Anda di halaman 1dari 40

WRAP UP SKENARIO 1

BLOK MEKANISME PENYAKIT 2


DEMAM

Kelompok A- 6

Ketua : Azzahra Medina Nursalfa (1102018071)

Sekretaris : Lianawati (1102018062)

Anggota : 1. Alya Shofiyah (1102018060)


2. Alwi Dahlan (1102018064)
3. Daffa Atha Milliantyaga (1102018174)
4. Dinda Khalisha (1102018173)
5. Masning Khusnul Khotimah (1102018059)
6. Muhammad Haikal Ihsan (1102018061)
7. Nida Azamia (1102018067)
8. Triana Intan Sari (1102018069)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2018/2019
Jl. Letjen. Suprapto, RT. 10 / RW. 5, Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat, 10510
Telp. +62 21 4206675 Fax. +62 21 4243171
Daftar Isi

Daftar Isi…………………..………………………………………………………………………2
Skenario 1………………..………………………………………………………………………..3
Kata Sulit………………..……………………………………………………………………….4
Pertanyaan......…………………………………………………………………………………... 5
Jawaban…..….…………………………………………………………………….........……..
Hipotesis………………..…………………………………………………...…………………...8
Sasaran Belajar…………………….……………………...……………………………………..9
1. Memahami dan Menjelaskan Demam.............................…………...………………..……….10
1.1.Definisi Demam……………………………...…………………………………………....... 10
1.2 Jenis Demam……………………………………………………………………………....... 10
1.3 Etiologi Demam...................................................................................................…………... 11
1.4 Mekanisme Kenaikan Suhu.........................……………………………………….….......... 11
1.5 Tatalaksana Demam.......……………...……………………………………………….…..... 13
1.6 Pencegahan Demam.................................................................................................…..…..... 15
1.7 Dampak Demam Terhadap Tubuh...............................................................................…..…. 15
2. Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan Laboratorium Untuk Demam............................... 15
2.1 Pemeriksaan Darah Lengkap......................................................................................…........ 15
3. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam Terhadap Keringanan Berwudhu................. 15

Daftar Pustaka………………………………………………………………………
SKENARIO 1
DEMAM
Seorang anak laki-laki, 12 tahun, dibawa ibunya ke Puskesmas dengan keluhan 1 hari
demam. Demam sepanjang hari dan nafsu makan menurun. Buang air kecil dan besar tidak ada
keluhan. Pemeriksaan fisik diperoleh hasil nadi 96 kali per menit, suhu 39℃, frekuensi
pernapasan 20 kali per menit, thorak dan abdomen tidak ada kelainan, serta tidak terdapat tanda-
tanda perdarahan pada kulit. Dokter memberikan obat penurun panas dan menyarankan bila
demam tidak sembuh dalam 3 hari, pasien diminta datang kembali untuk dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Ibu pasien bertanya ke dokter, apakah pasien boleh berwudlu karena sedang panas
tinggi.
KATA SULIT
1. Demam : Peningkatan temperatur tubuh di atas normal, setiap penyakit
yang ditandai oleh peningkatan suhu tubuh di atas 37,2℃.

2. Frekuensi pernapasan : Banyaknya jumlah pernapasan yang dilakukan dalam 1 menit.

3. Perdarahan pada kulit : Perdarahan yang terjadi di bawah kulit diakibatkan pecahnya
pembuluh darah sehingga muncul petechiae.

4. Pemeriksaan laboratorium : Suatu tindakan untuk menunjang diagnosis dan prosedur


pemeriksaan khusus dengan mengambil bahan atau sampel dari
pasien dalam bentuk darah, sputum, urin, kerokan kulit, dan
cairan tubuh lainnya.

5. Hasil nadi 96 kali per menit : Frekuensi nadi dalam batas normal tinggi (sudah mendekati
takikardi).

6. Thoraks : Bagian tubuh antara leher dan diafragma yang dibungkus oleh
iga.

7. Abdomen : Bagian tubuh yang terletak di antara thoraks dan pelvis, dan di
dalamnya terdapat rongga abdomen dan visera.
PERTANYAAN

1. Apa saja jenis-jenis dan penyebab demam ?


2. Apa kemungkinan penyakit yang terjadi apabila demam sudah ditangani tetapi tidak turun
dalam 3 hari ?
3. Apa hubungan antara demam dan nafsu makan yang menurun ?
4. Bagaimana mekanisme terjadinya demam ?
5. Hal apa yang terkait dengan wudhu dan panas tinggi pada pasien ?
6. Apakah jenis obat penurun panas yang diberikan dokter ?
7. Apakah gejala lanjutan yang dapat timbul setelah demam tidak turun-turun ?
8. Bagaimana penanganan pertama bila terjadi demam selain memberi obat penurun panas ?
9. Apa saja pemeriksaan laboratorium jika demam tidak turun dalam waktu 3 hari ?
10. Apakah hasil pemeriksaan fisik pasien dalam batas normal ?
11. Apa saja pencegahan supaya tidak terjadi demam ?
JAWABAN

1. Jenis-jenis demam antara lain :


 Demam intermiten
 Demam remiten
 Demam kambuhan
 Demam konstan
 Demam tersiana

Demam bisa disebabkan oleh faktor dari pirogen eksogenik seperti patogen, bakteri,
virus, infeksi, alergi, dehidrasi, keganasan, dan kelelahan.

2. Kemungkinan penyakit yang diderita pasien jika demam tidak turun dalam 3 hari antara
lain :
 Malaria
 Demam Berdarah (DBD)
 Tifoid
 Alergi
 Dehidrasi

3. Demam dapat mengakibatkan gangguan fungsi tubuh. Kemungkinan ada radang ataupun
gangguan pencernaan yang menyebabkan nafsu makan pasien menurun.

4. Mekanisme terjadinya demam :


Faktor pirogen eksogenik (infeksi virus, bakteri, dll.) → Leukosit PMN bekerja sebagai
makrofag → Pemberian sinyal pirogen endogenik → Prostaglandin yang dihasilkan
oxylooxyginase → meningkatkan set point hipothalamus → Terjadi peningkatan hasil
produksi panas dan menurunkan pengeluaran panas → Demam

5. Pasien boleh berwudhu saat demam namun dengan air hangat. Jika demam terlalu tinggi,
dianjurkan tayammum karena dalam Islam sudah terdapat keringanan.

6. Jenis obat penurun panas yang dapat diberikan dokter antara lain :
 Paracetamol
 Ibuprofen
 Sanmol
 Asam salisilat
 Metampiron

7. Gejala lanjutan yang dapat timbul setelah demam tidak turun-turun adalah kejang,
dehidrasi, perdarahan, mimisan, sakit kepala, dan menggigil.

8. Penanganan pertama yang dapat dilakukan bila terjadi demam selain memberi obat
penurun panas adalah :
 Kompres dengan air hangat
 Diberi banyak air putih dan minuman hangat
 Diberi pakaian tebal
 Tidur yang cukup
 Pemeriksaan suhu tubuh secara berkala

9. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan jika demam tidak turun dalam 3 hari
adalah pemeriksaan darah lengkap yang terdiri dari :
 Pemeriksaan trombosit
 Pemeriksaan hemoglobin
 Pemeriksaan eritrosit
 Pemeriksaan leukosit
 Laju Endap Darah (LED)
 Titer tifoid menggunakan widal

10. Hasil pemeriksaan fisik pasien :


1) Hasil nadi 96 kali per menit : Nadi normal tinggi (cenderung takikardi)
2) Suhu 39℃ : Suhu di atas normal (febris)
3) Frekuensi pernapasan 20 kali per menit : Frekuensi pernapasan normal

11. Pencegahan yang dapat dilakukan supaya tidak terjadi demam antara lain :
1) Menghindari infeksi
2) Meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara :
 Istirahat yang cukup
 Melakukan aktivitas fisik
 Mengonsumsi makanan yang sehat
 Minum air putih yang cukup
HIPOTESIS
Demam terjadi akibat adanya patogen (bakteri, virus, dan lain-lain). Apabila tidak
ditangani bisa terjadi kejang, dehidrasi, perdarahan, munculnya petechiae, mimisan, sakit kepala,
dan menggigil. Demam bisa ditangani dengan diberikan kompres hangat, diberi banyak air putih
dan minuman hangat, tidur yang cukup, serta dapat diberikan obat penurun panas. Apabila panas
tetap tidak turun dalam 3 hari, bawalah ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan
laboratorium. Pada pasien demam dibolehkan berwudhu dengan air hangat.
SASARAN BELAJAR
1. Memahami dan Menjelaskan Demam
1.1 Definisi Demam
1.2 Jenis Demam
1.3 Etiologi Demam
1.4 Mekanisme Kenaikan Suhu
1.5 Tatalaksana Demam
1.6 Pencegahan Demam
1.7 Dampak Demam Terhadap Tubuh

2. Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan Laboratorium Untuk Demam


2.1 Pemeriksaan Darah Lengkap

3. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam Terhadap Keringanan Berwudhu


