Anda di halaman 1dari 14

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi yang masuk ke dalam tubuh manusia.
Demam tifoid merupakan penyakit yang mudah menular dan menyerang banyak
orang sehingga dapat menimbulkan wabah. 4
Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi
akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7
hari, gangguan pada saluran cerna, dan gangguan kesadaran. 5

B. Epidemiologi
Pada beberapa dekade terakhir demam tifoid jarang terjadi di negara
industri. Namun, tetap menjadi masalah kesehatan serius di sebagian wilayah
dunia seperti Uni Soviet, India, Asia Tenggara, Amerika Selatan, dan Afrika.
Menurut WHO, diperkirakan terjadi 16 juta kasus per tahun dan 600 ribu berakhir
kematian. Sekitar 70% dari seluruh kasus kematian itu menimpa penderita demam
tifoid di Asia. 6
Pada tahun 2000 insidensi demam tifoid di Amerika Latin sebesar 53 per
100 ribu penduduk dan di Asia Tenggara sebesar 110 per 100 ribu penduduk. Di
Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Etiologi utama di
Indonesia adalah Salmonella subspesies enterika serovar typhi dan paratyphi A.
CDC Indonesia melaporkan insidensi demam tifoid mencapai 358-810 per 100 ribu
populasi pada tahun 2007 dengan 64% ditemukan pada usia 3-19 tahun dan angka
mortalitas antara 3,1-10,4% pada pasien rawat inap. 6, 7
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan
nyata antara insidensi pada laki-laki maupun perempuan. Insidensi penderita
demam tifoid dengan usia 12-30 tahun sekitar 70-80%, usia 31-40 tahun sekitar
10-20%, dan usia > 40 tahun sekitar 5-10%. 7

C. Etiologi
Demam tifoid disebabkan bakteri Salmonella typhi dan Salmonella
paratyphi dari genus Salmonella. Kuman ini berbentuk batang, gram negatif, tidak
membentuk spora, motil, berkapsul, dan mempunyai flagela (rambut getar).
Kuman ini tumbuh dalam suasana aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 15-41o
C (suhu pertumbuhan optimal 37o C) serta pH pertumbuhan 6-8. Kuman ini
bertahan hidup beberapa minggu di alam bebas seperti di air, es, sampah, dan
debu serta hidup subur pada medium yang mengandung garam empedu. Kuman
ini mati dengan pemanasan (suhu 60o C) selama 15-20 menit, pasteurisasi,
pendidihan, dan khlorinisasi. 8
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen yaitu:
1. Antigen O (antigen somatik) terletak pada lapisan luar kuman. Bagian ini
mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau endotoksin. Antigen ini tahan
terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (antigen flagela) terletak pada flagela, fimbria, atau fili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis.
Antigen tersebut di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pembentukan 3
macam antibodi yang lazim disebut aglutinin. 7, 9

