Anda di halaman 1dari 18

Nama : Siti Sondari

NPM : 1102019205
Grup PBL : B-4
SASARAN BELAJAR
1. Memahami dan Menjelaskan Zoonosis

1.1 Klasifikasi
Berdasarkan agens penyebabnya, zoonosis dibedakan menjadi

 Zoonosis yang Disebabkan oleh Virus


Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit infeksi yang menyerang
susunan syaraf pusat, terutama menular melalui gigitan anjing dan kucing.
Penyakit ini bersifat zoonosik, disebabkan oleh virus Lyssa dari famili
Rhabdoviridae. 
 Zoonosis yang Disebabkan oleh Parasit
Toksoplasmosis disebabkan oleh parasit protozoa bersel tunggal yang
dikenal dengan nama Toxoplasma gondii. Penyakit menimbulkan
ensefalitis (peradangan pada otak) yang serius serta kematian, keguguran,
dan cacat bawaan pada janin/bayi. T. gondii dapat dibedakan dalam tiga
bentuk, yaitu trofozoit, kista, dan oosit dan dapat menular pada berbagai
jenis hewan. Walaupun inang definitifnya sebangsa kucing dan hewan dari
famili Felidae, semua hewan berdarah panas dan mamalia seperti anjing,
sapi, kambing, dan burung juga berperan dalam melanjutkan siklus T.
gondii.
Taeniasis ditularkan secara oral karena memakan daging yang
mengandung larva cacing pita, baik daging babi (Taenia solium) maupun
daging sapi (Taenia saginata). Penularan taeniasis dapat terjadi karena
mengonsumsi makanan yang tercemar telur cacing pita dan dari kotoran
penderita sehingga terjadi infeksi pada saluran pencernaan (cacing pita
dewasa hanya hidup dalam saluran pencernaan manusia).
 Zoonosis yang disebabkan oleh bakteri.
Brucellosis merupakan salah satu penyakit zoonosis terutama melalui
kontak langsung dari hewan terinfeksi, minum susu dari hewan yang
terinfeksi, dan menghirup udara yang tercemar oleh bakteri penyebab
Brucellosis yaitu Brucella sp. Indonesia belum bebas dari penyakit ini
dengan prevalensi Brucellosis pada ternak di Indonesia sekitar 40%.
Bakteri penyebab Brucellosis termasuk bakteri jenis gram negatif,
berbentuk coccobacilus, dan hidup dalam sel. Terdapat empat
spesies Brucella yang dapat menginfeksi manusia yaitu B. abortus  yang
terdapat di sapi, B. mellitensis  hidup pada kambing dan domba, B.
suis pada babi, dan B. canis yang ada pada anjing. Penularan penyakit ini
dapat terjadi dengan mengkonsumsi susu dan daging yang berasal dari
hewan yang mengandung Brucella sp. Penularan paling banyak terjadi
melalui konsumsi susu dan produk olahannya yang tidak dipasteurisasi
secara sempurna, karena bakteri ini dapat bertahan hingga beberapa bulan
di susu dan produk olahannya.
Berdasarkan cara penularan (Transmisi)-nya zoonosis dibagi menjadi empat
golongan,

 Zoonosis langsung (Direct zoonosis)

Zoonosis itu dapat berlangsung di alam hanya dengan satu jenis


vertebrata saja dan agen penyebab penyakit hanya sedikit berubah atau
malahan tidak mengalami perubahan sama sekali selama penularan.
Penyebab penyakit ditularkan dari satu induk semang vertebrata ke induk
semang vertebrata lainnya yang peka melalui kontak, wahana (vehicle),
ataupun dengan vektor mekanis. Yang termasuk dalam golongan penyakit
ini adalah rabies, bruselosis, leptospirosis, dan lain-lain.

 Siklo-zoonosis

Siklus penularan diperlukan lebih dari satu jenis vertebrata, tetapi tidak
melibatkan invertebrata, untuk menyempurnakan siklus hidup agen
penyebab penyakit. Contohnya adalah penularan beberapa zoonosis
parasiter seperti pada hidatidosis dan taeniasis.

 Meta-zoonosis

Penyakit yang digolongkan ke dalam metazoonosis siklus


penularannya memerlukan baik vertebrata maupun invertebrata. Dalam
golongan ini dimasukkan antara lain infeksi oleh arbovirus atau arthropod-
borne virus dan tripanosomiasis.

Berdasarkan reservoir utamanya ,zoonosis dapat berupa:

 Antropozoonosis

Merupakan penyakit yang dapat secara bebas berkembang di alam di


antara hewan – hewan liar maupun domestik. Pada zoonosis jenis ini,
manusia tidak dapat menularkannya kepada manusia atau hewan lain.
Berbagai penyakit yang termasuk golongan ini adalah rabies, leptospirosis,
tularaemia dan hidatidosis.

 Zooanthroponosis

Suatu penyakit digolongkan ke dalam grup ini bila penyakit itu


berlangsung secara bebas pada manusia atau merupakan penyakit manusia
dan hanya kadang-kadang saja menyerang hewan.

Zoonosis dapat disebabkan oleh berbagai macam organisme seperti


bakteri, virus serta parasit. Dan penyebarannya dapat dilakukan melalui
berbagai macam hewan perantara baik vertebrata maupun avertebrata.
Serta dapat ditularkan baik secara langsung maupun tidak langsung
melalui makanan ataupun gigitan berbagai jenis organisme.