1. Memahami dan Menjelaskan Demam
1.1 Definisi Demam
Demam adalah kenaikan suhu tubuh yang ditandai oleh kenaikan titik ambang regulasi
panas hipotalamus. Pusat regulasi/pengatur panas hipotalamus mengendalikan suhu tubuh
dengan menyeimbangkan sinyal dari reseptor neuronal perifer dingin dan panas. Demam
terjadi bila berbagai proses infeksi dan non-infeksi berintraksi dengan mekanisme pertahanan
hospes. Demam pada kebanyakan anak disebabkan oleh agen mikrobiologi yang dapat
dikenali dan demam menghilang sesudah masa yang pendek (Arvin, 2000).
Batasan nilai atau derajat demam dengan pengukuran di berbagai bagian tubuh sebagai
berikut: suhu aksila/ketiak diatas 37,2°C, suhu oral/mulut diatas 37,8°C, suhu rektal/anus
diatas 38,0°C, suhu dahi diatas 38,0°C, suhu di membran telinga diatas 38,0°C. Sedangkan
dikatakan demam tinggi apabila suhu tubuh diatas 39,5°C dan hiperpireksia bila suhu diatas
41,1°C (Bahren, et al., 2014).
Definisi demam adalah keadaan suhu tubuh di atas suhu normal, yaitu suhu tubuh di atas
38º Celsius. Suhu tubuh adalah suhu visera, hati, otak, yang dapat diukur lewat oral, rektal,
dan aksila. Cara pengukuran suhu menentukan tinggi rendahnya suhu tubuh. Pengukuran
suhu melalui mulut dilakukan dengan mengambil suhu pada mulut (mengulum termometer
dilakukan pada anak yang sudah kooperatif), hasilnya hampir sama dengan suhu dubur,
namun bisa lebih rendah bila frekuensi napas cepat. Pengukuran suhu melalui dubur (rektal)
dilakukan pada anak di bawah 2 tahun. Termometer masuk ke dalam dubur sedalam 2-3 cm
dan kedua pantat dikatupkan, pengukuran dilakukan selama 3 menit. Suhu yang terukur
adalah suhu tubuh yang mendekati suhu yang sesungguhnya (core temperature). Dikatakan
demam bila suhu di atas 38℃. Pengukuran suhu melalui ketiak (axilar) hanya dapat
dilakukan pada anak besar mempunyai daerah aksila cukup lebar, pada anak kecil ketiaknya
sempit sehingga terpengaruh suhu luar. Pastikan puncak ujung termometer tepat pada tengah
aksila dan pengukuran dilakukan selama 5 menit. Hasil pengukuran aksila akan lebih rendah
0,5-1,0℃ dibandingkan dengan hasil pengukuran melalui dubur. Pengukuran suhu dengan
cara meraba kulit, daerah yang diraba adalah daerah yang pembuluh darahnya banyak seperti
di daerah pipi, dahi, tengkuk (Ismoedijanto, 2000).
1.2 Jenis Demam
1.2.1 Berdasarkan Pola Demam
Di bawah ini adalah berbagai pola demam yang dapat membantu dalam menegakkan
diagnosis :
1. Demam kontinyu, demam ini berlangsung terus menerus dan tidak berfluktuasi lebih
dari 1º C selama 24 jam. Tipe demam kontinyu dapat disebabkan oleh infeksi
pneumonia, infeksi tifus atau tifoid (demam lebih tinggi pada malam hari), dinfeksi
saluran kencing, infeksi kuman Gram-negatif, riketsia, demam tifoid, gangguan sistem
saraf pusat, tularemia, dan malaria falciparum.

2. Demam remiten, karakteristik demam remiten ditandai dengan demam naik turun lebih
dari 1º C tetapi tidak mencapai suhu normal. Salah satu penyebab demam remiten
adalah infeksi endokarditis, demam jantung rematik, tifoid fase awal dan berbagai
penyakit virus.

3. Demam intermiten atau siklik, karakteristik demam ini ditandai dengan naik turunnya
suhu tubuh dari demam menjadi suhu normal kemudian menjadi demam kembali
dalam periode waktu tertentu. Penyebab demam intermiten adalah malaria,
Plasmodium falciparum atau Plasmodium knowlesi dapat menyebabkan demam
dengan periode 24 jam, Plasmodium vivax atau Plasmodium ovale dapat menyebabkan
demam dengan periode 48 jam sekali, Plasmodium malariae dapat menyebabkan
demam dengan periode 72 jam sekali.
4. Demam bifasiq, demam ini dikarakteristikan dengan demam yang tinggi kemudian
hilang dan akan kembali meningkat. Penyebab demam bifasiq antara lain virus demam
berdarah, dan leptospirosis.

5. Demam septik atau hektik, terjadi saat demam remiten atau intermiten menunjukan
perbedaan antara puncak dan titik terendah suhu yang sangat besar.

6. Relapsing fever adalah istilah yang biasa dipakai untuk demam rekuren yaitu demam
yang timbul kembali dengan interval irregular suatu penyakit. Biasanya disebabkan
oleh spesies Borrelia (dr. Herlina, 2019).
7. Demam intermiten hepatik (demam Charcot), dengan episode dema yang sporadis,
terdapat penurunan temperatur yang jelas dan kekambuhan demam. Hal ini adalah
pola yang sering te rjadi dan dapat dipercayai pada kolangitis, biasanya terkait dengan
kolelitiasis, ikterik, leukositosis, dan adanya tanda-tanda toksik.
8. Demam Pel-Ebstein, ditandai oleh periode demam setiap minggu atau lebih lama dan
periode afebril yang sama durasinya disertai dengan berulangnya siklus. Keadaan ini
terjadi pada penyakit Hodgkin, bruselosis dari tipe Brucella melitensis.
9. Factitious fever atau self induced fever, mungkin merupakan manipulasi yang
disengaja untuk memberi kesan adanya demam (IDAI, 2008).

1.2.2 Berdasarkan Umur


Klasifikasi berdasarkan umur pasien dibagi menjadi kelompok umur kurang dari 2
bulan, 3-36 bulan dan lebih dari 36 bulan. Pasien berumur kurang dari 2 bulan, dengan atau
tanpa tanda SBI (serious bacterial infection). Infeksi seringkali terjadi tanpa disertai demam.
Pasien demam harus dinilai apakah juga menunjukkan gejala yang berat. Menurut Yale
Acute Illness Observation Scale atau Rochester Criteria yang menilai adakah infeksi yang
menyebabkan kegawatan. Pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) dapat merupakan
petunjuk untuk perlunya perawatan dan pemberian antibiotik empirik.

1.2.3 Berdasarkan Lama Demam


Klasifikasi berdasarkan lama demam pada anak, dibagi menjadi:
1. Demam kurang 7 hari (demam pendek) dengan tanda lokal yang jelas, diagnosis
etiologik dapat ditegakkan secara anamnestik, pemeriksaan fisis, dengan atau tanpa
bantuan laboratorium, misalnya tonsilitis akut.
2. Demam lebih dari 7 hari, tanpa tanda lokal, diagnosis etiologik tidak dapat
ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis, namun dapat ditelusuri dengan tes
laboratorium, misalnya demam tifoid.
3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya, sebagian terbesar adalah sindrom virus.
1.3 Etiologi Demam
Secara garis besar, ada dua kategori demam yang seringkali diderita anak yaitu demam
non-infeksi dan demam infeksi (Widjaja, 2008).
1) Demam Non-infeksi
Demam non-infeksi adalah demam yang bukan disebabkan oleh masuknya bibit penyakit
ke dalam tubuh. Demam ini jarang diderita oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Demam non-infeksi timbul karena adanya kelainan pada tubuh yang dibawa sejak lahir, dan
tidak ditangani dengan baik. Contoh demam non-infeksi antara lain demam yang disebabkan
oleh adanya kelainan degeneratif atau kelainan bawaan pada jantung, demam karena stres,
atau demam yang disebabkan oleh adanya penyakit-penyakit berat misalnya leukimia dan
kanker.
2) Demam Infeksi
Demam infeksi adalah demam yang disebabkan oleh masukan patogen, misalnya kuman,
bakteri, viral atau virus, atau binatang kecil lainnya ke dalam tubuh. Bakteri, kuman atau
virus dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara, misalnya melalui
makanan, udara, atau persentuhan tubuh. Imunisasi juga merupakan penyebab demam
infeksi karena saat melalukan imunisasi berarti seseorang telah dengan sengaja memasukan
bakteri, kuman atau virus yang sudah dilemahkan ke dalam tubuh balita dengan tujuan
membuat balita menjadi kebal terhadap penyakit tertentu. Beberapa penyakit yang dapat
menyebabkan infeksi dan akhirnya menyebabkan demam pada anak antara lain yaitu
tetanus, mumps atau parotitis epidemik, morbili atau measles atau rubella, demam berdarah,
TBC, tifus dan radang paru-paru (Widjaja, 2008).
Menurut Febry dan Marendra (2010) penyebab demam dibagi menjadi 3 yaitu:
1) Demam infeksi, antara lain infeksi virus (cacar, campak dan demam berdarah) dan infeksi
bakteri (demam tifoid dan pharingitis).
2) Demam non infeksi, antara lain karena kanker, tumor, atau adanya penyakit autoimun
(penyakit yang disebabkan sistem imun tubuh itu sendiri).
3) Demam fisiologis, bisa karena kekurangan cairan (dehidrasi), suhu udara terlalu panas
dan kelelahan setelah bermain disiang hari.
Dari ketiga penyebab tersebut yang paling sering menyerang anak adalah demam akibat
infeksi virus maupun bakteri (Febry & Marendra, 2010)
Penyebab akut (yaitu, durasi ≤ 4 hari) demam pada orang dewasa sangat mungkin
menular. Ketika pasien hadir dengan demam karena sebab noninfectious, demam hampir
selalu kronis atau berulang. Juga, acara demam terisolasi, akut pada pasien dengan gangguan
inflamasi atau neoplastik yang dikenal masih mungkin menular. Pada orang sehat, acara
demam akut tidak mungkin awal manifestasi penyakit kronis.
Faktor-faktor pasien meliputi status kesehatan, berikut tabel penyebab demam akut :
Faktor Predisposisi Sebab
Infeksi saluran pernapasan atas atau bawah
Infeksi saluran cerna
Tidak ada (sehat)
Infeksi saluran urine
Infeksi kulit
Infeksi kateter IV
Rawat inap Infeksi saluran urine (terutama pada pasien
dengan kateter yang menetap)
Pneumonia (terutama pada pasien yang
menggunakan ventilator)
Atelektasis
Infeksi situs bedah (pasca operasi)
Trombosis vena dalam atau emboli paru
Diare (Clostridium difficile-induced)
Narkoba
Hematoma
Reaksi transfusi
Bisul dekubitus

