DEMAM TIFOID
Disusun Oleh:
Pembimbing:
Demam tifoid adalah salah satu penyebab utama kematian dan kesakitan di daerah
padat penduduk dan tidak higienis meskipun penelitian yang komprehensif dan intervensi
kesehatan masyarakat telah menurunkan kejadian tersebut. Perjalanan penyakit berkisar dari
gangguan gastrointestinal awal hingga penyakit sistemik nonspesifik tetapi pada akhirnya
dapat menyebabkan banyak komplikasi. Salmonella dikatakan menyebar melalui 'empat F'
(lalat, jari, feses, fomites). Demam secara khas datang dalam pola bertahap (yaitu, naik dan
turun secara bergantian) diikuti dengan sakit kepala dan sakit perut.1 Insiden tifoid lebih sering
terjadi di negara – negara berpenghasilan rendah dan menengah di Asia Tenggara dan Afrika
Selatan dibandingkan dengan negara – negara maju. Sebagian besar kasus di negara maju
dibawa oleh pendatang yang kembali dari daerah endemik dan mengunjungi kerabat atua
keluarga. Termasuk dengan orang yang tidak melakukan vaksinasi dan konsultasi sebelum
perjalanan jauh juga memiliki risiko tinggi. Hal ini terkait dengan sanitasi, pembuangan
limbah, dan sistem pengolahan air. Jumlah kasus baru demam tifoid telah meningkat diseluruh
dunia karena peningkatan populasi yang cepat, poli, dan kekurangan air murni. Namun,
kematian terlah menurun karena adanya perubahan dalam modalitas pengobatan dan penemuan
obat baru meskipun terdapat resistensi multi-obat.3 Di Indonesia, insiden demam tifoid masih
tinggi bahkan menempati urutan ketiga diantara negara seluruh dunia. Di Indonesia, demam
tifoid bersifat endemis serta banyak ditemukan di kota besar.4
Patogenesis demam tifoid tergantung pada sejumlah faktor. Semakin banyak penularan,
semakin singkat masa inkubasi dan semakin tinggi tingkat serangan. Demam tifoid akan lebih
berat pada pasien lemah dan immunocompromised seperti HIV, yang melakukan terapi
glukokortikoid, dan dengan fungsi sel fagosit berubah (pasien malaria dan anemia sel sabit).
Salmonella adalah bakteri yang peka terhadap asam kecuali untuk beberapa strain yang
resisten, sehingga bakteri ini akan dihancurkan di lambung kecuali seseorang terinfeksi dalam
dosis besar.9 Terdapat 4 tahap dari perkembangan penyakit yaitu, tahap 1 gejala pertama akan
muncul dengan demam, tahap 2 sekitar minggu ke 2 dari demam bakteri mulai menginvasi
payer patch dan pasien akan mulai mengalami nyeri perut serta gejala lain seperti diare atau
konstipasi. Tahap 3, jika tidak ditangani dengana antibiotic, bakteri akan menimbulkan
komplikasi serius. Dan tahap 4 ketika pasien sudah mulai membaik, demam menurun, dan
gejala mulai hilang.13,14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit multisistemik yang telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat. Hal ini disebabkan oleh Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi.1 Demam
tifoid disebut juga sebagai demam enterik yaitu istilah kumulatif yang menggambarkan
demam tifoid dan paratifoid. Secara klinis, paratifoid tidak berbeda denga demam tifoid
sehingga demam enteric dan tifoid digunakan bersama.
