Anda di halaman 1dari 24

WRAP UP SKENARIO 2

KERACUNAN INSEKTISIDA

2019

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
JL. LETJEND SUPRAPTO, CEMPAKA PUTIH
JAKARTA 10510
TELP. 62.21.4244574 FAX. 62.21.4244574
DAFTAR ISI

Daftar isi.............................................................................................................................2
Skenario..............................................................................................................................3
Kata Sulit............................................................................................................................4
Pertanyaan.........................................................................................................................4
Jawaban .............................................................................................................................4
Hipotesa..............................................................................................................................6
Sasaran Belajar..................................................................................................................7
LI.1. Memahami dan Menjelaskan Keracunan Insektisida..........................................8
LO.1.1.Definisi Keracunan Insektisida...............................................................................8
LO.1.2.Gejala Keracunan Insektisida..................................................................................8
LO.1.3.Mekanisme Keracunan Insektisida..........................................................................8
LO.1.4.Penatalaksanaan Keracunan Insektisida..................................................................9

LI.2. Memamahami dan Menjelaskan Farmakokinetik................................................10


LO.2.1.Definisi Farmakokinetik..........................................................................................10
LO.2.2. Absorpsi dan Bioavailabilitas ................................................................................12
LO.2.3.Distribusi.................................................................................................................16
LO.2.4.Biotransformasi.......................................................................................................17
LO.2.5.Ekskresi...................................................................................................................20

LI.3. Memahami dan Menjelaskan Farmakodinamik Obat.........................................21


LO. 3.1.Definisi farmakodinamika………………………………………………………..21
LO 3.2.Mekanisme Kerja Obat…………………………………………………………....21
LO 3.3.Reseptor Obat…………………………………………………………………….. 21
LO 3.4.Antagonisme Farmakodinamika…………………………………………………..23
Daftar pustaka ………………………………………………………………………….. 24

2
SKENARIO 2

KERACUNAN INSEKTISIDA

Seorang perempuan berusia 20 tahun datang ke IGD RS YARSI dibawa orang tuanya dalam
keadaan kesadaran menurun, badan kaku, mulut berbusa dan tubuh basah oleh keringat.
Menurut orang tuanya pasien ditemukan di kamarnya dalam keadaan tergeletak, kaku,
muntah-muntah, sesak napas, dan di samping pasien ditemukan botol obat nyamuk baygon
dalam keadaan kosong dan tumpahan isinya di lantai. Dokter segera memeriksa dan
memberikan pertolongan keselamatan. Dokter menyimpulkan pasien mengalami keracunan
insektisida, kemudian memberikan antidotum atropin 2 mg dengan cara injeksi intravena
(intravenous, IV) yang diulang setiap 15 menit sampai terjadi atropinisasi.

3
KATA SULIT

1.Injeksi Intravena: Pemberian obat dengan cara memasukkan obata ke dalam pembuluh
darah vena dengan menggunakan spuit.
2.Atropinisasi : Suatu keadaan yang timbul setelah pemberian atropine yang ditandai muka
merah,mulut kering,takikardi,pupil melebar.
3.Insektisida : Bahan-bahan kimia bersifat racun yang dipakai membunuh serangga.
4.Antidotum: Agen yang bekerja melawan racun.
5.Keracunan: Efek fisiologis yang merusak disebabkan paparan terhadap racun.
6.Atropin: Obat yang digunakan untuk menangani melambatnya denyut jantung dan gejala
keracunan insektisida.
7.IGD : Instalasi Gawat Darurat

PERTANYAAN

1.Mengapa dokter memberikan obat dengan cara injeksi intravena?


2.Apa saja gejala keracunan insektisida?
3.Bagaimana cara mendiagnosis keracunan?
4.Apa fungsi antidotum atropine?
5.Apa efek samping atropine?
6.Mengapa pemberian atropine hanya diberikan 2 mg?
7.Kenapa ketika keracunan baygon keluar basa dari mulut?
8.Apa saja proses penatalaksanaan bagi pasien yang mengalami keracunan?
9.Mengapa pemberianobat atropine 15 menit sekali?
10.Apa mekanisme keracunan yang disebabkan oleh baygon?
11.Kandungan apa yang berbahaya di dalam baygon?

JAWABAN

1.Karena langsung ke aliran darah agar cepat bereaksi,kesadaran pasien menurun dan
beresiko terjadi aspirasi.
2.Kejang,keringat berlebihan,mulut kering,mual dan muntah,saliva berlebih,kulit memerah
atau bengkak.
3.-Autoanamnesis atau aloanamnesis
-Pemeriksaan fisik

4
-Status kesadaran
4.Meningkatkan denyut jantung,mengurangi produksi saliva,menghambat pusat yang ada di
syaraf.
5.Mual,muntah,sakit kepala,perut kembung,mempercepat denyut jantung,pengelihatan kabur.

6.Total dosis atropine sulfat yang digunakan pada pasien intoksikasi ringan dan sedang paling
banyak pada rentang <20 mg (43%).Sedangkan pasien intoksikasi berat paling banyak pada
rentang 20-30 mg (19%).
7. Karena cairan liur dan lambung berlebih,akibat pengaruh berlebih.
8. Stabilisasi,dekontaminasi,eliminasi.
9. Adanya duration of action.
10.Seperti golongan organofosfat,karbonat menghambatwnsim asetilkolin esterase yang
menyebabkan akumuluasi asetil kolin berlebihan pada reseptor moskarimik,nikotinik dan
SSP hambatan ini bersifat reversible dan singkat.
11.- DEET
-Transfluthin
-Propoxus
-Pyrethin
-Organofosfat

5
HIPOTESA

Keracunan insektisida adalah efek fisiologis yang merusak akibat paparan terhadap racun
yang dipakai membunuh serangga.Sehingga tubuh manusia mengalami kejang,keringat
berlebihan,mulut kering, mual dan muntah, saliva berlebih, kulit memerah atau bengkak.
Keracunan insektisida dapat di diagnosis dengan cara autoanamnesis atau
aloanamnesis,pemeriksaan fisik, status kesadaran. Dapat ditangani dengan
stabilisasi,dekontaminasi,dan eliminasi.Serta pemberian antidotum dengan dosis tertentu.

6
SASARAN BELAJAR

LI.1. Memahami dan Menjelaskan Keracunan Insektisida


LO.1.1.Definisi Keracunan Insektisida
LO.1.2.Gejala Keracunan Insektisida
LO.1.3.Mekanisme Keracunan Insektisida
LO.1.4.Penatalaksanaan Keracunan Insektisida

LI.2.Memamahami dan Menjelaskan Farmakokinetik


LO.2.1.Definisi Farmakokinetik
LO.2.2. Absorpsi dan Bioavailabilitas
LO.2.3.Distribusi
LO.2.4.Biotransformasi
LO.2.5.Ekskresi

LI.3.Memahami dan Menjelaskan Farmakodinamik


LO. 3.1 Definisi farmakodinamika
LO 3.2 Mekanisme Kerja Obat
LO 3.3 Reseptor Obat
LO 3.4 Interaksi Obat-Reseptor
LO 3.5 Antagonisme Farmakodinamika

7
LI.1. Memahami dan Menjelaskan Keracunan Insektisida
1.1............................................................................................................................... Defi
nisi Keracunan Insektisida

Pestisida (Inggris : pesticide) berasal dari kata pestyang berarti hama dan cide
yang berarti mematikan/racun. Jadi pestisida adalah racun hama. Secara umum pestisida
dapat didefenisikan sebagai bahan yang digunakan untuk mengendalikan populasi jasad
yang dianggap sebagai pest (hama) yang secara langsung maupun tidak langsung
merugikan kepentingan makhluk hidup. Pestisida sangat berbahaya bagi makhluk
hidup, bahkan bisa menyebabkan kematian.