D. Patogenesis
Penularan demam tifoid adalah secara feko-oral dan banyak terdapat di
masyarakat dengan higien dan sanitasi yang kurang baik. Bakteri Salmonella typhi
dan Salmonella paratyphi masuk ke tubuh manusia melalui makanan atau
minuman yang tercemar dan dapat juga melalui kontak langsung dengan jari
penderita yang terkontaminasi feses, urin, sekret saluran napas, atau pus. Selain
itu, transmisi juga dapat terjadi secara transplasental dari ibu hamil ke janin.
Sebagian kuman dihancurkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke
usus halus dan berkembang biak. 4, 7
Di usus diproduksi IgA sekretorik sebagai imunitas humoral lokal yang
berfungsi untuk mencegah melekatnya kuman pada mukosa usus. Sedangkan
untuk imunitas humoral sistemik diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan
fagositosis kuman oleh makrofag. Imunitas seluler sendiri berfungsi untuk
membunuh kuman intraseluler. 10
Jika respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik, kuman akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan lamina propia. Di lamina propia
kuman berkembang biak dan difagosit oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag. Selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum
distal dan ke kelenjar limfe mesenterika. Melalui duktus torasikus, kuman yang
terdapat di dalam makrofag masuk ke sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia
ke-1 yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hepar, lien, dan sumsum tulang. Di organ-organ ini kuman meninggalkan
sel-sel fagosit dan berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid kemudian
masuk ke sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia ke-2 dengan
disertai tanda dan gejala klinis. 4, 7
Namun, sebagian lagi masuk ke kandung empedu dan berkembang biak
kemudian disekresikan secara intermiten bersama cairan empedu ke lumen usus,
sebagian keluar bersama feses, dan sebagian lagi menembus usus kembali dan
difagosit oleh makrofag yang sudah teraktivasi dan hiperaktif sehingga
melepaskan sitokin reaksi inflamasi sistemik. Oleh karena itu timbul demam, sakit
kepala, sakit perut, mialgia, malaise, instabilitas vaskuler, gangguan koagulasi,
dan gangguan kesadaran. Setelah sampai di plaque peyeri, makrofag hiperaktif
sehingga timbul reaksi hiperplasia jaringan dan perdarahan saluran cerna (erosi
vaskuler di sekitar plaque peyeri). Jika kuman terus menembus lapisan usus
hingga lapisan otot dan serosa usus, dapat mengakibatkan perforasi. 4
Kuman juga mengeluarkan endotoksin yang dapat menempel di reseptor
sel endotel kapiler sehingga dapat timbul komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan lain-lain. Kuman dapat menetap
atau bersembunyi pada 1 tempat dalam tubuh penderita. Hal ini mengakibatkan
terjadinya relaps atau karier. 4
PATHWAY
bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi masuk ke saluran cerna

sebagian dimusnahkan asam lambung sebagian masuk usus halus

peningkatan asam lambung di ileum terminalis membentuk


limfoid plaque peyeri

mual, muntah

sebagian hidup sebagian menembus


intake kurang dan menetap lamina propria

gangguan nutrisi perdarahan masuk aliran limfe

perforasi masuk ke kelenjar


limfe mesenterikus

PERITONITIS menembus aliran darah

nyeri tekan masuk hepar dan lien

hepatomegali, splenomegali

infeksi Salmonella typhi,


paratypi, dan endotoksin

dilepasnya zat pirogen


oleh leukosit

DEMAM TIFOID

E. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi demam tifoid sekitar 10-14 hari, rata-rata 2 minggu.
Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dari asimtomatik atau ringan seperti panas
disertai diare sampai dengan klinis yang berat seperti panas tinggi, gejala septik,
ensefalopati, atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perdarahan dan perforasi
usus. Hal ini mempersulit penegakkan diagnosis jika hanya berdasarkan gambaran
klinisnya. 1, 3
Demam merupakan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita
demam tifoid. Demam dapat muncul tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan
gejala yang menyerupai septikemia karena Streptococcus atau Pneumococcus
daripada Salmonella typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid
tetapi pada malaria. Namun, demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada
1 penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai
gejala meningitis. Nyeri perut kadang tidak dapat dibedakan dengan apendiksitis.
Pada tahap lanjut dapat muncul gejala peritonitis akibat perforasi usus. 4
o
Minggu ke-1 penderita mengalami demam (suhu berkisar 39-40 C), nyeri
kepala, epistaksis, batuk, anoreksia, mual, muntah, konstipasi, diare, nyeri perut,
nyeri otot, dan malaise. Minggu ke-2 pasien mengalami demam, lidah khas
berwarna putih (lidah kotor), bradikardia relatif, hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, dan bahkan gangguan kesadaran (delirium, stupor, koma, atau psikosis).
4, 10