2.2 Epidemiologi
Sekitar 215.000 kematian diakibatkan oleh lebih dari 26 juta kasus demam tifoid setiap
tahunnya di seluruh dunia.2 Insiden tifoid lebih sering terjadi di negara – negara
berpenghasilan rendah dan menengah di Asia Tenggara dan Afrika Selatan dibandingkan
dengan negara – negara maju. Sebagian besar kasus di negara maju dibawa oleh pendatang
yang kembali dari daerah endemik dan mengunjungi kerabat atua keluarga. Termasuk
dengan orang yang tidak melakukan vaksinasi dan konsultasi sebelum perjalanan jauh juga
memiliki risiko tinggi. Hal ini terkait dengan sanitasi, pembuangan limbah, dan sistem
pengolahan air. Jumlah kasus baru demam tifoid telah meningkat diseluruh dunia karena
peningkatan populasi yang cepat, poli, dan kekurangan air murni. Namun, kematian terlah
menurun karena adanya perubahan dalam modalitas pengobatan dan penemuan obat baru
meskipun terdapat resistensi multi-obat.3
Di Indonesia, insiden demam tifoid masih tinggi bahkan menempati urutan ketiga diantara
negara seluruh dunia. Di Indonesia, demam tifoid bersifat endemis serta banyak ditemukan
di kota besar. Insiden demam tifoid di Indonesia berkisar 350-810 per 100.000 penduduk,
prevalensi penyakit ini di Indonesia sebesar 1,6% dan menduduki urutan ke-5 penyakit
menular yang terjadi pada semua umur di Indonesia, yaitu sebesar 6,0% serta menduduki
urutan ke-15 dalam penyebab kematian semua umur di Indonesia, yaitu sebesar 1,6%.
Sebagian kasus demam tifoid terjadi pada rentang usia 3 – 19 tahun.4
2.4 Patofisiologi
Patogenesis demam tifoid tergantung pada sejumlah faktor. Semakin banyak penularan,
semakin singkat masa inkubasi dan semakin tinggi tingkat serangan. Demam tifoid akan
lebih berat pada pasien lemah dan immunocompromised seperti HIV, yang melakukan
terapi glukokortikoid, dan dengan fungsi sel fagosit berubah (pasien malaria dan anemia
sel sabit). Salmonella adalah bakteri yang peka terhadap asam kecuali untuk beberapa strain
yang resisten, sehingga bakteri ini akan dihancurkan di lambung kecuali seseorang
terinfeksi dalam dosis besar.9
Virulensi salmonella ditentukan oleh toksin tifoid, antigen VI (kapsul polisakarida),
antigen liposakarida O, dan antigen flagellar H. Strain yang positif untuk antigen VI
memiliki laju serangan dua kali lipat dibandingkan dengan strain negative VI untuk
mikroorganisme dengan dosis yang sama. Invasi ke dinding usus dibantu oleh flagella lalu
sistem sekresi tipe II mampu mentransfer protein bakteri ke dalam enterosit dan sel M
(epitel khusus yang berfungsi sebagai sel penyaji antigen di mukosa usus atau jaringan
limfoid) atau dengan penetrasi penetrasi langsung ke mukosa. Bakteri yang melekat pada
sel M akan diserap oleh sitoplasma yang mengandung bakteri, lalu diekstrusi ke dalam
luminal space.10 Cystic fibrosis transmembrane conductance regulator (CFTR)
menunjukkan peran penting dalam penyerapan Salmonella.11 Pada proses tersebut, sel M
akan rusak dan lamina basal terbuka. Hal ini dapat mempermudah akses patogen untuk
invasi. Lalu, protein yang ditransfer akan mengaktifkan sel inang Rho GTPase yang akan
memicu penataan ulang dari aktin. Sehingga, penyerapan protein bakteri terjadi di fagosom,
yang merupakan tempat bakteri untuk bertumbuh.
Salmonella juga menghasilkan molekul yang merangsang pelepasan epitel dari
chemoattractant eicosanoid, yang mengasingkan neutrophil ke dalam lumen, lalu
menyebabkan potensi dari kerusakan mukosa. Bakteri tersebut akan menginduksi
proliferasi Payer patches melalui perekrutan limfosit dan sel mononuclear dan
menginduksi nekrosis dan akhirnya, ulserasi yang dapat memperparah gejala. Patogen akan
mencapai system retikuloendotelial melalui sistem limfatik dan aliran darah, termasuk
beberapa organ lain. Fase bakteremia awal mencapai 24 sampai 72 jam tanpa gejala,
bersifat sementara. Hal ini dikarenakan bakteri difagositosis oleh makrofag dan monosit
dalam sistem retikuloendotelial yang disebut bakteremia primer.
