KELOMPOK B-4
B. Kata Sulit
1. Somnollen
Kondisi mengantuk yang cukup dalam namun masih bisa dibangunkan dengan
rangsangan.
2. Bradikardia
Detak jantung lambat kurang dari 60x per menit.
3. Hiperpireksia
Kondisi dimana suhu rektal >41C atau 106F
4. Demam
Keadaan suhu diatas normal yaitu diatas 38C untuk rektal, diatas 37.5C untuk oral
dan >37.2C untuk axillary.
5. Coated Tongue
Kondisi saat lidah tertutup oleh lapisan putih atau kekuningan yang terletak pada
permukaan dorsal lidah di nodul kecil.
6. Diagnosis
Dugaan sementara yang ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik.
C. Pertanyaan
1. Mengapa demam dirasakan sore dan malam hari?
2. Apa penyebab hiperpireksia?
3. Apa gejala yang timbul akibat infeksi salmonella sp.?
4. Bagaimana salmonella masuk ke dalam tubuh?
5. Bagaimanna proses terjadinya bradikardia pada demam?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat menegakkan diagnosis dalam
skenario?
7. Bagaimana cara mencegah agar tidak terinfeksi salmonella sp.?
8. Apa saja tingkatan kesadaran menurut GCS?
9. Bagaimana mekanisme terjadinya demam akibbat infeksi salmonella sp.?
10. Apa manfaat demam?
11. Bagaimana cara penanganan infeksi salmonella sp.?
D. Jawaban
1. Karena terinfeksi salmonella sp. dan bakteri tersebut aktif dimalam hari.
2. Disebabkan oleh infeksi berat dan kerusakkan pada pusat pengaturan suhu tubuh,
pendarahan pada sistem saraf pusat.
3. Demam kontinyu pada minggu pertama, demam remiten pada minggu kedua,
demam utama sore dan malam hari, nyeri otot, sakit kepala, dan diare.
4. Tinja dihinggapi lalat lalat menempel pada makanan makanan dimakan
masuk ke usus menyerang limfa dan hati.
5. Saat terjadi demam, aliran darah akan meningkat sehingga jantung memompa
darah lebih cepat. Kerja jantung yang bberlebihan akan menngakibatkan kelelahan
sehingga fungsi jantung menurun dan terjadi brakikardia.
6. Tes hematologi, urin, mikrobiologi dan serologi.
7. Menghindari makan ditempat yang kurang bersih dann ditempat terbuka, vaksin
untuk anak lebih dari 2 tahun setiap 3 tahun sekali, menjaga kebersihan
lingkungan.
8. Komposmentis Keadaan sadar penuh.
Apatis Respon lambat, segan terhadap lingkungan.
Delirium Disorientasi waktu, tempat dan masih bisa bicara.
Somnolen Mengantuk dan bisa dibangunkan dengar rangsangan seperti
menepuk.
Sopor Mengantuk, bisa dibangunkan dengan rangsangan nyeri.
Semikoma Tidak bisa dibangunkan dengan rangsangan nyeri dan pupil positif.
Koma Tidak sadar, pupil negative.
9. Masuknya bakteri salmonella sp. ke saluran pencernaan ke usus halus
menyerang sistem limfa menyerang aliran darah berkembang biak dan
melakukan infeksi pada organ (hati, ginjal, dll) menyerang aliran darah
kembali Menjadi bakteri sekunder mengakibatkan demam.
10. Meningkatkan metabolisme, meningkatkan fungsi fagositosis, dan menningkatkan
efek sitotoksik limfosit.
11. Istirahat untuk mencegah komplikasi, pemberian nutrisi cairan secara oral atau
parenteral untuk mencegah dehidrasi, dan antibiotik; kloramfenikol, septriakson,
amfisilin dan amoksisilin, kotrimosasol, cepalosporin.