Dalam Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran,
Penyimpanan dan Penggunaan Insektisida, insektisida adalah semua zat kimia dan
bahan lain serta jasad renik, serta virus yang dipergunakan untuk memberantas atau
mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia.
Beberapa penelitian menjelaskan keracunan insektisida adalah apabila ditemukan kadar
kolinesterase dalam darah dengan menggunakan pemeriksaan spektrofotometer.

1.2. Gejala Keracunan Insektisida

 Kelenjar: Produksi kelenjar keringat meningkat


 Mata: Miosis atau midriasis, diplopia atau strabismus, lakrimasi, injection
konjunctiva.
 Paru: Sesak napas kemungkinan karena bronkokonstriksi au kenaikan kelenjar
 Tekanan darah: hipertensi atau hipotensi
 Jantung: terjadi bradikardi
 Gastrointestinal: anorexia, mual, muntah-muntah, keram perut, diare, dan defekasi
spontan
 Otot: lemah, mengalami kontraksi, ataksia, tremor, tonus paralisis, dan keram
 Mulut: kering, salivasi berlebihan, dan tanda iritasi atau korosi asam
 Abdomen: nyeri epigastrium dan nyeri tekan pada hepar

1.3. Mekanisme Keracunan Insektisida

Insektisida terutama organofosfat yang merupakan pestisida yang paling toksik


pada manusia dan paling banyak frekuensinya ditemukan sebagai penyebab keracunan
insektisida mula-mula diabsorbsi sangat baik melalui paru-paru, saluran cerna, kulit,
membrn mukosa, dan konjunctiva melalui kontak inhalasi, tertelan, atau kontak tipikal.

Asetilkolin adalah neurotransmitter yang ditemukan pada ganglia simpatis dan


parasimpatis, skeletal neuromuscular junctions, terminal junctions dari postganglion
saraf parasimpatis, postganglion serat simpatis kelenjar keringat dan beberapa ujung
saraf pada SSP.

Pada akson terminalis yang depolarisasi (menjalankan rangsang), vesikelnya yang


mengandung asetilkolin akan menyatu dengan membrane eksternal dan rupture
kemudian melepaskan asetilkolin ke dalam sinaps atau neuromuscular junction.
Asetilkolin kemudian berikatan dengan reseptor postsinaptik menyebabkan terjadinya
aktivasi.

8
Asetilkolinesterase menghidrolisis asetilkolin menjadi dua fragmen yaitu asam
asetat dan kolin. Pada keadaan normal asetilkolin yang dilepas akson akan cepat
dihidrollisis. Tetapi komponen organofosfat dan carbamaates akan menghambat
hidrolisis multiple carboxyl ester ini, termasuk AChE dan butirilkolinesterase (plasma
kolinesterase / pseudokolinesterase). Hambatan inimenghasilkan ikatan terhadap enzim
seperti substansi normal.

Pemisahan ikatan kolin dengan enzim pada metabolism Ach selesai dalam beberapa
detik, ikatan organofosfat organic dengan enzim dapat menetap hingga beberapa jam.
Jika tetap tidak lepas maka akan terjadi ikatan permanen antara organofosfat dengan
setilkolinesterase sehingga menyebabkan asetilkolin pada seluruh sinaps kolinergik
meningkat sehingga terjadi toksisitas.

Mekanisme toksisitas banyak melibatkan peran aksi kolinergik neurotransmitter yaitu


asetilkolin (Ach). Pada sistem saraf pusat asetilkolin berperan dalam terjadinya
toksisitas insktisida organofosfat. Efek asetilkolin diakhiri melalui hidrolisis dengan
munculnya enzim asetilkolinesterase (AChE). Insektisida orgnofosfat menghambat
AChE melalui proses fosforilasi pada gugus esteranion. Ikatan forfor ini sangat kuat dan
bersifat irreversible. AChE tetap dihambat sampai enzim baru terbentuk atau suatu
reaktivator kolinesterase diberikan. Dengan fungsi sebagai anti-kolinesterase, kerjanya
menginaktifkan enzim kolinesterase yang menghidrolisis neurotransmiter asetilkolin
menjadi kolin yang tidak aktif. Akibatnya terjadi penumpukan Ach pada sinaps-
sinaoskolinergik dan menimbulkan gejala keracunan organofosfat.

1.4.Penatalaksanaan Keracunan Insektisida

 Stabilisasi: tindakan resusitasi kardiopulmoner yang dilakukan dengan cepat dan


tepat berupa:
o Pembebasan jalan napas
o Perbaikan fungsi pernapasan (ventilasi dan oksigenasi)
o Perbaikan sistem sirkulasi darah
 Dekontaminasi: menurunkan pemaparan terhadap racun, mengurangi absorbs dan
mencegah kerusakan.
o Pulmonal: menjauhkan korban dari pemaparan inhalasi zat racun
o Mata: tindakan membersihkan mata dari racun.
o Kulit: melepas pakaian, arloji, sepatu dan aksesoris lain.
o Gastrointestinal: tindakan pemberian bahan pengikat (karbon aktif),
pengenceran, atau mengeluarkan isis lambung dengan cara induksi muntak atau
aspirasi.
 Eliminasi: tindakan untuk mempercepat pengeluaran racun dalam darah atau
saluran gastrointestinal setelah lebih dari 4 jam.
o Diuresis paksa
o Alkalinisasi urin
o sidifikasi urin
o Hemodialysis / peritoneal dialysis
 Perawatan supportif
 Memelihara pernafasan. Kadang terjadi gangguan pada pernafasan akibat oleh
bronchokontriksi & sekresi kelenjar yg bertambah.

9
 Mencegah acidosis. Terjadinya muntah & diare spontan memungkin kan terjadi
acidosis akibat banyakny eletrolit darah yg kluar bersma munthan. Bisa
diberikan penambhan elektrolit scra infus / oral.
 Pemberian antidotum
 Pemberian antidotum
Merupakan antidotum yang mempunyai “blocking action” terhadap
acetylcholine terutama berkhasiat pda gejala muscarinic. Dosis besar ini tidak
berbahaya pada keracunan organofosfat dan harus dulang setiap 10 – 15 menit
sampai terlihat gejala-gejala keracunan atropin yang ringan berupa wajah
merah, kulit dan mulut kering, midriasis dan takikardi. Kemudian atropinisasi
ringan ini harus dipertahankan selama 24 – 48 jam, karena gejala-gejala
keracunan organofosfat biasanya muncul kembali. Pada hari pertama mungkin
dibutuhkan sampai 50 mg atropin. Kemudian atropin dapat diberikan oral 1 – 2
mg selang beberapa jam, tergantung kebutuhan. Pernafasan diperbaiki karena
atropin melawan brokokonstriksi, menghambat sekresi bronkus dan melawan
depresi pernafasan di otak, tetapi atropin tidak dapat melawan gejala kolinergik
pada otot rangka yang berupa kelumpuhan otot-otot rangka, termasuk
kelumpuhan otot-otot pernafasan.
 Pemberian Pralidoksim
Antidotum yg spesifik, mempunyai kelainan biokimia dengan mematahkan
ikatan kolinesterase & organofosfat sehingga aktifitas pulih kembali.
Reaktivitas tersebut mengatsi segala efek muscarinik /nikotinik.

