Anda di halaman 1dari 29

Case Report Session

DEMAM TIFOID

Oleh:
Mohammad Arraniri 1740312284
M. Alif Qisthi Abi Rafdhi 1740312274
Shintia Surya Putri 1740312279
Fikkriyah Ulfayuni 1740312242
Hanifa Husna 1740312278

Pembimbing:

Dr. dr. Rima Semiarty, MARS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PUSKESMAS AIR DINGIN

2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu penyakit infeksi sistemik akut yang banyak dijumpai di
berbagai belahan dunia saat ini adalah demam tifoid yang disebabkan oleh bakteri
gram negatif Salmonella typhi. Di Indonesia demam tifoid lebih dikenal oleh
masyarakat dengan istilah penyakit tifus. Dalam 4 dekade terakhir demam tifoid
menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Diperkirakan insidensi
penyakit ini mencapai 13-17 juta kasus di seluruh dunia dengan angka mortalitas
mencapai 600 ribu jiwa per tahun. Daerah endemik demam tifoid tersebar di
berbagai benua mulai dari Asia, Afrika, Amerika Selatan, Karibia, hingga
Oceania. Sebagian besar kasus (80%) ditemukan di negara berkembang seperti
Bangladesh, Laos, Nepal, Pakistan, India, Vietnam, dan Indonesia. Indonesia
merupakan wilayah endemik demam tifoid dengan mayoritas angka insidensi
terjadi pada kelompok umur 3-19 tahun (91% kasus). 1, 2, 3

Munculnya daerah endemik demam tifoid dipengaruhi oleh berbagai


faktor seperti laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, peningkatan urbanisasi,
rendahnya kualitas pelayanan kesehatan, kurangnya suplai air, buruknya sanitasi,
dan tingkat resistensi antibiotik yang sensitif untuk bakteri Salmonella typhi
seperti kloramfenikol, ampisilin, trimetoprim, dan siprofloksasin. 1

1.2 Batasan Masalah


Makalah ini memiliki batasan pembahasan yaitu definisi, epidemiologi,
klasifikasi, etiologi, patofisiologi, diagnosis, tatalaksanan, komplikasi, serta
prognosis dari demam tifoid.

2
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan dokter muda
mengenai demam tifoid. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan
dalam mendiagnosis dan melakukan tatalaksana, serta mengerti mengenai sistem
rujukan.

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan makalah ini adalah dengan mengambil referensi dari
berbagai literature tentang demam tifoid.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi yang masuk ke dalam tubuh
manusia. Demam tifoid merupakan penyakit yang mudah menular dan
menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah. 4
Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi
akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari
7 hari, gangguan pada saluran cerna, dan gangguan kesadaran. 5

2.2 Epidemiologi
Pada beberapa dekade terakhir demam tifoid jarang terjadi di negara
industri. Namun, tetap menjadi masalah kesehatan serius di sebagian wilayah
dunia seperti Uni Soviet, India, Asia Tenggara, Amerika Selatan, dan Afrika.
Menurut WHO, diperkirakan terjadi 16 juta kasus per tahun dan 600 ribu
berakhir kematian. Sekitar 70% dari seluruh kasus kematian itu menimpa
penderita demam tifoid di Asia. 6
Pada tahun 2000 insidensi demam tifoid di Amerika Latin sebesar 53
per 100 ribu penduduk dan di Asia Tenggara sebesar 110 per 100 ribu
penduduk. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun.
Etiologi utama di Indonesia adalah Salmonella subspesies enterika serovar
typhi dan paratyphi A. CDC Indonesia melaporkan insidensi demam tifoid
mencapai 358-810 per 100 ribu populasi pada tahun 2007 dengan 64%
ditemukan pada usia 3-19 tahun dan angka mortalitas antara 3,1-10,4% pada
pasien rawat inap. 6, 7
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan
nyata antara insidensi pada laki-laki maupun perempuan. Insidensi penderita

4
demam tifoid dengan usia 12-30 tahun sekitar 70-80%, usia 31-40 tahun
sekitar 10-20%, dan usia > 40 tahun sekitar 5-10%. 7

2.3 Etiologi
Demam tifoid disebabkan bakteri Salmonella typhi dan Salmonella
paratyphi dari genus Salmonella. Kuman ini berbentuk batang, gram negatif,
tidak membentuk spora, motil, berkapsul, dan mempunyai flagela (rambut
getar). Kuman ini tumbuh dalam suasana aerob dan fakultatif anaerob pada
suhu 15-41o C (suhu pertumbuhan optimal 37 o C) serta pH pertumbuhan 6-8.
Kuman ini bertahan hidup beberapa minggu di alam bebas seperti di air, es,
sampah, dan debu serta hidup subur pada medium yang mengandung garam
empedu. Kuman ini mati dengan pemanasan (suhu 60o C) selama 15-20 menit,
pasteurisasi, pendidihan, dan khlorinisasi. 8
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen yaitu:
1. Antigen O (antigen somatik) terletak pada lapisan luar kuman. Bagian ini
mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau endotoksin. Antigen ini
tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (antigen flagela) terletak pada flagela, fimbria, atau fili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan
terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis.
Antigen tersebut di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pembentukan 3
macam antibodi yang lazim disebut aglutinin. 7, 9