1.2 Cara Penularan


Cara penularan zoonosis ke manusia bisa secara
 Langsung, yaitu kontak langsung dengan hewan terinfeksi
 Tidak langsung, ada perantara untuk menularkan penyakit. Bisa melalui
vector dan benda mati.
 Konsumsi pangan hewan yang terinfeksi. Penularan penyakit terutama
penyebaran penyakit melalui pangan, karena terjadinya beberapa
perubahan perilaku masyarakat secara global yang dengan sendirinya
mempengaruhi perhatian dalam mendapatkan pangan yang aman.
Perubahan tersebut antara lain:
-Pola makan

Makin banyak orang menginginkan pangan yang segar, atau pangan


yang hanya sedikit diolah. Memperoleh pangan yang tetap segar jelas
merupakan masalah apabila makanan tersebut harus didatangkan dari
lokasi yang cukup jauh. Untuk pangan asal ternak, fasilitas pendingin
yang baik diperlukan untuk menjaga pangan tetap segar, selain
kecepatan dalam menempuh lokasi yang dituju. Misalnya, untuk
transportasi susu segar diperlukan fasilitas pendingin yang cukup baik
dibandingkan dengan transportasi susu bubuk.

-Transportasi

Makin baiknya transportasi telah menyebabkan banyaknya orang


bepergian dari satu tempat ke tempat lain, dan orang mengharapkan
pangan yang sama tersedia di setiap tempat. Sehingga bahan pangan
yang sama diharapkan tersedia secara global, akibatnya pencemaran
satu bahan pangan dengan cepat tersebar juga secara global. Kasus
BSE dan dioksin yang terjadi di Eropa merupakan contoh cepatnya
penyebaran bahaya dalam pangan, karena produk telah tersebar luas di
luar Eropa.

-Makanan siap saji


Meningkatnya kecenderungan orang untuk makan di luar rumah atau
mendapatkan pangan yang siap santap atau siap saji, sehingga
tanggung jawab dalam memperoleh makanan yang aman di piring
merupakan tanggung jawab kelompok masyarakat yang lebih besar
daripada tanggung jawab dalam rumah tangga. Dengan sendirinya,
apabila terjadi kasus pencemaran maka jumlah masyarakat yang
terkena dampaknya akan lebih banyak, tidak terbatas pada anggota
keluarga saja.
1.3 Siklus Hidup
Apabila klasifikasi zoonosis dilakukan berdasar siklus hidup organisme penyebab
infeksi, maka zoonosis dibagi manjadi 4 macam, yaitu.
1. Zoonosis Langsung (Direct zoonoses)
Zoonosis yang ditularkan secara langsung dari vertebrata penderita sakit ke vertebrata
yang peka, melalui cairan tubuh atau melalui vektor mekanin. Dalam hal ini
organisme penyebab penyakit tidak mengalami perubahan, baik morfologinya
maupun cara dan sifat hidupnya. Sebagai contoh adalah rabies, trichinosis dan
bruselosis.

2. Cyclozoonosis
Yaitu zoonosis yang organisme penyebab penyakitnya untuk melengkapi siklus
hidupnya membutuhkan lebih dari satu spesies hospes vertebrata, tanpa memerlukan
hospes invertebrata. Sebagai contoh adalah taeniasis dan echinococcosis.

3. Metazoonosis
Merupakan zoonosis yang penularannya dilakukan secara biologi dengan perantaraan
invertebrata yang menjadi vektor biologinya. Di dalam tubuh vektor, organisme
penyebab penyakit berkembang jumlahnya dan atau berubah morfologinya sebelum
mampu menginfeksi vertebrata yang peka. Dengan demikian terdapat masa inkubasi
eksrinsik atau masa prepaten. Sebagai contoh adalah infeksi oleh arbovirus,
pes/sampar dan schistosomiasis.
4. Saprozoonosis
Zoonosis yang memerlukan satu jenis hospes vertebrata di samping reservoir atau
lingkungan perkembangan yang bukan merupakan hewan, misalnya, tanah dan
tumbuhan. Termasuk dalam golongan ini adalah berbagai jenis larva migrans dan
beberapa jenis mikosis.

1.4 Etiologi

1.5 Pencegahan
Upaya untuk mencegah penularan penyakit zoonosis pada manusia meliputi:
• Mengendalikan zoonosis pada hewan dengan eradikasi atau eliminasi hewan yang
positif secara serologis dan melalui vaksinasi.
• Memantau kesehatan ternak dan tata laksana peternakan di tingkat peternak.
• Mensosialisasikan gejala klinis awal penyakit zoonosis di peternakan atau rumah
potong hewan dan sesegera mungkin melaporkan dan mengambil tindakan
terhadap ternak maupun pekerja yang tertular penyakit.
• Memperketat pengawasan lalu lintas ternak dengan menerapkan sistem karantina
yang ketat, terutama dari negara tertular.
• Melarang impor sapi dan produknya, pakan ternak, hormon, tepung tulang, dan
gelatin yang berasal dari sapi dari negara yang belum bebas penyakit menular.
• Menjaga kebersihan kandang dengan menyemprotkan desinfektan.
• Menggunakan alat pelindung seperti sarung tangan, masker hidung, kacamata
pelindung, sepatu boot yang dapat didesinfeksi, dan penutup kepala bila mengurus
hewan yang sakit.
• Menjaga kebersihan dengan mencuci tangan sebelum mengolah pangan setelah
memegang daging mentah, menangani karkas atau mengurus ternak.
• Memasak dengan benar daging sapi, daging unggas, dan makanan laut serta
menghindari mengonsumsi makanan mentah atau daging yang kurang masak.
• Menjaga makanan agar tidak terkontaminasi hewan piaraan atau serangga.
• Menggunakan sarung tangan bila berkebun, menghindari feses kucing saat
menyingkirkan bak pasir yang tidak terpakai.
• Memantau nyamuk dan lalat di daerah endemis dan mengawasi lalu lintas ternak.
• Jika tergigit anjing atau kucing, segera mencuci luka bekas gigitan dengan sabun
di bawah kucuran air mengalir selama 1015 menit agar dinding virus yang
terbuat dari lemak rusak oleh sabun.
• Segera ke dokter atau ke rumah sakit untuk mendapat vaksinasi.

