Anda di halaman 1dari 18

1.

Memahami dan Menjelaskan Salmonella enterica


1.1 Klasifikasi
Kingdom : Bakteria
Phylum : Proteobakteria
Classis : Gamma proteobakteria
Ordo : Enterobakteriales
Familia : Enterobakteriakceae
Genus : Salmonella
Species : Salmonella thyposa

Jenis/Klasifikasi Salmonella
1. S. enteric
a. S. enteric subsp. enteric (I)
b. S. enteric subsp. salamae (II)
c. S. enteric subsp. arizonae (IIIa)
d. S. enteric subsp. diarizonae (IIIb)
e. S. enteric subsp. houtenae (IV)
f. S. enteric subsp. indica (V)
2. S. Bongori
a. Antigen O
b. Antigen H
c. Antigen Vi/K

Salmonella adalah salah satu bakteri yang seringkali menyebabkan penyakit


yang cukup serius apabila mencemari makanan maupun minuman yang dikonsumsi
manusia. Salmonella memiliki kekerabatan yang dekat dengan bakteri genus
Escherichia dan dapat dijumpai hampir di seluruh dunia. Salmonella juga dapat hidup
pada tubuh makhluk hidup yang berdarah dingin maupun berdarah panas.
Salmonella adalah bakteri berbentuk batang dengan diameter 0,7 - 1,5 µm,
memiliki panjang 2 - 5 µm, termasuk dalam bakteri Gram- negatif, tidak menghasilkan
spora, utamanya bersifat motile serta memiliki flagella di seluruh permukaan selnya
(peritrichious). Hampir seluruh spesies Salmonella mampu menghasilkan hydrogen
sulfide yang dapat dengan mudah dideteksi dengan cara menumbuhkannya pada media
yang mengandung ferrous sulfate, misalnya media Triple Sugar Iron Agar (TSIA)
melalui metoda inokulasi stab center. Salmonella yang tumbuh akan ditandai dengan
adanya warna hitam pada area pertumbuhannya.

Klasifikasi salmonella sangat rumit karena organisme tersebut merupakan


rangkaian kesatuan dan bukan tertentu. Anggota genus Salmonella awalnya
diklasifikasikan berdasarkan epidemiologi, jangkauan pejamu, reaksi biokimia, dan
struktur antigen O, H, dan Vi. Terdapat lebih dari 2500 serotip Salmonella, termasuk
lebih dari 1400 dalam kelompok hibridasi DNA grup I yang dapat menginfeksi
manusia. Hampir semua Salmonella yang menyebabkan penyakit pada manusia dapat
diidentifikasikan di laboraturium klinis melalui pemeriksaan biokimia dan
serologik.Serotip tersebut adalah sebagai berikut:
· Salmonella paratyphi A (serogrup A)
· Salmonella paratyphi B (serogrup B)
· Salmonella cholerasuis (serogrup C)
· Salmonella typhi (serogrup D)
Penentuan serotipe didasarkan atas reaktivitas antigen O dan antigen H
bifasik.Berdasarkan penelitian hibridisasi DNA, klasifikasi taksonomik resmi meliputi
genus Salmonella dengan subspecies dan genus Arizona dengan subspesies

1.2 Morfologi
Salmonella typhi merupakan bakteri batang gram negatif dan tidak membentuk
spora, serta memiliki kapsul. Bakteri ini juga bersifat fakultatif, dan sering di sebut
sebagai facultative intra-celullar parasite. Dinding selnya terdiri atas muerin,
lipoprotein, fosfolipid, protein, dan lipopolisakarida (LPS) dan tersusun sebagai
lapisan- lapisan.
Ukuran panjangnya bervariasi, dan sebagian besar memiliki peritrichous
flagella sehingga bersifat motil. Salmonella typhi membentuk asam dan gas dari
glukosa dan mannose. Organisme ini juga menghasilkan gas H2S, namun hanya sedikit.
Bakteri ini tahan hidup dalam air yang membeku untuk waktu yang lama.

1.3 Struktur antigen


a. Antigen O bagian terluar dari lipopolisakarida dinding sel dan terdiri dari unit
polisakarida yang berulang. Antigen O resisten terhadap panas, alkohol dan
biasanya terdeteksi oleh aglutinasi bakteri. Antibodi pada antigen O terutama adalah
IgM.
b. Antigen Vi atau atntigen K terletak diluar antigen O pada beberapa enterobakteri
tetapi tidak semuanya. Beberapa antigen Vi merupakan polisakarida termasuk
antigen K pada E.coli dan yang lain merupakan protein. Antigen K dapat
mengganggu aglutinasi dengan antiserum O dan dapat berhubungan dengan
virulensi (contoh; strain E.coli yang menghasilkan anti gen K₁ sering ditemui pada
meningitis neonatal dan antigen K pada E.coli menyebabkan peletakan bakteri pada
sel epitel sebelum invasi ke saluran pencernaan / saluran kemih.)
c. Antigen H terdapat di flagela dan didenaturasi atau dirusak oleh panas atau alkohol.
Antigen ini dipertahankan dengan memberikan formalin pada varian bakteri yang
motil. Antigen H seperti ini beraglutinasi dengan antibodi anti-H terutama IgG.
Penentu dalam antigen H adalah fungsi sekuens asam amino pada protein flagella
(flagelin). Didalam satu seriotip, antigen flagel terdapat dalam satu dua bentuk
disebut fase 1 dan fase 2. Organisme ini cenderung berganti dari satu fase ke fase
lain yang disebut variasi fase. Antigen H pada permukaan bakteri dapat
mengganggu aglutinasi dengan antibodi O

