas bagaimana Rasulullah menganjurkan kita untuk
berobat dan berusaha menggunakan ilmu kedokteran yang diciptakan Allah untuk kita. Kita
juga ditekankan agar tidak menyerah pada penyakit karena Rasulullah bersabda, “Seorang
mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.” (HR
Muslim (34) dan Ahmad: II/380)
Di antaranya yang ada di Musnad Ahmad. Hadits Ziyadah bin Alaqah dari Usamah bin
Syuraik menuturkan,”Aku berada bersama Nabi lalu datanglah sekelompok orang Badui dan
bertanya,’Wahai Rasulullah, apakah kita boleh berobat?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya, wahai
hamba Allah, berobatlah. Sesungguhnya Allah tidak menciptakan penyakit kecuali Allah
menciptakan obatnya, kecuali satu macam penyakit.’ Mereka bertanya,’Apa itu?’ Rasulullah
menjawab,’Penyakit tua’.”(HR Ahmad dalam Musnad : IV/278, Tirmidzi dalam Sunan
(2038))
Nabi bersabda,”Setiap penyakit pasti ada obatnya. Jika obat tepat pada penyakitnya maka ia
akan sembuh dengan izin Allah.” (HR Muslim: I/191)
Abu Hurairah meriwayatkan secara marfu’, “Tidaklah Allah menurunkan panyakit kecuali
menurunkan obatnya.”(HR Bukhari: VII/158)
Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda, “Kesembuhan ada pada tiga hal, minum madu, pisau bekam,
dan sengatan api. Aku melarang umatku menyengatkan api.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dari firman Allah disini dapat dipahami: bahwasanya agama islam di bagun untuk
kemaslahatan artinya : semua syari’at dalam perintah dan larangannya serta hukum-
hukumnya adalah untuk mashoolihi (manfaat-manfaat) dan makna masholihi adalah : jamak
dari maslahat artinya : manfaat dan kebaikan.
Misal : Allah melarang minuman keras dan judi karena mudharat (bahayanya) lebih besar
dari pada manfaatnya, sebagaimana dikatakan dalam QS : Al-Baqorah :219
َ‫س موإهفثرمهرمماَ أمفكبمرر همفن نمففهعههمما‬
‫ك معهن اَفلمخفمهر مواَفلممفيِهسهر قرفل هفيِههمماَ إهفثرم مكهبيِرر مومممناَفهرع لهلِنناَ ه‬
‫يمفسأ مرلوُنم م‬
2:219. “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya
itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar
dari manfaatnya.

23
DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, K. G. and Rengganis, I. (2012). Imunologi Dasar. Jakarta: Badan Penerbit


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Dorland W.A.N. 2010.Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC
Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. (2011). Farmakologi dan Terapi. Edisi V,
Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI

Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem.Edisi 6. Jakarta. EGC

Sudoyo, A. W., et al. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing.

Jurnal Keluarga Sehat Sejahtera (2015) : Reaksi Hipersensitivitas atau Alergi. Vol. 13. Hal
22-27

24

Anda mungkin juga menyukai