Demam pada demam tifoid umumnya berangsur-angsur naik selama


minggu ke-1, terutama sore dan malam hari (febris remiten). Pada minggu ke-2
dan ke-3 demam terus-menerus tinggi (febris kontinyu) kemudian turun secara
lisis. Demam tidak hilang dengan antipiretik, tidak menggigil, tidak berkeringat,
dan kadang disertai epistaksis. Gangguan gastrointestinal meliputi bibir kering
dan pecah-pecah disertai lidah kotor, berselaput putih, dan tepi hiperemis. Perut
agak kembung dan mungkin nyeri tekan. Lien membesar, lunak, dan nyeri tekan.
Pada awal penyakit umumnya terjadi diare kemudian menjadi obstipasi. 4, 10
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk demam tifoid meliputi pemeriksaan
hematologi, urinalisis, kimia klinis, imunoserologi, mikrobiologi, dan biologi
molekuler. Pemeriksaan ini untuk membantu menegakkan diagnosis, menentukan
prognosis, serta memantau perjalanan penyakit, hasil pengobatan, dan timbulnya
komplikasi.
1. Hematologi
a. Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun jika terjadi komplikasi
perdarahan atau perforasi usus.
b. Hitung leukosit rendah (leukopenia) tetapi dapat normal atau tinggi.
c. Hitung jenis neutrofil rendah (neutropenia) dengan limfositosis relatif.
d. Laju endap darah (LED) meningkat.
e. Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia). 13
2. Urinalisis
a. Protein bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam).
b. Leukosit dan eritrosit normal tetapi meningkat jika terjadi komplikasi. 7

3. Kimia klinis
Enzim hati (SGOT dan SGPT) sering meningkat dengan gambaran radang
sampai hepatitis akut. 7
4. Imunoserologi
a. Widal
Widal digunakan untuk mendeteksi antibodi di dalam darah
terhadap antigen bakteri Salmonella typhi atau paratyphi (reagen). Pada uji
ini hasil positif jika terjadi reaksi aglutinasi antara antigen dengan antibodi
yang disebut aglutinin. Oleh karena itu, antibodi jenis ini dikenal sebagai
febrile agglutinin. Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga
dapat memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu
dapat disebabkan pernah vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain
(Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya
faktor reumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan sudah
mendapatkan terapi antibiotik, waktu pengambilan darah kurang dari 1
minggu sakit, keadaan umum buruk, dan adanya penyakit imun lain. 3, 13
Aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid.
Makin tinggi titer, makin besar kemungkinan menderita demam tifoid.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu ke-1 demam
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-4
serta tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula
timbul aglutinin O dan diikuti aglutinin H. Orang yang sembuh, aglutinin
O masih dijumpai setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih
lama 9-12 bulan. 3, 13
Jika titer O sekali periksa ≥ 1/200 atau terjadi kenaikan titer 4 kali,
diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H dikaitkan dengan
pasca imunisasi atau infeksi masa lampau sedangkan Vi untuk deteksi
pembawa kuman (karier). 13
b. Elisa Salmonella typhi atau paratyphi lgG dan lgM
Uji ini lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji widal untuk
mendiagnosis demam tifoid. lgM positif menandakan infeksi akut
sedangkan lgG positif menandakan pernah kontak, terinfeksi, reinfeksi, atau
di daerah endemik. 7

5. Mikrobiologi (kultur)
Gall culture atau biakan empedu merupakan gold standard untuk
demam tifoid. Jika hasil positif, diagnosis pasti untuk demam tifoid. Jika hasil
negatif, belum tentu bukan demam tifoid karena hasil biakan negatif palsu
dapat disebabkan jumlah darah terlalu sedikit (< dari 2 ml), darah tidak segera
dimasukkan ke media gall (darah membeku dalam spuit sehingga kuman
terperangkap dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu
ke-1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotik, dan sudah vaksinasi.
Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu
waktu untuk pertumbuhan kuman (positif antara 2-7 hari, jika belum ada
ditunggu 7 hari lagi). Spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah
kemudian untuk stadium lanjut atau carrier digunakan urin dan feses. 1, 3, 10
6. Biologi molekular
PCR (polymerase chain reaction) mulai banyak digunakan. Cara ini
dilakukan dengan perbanyakan DNA kuman kemudian diindentifikasi dengan
DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang
terdapat dalam jumlah sedikit (sensitivitas) dan spesifisitas tinggi. Spesimen
yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh lain, dan jaringan biopsi.
6