1.4 Faktor-faktor patogenitas


a. Infeksi terjadi dari memakan makanan yang terkontaminasi dengan feses yang
terdapat bakteri Salmonella typhi dari organisme pembawa (hosts).
b. Setelah masuk dalam saluran pencernaan maka Salmonella typhi menyerang
dinding usus yang menyebabkan kerusakan dan peradangan.
c. Infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah karena dapat
menembus dinding usus tadi ke organ-organ lain seperti hati, paru-paru, limpa,
tulang-tulang sendi, plasenta dan dapat menembusnya sehingga menyerang fetus
pada wanita atau hewan betina yang hamil, dan ke membran yang menyelubungi
otak.
d. Subtansi racun diproduksi oleh bakteri ini dan dapat dilepaskan dan mempengaruhi
keseimbangan tubuh.
e. Di dalam hewan atau manusia yang terinfeksi Salmonella typhi, pada fesesnya
terdapat kumpulan Salmonella typhi yang bisa bertahan sampai berminggu-minggu
atau berbulan-bulan.
f. Bakteri ini tahan terhadap range yang lebar dari temperature sehingga dapat
bertahan hidup berbulan-bulan dalam tanah atau air.

Makanan yang mengandung Salmonella typhi belum tentu menyebabkan infeksi,


tergantung dari jenis bakteri, jumlah dan tingkat virulensi (sifat racun dari suatu
mikroorganisme, dalam hal ini bakteri Salmonella typhi).
Misalnya saja Salmonella enteriditis baru menyebabkan gejala bila sudah
berkembang biak menjadi 100.000. Dalam jumlah ini keracunan yang terjadi bisa saja
menyebabkan kematian penderita. Salmonella typhi dengan jumlah 11.000 sudah dapat
menimbulkan gejala. Jenis Salmonella lain ada yang menyebabkan gejala hanya dengan
jumlah 100 sampai 1000, bahkan dengan jumlah 50 sudah dapat menyebabkan gejala.
Perkembangan Salmonella pada tubuh manusia dapat dihambat oleh asam lambung
yang ada pada tubuh kita. Disamping itu dapat dihambat pula oleh bakteri lain. Gejala
dapat terjadi dengan cepat pada anak-anak, bagaimanapun pada manusia dewasa gejala
datang dengan perlahan. Pada umumnya gejala tampak setelah 1-3 minggu setelah
bakteri ini tertelan. Gejala terinfeksi diawali dengan sakit perut dan diare yang disertai
juga dengan panas badan yang tinggi, perasaan mual, muntah, pusing-pusing dan
dehidrasi. Gejala yang timbul dapat berupa: tidak menunjukkan gejala (long-term
carrier), adanya perlawanan tubuh dan mudah terserang penyakit dengan gejala:
inkubasi (7-14 hari setelah tertelan) tidak menunjukkan gejala, lalu terjadi diare.

1.5 Pemeriksaan Laboratorium Mikrobiologi


Uji kultur merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan demam
tifoid/paratifoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk demam
tifoid/ paratifoid. Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu bukan demam tifoid/
paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2 mL, darah tidak segera dimasukan ke
dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman
terperangkap di dalam bekuan), sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah
mendapat vaksinasi.
Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu
untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7 hari, bila belum ada
pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari).Pilihan bahan spesimen yang digunakan
pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/carrier digunakan urin
dan tinja.