LI.2. Memamahami dan Menjelaskan Farmakokinetik

2.1. Definisi Farmakokinetik

Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya
mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai ditempat kerja dan
menimbulkan efek. Kemudian,dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresidari
dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut proses farmakokinetik dan berjalan serentak
seperti yang terlihat pada Gambar 1-1 .

10
Di tubuh manusia, obat harus menembus sawar (barrier) ,sel di berbagai
jaringan. Pada umurnnya obat melintasi lapisan sel ini dengan menembusnya, bukan
dengan melewati celah antarsel, kecuali pada endotel kapiler. Karena itu peristiwa
terpenting dalam proses larmakokinetik ialah transport lintas membran.
Membran sel terdiri dari dua lapis lemak yang membentuk lase hidrofilik di kedua sisi
membran dan lase hidrofobik di antaranya. Molekul-molekul protein yang tertanam di
kedua sisi membran atau menembus membran berupa mozaik pada membran.
Molekul-molekul protein ini membentuk kanalhidrolilik untuk transport air dan
molekul kecil lainnya yang larut dalam air.
Cara-cara transport obat lintas membrane yang terpenting ialah difusi pasif
dan transport aktif;yang terakhir melibatkan komponen-komponen membran sel dan
membutuhkan energi. Sifat fisiko-kimia obat yang menentukan cara transport
ialah bentuk dan ukuran molekul, kelarutan dalam air, derajat ionisasi, dan kelarutan
dalam lemak.Umumnya absorpsi dan distribusi obat terjadi secara difusi pasif. Mula-
mula obat harus berada dalam larutan air pada permukaan membran sel,kemudian
molekul obat akan melintasi membran dengan melarut dalam lemak membran. Pada
proses ini, obat bergerak dari sisi yang kadarnyalebih tinggi ke sisi lain. Setelah taraf
mantap (steadyslale) dicapai, kadar obat bentuk non-ion di kedua
sisi membran akan sama.Kebanyakan obat berupa elektrolit lemah
yakni asam lemah atau basa lemah. Dalam larutan, elektrolit lemah ini akan
terionisasi. Derajat ionisasi ini tergantung dari pKa obat dan pH larutan. Untuk obat
asam, pKa rendah berarti relatif kuat, sedangkan untuk obat basa, pKa tinggi yang
relatif kuat. Bentuk non-ion umumnya larut baik dalam lemak sehingga mudah
berdifusi melintasi membran.Sedangkan bentuk ion, sukar melintasi membran karena
sukar larut dalam lemak. Pada taraf mantap,kadar obat bentuk non-ion saja yang sama
di kedua sisi membran, sedangkan kadar obat bentuk ionnya tergantung dari
perbedaan pH di kedua sisi membran. Membran sel merupakan membran
semipermeabel, artinya hanya dapat dirembesi air dan molekul-molekul kecil. Alr
berdifusi atau mengalir melalui kanal hidrofilik pada membran akibat perbedaan
tekanan hidrostatik maupun tekanan osmotik. Bersama aliran air akan terbawa zal-
zalle?larut bukan ion yang berat molekulnya kurang dari 100-200 misalnya urea,
etanol, dan antipirin. Meskipun berat atomnya kecil, ion anorganik ukurannya
membesar karena mengikat air sehingga tidak dapat melewati kanal hidrolilik
bersama air. Kinitelah ditemukan kanal selektif untuk ion-ion Na, K,
Ca. Transport obat melintasi endotel kapiler terutama melalui celah-celah antarsel,
kecuali disusunan saraf pusat (SSP). Celah antarsel endotel kapiler der.nikian
besarnya sehingga dapat meloloskan semua molekul yang berat molekulnya kurang
dari 69.000 (BM albumin), yaitu semua obat bebas,termasuk yang tidak larut dalam
lemak dan bentuk ion sekalipun. Proses ini berperan dalam absorpsi obat setelah
pemberian parenteral dan dalam filtrasi lewat membran glomerulus di ginjal.
Pinositosis ialah cara transport dengan membentuk vesikel, misalnya untuk
makromolekul seperti protein. Jumlah obat yang diangkut dengan cara ini sangat
sedikit.Transport obat secara aktif biasanya terjadi pada sel saraf, hati, dan tubuli
ginjal. Proses ini membutuhkan energi yang diperoleh dari aktivitas membran sendiri,
sehingga zat dapat bergerak melawan perbedaan kadar atau potensial listrik. Selain
dapat dihambat secara kompetitif, transport aktif ini bersilat selektif dan
memperlihatkan kapasitas maksimal (dapat mengalami kejenuhan). Beberapa obat
bekerja mempengaruhi transport aktif zat-zat endogen, dan transport aktif suatu obat
dapat pula dipengaruhi oleh obat lain.Difusi terfasilitasi (FacrTitated diff usion) ialah
suatu proses transport yang terjadi dengan bantuan suatu faktor pembawa (carrier)

11
yang merupakan komponen membran sel tanpa menggunakan ener-gi sehingga tidak
dapat melawan perbedaan kadar maupun potensial listrik. Proses ini, yang juga
bersifat selektif, terjadi pada zal endogen yang transportnya secara difusi biasa terlalu
lambat,misalnya untuk masuknya glukosa ke dalam sel perifer.

2.2. Absorpsi dan Bioavailabilitas

Kedua istilah tersebut tidak sama artinya. Absorpsi, yang merupakan proses
penyerapanobat dari tempat pemberian, menyangkut ke- lengkapan dan kecepatan
proses tersebut.
Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Tetapi
secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabilitas. lstilah ini menyatakan jumlah
obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuh
utuh/aktif. lniterjadi karena, untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang diabsorpsi
dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan
dimetabolisme oleh enzim di dinding usus pada pemberian oral - dan/atau di hati pada
lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut. Metabolisme ini disebut
metabolisme atau eliminasi lintas pertama (/irsf pass metabolism or etimination)
atau eliminasi prasistemik. Obat demikian mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak
begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah
bioavailabilitas menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus
metabolisme obat sebelum mencapai Sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini
dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral(misalnya lidokain),
sublingual (misalnya nitrogliserin), rektal, atau mernberikannya bersama
makanan.Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi bioavailabilitas obat pada
pemberian oral dapat dilihat pada Tabel 1-1 .

-BIOEKUIVALENSI-

Ekuivalensi kimia - kesetaraan jumlah obat dalam sediaan - belum tentu


menghasilkan kadar obat yang sama dalam darah dan jaringan yaitu yang disebut
ekuivalensi biologik atau bioekui-valensi. Dua sediaan obat yang berekuivalensi
kimia tetapi tidak berekuivalensi biologik dikatakan memperlihatkan
bioinekuivalensi. lni terutama terjadi pada obat-obat yang absorpsinya lambat karena
sukar larut dalam cairan saluran cerna,misalnya digoksin dan difenilhidantoin, dan
pada obat yang mengalami metabolisme selama absorpsinya, misalnya eritromisin dan
levodopa. Perbeijaan bioavailabilitas sampai dengan 10% umumnya tidak
menimbulkan perbedaan berarti dalam elek kliniknya artinya memperlihatkan
ekuivalensi terapi. Bioinekuivalensi lebih dari 10% dapat menimbulkan inekuivalensi
terapi, terutama untuk obat-obat yang indeks terapinya sempit, misalnya digoksin,
difenilhidantoin, teofilin.