7. TUBEX
Merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diperoduksi oleh IDL
Biotech, Sollentuna, Sweden.1 Tes ini sangat cepat 5-10min, simpel, dan
akurat. Tes TUBEX ini menggunakan sistem pemeriksaan yang unik dimana
tes ini mendeteksi serum antibody immunoglobulin M (Ig M) terhadap antigen
O9 (LPS) yang sangat spesifik terhadap bakteri salmonella typhi.2 Pada orang
yang sehat normalnya tidak memiliki Ig M anti-O9 LPS. Pada bagian ini yang
akan dijelaskan adalah pengunaan dari anti-O9 s.typhi.
Metode dari tes TUBEX ini adalah mendeteksi antibody melalui
kemampuannya untuk memblok ikatan antara reagent monoclonal anti-O9 s.typhi
(antibody-coated indicator particle) dengan reagent antigen O9 s.typhi (antigen-
coated magnetic particle) sehingga terjadi pengendapan dan pada akhirnya tidak
terjadi perubahan warna.2,3,4
Tes TUBEX merupakan tes yang subjektif dan semiquantitative dengan cara
membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan TUBEX color scale
yang tersedia. Range dari color scale adalah dari nilai 0 (warna paling merah)
hingga nilai 10 (warna paling biru) lihat gambar 2.1 Adapun cara membaca tes
TUBEX adalah sebagai berikut menurut IDL Biotech 2008:
1. Nilai <2 menunjukan nilai negative (tidak ada indikasi demam tifoid)
2. Nilai 3 inconclusive score dan memerlukan pemeriksaan ulang.
3. Nilai 4 menunjukan positif lemah
4. Nilai >5 menunjukan nilai positif (indikasi kuat terjadi demam tifoid)

Nilai TUBEX yang menunjukan nilai positive ditambah dengan


symptom dan sign yang sesuai dengan gejala demam tifoid, merupakan indikasi
yang sangat kuat terjadinya demam tifoid.3,4

G. Diagnosis
Diagnosis demam tifoid ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti dilakukan dengan cara menguji sampel
feses atau darah untuk mendeteksi adanya bakteri Salmonella sp dengan
membiakkan pada 14 hari awal setelah terinfeksi. 7
Selain itu, tes widal (aglutinin O dan H) mulai positif pada hari ke-10 dan
titer akan meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal selang 2
hari jika peningkatan aglutinin progresif (di atas 1/200) menunjukkan diagnosis
positif dari infeksi aktif demam tifoid. Biakan feses dilakukan pada minggu ke-2
dan ke-3 serta biakan urin pada minggu ke-3 dan ke-4 dapat mendukung diagnosis
dengan ditemukannya bakteri Salmonella. 3, 13
Gambaran darah juga membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat
leukopenia polimorfonuklear (PMN) dengan limfositosis relatif pada hari ke-10
dari demam, arah demam tifoid menjadi jelas. Jika terjadi leukositosis PMN,
berarti terdapat infeksi sekunder kuman di dalam lesi usus. Peningkatan cepat dari
leukositosis PMN waspada akan terjadinya perforasi usus. Tidak mudah
mendiagnosis karena gejala yang timbul tidak khas. Ada penderita yang setelah
terpapar kuman hanya mengalami demam kemudian sembuh tanpa diberi obat.
Hal itu dapat terjadi karena tidak semua penderita yang secara tidak sengaja
menelan kuman langsung sakit, tergantung dari banyaknya kuman dan imunitas
seseorang. Jika kuman hanya sedikit yang masuk saluran cerna, dapat langsung
dimatikan oleh sistem imun. 7

H. Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit secara klinis dapat
menjadi diagnosis banding seperti influenza, bronkitis, bronkopneumonia, dan
gastroenteritis. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme
intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia,
shigelosis, dan malaria juga perlu dipikirkan. Demam tifoid yang berat dapat
2, 7,
didiagnosis banding dengan sepsis, leukemia, limfoma, dan penyakit hodgkin.
13

