Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

DETOKSIFIKASI OPIOID

Disusun oleh :

Gerry Sanjaya

1161050169

Dokter Pembimbing :

dr. Gerald Mario Semen, Sp.KJ (K) S.H

dr. Imelda Wijaya, Sp.KJ

dr. Herny Taruli Tambunan, M.Ked(KJ), Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
PERIODE 6 NOVEMBER - 9 DESEMBER 2017
RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT
JAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Detoksifikasi Opioid” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan stase
Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Jiwa pada Program Kepaniteraan Klinik Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen Indonesia di Rumah Sakit Ketergantungan Obat
Jakarta.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada pihak-
pihak yang sudah banyak membantu dalam proses pembuatan makalah ini yaitu:
1. dr. Gerald Mario Semen, Sp.KJ. (K), S.H. selaku dokter pembimbing yang
telah banyak memberikan waktu untuk bimbingan dan ilmu pengetahuan
selama mengikuti kepaniteraan ilmu kedokteran jiwa.
2. dr. Imelda Wijaya, Sp.KJ. selaku dokter pembimbing yang telah
menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan
selama mengikuti kepaniteraan ilmu kedokteran jiwa.
3. dr. Herny Taruli Tambunan, M.Ked.(KJ), Sp.KJ selaku dokter pembimbing
yang telah banyak memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan dalam
mengikuti kepaniteraan ilmu kedokteran jiwa.
4. Para staf, seluruh karyawan, dan perawat yang telah banyak membantu dan
banyak memberikan saran-saran yang berguna bagi penulis dalam
menjalani kepaniteraan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat
5. Orang tua, keluarga terdekat dan teman sejawat yang telah memberikan doa
dan semangatnya kepada penulis.

2
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih jauh dari sempurna serta
masih terdapat banyak kekurangan. Penulis mohon maaf sebesar-besarnya bila ada
kekurangan dan kesalahan.

Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
menambah pengetahuan pembaca.

Jakarta, November 2017

Penulis

3
Daftar Isi

1. Kata Pengantar ……………………………………………………….. 2


2. Daftar isi …………………… ………………………………………… 4
3. Bab I Pendahuluan ……………………………………………………. 5
4. Bab II Pembahasan …………………………………………………… 7
Definisi ………………………………………………………… 7
Mekanisme Kerja Opioid ……………………………………… 8
Kerja Opioid Pada Reseptor Opioid ……….………………….. 9
Klasifikasi Golongan Opioid ………………………………….. 10
Pemeriksaan Penunjsng ……..………………………………… 16
Penatalaksanaan ……………………………………………….. 16
5. Bab III Kesimpulan …………………………………………………… 26
6. Daftar pustaka ………………………………………………………... 27

4
BAB I
PENDAHULUAN

Narkotik, psikotropik, dan zat adiktif lain atau NAPZA yang pada
masyarakat umum disebut dengan narkoba didefinisikan sebagai setiap bahan kimia
atau zat yang bila masuk ke dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi tubuh secara
fisik dan psikologis. Berdasarkan UU RI No 35 / 2009 Tentang Narkotika
pasal 6 ayat (1), penggolongan narkotika terdiri dari 3 golongan, yaitu
golongan 1, golongan 2, dan golongan 3. Golongan satu merupakan jenis narkotika
yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan
tidak digunakan dalam terapi, serta merupakan golongan yang berpotensi besar
menyebabkan ketergantungan. Contohnya adalah heroin, kokain dan ganja.
Golongan dua adalah jenis narkotika yang berguna untuk pengobatan namun
sebagai pilihan terakhir dalam terapi. Contoh dari narkotika golongan dua adalah
morfin, dan fentanil. Golongan tiga merupakan golongan yang berkhasiat untuk
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi, contohnya adalah kodein dan
buprenorfin.
Narkotika adalah setiap zat yang berpengaruh terhadap susunan saraf pusat
sebagai zat psikoaktif, dan terbagi menjadi golongan opioid (morfin dan heroin),
neuroleptik (khlorpromazin dan haloperidol), stimulans (amfetamin dan kokain),
anti-ansietas (diazepam), dan anti-depresan (amitriptilin dan imipramin).
Berdasarkan klasifikasi kerjainya NAPZA dapat dibagi menjadi depresan, stimulan
dan, halusinogen. Opioid termasuk jenis depresan.
Opioid merupakan salah satu golongan NAPZA yang sangat berpotensi kuat
menyebabkan ketergantungan. Sumber opium, zat – zat dari opium yang belum
diolah, dan morfin bersumber dari bunga opium Papaver somniferum. Tanaman ini
telah digunakan selama lebih dari 6000 tahun, dan penggunaanya terdapat dalam
dokumen – dokumen kuno Mesir, Yunani, dan Romawi. Yang menarik pada opium
ialah bahwa sampai pada abad ke 18 belum ada perhatian akan kecenderungan
adiksi opium.

5
Dasar dari farmakologi modern telah diletakkan oleh Sertüner, seorang ahli
farmasi Jerman, yang mengisolasi suatu zat alkali murni yang aktif dari opium pada
tahun 1803. Hal ini peristiwa penting dimana telah dimungkinkan untuk
menstandarisasi potensi suatu produk alamiah. Setelah melakukan pengujian pada
dirinya sendiri dan beberapa kawannya, Sertüner mengajukan ”morfin” untuk
senyawa ini, yang berasal dari bahasa Yunani ; Morpheus yang berarti mimpi dari
Dewa (God of dreams).

Analgesik opioid terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan


rasa nyeri, meskipun juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang
lain. Yang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, senyawa sintetik
dengan sifat farmakologik menyerupai morfin. Obat yang mengantagonis efek
opioid disebut antagonis opioid.