2.4 Patogenesis
Penularan demam tifoid adalah secara feko-oral dan banyak terdapat di
masyarakat dengan higien dan sanitasi yang kurang baik. Bakteri Salmonella
typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke tubuh manusia melalui makanan
atau minuman yang tercemar dan dapat juga melalui kontak langsung dengan
jari penderita yang terkontaminasi feses, urin, sekret saluran napas, atau pus.
5
Selain itu, transmisi juga dapat terjadi secara transplasental dari ibu hamil ke
janin. Sebagian kuman dihancurkan oleh asam lambung dan sebagian lagi
masuk ke usus halus dan berkembang biak. 4, 7
Di usus diproduksi IgA sekretorik sebagai imunitas humoral lokal yang
berfungsi untuk mencegah melekatnya kuman pada mukosa usus. Sedangkan
untuk imunitas humoral sistemik diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan
fagositosis kuman oleh makrofag. Imunitas seluler sendiri berfungsi untuk
membunuh kuman intraseluler. 10
Jika respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik, kuman
akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan lamina propia. Di lamina
propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh makrofag. Kuman dapat
hidup dan berkembang biak di dalam makrofag. Selanjutnya dibawa ke plaque
peyeri ileum distal dan ke kelenjar limfe mesenterika. Melalui duktus
torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag masuk ke sirkulasi darah
(mengakibatkan bakterimia ke-1 yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh
organ retikuloendotelial tubuh terutama hepar, lien, dan sumsum tulang. Di
organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan berkembang biak di
luar sel atau ruang sinusoid kemudian masuk ke sirkulasi darah lagi yang
mengakibatkan bakterimia ke-2 dengan disertai tanda dan gejala klinis. 4, 7
Namun, sebagian lagi masuk ke kandung empedu dan berkembang
biak kemudian disekresikan secara intermiten bersama cairan empedu ke
lumen usus, sebagian keluar bersama feses, dan sebagian lagi menembus usus
kembali dan difagosit oleh makrofag yang sudah teraktivasi dan hiperaktif
sehingga melepaskan sitokin reaksi inflamasi sistemik. Oleh karena itu timbul
demam, sakit kepala, sakit perut, mialgia, malaise, instabilitas vaskuler,
gangguan koagulasi, dan gangguan kesadaran. Setelah sampai di plaque
peyeri, makrofag hiperaktif sehingga timbul reaksi hiperplasia jaringan dan
perdarahan saluran cerna (erosi vaskuler di sekitar plaque peyeri). Jika kuman
terus menembus lapisan usus hingga lapisan otot dan serosa usus, dapat
mengakibatkan perforasi. 4

6
Kuman juga mengeluarkan endotoksin yang dapat menempel di
reseptor sel endotel kapiler sehingga dapat timbul komplikasi seperti
gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan lain-lain. Kuman
dapat menetap atau bersembunyi pada 1 tempat dalam tubuh penderita. Hal ini
mengakibatkan terjadinya relaps atau karier. 4

PATHWAY
bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi masuk ke saluran cerna