2. Memahami dan Menjelaskan Demam Tifoid


2.1 Epidemiologi
Demam tifoid menyerang penduduk di semua negara. Seperti penyakit menular
lainnya, tifoid banyak ditemukan di negara berkembang di mana higieni pribadi dan
sanitasi lingkungannya kurang baik. Angka insidensi di seluruh dunia sekitar 17 juta
per tahun dengan 600.000 orang meninggal karena penyakit ini. WHO memperkirakan
70% kematian terjadi di Asia.
Prevalensi di Amerika Latin sekitar 150/100.000 penduduk setiap tahunnya,
sedangkan prevalensi di Asia jauh lebih banyak yaitu sekitar 900/10.000 penduduk per
tahun. Meskipun demam tifoid menyerang semua usia, namun golongan terbesar tetap
padusia kurang dari 20 tahun.
Diperkirakan di Indonesia terdapat 800 penderita per 100.000 penduduk setiap
tahun yang ditemukan sepanjag tahun. Serangan penyakit lebih bersifat sporadis dan
bukan epidemik (Widiyono, 2011)
Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh serotipe Salmonella
Typhi enterica (S. typhi). Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
di negara-negara berkembang. Pada tahun 2000, diperkirakan bahwa lebih dari 2.16
juta jiwa di seluruh dunia terjadi tipus, mengakibatkan 216.000 kematian, dan bahwa
lebih dari 90% dari morbiditas dan kematian ini terjadi di Asia. Walaupun peningkatan
kualitas air dan sanitasi merupakan solusi akhir untuk masalah ini , vaksinasi di daerah
berisiko tinggi adalah strategi pengendalian yang potensial yang direkomendasikan
oleh WHO

2.2 Patogenesis
Makanan dan minuman yang terkontaminasi merupakan mekanisme transmisi
Salmonella, termasuk S. typhi. Khususnya S. typhi,carrier manusia adalah sumber
infeksi. S. typhi bisa berada dalam air, es, debu, sampah kering, yang bila organisme
ini masuk ke dalam vehicle yang cocok (daging, kerang, dan sebagainya) akan
berkembang biak mencapai dosis infektif
• Salmonella thypi masuk ke tubuh manusia melalui makanan dan air yang
tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi
masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plak peyeri di ileum
terminalis yang hipertropi.
• Bila terjadi komplikasi pendarahan dan perforasi intestinal, kuman menembus
lamina propia. Masuk aliran limfe mencapai kelenjar limfe mesenterial dan
masuk ke aliran darah melalui duktus torasikus. Salmonella thypi lain dapat
mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. Salmonella thypi bersarang di
plak peyeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain sistem retikuloendotelial.
Endotoksin salmonella thypi berperan dalam proses inflamasi lokal pada jaringan
tempat kuman tersebut berkembang biak. Salmonella thypi dan endotoksinnya
merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen dan leukosit pada jaringan yang
meradang sehingga terjadi demam

Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi


(S.paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk kedalam
usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA)
usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan
selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit
oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik)
dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa.
Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam
sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai
tanda-tanda dan gejala penyakiy infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setalah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialga, sakit kepala, sakit perut, instabilitas
vascular, gangguan mental, dan koagulasi.
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dpat terjadi akibat
erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis
otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di
reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya
Gejala/Manifestasi klinis
Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat,
asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga
kematian.
✓ Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak
enak perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu
badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan- lahan dan terutama
pada sore hingga malam hari.
✓ Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,
bradikardi relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1oC tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di
tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau
psikosis.
✓ Pada minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan normal kembali di
akhir minggu. Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila
keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun.
Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi
cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika
keadaan makin memburuk, dimana septikemia memberat dengan terjadinya
tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot bergerak terus,
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Tekanan abdomen sangat meningkat
diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut
nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal
ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin,
gelisah, sukar bernapas, dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi
gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan
penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu
ketiga.
✓ Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal
minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena
femoralis. Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga
hanya menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan
berlangsung dalam waktu yang pendek. kekambuhan dapat lebih ringan dari
serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi
primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan
mengakibatkan timbulnya relaps (kambuh)
2.3 Penegakan diagnosis
1. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan suhu tubuh, debar jantung relative
lambat (bradikardi), lidah kotor, pembesaran hati dan limpa (hepatomegali dan
splenomegali), kembung (meteorismus), radang paru (pneumonia), dan kadang-
kadang dapat timbul gangguan jiwa, pendarahan usus, dinding usus bocor
(perforasi), radang selaput perut (peritonitis), serta gagal ginjal.
2. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Mikrobiologi (kultur)
Metode diagnosis mikrobiologik atau kultur merupakan gold standart untuk
diagnosis demam tifoid. Spesifikasinya lebih dari 90% pada penderita yang
belum diobati, kultur darahnya positif pada minggu pertama. Jika sudah diobati
hasil positif menjadi 40% namun pada kultur sum-sum tulang hasil positif tinggi
90%. Pada minggu selanjutnya kultur tinja dan urin meningkat yaitu 85% dan
25%, berturut-turut positif pada minggu ke-3 dan ke-4. Selama 3 bulan kultur
tinja dapat positif kira-kira 3% karena penderita tersebut termasuk carrier
kronik. Carrier kronik sering terjadi pada orang dewasa dari pada anak-anak dan
lebih sering pada wanita dari pada laki-laki.
b. Pemeriksaan Klinik (darah)
• Hitung leukosit total pada demam tifoid menunjukkan lekopenia,
kemungkinannya 3.000 sampai 8.000/ mm3
• Hitung jenis leukosit : kemungkinan limfositosis dan monositosis
c. Pemeriksaan Serologi
• Widal test
Merupakan uji yang medeteksi anti bodi penderita yang timbul pada minggu
pertama. Uji ini mengukur adanya antibodi yang ditimbulkan oleh antigen
O dan H pada Salmonella sp. Hasil bermakna jika hasil titer O dan H yaitu
1:160 atau lebih Sebagian besar rumah sakit di Indonesia menggunakan uji
widal untuk mendiagnosis demam tifoid.
• IDL Tubex test
Tubex test pemeriksaan yang sederhana dan cepat. Prinsip pemeriksaannya
adalah mendeteksi antibodi pada penderita. Serum yang dicampur 1 menit
dengan larutan A. Kemudian 2 tetes larutan B dicampur selama 12 menit.
Tabung ditempelkan pada magnet khusus. Kemudian pembacaan hasil
didasarkan pada warna akibat ikatan antigen dan antibodi. Yang akan
menimbulkan warna dan disamakan dengan warna pada magnet khusus.
• Typhidot test
Uji serologi ini untuk mendeteksi adanya IgG dan IgM yang spesifik untuk
S. typhi. Uji ini lebih baik dari pada uji Widal dan merupakan uji Enzyme
Immuno Assay (EIA) ketegasan (75%), kepekaan (95%). Studi evaluasi
juga menunjukkan Typhidot-M lebih baik dari pada metoda kultur.
Walaupun kultur merupakan pemeriksaan gold standar. Perbandingan
kepekaan Typhidot-M dan metode kultur adalah >93%. Typhidot-M sangat
bermanfaat untuk diagnosis cepat di daerah endemis demam tifoid.
• IgM dipstick test
Pengujian IgM dipstick test demam tifoid dengan mendeteksi adanya
antibodi yang dibentuk karena infeksi S. typhi dalam serum penderita.
Pemeriksaan IgM dipstick dapat menggunakan serum dengan perbandingan
1:50 dan darah 1 : 25. Selanjutnya diinkubasi 3 jam pada suhu kamar.
Kemudian dibilas dengan air biarkan kering.. Hasil dibaca jika ada warna
berarti positif dan Hasil negatif jika tidak ada warna. Interpretasi hasil 1+,
2+, 3+ atau 4+ jika positif lemah
• Tes ELISA
Pemeriksaan enzyme linkage immunosorbent assay (ELISA) dapat
menentukan antibodi imunoglobulin M (IgM) maupun imunoglobulin G
(IgG) pada penderita demam tifoid.

Diagnosis Banding
1. Demam Berdarah
Demam terus menerus 2-7 hari, disertai tanda perdarahan seperti:
petekie, epistaks (mimisan), atau berak darah (melena). Hasil
pemeriksaan laboratorium: jumlah trombosit menurun, kadar hematokrit
meningkat, hasil tes serologis positif antigen virus dengue.
2. Demam Chikungunya
Demam dirasakan 3-5 hari, dengan keluhan nyeri otot, sakit kepala
seperti rasa tegang. Dengan pemeriksaan serologis (tesd darah) akan
diketahui antigen penyebabnya dari strain golongan virus chikungunya.
3. Demam Influenza
Diawali keluhan pilek, batuk, demam 1-2 hari, sakit kepala, dan
gangguan saluran pernapasan seperti sesak nafas, hidung tersumbat,
sakit menelan.dari hasil pemeriksaan darah hanya sedikit peningkatan
jumlah leukosit (sel darag putih), kriteris darah lengkap lainnya
umumnya dalam batas normal.
4. Demam Malaria
Perasaan demam dialami 2-7 hari berturut-turut, disertai keluhan nyeri
kepala, otot-otot, seluruh badan, menggigil dan berkeringat dingin.
Pemeriksaan darah lengkap khususnya tes darah tepi menunjukkan hasil
positif terhadap salah satu parasit plasmodium yang menginfeksi.
5. Demam Tifoid
Panas badan bisa lebih dari 7 hari, mual, muntah, diare, dan gangguan
pencernaan lainnya. Melalui tes darah Widal, diketahui titer antigen
penyebab, yakni Salmonella thyposa atau parathyposa akan
menunjukkan tanda peningkatan positif.

2.4 Tatalaksana nonfarmakologi


Nonfarmakologis
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu :
a. Istirahat yang berupa tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk
mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat
seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, buang air besar akan
mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga
kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai.
b. Diet dan terapi penunjang
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit
demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum
dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi
lama. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat dini yaitu
nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang
berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.
2.5 Komplikasi
Komplikasi intestinal
Komplikasi didahului dengan penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan
frekuensi nadi. Umumnya jarang terjadi, akan tetapi sering fatal, yaitu:
a. Perdarahan usus
Dilaporkan dapat terjadi pada 1-10% kasus demam tifoid anak. Bila sedikit
hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Bila
perdarahan banyak terjadi melena.
b. Perforasi usus
Dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3%. Timbul biasanya pada minggu ketiga atau
setelah itu dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai
peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga peritoneum,
yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara di antara hati dan diafragma
pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
c. Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri 25 perut yang hebat, defance
muskulare, dan nyeri pada penekanan.