Dengan masuknya pasien adiksi ke RS, evaluasi medis fisik perlu mendapat
prioritas. Disamping pemeriksaan urin drug screen (untuk mengetahui apakah
pasien menggunakan zat lain yang tidak diakuinya), pemeriksaan laboratorium
rutin (termasuk fungsi faal hati, ginjal, dan jantung), juga dilakukan foto thorak.

Terapi detoksifikasi bertujuan agar pasien memutuskan penggunaan zatnya dan


mengembalikan kemampuan kognitifnya. Tidak ada bentuk terapi lain yang harus
dilakukan sebelum kedua tujuan tersebut berhasil dicapai

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi

Opioid semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan
reseptornya. Opioid merupakan salah satu golongan NAPZA yang sangat
berpotensi kuat menyebabkan ketergantungan.2
Berdasarkan potensi farmakoterapetiknya, opiod analgesik dapat dibagi
menjadi 3 kelompok sebagai berikut 2:
a. Berpotensi tinggi dan bekerja berat, digunakan terbatas untuk menekan
nyeri yang hebat post operasi Termasuk kelompok ini adalah morfin,
petidin, dan fentanil.
b. Berpotensi sedang, bekerja lambat dan tahan lebih lama, digunakan sebagai
analgesik khusus untuk penyakit kronis yang tidak dapat disembuhkan (fase
terminal) seperti kanker.
c. Berpotensi ringan, digunakan sebagai;
1) Analgesik umum, misalnya tramadol. Obat ini dapat diganti dengan
analgesik non narkotik yang lebih aman.
2) Obat batuk, misalnya kodein.
3) Obat diare, misalnya, imodium obat ini sudah tidak dipakai lagi. Diare
non spesifik hanya memerlukan cairan oralit, sebab penyakit akan
sembuh sendiri.

2.2. Mekanisme Kerja Opioid


Reseptor opioid yang terdapat didalam susunan saraf pusat sama baiknya
dengan yang ada di sepanjang jaringan perifer. Reseptor – reseptor ini normalnya
distimulasi oleh peptida endogen (endorphins, enkephalins, dan dynorphins)
diproduksi untuk merespon rangsangan yang berbahaya. Dalam dokumen –
dokumen yunani nama – nama dari reseptor opioid berdasarkan atas bentuk dasar
agonisnya.4

7
Ada tiga jenis utama reseptor opioid yaitu mu (µ), delta (δ), kappa (κ).
Ketiga jenis reseptor termasuk pada jenis reseptor yang berpasangan dengan protein
G, dan memiliki sub tipe: mu1, mu2, delta1, delta2, kappa1, kappa2, dan kappa3.
Karena suatu opioid dapat berfungsi dengan potensi yang berbeda sebagai suatu
agonis, agonis parsial, atau antagonis pada lebih dari dari satu jenis reseptor atau
subtipe reseptor maka senyawa yang tergolong opioid dapat memiliki efek
farmakologik yang beragam.2

 Mu (µ) (agonis morphine) reseptor – reseptor Mu terutama ditemukan di


batang otak, dan thalamus medial. Reseptor – reseptor Mu bertanggung jawab
pada analgesia supraspinal, depresi pernapasan, euphoria, sedasi, mengurangi
motilitas gastrointestinal, ketergantungan fisik. Yang termasuk bagiannya ialah
Mu1 dan Mu2, yang mana Mu1 berhubungan dengan analgesia, euphoria, dan
penenang, Mu2 berhubungan dengan depresi pernapasan, pelepasan prolaktin,
ketergantungan, anoreksia, dan sedasi. Ini juga disebut sebagai OP3 atau MOR
(morphine opioid receptors).

 Kappa (κ) (agonis ketocyklazocine) reseptor – reseptor Kappa dijumpai di


daerah limbik, area diensephalon, batang otak, dan serabut saraf spinal, dan
bertanggung jawab pada analgesia spinal, sedasi, dyspnea, ketergantungan,
dysphoria, dan depresi pernapasan. Ini juga dikenal dengan nama OP2 atau
KOR (kappa opioid receptors).

 Delta (δ) (agonis delta-alanine-delta-leucine-enkephalin) reseptor – reseptor


Delta lokasinya luas di otak dan efek – efeknya belum diketahui dengan baik.
Mungkin bertanggung jawab pada psykomimetik dan efek dysphoria. Ini juga
dikenal dengan nama OP1 dan DOR (delta opioid receptors).2,5

Secara umum mekanisme dari opioid adalah sebagai berikut 5:


1. Menghambat Adenilyl cyclase
2. Pada neuron post sinaps efek opioid adalah meningkatkan pengeluaran ion K+
dan menyebabkan hiperpolarisasi post sinaps .

8
3. Pada bagian pre sinaps mengurangi uptake Ca2+ sehingga menghambat
pelepasan neurotransmiter seperti senyawa P, acetylcholine, norepinefrin,
glutamat, dan serotonin.
4. Opioid menghasilkan efek depresan dan efek stimulan yang sangat spesifik
dengan bertindak di lokasi yang berlainan di Susunan saraf pusat. Sebagai
contoh, morfin merangsang inti vagal di medula sementara menekan pusat
pernafasan.
5. Mekanisme neuron tersering adalah inhibisi .