sebagian dimusnahkan asam lambung sebagian masuk usus halus

peningkatan asam lambung di ileum terminalis membentuk


limfoid plaque peyeri

mual, muntah

sebagian hidup sebagian menembus


intake kurang dan menetap lamina propria

gangguan nutrisi perdarahan masuk aliran limfe

perforasi masuk ke kelenjar


limfe mesenterikus

PERITONITIS menembus aliran darah

nyeri tekan masuk hepar dan lien

hepatomegali, splenomegali

infeksi Salmonella typhi,


paratypi, dan endotoksin

dilepasnya zat pirogen


oleh leukosit

DEMAM TIFOID

7
2.5 Manifestasi Klinis
Masa inkubasi demam tifoid sekitar 10-14 hari, rata-rata 2 minggu.
Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dari asimtomatik atau ringan seperti
panas disertai diare sampai dengan klinis yang berat seperti panas tinggi, gejala
septik, ensefalopati, atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perdarahan
dan perforasi usus. Hal ini mempersulit penegakkan diagnosis jika hanya
berdasarkan gambaran klinisnya. 1, 3
Demam merupakan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua
penderita demam tifoid. Demam dapat muncul tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi
parah dengan gejala yang menyerupai septikemia karena Streptococcus atau
Pneumococcus daripada Salmonella typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada
demam tifoid tetapi pada malaria. Namun, demam tifoid dan malaria dapat timbul
bersamaan pada 1 penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi
dapat menyerupai gejala meningitis. Nyeri perut kadang tidak dapat dibedakan
dengan apendiksitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gejala peritonitis akibat
perforasi usus. 4
o
Minggu ke-1 penderita mengalami demam (suhu berkisar 39-40 C),
nyeri kepala, epistaksis, batuk, anoreksia, mual, muntah, konstipasi, diare,
nyeri perut, nyeri otot, dan malaise. Minggu ke-2 pasien mengalami demam,
lidah khas berwarna putih (lidah kotor), bradikardia relatif, hepatomegali,
splenomegali, meteorismus, dan bahkan gangguan kesadaran (delirium, stupor,
koma, atau psikosis). 4, 10
Demam pada demam tifoid umumnya berangsur-angsur naik selama
minggu ke-1, terutama sore dan malam hari (febris remiten). Pada minggu
ke-2 dan ke-3 demam terus-menerus tinggi (febris kontinyu) kemudian turun
secara lisis. Demam tidak hilang dengan antipiretik, tidak menggigil, tidak
berkeringat, dan kadang disertai epistaksis. Gangguan gastrointestinal meliputi
bibir kering dan pecah-pecah disertai lidah kotor, berselaput putih, dan tepi
hiperemis. Perut agak kembung dan mungkin nyeri tekan. Lien membesar,
lunak, dan nyeri tekan. Pada awal penyakit umumnya terjadi diare kemudian
menjadi obstipasi. 4, 10
8
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk demam tifoid meliputi pemeriksaan
hematologi, urinalisis, kimia klinis, imunoserologi, mikrobiologi, dan biologi
molekuler. Pemeriksaan ini untuk membantu menegakkan diagnosis,
menentukan prognosis, serta memantau perjalanan penyakit, hasil pengobatan,
dan timbulnya komplikasi.
1. Hematologi
a. Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun jika terjadi komplikasi
perdarahan atau perforasi usus.
b. Hitung leukosit rendah (leukopenia) tetapi dapat normal atau tinggi.
c. Hitung jenis neutrofil rendah (neutropenia) dengan limfositosis relatif.
d. Laju endap darah (LED) meningkat.
e. Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia). 13
2. Urinalisis
a. Protein bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam).
b. Leukosit dan eritrosit normal tetapi meningkat jika terjadi komplikasi. 7
3. Kimia klinis
Enzim hati (SGOT dan SGPT) sering meningkat dengan gambaran radang
sampai hepatitis akut. 7
4. Imunoserologi
a. Widal
Widal digunakan untuk mendeteksi antibodi di dalam darah
terhadap antigen bakteri Salmonella typhi atau paratyphi (reagen).
Pada uji ini hasil positif jika terjadi reaksi aglutinasi antara antigen
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Oleh karena itu, antibodi jenis
ini dikenal sebagai febrile agglutinin. Hasil uji ini dipengaruhi oleh
banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif palsu atau
negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan pernah vaksinasi,
reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi
anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor reumatoid (RF). Hasil
negatif palsu dapat disebabkan sudah mendapatkan terapi antibiotik,
9
waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum
buruk, dan adanya penyakit imun lain. 3, 13
Aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam
tifoid. Makin tinggi titer, makin besar kemungkinan menderita demam
tifoid. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu ke-1
demam kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada
minggu ke-4 serta tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut
mula-mula timbul aglutinin O dan diikuti aglutinin H. Orang yang
sembuh, aglutinin O masih dijumpai setelah 4-6 bulan sedangkan
aglutinin H menetap lebih lama 9-12 bulan. 3, 13
Jika titer O sekali periksa ≥ 1/200 atau terjadi kenaikan titer 4
kali, diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H dikaitkan
dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau sedangkan Vi untuk
deteksi pembawa kuman (karier). 13
b. Elisa Salmonella typhi atau paratyphi lgG dan lgM
Uji ini lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji widal untuk
mendiagnosis demam tifoid. lgM positif menandakan infeksi akut
sedangkan lgG positif menandakan pernah kontak, terinfeksi, reinfeksi,
atau di daerah endemik. 7
5. Mikrobiologi (kultur)
Gall culture atau biakan empedu merupakan gold standard untuk
demam tifoid. Jika hasil positif, diagnosis pasti untuk demam tifoid. Jika
hasil negatif, belum tentu bukan demam tifoid karena hasil biakan negatif
palsu dapat disebabkan jumlah darah terlalu sedikit (< dari 2 ml), darah
tidak segera dimasukkan ke media gall (darah membeku dalam spuit
sehingga kuman terperangkap dalam bekuan), saat pengambilan darah
masih dalam minggu ke-1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotik, dan
sudah vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera
diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (positif antara 2-7
hari, jika belum ada ditunggu 7 hari lagi). Spesimen yang digunakan pada