Coccidioidomycosis
Demam berdarah (kurang umum)
Gangguan diare
Hantavirus
Histoplasmosis
Penyakit legiuner
Malaria
Infeksi Rickettsial (mis. Tifus kutu Afrika,
demam berbintik Mediterania)
Berpergian ke daerah Bakteri yang resistan terhadap beberapa obat
endermis Wabah
Tularemia
Demam tifoid
Hepatitis virus
Infeksi virus Zika, chikungunya, Ebola,
rabies, campak, dan demam kuning
Kutu: Rickettsiosis, ehrlichiosis,
anaplasmosis, penyakit Lyme, babesiosis,
tularemia
Nyamuk: Arboviral encephalitis
Hewan liar: Tularemia, rabies, infeksi
hantavirus
Paparan vektor (di AS) Kutu: Wabah
Hewan peliharaan: Brucellosis, penyakit
gores kucing, demam Q, toksoplasmosis
Burung: Psittacosis
Reptil: infeksi Salmonella
Kelelawar: Rabies, histoplasmosis
Virus: Virus Varicella-zoster atau infeksi
Immunocompromise
sitomegalovirus
Bakteri: Infeksi akibat organisme yang
dienkapsulasi (mis., Pneumokokus,
meningokokus), Staphylococcus aureus,
bakteri gram negatif (mis., Pseudomonas
aeruginosa), Nocardia sp, atau Mycobacteria
sp
Jamur: Infeksi karena Candida, Aspergillus,
Histoplasma, atau Coccidioides sp;
mikrosporidia, Pneumocystis jirovecii; atau
jamur yang menyebabkan mucormycosis
Parasit: Infeksi akibat Toxoplasma gondii,
Strongyloides stercoralis, Cryptosporidium
sp, atau Cystoisospora (sebelumnya Isospora
belli)

Amfetamin
Kokain
Methylenedioxymethamphetamine (MDMA,
Obat-obatan yang dapat atau Ekstasi)
meningkatkan produksi Antipsikotik
panas Anestesi
Antibiotik beta-laktam
Obat belerang
Fenitoin
Carbamazepine
Obat yang bisa memicu
Procainamide
demam
Quinidine
Amfoterisin B
Interferon

Pengendalian vektor
Global vector control response (GVCR) 2017–2030 yang disetujui oleh Majelis
Kesehatan Dunia (2017) memberikan panduan strategis bagi negara-negara dan mitra
pembangunan untuk penguatan mendesak pengendalian vektor sebagai pendekatan
mendasar untuk mencegah penyakit dan menanggapi wabah. Untuk mencapai hal ini
diperlukan penyelarasan program pengendalian vektor, didukung oleh peningkatan kapasitas
teknis, peningkatan infrastruktur, penguatan sistem pengawasan dan pengawasan, dan
mobilisasi masyarakat yang lebih besar. Pada akhirnya, ini akan mendukung implementasi
pendekatan komprehensif untuk pengendalian vektor yang akan memungkinkan pencapaian
tujuan nasional dan global spesifik penyakit dan berkontribusi pada pencapaian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan dan Cakupan Kesehatan Universal.
Sekretariat WHO menyediakan panduan strategis, normatif dan teknis untuk negara-
negara dan mitra pembangunan untuk memperkuat pengendalian vektor sebagai pendekatan
mendasar berdasarkan GVCR untuk mencegah penyakit dan menanggapi wabah. Secara
khusus WHO menanggapi penyakit yang ditularkan melalui vektor dengan:
 memberikan panduan berbasis bukti untuk mengendalikan vektor dan melindungi
orang dari infeksi
 memberikan dukungan teknis kepada negara-negara sehingga mereka dapat secara
efektif mengelola kasus dan wabah
 mendukung negara-negara untuk meningkatkan sistem pelaporan mereka dan
menangkap beban sebenarnya dari penyakit
 memberikan pelatihan (peningkatan kapasitas) tentang manajemen klinis,
diagnosis dan pengendalian vektor dengan beberapa pusat kerja sama di seluruh dunia
 mendukung pengembangan dan evaluasi alat-alat baru, teknologi dan pendekatan
untuk penyakit bawaan vektor, termasuk pengendalian vektor dan teknologi manajemen
penyakit.

Elemen penting dalam penyakit yang ditularkan melalui vektor adalah perubahan
perilaku. WHO bekerja sama dengan mitra untuk memberikan pendidikan dan
meningkatkan kesadaran sehingga orang tahu bagaimana melindungi diri mereka sendiri dan
komunitas mereka dari nyamuk, kutu, serangga, lalat dan vektor lainnya.
Untuk banyak penyakit seperti penyakit Chagas, malaria, schistosomiasis dan
leishmaniasis, WHO telah memulai program pengendalian dengan menggunakan obat-
obatan yang disumbangkan atau disubsidi.
Akses ke air dan sanitasi adalah faktor yang sangat penting dalam pengendalian dan
eliminasi penyakit. WHO bekerja sama dengan berbagai sektor pemerintah untuk
mengendalikan penyakit ini1
Atau dengan cara melakukan 3M yaitu :
1. menutup
2. menguras
3. mengubur
ditambah dengan kegiatan pencegahan lain berupa
1. fogging rutin 1 bulan sekali
2. menggunakan lotion anti-nyamuk
3. menggunakan kelambu saat tidur (baik siang/malam)
4. menanam tanaman pengusir nyamuk (lavender)
5. memelihara ikan untuk memakan jentik nyamuk dalam bak mandi
6. mengatur ventilasi cahaya masuk dalam rumah
7. memberikan bubuk larvasida pada tempat penampungan air yg sulit dibersihkan2

1
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/vector-borne-diseases
2
126104-ID-relantionship-between-knowledge-of-vector.pdf
Demam merupakan akibat kenaikan set point (oleh sebab infeksi) atau oleh adanya
ketidakseimbangan antara produksi panas dan pengeluarannya. Demam pada infeksi terjadi
akibat mikro organisme merangsang makrofag atau PMN membentuk PE (faktor pirogen
endogenik) seperti IL-1, IL-6, TNF (tumor necrosis factor), dan IFN (interferon). Zat ini
bekerja pada hipotalamus dengan bantuan enzim cyclooxygenase pembentuk prostaglandin.
Prostaglandin-lah yang meningkatkan set point hipotalamus. Pada keadaan lain, misalnya
pada tumor, penyakit darah dan keganasaan, penyakit kolagen, penyakit metabolik, sumber
pelepasan PE bukan dari PMN tapi dari tempat lain. Kemampuan anak untuk beraksi
terhadap infeksi dengan timbulnya manifestasi klinis demam sangat tergantung pada umur.
Semakin muda usia bayi, semakin kecil kemampuan untuk merubah set point dan
memproduksi panas (Ismoedijanto, 2000).
 Pirogen Eksogen
Pirogen eksogen biasanya merangsang demam dalam 2 jam setelah terpapar.
Umumnya, pirogen berinteraksi dengan sel fagosit, makrofag atau monosit, untuk
merangsang sintesis IL-1. Mekanisme lain yang mungkin berperan sebagai pirogen
eksogen (misalnya endotoksin) beke rja langsung pada hipotalamus untuk mengubah
pengatur suhu. Radiasi, racun DDT, dan racun kalajengking dapat pula menghasilkan
demam dengan efek langsung pada hipotalamus.
 Pirogen Mikrobial
1. Bakteri Gram-negatif
Pirogenitas bakteri Gram-negatif (misalnya Escherichia coli, Salmonella) disebabkan
adanya heat-stable factor yaitu endoktosin, suatu pirogen eksogen yang pertama kali
ditemukan. Komponen aktif endotoksin berupa lapisan luar bakteri yaitu lipopolisakarida.
Endotoksin menyebabkan peningkatan suhu yang progresif tergantung dari dosis (dose-
related). Endotoksin Gram-negatif tidak selalu merangsang terjadinya demam; pada bayi
dan anak infeksi Gram-negatif akan mengalami hipotermia.

2. Bakteri Gram-positif
Pirogen utama bakteri Gram-positif (misalnya Stafilokokus) adalah peptidoglikan
dinding sel. Per unit berat, endotoksin lebih aktif daripada peptidoglikan. Hal ini
menerangkan perbedaan prognosis lebih buruk berhubungan dengan infeksi bakteri
Gram-negatif. Mekanisme yang bertanggung jawab terjadinya demam yang disebabkan
infeksi pneumokokus diduga proses imunologik. Penyakit yang melibatkan produksi
eksotokin oleh basil Gram-positif pada umumnya demam yang ditimbulkan tidak begitu
tinggi dibandingkan dengan Gram-positif piogenik atau bakteri Gram-negatif lainnya.

3. Virus
Telah diketahui secara klinis bahwa virus menyebabkan demam. Pada tahun 1958,
dibuktikan adanya pirogen yang beredar dalam serum kelinci yang mengalami demam
setelah disuntik virus influenza. Mekanisme virus memproduksi demam antara lain
dengan cara melakukan invasi langsung kedalam makrofag, reaksi imunologik terhadap
komponen virus termasuk di antaranya pembentukan antibodi, induksi oleh interferon,
dan nekrosis sel akibat virus.