Komplikasi Ekstraintestinal
Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia) yaitu meningitis,
kolesistitis, ensefelopati dan lain-lain. Terjadi karena infeksi sekunder, yaitu
bronkopneumonia.
1. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
2. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
3. Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
4. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis Hepatitis
Tifosa
5. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
6. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
7. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis
perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.

2.6 Pencegahan
LINGKUNGAN HIDUP
1. Sediakan air minum yang memenuhi syarat. Misalnya, diambil dari tempat yang
higienis, seperti sumur dan produk minuman yang terjamin.Jangan gunakan air
yang sudah tercemar.Jangan lupa, masak air terlebih dulu hingga mendidih (100
derajat C).
2. Pembuangan kotoran manusia harus pada tempatnya. Juga jangan pernah
membuangnya secara sembarangan sehingga mengundang lalat karena lalat
akan membawa bakteri Salmonella typhi. Terutama ke makanan
3. Bila di rumah banyak lalat, basmi hingga tuntas.
DIRI SENDIRI
1. Lakukan vaksinasi terhadap seluruh keluarga. Vaksinasi dapat mencegah kuman
masuk dan berkembang biak. Saat ini pencegahan terhadap kuman Salmonella
sudah bisa dilakukan dengan vaksinasi bernama chotipa (cholera-tifoid-
paratifoid) atau tipa (tifoid-paratifoid). Untuk anak usia 2 tahun yang masih
rentan, bisa juga divaksinasi.
2. Menemukan dan mengawasi pengidap kuman (carrier). Pengawasan diperlukan
agar dia tidak lengah terhadap kuman yang dibawanya. Sebab jika dia lengah,
sewaktu-waktu penyakitnya akan kambuh. Kebal Antibiotik

Makanan Yang Dianjurkan


1. Boleh semua jenis makanan, yang penting lunak.
2. Makanan harus mudah dicerna, mengandung cukup cairan, kalori, serat, tinggi
protein dan vitamin, tidak merangsang
dan tidak menimbulkan banyak gas.
3. Makanan saring/lunak diberikan selama istirahat.
4. Jika kembali kontrol ke dokter dan disarankan makan nasi yang lebih keras,
harus dijalankan.
5. Untuk kembali ke makanan “normal”, lakukan secara bertahap bersamaan
dengan mobilisasi. Misalnya hari pertama makanan lunak, hari ke-2 makanan
lunak, hari ke-3 makanan biasa, dan seterusnya.

Strategi pencegahan demam tifoid mencakup hal-hal berikut :


1. Penyediaan sumber air minum yang baik
2. Penyediaan jamban yang sehat
3. Sosialisasi budaya cuci tangan
4. Sosialisasi budaya merebus air sampai mendidih sebelum diminum
5. Pemberantasan lalat
6. Pengawasan terhadap para penjual makanan dan minuman
7. Sosialisasi pemberian ASI pada ibu menyusui
8. Imunisasi
9. Vaksin.

2.7 Prognosis
Prognosis untuk penderita demam tifoid tergantung pada terapi segera, usia
penderita, keadaan kesehatan sebelumnya, serotip salmonella penyebab, dan
munculnya komplikasi. Bayi yang berusia dibawah satu tahun dan anak-anak dengan
gangguan dasar yang melemahkan berada pada resiko yang lebih tinggi. Munculnya
komplikasi, seperti perforasi saluran pencernaan atau perdarahan berat, meningitis,
endokarditis dan pneumonia disertai dengan angka morbiditas dan mortalitas tinggi
(Arvin, 2012).
Prognosis demam tifoid tergantung tepatnya terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik
yang adekuat, angka mortalitas < 1 %.Di negara berkembang, angka mortalitasnya >
10% biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan.Munculnya
komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis
endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Prognosis juga menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang berat
seperti :
a. Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinu
b. Kesadaran menurun sekali yaitu stupor, koma, atau delirium
c. Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi energi protein)

3. Memahami dan Menjelaskan Antibiotik untuk kuman penyebab demam tifoid


3.1 Golongan antibiotik yang efektif untuk kuman penyebab demam tifoid
Chloramphenicol, Kotrimoksazol, Sefalosporin generasi III, Quinolon, Amoxicilin,
Tetrasiklin, Ceftriaxon