10
awal sakit adalah darah kemudian untuk stadium lanjut atau carrier
digunakan urin dan feses. 1, 3, 10
6. Biologi molekular
PCR (polymerase chain reaction) mulai banyak digunakan. Cara
ini dilakukan dengan perbanyakan DNA kuman kemudian diindentifikasi
dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi
kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitivitas) dan spesifisitas
tinggi. Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh
lain, dan jaringan biopsi. 6

2.7 Diagnosis
Diagnosis demam tifoid ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti dilakukan dengan cara menguji
sampel feses atau darah untuk mendeteksi adanya bakteri Salmonella sp
dengan membiakkan pada 14 hari awal setelah terinfeksi. 7
Selain itu, tes widal (aglutinin O dan H) mulai positif pada hari ke-10
dan titer akan meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal
selang 2 hari jika peningkatan aglutinin progresif (di atas 1/200) menunjukkan
diagnosis positif dari infeksi aktif demam tifoid. Biakan feses dilakukan pada
minggu ke-2 dan ke-3 serta biakan urin pada minggu ke-3 dan ke-4 dapat
mendukung diagnosis dengan ditemukannya bakteri Salmonella. 3, 13
Gambaran darah juga membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat
leukopenia polimorfonuklear (PMN) dengan limfositosis relatif pada hari ke-
10 dari demam, arah demam tifoid menjadi jelas. Jika terjadi leukositosis
PMN, berarti terdapat infeksi sekunder kuman di dalam lesi usus. Peningkatan
cepat dari leukositosis PMN waspada akan terjadinya perforasi usus. Tidak
mudah mendiagnosis karena gejala yang timbul tidak khas. Ada penderita
yang setelah terpapar kuman hanya mengalami demam kemudian sembuh
tanpa diberi obat. Hal itu dapat terjadi karena tidak semua penderita yang
secara tidak sengaja menelan kuman langsung sakit, tergantung dari

11
banyaknya kuman dan imunitas seseorang. Jika kuman hanya sedikit yang
masuk saluran cerna, dapat langsung dimatikan oleh sistem imun. 7

2.8 Diagnosis Banding


Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit secara klinis dapat
menjadi diagnosis banding seperti influenza, bronkitis, bronkopneumonia, dan
gastroenteritis. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme
intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia,
shigelosis, dan malaria juga perlu dipikirkan. Demam tifoid yang berat dapat
didiagnosis banding dengan sepsis, leukemia, limfoma, dan penyakit hodgkin.
2, 7, 13

