Anda di halaman 1dari 18

TUGAS

HUBUNGAN PEMBERIAN BENZODIAZEPIN DAN ANTIPSIKOTIK


Oleh :
Hayatun Nufus, S.Ked 1830912320117

Patimah, S.Ked 1830912320116

Rosela Elmita, S. Ked 1830912320076

Pembimbing

dr. Noorsifa,M.Sc, Sp.KJ

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
RSJ SAMBANG LIHUM BANJARMASIN
JULI, 2019
2

A. BENZODIAZEPINE
a. Pengertian dan Sejarah
Benzodiazepin adalah sekelompok obat golongan psikotropika yang
mempunyai efek antiansietas atau dikenal sebagai minor tranquilizer, dan
psikoleptika. Benzodiazepin memiliki lima efek farmakologi sekaligus, yaitu
anxiolisis, sedasi, anti konvulsi, relaksasi otot melalui medula spinalis, dan amnesia
retrograde.1
Benzodiazepin dikembangkan pertama kali pada akhir tahun 1940-an dengan
derivat pertama kali yang dipasarkan adalah klordiazepoksid (semula dinamakan
methaminodiazepokside) pada tahun 1960, kemudian dilakukan biotransformasi
menjadi diazepam (1963), nitrazepam (1965), oksazepam (1966), medazepam
(1971), lorazepam (1972), klorazepat (1973), flurazepam (1974), temazepam
(1977), triazolam dan clobazam (1979), ketazolam (1980), lormetazepam (1981),
flunirazepam, bromazepam, prazepam (1982), dan alprazolam (1983).1
Golongan Benzodiazepin menggantikan penggunaan golongan Barbiturat
yang mulai ditinggalkan, Keunggulan benzodiazepine dari barbiturate yaitu
rendahnya tingkat toleransi obat, potensi penyalahgunaan yang rendah, margin
dosis aman yang lebar, dan tidak menginduksi enzim mikrosom di hati.
Benzodiazepin telah banyak digunakan sebagai pengganti barbiturat sebagai
premedikasi dan menimbulkan sedasi pada pasien dalam monitorng anestesi.2
b. Penggolongan Benzodiazepin
Berdasarkan kecepatan metabolismenya dapat dibedakan menjadi 3
kelompok yaitu short acting, long acting, ultra short acting.2
1) Long acting.
Obat-obat ini dirombak dengan jalan demetilasi dan hidroksilasi menjadi
metabolit aktif (sehingga memperpanjang waktu kerja) yang kemudian dirombak
kembali menjadi oksazepam yang dikonjugasi menjadi glukoronida tak aktif.
2) Short acting
Obat-obat ini dimetabolisme tanpa menghasilkan zat aktif. Sehingga waktu
kerjanya tidak diperpanjang. Obat-obat ini jarang menghasilkan efek sisa karena
tidak terakumulasi pada penggunaan berulang.
3

3) Ultra short acting


Lama kerjanya sangat kurang dari short acting. Hanya kurang dari 5,5 jam.
Efek abstinensia lebih besar terjadi pada obat-obatan jenis ini. Selain sisa metabolit
aktif menentukan untuk perpanjangan waktu kerja, afinitas terhadap reseptor juga
sangant menentukan lamanya efek yang terjadi saat penggunaan
c. Rumus Kimia Benzodiazepin
Benzodiazepin adalah obat hipnotik-sedatif terpenting. Semua struktur yang
ada pada benzodiazepine menunjukkan 1,4-benzodiazepin. Kebanyakan
mengandung gugusan karboksamid dalam dalam struktur cincin heterosiklik
beranggota 7. Substituen pada posisi 7 ini sangat penting dalam aktivitas hipnotik-
sedatif.3
d. Mekanisme Kerja Golongan Benzodiazepin
Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi gamma-
aminobutyric acid (GABA) sebagai neurotransmitter penghambat di otak.
Benzodiazepine tidak mengaktifkan reseptor GABA A melainkan meningkatkan
kepekaan reseptor GABA A terhadap neurotransmitter penghambat sehingga kanal
klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi sinaptik membran sel dan mendorong
post sinaptik membran sel tidak dapat dieksitasi. BDZs tidak menggantikan GABA,
yang mengikat pada alpha sub-unit, tetapi meningkatkan frekuensi pembukaan
saluran yang mengarah ke peningkatan konduktansi ion klorida dan penghambatan
potensial aksi. Hal ini menghasilkan efek anxiolisis, sedasi, amnesia retrograde,
potensiasi alkohol, antikonvulsi dan relaksasi otot skeletal.2,3
Farmakodinamik
Hampir semua efek benzodiazepine merupakan hasil kerja golongan ini pada
SSP dengan efek utama : sedasi, hypnosis, pengurangan terhadap rangsangan
emosi/ansietas, relaksasi otot, dan anti konvulsi. Hanya dua efek saja yang
merupakan kerja golongan ini pada jaringan perifer : vasodilatasi koroner (setelah
pemberian dosis terapi golongan benzodiazepine tertentu secara iv), dan blokade
neuromuskular (yang hanya terjadi pada pemberian dosis tinggi).3
4

Farmakokinetik
Sifat fisikokimia dan farmakokinetik benzodiazepine sangat mempengaruhi
penggunaannya dalam klinik karena menentukan lama kerjanya. Semua
benzodiazepine dalam bentuk nonionic memiliki koefesien distribusi lemak : air
yang tinggi; namun sifat lipofiliknya daoat bervariasi lebih dari 50 kali, bergantung
kepada polaritas dan elektronegativitas berbagai senyawa benzodiazepine. 3
Semua benzodiazepin pada dasarnya diabsorpsi sempurna, kecuali
klorazepat; obat ini cepat mengalami dekarboksilasi dalam cairan lambung menjadi
N-desmetil-diazepam (nordazepam), yang kemudian diabsorpsi sempurna. Setelah
pemberian per oral, kadar puncak benzodiazepin plasma dapat dicapai dalam waktu
0,5-8 jam. Kecuali lorazepam, absorbsi benzodiazepin melalui suntikan IM tidak
tratur. 3
Secara umum penggunaan terapi benzodiazepine bergantung kepada waktu
paruhnya, dan tidak selalu sesuia dengan indikasi yang dipasarkan. Benzodiazepin
yang bermanfaat sebagai antikonvulsi harus memiliki waktu paruh yang panjang,
dan dibutuhkan cepat masuk ke dalam otak agar dapat mengatasi status epilepsi
secara cepat. Benzodiazepin dengan waktu paruh yang pendek diperlukan sebagai
hipnotik, walaupun memiliki kelemahan yaitu peningkatan penyalahgunaan dan
dan berat gejala putus obat setelah penggunaannya secara kronik. Sebagai ansietas,
benzodiazepine harus memiliki waktu paruh yang panjang, meskipun disertai risiko
neuropsikologik disebabkan akumulasi obat.2,4
e. Penggunaan Medis
1) Gangguan Kecemasan

Banyak penelitian telah menunjukkan penggunaan efektif dari benzodiazepin


dalam pengobatan gangguan kecemasan umum dan gangguan kecemasan terkait
lainnya. Studi-studi ini juga menunjukkan bahwa obat golongan benzodiazepin
lebih unggul daripada obat lain, seperti barbiturat dan agen antipsikotik, yang telah
digunakan pada masa lalu untuk mengobati gangguan ini. Alprazolam, bila
diberikan dalam dosis yang tepat, dapat menjadi obat yang efektif untuk gangguan
panic.5
5

2) Gangguan Kejang

Benzodiazepin dapat digunakan untuk perawatan dan pengobatan kejang


(antikonvulsan konvensional). Diazepam sering diberikan untuk pengobatan
darurat pada pasien kejang dan dapat mengurangi angka kematian yang
berhubungan dengan kejang epilepsi.5
3) Gangguan Tidur

Benzodiazepin juga digunakan dalam pengobatan insomnia dan teror malam hari.
Obat golongan benzodiazepin dapat membantu pasien memulai dan
mempertahankan tidur. Obat-obat tersebut juga kadang-kadang digunakan untuk
mengurangi gangguan tidur malam sebelum operasi.5
4) Gangguan Suasana Hati

Benzodiazepin telah digunakan dalam pengobatan depresi ringan atau sedang,


seperti kasus-kasus yang terlihat pada orang rawat jalan. Untuk pengobatan depresi
lanjut atau parah, antidepresan yang lebih konvensional diperlukan.5
5) Intoksikasi dan penarikan dari alkohol dan zat lainnya

Benzodiazepin efektif dalam pengobatan kecanduan alkohol dan zat-zat lain yang
memiliki komplikasi kecanduan seperti delirium, kejang, dan hiperpireksia. Mereka
juga efektif dalam mengurangi kecemasan yang umum pada pasien yang mencoba
untuk berhenti menggunakan alkohol atau zat lain.5

f. Toleransi
Benzodiazepin berhubungan dengan reseptor GABA. Golongan
benzodiazepin bertindak untuk meningkatkan efek penghambatan GABA pada
sistem saraf dengan mengubah reseptor yang mengikat GABA. Dalam suatu teori
dikatakan bahwa toleransi penggunaan jangka panjang benzodiazepin
menyebabkan penurunan efektivitas dalam reseptor GABA, yang menyebabkan
sistem saraf menjadi peka terhadap GABA. Teori lain mengatakan bahwa golongan
benzodiazepin menyebabkan sensitisasi reseptor glutamat. Sensitisasi ini dapat
menyebabkan sistem saraf menjadi peka terhadap NMDA(N-Methyl- D-aspartate)
6

dan reseptor lainnya. Perubahan reseptor yang disebabkan oleh benzodiazepin


membutuhkan jangka waktu lama untuk kembali ke normal. Ketergantungan
benzodiazepin juga mungkin karena sensitivitas tidak tetap dari reseptor GABAa
ke berbagai neurotransmitter. Titik dimana obat dapat mengikat tetapi tidak efektif
tampaknya bergeser dengan penggunaan jangka panjang. Dalam penelitian pada
hewan, ditemukan bahwa penggunaan benzodiazepin kronis menghasilkan
pergeseran karakteristik titik toleransi dan mengambarkan gejala kecanduan klasik
seperti kecemasan dan kejang ketika pengobatan dihentikan. Perubahan sensitivitas
mungkin karena substitusi dari satu subunit protein yang lain.6
Dalam studi yang dilakukan pada tikus, tikus yang diberikan tingkat kronis
benzodiazepin menunjukkan menurunnya tingkat subunit umum dan peningkatan
proporsi subunit langka. Ketika dosis benzodiazepine dihentikan, tikus mengalami
gejala kecanduan. Toleransi terhadap benzodiazepin berbeda untuk orang yang
berbeda. Toleransi terhadap efek hipnotik tampaknya terjadi dengan cepat. Hal ini
dapat terjadi dalam beberapa hari atau minggu pemakaian rutin. Individu yang
menggunakan benzodiazepin untuk pengobatan insomnia pertama kali memberikan
efek yang maksimal, namun efektivitasnya secara bertahap menurun. Toleransi
terhadap benzodiazepin diambil untuk gejala terkait gangguan kecemasan
cenderung berkembang lebih lambat (beberapa bulan) dibandingkan toleransi untuk
efek hipnotis. Karena efektivitas mereda, dosis umumnya meningkat dari waktu ke
waktu untuk mempertahankan efek anti-kecemasan. Hal tersebut meningkatkan
toleransi dan ketergantungan untuk benzodiazepin, dan individu mungkin memiliki
waktu yang sulit untuk menghentikan konsumsi obat.6

B. OBAT ANTIPSIKOTIK
a. Pengertian Obat Antipsikotik
Obat antipsikotik adalah sekelompok bermacam-macam obat yang
menghambat reseptor dopamine tipe 2 (D2). Indikasi utama untuk pemakaian obat
adalah terapi skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya. 7
Antipsikotik dan antagonis reseptor dopamine tidak sepenuhnya sama.
Clozapine adalah suatu antipsikotik yang efektif tetapi berbeda dengan semua obat
7

karena memiliki aktivitas pada reseptor D2 yang kecil. Obat-obat ini dinamakan
sebagai neuroleptik dan transkuiliser mayor. Istilah neuroleptik menekankan efek
neurologis dan motorik dari sebagian besar obat. 7
b. Jenis-Jenis Antipsikotik 7
No Nama obat
1 Antipsikotik tipikal :
- Phenothiazine
 Rantai aliphatic : chlorpromazine
 Rantai piperazine : perphenazine, trifluoperazine,
fluphenazine
 Rantai piperidine : thioridazine
- Butyrophenone : Haloperidol
- Diphenyl-butyl-piperidine : pimozide
2 Antipsikotik atipikal :
- Benzamide : sulpiride
- Dibenzodiazepin : clozapine, olanzapine, quetiapine, zotepine
- Benzisoxazole : risperidon, aripiprazole

Antipsikotik Generasi Pertama (Apg I)


Obat antipsikotik yang ada di pasaran saat ini, dapat di kelompokkan dalam
dua kelompok besar yaitu antipsikotik generasi pertama (APG I) dan antipsikotik
generasi kedua (APG II). Antipsikotik generasi pertama mempunyai cara kerja
dengan memblok reseptor D2 khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh
karena itu sering disebut juga dengan Antagonist Reseptor Dopamin (ARD) atau
antipsikotik konvensional atau tipikal.Dapat menurunkan gejala positif hingga 60-
70% dan hanya sedikit berpengaruh pada gejala negative.8,9
Mekanisme kerja : Mekanisme kerja obat antipsikotik tipikal adalah
memblokade dopamin pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak khusunya di
sistem limbik dan sistem ekstrapirimidal (dopamin D2 receptor antagonists),
sehingga efektif untuk gejala positif.
8

Dopamin merupakan neurotransmitter yang disekresikan oleh neuron-


neuron yang berasal dari substansia nigra di batang otak. Neuron-neuron ini
terutama berakhir pada region striata ganglia basalis. Pengaruh dopamin biasanya
bersifat inhibisi. Pada skizofrenia diduga terjadi produksi dopamin yang berlebihan
akibat sekresi dari sekelompok neuron proyeksi dopamine. Neuron-neuron ini
menghasilkan system dopaminergik mesolimbik yang menjulurkan serabut-serabut
saraf dan sekresi dopamine ke bagian medial dan anterior dari sistem limbik,
khususnya ke dalam hipokampus, amigdala, nukleus kaudatus anterior dan sebagian
lobus prefrontalis. Semua ini merupakan pusat-pusat pengatur tingkah laku yang
sangat berpengaruh. Dengan menggunakan antipsikotik tipikal dianggap mampu
mengurangi efek produksi dopamin yang berlebihan. Potensi antipsikotik untuk
menurunkan gejala psikotik sangat berhubungan dengan afinitas obat tersebut
dengan reseptor D2. Antipsikotik tipikal bekerja mengurangi produksi dopamine
yang berlebihan dengan cara menghambat atau mencegah dopamine endogen untuk
mengaktivasi reseptor.8,9
Antipsikotik tipikal mempunyai cara kerja dengan memblok reseptor D2
khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering disebut juga
dengan antagonis reseptor dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional. Kerja
dari antipsikotik ini menurunkan hiperaktivitas dopamine dijalur mesolimbik
sehingga menyebabkan gejala positif menurun tetapi ternyata tidak hanya memblok
reseptor D2 di mesolimbik tetapi juga di tempat lain seperti dijalur mesokortikal,
nigrostriatal, dan tuberoinfundibular.8,10
Apabila antipsikotik tipikal memblok reseptor D2 dijalur mesokortikal,
dapat memperberat gejala negatif dan gejala kognitif disebabkan penurunan
dopamin di jalur tersebut. Jika hal ini terjadi, maka merupakan sebuah tantangan
terapi, karena blokade reseptor dopamin di jalur ini secara teoritis akan
menyebabkan memburuknya gejala negatif dan kognitif.8,10
Blokade reseptor D2 di nigrostriatal dapat menyebabkan timbulnya
gangguan dalam mobilitas seperti pada parkinson, bila pemakaian secara kronik
dapat menyebabkan gangguan pergerakan hiperkinetik (tardive dyskinesia). Jalur
9

nigrostriatal dopamin, sebagai bagian dari sistem saraf ekstrapiramidal, mengontrol


movements atau pergerakan.10, 11
Kerugian pemberian APG I:
1. Mudah terjadi EPS dan tardive dyskinesia
2. Memperburuk gejala negatif dan kognitif
3. Peningkatan kadar prolaktin
4. Sering menyebabkan terjadinya kekambuhan

Antipsikotik Generasi Kedua (Apg Ii)


APG II sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamin Antagosis (SDA) atau
antipsikotik atipikal. APG II mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi antara
serotonin dan dopamin pada ke 4 jalur dopamin di otak. Hal ini yang menyebabkan
efek samping EPS lebih rendah dan sanagat efektif untuk mengatasi gejala negatif.
Perbedaan antara APG I dan APG II adalah APG I hanya dapat memblok reseptor
D2 sedangkan APG II memblok secara bersamaan reseptor serotonin (5HT2A) dan
reseptor dopamin (D2). APG yang dikenal saat ini adalah clozapine, risperidone,
olanzapine, quetiapine, zotepine, ziprasidone, aripiprazole. Saat ini antipsikotik
ziprasidone belum tersedia di Indonesia. 1
1. Mesokortikal Pathways
Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyababkan berkurangnya blokade
terhadap antagonis D2 tetapi juga menyebabkan terjadinya aktivitas dopamin
pathways sehingga terjadi keseimbangan antara keseimbangan antara serotonin dan
dopamin. APG II lebih berpengaruh banyak dalam memblok reseptor 5HT2A
dengan demikian meningkatkan pelepasan dopamin dan dopamin yand dilepas
menang dari pada yang dihambat di jalur mesokortikal. Hal ini menyebabkan
berkurangnya gejala negatif maka tidak terjadi lagi penurunan dopamin di jalur
mesokortikal dan gejala negatif yang ada dapat diperbaiki.
APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan
APG I karena di jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak dari
reseptor D2, dan APG II lebih banyak berkaitan dan memblok reseptor 5HT2A dan
sedikti memblok reseptor D2 akibatnya dopamin yang di lepas jumlahnya lebih
10

banyak, karena itu defisit dopamin di jalur mesokrtikal berkurang sehingga


menyebabkan perbaikan gejala negatif skizofrenia.10,12
2. Mesolimbik Pathways
APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan
antagonis D2 di jalur tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat mempengaruhi
blokade reseptor D2 di mesolimbik, sehingga blokade reseptor D2 menang. Hal ini
yang menyababkan APG II dapat memperbaiki gejala positif skizofrenia. Pada
keadaan normal serotonin akan menghambat pelepasan dari dopamin.12
3. Tuberoinfundibular Pathways
APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT2A dapat
mengalahkan antagonis reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter serotonin
dan dopamin sifatnya antagonis dan resiprokal dalam kontrol sekresi prolaktin dari
hipofise. Dopamin akan menghambat pengelepasan prolaktin, sedangkan serotonin
menigkatkan pelepasan prolaktin. Pemberian APG II dalam dosis terapi akan
menghambat reseptor 5HT2A sehingga menyebabkan pelepasan dopamin menigkat.
Ini mengakibatkan pelepasan prolaktin menurun sehingga tidak terjadi
hiperprolaktinemia.12
4. Nigrostriatal Pathways

APG II dalam klinis praktis, memiliki empat keuntungan, yaitu:


1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya
pada dosis terapi sangat jarang terjadi EPS.
2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan tidak
memperburuk gejala negatif seperti yang terjadi pada pemberian APG II.
3. APG II menurunkan gejalan afektif dari skizofrenia dan sering digunakan
untuk pengobatan depresi dan gangguan bipolar yang resisten.
4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit
Alzheimer.12

Antipsikotik generasi kedua yang digunakan sebagai:


First line: Risperidone, Olanzapine, Quetiapine, Ziprasidone, Aripiprazole
Second line: Clozapine.
11

Keuntungan yang didapatkan dari pemakaian APG II selain efek samping


yang minimal juga dapat memperbaiki gejala negatif, kognitif dan mood sehingga
mengurangi ketidaknyamanan dan ketidakpatuhan pasien akibat pemakian obat
antipsikotik.
Pemakaian APG II dapat meningkatkan angka remisi dan menigkatkan
kualitas hidup penderita skizofrenia karena dapat mengembalikan fungsinya dalam
masyarakat.7 Sebagian besar antipsikotik generasi kedua menyebabkan efek
samping berupa kenaikan berat badan dan metabolisme lemak. Klozapin
merupakan antipsikotik generasi kedua yang efektif dan tidak menimbulkan efek
samping ekstrapiramidal.7
c. Sediaan obat antipsikotik 7
No Nama obat Sediaan Dosis anjuran
1 Chlorpromazine Tab 25-100 mg 150-600mg/h
Amp 50mg/2cc 50-100 mg(im) setiap 4-6
jam
Anak anak >5 tahun ½ dosis
orang dewasa, anak anak < 5
tahun 1 mg/kgBB . bila perlu
diberikan 2x sehari.

2 Haloperidol Tab 0,5-1,5 mg- 5 mg 5-15 mg/h


Amp 5mg/cc 5-10mg(im) setiap 4-6 jam
Amp 50mg/cc 50 mg (im) setiap 2-4
minggu
3 Perphenazine Tab 2-4-8 mg 12-24 mg/h
4 Fluphenazine Tab 2,5-5 mg 10-15 mg/h
Vial 25 mg/cc 25 mg(im) setiap 2-4 minggu
5 Trifluoperazine Tab 1-5 mg 10-15 mg/h
6 Thioridazine Tab 50-100 mg 150-300 mg/h
7 Sulpiride Amp 100mg/2cc 3-6 amp/h
12

Tab 200 mg 300-600mg/h


8 Pimozide Tab 4 mg 2-4 mg/h
9 Risperidone Tab 1-2-3 mg 2-6 mg/h
Vial 25 mg/cc 25-50 mg(im) setiap 2
Vial 50 mg/cc minggu
10 Clozapine Tab 25-100 mg 25-100mg/h
11 Quetiapine Tab 25-100 mg 50-400 mg
200 mg
12 Olanzapine Tab 5-10mg 10-20 mg/h
13 Zotepine Tab 25-50 mg 75-100 mg/h
14 Aripiprazole Tab 10-15 mg 10-15 g/h

d. Cara Pemilihan Obat


Pada dasarnya semua obat anti-psikosis mempunyai efek primer (efek klinis)
yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek sekunder (efek
samping ; sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). 7

Anti-psikosis Mg. Dosis (Mg/h) Sedasi Otonomik Eks.Pir.


Eq
Chlopromazine 100 150 - 1600 +++ +++ ++
Thioridazine 100 100 - 900 +++ +++ +
Perphenazine 8 8 - 48 + + +++
Trifluoperazine 5 5 - 60 + + +++
Fluphenazine 5 5 - 60 ++ + +++
Haloperidol 2 2 - 100 + + ++++
Pimozide 2 2 - 6 + + ++
Clozapine 25 25 - 200 ++++ + -
Zotepine 50 75 - 100 + + +
Sulpiride 200 200 - 1600 + + +
13

Risperidone 2 2 - 9 + + +
Quetiapine 100 50 - 400 + + +
Olanzapine 10 10 - 20 + + +
Aripiprazole 10 10 - 20 + + +

 Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang


dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis
ekivalen.7
 Apabila obat anti-psikosis tidak memberikan respons klinis dalam dosis
yang sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti
dengan obat anti-psikosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama),
dengan dosis ekivalen-nya, dimana profil efek samping belum tentu sama.
 Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti-psikosis sebelumnya, jenis
obat anti-psikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan
baik efek samping-nya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
 Apabila gejala negatif (afek tumpul, penarikan diri, hipobulia, isi pikiran
miskin) lebih menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi, bicara kacau,
perilaku tak terkendali) pada pasien Skizofrenia, pilihan obat antipsikosis –
atipikal perlu dipertimbangkan. Khususnya pada penderita Skizofrenia
yang tidak dapat mentolerir efek samping ekstrapiramidal atau mempunyai
risiko medik dengan adanya gejala ekstrapiramidal (neuroleptic induced
medical complication).7
e. Pengaturan Dosis7
Dalam pengaturan dosis perlu dipertimbangkan :
 Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2 – 4 minggu
Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2 – 6 jam.
 Waktu paruh : 12 – 14 jam (pemberian obat 1-2 x perhari).
 Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek
samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu
mengganggu kualitas hidup pasien.
14

Mulai dengan “dosis awal” sesuai dengan “dosis anjuran”, dinaikkan setiap
2-3 hari  sampai mencapai “dosis efektif” (mulai timbul peredaran Sindrom
Psikosis)  dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan  “dosis optimal”
 dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi)  diturunkan setiap 2 minggu
 “dosis maintenance”  dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi “drug
holiday” 1-2 hari/minggu)  tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu) 
stop.

