Anda di halaman 1dari 29

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi, ditandai dengan panas berkepanjangan, di topang dengan
bakteremia tanpa keterlibatan struktur endothelial atau endocardial dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe
usus dan Payer ‘ s patch.1
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi usus halus. Demam
paratifoid biasanya lebih ringan dan menunjukkan manifestasi klinis yang sama atau
menyebabkan enteritis akut.1,2 Penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis.1
Terdapat 3 bioserotipe Salmonella enteriditis, yaitu bioserotipe Salmonella paratyphi A,
Salmoenlla paratyphi B (Salmonella Schotsmulleri), Salmonella paratyphi C (Salmonella
Hirschfeldii).1,2,3

1.2. Epidemiologi
Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia.2 Penyakit ini merupakan
penyakit menular yang dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan
wabah.2 Diperkirakan angka kejadian dari 150 / 100.000 / tahun di Amerika Selatan dan 900
/ 100.000 / tahun di Asia.1 Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis)
dilaporkan 3 – 19 tahun mencapai 91% kasus.1 Angka yang kurang lebih sama juga
dilaporkan dari Amerika Serikat.1
Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui
secret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella
typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada
di dalam air, es, debu, kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi Salmonella
typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan
dengan kolonisasi dan pasteurisasi (temperature 63˚C).1
Terjadi penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman atau makanan yang
tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar
Bersama – sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalur oro – fekal). Dapat juga terjadi
transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia kepada
bayinya.1

CASE REPORT DEMAM TIFOID 1


1.3. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sedangkan demam paratifoid
disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella
paratyphi C. Salmonella typhi memberikan gejala klinis yang lebih berat hingga dapat
membuat gangguan neuropsikiatri daripada Salmonella paratyphi.3

1.3.1. Morfologi dan Identifikasi


Salmonella bersifat patogen untuk manusia atau hewan bila memasuki tubuh
lewat mulut. Organisme ini adalah agen penyebab bermacam – macam infeksi, mulai dari
gastroenteritis, infeksi sistemik sampai dengan demam tifoid.2
Salmoenella diklasifikasikan dalam tiga spesies utama, yaitu : Salmonella typhi
(satu serotipe), Salmonella cholerasuis (satu serotipe), dan Salmonella enteritidis (lebih
dari 1500 serotipe). Penentuan serotipe ini berdasarkan reaktivitas antigen O dan antigen
H bifasik. Bakteri dengan antigenik berbeda dimasukkan ke dalam serotipe dari
Salmonella paratyphi enteriditis, misalnya Salmonella paratyphi A, sekarang diklasifikasi
sebagai Salmonella enteriditis bioserotipe paratyphi A.2
Bakteri bentuk batang, tidak berspora, pada pewarnaan Gram bersifat Gram
negatif. Ukuran bervariasi berkisar 1 – 3.5µm x 0.5 – 0.8µm. Kebanyakan spesies dapat
bergerak aktif dengan flagel peritrika. Bakteri tumbuh pada suasana aerob dan anaerob
fakultatif pada suhu 15 - 41˚C (suhu optimum 37.5˚C) dan pH pertumbuhan 6 – 8.2
1.3.2. Daya Tahan
Di luar tubuh bakteri ini mudah dibasmi, misalnya oleh sinar matahari, dan zat
disinfektan. Dalam air dapat bertahan selama 1 – 2 minggu, pada bahan cair (air atau
susu) mereka mati pada suhu 60˚C, dalam air beku (es) dapat hidup untuk jangka waktu
yang lama. Pada kondisi tanah yang normal, tidak dapat bertahan hidup untuk waktu
yang lama. Mereka bertahan di dalam air limbah selama tujuh hari dan di dalam septik
tank selama 12 hari. 2
Salmonella hidup subur pada medium yang mengandung empedu, resisten terhadap
zat – zat kimia tertentu seperti hijau brilian, natrium tetrationat, natrium deoksikolat. Zat
– zat ini justru menghambat pertumbuhan bakteri enterik lainnya, sehingga dapat
digunakan di dalam medium untuk isolasi bakteri Salmonella dari bahan tinja.2

1.3.3. Struktur Antigen


Golongan dan spesies Salmonella diidentifikasi dengan analisis antigen. Salmonella
mempunyai tiga kelompok utama antigen , yaitu antigen somatik – O, antigen flagel – H,
beberapa Salmonella mempunyai antigen simpai – K, yang disebut antigen Vi (virulent) ;
antigen ini dikaitkan dengan sifat invasiv yang dimilikinya.2,4
Antigen O, berasal dari bahasa Jerman (Ohne), merupakan susunan senyawa
lipopolisakarida (LPS).2,4 LPS mempunyai tiga region. Region I merupakan antigen O-
spesifik atau antigen dinding sel.4 Antigen ini terdiri dari unit-unit oligosakarida yang

CASE REPORT DEMAM TIFOID 2


terdiri dari tiga sampai empat monosakarida.4 Polimer ini biasanya berbeda antara satu
isolat dengan isolat lainnya, itulah sebabnya antigen ini dapat digunakan untuk
menentukan subgrup secara serologis.4 Region II merupakan bagian yang melekat pada
antigen O, merupakan core polisakarida yang konstan pada genus tertentu.4 Region III
adalah lipid A yang melekat pada region II dengan ikatan dari 2-keto-3-deoksioktonat
(KDO).4 Lipid A ini memiliki unit dasar yang merupakan disakarida yang menempel
pada lima atau enam asam lemak.4 Bisa dikatakan lipid A melekatkan lipopolisakarida
(LPS) ke lapisan murein-lipoprotein dinding sel .2,4
Antigen H merupakan antigen yang terdapat pada flagela dari bakteri ini, yang
disebut juga flagelin.2,4 Antigen H adalah protein yang dapat dihilangkan dengan
pemanasan atau dengan menggunakan alkohol.2 Antibodi untuk antigen ini terutamanya
adalah IgG yang dapat memunculkan reaksi aglutinasi.2 Antigen ini memiliki variasi fase,
yaitu perubahan fase dalam satu serotip tunggal.2 Saat serotip mengekspresikan antigen H
fase-1, antigen H fase-2 sedang disintesis.2
Antigen K berasal dari bahasa Jerman, yaitu kapsel. Antigen K merupakan
antigen kapsul polisakarida dari bakteri enterik . Antigen ini mempunyai berbagai bentuk
sesuai genus dari bakterinya. Pada salmonella, antigen K dikenal juga sebagai virulence
antigen (antigen Vi).2,4
1.3.4. Faktor – Faktor Patogenisitas

1.3.4.1 Daya Invasi


Bakteri Salmonella di usus halus melakukan penetrasi ke dalam epitel, bakteri
terus melalui lapisan epitel masuk ke dalam jaringan subepitel sampai di lamina propia.
Meknisme biokimia pada saat penetrasi tidak diketahui dengan jelas, tetapi tampak proses
yang menyerupai fagositosis. Pada saat bakteri mendektai lapisan epitel, brush border
berdegenerasi dan kemudian bakteri masuk ke dalam sel. Mereka dikelilingi membran
sitoplasma yang inverted, seperti vakuola fagositik. Kadang – kadang penetrasi ke dalam
sel epitel terjadi di intracellular junction. Setelah penetrasi organisme difagosit oleh
makrofag, berkembang biak dan dibawa oleh makrofag ke organ tubuh lain.2
1.3.4.2. Antigen Permukaan
Kemampuan bakteri Salmonella untuk hidup intraseluler mungkin disebabkan oleh
adanya antigen permukaan (antigen Vi).2

1.3.4.3. Endotoksin
Seperti halnya semua bakteri basil enterik, Salmonella juga menghasilkan endotoksin.
Endotoksin merupakan senyawa lipopolisakarida (LPS) yang dihasilkan dari lisisnya sel
bakteri. Di peredaran darah, endotoksin ini akan berikatan dengan protein tertentu
kemudian berinteraksi dengan reseptor yang ada pada makrofag dan monosit serta sel-sel
RES, maka akan dihasilkan IL-1, TNF, dan sitokin lainnya. Selain itu, Salmonella juga
menghasilkan sitotoksin, namun hanya sedikit sekali.2

CASE REPORT DEMAM TIFOID 3


1.3.4.4. Enterotoksin
Beberapa spesies Salmonella memproduksi enterotoksin yang serupa dengan
enterotoksin yang dihasilkan oleh Enterotoxigenic E. coli (ETEC) baik yang termolabil
maupun termostabil. S. typhimurium, S. enteriditis menghasilkan enterotoksin yang
termolabil.2