2.9 Tatalaksana
Tatalaksana umum, asuhan keperawatan, dan asupan gizi merupakan
aspek penting dalam pengobatan demam tifoid selain pemberian antibiotik.
Tatalaksana demam tifoid meliputi:
1. Tirah baring
Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur seperti
makan, minum, mandi, buang air kecil, maupun buang air besar dapat
mempercepat penyembuhan. Kebersihan tempat tidur, pakaian, dan
perlengkapan yang dipakai juga perlu dijaga. 5
Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi,
observasi, dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai
minimal 7 hari bebas demam atau ± 14 hari. Tirah baring bertujuan untuk
mencegah terjadinya komplikasi perdarahan atau perforasi usus.
Mobilisasi pasien dilakukan bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan
pasien. 5
Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuh harus diubah pada
waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan
dekubitus. Defekasi dan buang air kecil harus diperhatikan karena kadang
terjadi obstipasi dan retensi urin. 5
12
2. Managemen nutrisi
Penderita demam tifoid selama menjalani perawatan dianjurkan
mengikuti petunjuk diet berikut:
a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin, dan protein.
b. Tidak mengandung banyak serat.
c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Makanan rendah serat bertujuan untuk membatasi volume feses dan tidak
merangsang saluran cerna. Pemberian bubur ditujukan untuk menghindari
terjadinya komplikasi perdarahan atau perforasi usus. 11
3. Managemen medis
Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala seperti
demam, diare, obstipasi, mual, muntah, dan meteorismus. Jika obstipasi > 3
hari, perlu dibantu dengan parafin atau lavase dengan glistering. Obat
laksansia atau enema tidak dianjurkan karena dapat mengakibatkan
perdarahan maupun perforasi usus. 11
Pengobatan suportif diberikan untuk memperbaiki keadaan
penderita seperti pemberian cairan dan elektrolit jika terjadi gangguan
keseimbangan cairan. Penggunaan kortikosteroid hanya diindikasikan
pada toksik tifoid (disertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan
neurologis dan hasil pemeriksaan CSF dalam batas normal) atau demam
tifoid yang mengalami syok septik. Regimen yang digunakan adalah
deksametason dengan dosis 3 x 5 mg. Pada anak digunakan deksametason
intravena dengan dosis 3 mg/kg BB dalam 30 menit sebagai dosis awal
dilanjutkan dengan 1 mg/kg BB tiap 6 jam hingga 48 jam. 3, 11, 12
Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya penyebaran
kuman. Antibiotik yang dapat digunakan dalam demam tifoid yaitu:
a. Kloramfenikol.
Dosis orang dewasa 4 x 500 mg per hari oral atau intravena
sampai 7 hari bebas demam. Suntik intramuskuler tidak dianjurkan
karena dapat terjadi hidrolisis ester dan tempat suntikan terasa nyeri.
13
Tingginya angka kekambuhan (10-25%), masa penyakit memanjang,
karier kronis, depresi sumsum tulang (anemia aplastik), dan angka
mortalitas yang tinggi merupakan perhatian yang perlu terhadap
kloramfenikol. Kekambuhan dapat diobati dengan obat yang sama.
Penurunan demam terjadi pada hari ke-5. 11, 12
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir
sama dengan kloramfenikol tetapi komplikasi hematologi seperti
anemia aplastik lebih rendah dibandingkan kloramfenikol. Dosis
tiamfenikol 4 x 500 mg. Demam menurun pada hari ke-6. 11, 12
c. Ampisilin dan kotrimoksazol
Efektivitas obat ini hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis
orang dewasa 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400
mg dan trimetoprin 80 mg) diberikan selama 2 minggu. Diberikan
karena meningkatnya angka mortalitas akibat resistensi kloramfenikol.
Munculnya strain Salmonella typhi MDR menjadikan ampisilin dan
kotrimoksazol resisten. 11, 12
d. Kuinolon
Kuinolon mempunyai aktivitas tinggi terhadap Salmonella in
vitro serta mencapai konsentrasi tinggi di usus dan lumen empedu.
Siprofloksasin mempunyai efektivitas tinggi terhadap strain Salmonella
typhi MDR dan tidak menyebabkan karier. Kuinolon yang dapat
digunakan untuk demam tifoid meliputi:
1) Norfloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 14 hari.
2) Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg per hari selama 6 hari.
3) Ofloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 7 hari.
4) Pefloksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari.
5) Fleroksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari.
Demam umumnya lisis pada hari ke-3 atau ke-4. Penurunan demam
sedikit lambat pada penggunaan norfloksasin. 11, 12

14
e. Sefalosporin generasi III
Sefotaksim, seftriakson, dan sefoperazon digunakan selama 3
hari dan memberi efek terapi sama dengan obat yang diberikan 10-14
hari. Respon baik juga dilaporkan dengan pemberian seftriakson dosis
3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc selama 30 menit per infus 1 x
diberikan 3-5 hari. 11, 12
f. Antibiotik lainnya
Beberapa studi melaporkan keberhasilan pengobatan demam
tifoid dengan aztreonam (monobaktam). Antibiotik ini lebih efektif
daripada kloramfenikol. Azitromisin (makrolid) diberikan dengan
dosis 1 x 1 gram per hari selama 5 hari. Aztreonam dan azitromisin
dapat digunakan anak-anak, ibu hamil, dan menyusui. 11, 12
g. Kombinasi antibiotik
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada
keadaan tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis, perforasi, dan syok
septik di mana pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam
kultur darah selain bakteri Salmonella typhi. Kepekaan kuman
terhadap antibiotik yaitu:
1) Ampisilin, amoksisilin, sulfametoksazol, dan trimetoprin
mempunyai kepekaan 95,12%.
2) Sisanya seperti kloramfenikol mempunyai kepekaan 100%. 11,12
Tabel 3. Obat dan Dosis Antibiotik untuk Demam Tifoid

15
Tabel 4. Rekomendasi DOC Pengobatan Antibiotik untuk Demam Tifoid

sensitif  fluorokuinolon (ofloksasin, siprofloksasin) 5-7 hari


demam tifoid
tanpa MDR  fluorokuinolon 5-7 hari atau sefiksim 7-14 hari

komplikasi resisten kuinolon  azitromisin 7 hari atau seftriakson 10-14 hari

sensitif  fluorokuinolon (ofloksasin) 10-14 hari


demam tifoid
dengan MDR  fluorokuinolon (ofloksasin) 10-14 hari

komplikasi resisten kuinolon  azitromisin 7 hari atau seftriakson 10-14 hari

2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul akibat demam tifoid yaitu:
1. Intestinal
a. Perdarahan usus
Pada plaque peyeri yang terinfeksi (ileum terminalis) dapat
terbentuk tukak. Jika tukak menembus lumen usus dan mengenai
pembuluh darah, terjadi perdarahan. Jika tukak menembus dinding
usus, terjadi perforasi. Perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan
koagulasi darah (DIC). Sekitar 25% penderita mengalami perdarahan
minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Namun, perdarahan
hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Jika transfusi

