NPM : 1102019205
Grup PBL : B-4
SASARAN BELAJAR
1. Memahami dan Menjelaskan Zoonosis
1.1 Klasifikasi
Berdasarkan agens penyebabnya, zoonosis dibedakan menjadi
Siklo-zoonosis
Siklus penularan diperlukan lebih dari satu jenis vertebrata, tetapi tidak
melibatkan invertebrata, untuk menyempurnakan siklus hidup agen
penyebab penyakit. Contohnya adalah penularan beberapa zoonosis
parasiter seperti pada hidatidosis dan taeniasis.
Meta-zoonosis
Antropozoonosis
Zooanthroponosis
-Transportasi
2. Cyclozoonosis
Yaitu zoonosis yang organisme penyebab penyakitnya untuk melengkapi siklus
hidupnya membutuhkan lebih dari satu spesies hospes vertebrata, tanpa memerlukan
hospes invertebrata. Sebagai contoh adalah taeniasis dan echinococcosis.
3. Metazoonosis
Merupakan zoonosis yang penularannya dilakukan secara biologi dengan perantaraan
invertebrata yang menjadi vektor biologinya. Di dalam tubuh vektor, organisme
penyebab penyakit berkembang jumlahnya dan atau berubah morfologinya sebelum
mampu menginfeksi vertebrata yang peka. Dengan demikian terdapat masa inkubasi
eksrinsik atau masa prepaten. Sebagai contoh adalah infeksi oleh arbovirus,
pes/sampar dan schistosomiasis.
4. Saprozoonosis
Zoonosis yang memerlukan satu jenis hospes vertebrata di samping reservoir atau
lingkungan perkembangan yang bukan merupakan hewan, misalnya, tanah dan
tumbuhan. Termasuk dalam golongan ini adalah berbagai jenis larva migrans dan
beberapa jenis mikosis.
1.4 Etiologi
1.5 Pencegahan
Upaya untuk mencegah penularan penyakit zoonosis pada manusia meliputi:
• Mengendalikan zoonosis pada hewan dengan eradikasi atau eliminasi hewan yang
positif secara serologis dan melalui vaksinasi.
• Memantau kesehatan ternak dan tata laksana peternakan di tingkat peternak.
• Mensosialisasikan gejala klinis awal penyakit zoonosis di peternakan atau rumah
potong hewan dan sesegera mungkin melaporkan dan mengambil tindakan
terhadap ternak maupun pekerja yang tertular penyakit.
• Memperketat pengawasan lalu lintas ternak dengan menerapkan sistem karantina
yang ketat, terutama dari negara tertular.
• Melarang impor sapi dan produknya, pakan ternak, hormon, tepung tulang, dan
gelatin yang berasal dari sapi dari negara yang belum bebas penyakit menular.
• Menjaga kebersihan kandang dengan menyemprotkan desinfektan.
• Menggunakan alat pelindung seperti sarung tangan, masker hidung, kacamata
pelindung, sepatu boot yang dapat didesinfeksi, dan penutup kepala bila mengurus
hewan yang sakit.
• Menjaga kebersihan dengan mencuci tangan sebelum mengolah pangan setelah
memegang daging mentah, menangani karkas atau mengurus ternak.
• Memasak dengan benar daging sapi, daging unggas, dan makanan laut serta
menghindari mengonsumsi makanan mentah atau daging yang kurang masak.
• Menjaga makanan agar tidak terkontaminasi hewan piaraan atau serangga.
• Menggunakan sarung tangan bila berkebun, menghindari feses kucing saat
menyingkirkan bak pasir yang tidak terpakai.
• Memantau nyamuk dan lalat di daerah endemis dan mengawasi lalu lintas ternak.
• Jika tergigit anjing atau kucing, segera mencuci luka bekas gigitan dengan sabun
di bawah kucuran air mengalir selama 1015 menit agar dinding virus yang
terbuat dari lemak rusak oleh sabun.
• Segera ke dokter atau ke rumah sakit untuk mendapat vaksinasi.
2.3 Penularan
Pada hewan, penularan terjadi dengan menelan, menghirup spora atau masuk
melalui lesi kulit. Herbivora biasanya terinfeksi saat menelan cukup banyak spora di
tanah atau pada tanaman di padang rumput. Wabah anthrax sering dikaitkan dengan
hujan deras, banjir atau kekeringan. Hewan karnivora biasanya terinfeksi setelah
memakan daging yang terkontaminasi. Burung pemakan bangkai dan lalat dapat
menyebarkan antraks secara mekanis. Spora antraks dapat bertahan selama puluhan
tahun di tanah atau produk hewani seperti kulit kering atau olahan dan wol. Spora
juga bisa bertahaning selama dua tahun dalam air, 10 tahun dalam susu dan sampai
71 tahun pada benang itsutera.