-Pemberian Obat Per Oral-

Cara ini merupakan cara pemberian obat yang paling umum dilakukan karena mudah,
aman, dan murah. Kerugiannya ialah banyak faktor dapat mempengaruhi
bioavailabilitasnya (lihat Tabel 1 -1 ), obat dapat mengiritasi saluran cerna, dan perlu
kerja sama dengan penderita; tidak bisa dilakukan bila pasien koma.

12
Absorpsi obat melalui saluran cerna pada umumnya terjadi secara difusi pasif, karena
itu absorpsi mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan mudah larut dalam
lemak. Absorpsi obat diusus halus selalu jauh lebih cepat dibandingkan dilambung
karena permukaan epitel usus halus jauh lebih luas dibandingkan dengan epitel
lambung.Selain itu, epitel lambung tertutup lapisan mukus yang tebal dan mempunyai
tahanan listrik yang tinggi. Oleh karena itu, peningkatan kecepatan pengosongan
lambung biasanya akan meningkatkan kecepalan absorpsi obat, dan sebaliknya. Akan

13
tetapi, perubahan dalam kecepatan pengosongan lambung atau motilitas saluran cerna
biasanya tidak mempengaruhi jumlah obat yang diabsorpsi atau yang mencapai
sirkulasi sistemik, kecuali pada tiga hal berikut ini. (1) Obat yang absorpsinya lambat
karena sukar larut dalam cairan usus (misalnyandigoksin, difenilhidantoin, prednison)
memerlukan waktu transit dalam saluran cerna yang cukup panjang untuk
kelengkapan absorpsinya. (2) Sediaan salut enterik atau sediaan lepas lambat yang ab-
sorpsinya biasanya kurang baik atau inkonsisten akibat perbedaan penglepasan obat di
lingkungan berbeda, memerlukan waktu transit yang lama dalam usus untuk
meningkatkan jumlah yang diserap. (3) Pada obat-obat yang mengalami metabo-
lisme di saluran cerna, misalnya penisilin G dan eritromisin oleh asam lambung,
levodopa dan klorpromazin oleh enzim dalam dinding saluran cerna,pengosongan
lambung dan transit gastrointestinal yang lambat akan mengurangiiumlah obat yang
diserap untuk mencapai sirkulasi sistemik. Untuk obat yang waktu paruh eliminasinya
pendek misalnya prokainamid, perlambatan absorpsi akan menyebabkan kadar terapi
tidak dapat dicapai, meskipun jumlah absorpsinya tidak berkurang.Absorpsi secara
transport aktif terjadi terutama di usus halus untuk zat-zat makanan : glukosa dan gula
lain, asam amino, basa purin dan pirimidin, mineral, dan beberapa vitamin. Cara ini
jugaterjadi untuk obat-obat yang struktur kimianya mirip struktur zat makanan
tersebut, misalnya levodopa,metildopa, 6-merkaptopurin, dan 5-fluorourasil.

Kecepatan absorpsi obat bentuk padat ditentukan oleh kecepatan disintegrasi dan
disolusinya sehingga tablet yang dibuat oleh pabrik yang berbeda dapat berbeda pula
bioavailabilitasnya. Ada kalanya sengaja dibuat sediaan yang waktu di-
solusinya lebih lama untuk memperpanjang masa absorpsi sehingga obat dapat
diberikan dengan interval lebih lama. Sediaan ini disebut sediaan lepas lambat
(sustained - release). Obat yang dirusak oleh asam lambung atau yang menyebabkan
iritasi lambung sengaja dibuat tidak terdisintegrasi di lambung yaitu sebagai sediaan
salut enterik (enteric-coated).

Absorpsi dapat pula terjadi di mukosa mulut dan rektum walaupun permukaan
absorpsinya tidak terlalu luas. Nitrogliserin ialah obat yang sangat poten dan larut
baik dalam lemak maka pemberian sublingual atau perkutan sudah cukup untuk me-
nimbulkan efek. Selain itu, obat terhindar dari metabolisme lintas pertama di hati
karena aliran darah dari mulut tidak melalui hati melainkan langsung ke v.kava
superior. Pemberian per rektal sering diperlukan pada penderita yang muntah-
muntah, tidak sadar, dan pascabedah. Metabolisme lintas pertama di hati lebih sedikit
dibandingkan dengan pemberian per oral karena hanya sekitar 50% obat yang
diabsorpsi dari rektum akan melalui sirkulasi portal.Namun banyak obat mengiritasi
mukosa rektum,dan absorpsi di sana sering tidak lengkap dan tidak
teratur.

-Pemberian Secara Suntikan-

Keuntungan pemberian obat secara suntikan (parenteral) ialah: (1) efeknya timbul
lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian per oral;(2) dapat diberikan
pada penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar, atau muntah-muntah; dan (3)sangat
berguna dalam keadaan darurat. Kerugiannya ialah dibutuhkan cara asepsis,
menyebabkan rasa nyeri, ada bahaya penularan hepatitis serum,sukar dilakukan
sendiri oleh penderita, dan tidak ekonomis.

14
Pemberian intravena (lV) tidak mengalami tahap absorpsi, maka kadar obat dalam
darah diperoleh secara cepat, tepat, dan dapat disesuaikan langsung dengan respons
penderita. Larutan tertentu yang iritatif hanya dapat diberikan dengan cara ini karena
dinding pembuluh darah relatif tidak sensitif dan bila disuntikkan perlahan-lahan, obat
segera diencerkan oleh darah. Kerugiannya ialah efek toksik mudah terjadi karena
kadar obat yang tinggi segera mencapai darah dan jaringan. Di samping itu, obat yang
disuntikan lV tidak dapat ditarik kembali. Obat dalam larutan minyak yang mengen-
dapkan konstituen darah, dan yang menyebabkan hemolisis, tidak boleh diberikan
dengan cara ini,Penyuntikan lV harus dilakukan perlahan-lahan sambil terus
mengawasi respons penderita.

Suntikan subkutan (SK) hanya boleh digunakan untuk obat yang tidak menyebabkan
iritasi jaringan, Absorpsi biasanya terjadi secara lambat dan konstan sehingga efeknya
bertahan lama. Obat dalam bentuk suspensi diserap lebih lambat daripada dalam
bentuk larutan. Pencampuran obat dengan vasokonstriktor juga akan memperlambat
absorpsi obat tersebut. Obat dalam bentuk padat yang ditanamkan di bawah kulit
dapat dlabsorpsi selama beberapa minggu atau beberapa bulan.

Pada suntikan intramuskular (lM), kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan
dan kelengkapan absorpsi. Obat yang sukar larut dalam air pada pH fisiologik
misalnya digoksin, lenitoin, dan diazepam akan mengendap di tempat suntikan se-
hingga absorpsinya berjalan lambat, tidak lengkap,dan tidak teratur. Obat yang larut
dalam air diserap cukup cepat, tergantung dari aliran darah di tempat suntikan.
Absorpsi lebih cepat di deltoid atau vastus lateralis daripada di gluteus maksimus.
Obat- obat dalam larutan minyak atau bentuk suspensi akan diabsorpsi dengan sangat
lambat dan konstan (suntikan depot), misalnya penisilin. Obat yang terlalu iritatil
untuk disuntikkan secara SK kadang- kadang dapat diberikan secara lM.Suntikan
intratekal, yakni suntikan langsung ke dalam ruang subaraknoid spinal, dilakukan bila
diinginkan elek obat yang cepat dan setempat pada selaput otak atau sumbu
serebrospinal, seperti pada anestesia spinal atau pengobatan infeksi SSP
yang akut.Suntikan intraperitoneal tidak dilakukan pada manusia karena bahaya
inleksi dan adesi terlalu besar.