16
dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, biasanya perdarahan ini
merupakan suatu proses self limiting yang tidak perlu bedah. 1, 3, 10
b. Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya
timbul pada minggu ke-3 tetapi dapat juga terjadi pada minggu ke-1.
Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut hebat
terutama di kuadran kanan bawah yang menyebar ke seluruh perut dan
disertai tanda ileus. Peristaltik melemah pada 50% penderita dan pekak
hepar kadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen.
Tanda perforasi lain adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan
bahkan syok. 1, 3, 10
Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong
adanya perforasi. Jika pada foto polos abdomen 3 posisi ditemukan
udara pada rongga peritoneum, hal ini merupakan nilai yang cukup
1, 3, 10
menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid.
c. Ileus paralitik
d. Pankreatitis
2. Ekstraintestinal
a. Kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer, miokarditis, trombosis,
dan tromboflebitis.
b. Darah: anemia hemolitik, trombositopenia, dan DIC.
c. Paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Hepatobilier: hepatitis dan kolesistitis.
e. Ginjal: glomerulonefritis dan pielonefritis.
f. Neuropsikiatrik atau toksik tifoid. 1, 3, 10

2.11 Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari usia, keadaan umum, status
imunitas, jumlah dan virulensi kuman, serta cepat dan tepatnya pengobatan.
Prognosis buruk jika terdapat gejala klinis yang berat seperti hiperpireksia
atau febris kontinyu, kesadaran menurun, malnutrisi, dehidrasi, asidosis,
17
peritonitis, bronkopneumonia, dan komplikasi lain. Di negara maju dengan
terapi antibiotik yang adekuat angka mortalitas < 1%. Di negara berkembang
angka mortalitas > 10%, biasanya disebabkan keterlambatan diagnosis dan
pengobatan. Angka mortalitas pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa
7,4% dengan rata-rata 5,7%. 6, 7
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan
bakteri Salmonella typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya manjadi karier
kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai
usia. Karier kronis terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.
Insidensi penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan
dengan populasi umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini
jarang dan dijumpai terutama pada individu dengan skistosomiasis. 7, 13

18
BAB 3

LAPORAN KASUS

 Identitas Pasien
o Nama / Kelamin / Umur : Tn. IF / Laki-laki / 12 tahun
o Pekerjaan / Pendidikan : Pelajar / SD
o Alamat : Air Dingin
 Latar Belakang Sosial – Ekonomi – Demografi - Lingkungan – Keluarga
o Status Perkawinan : Belum menikah
o Jumlah Saudara : 3 orang bersaudara
o Status Ekonomi Keluarga : Cukup
o Kondisi Rumah :
 Rumah semi permanen, perkarangan cukup luas.
 Ventilasi dan sirkulasi udara baik
 Listrik ada
 Sumber air dari sumur
 Kamar mandi / WC ada 1 buah, di dalam rumah
 Sampah dibakar
 Kesan: higiene dan sanitasi sedang
o Kondisi Lingkungan Keluarga
 Pasien tinggal bersama orang tua.
 Tinggal di pinggir kota
o Aspek Psikologis di Keluarga
 Hubungan dengan keluarga baik
 Faktor stres dalam keluarga tidak ada
 Keluhan Utama: Pasien datang ke Puskesmas tanggal 4 Mei 2019 dengan
keluhan demam sejak 3 hari yang lalu.
 Riwayat Penyakit Sekarang
o Demam sejak 3 hari yang lalu, terus-menerus, makin lama makin
tinggi, terutama pada sore dan malam hari, tidak menggigil, tidak
berkeringat, dan tidak disertai kejang
19
o Nafsu makan pasien menurun sejak 3 hari yang lalu, sebelumnya
pasien makan dengan makanan biasa menghabiskan 1 porsi.
Selama sakit, pasien hanya mau makan ¼ porsi makan dalam
sehari.
o Mual dan muntah ada. Muntah 2 kali, berisi apa yang dimakan.
o BAB frekuensi 3 kali sehari, konsistensi cair, volume ¼ gelas,
tidak ada lendir, tidak ada darah.
o Pasien sering jajan di luar rumah.
 Riwayat Penyakit Dahulu / Penyakit Keluarga
o Tidak ada riwayat alergi.
o Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang serupa dengan
pasien.
 Riwayat Makanan dan Minuman
o Bayi
 ASI : Eksklusif 0 – 6 bulan. Menyapih 2 tahun
 Susu formula : +
 Bubur susu : 6 – 8 bulan
 Nasi tim : 8 – 12 bulan
o Anak
 Makan utama : 3 x/hari, menghabiskan ½ porsi
 Daging : 0 x/minggu
 Ikan : 7 x/minggu
 Telur : 3 x/minggu
 Sayur : 7 x/minggu
 Buah : 7 x/minggu
o Kesan: Kuantitas dan kualitas makanan cukup