2. Memahami dan Menjelaskan Anthrax


2.1 Definisi
Antrax merupakan salah satu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri
Bacillus anthracis. Sinonim atau nama lain dari anthrax yaitu Malignant carbuncle,
wolsorters’ disease, radang kura, radang limfa, dan malignant edema.
2.2 Penyebab
Antraks disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis yaitu bakteri berbentuk
batang, dengan ujung berbentuk persegi dan sudutsudut yang tampak jelas, tersusun
berderet sehingga tampak seperti ruas-ruas bambu. Bakteri ini merupakan bakteri
gram positif yang mempunyai ukuran 1-1,2 um X 3-5 um serta dapat membentuk
spora, non motil dan kapsul.
Kapsul dan toksin merupakan dua faktor virulen penting yang dimiliki oleh
bakteri Bacillus anthracis. Toksin bakteri akan merusak sel tubuh jika telah berada di
dalamnya. Toksin ini terdiri dari: Protective antigen (PA)/Antigen pelindung; Edema
factor (EF)/Faktor edema dan Lethal factor (LF)/Faktor letal. Kapsul akan
menyebabkan gangguan pada proses fagositosis sedangkan exotoksin komplex
berhubungan dengan gejala yang ditimbulkan. Protective Antigen akan mengikat
receptor yang selanjutnya diikuti masuknya Lethal Factor dan Edema Factor ke
dalam sel. Sinergi antara PA dengan EF akan menyebabkan edema sedangkan
sinergi antara PA dengan LF akan menyebabkan kematian.

2.3 Penularan
Pada hewan, penularan terjadi dengan menelan, menghirup spora atau masuk
melalui lesi kulit. Herbivora biasanya terinfeksi saat menelan cukup banyak spora di
tanah atau pada tanaman di padang rumput. Wabah anthrax sering dikaitkan dengan
hujan deras, banjir atau kekeringan. Hewan karnivora biasanya terinfeksi setelah
memakan daging yang terkontaminasi. Burung pemakan bangkai dan lalat dapat
menyebarkan antraks secara mekanis. Spora antraks dapat bertahan selama puluhan
tahun di tanah atau produk hewani seperti kulit kering atau olahan dan wol. Spora
juga bisa bertahaning selama dua tahun dalam air, 10 tahun dalam susu dan sampai
71 tahun pada benang itsutera.
Penyakit antraks pada manusia berkembang setelah jaringan tubuh terpapar
spora B. anthracis dari hewan yang terinfeksi. Di sebagian besar negara, antraks
manusia jarang terjadi dan tersebar sporadis, terutama pada kalangan dokter hewan,
pekerja peternakan, pertanian dan pekerja yang mengolah produk kulit, rambut, wol
dan tulang. Manusia dapat terinfeksi melalui salah satu dari ketiga kemungkinan yaitu
melalui kulit, melalui inhalasi atau melalui ingesti.
2.4 Gejala
Gejala klinis antraks pada hewan diawali dengan
• suhu tubuh tinggi sekitar 41-42 °C
• kehilangan nafsu makan yang mengarah kepada terhentinya
produksi susu pada sapi perah
• edema di sekitar leher, hidung, kepala dan scrotum
• Keluar darah dari dubur, mulut dan lubang hidung. Darah
berwarna merah tua seperti kecap atau ter, agak berbau amis dan
busuk serta sulit membeku
• Hewan terlihat sempoyongan, gemetar dan kemudian mati.
• Kematian dalam waktu singkat tanpa disertai tanda-tanda
sebelumnya (perakut).
Gejala klinis pada manusia tergantung dari jalan masuknya endospora
Bacillus anthracis ke dalam tubuh host.
• Antraks kutaneus merupakan manifestasi klinis terbanyak pada
manusia, dinyatakan sekitar 95% dari kejadian antraks dan jarang
berakibat fatal jika diobati antibiotik. Pada manusia, antraks
kutaneus bermula dari infeksi oleh endospora bakteri melalui lesi
kulit (abrasi, luka, atau gigitan serangga). Dalam waktu 12 -36 jam
setelah infeksi akan timbul jerawat atau papula kecil dan akan
berkembang dalam dua sampai tiga hari. 24 jam berikutnya papula
berubah menjadi vesikula yang berisi cairan berwarna biru gelap
dan membentuk cincin vesikula, diikuti oleh ulserasi papula
sentral, yang mengering dan membekas berupa eschar kehitaman
pada bagian pusat lesi (pathognomonik) disekitar ulkus, sering
didapatkan eritema dan edema. Jika lesi terinfeksi bakteri
Staphylococcus aureus akan terbentuk pus pada daerah radang.
Lesi pada antraks kutaneus tak disertai rasa nyeri dan selalu
dikelilingi oleh edema. Biasanya, pada hari kelima atau enam
eschar kehitaman akan menebal dan melekat erat pada jaringan
dasarnya. Terdapat limfadenopati regional dan juga terjadi
pembengkakan di wajah atau leher yang bisa berkembang menjadi
meningitis. Demam, nanah dan nyeri terjadi jika infeksi sekunder.14
• Bentuk gastrointestinal kurang umum namun lebih serius, dan bisa
terjadi pada wabah daging yang terkontaminasi. Antraks
gastrointestinal terjadi setelah mengonsumsi daging yang
terkontaminasi. Spora di saluran usus mengalami germinasi dan
menyebabkan terbentuknya lesi ulseratif. Lesi ini bisa terjadi di
mana saja dan mungkin, pada kasus yang parah, mengakibatkan
perdarahan, obstruksi atau perforasi. Gastrointestinal antraks
dibagi menjadi dua sindrom: abdominal dan oropharyngeal
anthrax. Gejala awal dari bentuk abdominal bisa berupa malaise,
demam dan gejala gastrointestinal ringan seperti mual, muntah,
diare dan anoreksia. Dapat pula diikuti oleh gejala onset akut dari
gastrointestinal berat seperti sakit perut parah, hematemesis, diare
berdarah dan asites masuf. Selain itu, mungkin ada demam tinggi,
dyspnea, sianosis, disorientasi dan tanda-tanda septikemia lainnya.
Gastrointestinal antraks yang parah dengan cepat berkembang
menjadi syok, koma dan kematian.
• Antraks inhalasi adalah bentuk yang paling serius, dan memiliki
tingkat kematian yang sangat tinggi bahkan saat diobati. Antraks
inhalasi terjadi setelah manusia menghirup spora. Tanda klinis
berkembang secara bertahap dan nonspesifik. Awal gejala berupa
demam, menggigil, malaise, batuk yang tidak produktif dan nyeri
dada ringan. Gejalanya terkadang membaik selama beberapa jam
sampai tiga hari. Periode prodromal berakhir dengan onset akut
dari gangguan pernafasan berat, takikardia, diaphoresis, stridor dan
sianosis, diikuti oleh septikemia yang fatal dan syok dalam satu
sampai dua hari. Penyebaran hematogen B. anthracis juga dapat
menyebabkan lesi dan gejala antraks gastrointestinal.
• Bentuk oropharyngeal anthrax hanya sedikit diketahui. Gejala
awal berupa sakit tenggorokan, disfagia, demam, suara serak dan
bengkak pada leher. Pembengkakan leher disebabkan oleh edema
dan limfadenopati servikal, dan bisa mengakibatkan gangguan
jalan nafas. Lesi mulut terjadi pada amandel, pharynx dan palatum
keras, berbentuk edematous dan padat serta terdapat daerah
keputihan, yang disebabkan oleh nekrosis dan ulserasi pada akhir
minggu pertama. Pada minggu kedua sebuah pseudomembran
berkembang di atas ulkus.
• Antraks meningitis bisa menjadi komplikasi dari salah satu dari
tiga bentuk anthrax. Setelah periode prodromal 1-6 hari, tanda khas
meningoencephalitis berkembang dengan cepat seperti radang otak
maupun selaput otak yaitu demam, sakit kepala hebat, kejang,
penurunan kesadaran dan kaku kuduk Pasien dalam waktu kurang
dari 24 jam dapat kehilangan kesadaran dan meninggal.