Gambar 1. Mekanisme Kerja Opioid 5

9
2.3 KLASIFIKASI OBAT GOLONGAN OPIOID
Penggolongan opioid lain adalah opioid natural (morfin, kodein, pavaperin,
dan tebain), semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivat tebain) dan
sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil). Sedangkan
berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat
digolongkan menjadi agonis, antagonis, agonis – antagonis (campuran).2

Nama Generik Nama Produk Perkiraan Durasi Ketergantungan


(mg) dosis Analgesia Kemungkinan
(mg) (jam) Penyalahgunaan
Morphine 10 4-5 Tinggi
Hydromorphone Dilaudid 1,5 4-5 Tinggi
Oxymorphone Numorphan 1,5 3-4 Tinggi
Methadone Dolophine 10 4-6 Tinggi
Meperidine Demerol 60-100 2-4 Tinggi
Fentanyl Sublimaze 0,1 1-1,5 Tinggi
Sulfentanil Sufenta 0,02 1-1,5 Tinggi
Alfentanil Alfenta Dititrasi 0,25-0,75 Tinggi
Levorphanol Levodromoran 2-3 4-5 Tinggi
Codeine 30 – 60 3-4 Sedang
Oxycodone Percodan 4,5 3-4 Sedang
Dihydrocodeine Drocode 16 3-4 Sedang
Propoxyphene Darvon 60-120 4-5 Rendah
Pentazocine Talwin 30-502 83-4 Rendah
Nalbuphine Nubain 10 3-6 Rendah
Buprenorphine Buprenex 0,3 4-8 Rendah
Butorphanol Stadol 2 3-4 Rendah

Tabel 1. Analgesik Opioid yang Umum2

10
Yang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, derivat semisintetik
alkaloid opium dan senyawa sintetik dengan sifat farmakologik menyerupai
morfin.6
1. Morfin dan Alkaloid Opium
Opium atau candu adalah getah papaver somniverum L yang telah dikeringkan.
Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam 2 golongan, yaitu:
a) Golongan fenantren : morfin dan kodein
b) Golongan benzilisokinolin : noskapin dan papaverin.
Dari alkaloid derivat fenantren yang alamiah telah dibuat berbagai derivat
semisintetik.
Efek farmakologik masing-masing derivat secara kulaitatif sama tetapi
berbeda secara kuantitatif dengan morfin.
a. Farmakodinamik
Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan karena
morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor μ. Selain itu, morfin juga
mempunyai afinitas yang lebih lemah terhadap reseptor δ dan κ.
1) Susunan Saraf Pusat (SSP)
a) Narkosis
Efek morfin terhadap SSP adalah berupa analgesia dan narkosis.
Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euphoria pada pasien
yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, pada
orang normal seringkali menimbulkan disforia dengan gejala
perasaan kuatir atau takut, disertai dengan mual dan muntah. Dalam
lingkungan yang tenang morfin dengan dosis terapi (15-20 mg) akan
menyebabkan tidur cepat dan nyenyak disertai napas lambat dan
miosis.
b) Analgesia
Efek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi
sebagai akibat kerja opioid pada reseptor μ. Opioid menimbulkan
analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor opioid yang
terutama didapatkan di SSP dan medulla spinalis yang berperan pada

11
transmisi dan modulasi nyeri. Efek analgetik morfin dan opioid lain
sangat selektif dan tidak disertai hilangnya fungsi sensorik lain.
c) Miosis
Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor μ
dan κ menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan
pada segmen otonom inti saraf okulomotor.
d) Depresi Napas
Morfin menimbulkan depresi napas secara primer dan
bersinambungan berdasarkan efek langsung terhadap pusat napas di
batang otak.
e) Mual dan Muntah
Efek emetik morfin terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada
emetic chemoreceptor trigger zone (CTZ) di area posterma medulla
oblongata, bukan oleh stimulasi pusat emetic sendiri.
2) Saluran Cerna
Morfin berefek langsung pada saluran cerna tanpa melalui efeknya
terhadap SSP. Di lambung morfin menghambat sekresi HCl,
menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus bagian antrum
meninggi dan motilitasnya berkurang, sedangkan sfingter pylorus
berkontraksi. Akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum
diperlambat. Sedangkan di usus halus morfin mengurangi sekresi
empedu dan pancreas, dan memperlambat pencernaan makanan di usus
halus. Di usus besar morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan
propulsi usus besar, meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus
besar; akibatnya penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi lebih
keras.
3) Sistem Kardiovaskular
Pemberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan darah,
frekuensi, maupun irama denyut jantung. Perubahan yang terjadi adalah
akibat efek depresi pada pusat vagus dan pusat vasomotor yang baru
terjadi pada dosis toksik. Tekanan darah turun akibat hipoksia pada

12
stadium akhir intoksikasi morfin. Morfin dan opioid lain melepaskan
histamine yang merupakan factor penting dalam timbulnya hipotensi.
4) Metabolisme
Morfin menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot yang
menurun, vasodilatasi perifer dan penghambatan mekanisme neural di
SSP. Setelah pemberian morfin volume urin berkurang, disebabkan
merendahnya laju filtrasi glomerulus, aliran darah ginjal dan
penglepasan ADH.
b. Indikasi
1) Terhadap nyeri
Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau
menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik
non-opioid. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai:
infark miokard, neoplasma, kolik renal atau empedu, perikarditis akut,
pleuritis, pneumothoraks spontan, nyeri akibat trauma dan oklusio akut
pembuluh darah perifer, pulmonal, atau koroner.
2) Terhadap batuk
Penggunaan analgesic opioid untuk mengatasi batuk telah banyak
ditinggalkan karena, telah banyak obat-obatan lain yang efektif dan
tidak menimbulkan adiktif.
3) Edema paru akut
Morfin IV dapat dengan jelas mengurangi / menghilangkan sesak napas
akibat edema pulmonal yang menyertai gagal jantung kiri.
4) Efek antidiare
Alkaloid morfin berguna untuk menghentikan diare berdasarkan efek
langsung terhadap otot polos usus.
c. Efek Samping
1) Idiosinkrasi dan Alergi
Morfin dapat menyebabkan mual dan muntah terutama pada wanita
berdasarkan idiosinkrasinya. Bentuk idiosinkrasi adalah timbulnya

13
termor. Berdasarkan reaksi alergi dapat timbul gejala seperti urtikaria,
ektima, dermatitis kontak, pruritus dan bersin.
2) Intoksikasi Akut
Intoksikasi akut morfin atau opioid lain biasanya terjadi akibat
percobaan bunuh diri. Pasien akan tidur, sopor atau koma jika
intoksikasi cukup berat.
2. Senyawa Sintetik dengan Sifat Farmakologik menyerupai Morfin
a. Meperidin
Meperidin juga dikenal sebagai petidin. Efek farmakodinamik dan derivat
fenilpiperidin lain serupa satu dengan yang lain. Meperidin terutama bekerja
sebagai agonis reseptor μ. Efek farmakodinamik meperidipin antara lain:
1) Susunan Saraf Pusat (SSP)
Sama halnya dengan morfin, meperidin akan menyebabkan analgesia,
sedasi, euphoria, depresi napas, dan efek sentral lainnya.
a) Analgesia
Efek analagesik meperidin serupa dengan efek analgesic morfin.
b) Sedasi, euphoria, dan eksitasi
Berbeda dengan morfin, dosis toksik meperidin kadang-kadang
menimbulkan perangsangan SSP misalnya tremor, kedutan otot dan
konvulsi.
c) Saluran napas
Obat ini menurunkan kepekaan pusat napas terhadap CO2 dan
mempengaruhi pusat yang mengatur irama napas dalam pons.
Meperidin mempengaruhi terhadap penurunan volume tidal,
sedangkan frekuensi napas tidak terlalu dipengaruhi, sehingga efek
depresi napas tidak disadari.
2) Sistem Kardiovaskular
Pemberian meperidin secara IV dapat terjadi sinkop, karena terjadi
vasodilatasi perifer dan penglepasan histamine. Meperidin dapat
menaikkan kadar CO2 darah akibat depresi napas sehingga

14
menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak dan menimbulkan kenaikan
tekanan cairan serebrospinal.

3. Methadone
a. Methadone
Farmakodinamik dari methadone akan mempengaruhi:
1) Susunan Saraf Pusat (SSP)
Dalam dosis tunggal, methadone tidak menimbulkan hipnosis sekuat
morfin, tetapi setelah pemberian methadone berulang kali timbul efek
sedasi yang jelas, kemungkinan karena adanya akumulasi. Seperti
morfin, methadone berefek antitusif, menimbulkan hiperglikemi,
hipotermia, dan pelepasan ADH.
2) Sistem Kardiovaskular
Methadone menyebabkan vasodilatasi perifer sehingga dapat
menimbulkan hipotensi ortostatik.
Indikasi penggunaan methadone antara lain untuk:
1) Analgesia
Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi methadone sama dengan jenis nyeri
yang dapat dipengaruhi oleh morfin. Obat ini dapat menyebabkan
depresi napas pada janin sehingga tidak dianjurkan sebagai analgetik
dalam persalinan.
2) Antitusif
Methadone adalah antitusif yang baik, tetapi kemungkinan untuk
timbulnya adiksi lebih besar daripada kodein. Efek samping dari
methadone sendiri dapat menyebabkan perasaan ringan, pusing,
mengantuk, berkeringat, mual dan muntah.

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG6,7,8


Penampilan pasien, sikap wawancara, gejolak emosi dan lain-lain perlu
diobservasi. Petugas harus cepat tanggap apakah pasien perlu mendapatkan

15
pertolongan kegawatdarurat atau tidak, dengan memperhatikan tanda-tanda dan
gejala yang ada.
1. Analisa Urin
Bertujuan untuk mendeteksi adanya NAPZA dalam tubuh. Pengambilan urin
hendaknya tidak lebih dari 24 jam dari saat pemakaian zat terakhir. Urin
merupakan sampel yang representatif untuk pendeteksian narkoba dan
metabolitnya. Urin memiliki kadar narkoba dan metabolitnya tinggi sebaliknya
hanya dalam waktu singkat dalam darah.

Jenis obat Lamanya waktu dapat dideteksi


Kokain 2-4 hari
Kodein 2 hari
Heroin 1-2 hari
Methadone 3 hari
Morfin 2-5 hari

2.5. PENATALAKSANAAN
1. Intoksikasi akut (over dosis) 5
1. Perbaiki dan pertahankan jalan nafas sebaik mungkin
2. Oksigenasi yang adekuat
3. Naloxone injeksi, dosis awal 0,4 – 2,0 mg IV (anak-anak 0,01 mg/kgBB) Efek
naloxane terlihat dalam 1 – 3 menit dan mencapai puncaknya pada 5-10 menit.
Bila tidak ada respon naloxane 2 mg dapat diulang tiap 5 menit hingga
maksimum 10 mg. Naloxone efektif untuk memperbaiki derjat kesadaran,
depresi pernafasan, ukuran pupil. Pasien masih harus diobservasi terhadap efek
naloxone dalam 2-3 jam. Oleh karena duration of action yang pendek. Untuk
mencegah rekulensi efek opoid dapat diberikan infus naloxone 0,4 - 0,8 mg/jam
hingga gejala minimal (menghilang).