-Pemberian Melalui Paru-Paru-

Cara inhalasi ini hanya dapat dilakukan untuk obat yang berbentuk gas atau cairan
yang mudah menguap misalnya aneste,Uk umum, dan untuk obat lain yang dapat
diberikan dalam bentuk aerosol.Absorpsi lerjadi melalui epitel paru dan mukosa
saluran napas. Keuntungannya, absorpsi terjadi secara cepat karena permukaan
absorpsinya luas,terhindar dari eliminasi lintas pertama di hati, dan pada penyakit
paru-paru misalnya asma bronkial,obat dapat diberikan langsung pada bronkus, Sa-
yangnya pada cara pemberian ini diperlukan alat dan metoda khusus yang agak sulit
dikerjakan,sukar mengatur dosis, dan sering obatnya mengiritasi epitel paru.

-Pembebian Topikal-

Pemberian topikal pada kulit. Tidak banyak obat yang dapat menembus kulit utuh.
Jumlah obat yang diserap bergantung pada luas permukaan kulit yang terpajan serta
kelarutan obat dalam lemak karena epidermis bertindak sebagai sawar lemak. Dermis

15
permeabel terhadap banyak zat sehingga absorpsi terjadi jauh lebih mudah bila kulit
terkelupas atau terbakar. Beberapa zat kimia yang sangat larut lemak, misalnya
insektisida organolosfat,dapat menimbulkan elek toksik akibat absorpsi melalui kulit
ini. lnflamasi dan keadaan lain yang meningkatkan aliran darah kulit juga akan
memacu absorpsi melalui kulit. Absorpsi dapat ditingkatkan dengan membuat
suspensi obat dalam minyak dan menggosokkannya ke kulit, atau dengan menggu-
nakan penutup di atas kulit yang terpajan. Obat yang banyak digunakan untuk
penyakit kulit sebagai salep kulit ialah antibiotik, kortikosteroid, antihistamin, dan
lungisid, tetapi beberapa obat sistemik dibuat juga sebagai sediaan topikal, misalnya
nitrogliserin dan skopolamin.
Pemberian topikal pada mata. Cara ini terutama dimaksudkan untuk
mendapatkan elek lokal pada mata, yang biasanya memerlukan absorpsi obat melalui
kornea. Absorpsi terjadi lebih cepat bila kornea mengalami infeksi atau trauma.
Absorpsi sistemik melalui saluran nasolakrimal sebenarnya tidak diinginkan; absorpsi
di sini dapat menyebabkan efek sistemik karena obat tidak mengalami metabolisme
lintas pertamadi hati, maka B-bloker yang diberikan sebagai tetes mata misalnya pada
glaukoma dapat menimbulkan toksisitas sistemik.

2.3. Distribusi

Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi keseluruh tubuh melalui sirkulasi


darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat
lisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di
dalam tubuh. Oistribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ
yang perfusi-nya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, danotak. Selanjutnya,
distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perlusinya tidak
sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak. Distribusi ini
baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Dilusi keruang
interstisial jaringan terjadi cepat karena celah antarsel endotel kapiler mampu
melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam
lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam sel, sedang-
kan obat'yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga
distribusinya terbatas terutama di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan
obat pada protein plasma,hanya obat bebas yang dapat berdilusi dan men-
capai keseimbangan .Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh
afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan
obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi
protein.

Obat dapat terakumulasi dalam sel iaringan karena ditransport secara aktil, atau lebih
sering karena ikatannya dengan komponen intrasel yaitu protein, foslolipid, atau
nukleoprotein. Misalnya,pada penggunaan kronik, kuinakrin akan menumpuk dalam
sel hati. Jaringan lemak dapat berlaku sebagai reseryoar yang penting untuk obat larut
lemak, misalnya tiopental. Protein plasma juga merupakan reservoar obat. Obat yang
bersifat asam terutama terikat pada albumin plasma, sedangkan obat yang bersifat
basa pada asam cx.l-glikoprotein. Tulang dapat menjadi reservoar untuk logam berat
misalnya timbal (Pb) atau radium.Cairan transeluler misalnya asam lambung, berlaku
sebagai reservoar untuk obat yang bersilat basa lemah akibat perbedaan pH yang
besar antara darah dan cairan lambung. Saluran cerna juga berlaku sebagai reservoar
untuk obat oral yang diabsorpsi secara lambat, misalnya obat dalam sediaan lepas

16
lambat. Obat yang terakumulasi ini berada dalam keseimbangan dengan obat dalam
plasma dan akan dilepaskan sewaktu kadar plasma menurun, maka adanya reservoar
ini dapat memperpanjang kerja obat,

Redistribusi obat dari tempat kerjanya ke jaringan lain merupakan salah satu faktor
yang dapat menghentikan kerja obat. Fenomen ini hanya terjadi pada obat yang sangat
larut lemak, misalnya tiopental. Karena aliran darah ke otak sangat tinggi, maka
setelah disuntikkan lV, obat ini segera mencapai kadar maksimal dalam otak. Tetapi
karena kadar dalam plasma dengan cepat menurun akibat dilusi ke jaringan lain, maka
tiopental dalam otak juga secara cepat berdifusi kembali ke dalam plasma untuk
selanjutnya diredistribusi ke jaringan lain.

Distribusi dari sirkulasi ke SSP sulit terjadi karena obat harus menembus sawar
khusus yang dikenal sebagai sawar darah-otak. Endotel kapiler otak tidak mempunyai
celah antarsel maupun vesikel pinositotik, tetapi mempunyai banyak taut cekat(tight
junction). Di samping itu, terdapat sel glia yang mengelilingi kapiler otak ini. Dengan
demikian, obat tidak hanya harus melintasi endotel kapiler tetapi juga membran sel
glia perikapiler untuk mencapai cairan interstisial jaringan otak. Karena itu, kemam-
puan obat untuk menembus sawar darah-otak hanya ditentukan oleh, dan sebanding
dengan, kelarutan bentuk non-ion dalam lemak. Obat yang seluruhnya atau hampir
seluruhnya dalam bentuk ion, misalnya amonium kuaterner atau penisilin,
dalam keadaan normal tidak dapat masuk ke otak dari darah. Penisilin dosis besar
sekali dapat masuk ke otak, tetapi penisilin dosis terapi hanya dapat masuk ke otak
bila terdapat radang selaput otak,karena permeabilitas meningkat di tempat radang.
Eliminasi obat dari otak kembali ke darah terjadi melalui 3 cara, yakni (1 ) secara
transport aktif melalui epitel pleksus koroid dari cairan serebrospinal(CSS) ke kapiler
darah untuk ion-ion organik, misalnya penisilin; (2) secara difusi pasil lewat sawar
darah-otak dan sawar darah- CSS di pleksus koroid untuk obat yang larut lemak; dan
(3) ikut bersama aliran CSS melalui vili araknoid ke sinus vena untuk semua obat dan
metabolit endogen, larut lemak maupun tidak, ukuran keci maupun besar.