2.5 Pemeriksaan
1. Pengujian Laboratorium

Pemeriksaan mikroskopis sediaan ulas darah perifer adalah cara yang


sederhana dan tepat, bilamana hewan masih dalam keadaan sakit atau baru
saja mati, selama belum terjadi pembusukan. Kumannya berbentuk batang
besar, Gram positif, biasanya tersusun tunggal, berpasangan atau berantai
pendek. Tidak terdapat spora. Dengan pewarnaan yang baik dapat dilihat
adanya selubung (kapsel). Pemeriksaan dengan pemupukan, bahan
mengandung Anthrax berupa darah atau jaringan lain yang berasal dari hewan
sakit atau baru saja mati, dengan mudah dapat dipupuk pada media buatan.
Jika bahan berasal dari jaringan yang telah membusuk, maka akan timbul
kesulitan-kesulitan karena bakteri Anthrax mudah mati oleh pembusukan.
Kuman-kuman anthrakoid akan ikut hadir dan tumbuh.

2. Pemeriksaan biologik
Pemeriksaan biologic pada hewan dilakukan untuk membedakan kuman
antraks dan kuman antrakoid. Dengan cara:

 Setelah disuntik secara subkutan, marmot biasanya mati dalam waktu


36-48 jam, paling lama pada hari kelima. Jaringan marmut tersebut
penuh dengan kuman Anthrax dan di bawah kulit tempat suntikan
terjadi infiltrasi gelatin.
 Penyuntikan hewan percobaan adalah cara yang paling tepat untuk
membedakan kuman anthraks dari kuman anthrakoid.
3. Pemeriksaan serologik

• Uji Ascoli

Uji termopresipitasi Ascoli sangat berguna untuk menentukan jaringan


tercemar Anthrax. Untuk uji Ascoli diperlukan serum presipitasi
bertiter tinggi. Jaringan tersangka di-ekstrasi dengan air dengan cara
perebusan, atau dengan penambahan kloroform. Cairan jernih yang
diperoleh mengandung protein Anthrax, jika jaringan tersebut
mengandung kuman Anthrax. Cairan tersebut disebut presiptinogen
yang dipertemukan secara pelan-pelan dengan serum presipitasi
(presipitin) dalam tabung sempit. Reaksi positif akan ditandai dengan
terbentuknya cincin putih pada batas pertemuan antara kedua cairan
tersebut.

• Uji hipersensitivitas (Anthraxin)

Uji ini dilakukan dengan cara menyuntikan 0,1 ml anthraxin secara


intradermal pada hewan. Dilakukan pengamatan kulit 24 – 48 jam
setelah penyuntikan, apakah timbul erythema atau tidak. Uji ini
sebagai refleksi adanya cell-mediated immunity.

2.6 Pengobatan

Obat pilihan utama untuk infeksi antraks adalah Penicillin. Pengobatan dibagi
berdasarkan berat ringannya penyakit :

1. Kasus Ringan Tanpa Komplikasi (Antraks kulit) (6)


• Penicillin V 500 mg PO setiap 6 jam atau
• Amoxicillin 500 mg PO setiap 8 jam selama 3-7 hari

• BB >20 kg : 500 mg PO setiap 8 jam selama 3-7 hari


• BB <20 kg : 40 mg/kg PO setiap 8 jam selama 3-7 hari

• Penicillin V 25-50mg/kg/hari PO terbagi dalam 3-4 dosis atau


• Procaine Penicillin 25-50 ribu unit/kg/hari IM terbagi dalam 1-2
dosis selama 3-7 hari atau amoxixilin.
2. Kasus Berat / Berpotensi Mengancam Nyawa
• Inhalasi : Penicillin G dapat dikombinasikan dengan klindamisin /
klaritromisin
 Gastrointestinal : Penicillin G dapat dikombinasikan dengan
aminoglikosid (streptomisin)
 Meningoensefalitis : Penicillin G dikombinasikan dengan
fluorokuinolon (levofloksasin)

2. Anak
Penicillin G 2400 mg IV setiap 4-6 jam (4 juta unit; total per hari 20 – 24
juta unit) hingga gejala hilang / demam turun.

Selain antibiotik, terdapat pula antitoxin yang dapat digunakan bersamaan dengan
antibiotik. Antitoxin yang saat ini tersedia adalah Raxibacumab dan  Anthrax Immune
Globulin Intravenous (AIGIV).
2.7 Pencegahan
Pada orang yang telah terpapar tetapi belum menunjukkan gejala,
profilaksis antibiotik dapat diberikan selama 60 hari guna mencegah spora
berkembang dalam tubuh. Antibiotik yang digunakan adalah ciprofloksasin
dan doksisiklin.
Vaksinasi dapat digunakan untuk pencegahan infeksi antraks pada orang
yang belum pernah mendapatkan vaksinasi usia 18 – 65 tahun dan
pada orang yang berisiko terpapar bakteri antraks , yaitu : pekerja
laboratorium dan orang berpotensi kontak langsung dengan hewan yang
terinfeksi.
Terdapat dua jenis vaksin, yaitu vaksin hidup (Russian Vaccine dan PR
China Vaccine) dan vaksin rekombinan ( Anthrax Vaccine Adsorbed /AVA
dan Anthrax Vaccine Precipitated / AVP  ).Vaksinasi
sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang memiliki alergi terhadap
komponen vaksin, sedang hamil (atau kemungkinan hamil), tidak dalam
kondisi sehat.
Vaksin hewan Anthrax yang digunakan adalah vaksin Anthravet kemasan
125 ml perbotol dengan kandungan setiap ml adalah 10 juta Spora Bacillus
anthracis Galur 34 F2-Weybridge avirulen non kapsula dengan pelarut garam faali
dan gliserin sama banyak dan mengandung 0,05 % saponin. Dosis pemakaian
untuk hewan besar 1 ml/ekor pemberian SC dan untuk hewan kecil 0,5 ml S.
3. Memahami dan Menjelaskan Infeksi Cacing Hati
3.1 Definisi
Fasciolosis atau infeksi cacing hati merupakan penyakit pada ternak
disebabkan oleh cacing daun (trematoda) genus Fasciola spp., seperti Fasciola
hepatica dan Fasciola gigantica. Pada umumnya F. hepatica ditemukan di negara
empat musim atau subtropis seperti Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa,
Afrika Selatan, Rusia, Australia dan New Zealand. Fasciola gigantica umumnya
ditemukan di negara tropis dan subtropis, seperti India, Indonesia, Jepang,
Filipina, Malaysia, dan Kamboja
Fascioliasis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit Fasciola.
Dua spesies Fasciola (tipe) menginfeksi manusia. Spesies utama adalah Fasciola
hepatica, yang juga dikenal sebagai “cacing hati yang umum” dan “cacing hati
domba.” Spesies terkait, Fasciola gigantica, juga dapat menginfeksi manusia. Ini
adalah penyakit parasityangumumterjadi dan terdistribusi secara kosmopolitan.