20
 Riwayat Imunisasi

Imunisasi Dasar (Umur) Booster (Umur)

BCG 0 bulan -

DPT 1 2 bulan -

2 3 bulan -

3 4 bulan -

Polio 1 1 bulan -

2 2 bulan -

3 3 bulan -

Hepatitis B 1 0 bulan -

2 2 bulan -

3 3 bulan -

Haemofilus influenza B 1 2 bulan -

2 3 bulan -

3 4 bulan -

Campak 9 bulan -

21
 Riwayat Keluarga
Ayah Ibu

Nama Tn. S Ny. M

Umur 38 tahun 33 tahun

Pendidikan SMA SMA

Pekerjaan Swasta IRT

Penghasilan Rp4.000.000,- -

Perkawinan 1 1

Penyakit yang pernah diderita - -

No. Saudara Kandung Umur Keadaan Sekarang

1 Tn. IF 12 tahun Pasien

2 Nn. AM 8 tahun Sehat

3 Nn. UK 5 tahun Sehat

 Pemeriksaan Fisik
o Status Generalis
 Keadaan Umum : Sakit ringan
 Kesadaran : CM
 Nadi : 80 x/ menit
 Nafas : 16 x/menit
 Suhu : 38,0°C
 BB : 23 Kg
 TB : 110 cm
22
 Status Gizi : Baik
o Status Internus
 Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik
 Toraks : Diharapkan dalam batas normal
 Abdomen :
 Inspeksi : Distensi (+)
 Palpasi : Nyeri regio epigastrik
 Perkusi : Timpani
 Auskultasi : Bising usus meningkat
 Ekstremitas : Diharapkan dalam batas normal
 Pemeriksaan Penunjang :-
 Diagnosis Kerja : Suspek Demam Tifoid
 Diagnosis Banding : Gastroenteritis
 Tata Laksana
o Promotif
 Menjelaskan kepada orang tua pasien mengenai definsi,
etiologi, patofisiologi, tata laksana, dan komplikasi demam
tifoid.
 Menghindari faktor risiko furunkel berupa higiene personal,
higiene makanan, dan sanitasi yang kurang baik.
o Preventif:
 Menjaga higiene personal pasien dengan mencuci tangan
sebelum makan.
 Menjaga higiene makanan dengan mencuci makanan
dengan air bersih dan menghindari makan makanan
sembarangan
 Menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih dengan
menyapu dan mengepel lantai setiap hari dan mengangkut
sampah ke tempat pembuangan akhir

23
 Menjaga stamina pasien dengan diet gizi seimbang.
o Kuratif :
 Chloramphenicol 4 x 500 mg selama 10 hari
 Paracetamol 3 x 500 mg selama 3 hari
 Domperidone 3 x 10 mg selama 3 hari
o Rehabilitatif :
 Istirahat tirah baring diikuti mobilisasi.
 Menjaga kecukupan asupan cairan.
 Diet lunak gizi seimbang, tinggi kalori dan protein.

24
Dinas Kesehatan Kota Padang

Puskesmas Air Dingin

Tanggal : 04 Mei 2019

R/ Chloramphenicol tab 250 mg No. LXXX

S 4 dd tab II £

R/ Paracetamol tab 500 mg No. X

S prn 3 dd tab I £

R/ Domperidone tab 10 mg No.X

S 3 dd tab 1 £

Pro : Tn. IF

Umur : 12 tahun

Alamat : Air Dingin

Pro : Tn. IF
25
Umur : 12 tahun

Alamat : Air Dingin


BAB 4

DISKUSI

Telah datang seorang pasien laki-laki berumur 12 tahun ke Puskesmas Air


Dingin tanggal 4 Mei 2019 dengan keluhan utama demam sejak 3 hari yang lalu.
Demam sejak 3 hari yang lalu, terus-menerus, makin lama makin tinggi, terutama
pada sore dan malam hari, tidak menggigil, tidak berkeringat, dan tidak disertai
kejang. Nafsu makan pasien menurun sejak 3 hari yang lalu, sebelumnya pasien
makan dengan makanan biasa menghabiskan 1 porsi. Selama sakit, pasien hanya
mau makan ¼ porsi makan dalam sehari. Mual dan muntah ada dengan frekuensi
muntah 2 kali, berisi apa yang dimakan. Frekuensi BAB 3 kali sehari, konsistensi
cair, volume ¼ gelas, tidak ada lendir, tidak ada darah. Terdapat riwayat pasien
sering jajan di luar rumah.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik ditegakkan diagnosi pasien


demam tifoid dan didiagnosis banding dengan gastroenteritis. Anamnesis
dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis.