3.2 Farmakodinamik antibiotik golongan Chloramphenicol, Kotrimoksazol,


Sefalosporin generasi III, dan Kuinolon
Kloramfenikol
Kloramfenikol bekerja menghambat sintesis protein bakteri. obat ini terikat
pada ribosom subunit 50s dan mengambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan
peptida tidak terbentuk pada proses sintesis protein bakteri.
Spektrum antibakteri Kloramfenikol meliputi D.pneumoniae, S.pyogenes,
S.viridans, Neisseria, Haemophilus, Bacillus spp. Listeria, Bartonella, Brucella, P.
Multocida, Treponema dan kebanyakan bakteri anaerob.
Mekanisme resistensi terhadap Kloramfenikol terjadi melalui inaktivasi obat
oleh asetil transferase yang diperantarai oleh factor- R. Obat ini efektif terhadap
kebanyakan strain E. Coli, K. Pneumoniae dan P. Mirabilis, kebanyakan strain Serratia,
Providencia dan Proteus rettegiri reisten, juga kebanyakan strain P. Aeruginosa dan
strain tertentu S. Typhi
Kotrimoksazol
Aktivitas antibakteri kombinasi antara sulfametoksazol dan trimetoprim
(kotrimoksazol) berdasarkan kerjanya pada dua tahap yang berurutan pada reaksi
enzimatik untuk pembentukan asam tetrahidrofolat.
Sulfonamid menghambat masuknya molekul PABA ke dalam molekulasam
folat. Trimetoprim menghambat terjadinya reaksi reduksi dari hidrofolat menjadi
tq1etrahidrofolat. Efek sinergis dapat dicapai dengan perbandingan kadar yang optimal
dari kedua obat.
Untuk kebanyakan kuman, rasio kadar Sulfametoksazol : Trimetoprim yang
optimal ialah 20:1, sifat farmakokinetik sulfonamid untuk kombinasi dengan
Trimetoprim sangat penting untuk kadar yang relatif tetap dari kedua obat tersebut
dalam tubuh. Trimetoprim pada umumnya 20-100 kali lebih poten daripada
sulfametoksazol, sehingga sediaan kombinasi diformulasikan untuk mendapatkan
kadar Sulfametoksazol 20 kali lebih besar daripada Trimetoprim.
Kotrimoksazol 120 mg mengandung 100 mg sulfametoksazol dan 20 mg
trimetoprim. Kotrimoksazol 240 mg mengandung 200 mg sulfametoksazol dan 40 mg
trimetoprim. Kotrimoksazol 480 mg mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg
trimetoprim. Kotrimoksazol 960 mg mengandung 800 mg sulfametoksazol dan 160 mg
trimetoprim.
Frekuensi terjadinya resistensi terhadap kotrimoksazol lebih rendah dari pada
terhadap masing-masing obat karena mikroba yang resisten terhadap salah satu
komponen masih peka terhadapkomponen yang lainnya.
Mikroba yang peka terhadap kotrimok sazol Salmonella pneumoniae,
Corynebacteriumdiphteriae, Streptococcus pyogenes. Streptococcus viridans, Serratia,
E.coli dan Shigella.
Sefalosporin generasi III
Sefalosporin berasal dari fungus Cephalosporium acremonium. Inti dasar
sefalosporin C ialah asam 7-amino-sefalosporanat (7- ACA:
Taminocephalosporanicacid) yang merupakan kompleks cincin dihidrotiazin dan cincin
betalaktam.
Sefalosporin C resisten terhadap penisilinase, tetapi dapat dirusak oleh
sefalosporinase. 26 Hidrolisis asam sefalosporin C menghasilkan 7-ACA yang dapat
dikembangkan menjadi berbagai macam antibiotic sefalosporin. Berdasarkan aktivitas
antibiotiknya. Sefalosporin dapat melawan patogen orofasial, tetapi terbatas dalam
melawan bakteri anaerob.
Sefadroksil, sefaleksin, dan sefazolin merupakan antibiotik sefalosporin
generasi pertama, sedangkan seftriakson termasuk generasi ketiga.
Kuinolon
Golongan kuinolon secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
kuinolon dan fluorokuinolon. Kelompok kuinolon tidak mempunyai manfaat klinik
untuk pengobatan peradangan sistemik karena kadarnya dalam darah terlalu rendah,
daya antibakterinya lebih lemah, dan resistensi cepat timbul. Indikasinya terbatas
sebagai antiseptik saluran kemih. Sedangkan kelompok fluorokuinolon memiliki atom
fluor pada posisi 6 dalam struktur molekulnya. Daya antibiotik fluorokuinolon jauh
lebih kuat dibandingkan kelompok kuinolon lama.
Kelompok obat ini diserap secara baik pada pemberian oral, dan derivatnya
tersedia juga dalam bentuk parenteral yang digunakan untuk penanggulangan
peradangan berat, khususnya yang disebabkan oleh bakteri Gram-negatif, sedangkan
terhadap bakteri Gram-positif daya bakterinya relatif lemah. Yang termasuk golongan
ini adalah siprofloksasin, pefloksasin, levofloksasin, dan sebagainya.