Sawar uri yang memisahkan darah ibu dan darah janin terdiri dari sel epitel vili dan
sel endotel kapiler janin; jadi, tidak berbeda dengan sawar saluran cerna. Karena itu,
semua obat oral yang diterima ibu akan masuk ke sirkulasi janin, Distribusi obat
dalam tubuh janin mencapai keseimbangan dengan darah ibu dalam waktu paling
cepat 40 menit.

2.4. Biotransformasi

Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat
yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat
diubah menjadi lebih polar artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam
lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat
menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja
obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau lebih tok-
sik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diakti{kan oleh enzim
biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut
dan/atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir.

17
Reaksi biokimia yang terjadi dapat dibedakan atas reaksi fase I dan fase ll. Yang
termasuk reaksi lase I ialah oksidasi, reduksi, dan hidrolisis. Reaksi fase I ini
mengubah.obat menjadi metabolit yang lebih polar, yang dapat bersifat inaktif,
kurang aktif,atau lebih aktil daripada bentuk aslinya. Reaksi fase ll, yang disebut juga
reaksi sintetik, merupakan konyugasi obat atau metabolit hasil reaksi fase I dengan
substrat endogen misalnya asam glukuronat, sulfat, asetat, atau asam amino. Hasil
konyugasi ini bersifat lebih polar dan lebih mudah terionisasi sehingga lebih mudah
diekskresi. Metabolit hasil konyugasi biasanya tidak aktil kecuali untuk prodrug
tertentu. Tidak semua obat dimetabolisme melalui kedua lase reaksi tersebut; ada obat
yang mengalami reaksi fase I saja (satu atau beberapa macam reaksi) atau reaksi fase
ll saja (satu atau beberapa macam reaksi). Tetapi, kebanyakan obat dimetabolisme
melalui beberapa reaksi sekaligus atau secara berurutan menjadi beberapa macam
metabolit.

Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan


letaknya didalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum
endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim non-
mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati,
tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel saluran cerna, dan
plasma. Di lumen saluran cerna juga terdapat enzim nonmikrosom yang dihasilkan
oleh flora usus. Enzim mikrosom mengkatalisis reaksi konyugasi glukuronid,
sebagian besar reaksi oksidasi obat, serta reaksi reduksi dan hidrolisis.Sedangkan
enzim nonmikrosom mengkatalisis reaksi konyugasi lainnya, beberapa reaksi
oksidasi,serta reaksi reduksi dan hidrolisis.

Sebagian besar biotransformasi obat dikatalisis oleh enzim mikrosom hati, demikian
juga biotransformasi asam lemak, hormon steroid, dan bilirubin. Untuk itu obat harus
larut lemak agar dapat melintasi membran, masuk ke dalam retikulum endoplasma,
dan berikatan dengan enzim mikrosom

Sistem enzim mikrosom untuk reaksi oksidasi disebut oksidase lungsi campur
(mixedlunctionoxidase - MFO) atau monooksigenase; sitokrom Peso ialah komponen
utama dalam sistem enzim ini.Reaksiyang dikatalisis oleh MFO meliputi reaksi N-
dan O-dealkilasi, hidroksilasi cincin aromatik dan rantai sampingnya, deaminasi amin
primer dan sekunder, serta desulfurasi.

Glukuronid merupakan metabolit utama dari obat yang mempunyai gugus lenol,
alkohol, atau asam karboksilat, Metabolit ini biasanya tidak aktif dan cepat diekskresi
melalui ginjal dan empedu secara sekresi aktif untuk anion, Glukuronid yang
diekskresi melalui empedu dapat dihidrolisis oleh enzim p-glukuronidase yang
dihasilkan oleh bakteri usus, dan obat yang dibebaskan dapat diserap kembali.
Sirkulasi enterohepatik ini memperpanjang kerja obat. Reaksi glukuronidasi ini
dikatalisis oleh beberapa jenis enzim glukuronil-transferase.

Berbeda dengan enzim nonmikrosom, enzim mikrosom dapat dirangsang maupun


dihambat aktivitasnya oleh zat kimia tertentu termasuk yang terdapat di lingkungan.
Zat ini menginduksi sintesis enzim mikrosom tanpa perlu menjadi substratnya.Zat
penginduksi enzim ini dibagi atas 2 golongan,yakni kelompok yang kerjanya
menyerupai fenobarbital dan kelompok hidrokarbon polisiklik. Fenobarbital
meningkatkan biotransformasi banyak obat,sedangkan hidrokarbon polisiklik

18
meningkatkan metabolisme beberapa obat saja. Penghambatan enzim sitokrom P450
pada manusia dapat disebabkan misalnya oleh simetidin dan etanol. Berbeda dengan
penghambatan enzim yang langsung terjadi, induksi enzim memerlukan waktu
pajanan beberapa hari bahkan beberapa minggu sampai zat penginduksi terkumpul
cukup banyak.Hilangnya elek induksi juga terjadi bertahap setelah pajanan zat
penginduksi dihentikan. Beberapa obat bersifat autoinduktif artinya merangsang
metabolismenya sendiri, sehingga menimbulkan toleransi.Karena itu diperlukan dosis
yang lebih besar untuk mencapai elektivitas yang sama. Pemberian suatu obat
bersama penginduksi enzim metabolismenya,memerlukan peningkatan dosis obat.
Misalnya,pemberian wadarin bersama fenobarbital, memerlukan peningkatan dosis
wadarin untuk mendapatkan elek antikoagulan yang diinginkan. Bila fenobarbital
dihentikan, dosis warlarin harus diturunkan kembali untuk menghindarkan ter-
ladinya perdarahan yang hebat.

Oksidasi obat-obat tertentu oleh sitokrom Paso menghasilkan senyawa yang sangat
reaktif, yang dalam keadaan normal segera diubah menjadi metabolit yang lebih
stabil. Tetapi, bila enzimnya diinduksi atau kadar obatnya tinggi sekali, maka
metabolit antara yang terbentuk juga banyak sekali.Karena inaktivasinya tidak cukup
cepat, maka senyawa tersebut sempat bereaksi dengan komponen sel dan
menyebabkan kerusakan iaringan. Contohnya ialah parasetamol.

Enzim nonmikrosom mengkatalisis semua reaksi konyugasi yang bukan dengan


glukuronat yaitu konyugasi dengan asam asetat, glisin,glutation, asam sulfat, asam
foslat, dan gugus metil.Sistem ini juga mengkatalisis beberapa reaksi oksidasi,
reduksi, dan hidrolisis.

Reaksi hidrolisis dikatalisis oleh enzim esterase nonspesifik di hati, plasma, saluran
cerna dan di tempat lain, serta oleh enzim amidase yang terutama terdapal di hati.
Reaksi oksidasi terjadi dimitokondria dan plasma sel hati serta jaringan lain,dan
dikatalisis oleh enzim alkohol dan aldehid dehidrogenase, xantinoksidase, tirosin
hidroksilase dan monoamin oksidase.

Reaksi reduksi mikrosomal dan nonmikrosomal terjadi di hati dan iaringan lain untuk
senyawa azo dan nitro, misalnya kloramfenikol. Reaksi ini seringkali dikatalisis oleh
enzim llora usus dalam lingkungan usus yang anaerob.

Karena kadar terapi obat biasanya iauh di bawah kemampuan maksimal enzim
metabolismenya, maka penghambatan kompetitil antara obat yang menjadi substrat
bagi enzim yang sama jarang terjadi. Penghambatan kompetitil metabolisme obat
hanya terjadi pada obat yang kadar terapinya mendekati kapasilas maksimal enzim
metabolismenya, misalnya dilenilhidantoin yang dihambat metabolismenya oleh
dikumarol, dan 6-merkaptopurin yang dihambat metabolismenya oleh
alopurinol.Akibatnya, toksisitas obat yang dihambat metabolismenya meningkat.

