DEMAM TYPHOID
Oleh :
Preseptor :
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit demam tifoid (typhoid fever) yang biasa disebut tifus merupakan
Salmonella typhi yang menyerang bagian saluran pencernaan. Selama terjadi infeksi,
kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan
Demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang - undang
nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit
yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan
tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman dan biasanya
keluar bersama-sama dengan tinja. Transmisi juga dapat terjadi secara transplasenta dari
seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia kepada bayinya (Soedarno et al, 2008).
Penyakit ini dapat menimbulkan gejala demam yang berlangsung lama, perasaan
lemah, sakit kepala, sakit perut, gangguan buang air besar, serta gangguan kesadaran
yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang berkembang biak di dalam sel-sel
darah putih di berbagai organ tubuh. Demam tifoid dikenal juga dengan sebutan Typhus
abdominalis, Typhoid fever, atau enteric fever. Istilah tifoid ini berasal dari bahasa
Yunani yaitu typhos yang berarti kabut, karena umumnya penderita sering disertai
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik yang bersifat akut oleh
Salmonella enteric serotype typhi. Penyakit demam tifoid merupakan infeksi akut pada
usus halus dengan gejala demam lebih dari satu minggu, mengakibatkan gangguan
pencernaan dan dapat menurunkan tingkat kesadaran (Rahmatillah et al., 2015). Gejala
klinis dari demam tifoid yaitu demam berkepanjangan, bakterimia, serta invasi bakteri
sekaligus multiplikasi ke dalam sel-sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelanjar
2.2 Epidemiologi
secara luas di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan kualitas
sumber air yang tidak memadai dengan standar higienis dan sanitasi yang rendah
Dari laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2003 terdapat
17 juta kasus demam tifoid per tahun di dunia dengan jumlah kematian mencapai
600.000 kematian dengan Case Fatality Rate (CFR = 3,5%). Insidens rate
penduduk per tahun sampai 1.000 per 100.000 penduduk per tahun. Tahun 2003
insidens rate demam tifoid di Bangladesh 2.000 per 100.000 penduduk per tahun.
Insidens rate demam tifoid di negara Eropa 3 per 100.000 penduduk, di Afrika
yaitu 50 per 100.000 penduduk, dan di Asia 274 per 100.000 penduduk (Crump,
2004).
Indisens rate di Indonesia masih tinggi yaitu 358 per 100.000 penduduk pedesaan
dan 810 per 100.000 penduduk perkotaan per tahun dengan rata-rata kasus per tahun
600.000 – 1.500.000 penderita. Angka kematian demam tifoid di Indonesia masih tinggi
dengan CFR sebesar 10%. Tingginya insidens rate penyakit demam tifoid di negara
berkembang sangat erat kaitannya dengan status ekonomi serta keadaan sanitasi
paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak
membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela (bergerak dengan rambut
getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam
air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 600C) selama
Salmonella typhi adalah bakteri batang gram negatif yang menyebabkan demam
tifoid. Salmonella typhi merupakan salah satu penyebab infeksi tersering di daerah tropis,
typhi yang masuk ke saluran cerna akan menyebabkan infeksi karena untuk menimbulkan
infeksi, Salmonella typhi harus dapat mencapai usus halus. Salah satu faktor penting
yang menghalangi Salmonella typhi mencapai usus halus adalah keasaman lambung. Bila
keasaman lambung berkurang atau makanan terlalu cepat melewati lambung, maka hal
Setelah masuk ke saluran cerna dan mencapai usus halus, Salmonella typhi akan
ditangkap oleh makrofag di usus halus dan memasuki peredaran darah, menimbulkan
bakteremia primer. Selanjutnya, Salmonella typhi akan mengikuti aliran darah hingga
sampai di kandung empedu. Bersama dengan sekresi empedu ke dalam saluran cerna,
Salmonella typhi kembali memasuki saluran cerna dan akan menginfeksi Peyer’s patches,
yaitu jaringan limfoid yang terdapat di ileum, kemudian kembali memasuki peredaran
darah, menimbulkan bakteremia sekunder. Pada saat terjadi bakteremia sekunder, dapat
ditemukan gejala-gejala klinis dari demam tifoid. Salmonella typhi mempunyai 3 macam
antigen, yaitu:
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian
ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini
tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid
tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol yang telah memenuhi kriteria penilaian.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi
melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam
lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila respon
imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel
epitel dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini
dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di
organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di
luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang
mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala
penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut
Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam menegakkan diagnosis berdasarkan
kenaikan titer antibodi terhadap antigen kuman S.typhi. Imunitas seluler berperan dalam
rangsangan antigen kuman akan memicu respon imunitas humoral melalui sel limfosit B,
(Ig). Yang terbentuk pertama kali pada infeksi primer adalah antibodi O (IgM) yang cepat
menghilang, kemudian disusul antibodi flagela H (IgG). IgM akan muncul 48 jam setelah
terpapar antigen, namun ada pustaka lain yang menyatakan bahwa IgM akan muncul pada
Gejala klinis demam tifoid seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang sesuai
dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat
lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah
disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas
tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa
perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan
penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa inkubasi maka
ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing
dan tidak bersemangat. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan
sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai
penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 12 hari menjadi
parah dengan gejala yang menyerupai septikemia oleh karena Streptococcus atau
Pneumococcus daripada S.typhi. Gejala menggigil tidak biasa didapatkan pada demam
tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih
Demam tifoid dan malaria dapat timbul secara bersamaan pada satu penderita.
Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di
sisi lain S.typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis.
stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis.
Penderita pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus.
1. Demam
remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-
angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada
sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan
demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun dan normal kembali
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah pecah
(ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut
kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan.
Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi
diare.
3. Gangguan kesadaran
2.6 Diagnosis
Diagnosis demam tifoid yakni melalui anamnesis yang sesuai dan dari hasil
pemeriksaan fisik dimana kita dapat menemukan klinis yang sesuai untuk penegakan
diagnosis demam tifoid. Dari anamnesis kita dapat melihat hygiene pasien setiap kali
makan, lingkungan tinggal, proses pengolahan makanan di rumah tinggal, atau riwayat
makan di lingkungan yang kurang higienis dsb. Selain dari anamnesis dan pemeriksaan
diagnosis diantaranya :
Pada hasil pemeriksaan darah pada penderita demam tifoid umumnya ditemukan
anemia, jumlah leukosit normal (bisa menurun atau meningkat), mungkin juga terdapat
trombositopenia. Adanya leukopenia dan limfositosis relatif dapat menjadi dugaan kuat
Salmonella typhi dalam biakan dari darah, urin, feses, sumsum tulang, dan cairan
duodenum penderita. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih
mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada
3) Uji serologi
tifoid dengan cara mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen Salmonella
typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Beberapa uji serologis yang dapat
digunakan pada demam tifoid ini meliputi uji widal dan tubex test.
a) Uji Widal
typhi. Pada uji widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella typhi dan
antibodi penderita. Antigen yang digunakan adalah suspensi biakan Salmonella typhi
yang telah dimatikan dan diolah di laboratorium. Salmonella typhi memiliki 3 macam
antigen, yaitu: Antigen O (antigen somatik), antigen H (antigen flagela) dan antigen Vi
(antigen kapsul). Ketika ketiga macam antigen tersebut ada di dalam tubuh penderita,
maka secara alami tubuh penderita tersebut akan membentuk 3 macam antibodi yang
biasa disebut agglutinin. Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosis, semakin tinggi titernya maka semakin kuat
b) Pemeriksaan Tubex
sensitifitas dan spesifisitas yang lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan Widal.
Pemeriksaan tersebut lebih cepat, mudah, sederhana dan akurat untuk digunakan dalam
Pendeteksian DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri Salmonella typhi dalam
darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara
polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk
Salmonella typhi merupakan cara paling akurat untuk diagnosis demam tifoid.