1.4. Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme,
yaitu : (1) Penempelan dan invasi sel – sel M Peyer’s patch, (2) Bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus limfatikus mesenterikus, dan organ – organ
ekstra intestinal system retikuloendotelial (3) Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah,
dan (4) Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan
menyebabkan keluarnya elektrolit dan air kedalam lumen intestinal.1
Penularan bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi terjadi melalui makanan
dan minuman yang tercemar serta tertelan melalui mulut.1,2 Sebagian bakteri dimusnahkan
oleh asam lambung dengan suasana asam (pH <2).1,2 Bakteri yang dapat melewati lambung
akan masuk ke dalam usus, kemudian berkembang biak.2
Apabila respon imunitas humoral mukosa (Imunoglobulin A) usus kurang baik maka
bakteri akan menembus sel – sel epitel (terutama sel M), selanjutnya ke lamina propria. Di
lamina propria bakteri berkembang biak dan ditelan oleh sel – sel fagosit terutama makrofag.
Bakteri dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag, kemudian dibawa ke Plaques
Peyeri di ileum distal. Selanjutnya ke kelenjar getah bening mesenterika. Melalui duktus
torasikus, bakteri yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik atau tidak menimbulkan gejala.
Selanjutnya menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di
organ – organ ini bakteri meninggalkan sel – sel fagosit dan berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid, kemudian masuk lagi ke dalam sirkulasi darah dan menyebabkan bakteremia
kedua yang simtomatik, menimbulkan gejala dan tanda penyakit infeksi sistemik.2
Di dalam hati, bakteri masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak dan
diekskresikan ke dalam lumen usus melalui cairan empedu. Sebagian dari bakteri ini
dikeluarkan melalui feses dan sebagian lainnya menembus usus lagi. Proses yang sama
kemudian terjadi lagi, tetapi dalam hal ini makrofag telah teraktivasi. Bakteri Salmonella typhi
yang berada di dalam makrofag yang sudah teraktivasi ini akan merangsang makrofag menjadi
hiperaktif dan melepaskan beberapa mediator (sitokin) yang akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemik seperti : demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas
vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi. Pada keadaan yang lebih berat dapat terjadi sepsis
dan syok septik.2
Di dalam Plaques peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan.
Salmonella di dalam makrofag dapat merangsang reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang
dapat menyebabkan hiperplasia dan nekrosis jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah Plaques peyeri yang mengalami hiperplasia dan nekrosis atau

CASE REPORT DEMAM TIFOID 4


akibat akumulasi sel – sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini
dapat berkembang ke lapisan otot, lapisan serosa usus sehingga dapat mengakibatkan
perforasi. Endotoksin yang dihasilkan Salmonella dapat menempel di reseptor sel endotel
kapiler seluruh organ sehingga biasa menimbulkan komplikasi kardiovaskuler, pernafasan,
gangguan neuropsikiatrik dan gangguan organ lainnya.2
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti
dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus.
Diduga endotoksin dari Salmonella menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel
limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat -zat
lain. Produk makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular tidak
stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi system
imunologik.1

Gambar 2.4.1. Salmonella menginvasi mukosa intestinal

Sumber : Gianella RA. Chapter 21. Salmonella. In : Microbiology. 4th Edition. Baron, editor. Medical
University of Texas Medical Branch at Galveston : 1996.4

1.5. Gejala Klinis


Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5 – 40 hari dengan rata – rata
antara 10 – 14 hari.1,2 Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis
ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus di

CASE REPORT DEMAM TIFOID 5


rawat.1 Variasi gejala ini disebabkan faktor galur Salmonella, status nutrisi dan
imunologik pejamu serta lama sakitnya di rumah.1
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada
era pemakaian antibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada kasus
demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step – ladder temperature chart yang
ditandai dengan demam timbul insidious, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan
mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan
tinggi dan pada minggu ke – 4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi
fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap.1
Demam tifoid adalah salah satu penyakit demam yang paling umum dilihat oleh
praktisi di negara berkembang. Tanpa diobati, penyakit ini biasanya berlangsung selama
tiga sampai empat minggu, tapi mungkin lebih lama. Perjalanan demam tifoid yang tidak
diobati secara klasik dibagi menjadi empat tahap, masing-masing berlangsung sekitar
seminggu. Pola penyakit ini tidak umum terlihat, dengan penyakit parah yang mewakili
'puncak gunung es' pada tifus, dan dengan munculnya antibiotik yang mengubah jalannya
penyakit ini. Bergantung pada literatur Sir William Osler untuk deskripsi penyakit yang
tidak diobati, demam tifoid terbagi menjadi 4 tahap, yaitu3 :
Pada minggu pertama ditemukan gejala seperti : Kenaikan suhu secara gradual,
biasanya lebih buruk sepanjang hari, selama 2-3 hari pertama, biasanya mencapai 40 ° C
(104 ° F), batuk kering, bradikardia relatif , yaitu : peningkatan suhu 1˚C yang tidak
diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit, sakit kepala, epistaksis, sakit perut.
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan leukopenia dengan limfositosis relatif. Kultur
darah positif untuk S. typhi (atau S. paratyphi). Tes Widal biasanya negatif. Dalam fase
bakteriologis ini adalah mungkin untuk menemukan bakteri di jaringan retikuloendotelial
hati, limpa, sumsum tulang belakang, dan kantong empedu dan patch Peyer di ileum
terminal. Kandung empedu terinfeksi melalui hati dan empedu yang terinfeksi
memberikan kultur tinja positif dan menginfeksi kembali usus. Batu empedu
mempengaruhi infeksi empedu kronik dan kereta feses jangka panjang.3
Selama minggu kedua pasien menunjukan penampilan yang apatis dan demam
tinggi yang terus-menerus. Demam tinggi sekitar 40 ° C (104 ° F). Malaise. Bradikardia
relatif, dengan denyut nadi dikrotik. Timbul rose spot, yaitu bintik merah di dada bagian
bawah dan perut - terlihat pada sekitar sepertiga pasien Kaukasia; Sulit dilihat di kulit
yang lebih gelap. Rose spot disebabkan oleh bakteri emboli. Rose spot merupakan
makula berdiameter 2-4 mm yang memudar jika ditekanan. Pada pemeriksaan fisik
terdapat bunyi nafas tambahan , yaitu ronki. Distensi abdomen pada kuadran kanan
bawah. Diare, biasanya hijau, dengan bau busuk khas. Konstipasi juga bisa terjadi.
Timbulnya hepatosplenomegali. Peningkatan transaminase hati. Tes Widal positif.3
Pada minggu ketiga terjadi penurunan berat badan pada pasien. Demam tetap ada
dan keadaan delirium dapat terjadi. Distensi abdomen dan diare cair, busuk, hijau-kuning
biasa terjadi. Pada pemeriksaan fisik , pasien tampak lemah, denyut nadi lemah dan

CASE REPORT DEMAM TIFOID 6


meningkatnya frekuensi pernafasan. Crackles dapat terdengar di lobus atas paru-paru.
Kematian dapat terjadi pada tahap ini karena terjadi toksemia, miokarditis, perdarahan
usus, atau perforasi usus, biasanya pada patch Peyer. Komplikasi yang paling mungkin
berkembang pada tahap ini meliputi: Perdarahan usus akibat perdarahan dari patch Peyer.
Perforasi ileum distal, sering fatal. Peritonitis adalah komplikasi yang umum terjadi.
Radang otak. Gejala neuropsikiatrik seperti delirium. Abses metastatik kolesistitis.
Endokarditis . Trombositopenia dengan risiko perdarahan. Komplikasi mata dapat terjadi
(biasanya hanya dengan penyakit sistemik terkait) termasuk ulkus kornea, uveitis, abses
(kelopak mata atau orbit), perdarahan vitreous atau retina, ablasi retina, neuritis optik,
palsi otot ekstraokular, dan trombosis orbital.3
Pada pasien yang tidak diobati pada minggu keempat masih terlihat demam,
keadaan mental dan distensi abdomen perlahan membaik selama beberapa hari, namun
komplikasi usus mungkin masih terjadi. Konvalesens berkepanjangan, dan kebanyakan
relaps terjadi pada tahap ini.3
Pada demam paratifoid gejala klinis yang ditimbulkan berupa : demam menggigil,
berkeringat, sakit kepala, lemas, batuk kering, anoreksia, sakit tenggorokan, pusing, dan
nyeri otot sering terjadi sebelum timbulnya demam. Meningkatnya demam yang terus
berlanjut. Nyeri perut (sekitar sepertiga pasien). Bradikardia relatif. Hepatosplenomegali.
Rose spot (sekitar sepertiga pasien). Konstipasi (lebih sering terjadi diare). Gejala
neuropsikiatris sangat jarang, seperti kejang epilepsi.3
1.6. Pemeriksaan Penunjang
1.6.1. Pemeriksaan Laboratorium Darah
1.6.1.1.Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap
Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit
normal. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder.
Dapat pula ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pemeriksaan hitung
jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopeni. Laju endap darah
dapat meningkat.3

1.6.1.2.Pemeriksaan SGOT dan SGPT


SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah
sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan
khusus.2

1.6.1.3.Pemeriksaan Uji Widal


Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap bakteri
Salmonella typhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen
bakteri Salmonella typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang
digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium.2