16
2. Intoksikasi kronis
a.) Hospitalisasi
Hospitalisasi dilakukan untuk pasien pasien adiksi zat, terutama ditujukan
untuk:
1. Terapi kondisi withdrawal
2. Terapi detoksifikasi
3. Terapi rumatan (maintenance)
4. Terapi komplikasi
5. Terapi aftercare
Dengan masuknya pasien adiksi ke RS, evaluasi medis fisik perlu
mendapat prioritas. Disamping pemeriksaan urine drug screen (untuk
mengetahui apakah pasien menggunakan zat lain yang tidak diakuinya),
pemeriksaan laboratorium rutin (termasuk fungsi faal hati, ginjal, dan jantung),
juga dilakukan foto thorak 9.
Terapi detoksifikasi bertujuan agar pasien memutuskan penggunaan
zatnya dan mengembalikan kemampuan kognitifnya. Tidak ada bentuk terapi
lain yang harus dilakukan sebelum kedua tujuan tersebut berhasil dicapai.
Tujuan hospitalisasi lainnya adalah membantu pasien agar dapat
mengidentifikasi konsekwensi yang diperoleh sebagai akibat penggunaan zat
dan memahami resikonya bila terjadi relaps. Dari segi mental, hospitalisasi
membatu mengendalikan suasana perasaannya seperti depressi, paranoid,
quilty feeling karena penyesalan perbuatannya dimasa lalu, destruksi diri dan
tindakkekerasan 8.
Hospitalisasi jangka pendek sangat disarankan bagi adiksi zat yang
memang harus mendapatkan perawatan karena kondisinya. Selama perawatan
jangka pendek, pasien dipersiapkan untuk mengikuti terapi rumatan. Untuk
kondisi adiksinya, pasien tidak pernah disarankan untuk perawatan jangka
panjang 5.

17
b.) Fermakoterapi
- Terapi withdrawal opioid
1. Withdrawal opioid tidak mengancam jiwa, tetapi berhubungan dengan
gangguan fisikologis dan distress fisik yang cukup berat.
2. Kebanyakan pasien dengan gejala putus obat yang ringan hanya
membutuhkan lingkungan yang mendukung mereka tanpa memerlukan
obat
3. Klonidin dapat digunakan untuk mengurangi gejala putus obat dengan
menekan perasaan gelisah, lakrimasi, rhinorrhea dan keringat berlebihan.
Dosis awal diberikan 0.1 – 0.2 mg tiap 8 jam. Kemudian dapat dinaikkan
bila diperlukan hingga 0.8 – 1.2 mg/hari, selanjutnya dapat dilakukan
tappering off setelah 10-14 hari.
4. Terapi non spesifik (simptomatik)
5. Gangguan tidur (insomnia) dapat diberikan hipnotik sedatif
6. Nyeri dapat diberikan analgetik
7. Mual dan muntah dapat diberikan golongan metoklopamide
8. Kolik dapat diberikan antispasmolitika
9. Gelisah dapat diberikan antiansietas
10. Rhinorrhea dapat diberikan golongan fenilpropanolamin

- Terapi Detoksifikasi Opioid 12


1. Cold Turkey (abrupt withdrawal)
Metode ini proses penghentian pemakaian opioid secara tiba-tiba tanpa
disertai dengan substitusi antidotum. Metode ini lebih sering dipakai pada pasien
dengan ketergantungan opioid ringan yang tidak menimbulkan gejala
withdrawal berat.

2. Detoksifikasi pada putus obat opioid menggunakkan methadone


Pedoman nasional merekomendasikan pengurangan dosis harian selama
jangka panjang. misalnya, detoksifikasi 4- 6 bulan dengan mengurangi 5 - 10
mg setiap dua minggu. Sebelum memulai detoksifikasi, penting bagi pasien

18
untuk memahami risiko overdosis yang tinggi dan hilangnya toleransi.
Methadone adalah obat pengganti yang paling banyak digunakan, meski
buprenorfin itu semakin sering digunakan untuk detoksifikasi, biasanya dari
dosis opioid yang lebih rendah.
Program detoksifikasi singkat di masyarakat yang menggunakan methadone
atau buprenofrin biasanya selesai dalam dua atau tiga minggu, namun program
detoksifikasi serupa juga dapat dilakukan pada pasien rawat inap. Dalam
persiapan untuk program putus obat karena methadone, mungkin tepat untuk
mengurangi dosis dalam prosedur detoksifikasi akhir, atau untuk mengurangi
dosis secara bertahap, tapi ini hanya boleh dilakukan dengan detoksifikasi
dalam pengawasan ketat dan bukan sebagai terapi rawat jalan.
Detoksifikasi paling baik dilakukan di masyarakat saat seseorang hanya
menggunakan jumlah opioid yang relatif sedikit misalnya, 50 mg methadone
perhari. Keputusan mengenai pengaturan pengobatan yang paling tepat harus
diinformasikan oleh kesiapan pasien untuk mengatasi gejala dibutuhkan
perawatan suportif.