Aktivitas enzim mikrosom maupun nonmikrosom ditentukan oleh faktor genetik


sehingga kecepatan metabolisme obat antarindividu bervariasi,dapat sampai 6 kali
lipat atau lebih. Beberapa enzim bahkan memperlihatkan polimorfisme genetik,
artinya terdapat 2 kelompok utama dalam populasi.Distribusi populasi berdasarkan
perbedaan aktivitas enzim ini disebut distribusi bimodal, yaitu terdiri atas yang tinggi
(cepat) dan yang rendah (lambat). Misalnya, untuk enzim asetilasi isoniazid,

19
hidralazin, dan beberapa substrat lain, populasi dibagi atas kelompok asetilator cepal
dan asetilatorlambat; untuk enzim sitokrom Paso yang mengoksidasi debrisokuin,
metoprolol, dan beberapa substrat lain, populasi dibagi atas kelompok g)(tensive
metabolizers dan poor metabolizers. lni juga berlaku untuk beberapa enzim lain.

Metabolisme obat di hati terganggu bila terjadi kerusakan parenkim hati misalnya
oleh adanya zat hepatotoksik atau pada sirosis hepatis. Dalam hal ini dosis obat yang
eliminasinya terutama melalui metabolisme di hati harus disesuaikan atau diku'rangi.
Demikian juga penurunan alir darah hepar oleh obat, gangguan kardiovaskular, atau
latihan fisik berat akan mengurangi rnetabolisme obat tertentu dihati.

Pada neonatus, terutama bayi prematur, aktivitas enzim metabolisme ini rendah (baik
enzim mikrosom maupun enzim nonmikrosom). Ditambah dengan lungsi ekskresi dan
sawar darah-otak yang belum sempurna, maka kelompok umur ini sangat
peka terhadap elek toksik obat tertentu. Misalnya kurangnya aktivitas glukuronidase
pada neonates mendasari terjadinya hiperbilirubinemia dengan
risiko kernikterus, keracunan kloramlenikol, atau analgesik opioid tertentu.
Kemampuan biotransformasi meningkat dalam beberapa bulan pertama kehidupan
bayi.

2.5. Ekskresi

Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk
metabolit hasil biotranslormasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar
diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru.
Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi di sini merupakan
resultante dari 3 proses, yakni liltrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal,
dan reabsorpsi pasil di tubuli proksimal dan distal.

Glomerulus yang merupakan jaringan kapiler dapat melewatkan semua zat


yang lebih kecil dari albumin melalui celah antarsel endotelnya sehingga semua obat
yang tidak terikat protein plasma mengalami filtrasi di sana' Di tubuli proksimal, asam
organik (penisilin, probenesid, salisilat, konyugat glukuronid, dan asam urat) disekresi
aktif melalui sistem transport untuk asam organik, dan basa organik (neostigmin,
kolin, histamin) disekresi aktif melalui sistem transport untuk basa organik. Kedua
sistem transport tersebut relatif tidak selektil sehingga teriadi kompetisi antar-asam
organik dan antar-basa organik dalam sistem transportnya masing-masing. Untuk zal-
zal endogen misalnya asam urat, sistem transport ini dapat berlangsung dua arah,
artinya teriadi sekresi dan reabsorpsi.
Di tubuli proksimal dan distal terjadi reabsorpsi pasil untuk bentuk non-ion.
Oleh karena itu untuk obat berupa elektrolit lemah, proses reabsorpsi ini bergantung
pada pH lumen tubuli yang menentukan derajat ionisasinya. Bila urin lebih basa, asam
lemah terionisasi lebih banyak sehingga reabsorpsinya berkuran g, akibatnya
ekskresinya meningkat. Sebaliknya, bila urin lebih asam, ekskresi asam lemah
berkurang. Keadaan yang berlawanan terjadi dalam ekskresi basa lemah. prinsip
ini digunakan untuk mengobati keracunan obat yang ekskresinya dapat dipercepat
dengan pembasaan atau pengasaman urin, misalnya salisilat,
fenobarbital. Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal
sehingga dosis perlu diturunkan atau interval pemberian diperpanjang. Bersihan

20
kreatinin dapat dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian
obat.

Banyak metabolit obat yang terbentuk di hati diekskresi ke dalam usus


melalui-empedu, kemudian dibuang melalui feses, tetapi lebih sering dise-
rap kembali di saluran cerna dan akhirnya diekskresi melalui ginjal. Ada 3 sistem
transport kedalam empedu, semuanya transport aktif yaitu masing-masing untuk asary
organik termasuk glukuronid, basa organik, dan zat netral misalnya ste-
roid. Telah disebutkan bahwa konyugat glukuronid akan mengalami sirkulasi
enterohepatik. Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur,air mata, air susu, dan
rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam
pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk
menentukan kadar obat tertentu. rambut pun dapat digunakan untuk menemukan
logam toksik, misalnya arsen, pada kedokteran forensik.

LI.3. Memahami dan Menjelaskan Farmakodinamik

LO. 3.1 Definisi farmakodinamika


Farmakodinamik adalah kerja obat pada tubuh atau efek biokimiawi dan
fisiologi obat yang bertujuan untuk meneliti efek utama obat, mengetahui reaksi obat
dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respons yang
terjadi .

LO. 3.2 Mekanisme kerja Obat

Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu
organisme.lnteraksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi
dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat
merupakan komponen makromolekul fungsional yang mencakup 2 konsep penting.
pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa
obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi lungsi yang sudah
ada. Walaupun tidak berlaku bagiterapi gen, secara umum konsep ini masih berlaku
sampai sekarang. Setiap komponen makromolekul fung-sional dapat berperan sebagai
reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor obat tertentu, juga berperan sebagai reseptor
untuk ligand endogen (hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai
senyawa endogen disebut agonis. Se-baliknya, senyawa yang tidak mempunyai
aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu agonis di tempat
ikatan agonis (agonist bind-ing site) disebut antagonis.

LO 3.3 Reseptor Obat

Komponen yang paling penting dalam reseptor obat ialah protein (mis. asetilkoli-
nesterase, Na*, K*-ATpase, tubulin, dsb.). Asam nukleat juga dapat merupakan
reseptor obat yang penting, misalnya untuk sitostatika. lkatan obat-reseptor dapat
berupa ikatan ion, hidrogen, hidro-fobik, van der Walls, atau kovalen, letapi umumnya
merupakan campuran berbagai ikatan di atas. Ikatan kovalen merupakan ikat-an yang
kuat sehingga lama kerja obat seringkali, tetapi tidak selalu, panjang. Walaupun
demikian, ikatan nonkovalen yang afinitasnya linggi juga dapat bersifat permanen.

