Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN TYPHOID FEVER

OLEH:
NAMA MAHASISWA : Indri Selfina
NIM : 462018094
STASE : Medical Surgical

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA
SALATIGA 12 SEPTEMBER 2021
1. Pengertian
Demam typhoid merupakan penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella thypi, yang ditandai oleh panjang berkepanjangan, ditopang
dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endothelial / endokardial dan juga invasi
bakteri sekaligus multiplikasi dalam sel fagosit monocular dari hati, limpa, kelenjar
limfe usus dan peyer’s patch dan juga dapat menular pada orang lain melalui makanan /
air yang terkontaminasi (Nurarif dan Kusuma, 2015)
Typhoid adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh
Salmonella type A, B dan C yang dapat menular melalui oral, fekal, makanan dan
minuman yang terkontaminasi. (Dewi & Meira, 2016)
Typhoid atau typhoid fever adalah suatu sindrom sistemik yang terutama
disebabkan oleh Salmonella typhi. Typhoid merupakan jenis terbanyak dari
salmonellosis. Jenis lain dari demam enteric adalah demam paratyphoid yang disebabkan
oleh S. paratyphi A, S. schottmuelleri (semula S. paratyphi B), dan S.hirschfeldii
(semula S. paratyphi C). Typhoid memperlihatkan gejala lebih berat dibandingkan
demam enterik yang lain. (Widagdo, 2014)
Penyakit Typhoid Fever atau yang lebih dikenal dengan tifus yang disebabkan
karena infeksi virus Salmonella typhi . Gejala pada penyakit ini berkembang satu
minggu sampai dua minggu setelah seseorang sudah terinfeksi virus. Tanda dan gejala
yang dapat diidentifikasi terhadap penyakit ini yaitu demam atau suhu tubuh tinggi
mencapai 39°C - 40°C disertai dengan sakit kepala, nyeri pada otot, sakit perut, nafsu
makan menurun, kelelahan dan lidah kotor

2. Klasifikasi
Menurut WHO (2003), ada 3 macam klasifikasi demam tifoid dengan perbedaan
gejala klinis demam tifoid akut non komplikasi demam tifoid akut dikarakteristikkan
dengan adanya demam berkepanjangan abnormalitas, fungsi bowel (konstipasi pada
pasien dewasa, dan diare pada anak - anak), sakit kepala, malaise, dan anoreksia bentuk
bronchitis biasa terjadi pada fase asal penyakit selama periode demam, sampai 2
penyakit menunjukkan adanya rose spot pada dada, abdomen dan punggung demam
tifoid dengan komplikasi pada demam tifoid akut, keadaan mungkin dapat berkembang
menjadi komplikasi parah tergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan klinik

3. Etiologi
Typhoid disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella thyposa/Eberthella typhosa
yang merupakan mikroorganisme patogen yang berada di jaringan limfatik usus halus,
hati, limpa, dan aliran darah yang terinfeksi. Kuman ini berupa gram negatif yang akan
nyaman hidup dalam suhu tubuh manusia.
Kuman ini akan mati pada suhu 70° C dan dengan pemberian antiseptic. Masa
inkubasi penyakit ini antara 7-20 hari. Namun, ada juga yang memiliki masa inkubasi
paling pendek yaitu 3 hari, dan paling panjang yaitu 60 hari. (Marni, 2016)
Salmonella typhosa memiliki 3 macam antigen yaitu :
a. Antigen O : Ohne Hauch, yaitu somatic antigen (tidak menyebar)
b. Antigen H : Hauch ( menyebar ), terdapat pada flagella dan bersifat
termolabil.
c. Antigen V : Kapsul, merupakan kapsul yang menyelimuti tubuh kuman
dan melindungi antigen O terhadap fagositosis. (Marni, 2016)
Padila (2013) dalam buku yang ditulis Dewi dan Meira (2016) menyampaikan
bahwa Salmonella paratyphi terdiri dari 3 jenis yaitu A, B, dan C. ada dua sumber
penularan Salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien carrier.
Carrier adalah orang yang sembuh dari demam typhoid dan masih terus mengekskresi
Salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun. (Dewi & Meira,
2016)

4. Manifestasi Klinik
Sumber penularan utama demam tifoid adalah penderita itu sendiri dan carrier
yang dapat menularkan berjuta-juta bakteri Salmonella typhi dalam tinja yang menjadi
sumber penularan. Debu yang berasal dari tanah mengering yang dapat mencemari
makanan yang dijual di pinggir jalan dan debu tersebut dapat mengandung tinja atau urin
dari penderita atau carrier demam tifoid apabila makanan atau minuman tersebut
dikonsumsi oleh orang sehat terutama pada anak usia 7-12 tahun yang banyak jajan
sembarangan maka rawan untuk tertular demam tifoid. infeksi demam tifoid juga dapat
tertular melalui makanan atau minuman yang tercemar bakteri yang dibawa oleh lalat
(Muliawan, dkk 2000).
Dewi dan Meira (2016) mengungkapkan gejala klinis penyakit typhoid pada anak
biasanya lebih ringan dibandingkan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari.
Masa tunas tersingkat adalah empat hari, jika infeksi terjadi melalui makanan.
Sedangkan, jika infeksi melalui minuman mana tunas terlama berlangsung 30 hari.
Selama masa inkubasi, mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak
badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan tidak bersemangat, yang kemudian disusul dengan
gejala – gejala klinis sebagai berikut :
a. Demam
Demam khas (membentuk pelana kuda) berlangsung 3 minggu, sifat febris
remiten dan suhu tidak seberapa tinggi. Minggu pertama suhu meningkat
setiap hari, menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan
malam hari. Minggu kedua pasien terus berada dalam keadaan demam.
Minggu ketiga suhu tubuh berangsur turun dan normal pada akhir minggu
ketiga.
b. Gangguan pada saluran pencernaan nafas berbau tidak sedap, bibir kering,
dan pecah-pecah, lidah tertutup selaput putih kotor, ujung dan tepi
kemerahan, jarang disertai tremor, anoreksia, mual, dan perasaan tidak
enak di perut. Abdomen kembung, hepatomegali, dan splenomegali,
kadang normal, dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran
Kesadaran menurun yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi spoor,
koma, atau gelisah. (Ardiansyah, 2012)
Menurut pendapat Padila dari buku yang ditulis Dewi dan Meira (2016) masa
tunas typhoid adalah sekitar 10-14 hari dengan rincian sebagai berikut :
a. Minggu 1
Pada umumnya demam berangsur naik, terutama pada sore hari dan
malam hari. Dengan keluhan dan gejala demam, nyeri otot, nyeri kepala,
anoreksia, dan mual, batuk, epistaksis, obstipasi atau diare, perasaan tidak
enak di perut.
b. Minggu ke – 2
Pada minggu ke-2 gejala sudah jelas dapat berupa demam, bradikardi,
lidah yang khas (putih, kotor, pinggirnya hiperemi), hepatomegali,
meteorismus, penurunan kesadaran. (Dewi dan Meira, 2016)
5. Pathogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan di lambung dan
sebagian lagi lolos masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon
imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel sel
terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propia kuman berkembang
biak dan difagositkan oleh sel-sel fagosit terutama magrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak didalam magrofag dan selanjutnya dibawa ke plak peyeri ileum distal
dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus
torasikus kuman yang terdapat di makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia
yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan
empedu disekresikan secara intermitten ke dalam usus halus. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus
usus. Proses yang sama terulang kembali, karena makrofag yang telah teraktvasi,
hiperaktif; maka saat fogositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, gangguan vaskular, mental, dan
koagulasi. Di Dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat
erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus.
6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Yelvi Levan 2020 pemeriksaan penunjang pada
a. Pemeriksaan darah tepi
Pemeriksaan darah tepi seperti jumlah eritrosit, leukosit dan trombosit umumnya
tidak spesifik untuk mendiagnosis demam tifoid. Leukopenia sering ditemukan
pada kasus demam tifoid, tetapi jumlah leukosit jarang kurang dari 2.500/mm3.
Kondisi leukopenia dapat menetap 1 sampai 2 minggu setelah infeksi. Pada
kondisi tertentu, jumlah leukosit dapat ditemukan meningkat (20.000-
25.000/mm3). Hal ini dapat berkaitan dengan adanya abses pyogenic atau adanya
infeksi sekunder pada usus. Selain hitung jumlah leukosit yang tidak normal,
anemia normokromik normositer dapat ditemukan beberapa minggu setelah
infeksi demam tifoid. Kondisi ini dapat disebabkan oleh pengaruh sitokin dan
mediator inflamasi sehingga menyebabkan depresi sumsum tulang belakang.
Selain itu, kondisi ini juga dapat berkaitan dengan perdarahan dan perforasi usus.
Adanya trombositopenia pada pasien demam tifoid menandakan adanya
komplikasi penyakit koagulasi intravaskular (disseminated intravascular
coagulation).
b. Pemeriksaan serologi widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap bakteri Salmonella typhi. Uji
widal ini memiliki sensitivitas dan sensitivitas rendah. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan melihat aglutinasi dalam serum penderita aglutinin yang dideteksi yaitu
aglutinin O, aglutinin H dan aglutinin Vi. Namun interpretasinya hanya dari
aglutinin O dan H saja. pemeriksaan widal sebaiknya mulai dilakukan pada
minggu pertama demam. Pembentukan aglutinin dimulai dari aglutinin O dan
diikuti dengan aglutinin H. Pada penderita demam tifoid yang telah bebas demam,
aglutinin O akan tetap ditemukan hingga 4-6 bulan sedangkan aglutinin H 9-12
bulan. Oleh karena itu, uji widal tidak dapat dijadikan acuan kesembuhan pasien
demam tifoid.
c. Typhidot
Uji typhidot dilakukan untuk mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat
pada protein membran bakteri Salmonella typhi. Uji ini dapat dilakukan dengan
hasil positif 2-3 hari pasca terinfeksi dengan sensitivitas 98%, spesifisitas sebesar
76,6%. Uji ini hampir sama dengan uji tubex. d. Pemeriksaan kultur Pemeriksaan
kultur merupakan pemeriksaan gold standard dalam menegakkan diagnosis
demam tifoid. Pemeriksaan kultur memiliki tingkat spesifisitas 100%.
Pemeriksaan kultur Salmonella typhi dari darah dan feses pada minggu pertama
infeksi memiliki tingkat sensitivitas sebesar 85-90% dan kemudian menurun
sekitar 20-30% seiring berjalannya waktu. Selain dari darah dan feses,
pemeriksaan kultur juga dapat dilakukan dengan menggunakan sampel urin dan
cairan aspirasi sumsum tulang belakang. Pemeriksaan kultur dari sampel urin
umumnya kurang sensitif (25 – 30%). Sedangkan pemeriksaan kultur dari sampel
cairan aspirasi sumsum tulang belakang memiliki sensitivitas 90% sampai pasien
mendapatkan terapi antibiotik selama 5 hari. Namun, tindakan aspirasi sumsum
tulang belakang dapat menyebabkan nyeri.
7. Penatalaksanaan Medis
1. Non farmakologi
a. Bed rest
b. Diet, diberikan bubur saring kemudian bubur kasar dan akhirnya
nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Diet berupa
makanan rendah serat.
2. Terapi antibiotik
a. Kloramfenikol, dosis 50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3-4 kali
pemberian, oral atau IV selama 14 hari.
b. Bila ada kontraindikasi kloramfenikol diberikan ampisilin dengan
dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian,
intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari, atau
amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4
kali. Pemberian, oral/intravena selama 21 hari kotrimoksasol
dengan dosis (tmp) 8 mg/kgBB/hari terbagi dalam 2-3 kali
pemberian oral selama 14 hari.
c. Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50
mg/kgBB/kali dan diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kgBB/hari,
sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari.
d. Pada kasus yang diduga mengalami MDR, maka pilihan
antibiotika adalah meropenem, azitromisin dan fluorokuinolon.
(Amin & Kusuma , 2015)
8. Prognosa
Prognosis yaitu ramalan medis dan hasil pemeriksaan dan diagnosis berdasarkan
hasil penelitian pada penyakit yang bersangkutan. Kemungkinan prognosis yaitu
cenderung baik dan cenderung memburuk (Basariyadi, 2016).

9. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
a. identitas pasien
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama (keluhan yang dirasakan pasien saat pengkajian) : mual,
muntah.
b. Riwayat kesehatan sekarang (riwayat penyakit yang diderita pasien saat
masuk rumah sakit).
c. Riwayat kesehatan yang lalu (riwayat penyakit yang sama atau penyakit
lain yang pernah diderita oleh pasien).
10. Pemeriksaan fisik
a. Tanda-tanda vital sign
b. Tanda-tanda dehidrasi (turgor kulit, mukosa mulut kering, kelopak mata
cekung, produksi urine berkurang).
c. Penurunan berat badan
11. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium : Pemeriksaan darah tepi, Pemeriksaan serologi
widal, (Typhidot Widagdo 2014)
12. Diagnosa Keperawatan
a. Hypertermi berhubungan dengan proses infeksi
b. Nyeri akut berhubungan dengan proses peradangan
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake dan output adekuat
d. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang adekuat dan
peningkatan suhu tubuh
e. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas traktus Gastrointestinal
penurunan motilitas usus
f. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang
13. Rencana Intervensi
Intervensi keperawatan adalah segala bentuk treatment yang dikerjakan oleh perawat
yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome)
yang diharapkan (SIKI, 2018).
Intervensi keperawatan terdiri dari tiga komponen, yaitu: label (nama dari intervensi
keperawatan yang merupakan kata kunci untuk memperoleh informasi terkait intervensi
keperawatan), definisi (menjelaskan tentang makna dari label intervensi keperawatan) dan
tindakan (rangkaian perilaku atau aktivitas yang dikerjakan oleh perawat untuk
mengimplementasikan intervensi keperawatan, terdiri dari tindakan observasi, tindakan
terapeutik, tindakan edukasi, dan tindakan kolaborasi) (SIKI, 2018).
Menurut (DeLaune & Ladner, 2011; Potter & Perry, 2013), proses penentuan intervensi
keperawatan ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya: karakteristik diagnosis
keperawatan, luaran (outcome) keperawatan yang diharapkan, kemampulaksanaan intervensi
keperawatan, kemampuan perawat, penerimaan pasien dan hasil penelitian.
14. DAFTAR PUSTAKA
Martha Ardiaria, 2019. EPIDEMIOLOGI, MANIFESTASI KLINIS, DAN PENATALAKSANAAN
DEMAM TIFOID. JNH (Journal of Nutrition and Health) Vol.7 No.2 2019

Nurarif, A,H & Hardhi, K. (2015) Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
dan Nanda Nic-Noc. Yogyakarta : Medicaction

Yatnita Parama Cita, 2011. BAKTERI SALMONELLA TYPHI DAN DEMAM TIFOID Jurnal
Kesehatan Masyarakat, September 2011-Maret 2011, Vol. 6, No.l

Yelvi Levani1 , Aldo Dwi Prastya, 2020. DEMAM TIFOID : MANIFESTASI KLINIS, PILIHAN
TERAPI DAN PANDANGAN DALAM ISLAM AL-IQRA MEDICAL JOURNAL : JURNAL
BERKALA ILMIAH KEDOKTERAN e-ISSN : 2549-225X. Vol. 3 No. 1, Februari 2020, Hal.
10-16

WHO, 2003. DIAGNOSIS OF THYPOID FEVER. Dalam: background document: the diagnosis
Teatment and preention of tyhpoid fever Word Healt Organiation

Widagdo 2014. Tatalaksana Masalah Penyakit Anak Dengan Batuk/Batuk Darah.Jakarta : CV


SagungSeto

DeLaune & Ladner. (2011). Fundamental of Nursing, Standard and Practices (4th ed). USA:
Delmar, Cengage Learning.

Anda mungkin juga menyukai