3.2 Penyebab
Fasciolosis disebabkan oleh cacing hemaprodit yang cukup besar,
berbentuk seperti daun dengan kutikula berduri. Fasciola gigantica secara
eksklusif terdapat di daerah tropis, berukuran 25-27x 3-12 mm. Fasciola hepatica
ditemukan di daerah yang beriklim sedang dengan ukuran 20-30x10 mm. Kedua
spesies cacing tersebut bersifat hematopagus/pemakan darah.
Fgigantica mempunyai pundak sempit, ujung posterior tumpul, ovarium
lebih panjang dengan banyak cabang. Sedangkan F.hepatica mempunyai pundak
lebar dan ujung posterior lancip. Telur Fgigantica berukuran 160-196x90-100
mm, dan telur F.hopatica berukuran 130-148x60-90 mm.
3.3 Penularan
Cacing hati menular pada ternak melalui siklus hidup yang berpindah.
Cacing Fasciola dewasa bertahan hidup di dalam hati ternak antara 1-3 tahun.
Telur cacing akan keluar dari tubuh ternak bersama feses. Pada lingkungan
lembab, telur tersebut dapat bertahan antara 2-3 bulan. Telur Fasciola hepatica
menetas dalam 12 hari pada suhu 26°C, sementara telur Fasciola gigantica
menetas dalam 14-17 hari pada suhu 28°C. Penetasan yang umumnya terjadi pada
siang hari itu mengeluarkan mirasidium.
Mirasidium memiliki rambut getar yang sangat aktif berenang di dalam
air. Ia akan mencari induk semang yang sesuai, yaitu siput. Setelah mirasidium
menemukan siput, rambut getarnya akan terlepas dan mirasidium menembus
masuk ke tubuh siput. Dalam waktu 24 jam, mirasidium berubah menjadi
sporosis. Delapan hari kemudian, sporosis tersebut akan berkembang menjadi
redia.
Selanjutnya, redia akan menghasilkan serkaria dan keluar dari tubuh siput.
Serkaria dapat berenang saat berada di luar tubuh siput, kemudian menempel pada
benda di dalam air. Termasuk di antaranya rumput, jerami, sayuran, atau
tumbuhan air lainnya. Hewan ternak akan terinfeksi ketika memakan tumbuhan
atau meminum air yang terkontaminasi serkaria.
Di dalam tubuh ternak, serkaria menjadi cacing muda. Dampak infeksi ini
cukup buruk. Ia bisa membuat pertumbuhan ternak terhambat, kurus,
produktivitas ternak menurun, bahkan menyebabkan kematian.
Menular pada Manusia
Meskipun selama ini hati daging ternak yang terinfeksi cacing hati aman
dikonsumsi, manusia tak otomatis terhindar dari penyakit fasciolosis. Penularan
penyakit ini dapat terjadi akibat penggunaan air yang tercemar serkaria Fasciola.
Jika air yang terinfeksi itu diminum dalam keadaan mentah .
Penularan fasciolosis oleh Fasciola hepatica dapat terjadi jika Anda
mengkonsumsi hati mentah seperti dilakukan sebagian masyarakat Eropa. Hal ini
ditunjukkan dalam penelitian oleh Taira N dkk yang memberi makan tikus dengan
hati terkontaminasi Fasciola hepatica. Hasilnya, cacing tersebut dapat berkembang
menjadi dewasa di dalam tubuh tikus. Mereka juga menerapkan penelitian yang sama
pada 10 ekor anak babi, dan kesemuanya mati saat cacing berumur 14 hari di tubuh
babi.
Di Indonesia, kejadian fasciolosis bisa dikatakan jarang. Masyarakat negeri ini
kurang menyukai hati serta sayuran mentah. Namun, masyarakat daerah tertentu
seperti Jawa Barat harus berhati-hati. Sebab, orang Sunda terbiasa makan lalapan
mentah. Sayuran yang terkontaminasi serkaria dapat menjadi media penularan cacing
hati.
Fasciolosis bisa menjangkiti manusia apabila penularannya dimulai dari serkaria
yang keluar dari tubuh siput. Serkaria bisa menempel dari pupuk kandang yang
diberikan ke tanaman, atau penyiraman tanaman menggunakan air sungai
terkontaminasi.
Masa inkubasi fasciolosis pada manusia sangat bervariasi. Ia dapat berlangsung
dalam 6 minggu hingga 3 bulan. Gejala klinis paling menonjol adalah anemia, demam
dengan suhu badan antara 40-42° C, nyeri di bagian perut, dan gangguan pencernaan.
Dalam kasus kronis, fasciolosis dapat mengakibatkan terbentuknya batu empedu,
sirosis hati, dan kanker hati.
3.4 Gejala
Gejala klinis yang paling menonjol adalah adanya gejala anemia. Selain
itu dapat pula terjadi demam dengan suhu badan antara 40—420C, nyeri di
bagian perut dan gangguan pencernaan. Bila penyakit berlanjut, dapat terjadi
hepatomegali, asites di rongga perut, sesak nafas dan gejala kekuningan, dapat
mengakibatkan terbentuknya batu empedu, sirosis hati dan kanker hati.
Berat ringannya fasciolosis tergantung pada jumlah metaserkaria yang
tertelan dan infektifitasnya. Bila metaserkaria yang tertelan sangat banyak akan
mengakibatkan kematian pada ternak sebelum cacing tersebut mencapai dewasa.
Selain itu, tergantung pula pada stadium infestasi yaitu migrasi cacing muda dan
perkembangan cacing dewasa dalam saluran empedu, serta infestasi Fasciola sp.
dapat bersifat akut maupun kronis. Infestasi Fgigantica pada domba dan kambing
biasanya bersifat akut dan fatal,
 Bentuk akut: Bentuk ini disebabkan adanya migrasi cacing muda di
dalam jaringan hati, sehingga menyebabkan kerusakan jaringan hati.
Temak menjadi lemah, nafas cepat dan pendek, perut membesar dan
rasa sakit.
 Bentuk kronis: F.gigantiga mencapai dewasa 4-5 bulan setelah
infestasi, gejala yang nampak adalah anemia, sehingga menyebabkan
temak lesu, lemah, nafsu makan menurun, cepat mengalami kelelahan,
membrana mukosa pucat, diare dan edema di antara sudut dagu dan
bawah perut, ikterus dan kematian dapat terjadi dalam waktu 1-3
bulan.

3.5 Pemeriksaan
 Deteksi telur cacino
Deteksi telur cacing Fasciola spp. dalam tinja merupakan cara
diagnosa yang umum dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit
fasciolosis. Metode yang biasa digunakan adalah uji sedimentasi .
Metode tersebut merupakan metode konvensional dan hanya bisa
digunakan untuk hewan/penderita yang infeksinya sudah kronis dan
sudah mengandung cacing dewasa dalam saluran empedunya.
Biasanya cacing Fasciola spp. dewasa mulai memproduksi telur pada
umur 10—18 minggu. Metode tersebut masih ada juga kekurangannya
karena telur cacing diekskresikan dalam waktu yang tidak beraturan
dan jumlah telur cacing yang terlalu sedikit dalam tinja akan
mempengaruhi hasil diagnosa.

 Deteksi antibodi dalam serum


Uji serologi untuk deteksi antibodi terhadap Fasciola spp,
umumnya dilakukan dengan uji Enzyme Linked Immunosorbent Assay
(ELISA). Uji ELISA antibodi telah berhasil mendeteksi adanya infeksi
awal F. hepatica pada ternak ruminansia pada minggu ke-2— 4 setelah
infeksi. Antibodi F. hepatica dengan uji ELISA dapat dideteksi antara
minggu ke-3—6 setelah infeksi pada saat larva cacing migrasi ke hati.
Uji ELISAantibodi dengan menggunakan antigen Excretory/ Secrelocv
(ES) F. gigantica telah digunakan untuk diagnosa fasciolosis pada sapi
di Indonesia dengan sensitifitas 91% dan spesiflsitasnya 88%.
Pada kasus fasciolosis yang terjadi pada manusia di Melbourne,
Australia, uji ELISA dengan antigen rekombinan F. hepatica
Cathepsin-L, digunakan untuk deteksi antibodi IgG4, hasilnya
menunjukkan positif kuat sebelum telur cacing dapat terdeteksi dalam
tinja.

 Deteksi antigen dalam serum dan tinja


Sandwich-ELISA merupakan diagnosa yang dapat mendeteksi
adanya infeksi aktif dan bisa mendeteksi adanya antigen dalam serum
atau dalam tinja yang dikeluarkan oleh cacing Fasciola. Tingkat infeksi
fasciolosis pada penderita dapat diketahui dengan mengukur
banyaknya antigen Fasciola yang berada dalam serum atau dalam .
Deteksi sirkulasi antigen dalam serum dengan s•andwich-ELlSA telah
diterapkan untuk mendiagnosa penyakit fasciolosis pada manusia, sapi
dan domba . Antigen F. hepatica dalam serum domba dapat terdeteksi
antara minggu ke-4—6 setelah infeksi, sedangkan dalam serum sapi
dapat terdeteksi antara minggu ke-2— 3 setelah infeksi.
Diagnosa fasciolosis pada manusia untuk deteksi antigen
dalam tinja dengan sandwich-ELISA telah dikembangkan oleh
ESPINO dan FINLAY (1994) dan perangkat ujinya telah
diperdagangkan secara komersiai di Kuba. Sensitivitas dan spesifisitas
uji Sandwich-ELISA tersebut pada sapi masing-masing adalah 95%.
Selanjutnya, pada domba yang diinfeksi F. gigantica, diperoleh bahwa
57—70% domba-domba tersebut menunjukkan positif antigen dalan
tinja dalam waktu 5—9 minggu setelah domba diinfeksi. Untuk
deteksi antigen F. gigantica dalam serum sapi yang hasilnya tidak
sebagus deteksi antigen dalam tinja, bahwa deteksi antigen F.
gigantica dalam tinja lebih sensitif dibandingkan deteksi antigen
dalam serum.
Dari uraian di atas dapat dikatakan, deteksi antigen dalam tinja
dengan sandwich-ELISA merupakan cara diagnosa fasciolosis yang
lebih tepat dan akurat karena mampu mendeteksi adanya infeksi aktif.

3.6 Pengobatan
a. Pada manusia digunakan triclabendazole dengan dosis 10-12 mg/kg bb dan
nitazoxanide.
b. Nitroxinil dengan dosis 10 mg/kg untuk sapi, kerbau dan domba, dengan ounuh
sangat efektif (100%) pada infestasi setelah 6 minggu. Namun pengobatan dengan
obat ini perlu diulang 8-12 minggu setelah pengobatan pertama.
c. Rafoxanide dengan dosis 10 mg/kg untuk domba, 10-15 mg/kg untuk sapi. Obat
ini efektif untuk mengobati cacing trematoda dan nematoda, baik cacing muda
maupun dewasa.
d. Mebendazol dengan dosis 100 mg/kg efektif (94 %) untuk membunuh cacing
hati dan cacing nematoda. Pemberian obat cacing secara periodik dan diberikan
minimal 2 kali dalam 1 tahun. Pengobatan pertama dilakukan pada akhir musim
hujan dengan tujuan untuk mengeliminasi migrasi cacing dewasa, sehingga
selama musim kemarau ternak dalam kondisi yang baik dan juga menjaga
lingkungan, terutama kolam air, agar selama musim kemarau tidak terkontaminasi
oleh larva cacing. Pengobatan kedua dilakukan pada akhir musim kemarau dengan
tujuan untuk mengeliminasi cacing muda yang bermigrasi ke dalam parenkim
hati. Pada pengobatan kedua ini perlu dipilih obat cacing yang dapat membunuh
cacing muda.

3.7 Pencegahan
a. .Limbah kandang hanya digunakan sebagai pupuk pada tanaman padi apabila
sudah dikomposkan terlebih dahulu sehingga telur Fasciola sp. sudah mati.
b. Pengambilan jerami dari sawah sebagai pakan ternak dilakukan dengan
pemotongan sedikit di atas tinggi galengan atau 1-1.5 jengkal dari tanah.
c. Jerami dijemur selama 2-3 hari berturut-turut dibawah sinar matahari dan
dibolak-balik selama penjernuran sebelum diberikan untuk pakan.
d. Penyisiran jerami agar daun padi yang kering terlepas untuk mengurangi
pencemaran metaserkaria.
e. Tidak melakukan penggembalaan ternak di daerah berair atau yang tercemar
oleh metaserkaria cacing hati, misalnya di sawah sekitar kandang ternak atau
dekat pemukiman.
f. Mengandangkan sapi dan itik secara bersebelahan sehingga kotorannya
tercampur saat kandang dibersihkan (pengendalian secara biologis).
g. Gabungan dari cara-cara tersebut di atas.

4. Memahami dan Menjelaskan Konsep One Health


4.1 Definisi
Konsep One Health adalah strategi di seluruh dunia untuk memperluas
kolaborasi interdisipliner dan komunikasi dalam semua aspek pelayanan
kesehatan bagi manusia, hewan dan lingkungan
4.2 Tujuan
 Menurunkan insidensi zoonosis pada hewan dan manusia
 Perlindungan dan memperluas wilayah bebas zoonosis
 Menggurangi dampak KLB/Wabah zoonosis
4.3 Sasaran/Ruang Lingkup
Sasaran konsep one health yaitu terhadap interaksi manusia dengan hewan
serta produknya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya
a. pemburu kelas dunia, peternak suksess, sosialita, ect
b. Bekerja sebagai : dokter hewan, dokter, paramedis,paramedic,
peternak, pedagang, peneliti, teknisi lab, pemburu, perawat hewan,
pekerja rumah potong hewan
c. Memiliki hewan kesayangan, bergabung dengan komunitas pecinta
hewan atau aktivis kesrawan, wisata alam
d. Memiliki : anjing penjaga, anjing pemburu atau anjing pelacak
e. Mengonsumsi makanan dari hewan : daging, telur, sosis, nugget ,
minum : susu, yoghurt, kefir
4.4 Program

5. Memahami dan Menjelaskan Hewan Kurban


5.1 Standar sah hewan kurban
Pertama, hewan kurban harus dari hewan ternak; yaitu unta, sapi, kambing
atau domba. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala
, ‫َولِ ُك ِّل أُ َّم ٍة َج َع ْلنَا َم ْن َس ًكا لِيَ ْذ ُكرُوا ا ْس َم هَّللا ِ َعلَى َما َرزَ قَهُ ْم ِم ْن بَ ِهي َم ِ[ة اأْل َ ْن َع ِام‬
"Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban),
supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah
direzekikan Allah kepada mereka." (QS. Al-Hajj: 34)
Bahimatul An'am: unta, kambing dan sapi, Ini yang dikenal oleh orang
Arab sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hasan, Qatadah, dan selainnya. Atau
sejenis hewan sapi seperti kerbau karena hakikatnya sama dengan sapi juga
diperbolehkan untuk berkurban, dengan demikian maka tidak sah berkurban
dengan 100 ekor ayam, atau 500 ekor bebek dikarenakan tidak termasuk kategori
Bahimatul An’am.
Kedua, usianya sudah mencapai umur minimal yang ditentukan syari'at. Umur
hewan ternak yang boleh dijadikan hewan kurban adalah seperti berikut ini; Unta
minimal berumur 5 tahun dan telah masuk tahun ke 6. Sapi minimal berumur 2
tahun dan telah masuk tahun ke 3. Kambing jenis domba atau biri-biri berumur 1
tahun, atau minimal berumur 6 bulan bagi yang sulit mendapatkan domba yang
berumur 1 tahun. Sedangkan bagi kambing biasa (bukan jenis domba atau biri-
biri, semisal kambing jawa), maka minimal berumur 1 tahun dan telah masuk
tahun ke 2. Sebagaimana terdapat dalam kitab Kifayatul Akhyar,
‫ويجزئ فيها الجذع من الضأن والثني من المعز والثني من اإلبل والثني من البقر‬
Umur hewan kurban adalah Al-Jadza’u (Domba yang berumur 6 bulan-1
tahun), dan Al-Ma’iz (Kambing jawa yang berumur 1-2 tahun), dan Al-Ibil (Unta
yang berumur 5-6 tahun), dan Al-Baqar (Sapi yang berumur 2-3 tahun). Maka tidak
sah melaksanakan kurban dengan hewan yang belum memenuhi kriteria umur
sebagaimana disebutkan, entah itu unta, sapi maupun kambing. Karena syari’at telah
menentukan standar minimal umur dari masing-masing jenis hewan kurban yang
dimaksud, jika belum sampai pada umur yang telah ditentukan maka tidak sah
berkurban dengan hewan tersebut, jika telah sampai pada umur atau bahkan lebih
maka tidaklah mengapa, asalkan tidak terlalu tua sehingga dagingnya kurang begitu
empuk untuk dimakan.

Hewan yang Tidak Sah untuk Berkurban


Tidak semua kambing, domba, sapi, kerbau, atau onta lantas dapat dijadikan hewan
kurban. Hewan-hewan yang hendak dikurbankan tetap mesti memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut.

1. Hewan yang matanya buta.


2. Hewan yang salah satu kakinya pincang.
3. Hewan yang sedang sakit.
4. Hewan yang sangat kurus.
5. Hewan yang mempunyai telinga terputus sebagian atau seluruhnya.
6. Hewan yang ekornya terputus sebagian atau seluruhnya. 

Sebagai catatan, ada kalanya hewan kurban memiliki tanduk patah atau pecah, atau bahkan
tidak memiliki tanduk. Dalam hal ini, hewan tersebut dapat digunakan sebagai hewan kurban.
Pedoman Penyembelihan Hewan oleh MUI
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwa Nomor 12 Tahun 2009 tentang Standar
Sertifikasi Penyembelihan Halal, memberikan pedoman umum terkait hewan yang
disembelih, penyembelih, alat yang digunakan, dan proses penyembelihan.
Standar Hewan yang Disembelih
1. Hewan yang disembelih adalah hewan yang boleh dimakan.
2. Hewan harus dalam keadaan hidup ketika disembelih.
3. Kondisi hewan harus memenuhi standar kesehatan hewan yang ditetapkan oleh lembaga
yang memiliki kewenangan.
Standar Penyembelih
1. Beragama islam dan sudah akil baligh.
2. Memahami tata cara penyembelihan secara syar'i.
3. Memiliki keahlian dalam penyembelihan.
Standar Alat Penyembelihan
1. Alat penyembelihan harus tajam
2. Alat dimaksud bukan kuku, gigi/taring, atau tulang.
Standar Proses Penyembelihan
1. Penyembelihan dilaksanakan dengan niat menyembelih dan menyebut asma Allah.
2. Penyembelihan dilakukan dengan mengalirkan darah melalui pemotongan saluran
makanan, saluran pernapasan/tenggorokan, dan dua pembuluh darah.
3. Penyembelihan dilakukan dengan satu kali dan secara cepat.
4. Memastikan adanya aliran darah dan/atau gerakan hewan sebagai tanda hidupnya hewan.
5. Memastikan matinya hewan disebabkan oleh penyembelihan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Suharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Penerbit Kanisius,
Yogyakarta. 180 hlm.
Khairiyah. 2011. Zoonoaia dan Upaya Pencegahannya. Jurnal Litbang Pertanian. 30(3).
Clarasinta. Claudia. Anthrax Disease: Threat to Farmers and Cattleman. Lampung.

Suardana. I Wayan. Buku Ajar Zoonosis : Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. PT
Kanisius. 2015

Centerfor Indonesian Veterinary Analytical Studies: Antrax


http://civas.net/2014/02/22/anthrax/4/

Pedoman Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular (PHM): Seri Penyakit
Anthrax. Kementerian Pertanian Republik Indonesia Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan. 2016

Eny Martindah, S. Widjajanti, S.E. ESW Ningsih dan Suhardono. Improvement Of Public
Awareness on Fasciolosis as Zoonosis Disease. Balai Penelitian Veteriner.

Syarat Sah Qurban. https://islam.nu.or.id/post/read/47559/syarat-syarat-sah-qurban-i

Implementasi One Health di Indonesia : Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia


dan Kebudayaan

Anda mungkin juga menyukai