CASE REPORT DEMAM TIFOID 7


Uji Widal dimaksudkan untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid. Akibat adanya infeksi oleh Salmonella typhi
maka penderita membuat antibody (aglutinin), yaitu2 :
a. Aglutinin O : karena rangsangan antigen O yang berasal dari tubuh bakteri.
b. Aglutinin H : karena rangsangan antigen H yang berasal dari flagella
bakteri.
c. Aglutinin Vi : karena rangsangan antigen Vi yang berasal dari simpai
bakteri.
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan menderita demam tifoid.2
Pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan 1-2 minggu kemudian sehingga
kenaikan 4 kali, terutama agglutinin O memiliki nilai diagnostik yang penting
untuk demam tifoid. Titer aglutinin O yang positif dapat berbeda dari >1/80
sampai >1/320 antar laboratorium tergantung endemisitas demam tifoid di
masyarakat setempat dengan catatan 8 bulan terakhir tidak mendapat vaksinasi
atau baru sembuh dari demam tifoid.5
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat,
dan tetap tinggi selama beberap minggu. Pada fase akut, mula – mula timbul
aglutinin O kemudian diikuti aglutinin H. pada penderitsa yang telah sembuh
aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4 – 6 bulan, sedangkan aglutinin H
menetap lebih lama antara 9 – 12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukanlah
pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penyakit.3

1.6.1.4.Pemeriksaan Kultur Darah


Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S. typhi dari darah. Pada dua
minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi S. typhi dari dalam darah
pasien lebih besar dari pada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada
urin dan feses, kemungkinan keberhasilannya lebih kecil.1

1.6.1.5.Pemeriksaan Thypidot
Pemeriksaan diagnostik baru saat ini tersedia, seperti Typhidot atau Tubex
yang mendeteksi antibodi IgM antigen spesifik O9 lipopolisakarida S. typhi.
Dalam dua dekade ini, pemeriksaan antibodi IgM dan IgG spesifik terhadap
antigen S. typhi berdasarkan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
berkembang.5
Antigen dipisahkan dari berbagai struktur subselular organisme antara
lain: liposakarida (LPS), outer membrane protein (OMP), flagella (d-H), dan
kapsul (virulence [Vi] antigen). Telah banyak penelitian yang membuktikan

CASE REPORT DEMAM TIFOID 8


bahwa pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas hampir 100%
pada pasien demam tifoid dengan biakan darah positif S. typhi. Pemeriksaan
antibodi IgM terhadap antigen O9 lipopolisakarida S.typhi (Tubex)R dan IgM
terhadap S.typhi (Typhidot)R memiliki sensitivitas dan spesifitas berkisar 70%
dan 80%.5
Pemeriksaan serologi tersebut dapat dibaca secara visual dalam waktu 10
menit dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna dan
nilai > 6 dianggap sebagai positif kuat. Namun interpretasi hasil serologi yang
positif harus dilakukan secara hati-hati pada kasus tersangka demam tifoid di
daerah endemis karena IgM dapat bertahan sampai 3 bulan, sedangkan IgG
sampai 6 bulan.5

1.7. Penatalaksanaan
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring,
isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi , serta pemberian
antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan
cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat
dilakukan dengan seksama. Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan seksama.
Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya patogenesis
infeksi Salmonella berhubungan dengan keadaan bakteremia.1
Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan penderita
demam tifoid. Dosis yang diberikan 100mg / kgBB/ hari dibagi dalam 4 kali pemberian
selama 10 – 14 hari atau sampai 5 – 7 hari setelah demam turun, sedangkan pada kasus
malnutrisi atau penyakit, pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari, 4 – 6 minggu
untuk osteomyelitis akut, dan 4 minggu untuk meningitis. Salah satu kelemahan
kloramfenikol adalah tingginya angka relaps dan karier. Namun pada anak hal tersebut
jarang dilaporkan. 1
Ampisilin memberikan respon perbaikan klinis yang kurang apabila dibandingkan
dengan klormfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4
kali pemberian secara intravena.1
Amoksilin dengan dosis 100 mg/kgBB/ hari dibagi dalam 4 kali pemberian per
oral memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun penurunan demam
lebih lama.1
Kombinasi trimethoprim sulfametoksazol (TMP – SMZ) memberikan hasil yang
kurang baik dibanding kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah TMP 10 mg/ kg/
hari atau SMZ 50 mg/ kg/ hari dibagi dalam 2 dosis.1
Pemberian sefalosporin generasi ketiga seperti Seftriakson 100mg/kg/hari di bagi
dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 gram / hari) selama 5 – 7 hari atau sefotaksim 150 –
200 mg/kg/ hari dibagi dalam 3 – 4 dosis efektif pada isolat yang rentan.1
Akhir – akhir ini sefiksim oral 10 – 15 mg / kg / hari selama 10 hari dapat
diberikan sebagai alternatif, terutama apabila jumlah leukosit < 2000/µ atau dijumpai
resistensi terhadap S. typhi.1

CASE REPORT DEMAM TIFOID 9


BAB I
LAPORAN KASUS
STATUS PEMERIKSAAN PASIEN

I. Identitas Pasien
Nomor Rekam Medis : 00 – 07 – 86 - 08
Nama : A. PS
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 3 tahun 11 bulan
Tanggal Lahir : 27 Juni 2013
Agama : Islam
Alamat : Cipinang Muara, Jakarta Timur

II. Anamnesis
Anamnesis pertama dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 14 Mei 2017 pukul
21.00 WIB.

Keluhan Utama : Demam


Keluhan Tambahan : Mual, muntah, dan nyeri perut

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan demam sejak 4 hari yang lalu. Demam dirasakan
sepanjang hari dan demam paling tinggi dirasakan pada sore menjelang malam hari
hingga membuat pasien menggigil. Demam yang dirasakan tidak sampai membuat
pasien kejang dan tidak sampai mengeluarkan ruam kemerahan di kulit pasien. Ibu
pasien mengatakan bahwa pasien sudah dibawa ke puskesmas dan demam turun
setelah diberikan parasetamol yang diberikan oleh puskesmas. Keesokan hari nya,
pasien mengalami muntah sebanyak 4 kali yang didahului dengan mual. Yang
dimuntahkan pasien berupa makanan, banyaknya kurang lebih setengah gelas aqua,
muntah berwarna kuning kecokelatan. Ibu pasien juga mengaku bahwa pasien sering
memegang perutnya dan mengeluhkan bahwa perut bagian kanan atas nya sakit.
Kemudian pasien dibawa ke rumah sakit persahabatan dan diberikan 2 macam obat,
yaitu antibiotik berupa cefixime dan obat penurun panas berupa parasetamol tetapi
keluhan nya tidak membaik. Nafsu makan pasien berkurang. Dalam sehari pasien
makan sebanyak 2 kali sehari, atau bahkan tidak makan sama sekali dan hanya
meminum susu kental manis. Ibu pasien mengaku bahwa pasien sudah tidak buang air
besar selama 3 hari. Buang air besar terakhir berwarna kecokelatan dan konsistensi
nya padat. Dalam sehari biasanya pasien buang air besar sebanyak 1 kali. Buang air

CASE REPORT DEMAM TIFOID 10


kecil pasien tidak ada keluhan. Pasien tidak pernah menangis sebelum memulai buang
air kecil. Akhirnya pada hari Minggu malam pasien dibawa ke RSU UKI.
Ibu pasien mengatakan bahwa pasien tidak pernah memiliki riwayat keluar cairan
dari kedua liang telinga nya. Keluhan batuk pilek disangkal. Keluhan sakit saat
menelan disangkal. Pasien tidak memiliki riwayat alergi. Ibu pasien mengatakan
pasien mengalami penurunan berat badan dari 13.6 kg menjadi 13 kg. Ibu pasien
mengaku bahwa pasien sangat memilih makanan dan lebih menyukai jajan di luar
seperti jajan agar – agar yang dijual di gerobak yang diberipewarna buatan. Pasien
hanya menyukai kentang goreng, sosis goreng, mie goreng, dan susu kental manis.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Pasien pernah
mengalami keluhan batuk dan terdapat flek pada paru nya dan hanya diobati selama 1
bulan. Kejadian tersebut berlangsung kurang lebih pada 8 bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Dikeluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan seperti ini, tetapi ibu pasien
memiliki riwayat penyakit tumor otak dan sedang dalam pengobatan.

Riwayat Kehidupan Pribadi :


Riwayat Antenatal :
Pasien merupakan anak ketiga dari ibu yang berusia 27 tahun saat hamil, dengan
usia kehamilan cukup bulan saat melahirkan (ibu lupa HPHT), riwayat abortus
disangkal. Ibu rajin memeriksakan kehamilan ke Rumah Sakit. Pada trimester
pertama ibu memeriksa kehamilan sebanyak 1 kali dalam sebulan. Pada trimester
kedua ibu memeriksa kehamilan sebanyak 2 kali dalam sebulan dan pada trimester
ketiga ibu memeriksa kehamilan sebanyak 4 kali dalam sebulan. Riwayat penyakit
saat hamil disangkal.

Riwayat kehamilan :
Bayi lahir secara spontan ditolong oleh dokter RS Persahabatan dengan presentasi
kepala, usia kehamilan cukup bulan (ibu pasien lupa HPHT), ketuban pecah dini (-).
Bayi lahir langsung menangis, dengan berat badan 3400 gram, panjang lahir ibu
pasien tidak mengingatnya, lingkar kepala ibu pasien tidak ingat. Riwayat biru setelah
lahir disangkal.

Riwayat Pasca Lahir :


Sesaat setelah lahir, pasien mendapat suntikan vitamin K dan imunisasi Hepatitis
B 0 hari. ASI ibu banyak (+), bayi langsung menetek kuat, dan ASI diberikan secara
eksklusif. Tidak ada riwayat kuning. Bayi bergerak aktif, menangis kuat, sesak napas
(-), biru (-).
Kesan: riwayat kehamilan, persalinan dan pasca lahir pasien baik.

CASE REPORT DEMAM TIFOID 11


Riwayat Makan :
Usia 0 – 40 hari Pemberian ASI eksklusif, durasi tiap menyusui,
lamanya ± 10 menit, tiap 2 – 3 jam.
Usia 40 hari – 2 bulan Pemberian ASI, pemberian susu formula ± 120 cc,
sebanyak 10 kali dalam sehari.
Usia 2 bulan – 4 bulan Pemberian ASI, pemberian susu formula ± 160 cc
sebanyak 6 kali dalam sehari, pasien juga mendapat
biskuit bayi sebanyak 3 buah.
Usia 4 bulan – 8 bulan Pemberian ASI, pemberian susu formula ± 200 cc
sebanyak 4 kali dalam sehari, pasien juga mendapat
bubur susu 1 mangkuk kecil sebanyak 3 kali sehari
ditambah buah pisang 2 kali sehari.

Usia 8 bulan – 12 bulan Pemberian ASI, pemberian susu kental manis 1


bungkus 3 kali sehari. Pasien diberikan bubur lunak
berisi ati ayam, brokoli, dan wortel, makanan tersebut
diberikan 3 kali sehari dengan durasi ± 30 menit dan
diberi buah – buahan 1 kali sehari.
Usia 12 bulan – sekarang Pemberian ASI, pemberian susu kental manis 1
bungkus dalam 3 kali sehari. Pasien menjadi sangat
memilih makanan. Pasien hanya memakan kentang
goreng sebanyak 1 mangkok kecil atau memakan mie
goreng instan sebanyak 1 mangkok kecil atau
memakan sosis goreng sebanyak 2 buah yang diiris
kecil – kecil.
Kesan: Riwayat kualitas dan kuantitas makanan pasien baik, tahapan makanan pasien
baik sesuai dengan usia pasien.

Pertumbuhan dan Perkembangan :


Gigi pertama Usia : 4 bulan
Psikomotor Tengkurap : Usia 3 Berjalan : Usia 11 bulan
bulan
Duduk : Usia 5 bulan Berbicara : Usia 12 bulan
Berdiri : Usia 9 bulan Membaca / menulis : Belum bias
membaca / menulis.
Kesan : Riwayat tumbuh kembang sesuai dengan usia.

Status Imunisasi :
Vaksin Usia Pemberian Tempat vaksinasi
BCG 2 bulan RS Persahabatan
DPT/DT 2,4,6 bulan RS Persahabatan

CASE REPORT DEMAM TIFOID 12


Polio 0,2,4 bulan RS Persahabatan
Campak Tidak dilakukan RS Persahabatan
imunisasi
Hepatitis B 0,1,6 bulan RS Persahabatan
Kesan: Riwayat imunisasi dasar pasien tidak lengkap sesuai dengan usia pasien
berdasarkan Jadwal Imunisasi IDAI tahun 2011

Sosial Ekonomi dan Lingkungan :


Ayah bekerja sebagai karyawan swasta. Penghasilan kira-kira Rp. 3.000.000,- per
bulan, sedangkan ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga. Ibu pasien memiliki riwayat
tumor otak sehingga pasien lebih sering diurus oleh nenek nya.
Pasien tinggal di rumah kontrakan bersama ibu, ayah, 2 saudara pasien, nenek,
kakek dan 1 tante. Rumah pasien berada di perkampungan padat penduduk. Ayah
pasien bekerja setiap hari, sedangkan ibu bekerja di rumah untuk mengurus anak-
anak. Ibu pasien mengaku persiapan makanan serta alat-alat makan dan minum
pasien selalu dibersihkan sebelum dipakai. Air yang dipakai pasien berasal dari
sumber air sumur yang dipakai Bersama dan harus dimasak sampai matang terlebih
dahulu. Tempat pembuangan sampah akhir pasien berada di sekitar lingkungan
perumahan tersebut yang dipakai untuk bersama.
Pasien lebih sering jajan di luar. Pasien menyukai makanan agar – agar yang
diberi pewarna yang dijual oleh penjual gerobak.

CASE REPORT DEMAM TIFOID 13


III. Pemeriksaan Fisik :
( Pemeriksaan Fisik dilakukan pada tanggal 14 Mei 2017 pukul 21.00 WIB di IGD
RSU UKI )

A. Pemeriksaan Umum :
Keadaan Umum :
Tampak Sakit Sedang ( keasadaran composmentis, gerakan tidak aktif, tampak
lemas dan gelisah tidak ada pernafasan cuping hidung ).

Tanda Vital :
Tekanan Darah : 90 / 60mmHg
Frekunesi Nadi : 105 kali / menit (Reguler, isi cukup, kuat angkat)
Frekuensi Nafas : 32 kali / menit (Reguler)
Suhu : 37,8 ⁰ C (Axilla)
Pengukuran Antropometri :
Berat Badan : 13 kg
Tinggi Badan : 93 cm
Lingkar kepala : 47 cm
Lingkar lengan atas : 16 cm
Penilaian Antropometri Berdasarkan Kurva Pertumbuhan WHO 2006 :
Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas
( Z – score )
BB/ U -2 SD sampai dengan Gizi baik
0 SD
TB/ U -2 SD sampai dengan Normal
1 SD
BB/TB -2 SD sampai dengan Normal
2 SD
IMT / U -2 SD sampai dengan Normal
1 SD
Penilaian Lingkar Kepala Berdarasrkan Tabel Nellhaus
Indeks Kategori Ambang Batas
Lingkar kepala sesuai Normocephali -2SD sampai
usia dengan 2 SD
Kesan : Gizi baik, perawakan normal, normocephali

CASE REPORT DEMAM TIFOID 14


B. Pemeriksaan Sistem :
1. Kepala :
 Bentuk : Normocephali (Lingkar Kepala 47 cm)
 Rambut dan Kulit Kepala : Rambut berwarna cokelat, pertumbuhan
Merata.
 Mata : Mata cekung - / - , Conjungtiva anemis - /-,
Sklera ikterik - / -
 Telinga : Liang telinga lapang / lapang, Sekret - / -
Serumen -/-
 Hidung : Cavum nasi lapang / lapang, secret - / -
 Mulut :
o Bibir : Lembab (+), Sianosis sirkumural (-),
Lagaden (-)
o Gigi – geligi : Lengkap
 Lidah : Ditengah, coated tongue (-), tremor (-)
 Tonsil : T1- T1, mukosa hiperemis (-) , detritus (-)
 Faring : Mukosa faring hiperemis (-)
2. Leher : Simetris, tidak ada pembengkakan.
3. Thoraks :
Dinding thoraks : Normochest (Laterolateral > Anteroposterior)
Paru :
 Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
 Palpasi : Stem fremitus simetris kanan dan kiri
 Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi : Bunyi nafas dasar : Vesikuler/ Vesikuler
Bunyi nafas tambahan : Rhonki - / -, Wheezing - / -
Jantung :
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba di garis midclavicularis sinistra
intercostal V
 Perkusi : Batas kanan jantung : linea parasternalis dextra
Intercosta I
Batas kiri jantung : linea midclavicularis
sinistra
Intercostal V
 Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, Murmur (-), Gallop (-)
4. Abdomen :

CASE REPORT DEMAM TIFOID 15


 Inspeksi : Dinding perut tampak datar
 Palpasi : Supel (+), Nyeri tekan (+) kuadran kanan atas dan ulu
hati,
hati dan limpa tidak teraba membesar.
 Perkusi : Timpani (+), Nyeri ketok (+)kuadran kanan atas, dan ulu
hati
 Auskultasi : Bising usus (+) 6 kali / menit
5. Anus dan Rektum : Tidak dilakukan pemeriksaan
6. Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
7. Anggota Gerak :
Kiri Kanan
Atas Akral hangat, sianosis (-), Akral hangat, sianosis (-),
Capillary Refill Time <2 detik, Capillary Refill Time < 2
55555 detik, 55555
Bawah Akral hangat, sianosis (-), Akral hangat, sianosis (-),
Capillary Refill Time < 2 Capillary Refill time < 2
detik, 55555, edema detik, 55555, edema
8. Tulang Belakang : Lordosis (-), Kifosis (-), Skoliosis (-)
9. Kulit : Ruam kemerahan (-), Rumple Leed Test (-)
10. Kelenjar Getah Bening : Kelenjar getah bening tidak teraba membesar di
regio submandibula, regio submentalis, regio colli
anterior, dan regio colli posterior

C. Pemeriksaan Neurologis :
 Nervus Cranialis : Tidak dilakukan
 Pemeriksaan Reflek :
o Refleks Fisiologis : Tidak dilakukan
o Refleks patologis : Tidak dilakukan

IV. Pemeriksaan Penunjang :


Dilakukan pemeriksaan laboratorium darah H2TL pada tanggal 14 Mei 2017 :
Hemoglobin 12 g/dL Leukosit 7700 /uL
Hematokrit 38.0 % Trombosit 229.000/uL

V. Diagnosa Kerja :
Fever et causa viral infection
Dispepsia

VI. Rencana Tatalaksana dan Terapi :


IVFD : Ringer Laktat 500cc/ 4 jam  KAEN 3A 12 tpm (makro)
Medikamentosa : Ceftriaxone 2 x 600 mg (injeksi )

CASE REPORT DEMAM TIFOID 16


Acran 2 x 15 mg ( injeksi )
Ondancentron 2 x 2 mg (injeksi)
Sanmol syrup 3 x 6 cc (oral)
Nymico 3 x 1 ml (oral)
Periksa Widal

Follow Up Pasien Selama di Rawat di RSU UKI

Hari/ Subjective Objective Pemeriksaan Assesment Planning


Tanggal Laboratorium
Senin, 15 Demam (-), Nyeri KU : Tampak sakit Viral KAEN 3A 12 tpm (makro)
Mei 2017 perut (+), minum sedang Infection,
sedikit, nafsu makan Dispepsia Diet : Diet Lambung III 1400kkal
PH : 1 menurun, muntah TD : 90/60mmHg bentuk lunak – biasa
PP : 5 dalam 3 x sehari N : 115 x/menit
berisikan makanan RR : 30 x/menit Medikamentosa :
yang dimakan ± S : 37.3⁰C Ceftriaxone 2 x 600 mg (inj)
banyak nya 100cc Acran 2 x 15mg (inj)
sekali muntah. BAK Abdomen : tampak datar, Ondancetron 2 x 2 mg  stop!
(+) 3 kali sehari, BU (+) 6 x/ menit, Nyeri Sanmol syrup 3 x 6 cc (p.o)
tekan (+) kuadran kanan Nymico 3 x 1 ml
atas dan ulu hati, hati Kalmic 1 x 1
dan lien tidak teraba
membesar, nyeri ketok Tgl 16 Mei 2017 : Periksa Widal
(+) kuadran kanan atas Periksa urine lengkap
dan ulu hati
Selasa, 16 Demam (+), mutah (- KU : Tampak sakit Pemeriksaan Viral IVFD : KAEN 3A 12 tpm (makro)
Mei 2017 ), nyeri perut hilang sedang Widal : Infection,
timbul, minum sedikit, S. Typhose H Dispepsia, Diet : Diet Lambung III 1400kkal
PH : 2 belum BAB sejak 5 TD : 120/80 mmHg +(1 /80) Typhoid, bentuk lunak – biasa
PP : 6 hari, BAK sedikit. N : 112 x / menit S. Paratyphi A H Suspect ISK
RR : 32 x /menit (-), S. Paratyphi Medikamentosa :
S : 37.6⁰C B H (-), S. Ceftriaxone 2 x 600 mg (inj)
Paratyphi C H Acran 2 x 15mg (inj)
+ (1/80), S. Sanmol syrup 3 x 6 cc (p.o)
Abdomen : tampak datar, Typhose O (-), S. Nymico 3 x 1 ml
BU (+) 6 x/ menit, Nyeri Parathypi A O Kalmic 1 x 1
tekan (+) kuadran kanan (-), S. Paratyphi Dexamethason 3 x 2mg
atas dan ulu hati,hati dan B O (-), S.
limpa tidak teraba Paratyphi C O Hari ini : Periksa LED, Foto Thorax,
membesar, nyeri ketok + (1/320) Mantoux test, SGOT/SGPT
(+) kuadran kanan atas
dan ulu hati Pemeriksaan
Urin Lengkap :
Warna kuning
jernih, berat jenis
1.005, pH 6.0,
Blood (-),
Leukosit esterase

CASE REPORT DEMAM TIFOID 17


(-), Nitrit (-),
Protein (-),
Bilirubin (-),
Aseton (-),
Reduksi (-),
urobilinogen 0.2,
leukosit 0 –
1/LPB, Eritrosit
0 – 1 /LPB,
Epitel +1,
Bakteri (-),
Silinder (-),
Kristal (-)

Rabu, 17 Demam (-), Belum KU : Tampak sakit Pemeriksaan Typhoid IVFD : KAEN 3A 12 tpm (makro)
Mei 2017 BAB, BAK sudah 2x, sedang Darah Lengkap : Fever
nyeri perut (-), nafsu LED : Diet : Diet Lambung III 1400kkal
PH : 3 makan menurun TD : 120/80 mmHg 16mm/jam bentuk lunak – biasa
PP : 7 N : 112 x / menit Hb 12.3 g/dL
RR : 32 x /menit L 1500/uL Medikamentosa :
S : 37.6⁰C E 4.64jt/mL Ceftriaxone 2 x 600 mg (inj)
Ht 38.7% Acran 2 x 15mg (inj)
T 137ribu/uL Sanmol syrup 3 x 6 cc (p.o)
Abdomen : tampak datar, MCV 83/fL Nymico 3 x 1 ml
BU (+) 8 x/ menit, Nyeri MCH 27 pg Kalmic 1 x 1
tekan (-), hati teraba MCHC 32 g/dL Dexamethason 3 x 2mg
pada 2 jari dibawah Basofil 0% Dulcolax sup
arcus costae, tepi tajam, Eosinofil 2 % Ekstra microlac
permukaan licin, Batang 2 %
konsistensi kenyal, limpa Segmen 33 % Periksa H2TL/hari,
tidak teraba membesar, Limfosit 62% perika SGOT/SGPT
nyeri ketok (-) Monosit 1 %

Pemeriksaan
Faal Hati :
SGOT 101 U/L
SGPT 63 U/L

Pemeriksaan
Foto Thorax :
COR dalam
batas normal,
Pulmo tampak
infiltrat dengan
hilus kanan agak
menebal, Sinus
dan diafragma
dalam batas
normal, Costae
dan tulang –
tulang normal.
Kesan :
Menyokong
proses spesifik,
bagaimana
klinis? Mt?

CASE REPORT DEMAM TIFOID 18


Kamis, 18 BAB 1 kali dengan KU : Tampak sakit Mantoux test (-) Typhoid IVFD : KAEN 3A 12 tpm (makro)
Mei 2017 konsistensi keras sedang Fever
berwarna cokelat, Hb 12.5 g/dL Diet : Diet Lambung III 1400kkal
PH : 4 nyeri perut hilang TD : 90/60 mmHg L 4100 /uL bentuk lunak – biasa
PP : 8 timbul, nafsu makan N : 80 x/menit Ht 39.8%
menurun RR : 20 x / menit T 153.000/uL Medikamentosa :
Suhu : 36.5⁰C Ceftriaxone 2 x 600 mg (inj)
SGOT 144 U/L Acran 2 x 15mg (inj)
SGPT 93 U/L Sanmol syrup 3 x 6 cc (p.o)
Abdomen : tampak datar, Ondancetron 2 x 2 mg (k/p)
BU (+) 6 x/ menit, Nyeri Nymico 3 x 1 ml
tekan (-), hati teraba Dexamethason 3 x 2mg
pada 2 jari dibawah Ekstra microlac
arcus costae, tepi tajam,
permukaan licin, Periksa SGOT/SGPT
konsistensi kenyal, limpa
tidak teraba membesar,
nyeri ketok (-)

Jumat, 19 Belum BAB, tidak KU : Tampak sakit SGOT 134 U/L Typhoid IVFD : KAEN 3A 12 tpm (makro)
Mei 2017 mau makan tidak mau ringan SGPT 135 U/L Fever
minum Diet : Diet Lambung III 1400kkal
PH : 5 TD : 110 / 70 mmHg bentuk lunak – biasa
PP : 9 N : 88 x /menit
RR : 20 x/menit Medikamentosa :
Suhu : 37⁰C Ceftriaxone 2 x 600 mg (inj)
Acran 2 x 15mg (inj)
Sanmol syrup 3 x 6 cc (p.o)
Ondancetron 2 x 2 mg (k/p)
Abdomen : tampak datar, Nymico 3 x 1 ml
BU (+) 7 x/ menit, Nyeri Dexamethason 3 x 2mg
tekan (-), hati teraba Kalmic 1 x 1 ctg (p.o)
pada 2 jari dibawah Curliv 2 x 1 cth (p.o)
arcus costae, tepi tajam,
permukaan licin,
konsistensi kenyal, limpa
tidak teraba membesar,
nyeri ketok (-)

Sabtu, 20 Belum BAB, Nafsu KU : Tampak sakit Typhoid Kalmic 1 x 1 cth (p.o)
Mei 2017 makan menurun ringan Fever Curliv 2 x 1 cth (p.o)
Sanmol syrup 3 x 6cc (k/p)
PH : 6 TD : 110 / 70 mmHg Cefixime syrup 2 x 3 cc
PP : 10 N : 70 x /menit
RR : 20 x/menit Pasien boleh pulang
Suhu : 36.6⁰C

Abdomen : tampak datar,


BU (+) 6 x/ menit, Nyeri
tekan (-), hati teraba
pada 2 jari dibawah
arcus costae, tepi tajam,
permukaan licin,
konsistensi kenyal, limpa
tidak teraba membesar,
nyeri ketok (-)

CASE REPORT DEMAM TIFOID 19


BAB III
ANALISA KASUS

Telah di rawat pasien An. PS usia 3 tahun 11 bulan jenis kelamin perempuan pada
tanggal 14 Mei 2017 di bangsal Anggrek RSU UKI. Pada hari pertama datang ke IGD RSU UKI
pasien didiagnosa dengan fever et causa viral infection dan dyspepsia. Berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang ditemukan pada tanggal 14 Mei 2017 :
Tabel 3.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik yang ditemukan pada Kasus

Anamnesis Pemeriksaan Fisik


 Demam sejak 4 hari, paling demam  Keadaan umum tampak sakit sedang
saat sore menjelang malam hari  Tekanan darah : 90 / 60mmHg
hingga membuat pasien menggigil.  Frekuensi nadi 105 x/ menit
 Muntah 4 kali sejak 1 hari sebelum  Frekuensi nafas 32 x / menit
masuk rumah sakit. Muntah makanan  Suhu 37.8˚C
banyaknya kurang lebih setengah  Berat badan : 13 kg
gelas aqua, muntah diawali dengan  Tinggi badan : 93 cm
mual.  Kepala : coated tongue (-), lidah
 Nafsu makan berkurang tremor (-)
 Belum BAB sejak 3 hari yang lalu  Abdomen : dinding perut tampak
 Perut kanan atas sakit. datar,supel (+), nyeri tekan (+)
 Riwayat jajan di luar (+) kuadran kanan atas, hati dan limpa
tidak teraba membesar, timpani (+),
nyeri ketok (+) kuadran kanan atas
dan ulu hati.
 Pada pemeriksaan kulit tidak
didapatkan bercak kemerahan.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan, menurut penulis pasien
mengalami suspect demam tifoid. Berdasarakan buku ajar infeksi dan pediatrick tropis,
manifestasi klinis demam tifoid berupa1 :

CASE REPORT DEMAM TIFOID 20


Tabel 3.2. Manifestasi Klinis Demam Tifoid

Manifestasi Klinis Demam Tifoid


1. Demam :
 Step ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidious,
kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada
akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada
minggu ke – 4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi focus
infeksi seperti kolesistitis, atau penurunan kesadaran mulai apatis sampai koma.
 Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi
harinya.
2. Gejala Sistem Saraf Pusat :
Kesadaran berkabut atau delirium atau obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai
apati sampai koma.
3. Gejala Sistemik Lainnya :
Nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, myalgia, nyeri perut dan radang
tenggorokkan
4. Gejala Gastrointestinal :
Diare, obtipasi, atau obtipasi kemudia disusul episode diare.
5. Pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedangkan tepi dan
ujungnya lemerahan, gejala meteorismus, hepatomegaly, dan splenomegaly.
6. Rose spot, suatu ruam maculopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 – 5 mm,
sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada
orang kulit putih. Ruam muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan 2 – 3 hari.
7. Bradikardi relatif.
Sumber : Soedormo SPS, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi kedua.
Cetakan ketiga. Badan penerbit IDAI. Jakrta 2012. 338 – 46.1

Penularan bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi terjadi melalui makanan
dan minuman yang tercemar serta tertelan melalui mulut.1,2
Diagnosa belum dapat ditegakkan dengan pasti karena dibutuhkan pemeriksaan
laboratorium demam tifoid, yaitu pemeriksaan darah darah perifer lengkap yang akan
memberikan hasil anemia ringan, leukopenia, trombositopenia, aneosinofilia, limfopeni serta
LED meningkat. Pemeriksaan Widal dikatakan positif apabila terjadi peningkatan titer O ≥ 1/
320. Pemeriksaan biakan empedu pada minggu pertama kuman ditemukan di dalam darah, pada
minggu kedua kuman ditemukan di urine dan pada minggu ketiga kumn ditemukan di dalam
tinja.1,2
Pada hari yang sama, pasien telah melakukan pemeriksaan darah Hb, Ht, leukosit dan
trombosit dengan hasil kadar Hb 12 g/dl, Ht 38.0 %, leukosit 7700/µL, trombosit 229.000/µL.
Berdasarakan buku ajar infeksi dan pediatrik tropis serta buku demam tifoid, pada pemeriksaan
laboratorium demam tifoid ditemukan jumlah leukosit yang rendah (leukopenia) atau jumlah
leukosit yang normal.1,2

CASE REPORT DEMAM TIFOID 21


Maka dari itu, dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan, penulis mendiagnosis pasien mengalami suspect demam tifoid karena belum di
lakukam pemeriksaan penunjang lainnya yang mendukung diagnosis.
Menurut penulis, diagnosis dyspepsia pada pasien kurang tepat karena nyeri perut
fungsional adalah salah satu keluhan paling umum pada anak-anak dan remaja yang. Sebenarnya,
hampir seperempat dari semua anak mengeluhkan gangguan lambung atau usus memiliki
keluhan nyeri perut fungsional. Nyeri perut fungsional mencakup beberapa jenis nyeri perut
kronis, termasuk nyeri perut berulang, dispepsia fungsional, dan sindrom iritasi usus besar
(Irritable Bowel Syndrome). Biasanya, nyeri terletak di sekitar umbilikus, namun lokasi nyeri
perut tidak selalu bisa ditebak. Rasa sakit bisa terjadi secara tiba-tiba atau perlahan mengalami
keparahan. Rasa sakit mungkin konstan atau bisa meningkat dan turun dalam tingkat keparahan.6
Beberapa anak dengan nyeri perut fungsional mungkin mengalami dispepsia, atau sakit
perut bagian atas terkait dengan mual, muntah, dan / atau perasaan kenyang. Orang lain mungkin
mengalami sakit perut dengan buang air besar. Nyeri yang biasanya lega akibat buang air besar,
atau terkait dengan perubahan kebiasaan buang air besar (terutama sembelit, diare, atau
konstipasi bolak-balik dengan diare) adalah sindrom iritasi usus besar klasik (classic irritable
bowel syndrome / IBS).6
Dispepsia fungsional adalah masalah umum pada pediatri, dilaporkan terjadi pada 3%
sampai 27% anak-anak. Dispepsia fungsional didefinisikan oleh klasifikasi Roma III sebagai
nyeri perut bagian atas yang persisten atau ketidaknyamanan, tidak terkait dengan pergerakan
usus, dan tanpa penyebab organik, dan timbul 2 bulan sebelum diagnosis.7
Pasien di rawat inap dan diberikan pengobatan, yaitu berupa terapi cairan pengganti
dengan cairn ringer laktat 500cc/ 4 jam setelah itu cairan diganti dengan KAEN 3A 12 tpm
(makro), serta obat – obatan yang diberikan berupa ceftriaxone 2 x 600 mg (injeksi), acran 2 x 15
mg ( injeksi ), ondancentron 2 x 2 mg (injeksi), sanmol syrup 3 x 6 cc (oral), dan nymico 3 x 1
ml (oral). Kemudian pasien dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan widal pada keesokan hari
nya.
Menurut penulis, pasien sebaiknya di rawat jalan karena penyakit pasien tidak disertai
dengan penyulit dan pengobatan yang diberikan kepada pasien berupa antibiotik lini pertama,
yaitu kloramfenikol serta obat penurun panas, yaitu parasetamol.
Penatalaksanaan demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar, yaitu tatalaksana
umum dan bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa pemberian antibiotik sebagai
pengobatan kausal. Tatalaksana demam tifoid juga bukan hanya tatalaksana yang ditujukan
kepada penderita penyakit tersebut, namun juga ditujukan kepada penderita karier salmonella
typhi, pencegahan pada anak berupa pemberian imunisasi tifoid dan profilaksis bagi traveller
dari daerah non endemik ke daerah yang endemik demam tifoid.8
Tatalaksana umum berupa tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam
menangani demam tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian antibiotik. Pemberian
rehidrasi oral ataupun parenteral, penggunaan antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta

CASE REPORT DEMAM TIFOID 22


transfusi darah bila ada indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup
seorang anak penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak lebih ringan dibanding
orang dewasa, karena itu 90 % pasien demam tifoid anak tanpa komplikasi, tidak perlu dirawat
di rumah sakit dan dengan pengobatan oral serta istirahat baring di rumah sudah cukup untuk
mengembalikan kondisi anak menjadi sehat dari penyakit tersebut.8
Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak di negara
berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya. Berdasarkan ketiga faktor
tersebut, kloramfenikol masih menjadi pengobatan demam tifoid pada anak, terutama di negara
berkembang. Kloramfenikol mempunyai beberapa kelebihan sebagai obat demam tifoid yaitu
efikasinya yang baik (demam turun rata-rata hari ke 4-5 setelah pengobatan dimulai), mudah
didapat dan harganya yang murah. Namun Kloramfenikol mempunyai kekurangan, yaitu
menyebabkan efek samping berupa anemia aplastik akibat supresi sumsum tulang, menyebabkan
agranulositosis, menginduksi terjadinya leukemia dan menyebabkan Gray baby syndrome.
Kelemahan lain obat ini adalah tingginya angka relaps bila diberikan sebagai terapi demam tifoid
dan tidak bisa digunakan untuk mengobati karier S. typhi.8

Tabel 3.3. Penurunan demam setelah pemberian antibiotik pada demam tifoid

Jenis Antibiotik Saat demam turun setelah pemberian


antibiotik (hari)
Ampisilin / Amoksilin 5,2 ± 3,2
Trimethoprim – Sulfametoksazol 6,5 ± 1,3
Kloramfenikol 4,2 ± 1,1
Seftriakson 5,4 ± 1,5
Sefiksim 5,7 ± 2,1
Sumber : Prayitno A. Pilihan Terapi Antibiotik untuk Demam Tifoid. Dalam : Update management of Infectious
Diseases and Gastrointestinal Disorders. Penyunting : Hadinegoro SR, Kadim M, Devaera Y, Idris NS, Ambarsari
CG. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM. Jakarta 2012. ISBN 978 – 979 – 8271 – 41 – 0.8

Tabel 3.4. Pedoman penggunaan antibiotic divisi infeksi tropic departemen IKA RSCM

Diagnosis Terapi Empirik Lama Mikroor- Terapi Dosis Ket


Monoterapi Kombi- terapi Ganisme definitive
nasi
Demam Tanpa Kloramfenikol 10 – Salmonella Sesuai hasil Dosis maks. Hati – hati
Tifoid Komplikasi 100mg/kgBB/hari 14 typhi kultur dan Kloramfenikol anemia aplastic.
oral, maks. 2 gram, hari resistensi : Saran :
tidak Anak : 40 mg/ pengecekan DPL
direkomendasikan kg pada penggunaan
untuk pasien Dewasa : 2 kloramfenikol
dengan jumlah gram hari ketiga
leukosit < 2000 / Ul
Dosis maks.
Trimetoprim 10 Kotrimoksazol
mg/ kgBB/ hari – :
Sulfametoksazol 50 Anak : 4

CASE REPORT DEMAM TIFOID 23


mg/ kgBB/ hari mg/kg
Dewasa : 80 –
Amoksisilin 100 160 mg
mg/ kgBB/ hari
Dosis maks
amoksisilin :
Anak : 15 – 25
mg/kg
Dewasa : 0,25
– 1 gram
Dengan Seftriakson 5 hari Sesuai hasil Dosis maks.
Komplikasi (Sefalosporin gen. kultur dan Anak : 25 mg/kg
III) 50 – 80 resistensi
mg/kgBB/hari
Multidrug Salmonella Sefiksim 10 – 20 Dosis maks.
Resistance typhi (sefalosporin mg/kgBB/hari, Anak : 5 mg/kg
(multidrug gen. III) oral selama 10
resistance) hari

Dosis maks.
Azitromisin 20 mg/kgBB/ Anak : 15 mg/kg
hari selama 7
hari
Tidak
direkomendasikan
Fluoro – 15 mg/kgBB/ untuk anak < 14
kuinolon hari selama 10 tahun
– 14 hari
Sumber : Prayitno A. Pilihan Terapi Antibiotik untuk Demam Tifoid. Dalam : Update management of Infectious
Diseases and Gastrointestinal Disorders. Penyunting : Hadinegoro SR, Kadim M, Devaera Y, Idris NS, Ambarsari
CG. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM. Jakarta 2012. ISBN 978 – 979 – 8271 – 41 – 0.8

Pemberian obat sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson atau sefotaksim


diindikasikan pada kasus-kasus yang resisten terhadap obat kloramfenikol dan obat antibiotik
untuk demam tifoid lainnya.1,8 Strain yang resisten umumnya rentan terhadap obat sefalosporin
generasi ini.1,8 Bahkan untuk beberapa kasus yang resisten terhadap fluorokuinolon, obat
seftriakson dianggap masih sensitif dan membawa hasil yang baik bila digunakan sebagai terapi
alternatif, bersama-sama dengan azitromisin dan sefiksim.8 Pemberian seftriakson sebaiknya
diberikan selama 14 hari, karena bila diberikan selama 7 hari, kemungkinan relapsnya bertambah
dalam 4 minggu setelah terapi seftriakson dihentikan.8
Dosis seftriakson yang diberikan kepada pasien sebanyak 2 x 600 mg. Berdasarkan buku
ajar infeksi dan pediatric tropis, dosis seftriakson 100mg/kgBB dibagi dalam 1 atau 2 dosis
(maksimal 4 gram/ hari) selama 5 – 7 hari, sehingga seharusnya diberikan 100mg/kgBB x 13 kg
= 1300mg dibagi 2 = 650 mg sekali pemberian. Menurut penulis, dosis antibiotic seftriakson
yang diberikan pasien masih kurang.
Terapi simtomatik pada demam tifoid juga dibutuhkan, seperti antipiretik sebagai obat
penurun panas. Dosis yang diberikan kepada pasien, yaitu 3 x 6 cc dengan rata – rata dosis
harian yang dibutuhkan adalah 130 mg – 195 mg.

CASE REPORT DEMAM TIFOID 24


Untuk obat anti mual nya, pasien diberikan ondansetron. Menurut penulis, obat anti mual
tidak perlu diberikan. Karena mual yang terjadi pada pasien ini akibat bakteri Salmonella typhi
yang berada di dalam makrofag yang teraktivasi. Bakteri ini akan merangsang makrofag
menjadi hiperaktif dan melepaskan beberapa mediator (sitokin) yang akan menimbulkan gejala
reaksi inflamasi sistemik seperti : demam, malaise, myalgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas
vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.1,2
Kemudian, obat anti jamur menurut saya tidak diperlukan dalam kasus ini karena
nystatin merupakan antijamur yang kerja nya menghambat pertumbuhan berbagai jamur dan ragi
tetapi tidak aktif terhadap bakteri, protozoa dan virus. Nystatin hanya akan diikat oleh jamur atau
ragi yang sensitive. Nystatin digunakan untuk infeksi candida di kulit, selaput lender dan saluran
cerna. Paronikia, vaginitis, dan kandidiasis oral dan saluran cerna cukup diobati secara
topical.kandidiasis di mulut, esophagus dan lambung biasanya merupakan komplikasi dari
penyakit darah yang ganas terutama pada pasien yang mendapat pengobatan imunosupresif.
Kandidiasis saluran cerna jarang ditemukan, tetapi keadaan ini dapat merupakan penyebab
timbulnya nyeri perut dan diare. Nystatin tidak mempengaruhi bakteri, protozoa dan virus, maka
pemberian nystatin dengan dosis tinggi tidak akan menimbulkan superinfeksi.9
Pada pasien ini diberikan diet berupa diet lambung III 1400 kkal bentuk lunak – biasa.
Sesuai dengan Recommended Dietary Allowance, anak usia 3 tahun 7 bulan memiliki kebutuhan
kalori per hari sebanyak 1428kkal. Kebutuhan kalori ini didapatkan dari rumus :

Berat Badan Ideal x RDA

Keterangan :
Rumus berat badan ideal = 8 + 2N
N : dalam usia
RDA usia 3 tahun = 102 kkal/ kg
Pada perjalanan penyakit ke - 6 (Selasa, 16 Mei 2017) pasien dianjurkan untuk
dilakukannya pemeriksaan Widal dan urinalisis untuk mendiagnosis lebih pasti dan
menyingkirkan diagnosis banding.
Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H S. typhi. Pada
umumnya antibodi O meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal penyakit.
Dari hasil pemeriksaan Widal ditemukan bahwa S .typhosa titer H + (1/80), S. paratyphi C H +
(1/80), dan S. paratyphi C O + (1/320). Dari hasil pemeriksaan disimpulkan pasien mengalami
infeksi Salmonella paratyphi. Yang membedakan Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi
adalah manifestasi yang ditimbulkan. Pada S. typhi manifestasi klinis yang ditimbulkan lebih
berat sedangkan manifestasi yang ditimbulkan oleh S. paratyphi lebih ringan.5
Pasien diperiksa urin lengkap karena pasien masih mengalami muntah sebanyak 3 kali
dan nyeri perut kuadran kanan atas dan ulu hati.