Kapasistas pathogen untuk tumbuh dalam sel kekebalan membuat karakteristik dan
multiplikasi bakteri intraseluler dalam sistem retikuloendotelial memaksa mereka untuk
masuk kembali ke aliran darah menyebabkan bakteremia terus menerus selama beberapa
hari dan minggu yang disebut bakteremia sekunder. Bakteremia sekunder adalah fase
dimana gejala penyakit bermanifestasi.8 Seperti pada bakteri gram negative lainnya,
endotoksin memiliki peran penting dalam pathogenesis. Lipopolisakarida menginduksi
reaksi syok dan endotoksemia menyebabkan hiperaktivitas vascular dan pelepasan
ketokolamin yang menyebabkan nekrosis fokal dan perdarahan.12
2.6 Diagnosis
Pendekatan terhadap pasien tifoid harus bersifat klinis. Pasien yang tinggal di daerah
dengan sanitasi buruk atau memiliki riwayat berpergian ke daerah endemik yang
menunjukkan adanya demam selama lebih dari 3 hari bersamaan dengan manifestasi
gastrointestinal perlu diperhatikan. Berbagai penelitian yang dapat dilakukan antara lain :
1. Kultur darah
Kultur darah tetap menjadi mekanisme utama untuk konfirmasi diagnosis
demam tifoid.15
2. Kultur feses
Kultur feses akan positif setelah hari ke 10 dan frekuensi akan meningkat hingga hari
ke 4 atau ke 5 dalam seminggu. Kultur feses positif setelah 4 bulan menunjukkan status
karier.
3. Widal test
Widal test positif pada hari ke 7 – 10 infeksi. Pemeriksaan ini untuk mendeteksi
antibody terhadap antigen O (permukaan) dan H (flagellar). Titer antibody yang lebih
besar dari 1:160 dan lebih besar dari 1:180 untuk antigen anti – H dan antigen anti – O
masing – masing dianggap sebagai tingkat batas untuk memprediksi infeksi demam
tifoid aktif. Widal test ini masih dapat menghasilkan false negative atau false positive.16
4. Sumsum tulang (gold standard)
Sampel sumsum tulang akan diaspirasi dan lebih sensitive dibandingkan kultur darah
karena lebih banyak mikroorganisme yang ada pada sumsum tulang. Kultur sumsum
tulang sangat sensitive hingga mencapai 90%. Namun tes ini merupakan tes yang
invasive dan mahal sehingga tidak rutin digunakan untuk diagnosis demam tifoid.17
5. Skin snip skin
Punch biopsies dapat dilakukan pada rose spots dan menghasilkan nilai positif sebesar
63%
6. Polymerase chain reaction Assay (PCR)
PCR dapat memberikan identifikasi gen berbasis DNA dari beberapa serotipe seperti
gen antigen H dan gen antigen O. Namun, sesnsitivitas masih rendah karena rendahnya
konsetrasi bakteri selama bacteremia. Pengujian ini juga mahal pada kalangan sumber
daya rendah.18
7. Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
ELISA mengidentifikasi antibody terhadap antigen VI polisakarida kapsuler yang
mungkin dapat membantu dalam mengidentifikasi namun masih jarang berguna pada
penyakit akut
8. Lain – lain
Pengambilan darah perifer juga daoat dilakukan. Pada pemeriksaan didapatkan
hasil penurunan hemoglobin, leukopenia, leukosit normal, limfositosis relative,
monositosis, eosinophilia, dan trombositopenia ringan. Pada pemeriksaan laju endap
darah didapatkan hasil adanya peningkatan. Selain itu, fungsi liver dapat menunjukkan
adanya peningkatan SGOT dan SGPT yang akan kembali normal ketika sudah teratasi.