I. Tatalaksana
Tatalaksana umum, asuhan keperawatan, dan asupan gizi merupakan
aspek penting dalam pengobatan demam tifoid selain pemberian antibiotik.
Tatalaksana demam tifoid meliputi:
1. Tirah baring
Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur seperti
makan, minum, mandi, buang air kecil, maupun buang air besar dapat
mempercepat penyembuhan. Kebersihan tempat tidur, pakaian, dan
perlengkapan yang dipakai juga perlu dijaga. 5
Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi,
observasi, dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7
hari bebas demam atau ± 14 hari. Tirah baring bertujuan untuk mencegah
terjadinya komplikasi perdarahan atau perforasi usus. Mobilisasi pasien
dilakukan bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. 5
Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuh harus diubah pada
waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan
dekubitus. Defekasi dan buang air kecil harus diperhatikan karena kadang
terjadi obstipasi dan retensi urin. 5
2. Managemen nutrisi
Penderita demam tifoid selama menjalani perawatan dianjurkan
mengikuti petunjuk diet berikut:
a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin, dan protein.
b. Tidak mengandung banyak serat.
c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Makanan rendah serat bertujuan untuk membatasi volume feses dan tidak
merangsang saluran cerna. Pemberian bubur ditujukan untuk menghindari
terjadinya komplikasi perdarahan atau perforasi usus. 11
3. Managemen medis
Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala seperti demam,
diare, obstipasi, mual, muntah, dan meteorismus. Jika obstipasi > 3 hari, perlu
dibantu dengan parafin atau lavase dengan glistering. Obat laksansia atau
enema tidak dianjurkan karena dapat mengakibatkan perdarahan maupun
perforasi usus. 11
Pengobatan suportif diberikan untuk memperbaiki keadaan penderita
seperti pemberian cairan dan elektrolit jika terjadi gangguan keseimbangan
cairan. Penggunaan kortikosteroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid
(disertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan neurologis dan hasil
pemeriksaan CSF dalam batas normal) atau demam tifoid yang mengalami
syok septik. Regimen yang digunakan adalah deksametason dengan dosis 3 x
5 mg. Pada anak digunakan deksametason intravena dengan dosis 3 mg/kg BB
dalam 30 menit sebagai dosis awal dilanjutkan dengan 1 mg/kg BB tiap 6 jam
hingga 48 jam. 3, 11, 12
Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya penyebaran kuman.
Antibiotik yang dapat digunakan dalam demam tifoid yaitu:
a. Kloramfenikol.
Dosis orang dewasa 4 x 500 mg per hari oral atau intravena
sampai 7 hari bebas demam. Suntik intramuskuler tidak dianjurkan
karena dapat terjadi hidrolisis ester dan tempat suntikan terasa nyeri.
Tingginya angka kekambuhan (10-25%), masa penyakit memanjang,
karier kronis, depresi sumsum tulang (anemia aplastik), dan angka
mortalitas yang tinggi merupakan perhatian yang perlu terhadap
kloramfenikol. Kekambuhan dapat diobati dengan obat yang sama.
Penurunan demam terjadi pada hari ke-5. 11, 12
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama
dengan kloramfenikol tetapi komplikasi hematologi seperti anemia
aplastik lebih rendah dibandingkan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol 4 x
500 mg. Demam menurun pada hari ke-6. 11, 12
c. Ampisilin dan kotrimoksazol
Efektivitas obat ini hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis
orang dewasa 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg
dan trimetoprin 80 mg) diberikan selama 2 minggu. Diberikan karena
meningkatnya angka mortalitas akibat resistensi kloramfenikol.
Munculnya strain Salmonella typhi MDR menjadikan ampisilin dan
kotrimoksazol resisten. 11, 12
d. Kuinolon
Kuinolon mempunyai aktivitas tinggi terhadap Salmonella in vitro
serta mencapai konsentrasi tinggi di usus dan lumen empedu.
Siprofloksasin mempunyai efektivitas tinggi terhadap strain Salmonella
typhi MDR dan tidak menyebabkan karier. Kuinolon yang dapat digunakan
untuk demam tifoid meliputi:
1) Norfloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 14 hari.
2) Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg per hari selama 6 hari.
3) Ofloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 7 hari.
4) Pefloksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari.
5) Fleroksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari.
Demam umumnya lisis pada hari ke-3 atau ke-4. Penurunan demam sedikit
lambat pada penggunaan norfloksasin. 11, 12