3. Detoksifikasi pada withdrawal opioid menggunakkan lofexidine


Tablet lofexidin 0,2 mg mungkin bermanfaat untuk substitusi opioid jangka
pendek dan pengurangan bertahap, walaupun tidak mungkin menghilangkan
sepenuhnya gejala penarikan opioid. Bain cs (1996) menemukan bahwa pada
dosis maksimum 2,4 mg lofexidine dengan methadone dapat mengurangi
penarikan opioid.
Lofexidine dan klonidin dilisensikan untuk pengobatan withdrawal opioid,
karena memiliki efek samping hipotensi dan sedatif lebih sedikit. Baik
lofexidine dan klonidin adalah agonis alfa-adrenergik dan bertindak secara
autoreceptor alfa-2 di otak dan sumsum tulang belakang, menghambat
pelepasan neurotransmitter, noradrenalin dengan menekan aktivitas lokus
caeruleus, yang hiperaktif saat penarikan opium.
Pengalaman klinis pemberian penarikan jangka pendek bermanfaat untuk
memulai lofexidin sebagai obat pengganti pada pasien dengan kecanduan dan

19
membuat dosis setiap dua hari (misalnya 2 tablet dua kali sehari selama dua
hari kemudian 2 tablet tiga kali sehari selama dua hari, lalu 2 tablet empat kali
sehari ). Fase akhir dapat dipelihara selama 7 - 10 hari untuk menutupi periode
withdrawal setelah menghentikan methadone. periode post-detoksifikasi yang
lebih pendek dari 5 - 7 hari diperlukan untuk obat-obatan yang bersifat short-
acting seperti heroin dan dihydrocodeine.
Meskipun sangat membantu dalam mengurangi efek withdrawal opioid,
lofexidine bukanlah obat yang paling utama. Pada dosis yang lebih tinggi dari
methadone 20 - 30 mg, pengalaman klinis yang menyebabkan sindrom
abstinensi fisik akan mulai mendominasi dalam penggunannya. Pengobatan
lain untuk mengatasi gejala simptomatik seperti muntah, diare dan insomnia
mungkin diperlukan untuk periode detoksifikasi.

4. Detoksifikasi pada withdrawal opioid menggunakkan buprenorfin


Seperti halnya dengan opioid lainnya, subtitusi menggunakan buprenorfin
mungkin melalui pengurangan bertahap atau langsung berpantang dengan
bantuan program detoksifikasi. Sekali lagi, pengurangan yang berkepanjangan
sebaiknya dihindari. Biasanya telah terjadi fase stabilisasi pengobatan
buprenorfin sebelum penarikan, namun buprenorfin dapat digunakan hanya
untuk penarikan setelah transfer dari opioid lain.
Detoksifikasi dari buprenorfin biasanya dilakukan dalam jangka waktu dua
atau lima minggu sebagai pasien rawat jalan. Detoksifikasi rawat inap dari
buprenorfin biasanya tidak diperlukan kecuali ada indikasi. Pengurangan
bertahap dibutuhkan untuk beberapa individu. Karena dosis penurunan
buprenorfin, situs reseptor menjadi kosong dan sifat antagonis buprenorfin
yang menghalangi efek heroin dan opioid lainnya hilang. Sebagian besar
pengguna opioid akan menyadari hal ini. Masalah kambuh untuk penggunaan
narkotika, bersamaan dengan risiko intoksikasi akut akibat toleransi opioid
yang berkurang, harus selalu diperhatikan.
Sekarang ada bukti bahwa transfer ke buprenorfin dari berbagai dosis
methadone cukup layak dilakukan dengan perawatan simtomatik seperti

20
lofexidine pada pasien rawat inap dan memungkinkan fase penarikan akhir
yang lebih dapat diterima yang dapat diselesaikan di masyarakat.

5. Detoksifikasi dengan “rapid reduction” tanpa rawat inap


Lofexidine sangat berguna dalam program detoksifikasi, terutama bagi orang
yang ingin mengurangi dosis methadone dosis tinggi, namun yang ingin
mengurangi dosis methadhone dosis pada pasien rawat jalan. Misalnya, jika
seseorang diberi resep 150 mg methadone setiap hari, dosis lofexidine dapat
dibuat lebih dari enam atau delapan hari sampai 3 - 4 tablet (200 mikrogram
per tablet) per hari. Setelah dua hari lagi pada 3 - 4 tablet per hari, dosis
methadone turun sepertiga menjadi 100 mg methadone per hari selama tiga
hari, kemudian setelah tiga hari lagi dosisnya diturunkan lagi sepertiga sampai
65 mg methadone per hari. Dengan cara ini, dosis methadone telah dikurangi
dengan cepat hanya dengan separuh dari dosis asli tanpa memerlukan
perawatan rawat inap. Banyak pengguna opioid sangat terdorong oleh hal ini.
dan tanyakan apakah mereka dapat segera melanjutkan pengurangan lebih
lanjut. Namun, peneliti menemukan bahwa metode ini secara klinis tidak
membantu. biasanya lebih baik mempertahankan dosis methadone (misalnya
tiga bulan) untuk mengulang prosedur, mengurangi lagi sepertiga pada setiap
pengurangan. Jadi, pada contoh yang pada tiga bulan, setelah pengurangan pada
pemberian kedua, dosis harian akan turun sampai dengan 30 mg methadone.
Jadwal reduksi dua minggu lofexidine yang sesuai untuk diterapkan
menurut penelitian adalah sebagai berikut:
1. Dosis awal lofexidine (200 mikrogram / tablet) sampai 3 tablet diberikan
empat kali sehari dan pertahankan pada tingkat ini.
2. Setelah tiga hari mengurangi methadone dosis satu per tiga (misalnya 150
mg sampai 100 mg)
3. Setelah tiga hari berikutnya mengurangi dosis methadone dengan sepertiga
lainnya (misalnya 100 mg sampai 65 mg)
4. Setelah tiga hari mengurangi dosis lofexidine perlahan selama enam hari
memonitor tekanan darah dan denyut nadi

21
Pertahankan methadone pada tingkat ini (misalnya 65 mg) Pengalaman
klinis menunjukkan bahwa banyak pengguna opioid siap melakukan
pengurangan cepat lebih lanjut setelah tiga bulan.
Cara di atas tidak hanya berguna bila individu ingin mengurangi dengan
cepat dari dosis tinggi methadone. Hal ini juga membantu ketika seseorang
telah kambuh dengan penggunaan obat terlarang selain resep yang sudah ada
sebelumnya. Alih-alih meningkatkan dosis methadone, cara di atas
menawarkan pilihan lain dimana penggunaan ini dapat dihentikan

6. Detoksifikasi “ultra rapid reduction”13


Metode ini bertujuan untuk mempersingkat proses detoksifikasi ke periode
6-8 jam setelah pemberian antagonis opioid dengan anestesi umum, untuk
menumpulkan kesadaran akan ketidaknyamanan fisik secara mendalam sedasi
atau anestesi, untuk mempersingkat jeda waktu antara dosis terakhir pasien
opioid dan transfer (induksi) ke perawatan naltrexone.
Metode ini dapat digunakan secara intravena seperti adanya lebih selektif,
memiliki durasi tindakan lebih pendek dan lebih mudah dititrasi. Obat
antiemetik (droperidol atau ondansetron) diberikan secara bersamaan.
Menggunakan buprenorfin selama 1 minggu sebelum detoksifikasi “ultra
rapid” dipercaya dapat mengurangi intensitasnya dari sindrom withdrawal.
Dalam menggunakkan metode ini, penting untuk memperhatikan EEG dengan
tujuan untuk mengatur kedalaman anestesi dengan keuntungan mampu
mengurangi dosis total propofol, waktu untuk pemulihan dari anestesi dan
gejala withdrawal.
Metode ini menggunakkan metode perawatan yang intensif dan kepatuhan
yang tinggi, dkarenakan metode yang singkat dan berkala, metode ini cocok
dipakai ada pasien dengan keterbatasan waktu. Namun, metode ini memikili
kontraindikasi, contohnya pada kehamilan, riwayat penyakit jantung.
kerusakan ginjal kronis, penyakit hati dekompensasi, ketergantungan saat ini
pada benzodiazepin, alkohol atau stimulant, riwayat penyakit psikotik. Dengan
kata lain, pasien harus dalam keadaan stabil

22
Anestesi diinduksi dengan propofol atau thiopentone. Succinylcholine
atau mivacurium adalah digunakan sebagai relaksan otot. Pemeliharaan
dilakukan dengan infus yang mengandung kombinasi midazolam dan propofol.
Dosis uji opioid antagonis diikuti oleh infus naltrexone dalam larutan
normosalin melalui orogastrik Tabung ke dalam perut. Karena volume bergeser
ke usus diharapkan setelah pemberian antagonis opiat, Jumlah ringer laktat
liberal diinfuskan untuk menjaga keseimbangan cairan tubuh. Setelah itu,
pasien dimonitor untuk tanda-tanda withdrawal. Tanda utama “intolerance” di
bawah anestesi adalah piloerection sebagai tanda lainnya ditutupi oleh
penggunaan alpha-2 agonis anestesi dipertahankan sampai pasien merespons
negatif terhadap dosis antagonis opioid. Ini biasanya setelah 6-8 jam terapi
tetapi mungkin lebih lama jika menggunakkan methadone.

7. Detoksifikasi dengan opioid reseptor blockade dan naltrexone12


Penggunaan naltrexone tidak menimbulkan toleransi atau ketergantungan.
Dikarenakan naltrexone adalah obat yang sangat membantu bagi pengguna
ketergantungan opioid yang telah bertahun-tahun. Obat ini bekerja dengan
menghalangi reseptor opioid sehingga jika ada obat opioid lain yang diminum,
hal itu tidak berpengaruh. Perhatian harus diberikan untuk memastikan bahwa
opioid lain benar-benar keluar dari sistem, jika tidak, ini akan menyebabkan
penarikan opioid yang sangat tidak cepat. Ini berarti benar-benar bebas dari
opioid short-acting seperti heroin atau kodein selama tujuh hari, dan atau idak
mengkonsumsi methadone setidaknya selama sepuluh hari. Transfer dari
buprenorfin memiliki kelebihan pencapaian setelah tiga hari karena sifat agonis
parsialnya. Efek samping sesekali terjadi sebagai gejala sementara pada tahap
awal pengobatan. Mereka umumnya ringan, seperti mual, diare dan muntah,
sakit kepala, ruam pada kulit, disforia, depresi dan kehilangan energi. Bagi
pengguna narkotika lainnya penggunaan naltrexone sedang dipertimbangkan,
penilaian risiko dan manfaat yang harus dilakukan harus dilakukan. Asesmen
ini harus mencakup tes fungsi hati (liver function test / LFT) dan hitung darah
lengkap sebelum memulai obat dan satu minggu dan satu bulan sesudahnya.

23
Pengobatan naltrexone dapat dimulai 6- 7 hari setelah berhenti dari
methadone dan tiga hari setelah berhenti dari heroin atau buprenorfin. Setelah
konfirmasi status bebas opioid dengan tes urine dan pemeriksaan hati, dosis uji
awal toleransi blokade opioid dilakukan dengan naloksi antagonis short-acting
dengan suntikan. Tantangan dosis ini menghindari kemungkinan masalah
pemberian obat oral long-acting kepada seseorang yang tidak dapat
mengeluarkan efek antagonis. Dosis awal setengah naltrexon tablet 50 mg
(25,3 mg) untuk mempercepat proses ekskresi obat dan dilanjutkan setiap hari
selama satu minggu. Setelah itu, satu tablet 50 mg biasanya diminum setiap
hari. Namun dimungkinkan untuk mengambil jadwal dua tablet setiap dua hari.
Bagi banyak pengguna narkoba sebaiknya terus meresepkan naltrexone selama
enam bulan, atau lebih lama lagi dalam beberapa kasus. Pasien harus diberi
peringatan bahwa opioid lain tidak akan efektif. Masalah ketidakpatuhan
pasien dapat dibantu oleh dukungan keluarga yang berkelanjutan untuk
mengawasi kelanjutan penggunaannya.
Penting untuk mempertimbangkan efek samping pada setiap pasien
terhadap keamanan dan viabilitas detoksifikasi yang dipercepat (Rumball &
Williams, 1997). Penelitian menunjukkan bahwa detoksifikasi akselerasi
menggunakan naltrexone dan lofexidine tanpa tindakan tambahan dapat
mengurangi tingkat keparahan dan durasi gejala penarikan opioid secara
keseluruhan dibandingkan dengan pengobatan lefoxidine standar. (Buntwal et
al 2000) dan dibandingkan dengan pengurangan methadone (Bearn et al 1998)
Metode ini memberi keuntungan bagi pasien yang mengalami withdrawal lama
dan atau yang memiliki waktu terbatas untuk memungkinkan detoksifikasi,
misalnya jika bekerja. Kelemahannya meliputi biaya perawatan rawat inap, dan
ada tingkat kelanjutan pelepasan naltrexone meski tingkat detoksifikasinya
tinggi. Maka cara yang dipakai bisa digantikan dengan metode buprenorfin

24
- Terapi rumatan (maintenance) adiksi opioid
Methadone merupakan standar terapi rumatan adiksi opioid. Methadone
diberikan setiap hari. Pemberian methadone sangat membantu menekan prilaku
kriminal. Untuk terapi maintenance, dosis methadone dapat ditingkatkan
(biasanya 40-100 mg/hari). Untuk menjaga pasien tetap menyenangkan dan
diturunkan secara perlahan-lahan.5
Buprenorfin diberikan setiap hari. Pemberian buprenorfin harus diberikan
pada pasien yang sudah bebas dari opioid setidaknya 36 jam setelahnya. Untuk
pengguna heroin dianjurkan pemberian buprenorfin dilakukan seteah 12 – 24
jam dari terakhir kali pemakaian dan 36 – 72 jam dari terakhir kali pemakian
methadone. Pemberian buprenofrin diberikan bervariasi mulai dari 2 mg.
Untuk pemberian diatas 16 mg dianjurkan diberikan bersamaan dengan obat
antidotum.12

- Terapi after care


Meliputi upaya pemantafan dalam bidang fisik, mental, keagamaan,
komunikasi interaksi sosial,edukasional, bertujuan untuk mencapai kondisi
prilaku yang lebih baik dan fungsi yang lebih baik dari seorang mantan
penyalahgunaan zat. Peranan keluarga pada saat ini sangat diperlukan.5

25
BAB III
KESIMPULAN

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Opioid semua zat baik sintetik atau
natural yang dapat berikatan dengan reseptornya. Opioid merupakan salah satu
golongan NARKOTIKA yang sangat berpotensi kuat menyebabkan
ketergantungan.
Hospitalisasi dilakukan untuk pasien pasien adiksi zat, terutama ditujukan
untuk terapi kondisi withdrawal, terapi detoksifikasi, terapi rumatan
(maintenance), terapi komplikasi dan terapi aftercare. Terapi detoksifikasi
bertujuan agar pasien memutuskan penggunaan zatnya dan mengembalikan
kemampuan kognitifnya. Tidak ada bentuk terapi lain yang harus dilakukan
sebelum kedua tujuan tersebut berhasil dicapai. Dengan menggunakkan enam
metode detoksifikasi, terapis bisa memilih dengan melihat efisensi dan efektivitas
masing-masing detoksifikasi.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI, Undang-Undang Republik Indonesia No. 22


tahun 1997 tentang Narkotika, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
2. Girdlestone D, Cox BM, Chavkin C, Christie MJ, Civelli O, Evans C, et al.
"Opioid receptors”. The IUPHAR Compendium of Receptor
Characterization and Classificatio, Second Edition. London: IUPHAR
Media; 2000; 321–333.
3. Betram G. Katzung. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 1999.
4. Goodman G dan Gilman. Pharmacological Basis of Therapeutics. Singapore:
McGraw-Hill; 1992.
5. Sulistia G. Ganiswarna. Farmakologi dan Terapi ed 4. Jakarta: FK UI; 1995
6. Elvira, Sylvia E. dkk. Buku Ajar Psikiatri. 2010. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran UI. Jakarta.
7. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ –III.2013. PT Nuh Jaya. Jakarta
8. Sadock BJ, Sadock VA. 2013. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis.
Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
9. Iskandar Japardi. Efek Neurologis Pada Penggunaan Heroin (Putauw).
Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara.[Serial
Online] [Cited 2017 November]
10. Tania M. R , GregoryW. H, Geoff St, Marc S. Intranasal Naloxone Is A
Viable Alternative To Intravenous Naloxone For Prehospital Narcotic
Overdose. Prehospital Emergency Care. 2009;13:512–515.
11. Andrea M. Trescot, Sukdeb Datta, Marion Lee, and Hans Hansen. Opioid
Pharmacology. Pain Physician. 2008; 11:S133-S153.
12. Waller Tom. Dkk. Treating Drinkers and Drug User in the Community.
2004. UK. Blackwell Publishing
13. Singh J, Basu D. Ultra-rapid opioid detoxification: Current status and Ultra-
rapid opioid detoxification: Current status and controversies controversies.
2004. India. Journal of Medicine.

27

Anda mungkin juga menyukai