Kultur urin dan kultur isi duodenum melalui string capsule masih jarang digunakan tapi
memiliki potensi untuk mengidentifikasi Salmonella typhi. Pemeriksaan menggunakan
electrocariodram, ultrasound, dan x-ray dapat digunakan untuk mengevaluasi apakah
terdapat komplikasi atau tidak dari pasien.
2.9 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah saluran gastrointestinal. Komplikasi pada
usus disebabkan adanya iritasi yang mengakibatkan diare. Selain itu hipertrofi pada payer
patch dapat menyebabkan obstruksi lumen dan konstipasi. Dalam kasus yang parah,
nekrosis pada payer patch mengakibatkan adanya ulser dan perdarahan. Perdarahan ini
diakibatkan oleh adanya perforasi dari ileum. Diare biasanya terjadi dengan konsistensi
cair dan tidak disetai darah. Namun, beberapa kasus diare dapat disertai dengan darah dan
gejala disentri dapat muncul. Suhu tubuh dapat menurun pada kondisi normal atau
subnormal diakibatkan oleh perdarahan intestinal.
Penyebaran dari salmonella dapat menginvasi berbagai organ yang menyebabkan
septicemia dimana organ gagal berfungsi.19 Hepatitis dan encephalopathy dapat terjadi
pada 5 – 7% pasien. Infeksi intraabdominal berlanjut ke abses hati dan limpa. Pneumonia
masih jarang terjadi. Komplikasi pada paru yang memungkinkan terjadi adalah abses paru,
empyema, dan terbentuknya bronhopleural fistula. Sebagian besar terjadi pada pasien
dengan kanker paru, penggunaan glukokortiroid, dan kelainan paru lainnya.20
Ensefalopati tifoid dapat terjadi pada hingga 17% pasien dengan angka kematian
setinggi 55%. Selain itu, terdapat nyeri kepala, gejala neurologis lainnya temasuk
ketidakteraturan tidur, psikosis akut, myelitis, meingitis, kekakuan otot, dan deisit
neurologis fokal. Miokarditis dan nefritis disebabkan adanya kejadian infeksi toksik.
Infeksi tulang dan sendi lebih sering terjadi pada anak – anak dengan anemia sel sabit,
hemoglobinopati, dan penyakit tulang yang sudah ada sebelumnya. Paling sering
menginvasi tulang panjang terumtama femur, tibia, dan humerus.21 Keterlibatan sendi pada
pasien ini menyebabkan artritis septik. Pasien dengan antigen HLA-B27 memiliki
kemungkinan lebih tinggi terkena artritis reaktif. Organ yang rusak sebelumnya, seperti
infark dan aneurisma aorta, adalah lokasi abses metastatik yang paling sering. Komplikasi
meningkat dengan durasi penyakit yang berkepanjangan sebelum rawat inap, durasi rawat
inap yang lama, teknik terapi antibiotik, dan kompromi kekebalan pada pasien yang lemah
dengan penyakit kronis seperti kanker, TB, dan HIV. Hampir 3% dari pasien yang tidak
diobati dengan baik menjadi pembawa penyakit kronis. Pasien yang tidak diobati secara
adekuat untuk tifus terus mengeluarkan bakteri dan dianggap sebagai pembawa penyakit
kronis. Bakteri pada tahap kronis tifoid menjajah kantong empedu, dan jika tidak diobati,
dapat dikaitkan dengan kanker kandung empedu.22, 23
2.10 Pencegahan
Pencegahan adalah berbagai upaya yang dilakukan untuk mencegah agar masyarakat
tidak tertular oleh bakteri Salmonella typhi. Pengendalian bersifat menelola, mengatur,
serta megawasi agar tifoid tidak menjadi masalah bagi masyakat. Menurut kemenkes 2006,
terdapat 3 pilar strategis untuk pencegahan tifoid, yaitu
1. Mengobati secara sempurna pasien dan karier tifoid
Penderita tifoid karier merupakan seseorang yang satu tahun pasca demam tifoid, tanpa
gejala klinis yang pasti memiliki kotoran (feses atau urin) yang masih mengandung
bakteri Salmonella Typhi. Karier pasca penyembuhan yaitu penderita tifoid yang sudah
sembuh setelah 2-3 bulan yang masih ditemukan kuman Salmonella Typhi pada feses
dan urinnya. Karier akan terjadi bila pasien tidak mendapatkan pengobatan atau tidak
diobati secara maksimal sehingga bakteri penyebab tifoid susah dimusnahkan dari
tubuh .
2. Mengatasi faktor – faktor yag berperan dalam proses penularan bakteri
Faktor penyebab demam tifoid yang utama adalah air dan makanan yang
terkontaminasi Salmonella Typhi sehingga harus dicegah dengan cara mengolah air
minum serta limbah rumah tangga yang baik agar kualitas air yang digunakan baik.
Menjaga kebersihan makanan dan minuman yang dikonsumsi, menjaga kebersihan
tangan dengan cara mencuci tangan menggunakan sabun setiap kali akan makan,
pengelolaan air limbah serta kotoran dan sampah yang benar agar tidak mencemari
lingkungan, jamban keluarga yang memenuhi persyaratan, serta membiasakan diri
untuk hidup bersih bagi seluruh elemen masyarakat.
3. Perlindungan agar tidak tertular
Pemberian vaksin tifoid perlu dilakukan untuk pencegahan tifoid, dimana
pemberiannya bila perlu sejak anak-anak dimana pada masa itu mereka mulai mengenal
jajan yang tidak terjamin kebersihannya. Vaksinasi juga perlu diberikan kepada para
pendatang dari negara maju yang masuk ke daerah yang endemik demam tifoid
2.11 Prognosis
Tingkat keseluruhan kematian saat ini sudah <1% karena kemajuan dalam modalitas
pengobatan dan penggunaan antibiotik. Prognosis pada pasien bergantung dengan
seberapa cepat terdiagnosa dan pengobatan yang tepat. Diagnosis dan pengobatan dini
akan menghasilkan prognosis baik pada pasien.24 Umumnya, karier demam tifoid
memiliki mortalitas sebesar 15-50%. Komplikasi akan terjadi jika pasien tidak
mendapatkan pengobatan secara cepat dan tepat.25
BAB III
KESIMPULAN
Demam tifoid adalah penyakit multisistemik yang telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat. Hal ini disebabkan oleh Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi.1 Demam
tifoid disebut juga sebagai demam enterik yaitu istilah kumulatif yang menggambarkan demam
tifoid dan paratifoid. Secara klinis, paratifoid tidak berbeda denga demam tifoid sehingga
demam enteric dan tifoid digunakan bersama. Salmonella ditularkan melalui rute fecal – oral
dari air yang terkontaminasi, makanan yang kurang matang, bekas dari pasien yang terinfeksi,
dan lebih sering terjadi di daerah dengan kepadatan penduduk, kekacauan sosial, dan sanitasi
yang buruk. Sumber utama salmonella adalah ungags, telur, dan jarang kura – kura.7 Flora
normal usus bersifat protekftif terhadap infeksi. Penggunaan antiobiotik seperti streptomisin
dalam jangka panjang dapat menghancurkan flora normal dan meningkatkan kemungkinan
invasi dari infeksi Salmonella tersebut. Selain itu, malnutrisis juga dapat menurunkan flora
normal usus dan dengan demikian meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Oleh karena itu,
penggunaan antiobtik sprektum luas dan giri buruk dapat menignkatkan kejadian demam
tifoid.8
Masa demam tifoid berlangsung antara 10 – 14 hari. Gejala klinis yang timbul sangat
bervariasi dari simptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga
kematian. Pada minggu pertama gejala klinis berupa demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, batuk, dan epiktasis. Sifat demam adalah
meningkat perlahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala
menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relative, muncul rose spots dan lidah yang
berselaput. Pendekatan diagnosis yang dapat dilakukan selain melakukan anamnesis dan
pemeriksaan, berupa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
adalah kultur darah, kultur feses, kultur sumsum tulang, widal test, skin snip test, PCR assay,
ELISA, dan lain – lainnya, seperti kultur urin dan pengambilan darah perifer lengkap.15,16,17
Penatalaksanaan yang tepat juga perlu diperhatikan karena akan berpengaruh pada
prognosis penyakit. Pasien dapat beristirahat dan melakukan perwatan, diet, dan
mengkonsumsi obat antibiotik lini pertama yaitu kloramfenikol, ampisilin atau amoxicillin,
dan trimetroprom-sulfametoksazol. Pemilhan tersebut disesuaikan dengan kepekaan antibiotic
pada suatu daerah. Antibiotik lini kedua yaitu seftriakson, cefixime, dan quinolone.