Penyakit antraks pada manusia berkembang setelah jaringan tubuh terpapar
spora B. anthracis dari hewan yang terinfeksi. Di sebagian besar negara, antraks
manusia jarang terjadi dan tersebar sporadis, terutama pada kalangan dokter hewan,
pekerja peternakan, pertanian dan pekerja yang mengolah produk kulit, rambut, wol
dan tulang. Manusia dapat terinfeksi melalui salah satu dari ketiga kemungkinan yaitu
melalui kulit, melalui inhalasi atau melalui ingesti.
2.4 Gejala
Gejala klinis antraks pada hewan diawali dengan
• suhu tubuh tinggi sekitar 41-42 °C
• kehilangan nafsu makan yang mengarah kepada terhentinya
produksi susu pada sapi perah
• edema di sekitar leher, hidung, kepala dan scrotum
• Keluar darah dari dubur, mulut dan lubang hidung. Darah
berwarna merah tua seperti kecap atau ter, agak berbau amis dan
busuk serta sulit membeku
• Hewan terlihat sempoyongan, gemetar dan kemudian mati.
• Kematian dalam waktu singkat tanpa disertai tanda-tanda
sebelumnya (perakut).
Gejala klinis pada manusia tergantung dari jalan masuknya endospora
Bacillus anthracis ke dalam tubuh host.
• Antraks kutaneus merupakan manifestasi klinis terbanyak pada
manusia, dinyatakan sekitar 95% dari kejadian antraks dan jarang
berakibat fatal jika diobati antibiotik. Pada manusia, antraks
kutaneus bermula dari infeksi oleh endospora bakteri melalui lesi
kulit (abrasi, luka, atau gigitan serangga). Dalam waktu 12 -36 jam
setelah infeksi akan timbul jerawat atau papula kecil dan akan
berkembang dalam dua sampai tiga hari. 24 jam berikutnya papula
berubah menjadi vesikula yang berisi cairan berwarna biru gelap
dan membentuk cincin vesikula, diikuti oleh ulserasi papula
sentral, yang mengering dan membekas berupa eschar kehitaman
pada bagian pusat lesi (pathognomonik) disekitar ulkus, sering
didapatkan eritema dan edema. Jika lesi terinfeksi bakteri
Staphylococcus aureus akan terbentuk pus pada daerah radang.
Lesi pada antraks kutaneus tak disertai rasa nyeri dan selalu
dikelilingi oleh edema. Biasanya, pada hari kelima atau enam
eschar kehitaman akan menebal dan melekat erat pada jaringan
dasarnya. Terdapat limfadenopati regional dan juga terjadi
pembengkakan di wajah atau leher yang bisa berkembang menjadi
meningitis. Demam, nanah dan nyeri terjadi jika infeksi sekunder.14
• Bentuk gastrointestinal kurang umum namun lebih serius, dan bisa
terjadi pada wabah daging yang terkontaminasi. Antraks
gastrointestinal terjadi setelah mengonsumsi daging yang
terkontaminasi. Spora di saluran usus mengalami germinasi dan
menyebabkan terbentuknya lesi ulseratif. Lesi ini bisa terjadi di
mana saja dan mungkin, pada kasus yang parah, mengakibatkan
perdarahan, obstruksi atau perforasi. Gastrointestinal antraks
dibagi menjadi dua sindrom: abdominal dan oropharyngeal
anthrax. Gejala awal dari bentuk abdominal bisa berupa malaise,
demam dan gejala gastrointestinal ringan seperti mual, muntah,
diare dan anoreksia. Dapat pula diikuti oleh gejala onset akut dari
gastrointestinal berat seperti sakit perut parah, hematemesis, diare
berdarah dan asites masuf. Selain itu, mungkin ada demam tinggi,
dyspnea, sianosis, disorientasi dan tanda-tanda septikemia lainnya.
Gastrointestinal antraks yang parah dengan cepat berkembang
menjadi syok, koma dan kematian.