CASE REPORT DEMAM TIFOID 25


Meskipun tanda – tanda infekasi saluran kemih pada anak usia < 4 tahun tidak memiliki
gejala yang khas dan asimtomatik. Gejala klinis ISK pada anak usia < 4 tahun berupa : demam,
penurunan berat badan, nafsu makan menurun, muntah, diare dan distensi pada abdomen.10
Pada hasil pemeriksaan laboratorium urinalisis, ditemukan : warna urin kuning jernih,
berat jenis 1.005, pH 6.0, darah (-), leukosit esterase (-), nitrit (-), protein (-), bilirubin (-), aseton
(-), reduksi (-), urobilinogen 0.2 , leukosit 0 – 1/LPB, eritrosit 0 - 1/LPB, epitel +1, bakteri (-),
silinder (-), kristal (-). Dapat disimpulkan dari pemeriksan urine lengkap pasien normal dan tidak
terdapat infeksi saluran kemih.
Pada perjalanan penyakit ke – 7 (Rabu, 17 Mei 2017), pada pemeriksan fisik ditemukan
bahwa teraba pembesaran hati pada blankhart 2 jari dibawah arcus costae, tepi hati tajam,
permukaan licin, konsistensi kenyal. Pasien juga dianjurkan melakukan pemeriksaan SGOT dan
SGPT dan hasil yang di dapatkan kadar SGOT 101 U/L sedangkan kadar SGPT 63 U/L.
Pemeriksaan SGOT dan SGPT ulangan ini dilakukan pada perjalanan penyakit ke – 8 (Kamis, 18
Mei 2017) dan ke – 9 (Jumat 19 Mei 2017). Pada perjalanan penyakit ke – 8 kadar SGOT
144U/L dan kadar SGPT 93 U/L. Pada perjalanan penyakit ke – 9 kadar SGOT 134 U/L dan
kadar SGPT 135 U/L. Dari pemeriksaan disimpulkan bahwa terjadi peningkatan kadar SGOT
dan SGPT pasien.
SGOT dan SGPT sering meningkat pada kasus demam tifoid, tetapi akan kembali normal
setelah pasien sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan
khusus.2
Pada perjalanan penyakit ke – 7 pasien dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan LED,
foto thorax dan test Mantoux.
Didapatkan hasil sebagai berikut :
Hasil : COR dalam
Pemeriksaan Darah Lengkap batas normal, pulmo
LED 16 mm/jam tampak infiltrate
Hb 12.3 g/dL dengan hilus kanan
agak menebal, sinus
dan diafragma
dalam batas normal,
costae dan tulang
normal.

Kesan : menyokong
proses spesifik,
bagaimana klinis?
Mt?

Kesan : Limfositosis Relatif, Trombositopenia

CASE REPORT DEMAM TIFOID 26


Leukosit 1500/uL
Eritrosit 4.6 juta/mL
Ht 38.9%
Pada perjalanan penyakit ke – 8 Trombosit 137.000/uL dilakukan
pemeriksaan ulang H2TL dan SGOT dan MCV 83/fL SGPT,
MCH 27 pg
serta dilakukan pembacaan tes Mantoux. Dari hasil
MCHC 32 g/dL
pemeriksaan didapatkan sebagai berikut :
Basofil 0%
Pemeriksaan Pemeriksaan Tes Eosinofil 2%
H2TL Faal Hati Mantoux Batang 2%
Hb 12.5 g/dL SGOT 144 Negatif Segmen 33%
Leukosit 4100/ U/L Limfosit 62%
uL SGPT 93 U/L Monosit 1%
Ht 39.8%
Trombosit
153.000/uL
Kesan : SGOT dan
Leukopenia SGPT
meningkat

Menurut saya, pasien dilakukan pemeriksaan foto thorax, dan tes Mantoux karena pasien
memiliki riwayat flek pada 8 bulan yang lalu dan pengobatannya hanya selama 1 bulan saja.
Pada pemeriksaan foto thorax di dapatkan bahwa kesan tuberkulosis paru pada pasien ini tidak
khas dan pada pemeriksaan tes Mantoux di dapat kan hasil negatif. Hasil negatif pada
pemeriksaan tes Mantoux bisa disebabkan karena pasien sebelumnya mengonsumsi dexametason
(antiinflamasi) sehingga bisa mengakibatkan hasil negatif palsu pada pemeriksaan. Sedangkan
pada skoring TB yang dilakukan, ditemukan bahwa :

Tabel. 3.5. Skoring TB

Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas - Laporan keluarga BTA (+)
(BTA negatif atau
tidak jelas)
Uji Tuberkulin Negatif - - Positif (≥ 10 mm
atau ≥ 5 mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan / - BB/TB <90% atau Klinis gizi buruk -
keadaan gizi BB/U <80% atau BB/TB <70%
atau BB/U <60%
Demam yang tidak - ≥ 2 minggu - -
diketahui
penyebabnya
Batuk kronis - ≥ 3 minggu - -
Pembesaran - ≥ 1 cm, jumlah > 1, - -
kelenjar limfe colli, tidak nyeri

CASE REPORT DEMAM TIFOID 27


axilla, inguinal
Pembengkakan - Ada pembengkakan - -
tulang / sendi
panggul, lutut,
falang
Foto toraks Normal/ kelainan Gambaran sugestif - -
tidak jelas TB
Skoring TB : 2 . Diagnosa kerja Tb ditegakkan bila jumlah skor ≥ 6.
Sumber : Rahajoe NN, Setyanto DB. Diagnosis Tuberkulosis pada Anak. Dalam : Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi Pertama. Penyunting : Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyanto DB. IDAI 2013. 210 -11.

Menurut penulis, pada saat pasien pulang diberikan obat antibiotik oral, yaitu sefiksim
sebagai obat antibiotic pengganti seftriakson. Karena sediaan seftriakson hanya injeksi,
sedangkan pemberian seftriakson sebaiknya diberikan selama 14 hari, karena bila diberikan
selama 7 hari, kemungkinan relapsnya bertambah dalam 4 minggu setelah terapi seftriakson
dihentikan. Seftriakson dan sefiksim merupakan antibiotic golongan sefalosporin generasi ketiga,
maka dari itu penulis setuju dengan pemberian sefiksim sebagai obat pulang pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soedormo SPS, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan Pediatrik
Tropis. Edisi kedua. Cetakan ketiga. Badan Penerbit IDAI. Jakarta 2012. 338 – 46.
2. Samekto W. Demam Tifoid. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang 2001.
ISBN 979 – 704- 049 – 6.
3. Lowth M, Bonsall A. Typhoid and Parathypoid Fever. Available at :
https://patient.info/doctor/typhoid-and-paratyphoid-fever-pro. 2015.
4. Gianella RA. Chapter 21 Salmonella. In : Medical Microbiology. 4th Edition. Baron,
editor. University of Texas Medical Branch at Galveston. 1996.
5. Karyanti MR. Pemeriksaan Diagnostik Terkini Demam Tifoid. Dalam : Update
Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders. Penyunting :
Hadinegoro SR, Kadim M, Devaera Y, Idris NS, Ambarsari CG. Departemen Ilmu
Kesehatan ANAK FKUI RSCM. Jakarta 2012. 1 – 8. ISBN 978 – 979 – 827 – 141 – 0.
6. Khan S. Functional Abdominal Pain In Children. Children’s National Medical Center.
Washington DC. December 2012.

CASE REPORT DEMAM TIFOID 28


7. Ganesh M, Nurko S. Functional Dyspepsia In Children. Available at :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24716560. April 2014.
8. Prayitno A. Pilihan Terapi Antibiotik Untuk Demam Tifoid. Dalam : Update
Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders. Penyunting :
Hadinegoro SR, Kadim M, Devaera Y, Idris NS, Ambarsari CG. Departemen Ilmu
Kesehatan ANAK FKUI RSCM. Jakarta 2012. 9 - 15. ISBN 978 – 979 – 827 – 141 – 0.
9. Setiabudy R, Bahry B. obat Jamur. Dalam : Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Editor :
Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elisabeth. Badan Penerbit FK UI. Jakarta 2012.
581 – 82.
10. Pardede SO, Tambunan T, Alatas H, Trihono PP, Hidayati EL. Konsensus Infeksi
Saluran Kemih pada Anak. Badan penerbit IDAI. Jakarta 2010. ISBN 978 – 979 – 842 –
164 – 8.
11. Rahajoe NN, Setyanto DB. Diagnosis Tuberkulosis pada Anak. Dalam : Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi pertama. Penyunting : Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyanto DB.
Badan Penerbit IDAI. Jakart 2013. 210 – 11.

CASE REPORT DEMAM TIFOID 29

Anda mungkin juga menyukai