Pencegahan yang dapat dilakukan berupa 3 pilar yang sudah ditetapkan kemenkes, yaitu
mengobati secara sempurna pasien dan karier tifoid, mengatasi faktor – faktor yag berperan
dalam proses penularan bakteri, perlindungan agar tidak tertular. Prognosis pada pasien
bergantung dengan seberapa cepat terdiagnosa dan pengobatan yang tepat. Diagnosis dan
pengobatan dini akan menghasilkan prognosis baik pada pasien. 24 Umumnya, karier demam
tifoid memiliki mortalitas sebesar 15-50%. Komplikasi akan terjadi jika pasien tidak
mendapatkan pengobatan secara cepat dan tepat.25
TINJAUAN PUSTAKA
1. Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid fever. N Engl J Med. 2002
Nov 28;347(22):1770-82.
2. Chiodini J. The CDC Yellow Book app 2018. Travel Med Infect Dis. 2017 Sep;19:75-77
3. Klotz SA, Jorgensen JH, Buckwold FJ, Craven PC. Typhoid fever. An epidemic with
remarkably few clinical signs and symptoms. Arch Intern Med. 1984 Mar;144(3):533-7.
4. Riskesdas. Laporan Nasional Riskesdas 2007 [National Report on Basic Health Research
2007]. Kementeri Kesehat Republik Indones 2007; 1–384.
5. Alikhan NF, Zhou Z, Sergeant MJ, Achtman M. A genomic overview of the population
structure of Salmonella. PLoS Genet. 2018 Apr;14(4):e1007261.
6. Heymans R, Vila A, van Heerwaarden CAM, Jansen CCC, Castelijn GAA, van der Voort
M, Biesta-Peters EG. Rapid detection and differentiation of Salmonella species, Salmonella
Typhimurium and Salmonella Enteritidis by multiplex quantitative PCR. PLoS
One. 2018;13(10):e0206316.
7. Gu D, Wang Z, Tian Y, Kang X, Meng C, Chen X, Pan Z, Jiao X. Prevalence
of Salmonella Isolates and Their Distribution Based on Whole-Genome Sequence in a
Chicken Slaughterhouse in Jiangsu, China. Front Vet Sci. 2020;7:29
8. Moudgil KD, Narang BS. Pathogenesis of typhoid fever. Indian J Pediatr. 1985 Jul-
Aug;52(417):371-8.
9. Lianou A, Nychas GE, Koutsoumanis KP. Variability in the adaptive acid tolerance
response phenotype of Salmonella enterica strains. Food Microbiol. 2017 Apr;62:99-105.
10. Kohbata S, Yokoyama H, Yabuuchi E. Cytopathogenic effect of Salmonella typhi GIFU
10007 on M cells of murine ileal Peyer's patches in ligated ileal loops: an ultrastructural
study. Microbiol Immunol. 1986;30(12):1225-37.