4. Jamur
Produk jamur baik mati maupun hidup memproduksi pirogen eksogen yang akan
merangsang terjadinya demam. Demam umumnya timbul ketika mikroba berada dalam
peredaran darah. Anak yang menderita penyakit keganasan (misalnya leukemia) disertai
demam yang berhubungkan dengan neutropenia mempunyai risiko tinggi untuk terserang
infeksi jamur invasif.

 Pirogen Non-Mikrobial
1. Fagositosis
Fagositosis antigen non-mikrobial kemungkinan sangat bertanggung jawab untuk
tejadinya demam dalam proses transfusi darah dan anemia hemolitik imun (immune
haemolytic anemia).

2. Kompleks Antigen-antibodi
Demam yang disebabkan oleh reaksi hipersensitif dapat timbul baik sebagai akibat
reaksi antigen terhadap antibodi yang beredar, yang tersensitisasi (immune fever) atau
oleh antigen yang diaktivasi sel-T untuk memproduksi limfokin, yang sebaliknya akan
merangsang monosit dan makrofag untuk melepas IL-1. Contoh demam yang disebabkan
oleh immunologically mediated di antaranya lupus eritematosus sistemik dan reaksi obat
yang berat. Demam yang berhubungan dengan hipersensitif terhadap penisilin lebih
mungkin disebabkan oleh akibat interaksi kompleks antigen-antibodi dengan leukosit
dibandingkan dengan pelepasan IL-1.

3. Steroid
Steroid tertentu bersifat pirogenik bagi manusia. Ethiocholanolon dan metabolik
androgen diketahui sebagai perangsang pelepasan IL-1. Ethiocholanolon memproduksi
demam hanya bila disuntikkan secara intramuskular (bukan intravena), maka diduga
demam tersebut diakibatkan oleh pelepasan IL-1 oleh jaringan subkutis pada tempat
suntikan. Steroid ini diduga bertanggung jawab terhadap tejadinya demam pada pasien
dengan sindrom adrenogenital dan demam yang tidak diketahui penyebabnya (fever of
unknown origin).
4. Sistem Monosit-Makrofag
Sel mononuklear bertanggung jawab terhadap produksi IL-1 dan tejadinya demam.
Granulosit polimorfonuklear tidak lagi diduga sebagai penanggung jawab dalam
memproduksi IL-1 oleh karena demam dapat tirnbul dalam keadaan agranulositosis. Sel
mononuklear selain merupakan monosit yang beredar dalam darah perifer juga tersebar
dalam organ seperti paru (makrofag alveolar), nodus lirnfatik, plasenta, ruang
peritoneum, dan jaringan subkutan. Monosit dan makrofag berasal dari granulocyte-
monocyte colony- forming unit (GM-CFU) dalam sumsum tulang, kemudian memasuki
peredaran darah untuk tinggal beberapa hari sebagai monosit yang beredar atau
bermigrasi ke dalam jaringan yang akan berubah fungsi dan morfologi menjadi makrofag
yang berumur beberapa bulan. Sel-sel ini berperan penting dalam pertahanan tubuh
termasuk di antaranya merusak dan engulfing mikroba, mengenal antigen dan
mempresentasikannya untuk menempel pada lirnfosit, aktivasi limfosit-T, dan desatruksi
sel tumor (Tabel 1). Keadaan yang berhubungan dengan perubahan fungsi sistem
monosit-makrofag di antaranya bayi baru lahir, kortikosteroid dan terapi imunosupresi
lain, lupus eritematosus sistemik, sindrom Wiskott-Aldrich, dan penyakit granulomatosus
kronik. Dua produk utama monosit-makrofag adalah JL-1 dan TNF.

5. Interleukin -1 (IL-1)
Interleukin-1 (Gambar 1) disimpan dalam bentuk inaktif dalam sitoplasma sel
sekretori dengan bantuan enzim diubah menjadi bentuk aktif sebelum dilepas melalui
membran sel ke dalam sirkulasi. Interleukin-1 dianggap sebagai hormon oleh karena
mempengaruhi organ-organ yang jauh. Penghancuran IL-1 terutama dilakukan di ginjal.
Interleukin-1 terdiri atas tiga struktur polipeptida yang saling berhubungan, yaitu dua
agonis (IL-1 alfa dan IL-I beta) dan sebuah antagonis (IL-1 reseptor antagonis). Reseptor
antagonis IL-1 ini berkompetisi dengan IL-1 alfa dan IL-1 beta untuk berikatan dengan
reseptor IL-1. Jumlah relatif IL-1 dan reseptor antagonis IL-1 dalam suatu keadaan sakit
akan mempengaruhi reaksi inflamasi menjadi aktif atau ditekan. Selain makrofag sebagai
sumber utama produksi IL-1, sel Kupffer di hati, keratinosit, sel Langerhans pankreas,
serta astrosit juga memproduksi IL-1. Pada jaringan otak, produksi IL-1 oleh astrosit
diduga berperan dalam respons imun dalarn susunan saraf pusat (SSP) dan demam
sekunder terhadap perdarahan SSP.
Interleukin-1

InteInterleukin-1 mempunyai banyak fungsi, fungsi primer menginduksi demam pada


hipotalamus untuk menaikkan suhu. Peran mutlak diperlukan untuk proliferasi sel-T serta
aktivasi sel-B maka, sebelumnya IL-1 dikenal sebagai LAF = lymphocyte activating
factor dan BAF = B-cell activating factor. Interleukin-1 merangsang beberapa protein
tertentu di hati, seperti protein fase akut misalnya fibrinogen, haptoglobin, seruloplasrnin
dan CRP, sedangkan sintesis albumin dan transferin menurun. Secara karakteristik akan
terlihat penurunan konsentrasi zat besi serta seng dan peningkatan konsentrasi tembaga.
Keadaan hipoferimia terjadi sebagai akibat penurunan asirnilasi zat besi pada usus dan
peningkatan simpanan zat besi dalam hati. Perubahan ini mempengaruhi daya tahan tubuh
pejamu oleh karena menurunkan daya serang mikroorganisme dengan mengurangi nutrisi
esensialnya, seperti zat besi dan seng. Dapat timbul leukositosis, peningkatan kortisol, dm
laju endap darah.

6. Tumor Necrosis Factor


Sitokin ini selain dihasilkan oleh monosit dan makrofag,-limfosit, natural killer cells
(sel NK), sel Kupffer juga oleh astrosit otak, sebagai respons tubuh terhadap rangsang
atau luka yang invasif. Sitokin dalam jumlah sedikit mempunyai efek biologik yang
menguntungkan. Berbeda dengan K-1 yang mempunyai aktivitas antitumor yang rendah,
TNF mempunyai efek langsung terhadap sel tumor. Ia mengubah pertahanan tubuh
terhadap infeksi dan merangsang pemulihan jaringan menjadi normal, termasuk
penyembuhan luka. Tumor necrosis factor juga mempunyai efek merangsang produksi
IL-1, menambah aktivitas kemotaksis makrofag dan neutrofil, serta meningkatkan
fagositosis dan sitotoksik. Apabila jumlah yang dilepas di jaringan terlampau banyak,
maka TNF akan diikuti kerusakan jaringan yang mematikan serta syok (syok septik atau
toksik). Meskipun TNF mempunyai efek biologis yang serupa dengan IL-1, TNF tidak
mempunyai efek langsung pada aktivasi sel stem dan limfosit. Seperti K-1, TNF dianggap
sebagai pirogen endogen oleh karena efeknya pada hipotalamus dalam induksi demam.
Tumor necrosis factor identik dengan cackectin, yang menghambat aktivasi lipase
lipoprotein dan menyebabkan hiper-triglisedemia serta cachexia, petanda adanya
hubungan dengan infeksi kronik. Tingginya kadar TNF dalam serum mempunyai
hubungan dengan aktivitas atau prognosis berbagai penyakit infeksi, seperti meningitis
bakterial, leimaniasis, infeksi virus HIV, malaria, dan penyakit peradangan usus.

7. Limfosit yang Teraktivasi


Dalam sistem imun, limfosit merupakan sel antigen spesifik dan terdiri atas dua jenis
yaitu sel-B yang bertanggung jawab terhadap produksi antibodi dan sel-T yang mengatur
sintesis antibodi dan secara tak langsung berfungsi sitotoksik, serta memproduksi respons
inflamasi hipersensitivitas tipe lambat. Interleukin-1 berperan penting dalam aktivasi
limfosit (dahulu disebut LAF). Sel limfosit-T hanya mengenal antigen dan menjadi aktif
setelah antigen diproses dan dipresentasikan kepadanya oleh makrofag. Efek stimulasi
IL-1 pada hipotalamus (seperti pirogen endogen menginduksi demam) dan pada sel
lirnfosit-T (sebagai LAF) merupakan bukti kuat dan nyata manfaat demam. Sebagai
jawaban stimulasi IL-1,limfosit-T menghasilkan berbagai zat seperti terlihat pada
Garnbar 1.

8.