3.3 Farmakokinetik antibiotik golongan Chloramphenicol, Kotrimoksazol,


Sefalosporin generasi III, dan Kuinolon
Chloramphenicol
• Absorbsi Diabsorbsi secara cepat di GIT, bioavailability 75% sampai 90%.
Kloramfenikol oral: bentuk aktif dan inaktif prodrug, Mudah berpenetrasi melewati
membran luar sel bakteri. Pada sel eukariotik menghambat sintesa protein
mitokondria sehingga menghambat perkembangan sel hewan & manusia. Sediaan
kloramfenikol untuk penggunaan parenteral (IV) adalah water-soluble.
• Distribusi Kloramfenikol berdifusi secara cepat dan dapat menembus plasenta.
Konsentrasi tertinggi : hati dan ginjal Konsentrasi terendah: otak dan CSF
(Cerebrospinal fluid). Dapat juga ditemukan di pleura dan cairan ascites, saliva, air
susu, dan aqueousdan vitreous humors.
• Metabolisme. Metabolisme hati dan ginjal Half-life kloramfenikol berhubungan
dengan konsentrasi bilirubin. Kloramfenikol terikat dengan plasma protein 50%;
pasien sirosis dan pada bayi.
• Eksresi. Rute utama dari eliminasi kloramfenikol adalah pada metabolisme hepar
ke inaktif glukuronida.
Kotrimoksazol
Pemberian dan Metabolisme: Trimetoprim bersifat lebih larut dalam lemak
dibandingkan sulfametoksazol dan mempunyai volume distribusi yang lebih besar.
Pemberian I bagian trimetoprim menjadi 5 bagian sulfa menyebabkan rasio obat dalam
plasma 20 bagian sulfametoksazol terhadap 1 bagian trimetoprim. Rasio ini optimal
untuk efek antibiotika. Kotrimoksazol biasanya diberikan per-oral. Pengecualian
pemberian intravena pada pasien pneumonia berat yang disebabkan Pneumocystis
carinii atau terhadap pasien yang tidak dapat menelan obat.
Nasib Obat Kedua obat didistribusikan ke seluruh tubuh.. Trimetoprin relative
terpusat dalam prostat suasana asam dan cairan vagina dan memberikan hasil kombinasi
trimetoprin- sulfametoksazol yang memuaskan terhadap infeksi di daerah
Sefalosporin generasi III
Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya sefuroksim, seftriakson,
sefepim, sefotaksim dan seftizoksim mencapai kadar yang tinggi di cairan serebrospinal
(CSS), sehingga dapat bermanfaat untuk pengobatan meningitis purulenta. Selain itu
sefalosporin juga melewati sawar darah uri, mencapai kadar tinggi di cairan sinovial
dan cairan perikardium. Pada pemberian sistemik, kadar sefalosporin generasi ketiga di
cairan mata relatif tinggi, tetapi tidak mencapai vitreus. Kadar sefalosporin dalam
empedu umumnya tinggi, terutama sefoperazon.
Kuinolon
1. Fluorokuinolon diserap lebih baik melalui saluran cerna.
2. Bioavailablitasnya pada pemberian oral sama dengan pemberian parenteral.
3. Golongan obat ini hanya didistribusi dengan baik pada berbagai organ.
4. Golongan obat ini mampu mencapai kadar tinggi dalam jaringan prostat dan masa
paruh eliminasinya panjang sehingga obat cukup diberikan 2 kali sehari.
5. Kebanyakan fluorokuinolon dimetabolisme di hati dan di ekskresikan melalui
ginjal.