11. Van de Vosse E, Ali S, de Visser AW, Surjadi C, Widjaja S, Vollaard AM, van Dissel JT.
Susceptibility to typhoid fever is associated with a polymorphism in the cystic fibrosis
transmembrane conductance regulator (CFTR). Hum Genet. 2005 Oct;118(1):138-40.
12. Hornick RB. Pathogenesis of typhoid fever. J Egypt Public Health Assoc. 1970;45(1):247-
59.
13. Christie AB. Infectious Diseases: Epidemiology and Clinical Practice. 4th ed. Edinburgh,
Scotland: Churchill Livingstone; 1987.
14. Hartanto D. CONTINUING MEDICAL EDUCATION Akreditasi PB IDI-2 SKP
Diagnosis dan Tatalaksana Demam Tifoid pada Dewasa. 48(1).
15. Bhutta ZA. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever. BMJ. 2006
Jul 08;333(7558):78-82.
16. Mawazo A, Bwire GM, Matee MIN. Performance of Widal test and stool culture in the
diagnosis of typhoid fever among suspected patients in Dar es Salaam, Tanzania. BMC Res
Notes. 2019 Jun 05;12(1):316.
17. Gilman RH, Terminel M, Levine MM, Hernandez-Mendoza P, Hornick RB. Relative
efficacy of blood, urine, rectal swab, bone-marrow, and rose-spot cultures for recovery of
Salmonella typhi in typhoid fever. Lancet. 1975 May 31;1(7918):1211-3
18. Goay YX, Chin KL, Tan CL, Yeoh CY, Ja'afar JN, Zaidah AR, Chinni SV, Phua KK.
Identification of Five Novel Salmonella Typhi-Specific Genes as Markers for Diagnosis of
Typhoid Fever Using Single-Gene Target PCR Assays. Biomed Res
Int. 2016;2016:8905675
19. Kumwenda M, Iroh Tam PY. An adolescent with multi-organ involvement from typhoid
fever. Malawi Med J. 2019 Jun;31(2):159-160
20. Esmailpour N, Rasoolinejad M, Abdolbaghi MH. Cardiopulmonary manifestations of
typhoid fever: a prospective analysis of 65 cases in Iran. Trop Doct. 2006 Apr;36(2):118-
9.
21. Rohilla R, Bhatia M, Gupta P, Singh A, Shankar R, Omar BJ. Salmonellaosteomyelitis: A
rare extraintestinal manifestation of an endemic pathogen. J Lab Physicians. 2019 Apr-
Jun;11(2):164-170.
22. Koshiol J, Wozniak A, Cook P, Adaniel C, Acevedo J, Azócar L, Hsing AW, Roa JC,
Pasetti MF, Miquel JF, Levine MM, Ferreccio C., Gallbladder Cancer Chile Working
Group. Salmonella enterica serovar Typhi and gallbladder cancer: a case-control study and
meta-analysis. Cancer Med. 2016 Nov;5(11):3310-32355.
23. Gunn JS, Marshall JM, Baker S, Dongol S, Charles RC, Ryan ET. Salmonella chronic
carriage: epidemiology, diagnosis, and gallbladder persistence. Trends Microbiol. 2014
Nov;22(11):648-55.
24. Cruz Espinoza LM, McCreedy E, Holm M, Im J, Mogeni OD, Parajulee P, Panzner U, Park
SE, Toy T, Haselbeck A, Seo HJ, Jeon HJ, Kim JH, Kwon SY, Kim JH, Parry CM, Marks
F. Occurrence of Typhoid Fever Complications and Their Relation to Duration of Illness
Preceding Hospitalization: A Systematic Literature Review and Meta-analysis. Clin Infect
Dis. 2019 Oct 30;69(Suppl 6):S435-S448.
25. Buckle GC, Walker CL, Black RE. Typhoid fever and paratyphoid fever: Systematic
review to estimate global morbidity and mortality for 2010. J Glob Health. 2012 Jun. 2
(1):010401.