21
Hubungan struktur-aktivitas. struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan
afinitas-nya terhadap reseptor dan aktivitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil
dalam molekul obat, misalnya perubahan stereoisomer, dapat menim- bulkan perubahan
besar dalam sifat tarmakologi-nya. Pengetahuan mengenai hubungan struktur-aktivitas
bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio terapinya
lebih baik,

Reseptor fisiologis. reseptor sebagai makromolekul seluler tempat terikatnya obat


untuk menimbulkan respons telah diuraikan di atas. Tetapi terdapat juga protein seluler
yang berfungsi sebagai reseptor fisiologik bagi ligand endogen seperti hormon,
neurotransmitor, dan autakoid. Fungsi reseptor ini meliputi pengikatan ligand yang
sesuai (oleh ligand binding domain) dan penghantaran sinyal (oleh effector domain)
yang dapat secara langsung menimbulkan efek intrasel atau secara tak langsung
memulai sintesis maupun pelepasan molekul intrasel lain yang dikenal sebagai second
massenger. Dalam keadaan lertentu, molekul reseptor berinteraksi secara erat dengan
protein seluler lain membentuk sistem reseptor-efektor sebelum menimbulkan respons.
Contohnya, sistem adenilat sik-lase: reseptor mengatur aktivitas adenilat siklase
sedangkan efektornya mensintesis cAMP sebagai second massenger. Dalam sistem ini
protein G-lah yang berfungsi sebagai perantara reseptor dengan enzim tersebut.
Terdapat 2 macam protein G, yang satu berfungsi dalam penghantaran, yang lain
berfungsi dalam penghambatan sinyal. Berikut ini akan dibahas berbagai reseptor
fisiologik tersebut.

LO 3.4 Antagonisme Farmakodinamika

Secara larmakodinamik dapat dibedakan 2 jenis antagonisme, yakni antagonisme


fisiologik dan antagonisme pada reseptor. Selain itu, antagonisme pada reseptor dapat
bersifat kompetitil atau nonkompetitif.
Antagonisme fisiologik terjadi pada organ yang sama, tetapi pada sistem
reseptor yang berlainan. Misalnya, elek bronkokonstriksi histamin pada bronkus lewat
reseptor histamin, dapat dilawan dengan pemberian adrenalin yang bekerja pada
adrenoseptor B.

Antagonisme pada reseptor terjadi melalui system reseptor yang sama.


Artinya antagonis mengikat reseptor di tempat ikatan agonis (receptor sile atau active
site) sehingga terjadi antagonisme anlaraagonis dengan antagonisnya. Misalnya efek
hitamin yang dilepaskan dalam reaksi alergi dapatdicegah dengan pemberian
antihistamin yang menduduki reseptor yang sama. Antagonisme pada reseptor dapat
diukur berdasarkan interaksi obat-reseptor. Agonis ialah obat yang bila menduduki
reseptor menimbulkan efek farmakologi secara intrinsik, sedangkan antagonis ialah
obat yang menduduki reseptor yang sama tetapi secara intrinsik tidak mampu
menimbulkan efek farmakologi. Jadi antagonis menghalangi ikatan reseptor dengan
agonisnya sehingga kerja agonis terhambat. Antagonis demikian juga disebut receptor
blocker atau bloker saja. Jadi bloker tidak berefek intrinsik karena elek yang terlihat
bukan efek langsung melainkan penghambatan elek agonis. Antagonisme pada reseptor
dapat diukur berdasarkan interaksi obat-reseptor. Agonis ialah obat yang bila
menduduki reseptor menimbulkan efek farmakologi secara intrinsik, sedangkan
antagonis ialah obat yang menduduki reseptor yang sama tetapi secara intrinsik tidak
mampu menimbulkan efek farmakologi. Jadi antagonis menghalangi ikatan reseptor
dengan agonisnya sehingga kerja agonis terhambat. Antagonis demikian juga disebut

22
receptor blocker atau bloker saja. Jadi bloker tidak berefek intrinsik karena elek yang
terlihat bukan efek langsung melainkan penghambatan elek agonis. Pada antagonisme
kompetitif, antagonis berikatan dengan receptor sile secara reversible sehingga dapat
digeser oleh agonis kadar tinggi. Dengan demikian penghambatan efek agonis dapat
diatasi dengan meningkatkan kadar agonis
sampai akhirnya dicapai efek maksimal. Jadi, diperlukan kadar agonis yang lebih tinggi
untuk memperoleh efek yang sama).
Contoh antagonisme, kompetitif ialah β bloker dan antihistamin.
Kadang-kadang suatu antagonis mengikat reseptor bukan di tempat ikatan
reseptor agonis (agonist receptor site), tetapi menyebabkan perubahan konformasi
reseptor sedemikian rupa sehinggaafinitas terhadap agonisnya menurun. Walaupun
penurunan alinitas agonis ini dapat diatasi dengan meningkatkan dosis agonis, keadaan
ini tidak disebut antagonisme kompetitil (meskipun gambar kurvanya sama) tetapi
lebih tepat disebut kooperativitas negatif. Pada antagonisme nonkompetitif, peng-
hambatan efek agonis tidak dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis.
Akibatnya, efek maksimal yang dicapai akan berkurang, tetapi afinitasagonis terhadap
reseptornya tidak berubah.
Antagonisme nonkompetitif terjadi bila antagonis mengikat reseptor secara
ireversibel, di receptor site maupun di tempat lain, sehingga menghalangi ikatan agonis
dengan reseptornya. Dengan demikian antagonis mengurangi jumlah reseptor yang
tersedia untuk berikatan dengan agonisnya sehingga efek maksimal akan berkurang.
Tetapi afinitas agonis terhadap reseptor yang bebas tidak berubah. Contohnya,
lenoksibenzamin mengikat reseptor adrenergik alfa di receptor sile secara ireversibel
Antagonisme nonkompetitif juga terjadi bila antagonis bukan terikat pada molekul
reseptornya, melainkan pada komponen lain dalam sistem reseptor yang meneruskan
lungsi reseptor di dalam sel target; misalnya molekul adenilat siklase ataumolekul
protein pembentuk kanal ion. lkatan antagonis pada molekul tersebut, secara reversibel
maupun ireversibel, akan mengurangi Erpsy tanpa mengganggu ikatan agonis-reseptor;
afinitas agonis terhadap reseptornya tidak berubah. Agonis parsial ialah agonis lemah,
artinya agonis yang mempunyai aktivitas intrinsik atau etektivitas yang rendah
sehingga ef ek maksimalnya lemah (lihat Gambar 1-11, kurva X). Akan tetapi, obat ini
akan mengurangi efek maksimal yang ditimbulkan oleh agonis penuh (lihat Gambar 1-
1 1 , kurva Z). Oleh karena itu agonis parsial disebut juga antagonis parsial. Contoh:
nalorfin ialah agonis parsial atau antagonis parsial untuk reseptor morfin, sedangkan
nalokson ialah antagonis murninya. Nalorlin dapat digunakan sebagai antagonis pada
keracunan morfin, tetapi bila diberikan sendiri nalorlin juga menimbulkan berbagai
efek opiat dalam derajat yang lebih ringan. Nalokson, yang tidak mempunyai elek
agonis, akan mengantagonis dengan sempurna semua elek opiat mortin.

23
DAFTAR PUSTAKA

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/3694/k3-halinda.pdf?sequence=1
https://media.neliti.com/media/publications/154483-ID-toksikologi-pestisida-dan-
penanganan-aki.pdf
https://www.academia.edu/35553468/Farmakokinetik.docx
https://id.scribd.com/doc/208166655/farmakokinetik-dan-farmakodinamik
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/62881/5_865092351415025675.pdf?
sequence=1&isAllowed=y
Setiawati, Arini. Et all. “I. PENGANTAR FARMAKOLOGI”.
https://mail.google.com/mail/u/1/#search/rifdah/FMfcgxwGDDmKhBrrPxfDjzMMtjLHXQjq
?projector=1&messagePartId=0.1

24

Anda mungkin juga menyukai