E. Hipotesis
Demam typhoid disebabkan oleh bakteri Salmonella sp. dengan gejala demam
kontinyu pada minggu pertama, demam remiten pada minggu kedua, demam utama
sore dan malam hari, nyeri otot, sakit kepala, dan diare. Terjadinya demam typhoid
adalah dengan masuknya bakteri salmonella sp. ke saluran pencernaan ke usus
halus menyerang sistem limfa menyerang aliran darah berkembang biak dan
melakukan infeksi pada organ (hati, ginjal, dll) menyerang aliran darah kembali
Menjadi bakteri sekunder mengakibatkan demam. Untuk mengidentifikasi demam
typhoid adalah dengan tes hematologi, urin, mikrobiologi dan serologi serta dapat
ditangani dengan istirahat untuk mencegah komplikasi, pemberian nutrisi cairan
secara oral atau parenteral untuk mencegah dehidrasi, dan antibiotik; kloramfenikol,
septriakson, amfisilin dan amoksisilin, kotrimosasol, cephalosporin. Adapun
pencegahan yang dapat dilakukan dengan menghindari makan ditempat yang kurang
bersih dann ditempat terbuka, vaksin untuk anak lebih dari 2 tahun setiap 3 tahun
sekali, menjaga kebersihan lingkungan.
F. Sasaran Belajar
1. Memahami dan Menjelaskan Salmonella sp.
a. Definisi
Salmonella adalah genus bakteri enterobakteria Gram-negatif
berbentuk tongkat yang menyebabkan demam tifoid, demam paratipus, dan
keracunan makanan. Salmonella adalah bakteri yang menjadi indikator
sanitasi pada pangan. Salmonella pada umumnya tergolong bakteri patogen.
b. Klasifikasi
Kingdom: Bacteria
Filum: Proteobakteria
Ordo: Enterobakteriales
Famili: Enterobakteriaceae
Genus: Salmonella
2.Antigen H (Antigen flagella) yang terletak pada flagella dan fimbria (pili)
dari kuman. Flagel ini terdiri dari badan basal yang melekat pada sitoplasma
dinding sel kuman, struktur kimia ini berupa protein yang tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol pada suhu 60
0C,.Selain itu flagel juga terdiri dari the hook dan filamen yang terdiri dari
komponen protein polimerase yang disebut flagelin dengan BM 51-57 kDa
yang dipakai dalam pemeriksaan asam nukleat kuman S. typhi(WHO, 2003)
g. Pemeriksaan
1. Kultur
Sampai saat ini baku emas diagnosis demam tifoid adalah
pemeriksaan kultur. Pemilihan spesimen untuk kultur sebagai
penunjang diagnosis pada demam minggu pertama dan awal minggu
kedua adalah darah, karena masih terjadi bakteremia. Hasil kultur
darah positif sekitar 40%-60%. Sedangkan pada minggu kedua dan
ketiga spesimen sebaiknya diambil dari kultur tinja (sensitivitas <50%)
dan urin (sensitivitas 20-30%). Sampel biakan sumsum tulang lebih
sensitif, sensitivitas pada minggu pertama 90% namun invasif dan sulit
dilakukan dalam praktek.
2. Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. Typhi hanya
membutuhkan waktu kurang dari 8 jam, dan memiliki sensitivitas yang
tinggi sehingga lebih unggul dibanding pemeriksaan biakan darah
biasa yang membutuhkan waktu 5–7 hari. In-flagelin PCR terhadap S.
Typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas
87,9%.Pemeriksaan nestedpolymerase chain reaction (PCR)
menggunakan primer H1-d dapat digunakanuntuk mengamplifikasi gen
spesifik S. typhi dari darah pasien dan merupakan pemeriksaan
diagnostik cepat yang menjanjikan. Pemeriksaan nested PCR terhadap
gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat dideteksi dari spesimen urin
21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah 20/22 (90%), dan tinja
15/22 (68,1%).Sampai saat ini, pemeriksaan PCR di Indonesia masih
terbatas dilakukan dalam penelitian.
3. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologis demam tifoid secara garis besar terbagi
atas pemeriksaan antibodi dan pemeriksaan antigen. Pemeriksaan
antibodi paling sering dilakukan saat ini, termasuk didalamnya adalah
test Widal, test Hemagglutinin (HA), Countercurrent
immunoelectrophoresis (CIE), dan test cepat/ rapid test (Typhidot,
TUBEX). Sedangkan pemeriksaan antigen S. Typhii dapat dilakukan
melalui pemeriksaan protein antigen dan protein Vibaik menggunakan
ELISA/ koaglutinasi namun sampai saat ini masih dalam penelitian
jumlah kecil.
a. Pemeriksaan serologis test cepat/ rapid test
Pemeriksaan serologis test cepat antibodi S. Typhi saat ini
merupakan diagnostik bantu yang paling banyak dilaporkan dan
dikembangkan, mengingat sebagian besar penderita demam tifoid
adalah penduduk negara berkembang dengan sarana laboratoriumnya
terbatas. Alat diagnostik seperti Typhidot dan Tubex mendeteksi
antibodi IgM terhadap antigen spesifik outermembrane protein (OMP)
dan O9 lipopolisakarida dari S. Typhi. Telah banyakpenelitian yang
membuktikan bahwa pemeriksaan ini memiliki sensitivitas spesifisitas
hampir 100% pada pasien demam tifoid dengan biakan darah positif S.
Typhi. Pemeriksaan antibodi IgM terhadap antigen O9 lipopolisakarida
S. Typhi (Tubex) dan IgM terhadap S. Typhi (Typhidot) memiliki
sensitivitas dan spesifisitas berkisar 70% dan 80%.Studi meta analisis
di 2015 menunjukkan bahwa Tubex TF memiliki sensitivitas 69% dan
spesifisitas 88%. Rapid Diagnostic Test (RDT) Tubex dan Typhidot
tidak direkomendasi sebagai uji diagnosis cepat tunggal, pemeriksaan
kultur darah dan teknik molekuler tetap merupakan baku emas.
Penelitian di Bangladesh (2008) menunjukan bahwa Tubex memiliki
sensitivitas 60%, spesifisitas 58%, positive predictive value 90% dan
negative predictive value 58%; sedangkanTyphidot memiliki
sensitivitas 67%, spesifisitas 54%, positive predictive value85% dan
negative predictive value 81%.
Hari pemeriksaan terbaik adalah pada anak dengan demam ≥5
hari. Penelitian di Palembang (2014), menunjukan bahwa pemeriksaan
Tubex-TF untuk deteksi antibodi IgM S. Typhi pada anak demam hari
ke-4 dengan nested PCR positif S. Typhi mendapatkan sensitivitas 63%
dan spesifisitas 69%, nilai duga positif 43% dan nilai duga negatif
83%, sehingga pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada anak dengan
demam < 5 hari.
Pemeriksaan serologi dengan nilai ≥ 6 dianggap sebagai positif
kuat. Namun, interpretasi hasil serologi yang positif harus berhati-hati
pada kasus tersangka demam tifoid yang tinggal di daerah endemis.
IgM anti Salmonella dapat bertahan sampai 3 bulan dalam darahPositif
palsu pada pemeriksaan TUBEX bisa terjadi pada pasien dengan
infeksi SalmonellaEnteridis, sedangkan hasil negatif palsu didapatkan
bila pemeriksaandilakukan terlalu cepat. Perkembangan ilmu
pengetahuan dalam pemeriksaan serologis demam tifoid masih terus
berkembang, antara lain dari spesimen urin dan saliva.
b. Pemeriksaan Widal
Sensitivitas bervariasi
Sensitivitas rendah di negara berkembang dan tidak
digunakan secara rutin untuk pemantauan
Menjanjikan,namun laporan awal menunjukkan
sensitivitas mirip biakan darah dan spesifisitas
rendah
Menjanjikan dan menggantikan biakan darah
sebagai baku emas baru
Klasik dan murah. Hasil bervariasi di daerah
endemis, perlu standardisasi dan kualitas kontrol
dari reagen
Sensitivitas lebih rendah dari Typhidot-M
Sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi
Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen
O dan H dari S. Typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun.
Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah,
sehingga penggunaannya sebagai satu-satunya pemeriksaan penunjang
di daerah endemis dapat mengakibatkan overdiagnosis. Pada umumnya
antibodi O meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak
awal penyakit.
Interpretasi pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-hati
karena dipengaruhi beberapa faktor yaitu stadium penyakit, pemberian
antibiotik, teknik laboratorium, endemisitas dan riwayat imunisasi
demam tifoid. Sensitifitas dan spesifisitas Widal rendah tergantung,
kualitas antigen yang digunakan, bahkan dapat memberikan hasil
negatif hingga 30% dari sampel biakan positif demam tifoid.
Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 69%, spesifisitas
83%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat terjadi oleh karena
reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella, infeksi bakteri
enterobacteriaceae lain, infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi
tifoid atau standardisasi reagen yang kurang baik. Hasil negatif palsu
dapat terjadi karena teknik pemeriksaan tidak benar, penggunaan
antibiotik sebelumnya, atau produksi antibodi tidak adekuat.
Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak
mempunyai arti penting dan sebaiknya dihindari. Diagnosis demam
tifoid baru dapat ditegakkan jika pada ulangan pemeriksaan Widal
selang 1-2 minggu terdapat kenaikan titer agglutinin O sebesar 4 kali.
Uji Widal memiliki beberapa keterbatasan sehingga tidak dapat
dipercaya sebagai uji diagnostik tunggal.
4. Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik.
Leukopeni sering dijumpai namun bisa terjadi leukositosis pada
keadaan adanya penyulit misalnya perforasi. Trombositopenia dapat
terjadi, namun bersifat reversibel. Anemia pada demam tifoid dapat
disebabkan depresi sumsum tulang dan perdarahan intra intestinal.
Pada hitung jenis dapat ditemukan aneosinofilia dan limfositosis
relatif. Pada demam tifoid dapat terjadi hepatitis tifosa ditandai
peningkatan fungsi hati tanpa adanya penyebab hepatitis yang lain.
h. Tata Laksana
i. Komplikasi
Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ tubuh dapat
diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Menurut Sudoyo
(2010), komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu:
1. Komplikasi intestinal. Perdarahan, perforasi, ileus paralitik dan
pankreatitis.
2. Komplikasi ekstra-intestinal.
Komplikasi kardiovaskular : gagal sirkulasi perifer,
miokarditis, tromboflebitis.
Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, KID,
trombosis.
Komplikasi paru :pneumonia, empiema, pleuritis.
Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis.
Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis.
Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis,
artritis.
Komplikasi neuropsikiatrik/tiroid toksik.
KOMPLIKASI INTESTINAL
• Perdarahan intestinal
• Perforasi usus
KOMPLIKASI EKSTRA-INTESTINAL
• Komplikasi hematologi
Penyebab KID pada demam tifoid masih belum jelas. Hal yang
sering dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan sistem koagulasi
dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamin
menyebabkan vasokontriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah
dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan koagulasi (KID
kompensata maupun dekompensata). Bila terjadi KID dekompensata
dapat diberikan transfusi darah, substitusi trombosit atau faktor
koagulasi bahkan heparin, meskipun ada yang tidak sependapat dengan
pemberian heparin pada demam tifoid.
• Hepatitis tifosa
• Pankreatitis tifosa
• Miokarditis
j. Pencegahan
k. Prognosis
3. Memahami dan Menjelaskan Farmakoterapi Demam Typhoid
a. Farmakologi
b. Non Farmakologi
DAFTAR PUSTAKA
1. Bhutta ZA. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever. BMJ.
2006;333:78-82.
2. Baker S, Favorov M, Dougan G. Searching for the elusive typhoid diagnostic. BMC
Infectious Diseases. 2010;10:45-50.
3. Buckle GC, Walker CL, Black RE. Typhoid fever and paratyphoid fever: Systematic
review to estimate global morbidity and mortality for 2010. J Glob Health 2012;
2:e570- 80.
4. Mogasale, V, Maskery, B, Ochiai, RL et al. Revisiting the burden of typhoid fever in
low- and middle-income countries for policy considerations. Lancet Glob Health.
2014; 2: e570–80.
5. Kemenkes, 2009
6. Malik AS. Complications of bacteriologically confirmed typhoid fever in children. J
Trop Pediatr. 2002;48(2):102-8.
7. Christie, A.B. Typhoid fever. in: A.B. Christie (Ed.) Infectious diseases:epidemiology
and clinical practice.vol 1.. 4th edition. ChurchillLivingstone, New York; 1987:100–
164.
8. http://digilib.unimus.ac.id/files//disk1/107/jtptunimus-gdl-sodikinkur-5316-2-
bab2.pdf
9. https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir
10. http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/31283/Chapter%20II.pdf
11. http://digilib.unila.ac.id/21600/3
12. https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/11517/2/F09ksa.pdf