2.7 Tatalaksana
Penderita dengan gambaran klinik jelas disarankan untuk dirawat di rumah sakit
agar pengobatan lebih optimal, proses penyembuhan lebih cepat, observasi penyakit
lebih mudah, meminimalisasi komplikasi dan menghindari penularan (Menkes RI, 2006).
Antibiotik akan diberikan segera setelah diagnosa klinik ditegakkan. Sebelum itu
pemeriksaan spesimen darah atau sumsum tulang harus dilakukan terlebih dahulu untuk
memastikan bakteri penyebab infeksi, kecuali fasilitas biakan ini benar benar tidak
Menurut Kamus Saku Kedokteran Dorland (2013) antibiotik adalah zat kimiawi
dimana antibiotik bersifat kurang toksik untuk penjamunya. Beberapa antibiotik telah
dikenal luas memiliki sensitifitas dan efektifitas tinggi untuk mengobati demam tifoid
berdasarkan pedoman pengendalian demam tifoid yang dikeluarkan oleh WHO (2011)
diantaranya :
terapi yang efektif untuk demam tifoid dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%,
waktu penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%.
Fluoroquinolone lain yang telah diteliti dan memiliki efektivitas yang baik adalah
levofloxacin. Efikasi klinis yang dijumpai pada studi ini adalah 100% dengan efek
2) Cefixime
Cefixime saat ini sering digunakan sebagai alternatif. Obat ini diberikan jika ada
indikasi penurunan jumlah leukosit hngga < 2000/μl atau dijumpai adanya resistensi
3) Azithromycin
Azithromycin dan cefixime memiliki angka kesembuhan klinis lebih dari 90%
dengan waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi pemberiannya lama (14 hari) dan angka
4) Kloramfenikol
Salmonella typhi . Kekurangan dari obat ini adalah tingginya angka relaps dan karier.
5) Ceftriaxone
mengobati pasien demam tifoid. Ceftriaxone diberikan secara parenteral (Muliawan dan
Suryawidjaya, 1999).
6) Amoxicilin
namun waktu penurunan demamnya lebih lambat. Obat ini berspektrum luas sehingga
semakin meningkat. Namun obat ini aman digunakan untuk ibu hamil (Menkes RI, 2006).
7) Kotrimoksazol
perbandingan 1:5. Efektivitas obat ini dilaporkan hampir setara dengan kloramfenikol.
Namun obat ini banyak digunakan untuk infeksi lain sehingga meningkatkan resiko
resistensi.
2.7 Komplikasi demam tifoid
Menurut Sudoyo (2010), komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu:
1. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang
tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita
mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga
namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi
mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang
kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan
2. Komplikasi Ekstraintestinal
2.8 Prognosis
Secara keseluruhan prognosis untuk penyakit ini adalah bonam (baik), jika
mendapat tata laksana yang adekuat dengan pemberian antibiotika yang sesuai diiringi
dengan istirahat yang cukup , nutrisi yang adekuat, dan tanpa adanya komplikasi
Identitas
• Umur : 22 tahun
• Kelamin : Perempuan
• Pekerjaan : Mahasiswa
• Nomor RM : 183941
• Agama : Islam
• Suku : Minang
Anamnesis
Keluhan Utama
• Demam sejak ± 8 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam dirasakan terus –
menerus meningkat dari hari ke hari dan dirasa lebih tinggi pada malam hari. Demam
Status Generalis
• Keadaan Umum : sedang
• Kesadaran : CMC
• Nadi : 72 kali/menit
• Suhu : 37,80 C
• Pernafasan : 20 kali/menit
• Gigi dan Mulut : Tidak ada caries dentis, Lidah kotor tidak ada
• Paru:
• Jantung:
• Perut:
• Perkusi : Timpani
• Auskultasi : BU (+) N
Punggung
Pemeriksaan Penunjang
Laboraturium
Hb : 11,6 gr/dl
Leukosit : 6600/mm3
Eritrosit : 4.210.000/mm3
Hematokrit : 34%
Ur/Cr : 13/0,7
• Demam Typhoid
Diagnosis Banding
• Malaria
Tindakan Pengobatan
Non farmakologis
Tirah baring
IVFD RL 20 tpm
Farmakologis :
Cotrimoxazol 2 x 960 mg
Paracetamol 3 x 500 mg
Dulcolax tab 2 x 5 mg
IX. Prognosis
DISKUSI
dalam RSUD Lubuk basung pada tanggal 26 maret 2018. Pasien masuk dengan keluhan
Pada anamnesis didapatkan demam sejak ± 8 hari sebelum masuk rumah sakit.