e. Sefalosporin generasi III


Sefotaksim, seftriakson, dan sefoperazon digunakan selama 3 hari
dan memberi efek terapi sama dengan obat yang diberikan 10-14 hari.
Respon baik juga dilaporkan dengan pemberian seftriakson dosis 3-4
gram dalam dekstrosa 100 cc selama 30 menit per infus 1 x diberikan 3-5
hari. 11, 12
f. Antibiotik lainnya
Beberapa studi melaporkan keberhasilan pengobatan demam tifoid
dengan aztreonam (monobaktam). Antibiotik ini lebih efektif daripada
kloramfenikol. Azitromisin (makrolid) diberikan dengan dosis 1 x 1 gram
per hari selama 5 hari. Aztreonam dan azitromisin dapat digunakan anak-
anak, ibu hamil, dan menyusui. 11, 12
g. Kombinasi antibiotik
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada
keadaan tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis, perforasi, dan syok septik
di mana pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur
darah selain bakteri Salmonella typhi. Kepekaan kuman terhadap antibiotik
yaitu:
1) Ampisilin, amoksisilin, sulfametoksazol, dan trimetoprin mempunyai
kepekaan 95,12%.
2) Sisanya seperti kloramfenikol mempunyai kepekaan 100%. 11,12
Tabel 3. Obat dan Dosis Antibiotik untuk Demam Tifoid
Tabel 4. Rekomendasi DOC Pengobatan Antibiotik untuk Demam Tifoid

sensitif  fluorokuinolon (ofloksasin, siprofloksasin) 5-7 hari


demam tifoid
tanpa MDR  fluorokuinolon 5-7 hari atau sefiksim 7-14 hari

komplikasi resisten kuinolon  azitromisin 7 hari atau seftriakson 10-14 hari

sensitif  fluorokuinolon (ofloksasin) 10-14 hari


demam tifoid
dengan MDR  fluorokuinolon (ofloksasin) 10-14 hari

komplikasi resisten kuinolon  azitromisin 7 hari atau seftriakson 10-14 hari

J. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul akibat demam tifoid yaitu:
1. Intestinal
a. Perdarahan usus
Pada plaque peyeri yang terinfeksi (ileum terminalis) dapat
terbentuk tukak. Jika tukak menembus lumen usus dan mengenai
pembuluh darah, terjadi perdarahan. Jika tukak menembus dinding usus,
terjadi perforasi. Perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi
darah (DIC). Sekitar 25% penderita mengalami perdarahan minor yang
tidak membutuhkan transfusi darah. Namun, perdarahan hebat dapat
terjadi hingga penderita mengalami syok. Jika transfusi dapat
mengimbangi perdarahan yang terjadi, biasanya perdarahan ini merupakan
suatu proses self limiting yang tidak perlu bedah. 1, 3, 10

b. Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya
timbul pada minggu ke-3 tetapi dapat juga terjadi pada minggu ke-1.
Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut hebat
terutama di kuadran kanan bawah yang menyebar ke seluruh perut dan
disertai tanda ileus. Peristaltik melemah pada 50% penderita dan pekak
hepar kadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen.
Tanda perforasi lain adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan
syok. 1, 3, 10
Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya
perforasi. Jika pada foto polos abdomen 3 posisi ditemukan udara pada
rongga peritoneum, hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan
terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. 1, 3, 10
c. Ileus paralitik
d. Pankreatitis
2. Ekstraintestinal
a. Kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer, miokarditis, trombosis, dan
tromboflebitis.
b. Darah: anemia hemolitik, trombositopenia, dan DIC.
c. Paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Hepatobilier: hepatitis dan kolesistitis.
e. Ginjal: glomerulonefritis dan pielonefritis.
f. Neuropsikiatrik atau toksik tifoid. 1, 3, 10

K. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari usia, keadaan umum, status
imunitas, jumlah dan virulensi kuman, serta cepat dan tepatnya pengobatan.
Prognosis buruk jika terdapat gejala klinis yang berat seperti hiperpireksia atau
febris kontinyu, kesadaran menurun, malnutrisi, dehidrasi, asidosis, peritonitis,
bronkopneumonia, dan komplikasi lain. Di negara maju dengan terapi antibiotik
yang adekuat angka mortalitas < 1%. Di negara berkembang angka mortalitas >
10%, biasanya disebabkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan. Angka
mortalitas pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4% dengan rata-rata
5,7%. 6, 7
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan bakteri
Salmonella typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya manjadi karier kronis. Risiko
menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronis
terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidensi penyakit traktus
biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum.
Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai
terutama pada individu dengan skistosomiasis. 7, 13

Anda mungkin juga menyukai