Pasien datang dengan keluhan utama demam. Demam merupakan


manifestasi umum dari penyakit infeksi, walaupun dapat juga disebabkan oleh
penyakit non-infeksi. Mengetahui pola demam beserta gejala penyerta dapat
membantu dalam menegakkan diagnosis.

Pasien ini demam sejak 3 hari yang lalu. Demam terus menerus, meningkat
pada sore hari hingga malam hari. Demam tidak disertai dengan kejang, tidak
menggigil dan tidak berkeringat. Berdasarkan klinis demam pada pasien, keluhan
pada pasien ini dicurigai dapat disebabkan oleh demam tifoid, malaria,
pneumonia atau TB.

Demam malaria merupakan demam dengan interval tertentu (paroksisme),


yang terdiri dari tiga periode berurutan, yaitu stadium dingin (cold stage), stadium
demam (hot stage), dan stadium berkeringat (sweating stage). 6 Demam pada
pasien ini tidak disertai periode menggigil dan berkeringat banyak, serta pasien
26
tidak memiliki riwayat bepergian dari daerah endemis malaria, sehingga
kemungkinan diagnosis malaria dapat disingkirkan.

Demam tifoid dijumpai gejala biasanya adalah demam sore hari, meningkat
secara progresif, dan pada minggu kedua, demam seringkali tinggi dan menetap
(39-40 derajat celsius) dengan serangkaian keluhan klinis, seperti anoreksia,
mialgia, nyeri abdomen, dan konstipasi atau diare.6 Hal ini juga sesuai dengan
pasien ini, dimana terdapat demam yang semakin meningkat pada sore hari,
disertai penurunan nafsu makan, mual, muntah dan diare. Demam pada pasien
dapat dicurigai sebagai gejala klinis TB, maka dianjurkan pemeriksaan mantoux
test untuk memastikan diagnosa.

Pada pemeriksaan fisik, ditemukan nyeri tekan epigastrik tetapi tidak


ditemukan hepatomegali atau splenomegali. Pemeriksaan paru ditemukan suara
nafas vesikuler, rhonki dan wheezing tidak ada. Pada pemeriksaan labor tidak
dilakukan karena tidak tersedianya pemeriksaan di puskesmas. Pada pasien juga
ditemukan faktor risiko yaitu riwayat suka jajan diluar rumah, dimana hal ini
berhubungan dengan tidak terjaminnya higienitas dari makanan yang dimakan
pasien. Sehingga dapat memungkinkan bakteri Salmonella Typhi masuk ke
saluran cerna pasien sehingga dapat mengakibatkan penyakit demam tifoid ini.
Dengan demikian, berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat
ditegakkan diagnosa pasien suspek demam tifoid

Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif. Pada orang tua pasien dijelaskan agar menghindari faktor risiko
demam tifoid berupa higiene personal, higiene makanan, dan sanitasi yang kurang
baik. Untuk tatalaksana khusus dapat diberikan antibiotik sebagai pengobatan
kausal. Antibiotik yang diberikan pada pasien ini adalah Chloramphenicol 4 x 500
mg selama 10 hari. Selain itu juga diberikan pengobatan suportif yaitu
Paracetamol 3 x 500 mg selama 3 hari untuk menurunkan demam dan
Domperidone 3 x 10 mg selama 3 hari untuk mengurangi mual muntah. Pada
orang tua pasien juga diedukasi untuk memberikan nutrisi yang adekuat , istirahat

27
tirah baring dan menjaga kecukupan cairan sebagai tatalaksana yang ikut
memperbaiki keadaan umum anak.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Cammie, F.L. & Samuel, I.M. 2005. Salmonellosis: Principles of Internal


Medicine: Harrison 16th Ed. 897-900.

2. Brusch, J.L. 2010. Typhoid Fever. www.emedicine.medscape.com.

3. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri
Tropis 2nd Ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

4. Djoko Widodo. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

5. Mansjoer, A. 2000. Demam Tifoid: Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta:


FK UI.

6. Lentnek, A.L. 2007. Typhoid Fever: Division of Infection Disease.


www.medline.com.

7. Chin, J. 2006. Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17. Jakarta:


Infomedika.

8. Jawetz, Melnick, & Adelbergh’s. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta:


Salemba Medika.

9. Soedarmo, P., dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi II.
Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI.

10. Chambers, H.F. 2006. Infectious Disease: Bacterial and Chlamydial.


Current Medical Diagnosis and Treatment 45th Ed. 1425-6.

11. Alan, R.T. 2003. Diagnosis dan Tatalaksana Demam Tifoid: Pediatrics
Update. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

12. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006. Standar


Pelayanan Medik. Jakarta: PB PABDI.

13. Rampengan, T. H. 2007. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak Edisi II.
Jakarta: EGC.

29

Anda mungkin juga menyukai