Demam dirasakan terus – menerus meningkat dari hari ke hari dan dirasa lebih tinggi
pada malam hari. Demam tidak menggigil dan tidak berkeringat banyak. Demam seperti
ini merupakan ciri – ciri demam pada kasus typhoid dimana terdapat demam continue
yang semakin hari semakin tinggi dan lebih tinggi pada malam hari. Pasien mengeluhkan
Mual, namun muntah tidak ada. Penurunan nafsu makan dan rasa tidak nyaman di perut
ada. Batuk, mimisan, dan nyeri tenggorokan tidak ada. Nyeri otot dan nyeri kepala tidak
ada. Nyeri berkemih tidak ada. Buang air kecil normal. Namun, Pasien mengeluhkan
belum BAB sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Ini merupakan salah satu bentuk
keluhan gastrointestinal yang dapat muncul pada pasien tifoid, baik itu konstipasi atau
diare.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang dengan vital sign
terdapat bradikardia relatif dimana jika pada kasus febris cenderung takikardi, pada
pasien ditemukan nadi justru semakin lambat yaitu 72 kali per menit dimana pada saat
masuk nadi pasien yaitu 88 kali per menit, suhu pasien masih tinggi yaitu 37,8 derajat
celcius. Dari pemeriksaan mulut tidak didapatkan lidah kotor yang umumnya ditemukan
pada pasien demam typhoid. Pada pemeriksaan fisik paru dan jantung dalam batas
Typhii O (+) : 1/160 dan Salmonella Typhii H (+) : 1/160. Hasil ini belum menunjukkan
definitif demam typhoid dimana untuk definitif hasil titer setidaknya 1/320 atau terdapat
kenaikan titer 4x dari titer sebelumnya. Namun karena pasien belum melakukan
pemeriksaan tes widal untuk kedua kalinya hasil ini belum dapat diketahui. Namun dari
klinis pasien yang diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, cenderung mengarah
pada kasus typhoid sehingga diagnosis kerja adalah demam typhoid dengan diagnose
banding malaria, dimana pada kasus malaria demam juga lebih dari 7 hari, namun pada
malaria pasien biasanya mengeluhkan demam yang menggigil namun pada pasien yang
bersangkutan tidak ditemukan keluhan demikian. Selain itu tidak ditemukan riwayat
500 mg untuk menurunkan demam pada pasien , lalu antibiotik Cotrimoxazol dosis 2 x
960 mg. Obat ini merupakan kombinasi antara trimetroprim dan sulfametoksazol dengan
setara dengan kloramfenikol yang merupakan antibiotika yang paling sering diberikan
untuk demam tifoid. Pada pasien juga diberikan injeksi ranitidine dengan harapan dapat
1. Cammie, F.L. & Samuel, I.M. 2005. Salmonellosis: Principles of Internal Medicine:
Harrison 16th Ed. 897-900.
3. Djoko Widodo. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
8. Soedarmo, P., dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi II. Jakarta:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI.
9. Chambers, H.F. 2006. Infectious Disease: Bacterial and Chlamydial. Current Medical
Diagnosis and Treatment 45th Ed. 1425-6.
10. Alan, R.T. 2003. Diagnosis dan Tatalaksana Demam Tifoid: Pediatrics Update.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
11. Rampengan, T. H. 2007. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak Edisi II. Jakarta: EGC.
12. http://www.jevuska.com/2008/05/10/demam-tifoid-typhoid-fever