Interferon (INF)
Interferon dikenal oleh karena kemampuan untuk merintangi replikasi virus di
dalam sel yang terinfeksi. Berbeda dengan K-1 dan TNF, INF diproduksi oleh
limfosit-T yang teraktivasi. Terdapat tiga jenis molekul yang berbeda dalam aktivitas
biologik dan urutan asam aminonya, yaitu INF-alfa, beta, dan gama. Interferon-alfa
dan beta diproduksi oleh hampir semua sel (seperti leukosit, fibroblas, dan makrofag)
sebagai respons terhadap infeksi virus, sedang sintesis INF-gama dibatasi oleh
limfosit-T.
Interferon-gama dikenal sebagai penginduksi makrofag yang poten dan
menstimulasi sel-B untuk meningkatkan produksi antibodi. Fungsi IFN-gama sebagai
pirogen endogen dapat secara tidak langsung pada makrofag untuk melepas IL-1
(macrophage-activating factor) atau secara langsung pada pusat pengatur suhu di
hipotalamus. Interferon mungkin mempengaruhi aktivitas antivirus dan sitolitik TNF,
serta meningkatkan efisiensi sel NK. Aktivitas antivirus disebabkan penyesuaian
sistem INF dengan berbagai jalur biokimia yang mempunyai efek antivirus dan
bereaksi pada berbagai fase siklus replikasi virus. Interferon juga memperlihatkan
aktivitas antitumor baik secara langsung dengan cara mencegah pembelahan sel
melalui pemanjangan jalur siklus multiplikasi sel atau secara tidak langsung dengan
mengubah respons imun. Aktivitas antivirus dan antitumor INF terpengaruhi oleh
meningkatnya suhu. Interleukin-4 (K-4), yang menginduksi sintesis imunoglobulin igE
dan IgG4 oleh sel polimorfonuklear, tonsil, atau sel limpa manusia sehat dan pasien
alergi, dihalangi oleh INF-gama dan INF-alfa, berarti limfokin ini beraksi sebagai
antagonis IL-4.
Interferon melalui kemampuan bilogiknya, dapat digunakan sebagai obat pada
berbagai penyakit. Interferon-alfa semakin sering dipakai dalam pengobatan berbagai
infeksi virus, seperti hepatitis B, C, dan delta. Efek toksik preparat INF di antaranya,
demam, rasa dingin, nyeri sendi, nyeri otot, nyeri kepala yang berat, somnolen, dan
muntah. Demam dapat muncul pada separuh pasien yang mendapat INF sampai
mencapai 40°C. Efek samping ini dapat diatasi dengan pemberian parasetamol dan
prednisolon. Efek samping berat di antaranya, gagal hati, gagal jantung, neuropati, dan
pansitopenia.

9. Interleukin-2 (IL-2)
Interleukin-2 merupakan limfokin penting yang kedua (setelah INF) yang dilepas
oleh limfosit-T yang teraktivitasi sebagai respons stimulasi IL-1. Interleukin-2
mempunyai efek penting pada perturnbuhan dan fungsi sel-T, sel NK, dan sel-8. Telah
dilaporkan adanya kasus defisiensi imun kongenital berat disertai dengan efek penting
pada pertumbuhan dan fungsi sel-T, sel NK, dan sel B. Interleukin-2 memperlihatkan
sitotoksik antitumor (terhadap melanoma ginjal, usus besar, dan paru) sebagai hasil
aktivasi spesifik sel NK (lymphokine-activated killer cells atau LAK) yang memiliki
aktivitas sitotoksik terhadap proliferasi sel tumor. Respons neuroblastoma tampaknya
cukup baik terhadap terapi imun dengan IL-2. Sayangnya terapi imun IL-2 dapat
menyebabkan defek kemotaksis neutrofil yang reversibel, diikuti peningkatan
kerentanan terhadap innfeksi pada pasien yang menerimanya. Efek samping lainnya di
antaranya lemah badan, demam, anoreksia, dan nyeri otot. Gejala ini dapat dikontrol
dengan parasetamol. Interleukin-2 menstirnulasi pelepasan sitkokin lain, seperti IL-I,
TNF, dan INF-alfa, yang akan menginduksi aktivitas sel endotel, mendahului
bocornya pembuluh darah, sehingga dapat menyebabkan edema paru dan retensi
cairan yang hebat. Penyakit yang berhubungan dengan defisiensi IL-2 di antaranya
lupus eritematosus sistemik, diabetes melitus, luka bakar berat, dan beberapa bentuk
keganasan.
10. Granulocyte-macrophage coloby-stimulating factor (GM-CSF)
Granuloyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) adalah limfokin
lain yang diproduksi terutama oleh limfosit, meskipun makrofag dan sel mast
mempunyai kemampuan untuk memproduksinya. Fungsi utama GM-CSF
menstimulasi sel progenitor hemopoetik untuk berproliferasi dan berdiferensiasi
menjadi granulosit dan makrofag serta mengatur kematangan fungsinya. Penggunaan
dalam pengobatan di antaranya digunakan untuk pengobatan mielodisplasia, anemia
aplastik, dan efek mielotoksik pada pengobatan keganasan serta transplantasi.
Pemberian GM-CSF dapat disertai dengan terjadinya demam, yang dapat diharnbat
dengan pemberian obat antiinflamasi nonsteroid seperti ibuprofen.
1.4 Mekanisme Kenaikan Suhu
Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh yang berhubungan langsung dengan
tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang (Sherwood,
2001). Sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik, maka monosit, makrofag, dan sel
kupfer mengeluarkan sitokin yang berperan sebagai pirogen endogen (IL-1, TNF-α, IL-6,
dan interferon) yang 13 bekerja pada pusat thermoregulasi hipotalamus. Sebagai respon
terhadap sitokin tersebut maka terjadi sintesis prostaglandin, terutama prostaglandin E2
melalui metabolisme asam arakidonat jalur siklooksigenase-2 (COX-2) dan menimbulkan
peningkatan suhu tubuh. Hipotalamus akan mempertahankan suhu sesuai patokan yang baru
dan bukan suhu normal (Ganong, 2002; Nelwa, 2006).
Mekanisme demam dapat juga terjadi melalui jalur non prostaglandin melalui sinyal afferen
nervus vagus yang dimediasi oleh produk lokal Macrophage Inflammatory Protein-1 (MIP-
1), suatu kemokin yang bekerja langsung terhadap hipotalamus anterior. Berbeda dengan
demam dari jalur prostaglandin, demam melalui MIP-1 ini tidak dapat dihambat oleh
antipiretik (Nelwa, 2006). Menggigil ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan produksi
panas, sementara vasokonstriksi kulit juga berlangsung untuk dengan cepat mengurangi
pengeluaran panas. Kedua mekanisme tersebut mendorong suhu naik. Dengan demikian,
pembentukan demam sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik adalah sesuatu yang
dialami dan bukan disebabkan oleh kerusakan mekanisme termoregulasi (Sherwood, 2001).
Tubuh akan memiliki mekanisme penurunan temperatur bila suhu terlalu panas. Sistem
pengaturan temperatur menggunakan tiga mekanisme penting untuk menurunkan panas
tubuh yaitu :
1) Vasodilatasi.
Pada hampir semua area tubuh, pembuluh darah mengalami dilatasi dengan kuat.
Hal ini disebabkan oleh hambatan dari pusat simpatis pada hipotalamus posterior yang
menyebabkan vasokonstriksi. Vasokontriksi penuh akan meningkatkan kecepatan
pemindahan panas ke kulit sebanyak delapan kali lipat.
2) Berkeringat.
Efek dari peningkatan temperatur yang menyebabkan berkeringat. Peningkatan
temperatur tubuh 1°C menyebabkan keringat yang cukup banyak untuk membuang 10
kali lebih besar kecepatan metabolisme basal dari pembentukan panas tubuh.
3) Penurunan pembentukan panas.
Mekanisme yang menyebabkan pembentukan panas berlebihan, seperti menggigil
dan termogenesis kimia, dihambat dengan kuat (Guyton & Hall, 1997).
Tubuh melepaskan panas melalui empat cara, yaitu radiasi, penguapan, konveksi, atau
konduksi. Kegagalan dalam melepas panas dianggap sebagai penyebab heat stroke, yang
sering menyebabkan kematian. Secara umum, enarn puluh persen panas dilepas secara
radiasi, yaitu transfer dari permukaan kulit melalui permukaan luar dengan gelombang
elektromagnet. Seperempat bagian lainnya dilepas melalui penguapan dari kulit dan paru,
dalam bentuk air yang diubah dari bentuk cair menjadi gas, 243 kj (58 kkal) dilepaskan
untuk setiap 100 mL air. Konveksi adalah pemindahan panas melalui pengerakan udara atau
cairan yang menyelimuti permukaan kulit, sedangkan konduksi adalah pemindahan panas
antara dua objek secara langsung pada suhu berbeda. Dibandingkan dengan posisi berdiri,
anak pada posisi tidur dengan permukaan kontak yang lebih luas akan melepas panas lebih
banyak melalui konduksi. Faktor fisik jelas akan mempengaruhi kemampuan respons
perubahan suhu. Pelepasan panas pada bayi sebagian besar disebabkan oleh permukaan
tubuhnya yang lebih luas daripada anak besar. Kegagalan pelepasan panas terjadi pada
displasia ektodermal anhidrotik dan kelebihan dosis penggunaan obat antikolonergik.
1.5 Tatalaksana Demam
Suhu yang dibahas dalam buku panduan ini merupakan suhu rektal, kecuali bila
dinyatakan lain. Suhu mulut dan aksilar lebih rendah, masing-masing sekitar 0.5° C dan 0.8°
C.
Demam bukan merupakan indikasi untuk pemberian antibiotik, bahkan dapat membantu
kekebalan tubuh melawan penyakit. Namun demikian, demam yang tinggi (>39° C) dapat
menimbulkan efek yang mengganggu seperti:
• berkurangnya nafsu makan.
• membuat anak gelisah.
• menyebabkan kejang pada beberapa anak yang berumur antara 6 bulan - 5 tahun.
• meningkatkan konsumsi oksigen (misalnya pada pneumonia sangat berat, gagal
jantung atau meningitis).
Semua anak dengan demam harus diperiksa apakah ada tanda atau gejala yang melatar-
belakanginya dan hal ini harus ditangani sebagaimana semestinya.
Pada tahap tertentu demam dapat menguntungkan pasien dalam arti dapat meningkatkan
fagositas dan menurunkan viabilitas kuman, meskipun penelitian yang ada belum
mendukung manfaat klinisnya. Namun kecemasan orang tua dan keraguan dokter
mendorong tindakan menurunkan demam, meskipun tindakan itu dapat mengaburkan gejala
dan obat yang dipakai belum tentu aman dari risiko sindrom Reye, intoksikasi salisilat, dan
gangguan hati. Penurunan demam harus sesuai dengan klasifikasi penyebabnya, apakah
perlu menurunkan set-point atau dengan cara lain.Tata laksana anak dengan demam terdiri
dari tatalaksana fisis, dan pengobatan baik simtomatik maupun etiologik.

1) Tindakan Umum Penurunan Demam secara Simtomatik


Diusahakan agar anak tidur atau istirahat agar metabolismenya menurun. Cukupi
cairan agar kadar elektrolit tidak meningkat saat evaporasi terjadi. Aliran udara yang
baik misalnya dengan kipas, memaksa tubuh berkeringat, mengalirkan hawa panas ke
tempat lain sehingga demam turun. Jangan menggunakan aliran yang terlalu kuat,
karena suhu kulit dapat turun mendadak. Ventilasi / regulasi aliran udara penting di
daerah tropik. Buka pakaian/selimut yang tebal agar terjadi radiasi dan evaporasi.
Lebarkan pembuluh darah perifer dengan cara menyeka kulit dengan air hangat (tepid-
sponging). Mendinginkan dengan air es atau alkohol kurang bermanfaat (justru terjadi
vasokonstriksi pembuluh darah), sehingga panas sulit disalurkan baik lewat mekanisme
evaporasi maupun radiasi. Pada hipertermi, pendinginan permukaan kulit (surface-
cooling) dapat membantu.
Tindakan simtomatik yang lain ialah dengan pemberian obat demam. Cara kerja obat
demam adalah dengan menurunkan set-point di otak dan membuat pembuluh darah kulit
melebar sehingga pengeluaran panas ditingkatkan. Obat yang sederhana adalah asam
salisilat dan derivatnya. Rentang daya kerja obat ini cukup panjang, aman untuk
dikonsumsi umum. Beberapa golongan antipiretik murni, dapat menurunkan suhu bila
anak demam namun tidak menyebabkan hipotermi bila tidak ada demam, seperti:
asetaminofen, asetosal, ibuprofen. Obat lain adalah obat yang bersifat antipiretik pada
dosis rendah dan menimbulkan hipotermi pada dosis tinggi seperti metamizol dan obat
yang dapat menekan pusat suhu secara langsung (chlorpromazine), mengurangi
menggigil namun dapat menyebabkan hipotermi dan hipotensi.
Pada umumnya obat antipiretik digunakan bila suhu tubuh anak lebih dari 38,5℃.
Orangtua dan sebagian besar dokter memberikan antipiretik pada setiap keadaan
demam. Seharusnya antipiretik tidak diberikan secara automatis, tetapi memerlukan
pertimbangan. Pemberian antipiretik harus berdasarkan pada kenyamanan anak, bukan
dari suhu yang tertera pada angka termometer. Saat ini pemberian resep antipiretik
terlalu berlebihan, antipiretik diberikan demi keuntungan orangtua daripada si anak.
Indikasi pemberian antipiretik, antara lain adalah:
1. Demam lebih dari 39℃ yang berhubungan dengan gejala nyeri atau tidak nyaman,
biasa timbul pada keadaan otitis media atau mialgia
2. Demam lebih dari 40,5℃
3. Demam berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme. Keadaan
undernutrition, penyakit jantung, luka bakar, atau pascaoperasi memerlukan
antipiretik.
4. Anak dengan riwayat kejang atau delirium yang disebabkan demam.
Obat antipiretik dapat dikelompokkan dalam empat golongan, yaitu para
arninofenol (parasetamol), derivat asam propionat (ibuprofen dan naproksen), salisilat
(aspirin, salisilamid), dan asam asetik (indometasin).
 Parasetamol (Asetaminofen)
Parasetamol merupakan metabolit aktif asetanilid dan fenasetin. Saat ini
parasetamol merupakan antipiretik yang biasa dipakai sebagai antipiretik dan
analgesik dalam pengobatan demam pada anak. Keuntungannya, terdapat dalam
sediaan sirup atau eliksir dan supositoria. Cara terakhir ini merupakan cara
altematif bila obat tidak dapat diberikan per oral, misal anak muntah, menolak
pemberian cairan, mengantuk, atau tidak sadar. Beberapa penelitian menunjukkan
efektivitas yang setara antara parasetamol oral dan supositoria. Dengan dosis yang
sama daya terapeutik antipiretiknya setara dengan aspirin, hanya parasetamol
tidak mempunyai daya antiinflamasi, oleh karena itu tidak digunakan pada
penyakit jaringan ikat seperti artritis reumatoid. Parasetamol juga efektif
menurunkan suhu dan efek samping lain yang berasal dari pengobatan dengan
sitokin, seperti interferon dan pada pasien keganasan yang menderita infeksi.
Dosis yang biasa dipakai terlihat pada Tabel 3, dosis 5 mg/kgBB tidak akan
menurunkan suhu, tetapi dosis yang tidak memadai ini sering dipakai orangtua
pasien. Di lain pihak, dosis 10-15 mg/kgBB (akan tercapai konsentrasi serum 10-
25 ug/mL) direkomendasikan setiap 4 jam. Dosis 20 mg/kgBB tidak akan
menambah daya penurunan suhu tapi memperpanjang daya antipiretik sampai 6
jam.

 Ibuprofen
Ibuprofen adalah suatu derivat asam propionat yang mempunyai kemampuan
antipiretik, analgesik, dan antiinflamasi. Seperti antipiretik lain dan NSAID
(non steroid anti inflammato y drug), ibuprofen beraksi dengan memblok
sintesis PGE, melalui penghambatan siklooksigenase. Obat ini diserap dengan
baik oleh saluran cema, mencapai puncak konsentrasi serum dalam 1 jam.
Kadar efek maksimal untuk antipiretik (sekitar 10 mg/L) dapat dicapai dengan
dosis 5 mg/kgBB, yang akan menurunkan suhu tubuh 2°C selama 3-4 jam.
Dosis 10 mg/kgBB/hari dilaporkan lebih poten dan mempunyai efek supresi
demam lebih lama dibandingkan dengan dosis setara parasetamol. Awitan
antipiretik tampak lebih dini dan efek lebih besar pada bayi daripada anak yang
lebih tua. Ibuprofen merupakan obat antipiretik kedua yang paling banyak
dipakai setelah parasetamol oleh karena sifat efikasi antipiretiknya, tersedia
dalam sediaan sirup dan keamanan serta tolerabilitasnya.
 Salisilat
Dalam penelitian perbandingan antara aspirin dan parasetamol dengan dosis
setara terbukti kedua kelompok mempunyai efektivitas antipiretik yang sama
tetapi aspirin lebih efektif sebagai analgesik. Kekurangan utama aspirin adalah
tidak stabil dalam bentuk larutan (oleh karena itu hanya tersedia dalam bentuk
tablet) dan efek samping lebih tinggi daripada parasetamol. Adapula peningkatan
insidens interaksi dengan obat lain, termasuk antikoagulan oral (menyebabkan
peningkatan risiko perdarahan), metoklopromid dan kafein (menyebabkan
peningkatan daya serap), serta natrium valproat (menyebabkan terhambatnya
metabolisme natrium valproat).
lndikasi Pemakaian Aspirin :
1. Sebagai antipiretik/analgetik, aspirin tidak lagi direkomendasikan. Dosis 10-15
mg/kgBB memberikan efek antipiretik yang efektif. Dapat diberikan 4-5
kali/hari oleh karena waktu paruh di dalam darah sekitar 3-4 jam.
2. Pada penyakit jaringan ikat seperti artritis reumatoid dan demam reumatik,
dosis awal 80 mg/kgBB dibagi 3-4 dosis. Dosis ini kemudian disesuaikan
untuk mempertahankan kadar salisilat dalam darah sekitar 20-30 mg/dL. Oleh
karena akhir-akhir ini dilaporkan adanya sindrom Reye pada kasus artritis
reumatoid yang mendapat aspirin, maka aspirin tidak lagi dipakai pada
pengobatan artritis reumatoid.
3. firomboxane A, merupakan vasokonstriktor poten dan sebagai platelet
aggregation agent yang terbentuk dari asam arakidonat melalui siklus
siklooksigenase. Aspirin menghambat siklooksigenase sehingga mempunyai
aktivitas antitrombosit dan fibrinolitik dalam dosis rendah, direkomendasikan
bagi anak dengan penyakit Kawasaki, penyakit jantung bawaan sianotik, dan
penyakit jantung koroner dewasa.

 Antipiretik Steroid
Steroid mempunyai efek antipiretik, pasien yang mendapat pengobatan steroid
jangka panjang akan mengalami penurunan demam atau bebas demam dalam
respons terhadap infeksi, seperti sepsis. Umumnya penekanan demarn berlagsung
sampai 3 hari setelah penghentian steroid. Efek antipiretik disebabkan
pengurangan produksi Interleukin-1 (IL-1) oleh makrofag (menyebabkan
terhambatnya respons fase akut proses infeksi yang sedang berjalan), supresi
aktivitas lunfosit dan respons inflamasi lokal, serta menghambat pelepasan
prostaglandin.

 Obat lainnya
Aspirin tidak direkomendasikan sebagai antipiretik pilihan pertama karena
dikaitkan dengan sindrom Reye, suatu kondisi yang jarang terjadi namun serius
yang menyerang hati dan otak. Hindari memberi aspirin pada anak yang
menderita cacar air, demam dengue dan kelainan hemoragik lainnya.
Obat lain tidak direkomendasikan karena sifat toksiknya dan tidak efektif
(dipiron, fenilbutazon) atau mahal (ibuprofen).

2) Tatalaksana Demam Menurut Umur


Pada kelompok ini bila hasil laboratorium menunjukkan adanya tanda infeksi
(leukosit darah <5.000 atau >15.000, hitung neutrofil darah>1500, leukosit urin di atas
10/lpb, leukosit tinja >5/lpb), anak segera masuk RS dan langsung mendapatkan
pengobatan antimikrobial secara empirik. Pada kelompok yang tidak memenuhi kriteria
ini, maka ada 2 pilihan yaitu:
1. melakukan kultur urin, kultur darah, kultur cairan serebro spinalis, diberikan
ceftriaxon dan diminta kontrol kembali setelah 24 jam.
2. melakukan kultur urin dan observasi dulu.
Pada anak dengan usia kurang dari 28 hari, pendekatan sebaiknya lebih agresif
dengan langsung memasukan ke RS untuk mendapatkan terapi antimikrobial secara
empirik. Pada kelompok usia 3-36 bulan, risiko adanya bakteriemia pada anak dengan
demam sekitar 3-11%. Bakteriemia tidak terjadi pada kelompok ini bila: leukosit
<15.000 dengan suhu >39℃, sedang kemungkinan bakteriemia akan 5 kali lipat bila
leukosit >15.000. Pada kelompok belakangan ini langsung dilakukan kultur darah dan
pemberian ceftriaxon. Pada kelompok anak di atas 36 bulan, pengobatan bisa dilakukan
secara etiologik, dengan memperhatikan adanya kegawatan.
1.6 Pencegahan Demam
Pencegahan demam pada anak harus dilakukan oleh semua anggota keluarga, dan
mengajari anak melakukan hal yang sama. Di antaranya adalah dengan:
 Rutin mencuci tangan dengan air dan sabun, terutama sebelum makan, setelah
berada di dekat orang sakit, atau setelah dari toilet.
 Biasakan membawa hand sanitizer, untuk berjaga-jaga bila tidak ada air dan
sabun.
 Selalu menutup mulut dan hidung saat bersin atau batuk.
 Menghindari menyentuh area yang rentan dimasuki kuman seperti mulut, hidung,
atau mata.
 Tidak berbagi alat makan dan minum dengan orang lain.
1.7 Dampak Demam Terhadap Tubuh
Demam diatas 41°C dapat menyebabkan hiperpireksia yang sangat berbahaya karena
dapat menyebabkan berbagai perubahan metabolisme, fisiologi, dan akhirnya berdampak
pada kerusakan susunan saraf pusat. Pada awalnya anak tampak menjadi gelisah disertai
nyeri kepala, pusing, kejang, serta akhirnya tidak sadar. Keadaan koma terjadi bila suhu
>43°C dan kematian terjadi dalam beberapa jam bila suhu 43°C sampai 45°C (Plipat, Hakim
& Ahrens, 2002).
Kejang dapat terjadi sebagai akibat dari demam tinggi yang tidak ditangani secara dini
sehingga menimbulkan hipoksia jaringan otak dan pada akhirnya terjadi kerusakan otak.
Suhu badan yang tinggi menyebabkan otak menjadi sensitif dan mudah mengalami kematian
sel. Suhu badan yang tinggi menyebabkan otak menjadi sensitif dan mudah mengalami
kematian sel. Hal ini sangat berbahaya bagi pertumbuhan dan perkembangan otak. Suhu
tubuh tinggi berbahaya karena mengakibatkan perdarahan lokal dan degenerasi
parenkimatosa di seluruh tubuh, gangguan pada metabolisme seluler tubuh, khususnya
gangguan pada enzim sebagai katalisis berbagai reaksi oksidasi kimia. Gangguan ini akan
menyebabkan terganggunya fungsi sel (Rahmawati, Sari & Ikeu, 2013).
2. Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan Laboratorium Untuk Demam
2.1 Pemeriksaan Darah Lengkap
Demam dapat merupakan satu-satunya gejala yang ada pada pasien infeksi. Panas dapat
dibentuk secara berlebihan pada hipertiroid, intoksikasi aspirin atau adanya gangguan
pengeluaran panas, misalnya heatstroke. Klasifikasi dilakukan berdasar pada tingkat
kegawatan pasien, etiologi demam, dan umur. Klasifikasi berdasarkan umur pasien dibagi
menjadi kelompok umur kurang dari 2 bulan, 3-36 bulan dan lebih dari 36 bulan. Pasien
berumur kurang dari 2 bulan, dengan atau tanpa tanda SBI (serious bacterial infection).
Infeksi seringkali terjadi tanpa disertai demam. Pasien demam harus dinilai apakah juga
menunjukkan gejala yang berat. Menurut Yale Acute Illness Observation Scale atau
Rochester Criteria, yang menilai adakah infeksi yang menyebabkan kegawatan. Pemeriksaan
darah (leukosit dan hitung jenis) dapat merupakan petunjuk untuk perlunya perawatan dan
pemberian antibiotik empirik.
Klasifikasi berdasarkan lama demam pada anak, dibagi menjadi:
1. Demam kurang 7 hari (demam pendek) dengan tanda lokal yang jelas, diagnosis
etiologik dapat ditegakkan secara anamnestik, pemeriksaan fisis, dengan atau tanpa
bantuan laboratorium, misalnya tonsilitis akut.
2. Demam lebih dari 7 hari, tanpa tanda lokal, diagnosis etiologik tidak dapat
ditegakkan dengan amannesis, pemeriksaan fisis, namun dapat ditelusuri dengan tes
laboratorium, misalnya demam tifoid.
3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya, sebagian terbesar adalah sindrom virus.

ESTIMASI FRAKSI JUMLAH JENIS LEUKOSIT


 Prinsip
Pada pemeriksaan 100 leukosit, hitung banyaknya tiap-tiap jenis leukosit yang
ditemukan. Proporsi tiap-tiap ini dilaporkan dalam fraksi decimal.
Contoh: neutrofil 0,56; limfosit 0,25; eosinofil 0,12; monosit 0,06; dan basofil 0,01.
Jumlah fraksi-fraksi tersebut harus sama dengan 1. Kalau jumlah leukosit total
diketahui, laporkan fraksi jumlah ini dalam konsentrasi jumlah (yi., jumlah sel per !iter),
bukan dalam fraksi desimal.
 Peralatan

1) Mikroskop
2) Minyak imersi
3) Apusan-darah tipis yang dipulas dengan pewarna Romanowsky
4) Kertas
5) Pensil.

Pemeriksaan mikroskopik
Periksa apakah leukosit sudah terdistribusi merata pada apusan, dengan objektif
x100 (memakai minyak imersi). Pada apusan yang jelek, neutrofil biasanya terkonsentrasi
pada ujung apusan. Ikuti langkah-langkah pelaporan tiap-tiap jenis leukosit berikut ini.
Buatlah tabel yang terdiri dari: 5 kolom (N, E, B, L, dan M), dan 10 baris

Setiap kali Anda menemukan jenis sel tertentu, buat turusnya pada tiap-tiap baris
tabel tersebut; kalau sudah tercapai 10 turus pada sebuah baris, lanjutkan ke baris
berikutnya. Jadi, kalau kesepuluh baris sudah terisi, Anda berarti sudah memeriksa 100
leukosit. Selanjutnya, hitung jumlah turus total per kolom.
Jumlah tersebut menunjukkan persentase tiap-tiap jenis leukosit. Konversikan
angka ini menjadi fraksi desimal, dengan menggeser tanda koma ke kiri dua kali dan
tambahkan angka nol di depannya. Dengan demikian, 59 menjadi 0,59, 8 menjadi 0,08, 1
menjadi 0,01, 28 menjadi 0,28, dll, seperti yang tercantum pada baris terakhir tabel.
Fraksi-fraksi desimal ini menunjukkan fraksi jumlah tiap-tiap jenis leukosit dan
merupakan nilai yang harus dilaporkan (kalau memakai sistem satuan SI).
Kisaran normal
Tabe19.12 menyajikan kisaran-normal fraksi jumlah jenis leukosit pada berbagai
kelompok usia.
Normalnya, distribusi jenis-jenis leukosit menunjukkan dua pola utama:
• Pola pertama, predominan limfosit (pada bayi dan anak di bawah 10 tahun).
• Pola kedua, predominan neutrofil (pada bayi barn lahir, anak di atas 10 tahun,
dan dewasa).
Fraksi jumlah tiap-tiap jenis leukosit juga dapat dilaporkan dalam konsentrasi
jumlahnya (yi., jumlah sel per liter). Konsentrasi jumlah inisama dengan fraksi jumlah
jenis leukosit tertentu dikali konsentrasi jumlah leukosit total.
Contoh:
 konsentrasi jumlah leukosit total = 5 x 109/1
 fraksi jumlah neutrofil = 0,42
 konsentrasi jumlah neutrofil = 0,42 x 5 x 109 = 2,1 x 108/1.
Temuan-temuan yang abnormal:
• Neutrofilia, yaitu peningkatan fraksijumlah neutrofil (>0,65), lazim ditemukan
pada infeksi.
• Eosinofilia, yaitu peningkatan fraksi jumlah eosinofil (>0,05). Ditemukannya
eosinofilia hampir selalu dianggap berkaitan dengan infeksi prasit jaringan
(mis, skitosomiasis, filariasis, cacing tambang, askariasis). Eosinofil juga dapat
disebabkan oleh alergi.
• Limfositosis, yaitu peningkatan fraksi jumlah limfosit (> 0,35 pada dewasa dan
>0,45 pada anak-anak), ditemukan pada infeksi viral tertentu (mis., campak),
infeksi kronis tertentu (mis., malaria, tuberkulosis), dan beberapa kondisi
toksik.
• Monositosis, yaitu,peningkatan fraksijumlah monosit (>0,06), ditemukan pada
infeksi bakterial tertentu (mis., demam tifoid, mononukleosis infeksiosa) dan
infeksi parasit tertentu (mis., malaria, kala-azar [leishmaniasis visceral].
•Neutropenia, yaitu penurunan jumlah neutrofil, dapat terjadi pada infeksi
tertentu (mis., sepsis) dan beberapa penyakit lainnya.
• Limfopenia, yaitu penurunan jumlah limfosit, dapat terjadi pada AIDS.

3. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam Terhadap Keringanan Berwudhu


Inilah risalah singkat tentang kewajiban bersuci dan shalat bagi orang-orang yang sakit.
Karena orang sakit mempunyai hukum tersendiri tentang hal ini. Syariat Islam begitu
memperhatikan hal ini karena Allah mengutus Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
aturan yang lurus dan lapang yang dibangun atas dasar kemudahan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Artinya : Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”
[Al-Hajj : 78]

“Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran


bagimu” [Al-Baqarah : 185]

“Artinya : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah
serta ta’atlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu” [At-Taghabun : 16]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Sesungguhnya din ini mudah” [1]

Beliau juga bersabda.: “Jika saya perintahkan kalian dengan suatu urusan maka kerjakanlah
semampu kalian” [2]

Berdasar kaidah dasar ini maka Allah memeberi keringanan bagi orang yang mempunyai
udzur dalam masalah ibadah mereka sesuai dengan tingkat udzur yang mereka alami, agar
mereka dapat beribadah kepada Allah tanpa kesulitan, dan segala puji bagi Allah Subhanahu wa
Ta’ala.

TATA CARA BERSUCI BAGI ORANG YANG SAKIT


1. Orang yang sakit wajib bersuci dengan air. Ia harus berwudhu jika berhadats kecil dan
mandi jika berhadats besar.
2. Jika tidak bisa bersuci dengan air karena ada halangan, atau takut sakitnya bertambah, atau
khawatir memperlama kesembuhan, maka ia boleh bertayamum.
3. Tata cara tayamum : Hendaknya ia memukulkan dua tangannya ke tanah yang suci sekali
pukulan, kemudian mengusap wajahnya lalu mengusap telapak tangannya.
4. Bila tidak mampu bersuci sendiri maka ia bisa diwudhukan, atau ditayamumkan orang lain.
Caranya hendaknya seseorang memukulkan tangannya ke tanah lalu mengusapkannya ke
wajah dan dua telapak tangan orang sakit. Begitu pula bila tidak kuasa wudhu sendiri maka
diwudhukan orang lain.
5. Jika pada sebagian anggota badan yang harus disucikan terluka, maka ia tetap dibasuh
dengan air. Jika hal itu membahayakan maka diusap sekali, caranya tangannya dibasahi
dengan air lalu diusapkan diatasnya. Jika mengusap luka juga membahayakan maka ia bisa
bertayamum.
6. Jika pada tubuhnya terdapat luka yang digips atau dibalut, maka mengusap balutan tadi
dengan air sebagai ganti dari membasuhnya.
7. Dibolehkan betayamum pada dinding, atau segala sesuatu yang suci dan mengandung debu.
Jika dindingnya berlapis sesuatu yang bukan dari bahan tanah seperti cat misalnya,maka ia
tidak boleh bertayamum padanya kecuali jika cat itu mengandung debu.
8. Jika tidak mungkin bertayamum di atas tanah, atau dinding atau tempat lain yang
mengandung debu maka tidak mengapa menaruh tanah pada bejana atau sapu tangan lalu
bertayamum darinya.
9. Jika ia bertayamum untuk shalat lalu ia tetap suci sampai waktu shalat berikutnya maka ia
bisa shalat dengan tayamumnya tadi, tidak perlu mengulang tayamum, karena ia masih suci
dan tidak ada yang membatalkan kesuciannya.
10. Orang yang sakit harus membersihkan tubuhnya dari najis, jika tidak mungkin maka ia
shalat apa adanya, dan shalatnya sah tidak perlu mengulang lagi.
11. Orang yang sakit wajib shalat dengan pakaian suci. Jika pakaiannya terkena najis ia harus
mencucinya atau menggantinya dengan pakaian lain yang suci. Jika hal itu tidak
memungkinkan maka ia shalat seadanya, dan shalatnya sah tidak perlu mengulang lagi.
12. Orang yang sakit harus shalat di atas tempat yang suci. Jika tempatnya terkena najis maka
harus dibersihkan atau diganti dengan tempat yang suci, atau menghamparkan sesuatu
yang suci di atas tempat najis tersebut. Namun bila tidak memungkinkan maka ia shalat
apa adanya dan shalatnya sah tidak perlu mengulang lagi.
13. Orang yang sakit tidak boleh mengakhirkan shalat dari waktunya karena ketidak
mampuannya untuk bersuci. Hendaknya ia bersuci semampunya kemudian melakukan
shalat tepat pada waktunya, meskipun pada tubuhnya, pakaiannya atau tempatnya ada najis
yang tidak mampu membersihkannya.

TATA CARA SHALAT ORANG SAKIT


1. Orang yang sakit harus melakukan shalat wajib dengan berdiri meskipun tidak tegak, atau
bersandar pada dinding, atau betumpu pada tongkat.
2. Bila sudah tidak mampu berdiri maka hendaknya shalat dengan duduk. Yang lebih utama
yaitu dengan posisi kaki menyilang di bawah paha saat berdiri dan ruku.
3. Bila sudah tidak mampu duduk maka hendaknya ia shalat berbaring miring dengan
bertumpu pada sisi tubuhnya dengan menghadap kiblat, dan sisi tubuh sebelah kanan lebih
utama sebagai tumpuan. Bila tidak memungkinkan meghadap kiblat maka ia boleh shalat
menghadap kemana saja, dan shalatnya sah, tidak usah mengulanginya lagi.
4. Bila tidak bisa shalat miring maka ia shalat terlentang dengan kaki menuju arah kiblat.
Yang lebih utama kepalanya agak ditinggikan sedikit agar bisa menghadap kiblat. Bila
tidak mampu yang demikian itu maka ia bisa shalat dengan batas kemampuannya dan
nantinya tidak usah mengulang lagi.
5. Orang yang sakit wajib melakukan ruku dan sujud dalam shalatnya. Bila tidak mampu
maka bisa dengan isyarat anggukan kepala. Dengan cara untuk sujud anggukannya lebih ke
bawah ketimbang ruku. Bila masih mampu ruku namun tidak bisa sujud maka ia ruku
seperti biasa dan menundukkan kepalanya untuk mengganti sujud. Begitupula jika mampu
sujud namun tidak bisa ruku, maka ia sujud seperti biasa saat sujud dan menundukkan
kepala saat ruku.
6. Apabila dalam ruku dan sujud tidak mampu lagi menundukkan kepalanya maka
menggunakan isyarat matanya. Ia pejamkan matanya sedikit untuk ruku dan memejamkan
lebih banyak sebagai isyarat sujud. Adapun isyarat dengan telunjuk yang dilakukan
sebagian orang yang sakit maka saya tidak mengetahuinya hal itu berasal dari kitab,
sunnah dan perkataan para ulama.
7. Jika dengan anggukan dan isyarat mata juga sudah tidak mampu maka hendaknya ia shalat
dengan hatinya. Jadi ia takbir, membaca surat, niat ruku, sujud, berdiri dan duduk dengan
hatinya (dan setiap orang mendapatkan sesuai yang diniatkannya).
8. Orang sakit tetap diwajibkan shalat tepat pada waktunya pada setiap shalat. Hendaklah ia
kerjakan kewajibannya sekuat dayanya. Jika ia merasa kesulitan untuk mengerjakan setiap
shalat pada waktunya, maka dibolehkan menjamak dengan shalat diantara waktu akhir
dzhuhur dan awal ashar, atau antara akhir waktu maghrib dengan awal waktu isya. Atau
bisa dengan jama taqdim yaitu dengan mengawalkan shalat ashar pada waktu dzuhur, dan
shalat isya ke waktu maghrib. Atau dengan jamak ta’khir yaitu mengakhirkan shalat
dzuhur ke waktu ashar, dan shalat maghrib ke waktu isya, semuanya sesuai kondisi yang
memudahkannya. Sedangkan untuk shalat fajar, ia tidak bisa dijamak kepada yang
sebelumnya atau ke yang sesudahnya.
9. Apabila orang sakit sebagai musafir, pengobatan penyakit ke negeri lain maka ia
mengqashar shalat yang empat raka’at. Sehingga ia melakukan shalat dzuhur, ashar dan
isya, dua raka’at-raka’at saja sehingga ia pulang ke negerinya kembali baik perjalanannya
lama ataupun sebentar.
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin, Edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan
Ibadah, Penerjemah Furqan Syuhada, Penerbit Pustaka Arafah]
[1]. HR Bukhari, Kitab Iman, bab Dien itu mudah (39)
[2]. HR Bukhari, Kitab I’tisham, bab mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam (7288), Muslim, Kitab Fadhail, bab menghormati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan jangan banyak bertanya tentang hal yang tidak terlalu penting (1337)

Anda mungkin juga menyukai