• Antraks inhalasi adalah bentuk yang paling serius, dan memiliki
tingkat kematian yang sangat tinggi bahkan saat diobati. Antraks
inhalasi terjadi setelah manusia menghirup spora. Tanda klinis
berkembang secara bertahap dan nonspesifik. Awal gejala berupa
demam, menggigil, malaise, batuk yang tidak produktif dan nyeri
dada ringan. Gejalanya terkadang membaik selama beberapa jam
sampai tiga hari. Periode prodromal berakhir dengan onset akut
dari gangguan pernafasan berat, takikardia, diaphoresis, stridor dan
sianosis, diikuti oleh septikemia yang fatal dan syok dalam satu
sampai dua hari. Penyebaran hematogen B. anthracis juga dapat
menyebabkan lesi dan gejala antraks gastrointestinal.
• Bentuk oropharyngeal anthrax hanya sedikit diketahui. Gejala
awal berupa sakit tenggorokan, disfagia, demam, suara serak dan
bengkak pada leher. Pembengkakan leher disebabkan oleh edema
dan limfadenopati servikal, dan bisa mengakibatkan gangguan
jalan nafas. Lesi mulut terjadi pada amandel, pharynx dan palatum
keras, berbentuk edematous dan padat serta terdapat daerah
keputihan, yang disebabkan oleh nekrosis dan ulserasi pada akhir
minggu pertama. Pada minggu kedua sebuah pseudomembran
berkembang di atas ulkus.
• Antraks meningitis bisa menjadi komplikasi dari salah satu dari
tiga bentuk anthrax. Setelah periode prodromal 1-6 hari, tanda khas
meningoencephalitis berkembang dengan cepat seperti radang otak
maupun selaput otak yaitu demam, sakit kepala hebat, kejang,
penurunan kesadaran dan kaku kuduk Pasien dalam waktu kurang
dari 24 jam dapat kehilangan kesadaran dan meninggal.
2.5 Pemeriksaan
1. Pengujian Laboratorium
2. Pemeriksaan biologik
Pemeriksaan biologic pada hewan dilakukan untuk membedakan kuman
antraks dan kuman antrakoid. Dengan cara:
• Uji Ascoli
2.6 Pengobatan
Obat pilihan utama untuk infeksi antraks adalah Penicillin. Pengobatan dibagi
berdasarkan berat ringannya penyakit :
2. Anak
Penicillin G 2400 mg IV setiap 4-6 jam (4 juta unit; total per hari 20 – 24
juta unit) hingga gejala hilang / demam turun.
Selain antibiotik, terdapat pula antitoxin yang dapat digunakan bersamaan dengan
antibiotik. Antitoxin yang saat ini tersedia adalah Raxibacumab dan Anthrax Immune
Globulin Intravenous (AIGIV).
2.7 Pencegahan
Pada orang yang telah terpapar tetapi belum menunjukkan gejala,
profilaksis antibiotik dapat diberikan selama 60 hari guna mencegah spora
berkembang dalam tubuh. Antibiotik yang digunakan adalah ciprofloksasin
dan doksisiklin.
Vaksinasi dapat digunakan untuk pencegahan infeksi antraks pada orang
yang belum pernah mendapatkan vaksinasi usia 18 – 65 tahun dan
pada orang yang berisiko terpapar bakteri antraks , yaitu : pekerja
laboratorium dan orang berpotensi kontak langsung dengan hewan yang
terinfeksi.
Terdapat dua jenis vaksin, yaitu vaksin hidup (Russian Vaccine dan PR
China Vaccine) dan vaksin rekombinan ( Anthrax Vaccine Adsorbed /AVA
dan Anthrax Vaccine Precipitated / AVP ).Vaksinasi
sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang memiliki alergi terhadap
komponen vaksin, sedang hamil (atau kemungkinan hamil), tidak dalam
kondisi sehat.
Vaksin hewan Anthrax yang digunakan adalah vaksin Anthravet kemasan
125 ml perbotol dengan kandungan setiap ml adalah 10 juta Spora Bacillus
anthracis Galur 34 F2-Weybridge avirulen non kapsula dengan pelarut garam faali
dan gliserin sama banyak dan mengandung 0,05 % saponin. Dosis pemakaian
untuk hewan besar 1 ml/ekor pemberian SC dan untuk hewan kecil 0,5 ml S.
3. Memahami dan Menjelaskan Infeksi Cacing Hati
3.1 Definisi
Fasciolosis atau infeksi cacing hati merupakan penyakit pada ternak
disebabkan oleh cacing daun (trematoda) genus Fasciola spp., seperti Fasciola
hepatica dan Fasciola gigantica. Pada umumnya F. hepatica ditemukan di negara
empat musim atau subtropis seperti Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa,
Afrika Selatan, Rusia, Australia dan New Zealand. Fasciola gigantica umumnya
ditemukan di negara tropis dan subtropis, seperti India, Indonesia, Jepang,
Filipina, Malaysia, dan Kamboja
Fascioliasis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit Fasciola.
Dua spesies Fasciola (tipe) menginfeksi manusia. Spesies utama adalah Fasciola
hepatica, yang juga dikenal sebagai “cacing hati yang umum” dan “cacing hati
domba.” Spesies terkait, Fasciola gigantica, juga dapat menginfeksi manusia. Ini
adalah penyakit parasityangumumterjadi dan terdistribusi secara kosmopolitan.
3.2 Penyebab
Fasciolosis disebabkan oleh cacing hemaprodit yang cukup besar,
berbentuk seperti daun dengan kutikula berduri. Fasciola gigantica secara
eksklusif terdapat di daerah tropis, berukuran 25-27x 3-12 mm. Fasciola hepatica
ditemukan di daerah yang beriklim sedang dengan ukuran 20-30x10 mm. Kedua
spesies cacing tersebut bersifat hematopagus/pemakan darah.
Fgigantica mempunyai pundak sempit, ujung posterior tumpul, ovarium
lebih panjang dengan banyak cabang. Sedangkan F.hepatica mempunyai pundak
lebar dan ujung posterior lancip. Telur Fgigantica berukuran 160-196x90-100
mm, dan telur F.hopatica berukuran 130-148x60-90 mm.
3.3 Penularan
Cacing hati menular pada ternak melalui siklus hidup yang berpindah.
Cacing Fasciola dewasa bertahan hidup di dalam hati ternak antara 1-3 tahun.
Telur cacing akan keluar dari tubuh ternak bersama feses. Pada lingkungan
lembab, telur tersebut dapat bertahan antara 2-3 bulan. Telur Fasciola hepatica
menetas dalam 12 hari pada suhu 26°C, sementara telur Fasciola gigantica
menetas dalam 14-17 hari pada suhu 28°C. Penetasan yang umumnya terjadi pada
siang hari itu mengeluarkan mirasidium.
Mirasidium memiliki rambut getar yang sangat aktif berenang di dalam
air. Ia akan mencari induk semang yang sesuai, yaitu siput. Setelah mirasidium
menemukan siput, rambut getarnya akan terlepas dan mirasidium menembus
masuk ke tubuh siput. Dalam waktu 24 jam, mirasidium berubah menjadi
sporosis. Delapan hari kemudian, sporosis tersebut akan berkembang menjadi
redia.
Selanjutnya, redia akan menghasilkan serkaria dan keluar dari tubuh siput.
Serkaria dapat berenang saat berada di luar tubuh siput, kemudian menempel pada
benda di dalam air. Termasuk di antaranya rumput, jerami, sayuran, atau
tumbuhan air lainnya. Hewan ternak akan terinfeksi ketika memakan tumbuhan
atau meminum air yang terkontaminasi serkaria.
Di dalam tubuh ternak, serkaria menjadi cacing muda. Dampak infeksi ini
cukup buruk. Ia bisa membuat pertumbuhan ternak terhambat, kurus,
produktivitas ternak menurun, bahkan menyebabkan kematian.
Menular pada Manusia
Meskipun selama ini hati daging ternak yang terinfeksi cacing hati aman
dikonsumsi, manusia tak otomatis terhindar dari penyakit fasciolosis. Penularan
penyakit ini dapat terjadi akibat penggunaan air yang tercemar serkaria Fasciola.
Jika air yang terinfeksi itu diminum dalam keadaan mentah .
Penularan fasciolosis oleh Fasciola hepatica dapat terjadi jika Anda
mengkonsumsi hati mentah seperti dilakukan sebagian masyarakat Eropa. Hal ini
ditunjukkan dalam penelitian oleh Taira N dkk yang memberi makan tikus dengan
hati terkontaminasi Fasciola hepatica. Hasilnya, cacing tersebut dapat berkembang
menjadi dewasa di dalam tubuh tikus. Mereka juga menerapkan penelitian yang sama
pada 10 ekor anak babi, dan kesemuanya mati saat cacing berumur 14 hari di tubuh
babi.
Di Indonesia, kejadian fasciolosis bisa dikatakan jarang. Masyarakat negeri ini
kurang menyukai hati serta sayuran mentah. Namun, masyarakat daerah tertentu
seperti Jawa Barat harus berhati-hati. Sebab, orang Sunda terbiasa makan lalapan
mentah. Sayuran yang terkontaminasi serkaria dapat menjadi media penularan cacing
hati.
Fasciolosis bisa menjangkiti manusia apabila penularannya dimulai dari serkaria
yang keluar dari tubuh siput. Serkaria bisa menempel dari pupuk kandang yang
diberikan ke tanaman, atau penyiraman tanaman menggunakan air sungai
terkontaminasi.
Masa inkubasi fasciolosis pada manusia sangat bervariasi. Ia dapat berlangsung
dalam 6 minggu hingga 3 bulan. Gejala klinis paling menonjol adalah anemia, demam
dengan suhu badan antara 40-42° C, nyeri di bagian perut, dan gangguan pencernaan.
Dalam kasus kronis, fasciolosis dapat mengakibatkan terbentuknya batu empedu,
sirosis hati, dan kanker hati.
3.4 Gejala
Gejala klinis yang paling menonjol adalah adanya gejala anemia. Selain
itu dapat pula terjadi demam dengan suhu badan antara 40—420C, nyeri di
bagian perut dan gangguan pencernaan. Bila penyakit berlanjut, dapat terjadi
hepatomegali, asites di rongga perut, sesak nafas dan gejala kekuningan, dapat
mengakibatkan terbentuknya batu empedu, sirosis hati dan kanker hati.
Berat ringannya fasciolosis tergantung pada jumlah metaserkaria yang
tertelan dan infektifitasnya. Bila metaserkaria yang tertelan sangat banyak akan
mengakibatkan kematian pada ternak sebelum cacing tersebut mencapai dewasa.
Selain itu, tergantung pula pada stadium infestasi yaitu migrasi cacing muda dan
perkembangan cacing dewasa dalam saluran empedu, serta infestasi Fasciola sp.
dapat bersifat akut maupun kronis. Infestasi Fgigantica pada domba dan kambing
biasanya bersifat akut dan fatal,
Bentuk akut: Bentuk ini disebabkan adanya migrasi cacing muda di
dalam jaringan hati, sehingga menyebabkan kerusakan jaringan hati.
Temak menjadi lemah, nafas cepat dan pendek, perut membesar dan
rasa sakit.
Bentuk kronis: F.gigantiga mencapai dewasa 4-5 bulan setelah
infestasi, gejala yang nampak adalah anemia, sehingga menyebabkan
temak lesu, lemah, nafsu makan menurun, cepat mengalami kelelahan,
membrana mukosa pucat, diare dan edema di antara sudut dagu dan
bawah perut, ikterus dan kematian dapat terjadi dalam waktu 1-3
bulan.
3.5 Pemeriksaan
Deteksi telur cacino
Deteksi telur cacing Fasciola spp. dalam tinja merupakan cara
diagnosa yang umum dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit
fasciolosis. Metode yang biasa digunakan adalah uji sedimentasi .
Metode tersebut merupakan metode konvensional dan hanya bisa
digunakan untuk hewan/penderita yang infeksinya sudah kronis dan
sudah mengandung cacing dewasa dalam saluran empedunya.
Biasanya cacing Fasciola spp. dewasa mulai memproduksi telur pada
umur 10—18 minggu. Metode tersebut masih ada juga kekurangannya
karena telur cacing diekskresikan dalam waktu yang tidak beraturan
dan jumlah telur cacing yang terlalu sedikit dalam tinja akan
mempengaruhi hasil diagnosa.
3.6 Pengobatan
a. Pada manusia digunakan triclabendazole dengan dosis 10-12 mg/kg bb dan
nitazoxanide.
b. Nitroxinil dengan dosis 10 mg/kg untuk sapi, kerbau dan domba, dengan ounuh
sangat efektif (100%) pada infestasi setelah 6 minggu. Namun pengobatan dengan
obat ini perlu diulang 8-12 minggu setelah pengobatan pertama.
c. Rafoxanide dengan dosis 10 mg/kg untuk domba, 10-15 mg/kg untuk sapi. Obat
ini efektif untuk mengobati cacing trematoda dan nematoda, baik cacing muda
maupun dewasa.
d. Mebendazol dengan dosis 100 mg/kg efektif (94 %) untuk membunuh cacing
hati dan cacing nematoda. Pemberian obat cacing secara periodik dan diberikan
minimal 2 kali dalam 1 tahun. Pengobatan pertama dilakukan pada akhir musim
hujan dengan tujuan untuk mengeliminasi migrasi cacing dewasa, sehingga
selama musim kemarau ternak dalam kondisi yang baik dan juga menjaga
lingkungan, terutama kolam air, agar selama musim kemarau tidak terkontaminasi
oleh larva cacing. Pengobatan kedua dilakukan pada akhir musim kemarau dengan
tujuan untuk mengeliminasi cacing muda yang bermigrasi ke dalam parenkim
hati. Pada pengobatan kedua ini perlu dipilih obat cacing yang dapat membunuh
cacing muda.
3.7 Pencegahan
a. .Limbah kandang hanya digunakan sebagai pupuk pada tanaman padi apabila
sudah dikomposkan terlebih dahulu sehingga telur Fasciola sp. sudah mati.
b. Pengambilan jerami dari sawah sebagai pakan ternak dilakukan dengan
pemotongan sedikit di atas tinggi galengan atau 1-1.5 jengkal dari tanah.
c. Jerami dijemur selama 2-3 hari berturut-turut dibawah sinar matahari dan
dibolak-balik selama penjernuran sebelum diberikan untuk pakan.
d. Penyisiran jerami agar daun padi yang kering terlepas untuk mengurangi
pencemaran metaserkaria.
e. Tidak melakukan penggembalaan ternak di daerah berair atau yang tercemar
oleh metaserkaria cacing hati, misalnya di sawah sekitar kandang ternak atau
dekat pemukiman.
f. Mengandangkan sapi dan itik secara bersebelahan sehingga kotorannya
tercampur saat kandang dibersihkan (pengendalian secara biologis).
g. Gabungan dari cara-cara tersebut di atas.
Sebagai catatan, ada kalanya hewan kurban memiliki tanduk patah atau pecah, atau bahkan
tidak memiliki tanduk. Dalam hal ini, hewan tersebut dapat digunakan sebagai hewan kurban.
Pedoman Penyembelihan Hewan oleh MUI
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwa Nomor 12 Tahun 2009 tentang Standar
Sertifikasi Penyembelihan Halal, memberikan pedoman umum terkait hewan yang
disembelih, penyembelih, alat yang digunakan, dan proses penyembelihan.
Standar Hewan yang Disembelih
1. Hewan yang disembelih adalah hewan yang boleh dimakan.
2. Hewan harus dalam keadaan hidup ketika disembelih.
3. Kondisi hewan harus memenuhi standar kesehatan hewan yang ditetapkan oleh lembaga
yang memiliki kewenangan.
Standar Penyembelih
1. Beragama islam dan sudah akil baligh.
2. Memahami tata cara penyembelihan secara syar'i.
3. Memiliki keahlian dalam penyembelihan.
Standar Alat Penyembelihan
1. Alat penyembelihan harus tajam
2. Alat dimaksud bukan kuku, gigi/taring, atau tulang.
Standar Proses Penyembelihan
1. Penyembelihan dilaksanakan dengan niat menyembelih dan menyebut asma Allah.
2. Penyembelihan dilakukan dengan mengalirkan darah melalui pemotongan saluran
makanan, saluran pernapasan/tenggorokan, dan dua pembuluh darah.
3. Penyembelihan dilakukan dengan satu kali dan secara cepat.
4. Memastikan adanya aliran darah dan/atau gerakan hewan sebagai tanda hidupnya hewan.
5. Memastikan matinya hewan disebabkan oleh penyembelihan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Suharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Penerbit Kanisius,
Yogyakarta. 180 hlm.
Khairiyah. 2011. Zoonoaia dan Upaya Pencegahannya. Jurnal Litbang Pertanian. 30(3).
Clarasinta. Claudia. Anthrax Disease: Threat to Farmers and Cattleman. Lampung.
Suardana. I Wayan. Buku Ajar Zoonosis : Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. PT
Kanisius. 2015
Pedoman Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular (PHM): Seri Penyakit
Anthrax. Kementerian Pertanian Republik Indonesia Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan. 2016
Eny Martindah, S. Widjajanti, S.E. ESW Ningsih dan Suhardono. Improvement Of Public
Awareness on Fasciolosis as Zoonosis Disease. Balai Penelitian Veteriner.