3.4 Efek samping antibiotik golongan Chloramphenicol, Kotrimoksazol, Sefalosporin


generasi III, dan Kuinolon
Chloramphenicol
1. Reaksi Hematologik
2. Reaksi Alergi. Kemerahan pada kulit, angioudem, urtikaria dan anafilaksis.
Kelainan yang menyerupai reaksi Herxheimer dapat terjadi pada pengobatan
demam typhoid.
3. Reaksi Saluran Cema Mual, muntah, glositis, diare dan enterokolitis.
4. Sindrom Gray Pada neonatus, terutama bayi prematur yang mendapat dosis tinggi
(200 mg/kgBB).
5. Reaksi Neurologis Depresi, bingung, delirium dan sakit kepala. Neuritis perifer atau
neuropati optikdapat juga timbul terutama setelah pengobatan lama.
Kotrimoksazol
1. Menimbulkan megaloblastik, leukopenia, trombositopenia.
2. 75% efek samping terjadi pada kulit.
3. Gejala-gejala saluran cerna seperti mual, muntah, ruam (termasuk sindrom Stevens-
Johnson, nekrolisis epidermal toksik, fotosensitivitas), diare jarang terjadi.
4. Reaksi susunan saraf pusat berupa sakit kepala,depresi.dan halusinasi disebabkan
olehsulfonamid.
5. Gangguan darah (neutropenia, trombositopenia, agranulositosis dan purpura)
6. Reaksi alergi, diare, stomatitis, glositis, anoreksia, artralgia, mialgia.
7. Kerusakan hati seperti ikterus dan nekrosis hati; pankreatitis, kolitis terkait
antibiotik, eosinofilia, batuk, napas singkat, infiltrat paru, meningitis aseptik, sakit
kepala, depresi, konvulsi, ataksia, tinitus.
8. Anemia megaloblastik karena trimetoprim, gangguan elektrolit, kristaluria,
gangguan ginjal termasuk nefritis interstisialis.
Sefalosporin generasi III
Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi, gejalanya
mirip dengan reaksi alergi yang ditimbulkan oleh penisilin. Reaksi mendadak yaitu
anafilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang umumnya
terjadi pada pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi penisilin ringan
atau sedang kemungkinannya kecil. Diare dapat timbul terutama pada pemberian
sefoperazon, mungkin karena ekskresinya terutama melalui empedu, sehingga
mengganggu flora normal usus. Selain itu dapat terjadi perdarahan
Kuinolon
1. Saluran cerna: Paling sering timbul pada penggunan golongan kuinolon dan
bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, dan rasa tidak enak di perut.
2. Susunan Saraf Pusat: Yang paling sering ditemui adalah sakit kepala dan pusing.
Bentuk yang jarang timbul ialah halusinasi, kejang dan delirium.
3. Hepatotoksisitas: Efek samping ini jarang terjadi.
4. Kardiototoksisitas: Beberpa fluorokuinolon antara lain sparfloksasin dan
grepafloksasin (kedua obat ini sekarang tidak dipasarkan lagi) dapat
memperpanjang interval QTc (corrected QT interval).
5. Disglikemia: Gatifloksasin dapat menimbulkan hiper-atau hipoglikemia, khususnya
pada pasien berusia lanjut. Obat ini tidak boleh diberikan kepada pasien diabetes
melitus.
6. Fototoksisitas: Klinafloksasin (tidak dipasarkan lagi) dan sparfloksasin adalah
fluorokuinolon yang relatif sering menimbulkan fototoksisitas

3.5 Kontraindikasi antibiotik golongan Chloramphenicol, Kotrimoksazol,


Sefalosporin generasi III, dan Kuinolon
Chloramphenicol
• Penderita yang hipersensitif terhadap Kloramfenikol
• Penderita dengan gangguan faal hati yang berat
• Penderita dengan gangguan ginjal yang berat
Kotrimoksazol
Tidak dianjurkan untuk mengobati
1. Faringitis oleh S.pyogenes
2. Infeksi genitalia
3. Bayi usia kurang dari 6 minggu (kecuali untuk pengobatan dan profilaksis
pneumosistis pneumonia) karena ada risiko kernikterus.
4. Hindari diberikan pada anak dewasa defisiensi G6PD dikarenakan adanya resiko
anemia hemolitik.
Sefalosporin generasi III
Pada pasien dengan alergi penisilin berat, tidak dianjurkan penggunaan
sefalosporin atau jika sangat diperlukan harus diawasi dengan sungguh-sungguh.
Kuinolon
Tidak diindikasikan untuk anak (sampai 18 tahun) dan wanita hamil karena
data dari penelitian hewan menunjukkan bahwa golongan ini dapat menimbulkan
kerusakan sendi.
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland. Ed.31(Alih Bahasa
AlbertusAgung Mahode ). Jakarta : EGC
Jawetz, Melnick, & Adelberg. 2012. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Widiyono. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &
Pemberantasannya Edisi Kedua. Semarang: Erlangga
Cita Y. 2011. Jurnal Kesehatan Masyarakat: Bakteri Salmonella typhi dan Demam Tifoid.
Vol. 6 No.1
Garna HH. 2012. Buku Ajar Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Departemen Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung. Jakarta: Sagung Seto. (hal: 750)
Darmawati S. 2009. Keanekaragaman Genetik Salmonella typhi. Jurnal Ilmu Kesehatan,
Vol.2, No.1. http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/Analis/article/ view/225/237.
(Diakses pada 23 Maret 2016 pukul 20.00 WIB)
Safitri IR. 2010. Analisis Penggunaan Antibiotik pada Pasien Demam Tifoid di Instalasi
Rawat Inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta Tahun 2009. Thesis
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Setyabudi, Rianto. 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi Revisi edisi 5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Arvin, Kliegman Behrman.2012. Nelson Ilmu Keperawatan Anak ed. 15, alih bahasa
Indonesia, A.Samik Wahab.Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai