Anda di halaman 1dari 17

DEMAM TIFOID

A. Bakteriologi
Genus Salmonella adalah bagian dari keluarga Enterobacteriaceae. Salmonella terdiri
dari dua spesies, Salmonella bongori dan Salmonella enterica, dan dibagi menjadi enam
subtipe: enterica, salamae, arizonae, diarizonae, houtenae dan indica. Salmonella mampu
menginvasi sel-sel epitel, dan bertahan hidup dalam intraseluler pada sistem retikulo-
endotel, sehingga menyebabkan penyakit sistemik dan invasif. Berdasarkan manifestasi
penyakit pada manusia, Salmonella secara klinis dikategorikan sebagai invasif (tifoid) atau
non-invasif (Salmonella non-tifoid atau NTS):
• Strain tifoid: S. typhi, S. paratyphi A. Serotipe ini bermanifestasi secara eksklusif
terbatas pada manusia, menyebabkan penyakit invasif dan bakteremia yang dikenal sebagai
demam tifoid atau enterik.
• Salmonella non-tifoid (NTS): Memiliki jangkauan inang yang jauh lebih luas,
termasuk manusia dan hewan vertebrata. Infeksi pada individu yang imunokompeten
muncul sebagai enterokolitis akut yang menyebabkan diare. Penularan sering bersifat
zoonosis atau terkait dengan produksi pangan industri.
a. Invasi epitel
Salmonella menyerang sel epitel usus melalui mekanisme kompleks yang
mencakup pembentukan kerutan membran dan fagositosis bakteri ke dalam sel.
Proses ruffle-internalisasi dikendalikan oleh sistem sekresi tipe III yang
dikodekan oleh gen yang ditemukan di lokus "inv" (mengandung gen inv A–H).
Aktivitas SPI-1 diturunkan regulasinya setelah beberapa jam invasi dan sistem
sekresi tipe III yang dikodekan pada SPI-2 diaktifkan.
b. Kelangsungan hidup intraseluler
Serotipe Salmonella yang menyebabkan demam enterik mampu bertahan dan
bereplikasi di dalam sistem makrofag inang sehingga dapat menimbulkan infeksi
sistemik. Salmonella terlindung dari efek kekebalan manusia, dapat mengatasi
lingkungan dengan kurang nutrisi dalam makrofag dan mengalahkan mekanisme
bakterisida. Gen Salmonella yang diperlukan untuk bertahan hidup di dalam
makrofag adalah konstituen dari regulator respons dua komponen yang disebut
phoP/phoQ. Gen yang diaktifkan oleh phoP/phoQ ini dikenal sebagai gen pag.
Gen pag diekspresikan dalam fagosom makrofag dan diperlukan untuk
mendorong replikasi Salmonella intraseluler.
c. Mekanisme diare
NTS memprovokasi respon inflamasi mukosa yang intens dengan infiltrasi
neutrofil polimorf, yang memungkinkan melawan mikrobioma usus, dan
menyebabkan diare yang memfasilitasi transmisi akhir. Produksi sekretagog
seperti prostaglandin dan mediator lain oleh jaringan inflamasi dan produksi
toksin oleh organisme. Salmonella menghasilkan enterotoksin dan sitotoksin.
Enterotoksin mengaktifkan adenilat siklase dan memiliki beberapa karakteristik
fisikokimia yang sama dengan toksin kolera, namun terbatas homologi
antigeniknya.

B. Epidemiologi
Demam tifoid dinamakan karena gejala dan tandanya mirip dengan tifus. Demam tifoid
dan paratifoid endemik dengan insiden tinggi (<100/100.000 p.a.) pada anak di benua India,
Asia Tenggara dan Asia Tengah Selatan, dan dengan insiden sedang (10-100/100.000 p.a.)
di seluruh Asia, Afrika dan Amerika Tengah dan Selatan. Meskipun rasio keseluruhan
penyakit yang disebabkan oleh S. typhi dengan yang disebabkan oleh S. paratyphi adalah
sekitar 10:1, proporsi infeksi S. paratyphi semakin meningkat di beberapa bagian dunia.

C. Transmisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang ditularkan melalui makanan atau air yang
terkontaminasi dengan kotoran pasien atau pembawa. Oleh karena itu, hal ini biasa terjadi
dalam populasi tinggi, termasuk permukiman informal dan tempat pengungsian, dan sanitasi
yang buruk. Buah dan sayuran mentah berperan penting terutama apabila kotoran manusia
digunakan sebagai pupuk atau air yang terkontaminasi digunakan untuk membersihkan di
pasar.

D. Patogenesis
Infeksi alami pada demam enterik terjadi melalui konsumsi makanan yang diikuti
dengan penetrasi melalui mukosa usus. Perkembangan penyakit dipengaruhi beberapa
faktor: jumlah organisme yang tertelan, keadaan keasaman lambung, dan kepemilikan
antigen Vi oleh organisme. Diperlukan S. typhi dalam jumlah besar untuk menginfeksi
individu yang sehat.
Strain antigen-positif Vi menyebabkan penyakit lebih sering daripada varian non-Vi
pada populasi sehat. Keasaman lambung merupakan pertahanan penting terhadap infeksi
enterik, dan hipoasiditas lambung (seperti antasida, antagonis H2 dan inhibitor pompa
proton) dapat mengurangi dosis infektif yang diperlukan untuk penyakit invasif. Selain itu,
dosis infektif dapat berkurang jika diberikan dalam makanan yang melindungi patogen dari
asam lambung. Setelah melalui usus kecil, organisme menembus dengan cepat melalui
mukosa usus. Patogen berkembang biak dalam lumen dengan cepat dan feses dapat
menunjukkan kultur positif selama 4 hari pertama masa inkubasi.
Pada submukosa, bakteri yang menginvasi akan diambil oleh makrofag, dan patogen
menyebar ke kelenjar getah bening mesenterika. Patogen memasuki aliran darah melalui
saluran toraks (menyebabkan bakteremia primer sementara) dan diangkut ke hati dan limpa.
Setelah periode multiplikasi intraseluler lebih lanjut, sejumlah besar organisme memasuki
aliran darah, bermanifestasi sebagai gejala klinis (bakteremia sekunder). Selama bakteremia
sekunder ini, infeksi metastatik tersebar luas, melibatkan kantung empedu dan patch Peyer
di usus kecil bagian bawah. Kantung empedu dapat terinfeksi melalui hati dan kolesistitis
yang terlihat dari subklinis. Empedu yang terinfeksi menyebabkan kultur tinja menjadi
positif.

Ulkus typhoid di usus kecil.


Invasi plak Peyer dapat terjadi selama infeksi luminal primer, atau selama bakteremia
sekunder baik oleh infeksi metastasis atau melalui kontak dengan empedu yang terinfeksi.
Plak Peyer menjadi hiperplastik, dengan infiltrasi sel inflamasi kronis. Nekrosis lapisan
superfisial menyebabkan pembentukan ulser ovoid yang ireguler di sepanjang sumbu
panjang usus. Jika ulkus mengikis ke dalam pembuluh darah, terjadi perdarahan yang parah,
sehingga perforasi transmural menyebabkan peritonitis.

E. Mekanisme Imunitas
Produksi antibodi humoral berperan dalam pemulihan dari infeksi akut. Imunitas yang
diperantarai sel dapat berperan penting dalam pemulihan. Meskipun polisakarida Vi tidak
esensial untuk patogenesis, kemampuan antibodi Vi untuk mencegah infeksi menunjukkan
efisiensi polisakarida antigen Vi dan vaksin konjugasi. Imunitas bawaan dan didapat usus
lokal dapat berperan penting dalam mencegah infeksi dan infeksi ulang. Antibodi IgG dan
IgA sekretorik spesifik dapat terlihat di usus.
Di negara-negara endemik, demam enterik memiliki prevalensi tertinggi pada anak-
anak dan remaja, sedangkan orang dewasa telah memperoleh kekebalan substansial melalui
paparan sebelumnya. Tingkat endemisitas tertinggi dikaitkan dengan prevalensi di antara
anak-anak di tahun pertama kehidupan, yang mencerminkan paparan subklinis lebih awal
dan perkembangan kekebalan lebih awal pada populasi umum. Kondisi kompromi
kekebalan tidak menyebabkan individu lebih rentan terhadap demam tifoid. Bukti
epidemiologis menunjukkan bahwa HIV dapat mengurangi risiko demam tifoid.
G. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi demam tifoid bervariasi dengan ukuran dosis menginfeksi dan rata-rata
10 sampai 20 (kisaran 3-56) hari. Pada demam paratifoid berkisar antara 1 sampai 10 hari.
Durasi penyakit dalam kasus yang tidak diobati dengan tingkat keparahan rata-rata biasanya
4 minggu. Pada minggu pertama, gejalanya tidak spesifik, dengan sakit kepala, malaise, dan
demam yang terus-menerus meningkat. Selain itu, sembelit dan batuk non-produktif ringan
sering terjadi.
Selama minggu kedua, pasien terlihat toksik dan apatis dengan demam suhu tinggi yang
berkelanjutan. Perut membesar dan splenomegali juga sering terjadi. Sementara bintik-
bintik mawar (rose spot), papula merah muda berdiameter 2–4 mm yang memudar saat
ditekan, merupakan ciri khas demam tifoid, namun jarang ditemukan pada beberapa seri dan
sulit dideteksi pada individu berkulit gelap. Rose spot juga dapat terjadi pada iNTS dan
shigellosis. Bintik-bintik tersebut disebabkan oleh embolisasi bakteri.
Minggu ketiga menggambarkan bagaimana pasien dapat menjadi semakin sakit dengan
perkembangan demam tinggi terus menerus dan keadaan kebingungan mengigau. Distensi
abdomen terlihat jelas, dengan menurunnya bising usus dan ileus, dapat terjadi diare, dengan
tinja cair berwarna hijau-kuning busuk. Pasien cenderung menjadi obtunded dan hipotensi
dan ronki dapat berkembang di atas dasar paru. Kematian dapat terjadi pada tahap ini akibat
toksemia yang berlebihan, miokarditis, perdarahan usus perforasi. Pemulihan seringkali
berlangsung lama. Apabila tidak diobati, angka kematian secara historis digambarkan
sekitar 20%, namun dengan penggunaan antibiotik baik evolusi penyakit maupun kematian
jarang terjadi (<1%). Variasi dalam gambaran klinis sering terjadi, dan infeksi ringan dan
tidak bergejala sering terjadi. Diare dapat terjadi bahkan selama minggu pertama dan anak-
anak mengalami demam tinggi dan kejang demam. Demam kronis atau berulang dengan
bakteremia dapat terjadi bersamaan dengan schistosomiasis, karena Salmonella mampu
bertahan hidup menempel pada tegumen cacing dewasa, terlindung dari pertahanan tubuh.
Diagnosis demam tifoid, terutama di negara berkembang, ditegakkan melalui klinis.
Gejalanya terkadang menyerupai penyakit umum lainnya, seperti malaria, sepsis dengan
bakteri patogen lain, tuberkulosis, brucellosis, tularaemia, leptospirosis, dan penyakit
riketsia. Diagnosis banding lainnya adalah infeksi virus seperti demam berdarah, hepatitis
akut dan mononukleosis menular.
H. Relaps
Demam tifoid kambuh terjadi seminggu atau lebih setelah terapi dihentikan, namun
banyak juga terjadi setelah 70 hari. Kultur darah kembali positif, disertai dengan adanya
kadar serum antibodi H, O dan Vi yang tinggi, dan rose spot dapat muncul kembali.
Kekambuhan umumnya lebih ringan dan lebih pendek dari penyakit awal. Insiden
kekambuhan setelah pengobatan dengan fluoroquinolones (1,5%) atau sefalosporin
spektrum luas (5%) lebih rendah daripada setelah pengobatan dengan kloramfenikol,
trimetoprimsulfametoksazol dan ampisilin. Kambuh kedua atau ketiga dapat terjadi, namun
jarang.
I. Komplikasi
Secara umum, penyakit yang disebabkan oleh infeksi paratifoid A lebih ringan dan
komplikasi lebih jarang terjadi.
a. Intestinal
Terdapat dua komplikasi serius dari demam typhoid yaitu perdarahan dan
perforasi intestinal yang berasal dari erosi plak Peyer pada akhir minggu kedua atau
awal minggu ketiga. Tanda klinis dari perdarahan intestinal adalah penurunan tajam
suhu tubuh dan tekanan darah, dan takikardia mendadak. Darah yang keluar dari
rektum biasanya berwarna merah cerah tetapi dapat berubah jika terdapat stasis usus.
Terkadang bisa tidak terdapat aliran arah (saat terdapat ileus).
Tatalaksana dari perdarahan adalah secara konservatif dengan ekspansi volume
dan transfusi, kecuali jika terdapat indikasi operasi yaitu adanya bukti perforasi.
Perforasi tifoid biasanya terjadi pada penderita yang memiliki riwayat nyeri tekan perut
atau abdomen yang sudah membesar dengan suara bising usus yang jarang. Para dokter
harus waspada terhadap nyeri yang memburuk, perburukan sindroma sepsis, sehingga
harus mencari adanya cairan abdomen bebas pada USG atau udara di bawah diafagma
pada X-Ray toraks posisi ereksi.
Setelah resusitasi, tatalaksana untuk perforasi tifoid adalah intervensi operasi,
walaupun tatalaksana konservatif dengan suction nasogastrik, antibiotik yang melawan
anaerob dan Enterobacteriaceae, dan perawatan suportif dapat menurunkan mortalitas
sampai 30%. Ahli bedah kebanyakan memilih penutupan perforasi sederhana dengan
drainase peritoneum, dan mempertahankan reseksi susu kecil untuk pasien dengan
perforasi multipel. Prognosis berkaitan dengan interval waktu antara perforasi dan
operasi.
b. Hepar, Kantung Empedu, Pankreas
Kuning yang ringan dapat terjadi pada demam tifoid dan dapat terjadi karena
hepatitis, kolangitis, kolesistitis, atau hemolisis. Perubahan biokemikal yang mengarah
pada hepatitis sering terjadi pada fase akut. Biopsi hepar pada kasus tersebut
menunjukan adanya pembengkakan berawan, balloon degeneration dengan vakuolasi
hepatosit, perubahan lemak sedang dan fokus koleksi sel mononuklear (nodul tifoid).
Basilus tifoid yang utuh dapat terlihat pada lokasi tersebut. Pankreatitis juga pernah
dilaporkan.

Nodul Tifoid pada saluran porta hepatika.


c. Kardiorespiratori
Miokarditis dan endokarditis toksik terjadi pada 1-5% kasus dan menjadi
penyebab kematian yang signifikat pada negara endemik. Biasa terjadi pada pasien
dengan gerajat yang sangat berat dengan karakeristik berupa takikardia, pulsasi dan
suara jantung lemah, hipotensi, dan abnormalitas EKG. Gejala respirasi seperti batuk
dan bronkitis akut terjadi pada 11-86% kasus dan bronkopneumonia atau konsolidasi
lobaris dapat terjadi (jarang).
d. Neurologi
Toxic confusional state, yang dicirikan dengan disorientasi, delirium, dan gelisah,
merupakan karakteristik dari fase akhir tifoid, namun terkadang gejala-gejala
neuropsikiatri tersebut dapat terjadi dari fase awal. Facial twitching atau kejang dapat
menjadi gejala yang terlihat; terkadang terdapat psikosis atau katatonia saat fase
konvalesens. Biasanya juga terdapat meningisme, namun meningitis bakterialis karena
S. typhi merupakan komplikasi yang jarang. Ensefalomielitis dapat terjadi dan patologi
yang mendasarinya adalah demielinasi leukoensefalopati. Mielitis transversal,
polineuropati, atau mononeuropati kranial dapat terjadi (jarang).
e. Hematologi dan Ginjal
Koagulasi intravaskular diseminata subklinis sering terjadi pada demam tifoid,
jarang bermanifestasi sebagai haemolytic-uremic syndrome. Hemolisis dapat berkaitan
dengan kurangnya glucose 6-phosphate dehydrogenase (G6PD). Kompleks imun
glomerulitis telah dilaporkan dan imunoglobulin IgM, C3, dan antigen S. typhi dapat
ditunjukkan pada dinding kapiler glomerulus. Sindorma nefrotik dapat menjadi
komplikasi kronis bakteremia S. typhi yang berkaitan dengan skistosomiasis urinari.
f. Muskuloskeletal dan sistem lainnya
Pada otot skeletal, terdapat degenerasi Zenker (degenerasi hialin dari serat otot),
terutama menyerang dinding abdomen dan otot paha; polimiositis dapat terjadi secara
klinis. Lokalisasi metastasis dapat terjadi di hampir semua organ/sistem, dan
keterlibatan tulang, sendi, meningen, endokardium, limpa, dan ovarium semuanya telah
dilaporkan.

J. Temuan Laboratorium
Pada awalnya, dapat terjadi leukositosis ringan, namun dengan progresi penyakit,
biasanya terjadi leukopenia dan neutropenia. Bahkan pada kasus yang tidak rumit, dapat
terjadi anemia normositik derajat ringan, trombositopenia ringan, peningkatan serum
transaminase ringan, dan proteinuria ringan.

K. Diagnosis
Diagnosis definitif membutuhkan isolasi organisme dari darah atau sumsumtulang.
Isolasi dari feses atau urin memberikan bukti dugaan yang kuat hanya jika terdapat
karakteristik klinis yang mendasari.
a. Kultur darah dan sumsum tulang
Diagnosis definitif Demam Tifoid adalah dengan isolasi organisme dari tempat
steril. Isolasi dari feses memberikan informasi yang berguna namun dapat erjadi positif
palsu karena karier jangka panjang. Sehingga pasien yang diduga Demam Tifoid, kultur
darah atau sumsum tulang harus dilakukan.
Pada pasien yang tidak diterapi, kultur darah biasanya positif pada 60-80% kasus,
biasanya pada fase awal. Jumlah organisme/mL yang viabel rendah, dengan median 1
bakteri/mL darah, sehingga dibutuhkan 5-10 mL darah untuk meningkatkan sensitivitas
kultur darah. Kultur sumsum tulang memberikan laju kesuksesan sekitar 80-90%
dengan jumlah bakteri yang viabel lebih tinggi.
Terapi antibiotik yang sudah diberikan pada pasien membuat hasil kultur darah
positif menjadi berkurang, namun hasil kultur sumsum tulang tetap positif walau pasien
mendapat terapi antibiotik.
b. Kultur feses dan urin
Dengan teknik yang modern, kultur feses biasanya positif pada minggu pertama
penyakit, walau persentase positivitasnya meningkat dengan stabil seterusnya. Kultur
urin lebih jarang positif.
c. Serologi
Tes Widal mengukur antibodi terhadap antigen flagela (H) dan somatik (O). Pada
infeksi akut, antibodi O yang pertama muncul, meningkat secara progresif, dan
nantinya menurun dan menghilang dalam beberapa bulan. Antibodi H muncul
belakangan namun menetap dalam waktu yang lebih lama. Pneingkatan atau tingginya
titer antibodi O umumnya mengindikasikan infeksi akut, sedangkan antibodi H
membantu untuk idenfitikasi tipe demam Tifoid. Sayangnya, tes Widal memiliki
beberapa keterbatasan. Banyak laboratorium lokal menyediakan tes Widal dengan
kontrol kualitas yang rendah. Peningkatan antibodi dapat disebabkan oleh imunisasi
tifoid sebelumnya ada infeksi dini dengan Salmonellae yang memiliki antigen O yang
sama dengan S. typhi atau S. paratyphi.
Pada negara endemik, populasinya memiliki titer antibodi H yang tinggi. Hal ini
merupakan sebuah masalah pada negara berkembang, yaitu terdapat cross-reactivity
dengan NTS dan banyaknya patogen lain dan/atau paparan masa lalu dengan S. typhi,
hal ini menunjukkan bahwa tes Widal memiliki spesifitias kurang. Antibodi Vi
biasanya menignkat saat infeksi akut dan menetap setelahnya selama karier kronik.
Namun, penggunaan tes skrining terhadap antigen tersebut untuk kondisi karier masih
terbatas karena frekuensi positif palsu dan negatif palsu.
d. Metode diagnostik terbaru
Terdapat beberapa alat tes terbaru yang secara langsung mendeteksi antibodi IgM
atau IgG terhadap berbagai antigen S. typhi yang spesifik, yaitu Typhidot dan Tubex.
Beberapa dari alat tes ini telah diadaptasi dengan menggunakan teknik dipstick
sederhana dan berguna untuk beberapa situasi yaitu laboratorium tidak tersedia. Ketika
alat-alat tersebut dibandingkan dengan tes Widal, tidak ada dari alat tes tersebut yang
memberikan performa sebaik kultur darah. Alat-alat tersebut harus digunakan terbatas
pada situasi wabah, yaitu probabilitas Tifoid tinggi. Antigen Vi urin ELISA dan tes
berbasis PCR sedang dalam perkembangan, namun belum mencapai titik siap untuk
digunakan sebagai metode diagnostik cepat.

L. Karier
a. Karier Feses
Beberapa penelitian menunjukan hasil yang positif pada pemeriksaan feses untuk
beberapa hari pertama, yang menunjukkan adanya replikasi awal bakteri pada usus,
kemudian menjadi negatif pada beberapa hari berikutnya. Sebagian besar bakteri S.
typhi sudah tidak ditemukan pada feses setelah 3-6 minggu dari awitan infeksi, namun
1-3% diantaranya menjadi karier kronik. Terapi antibiotik pada fase awal penyakit
tidak secara penuh mencegah karier kronik, namun beberapa agen lebih efektif dalam
mengurangi karier, yaitu fluorokuinolon, diikuti oleh sefalosporin generasi 4. Kedua
antibiotik tersebut lebih superior daripada kloramfenikol atau beta-lactam. Setelah
seseorang dinyatakan karier kronik, individu tersebut harus diterapi dengan
fluorokuinolon jangka panjang.
Adanya penyakit kantung empedu atau saluran bilier merupakan penyebab utama
karier kronik, dan harus dicek dengan USG (transabdominal atau endoskopik) dan
diterapi secara operatif atau endoskopi jika memungkinkan. Karier kronik juga
berkaitan dengan risiko kanker kantung empedu. Pelacakan dan terapi karier kronik
merupakan strategi prefentif yang efektid pada area dengan prevalensi rendah, tidak
untuk area dengan insidensi sangat tinggi.
b. Karier Urin
Dengan tidak adanya patologi saluran kemih, karier urin yang menetap jarang
terjadi setelah bulan ketiga, Skistosomiasis urin mungkin merupakan penyebab global
tersering dari karier kronik saluran kemih.

M. Tatalaksana
Pasien harus dikelola dengan perhatian pada cuci tangan yang memadai dan
pembuangan feses dan urin yang aman. Pasien harus mendapat perhatian pada nutrisi dan
koreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Terapi antibiotik sangat penting dan harus
dimulai secara empiris jika kecurigaan klinis demam Tifoid kuat. Pasien juga harus dipantau
untuk komplikasi, terutama perubahan tanda-tanda perut, dan untuk kekambuhan klinis.
Pemulihan seringkali berlangsung lama. Di negara-negara non-endemik, pasien yang
bekerja di industri makanan atau di perawatan kesehatan, perawatan di tempat tinggal atau
perawatan anak harus berada di bawah pengawasan bakteriologis setelah pemulihan klinis
sampai diperoleh 3 kultur feses dan urin negatif berturut-turut, untuk mematuhi peraturan
lokal yang berkaitan dengan karier.
a. Pemilihan Agen Antimikroba pada Demam Tifoid
Pola resistensi obat pada Salmonella terus berubah dan penting bagi dokter untuk
menyadari pola kerentanan lokal terutama di tempat yaitu fasilitas mikrobiologi
diagnostik tidak tersedia. Sayangnya, informasi ini sering kurang di daerah dengan
beban penyakit tertinggi. Pilihan antibiotik dan dosis yang dipilih sangat penting untuk
pengobatan infeksi akut, pencegahan penularan sekunder dan karier kronik. Respon
klinis terbaik pada Tifoid dan Paratifoid dicapai dengan rasio Cmax:MIC tertinggi.
Antibiotik harus digunakan pada dosis maksimum yang direkomendasikan. Sangat
sedikit data tentang penggunaan terapi antibiotik kombinasi pada demam enterik.
b. Timbulnya Demam Tifoid Multiresisten
Seperti patogen Gram-negatif lainnya, S. typhi memiliki kecenderungan untuk
memiliki resistensi terhadap antimikroba dengan cepat. Resistensi yang dimediasi
plasmid terhadap kloramfenikol, ampisilin, dan kotrimoksazol muncul dengan cepat
pada akhir 1980-an di anak benua India dan sebagian Asia Tenggara. Hal ini
menyebabkan meningkatnya penggunaan fluoroquinolones dalam pengelolaan Tifoid,
yang lebih unggul bahkan untuk strain yang sepenuhnya rentan. Penurunan penggunaan
3 agen yang lebih tua telah menyebabkan awal munculnya kembali S. typhi yang rentan
terhadap kloramfenikol. Sementara itu, kerentanan yang berkurang dan respons klinis
yang lebih buruk terhadap fluorokuinolon yang lebih tua (siprofloksasin dan ofloksasin)
telah muncul di Asia Selatan dan Tenggara, terutama melalui mutasi kromosom pada
gen gyrA. Hal ini membuat azitromisin sebagai pengobatan pilihan untuk manajemen
empiris Tifoid yaitu penurunan kerentanan terhadap kuinolon adalah hal yang umum.
Resistensi yang dimediasi plasmid terhadap sefalosporin melalui produksi beta-
laktamase spektrum luas juga telah dijelaskan meskipun hal ini relatif jarang terjadi.
Peningkatan resistensi pada strain S. paratyphi A telah terlihat pada penjelajah yang
pergi ke anak benua India, yang juga dimediasi melalui mutasi gyrA. Seperti halnya S.
typhi, resistensi kuinolon yang dimediasi oleh plasmid jarang terjadi.
i. Siprofloksasin dan Obat Fluorokuinolon Lainnya
Fluorokuinolon telah terbukti sangat efektif dalam pengobatan demam
tifoid dan paratifoid, dan merupakan pengobatan pilihan untuk strain yang
sepenuhnya rentan dan MDR di daerah yaitu belum ada resistensi fluorokuinolon.
Fluorokuinolon lebih unggul dari kloramfenikol bahkan untuk strain yang sangat
rentan. Penurunan demam terjadi dalam 3-5 hari; karier konvalesen dan relaps
jarang (<2%). Siprofloksasin dan ofloksasin, keduanya obat 4-kuinolon, mungkin
sama efektifnya. Dosis siprofloksasin dan ofloksasin adalah 20 mg/kg setiap hari
untuk 5-7 hari, dan penggunaan singkat ofloksasin 2-3 hari telah berhasil
diujicobakan. Jika muntah atau diare, obat harus diberikan secara intravena.
Fluorokuinolon sekarang direkomendasikan untuk pengobatan penyakit pada
anak-anak yaitu manfaat pengobatan lebih besar daripada risiko kecil efek
samping muskuloskeletal. Generasi baru fluorokuinolon, gatifloksasin, telah
terbukti berhasil dalam mengobati Tifoid dan Paratifoid bahkan di daerah dengan
kerentanan yang berkurang terhadap fluorokuinolon generasi lama. Obat ini tidak
boleh digunakan pada pasien lanjut usia atau yang menderita diabetes.
ii. Sefalosporin Generasi Ketiga
Sefotaksim, seftriakson, dan sefoperazon memiliki aktivitas in vitro yang
baik terhadap S. typhi dan Salmonella lainnya. Meskipun sefalosporin generasi
ketiga memiliki kemanjuran yang dapat diterima dalam pengobatan demam tifoid,
obat-obat ini kurang berkhasiat dengan rentang waktu yang lebih lama untuk
menghasilkan respon klinis dibandingkan fluorokuinolon terhadap strain rentan.
Hanya formulasi intravena yang tersedia. Sefotaksim diberikan 1 g 3 kali sehari
(pada anak-anak: 200 mg/kg sehari dalam dosis terbagi) selama 14 hari.
Ceftriaxone, 2 g/hari pada orang dewasa, memiliki keuntungan hanya
membutuhkan dosis tunggal setiap hari. Sefalosporin generasi ketiga oral,
sefiksim, tidak boleh digunakan pada demam Tifoid atau Paratifoid. Sefalosporin
generasi kedua tidak berpenetrasi dengan baik secara intraseluler, berhubungan
dengan tingkat kekambuhan yang tinggi, dan tidak sesuai untuk pengobatan
demam tifoid baik secara oral maupun intravena.
iii. Azitromisin
Azitromisin adalah antibiotik makrolida yang mencapai konsentrasi
jaringan tinggi tetapi konsentrasi serum rendah karena sifat farmakokinetiknya
yang unik. Antibiotik terkonsentrasi di dalam sel, sehingga ideal untuk
pengobatan infeksi oleh organisme intraseluler. Paling tidak sama manjurnya
dengan kloramfenikol dan fluorokuinolon, dan lebih manjur pada populasi dengan
galur yang resistan terhadap obat, dan dianggap sebagai pengobatan lini pertama
yang paling tepat di area yaitu resistensi fluorokuinolon yang penting secara klinis
terbentuk di antara galur S. typhi. Azitromisin harus digunakan pada 20 mg/kg per
hari untuk 7 hari.
iv. Kloramfenikol, Ampisilin, Amoksisilin, dan Kotrimoksazol
Kloramfenikol diperkenalkan pada tahun 1948, dan terbukti sangat efektif
dalam pengobatan demam enterik. Meskipun sekarang memiliki peran yang jauh
berkurang secara global, ia masih memiliki peran yang terbatas di daerah dengan
sumber daya rendah yaitu resistensi tidak terbentuk dan agen lain tidak tersedia.
Obat tersebut membuat penurunan demam dalam 3-5 hari. Dosis dewasa yang
direkomendasikan adalah 500 mg setiap 4 jam sampai demam turun, kemudian
setiap 6 jam selama total 14 hari. Rute oral memiliki bioavailabilitas yang lebih
baik daripada pemberian parenteral, dan harus digunakan jika memungkinkan.
Rute intravena lebih disukai daripada rute intramuskular, karena pemberian secara
intramuskular memiliki tingkat obat dalam darah yang tidak memuaskan dan
dapat menunda penurunan demam. Kerugian kloramfenikol adalah: durasi
pengobatan 14 hari, tingkat relaps yang lebih tinggi daripada agen modern (5-
15%), terutama ketika durasi pengobatan dipersingkat, penularan lebih sekunder
menjadi lebih banyak, toksisitas sumsum tulang yang jarang dan anemia aplastik;
dan munculnya galur S. typhi yang resisten secara global. Meskipun murah,
secara klinis lebih inferior daripada fluorokuinolon bahkan pada strain yang
rentan.
Meskipun ampisilin lebih inferior daripada kloramfenikol, kedekatannya
dengan amoksisilin sama efektifnya dengan kloramfenikol dalam hal durasi waktu
penurunan demam dan tingkat relaps (4-8%). Biasanya diberikan secara oral 4
kali sehari selama 14 hari. Kotrimoksasol juga sama efektifnya dengan
kloramfenikol, dan diberikan secara oral 960 mg dua kali sehari. Tak satu pun
dari obat ini sekarang harus dianggap sebagai terapi lini pertama untuk demam
Tifoid dan Paratifoid.
c. Terapi Kortikosteroid
Deksametason dosis tinggi (dosis awal 3 mg/kg berat badan, diikuti dengan 8
dosis 1 mg/kg setiap 6 jam) terbukti mengurangi kematian pada pasien yang sakit parah
dengan tingkat kesadaran yang tertekan atau syok sebagai pengobatan tambahan
dengan kloramfenikol, namun tidak ada bukti yang mendukung penggunaannya dengan
agen yang lebih modern seperti feluorokuinolon, sefalosporin generasi ketiga, atau
azitromisin.
d. Tatalaksana Karier Kronik
Pemberian amoksisilin atau kotrimoksazol yang berkepanjangan mungkin efektif,
namun tingkat kegagalannya tinggi jika ada penyakit kantung empedu kronis.
Siprofloksasin (750 mg 2 kali sehari) dan norfloksasin (400 mg 2 kali sehari) jauh lebih
efektif, dengan angka kesembuhan masing-masing 78% dan 83%.
Kolesistektomi harus dilakukan jika ada indikasi klinis, tetapi tidak selalu
berhasil, karena infeksi hati yang menetap. Karier urin kronik harus diselidiki untuk
melihat adanya kelainan saluran kemih, termasuk skistosomiasis.
N. Prognosis
Terapi antibiotik dini telah mengubah penyakit yang sebelumnya mengancam jiwa
dengan durasi beberapa minggu dengan tingkat kematian mendekati 20% menjadi penyakit
demam jangka pendek dengan kematian yang dapat diabaikan. Tingginya angka kematian
yang terus dilaporkan dari beberapa negara endemik tidak diragukan lagi terkait dengan
keterlambatan diagnosis dan/atau pengobatan yang tidak tepat.
O. Pencegahan
Di negara-negara endemik, strategi yang paling hemat biaya untuk mengurangi
kejadian demam Tifoid adalah institusi kesehatan masyarakat untuk memastikan air minum
yang aman dan sanitasi pembuangan tinja yang memadai. Efek dari tindakan ini berlangsung
lama dan juga akan mengurangi kejadian infeksi Tifoid lainnya yang merupakan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas di daerah tersebut. Dengan tidak adanya strategi seperti itu,
imunisasi massal dengan vaksin Tifoid secara berkala juga akan sangat mengurangi kejadian
infeksi, dan telah direkomendasikan oleh WHO sejak tahun 2008. Kebutuhan untuk
memberikan beberapa dosis oral Ty21a telah menyebabkan upaya untuk mengembangkan
vaksin oral dosis tunggal. Uji klinis fase I dan II telah berhasil dalam beberapa vaksin
demam Tifoid yang baru ini.
Vaksin Vi umumnya dianggap tidak efektif melawan S. paratyphi A, B, dan C, karena
serotipe ini tidak memiliki antigen Vi. Vaksin multi-antigen atau vaksin oral hidup,
termasuk Ty21a, memberikan potensi perlindungan terhadap strain Salmonella tifoid dengan
antigen Vi negatif.

P. Vaksinasi
a. Vi Capsular Polysaccharide Antigen Vaccine
Vaksin ini adalah vaksin dosis parenteral tunggal dari Merieux Institute. Tingkat
perlindungan keseluruhan yang diamati sebesar 75% di Nepal, 64% di Afrika Selatan
dan 70% di Cina, lebih baik dibandingkan dengan vaksin berupa virus yang telah
dimatikan dan memiliki keuntungan efek samping yang minimal. Vaksinasi ulang
diperlukan setiap 3 tahun untuk mempertahankan perlindungan. Vaksin ini tidak sesuai
untuk anak di bawah 18 bulan, karena antigen polisakarida meningkatkan respons
antibodi yang lemah. Vaksin Vi dapat diberikan bersamaan dengan vaksin lain yang
relevan untuk pelancong internasional.
b. Vi-Conjugate Vaccine
Vaksinasi ulang menggunakan vaksin Vi tidak menimbulkan efek booster karena
respon imun terhadap polisakarida tidak melibatkan sel T. Untuk mengatasi
keterbatasan ini, vaksin Vi telah dikonjugasikan ke rekombinan non-toksik
Pseudomonas aeruginosa exotoxin A dan terbukti memiliki keampuhan perlindungan
91,5%. Vaksin ini cocok untuk anak-anak. Vaksin Vi konjugat lainnya seperti Vi-
RM(197) yang terkonjugasi dengan toksin difteri yang dimodifikasi juga sedang dalam
pengembangan dan uji klinis.
c. Live Attenuated Vaccine
Vaksin oral yang mengandung strain S. typhi Ty21a yang dilemahkan secara
kimiawi dalam kapsul berlapis enterik tersedia secara komersial. Vaksin ini dapat
ditoleransi dengan baik dan efektivitas perlindungan keseluruhan 67-80% yang telah
ditunjukkan hingga 7 tahun setelah 3 dosis diberikan. Terdapat juga bukti perlindungan
tidak langsung (herd immunity), yang mungkin terjadi karena vaksin menyebabkan
pengurangan ekskresi virulen Salmonella yang signifikan sehingga jumlah karier
sementara lebih sedikit. Ty21a tidak terdapat antigen Vi, dan kemungkinan
memberikan perlindungan silang terhadap patovar Salmonella invasif lainnya termasuk
Paratyphi. Jadwal 4 dosis, yang tampaknya memberikan perlindungan yang lebih baik,
lebih disukai di Amerika Serikat. Namun, hanya 42% kemanjuran yang tercatat di
Indonesia, menunjukkan bahwa vaksin tersebut mungkin tidak seefektif di daerah yaitu
paparannya intens. Vaksin oral hidup yang dimodifikasi secara genetik lainnya sedang
dikembangkan.
REFERENSI
1. Farrar J. et al. 2014. Manson’s Tropical Diseases, 23rd edition

Anda mungkin juga menyukai