f. Lama Pemberian Terapi7


Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang “multi episode”, terapi
pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun. Pemberian
yang cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 – 5 kali.
Efek obat anti-psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari
setelah dosis terakhir masih mempunyai efek klinis. Sehingga tidak langsung
menimbulkan kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya satu bulan kemudian
baru gejala Sindrom Psikosis kambuh kembali.
Pada umumnya pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan selama
3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk
“Psikosis Reaktif Singkat” penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya gejala
dalam kurun waktu 2 minggu – 2 bulan.
Obat anti psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun
diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil
sekali.
Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala “Cholinergic
Rebound” : gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain.
Keadaan ini akan mereda dengan pemberian “anticholinergic agent” (injeksi Sulfas
Atropin 0,25 mg (im), tablet Trihexyphenidyl 3x 2 mg/h). Oleh karena itu pada
penggunaan bersama obat anti-psikosis + antiparkinson, bila sudah tiba waktu
penghentian obat, obat antipsikosis dihentikan lebih dahulu, kemudian baru
menyusul obat antiparkinson.
15

C. HUBUNGAN ANTIPSIKOTIK DAN BENZODIAZEPINE


Antipsikotik adalah kunci strategi intervensi dalam farmakoterapi
skizofrenia. Namun, benzodiazepin sering diresepkan untuk mengendalikan
gangguan tidur, kecemasan atau disinhibisi perilaku. Ada bukti klinis untuk efek
menguntungkan dari pengobatan kombinasi antipsikotik dan benzodiazepin yang
menghasilkan hasil pengobatan yang lebih menguntungkan pada skizofrenia
sehubungan dengan gejala positif dan negatif. Fenomena klinis ini tampaknya
terkait dengan aktivitas GABA yang diyakini terganggu dalam skizofrenia dan efek
benzodiazepin langsung pada reseptor GABA-A. Di otak ada neurotransmitter
rangsang dan penghambat yang bekerja sama dan mempertahankan fungsi otak
yang tepat. GABA neuron membawa sinyal penghambat yang membantu menjaga
aktivitas otak pada tingkat operasi yang optimal, Glutamate, di sisi lain, membawa
sinyal rangsang. Karena interaksi antara keduanya ada, mereka menjaga tingkat
dopamin di tingkat rata-rata. Gangguan transmisi GABA pada skizofrenia dapat
menyebabkan pergantian dalam transmisi neurotransmergergik yang tidak
memberikan efek penghambatan pada aktivitas glutamat sentral, yang
mengakibatkan peningkatan level dopamin yang terkait dengan psikosis.
Benzodiazepin diyakini dapat mengurangi pelepasan dopamin presinaptik pada
tingkat mesolimbik dan menunda adaptasi pascasinaptik dari neuron dopaminergik
menjadi antipsikotik yang mempotensiasi aksi antipsikotik pada skizofrenia
resisten.13

Benzodiazepin juga bertindak pada daerah mesokortikal di mana antipsikotik


kurang efektif dan di mana ada sensitivitas tertentu terhadap stres. Hubungan ini
sangat berguna pada pasien yang resisten atau pada pasien dengan kecemasan berat
dengan atau tanpa intoleransi terhadap antipsikotik. Peningkatan menyangkut
gejala cemas tetapi juga gejala positif (halusinasi, delirium dan sindrom disosiatif)
dan negatif (penarikan sosial, mempengaruhi perataan). Karena studi yang tersedia
terbatas ada beberapa bukti klinis bahwa penggunaan obat antipsikotik dengan
penambahan benzodiazepin dapat memberikan hasil umum yang lebih baik pada
pasien yang sakit daripada pemberian antipsikotik saja.13
16

D. INTERAKSI OBAT
a. Trifluoperazin – Diazepam
Kombinasi keduanya menyebabkan interaksi secara farmakodinamik dengan
efek yang ditimbulkan potensiasi. Penggunaan secara bersamaan antara
trifluoperazin dengan diazepam dapat menyebabkan meningkatan efek sedasi.
Peningkatan efek sedasi dengan meningkatkan efek neurotransmitter GABA
dengan mengikatkan benzodiazepin pada reseptor GABA A mengarah ke sistem
syaraf pusat. Pemberian kedua obat ini memiliki potensi interaksi yang besar
sehingga perlu di monitoring.

b. Risperidon – Alprazolam, diazepam, dan lorazepam. 14,15


Kombinasi keduanya menyebabkan interaksi secara farmakodinamik dengan
efek yang ditimbulkan sinergisme (Setyawati et al.,). Penggunaan bersamaan
risperidon dengan alprazolam, diazepam, dan lorazepam menyebabkan
peningkatkan efek sedasi. Pemberian kedua obat ini memiliki potensi interaksi yang
besar sehingga perlu monitoring terhadap penggunaan keduanya. 14
c. Diazepam – Lorazepam, alprazolam, chlorpromazin, dan quetiapin.
Kombinasi keduanya menyebabkan interaksi secara farmakokinetik dengan
efek yang ditimbulkan potensiasi. Diazepam bila digunakan secara bersamaan
dengan lorazepam, alprazolam, chlorpromazin, dan quetiapin sama-sama
dimetabolisme oleh enzim CYP3A4 sehingga kompetisi antar keduanya untuk
menduduki reseptor enzim tersebut meyebabkan peningkatan efek sedasi. 14,15
d. Alprazolam – Chlorpromazin, quetiapin, dan aripiprazole
Kombinasi keduanya menyebabkan interaksi secara farmakodinamik dengan
efek yang ditimbulkan potensiasi. Penggunaan secara bersamaan antara
alprazolam dengan chlorpromazin, quetiapin, dan aripiprazole dapat menyebabkan
peningkatan efek sedasi. Peningkatan efek sedasi dengan meningkatkan efek
eurotransmitter GABA dengan mengikatkan benzodiazepin pada reseptor GABA
A mengarah ke sistem syaraf pusat. Pemberian kedua obat ini memiliki potensi
interaksi yang besar sehingga perlu monitoring terhadap penggunaan keduanya. 14,15
17

DAFTAR PUSTAKA

1. Harvey, Richard A., Pamela C. Champe. 2013. Farmakologi Ulasan


Bergambar. Jakarta: EGC.
2. Katzung, Bertram G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC.
3. Syarif, Amir, Ari Estuningtyas, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
4. Windy.2011. “MAKALAH FARMAKOLOGI sedatif hipnotik dan psikotropi”
5. Annie Vogel-Ciernia, Mike Scarski, Danny Stout. "Benzodiazepines". Diakses
tanggal april 22 2014.
6. . Annie Vogel-Ciernia, Mike Scarski, Danny Stout. "Benzodiazepines".
Diakses tanggal april 22 2014.
7. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi ketiga.
Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Bab 3.
Penggolongan obat psikotropik; p.10-11.
8. Amir N.Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universias Indonesia. Edisi
kedua. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. 2013.Bab 12.
Skizofrenia; p. 173-95.
9. Psychopharmacology Institute. First Generation of Antipsychotic. Accessed on
: 3 November 2014. Available at :
http://psychopharmacologyinstitute.com/antipsychotics/first-generation-
antipsychotics/
10. Ebert MH, Loosen PT, Nurcombe B. Current Diagnosis & Treatment in
PSYCHIATRY.Singapore : McGraw-Hill Book.2000.Bab III.Syndrome and
their treatments in adult psychiatric : schizophrenia and other psychotic
disorders; p.260-89.
11. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry :
Behavioral sciences/clinical psychiatry.10 th edition. Philadelphia : Lippincott
Williams and WOLTERS Kluwer business.2007.Bab
13.Schizophrenia.;p.467-97.
18

12. Amir N.Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universias Indonesia. Edisi
kedua. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. 2013.Bab 12.
Skizofrenia; p. 173-95.
13. Włodarczyk A1, Szarmach J, Cubała WJ, Wiglusz MS. Benzodiazepines in
combination with antipsychotic drugs for schizophrenia: GABA-ergic targeted
therapy. Psychiatr Danub. 2017.
14. Medscape, 2016. Drug Interaction Checker [WWW Document]. Online. URL
http://reference.medscape.com/drug-interactionchecker
15. Setyawati. 2005. Interaksi obat dalam Ganiswara, SG. Farmakologi dan Terapi
Edisi IV. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai