Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MEDIKAL
BEDAH PASIEN DENGAN TIFOID

Disusun Oleh:

Erna Purnawati
224291517062

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS NASIONAL
JAKARTA
2023
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

Nama Mahasiswa : Erna Purnawati

NPM : 224291517062

Lahan Praktik : RSAL Marinir Cilandak

A. Konsep Dasar
1. Definisi
Thypoid adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang diebabkan
oleh Salmonella tipe A, B dan C yang dapat menular melalui oral, fekal,
makanan dan minuman yang terkontaminasi. Infeksi bakteri yang
disebabkan oleh Sallmonella menyerang pada sistem pencernaan manusia
dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada
saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Ulfa dan
Handayani, 2018).
Demam tifoid merupakan penyakit yang diakibatkan oleh infeksi
yang bersifat sistemik dengan ciri penderita mengalami demam dan nyeri
abdominal karena penyebaran dari bakteri Salmonella (Khairunnisa,
2020). Penyakit ini menyerang sistemretikuloendotelial, kelenjar limpa,
saluran pencernaan, dan kandung empedu.
Gejala yang ditunjukkan umumnya cenderung mirip dengan
gejala demam pada umumnya sehingga sulit untuk dibedakan. Namun,
apabila seseorang yang terkena demam tifoid tidak segera diobati bisa
menimbulkan komplikasi yang serius dan dapat juga menyebabkan
kematian (Goldman, Ian. and Pabari, 2021).

2. Etiologi
Penyebab utama thypoid adalah kuman Salmonella Typi dan
Salmonella Paratyphi A, B, dan C memasuki saluran pencernaan (WHO,
2019). Penularan Salmonella Typi dapat ditularkan melalui beberapa
cara, yakni yang dikenal dengan 5 F: Food makanan mentah atau belum
masak, Fingers jari atau tangan yang kotor, Fomitus muntahan penderita
yang mengandung salmonella typi, tempat kotor yang banyak lalat atau
kurangnya sanitasi dan hygienitas, Feces kotoran penderita yang
mengandung salmonella thypii (Bhandari, 2020)
Menurut Inawati (2017) demam thypoid timbul yang di akibat
dari infeksi oleh bakteri golongan salmonella yang memasuki tubuh
penderita melalui pada sistem saluran pencernaan (mulut, esofagus,
lambung, usus 12 jari, usus halus, usus besar) yang akan masuk kedalam
tubuh manusia bersama bahan makanan atau minuman yang sudah
tercemar. Cara penyebarannya untuk bakteri ini yaitu pada muntahan
manusia, urine, dan kotoran-kotoran dari penderita thypoid yang
kemudian secara pasif terbawa oleh lalat (kaki-kaki lalat) yang sudah
hinggap ditempat kotor, dan lalat itu mengontaminasi makanan,
minuman, sayuran, maupun buah-buah segar.
Sumber utama yang akan terinfeksi adalah manusia yang selalu
mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakitnya, baik ketika ia
sedang sakit atau sedang dalam masa penyembuhan demam thypoid,
sehingga penderita masih mengandung salmonella didalam kandung
empedu atau didalam ginjalnya. Bakteri salmonella thypi ini hidup
dengan baik pada suhu 37°C, dan dapat hidup pada air steil yang beku
dan dingin, air tanah, air laut dan debu selama berminggu-minggu, dan
juga dapat hidup berbulanbulan dalam telur yang terkontaminasi dan
tiram beku.
Penyebab utama thypoid adalah kuman salmonella typi dan
salmonella paratyphi A, B, dan C memasuki saluran pencernaan (WHO,
2019). Penularan salmonella typi dapat ditularkan melalui beberapa cara,
yakni yang dikenal dengan 5 F: Food makanan mentah atau belum
masak, Fingers jari atau tangan yang kotor, Fomitus muntahan penderita
yang mengandung salmonella typi, Fly ( Lalat) tempat kotor yang
banyak
lalat atau kurangnya sanitasi dan hygienitas, Feces kotoran penderita
yang mengandung salmonella thypii (Bhandari, 2020)

3. Patofisiologi
Penularan salmonella thypi dapat juga ditularkan melalui berbagai
cara, yang dikenal dengan 5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan
atau kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses. Feses dan
muntah pada penderita thypoid dapat menularkan kuman salmonella
typhi kepada orang lain, kuman tersebut dapat ditularkan melalui
perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan
dikosumsi oleh orang yang sehat.
Apabila makanan tersebut kurang memperhatikan kebersihan
dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar salmonella
typhi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman
masuk ke dalam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian
distal dan mencapai jaringan limpoid. Didalam jaringan limpoid ini
kuman akan berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah untuk
mencapai sel-sel retikuloendotetial. Sel-sel retikuleondetial ini kemudian
akan melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan
bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus, dan kandung
ampedu (Padila, 2019). Demam dan gejala pada thypoid ini disebabkan
oleh endotoksemia.
Tetapi ini berdasarkan penelitian sperimental yang disimpulkan
bahwasanya endotoksemia bukan penyebab utama pada demam thypoid.
Endotoksemia berperan pada patogenis thypoid, karena akan membantu
pasien inflamasi lokal pada usus halus. Demam ini disebabkan
salmonella thypi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepsan zat
pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang (Padila, 2019).
Pathway
Kuman Salmonella Typhi,Salmonella Paratyphi

Masuk ke saluran cerna

Sebagian dimusnahkan asam lambung Sebagian masuk usus halus

Peningkatan asam lambung


Di ileum terminalis membentuk limpoid
p plague payeri

Sebagian hidup dan menetap Masuk aliran limfe


Mual muntah

Kelemahan fisik Masuk dalam kelenjar limfe masentrial


Intake kurang

Keterbatasan aktifitas Menembus dan masuk aliran darah


Gangguan nutrisi
Kurang dari kebutuhan

Badreast total Masuk dan bersarang di hati dan limfa

Hepato megali, Splenomegali


Intoleransi aktifitas

Infeksi Salmonella Typhi,


p paratyphi dan Endotoksin

Dilepasnya zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang

Gangguan
Gangguanrasa nyaman:
rasa Hipertermi
nyaman: Hipertermi DEMAM TIFOID

Sumber: (Suriadi &Yuliani, 2013)

4. Manifestasi Klinis
Gejala klinis demam tifoid yang pasti dijumpai adalah demam.
Gejala demam meningkat perlahan ketika menjelang sore hingga malam
hari dan akan turun ketika siang hari. Demam akan semakin tinggi (39-40
derajat Celsius) dan menetap pada minggu kedua. Masa inkubasi demam
tifoid sekitar 7 sampai 14 hari (dengan rentang 3 sampai 60 hari). Gejala
demam tifoid umumnya tidak spesifik, diantaranya adalah demam, sakit
kepala, anoreksia, myalgia, athralgia, nausea, nyeri perut dan konstipasi.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan demam tinggi, bradikardi
relatif, lidah kotor, hepatomegali, nyeri tekan abdomen, splenomegali
atau rose spot. Rose spot merupakan kumpulan lesi makulopapular
eritematus dengan diameter 2 sampai 4 mm yang sering ditemukan pada
perut dan dada. Tanda rose spot ini terdapat pada 5 sampai 30% kasus
dan tidak terlihat pada pasien kulit gelap. Gejala klinis yang disebabkan
oleh bakteri Salmonella paratyphi umumnya lebih ringan daripada gejala
yang disebabkan oleh bakteri Salmonella Typhi.

5. Komplikasi
Menurut Inawati (2017) komplikasi biasanya terjadi pada usus
halus, namun hal tersebut jarang terjadi, apabila komplikasi ini terjadi
pada seorang anak maka dapat berakibat fatal. Gangguan pada usus halus
dapat berupa sebagai berikut, yaitu:
1. Perdarahan usus
Perforasi usus biasanya timbul pada minggu ketiga atau
setelahnya dan terjadi pada bagian usus distal ileum.
2. Perforasi
Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak
hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma
pada foto rongten abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
3. Peritonitis
Peritonitis biasanya menyertai perforasi, namun dapat juga
terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut
seperti nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang atau
defebce musculair dan adanya nyeri tekan. Komplikasi
ekstraintestinal diantaranya adalah:
a. Komplikasi kardiovaskuler: miakarditis, trombosis, dan
tromboflebitis.
b. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombusa penia dan
sindrom urenia hemolitik.
c. Komplikasi paru: pneumonia, emfiema, dan pleuritas.
d. Kompilkasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan
kolelitaris.
e. Komplikasi ginjal: glumerulonetritis, prelene tritis, dan
perine pitis.
f. Komplikasi tulang: ostieomilitis, spondylitis, dan oritis.

6. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan pada penyakit typhoid menurut (Wulandari dan


Erawati, 2016) dibagi menjadi beberapa bagian dianataranya yaitu:
1. Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk
mencegah komplikasi.
2. Diet dan terapi penunjang
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses
penyembuhan penyakit thypoid, karena makanan yang kurang akan
menurunkan keadaan umum dan gizi pederita akan semakin dan
proses penyembuhan penyakit dalam thypoid diberi bubur saring,
kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberi nasi.
Pemberian diet tersebut disesuaikan tingkat kesembuhan pasien.
3. Cairan nutrisi
Selain terapi antibiotik, asupan nutrisi dan cairan juga
diperlukan untuk pasien demam tifoid. Pasien demam tifoid
disarankan untuk mengkonsumsi diet lunak rendah serat. Asupan
serat maksimal yang dianjurkan adalah 8 gram/ hari. Pasien
disarankan untuk menghindari susu, daging berserat kasar, lemak
terlalu manis, asam, bumbu tajam serta diberikan dalam porsi kecil.
Selain itu pasien disarankan untuk tirah baring selama 7 hari setelah
bebas demam. Untuk mengurangi risiko terjadinya penularan
maupun relaps, maka
pasien serta keluarga disarankan untuk menjaga kebersihan. (Prastya.
2020)

4. Pemberian Antibiotik
1. Antimikroba
a. Krloramfenikol 4 X 500 mg sehari/ IV
b. Tiamfenikol 4 X 500 mg sehari oral
c. Kortimoksazol 2 X 2 tablet sehari oral (1 tablet = sulfa
metoksazol 400 mg + trimetropin 80 mg atau dosis yang
sama IV, dilarutkan dalam 250 ml cairan infus).
d. Ampisilin atau amoksiin 100 mg/kk BB sehari oral/IV,
dibagi dalam 3 atau 4 dosis
2. Antipiretik seperlunya
3. Vitamin B kompleks dan vitamin C

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah tepi
Leukopenia sering ditemukan pada kasus demam tifoid, tetapi
jumlah leukosit jarang kurang dari 2.500/mm3. Kondisi leukopenia
dapat menetap 1 sampai 2 minggu setelah infeksi. Pada kondisi
tertentu, jumlah leukosit dapat ditemukan meningkat (20.000-
25.000/mm3). Hal ini dapat berkaitan dengan adanya abses pyogenic
atau adanya infeksi sekunder pada usus. Selain hitung jumlah
leukosit yang tidak normal, anemia normokromik normositer dapat
ditemukan beberapa minggu setelah infeksi demam tifoid.
Kondisi ini dapat disebabkan oleh pengaruh sitokin dan
mediator inflamasi sehingga menyebabkan depresi sumsum tulang
belakang. Selain itu, kondisi ini juga dapat berkaitan dengan
perdarahan dan perforasi usus. Adanya trombositopenia pada pasien
demam tifoid menandakan adanya komplikasi penyakit koagulasi
intravaskuler atau (disseminated intravascular coagulation).
b. Pemeriksaan serologi widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap bakteri
Salmonella typhi. Uji widal ini memiliki sensitivitas dan sensitivitas
rendah. Pemeriksaan ini dilakukan dengan melihat aglutinasi dalam
serum penderita aglunitin yang dideteksi yaitu aglutinin O, aglutinin
H dan aglutinin Vi
c. Uji typhidot
Uji typhidot dilakukan untuk mendeteksi antibodi IgM dan
IgG yang terdapat pada protein membran bakteri Salmonella typhi.
d. Pemeriksaan kultur
Pemeriksaan kultur merupakan pemeriksaan gold standard
dalam menegakkan diagnosis demam tifoid. Pemeriksaan kultur
memiliki tingkat spesifisitas 100%. Pemeriksaan kultur Salmonella
typhi dari darah dan feses pada minggu pertama infeksi memiliki
tingkat sensitivitas sebesar 85-90% dan kemudian menurun sekitar
20-30% seiring berjalannya waktu. Selain dari darah dan feses,
pemeriksaan kultur juga dapat dilakukan dengan menggunakan
sampel urin dan cairan aspirasi sumsum tulang belakang.
Pemeriksaan kultur dari sampel urin umumnya kurang sensitif (25-
30%).

B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Data Biografi: Identitas pasien, nama, umur, jenis kelamin, agama,
status perkawinan, pendidikan, suku atau bangsa, pekerjaan, alamat,
ruang, identitas penaggung jawab, hubungan dengan pasien, no
telepon.
b) Riwayat
kesehatan
1) Keluhan utama
- Riwayat kesehatan sekarang: dimulai dari akhir masa sehat,
dicatat perkembangan dan perjalanan penyakitnya seperti:
faktor pencetus, keluhan, lokalisasi dan sifatnya lamanya
keluhan, upaya yang dilakukan untuk mengatasi, keluhan saat
pengkajian, diagnosa medik
- Riwayat kesehatan dahulu: Penyakit yang pernah dialami
(jenis penyakit, lama dan upaya untuk mengatasi, riwayat
masuk RS), Alergi, Obat-obatan yang pernah digunakan.
- Riwayat kesehatan keluarga: Penyakit menular atau tidak
menular serta adanya penyakit keturunan dalam keluarga,
disertai genogram
- Pengkajian lingkungan: Pengkajian lingkungan rumah,
lingkungan klien bekerja, informasi tentang lingkungan
rumah dan tempat bekerja meliputi: tata ruang, kebersihan,
resiko cidera, paparan polusi, pencahayaan, susasana rumah,
c) Pola fungsional gordon
1) Pola persepsi kesehatan: Persepsi terhadap penyakit yang
dialaminya, Riwayat merokok, alkohol, alergi (obat-obatan,
makanan, reaksi alergi), mengatur dan menjaga kesehatannya,
pengetahuan dan praktik pencegahan penyakit.
2) Pola nutrisi dan metabolik: Kebiasaan klien dalam memenuhi
kebutuhan nutrisi sebelum dan sesudah sakit meliputi: jenis
makanan dan minuman yang dikonsumsi, frekuensi makan dan
minum, porsi makan, makanan yang disukai, nafsu makan,
pantangan atau alergi, mual-muntah, stomatitis, kesulitan
menelan (disfagia), jumlah minum/24 jam, mengkaji ABCD
yaitu :
- A (Antropometri): BB, TB, sebelum dan sesudah sakit
fluktuasi BB 6 bulan terakhir (naik atau turun)
- B (Biocemicle): Hemoglobin, Leukosit, Trombosit,
Hematokrit. Albumin.
- C (Clinical): Turgor kulit, konjungtiva, CRT
- D (Diet) : Diet atau suplment khusus, Instruksi diet
sebelumnya.
3) Pola eliminasi
- Buang air besar (BAB): Frekuensi, waktu, Warna,
konsistensi, Kesulitan (diare, konstipasi, inkontinensia),
- Buang Air Kecil (BAK): Frekuensi, Kesulitan atau keluhan
(disuria, noktiria, hematuria, retensia, inkontinensia).
4) Pola aktivitas dan kebersihan diri kemampuan perawatan diri
0 : Mandiri
1: dengan alat bantu
2: dibantu orang lain
3: dibantu orang lain dan peralatan
4: ketergantian atau ketidakmampuan
5) Pola istirahat dan tidur : Lama tidur (malam, siang, sore), waktu
kebiasaan menjelang tidur, masalah tidur, perasaan setelah
bangun (merasa segar atau tidak setelah tidur).
6) Pola kognitif dan Persepsi sensori: Status mental (sadar atau
tidak, orientasi baik atau tidak ), bicara: normal, genap, aphasia
ekspresif, kemampuan berkomunikasi, kemampuan memahami,
tingkat ansietas, Pendengaran: DBN, Tuli, tinitis, alat bantu
dengar, Penglihatan (DBN, Buta, katarak, kacamata, lensa
kontak, dll), vertigo, ketidaknyamanan, nyeri akut atau kronis,
penatalaksaan nyeri.
7) Persepsi diri dan konsep diri: Perasaan klien tentang dirinya,
gambar dirinya, ideal dieinya, harga dirinya, peran dirinya, ideal
dirinya.
8) Pola hubungan peran: Pekerjaan, sistem pendukung : (pasangan,
tetangga, keluarga serumah, keluarga tinggal berjauhan, maslah
keluarga berkenaan dengan perawatan RS, kegiatan sosial:
bagaimana hubungan dengan masyarakat.
9) Pola seksual dan reproduksi: Tanggal Menstruasi Terakhir
(TMA), masalah-masalah dalam pola reproduksi, kepuasan dan
tidak puasan klien dalam pola seksualitas, kesulitan dalam pola
seksualitas, masalah seksual.
10) Pola koping dan toleransi stress: Perawat mengkaji kemampuan
klien dalam mengelola stess, Kehilangan atau perubahan besar
dimasa lalu, Hal yang dilakukan saat ada masalah, Keadaan
emosi dalam sehari-hari (santai atau tegang), keefektifan dalam
mengelola stress.
11) Pola nilai dan Keyakinan: Keyakinan Agama, budaya, Pengaruh
agama dalam kehidupan
d) Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum: Kesadaran, Klien tampak sehat, sakit atau sakit
berat
2) Tanda –tanda vital : TD, ND, RR, S
3) Kulit : Warna kulit (sianosis, ikterus, pucat eritema),
Kelembaban, Turgor kulit, Ada/tidaknya edema
4) Kepala atau rambut : Inspeksi, Palpasi
5) Mata : Fungsi penglihatan, Ukuran pupil, Konjungtiva, Lensa/iris,
Odema palpebra, Palpebra, Sklera
6) Telinga : Fungsi pendengaran, Kebersihan, Daun telinga, Fungsi
keseimbangan, Sekret, Mastoid
7) Hidung dan sinus : Inspeksi, Fungsi penciuman, Pembengkakan,
Kebersihan, Pendarahan, Sekret
8) Mulut dan tenggorokan : Membran mukosa, Keadaan gigi, Tanda
radang (gigi,lidah,gusi), Trismus, Kesulitan menelan, Kebersihan
mulut
9) Leher : Trakea simetris atau tidak, Kartoid bruid, JVP, Kelenjar
limfe, Kelenjar tiroid, Kaku kuduk
10) Thorak atau paru : Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi
11) Jantung : Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi
12) Abdomen : Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi
13) Ekstremitas : Vaskuler perifer, Capilari refil, Clubbing,
Perubahan warna
14) Neurologis : Status mental atau GCS, Motorik, Sensori, Tanda
rangsangan meningkat, Saraf kranial, Reflek spikologis, Reflek
patologis

2. Diagnosa Keperawatan
a. Hipertermi berhubungan dengan inflamasi penyakit
b. Risiko defisit nutrisi berhubungan dengan kehilangan nafsu makan
c. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan kelelahan
3. Perencanaan Keperawatan
NO Diagnosa Tujuan dan kriteria
Keperawatan hasil Intervensi
(SDKI) (SLKI) (SIKI)
1. Hipertermi Luaran Utama Manajemen Hipertermia
berhubungan Termoregulasi Setelah
dengan inflamasi dilakukan tindakan Observasi
penyakit keperawatan selama 3x24 - Monitor suhu
jam maka termoregulasi tubuh
membaik dengan kriteria - Monitor kadar
hasil: elektrolit
1. Suhu tubuh - Monitor haluaran
membaik urine
2. Menggigil
menurun Terapeutik
3. Pucat menurun - Berikan cairan oral
4. Takikardi - Berikan oksigen,
menurun jika diperlukan
5. Takipnea
menurun Edukasi
6. Bradikardi - Anjurkan tirah
menurun baring

2. Intoleransi Luaran utama toleransi Manajemen Energi


Aktivitas aktivitas Setelah Observasi
berhubungan dilakukan tindakan - Identifikasi
dengan kelelahan keperawatan selama 3x24 gangguan fungsi
jam maka Toleransi tubuh yang
aktivitas meningkat mengakibatkan
dengan kriteria hasil: kelelahan
1. Kemudahan - Monitor kelelahan
melakukan fisik dan emosional
aktivitas sehari- - Monitor lokasi dan
hari meningkat ketidaknyamanan
2. Keluhan selama melakukan
kelelahan aktivitas
menurun Terapeutik
3. Frekuensi nadi - Sediakan
membaik lingkungan
4. Perasaan lemah nyaman dan rendah
menurun stimulus (mis.
- Cahaya, suara,
kunjungan)
- Lakukan Latihan
rentang gerak pasif
atau aktif
- Fasilitasi duduk di
sisi tempat tidur,
jika tidak dapat
berpindah atau
berjalan
Edukasi
- Anjurkan tirah
baring
- Anjurkan
melakukan
aktivitas secara
bertahan
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan
ahli gizi tentang
cara meningkatkan
asupan makanan

3. Risiko defisit Luaran Utama Statut Manajemen Nutrisi


nutrisi nutrisi Setelah dilakukan Observasi
berhubungan tindakan keperawatan - Identifikasi status
dengan selama 3x24 jam maka nutrisi
kehilangan nafsu status nutrisi membaik - Monitor asupan
makan dengan kriteria hasil: makanan
1. Frekuensi makan - Monitor berat
membaik badan
2. Nafsu makan Terapeutik
membaik - Berikan makanan
3. Berat badan tinggi serat untuk
membaik mencegah
4. Porsi makan yang konstipasi
dihabiskan - Berikan makanan
tinggi kalori dan
protein
- Berikan suplemen
makanan, jika
diperlu
Edukasi
- Anjurkan posisi
duduk, jika mampu
- Anjurkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
- Kolaborasi
pemberian
medikasi sebelum
makan (mis.
Pereda nyeri,
antiemetik), jika
perlu
- Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kaloridan jenis
nutrient yang
dibutuhkan

4. Implementasi (Teoritis Implementasi)


Implementasi merupakan langkah keempat dalam proses asuhan
keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi kesehatan (tindakan
keperawatan) yang telah dilakukan perencanaan dalam rencana tindakan
keperawatan yang di prioritaskan.

5. Evaluasi (Teoritis Evaluasi


Evaluasi merupakan suatu proses yang berkelanjutan untuk
menilai efek dari tindakan keperawatan pada pasien. Evaluasi dilakukan
terusmenerus terhadap respon pasien pada tindakan keperawatan yang
telah dilakukan.
Evaluasi proses atau promotif dilakukan setiap selesai tindakan.
Evaluasi dapat dilakukan menggunakan SOAP sebagai pola pikirnya.
S : Respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang
telah dilaksanakan
O : Respon objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang
telah dilaksanakan.
A : Analisa ulang data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan
apakah masalah teratasi, masalah teratasi sebagian, masalah tidak
teratasi atau muncul masalah baru
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada
respon pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Bhandari, J., Thada, P. K., & DeVos, E. (2020). Typhoid Fever. Stat Pearls.
Stat Pearls Publishing Retrieved.
DPP PPNI Rahayu, S., & Harnanto, A. M. (2016). Kebutuhan Dasar Manusia
II. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan.
Inawati, (2017). Demam tifoid. Artikel Kesehatan Depatermen Patologi
Anatomi Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya.
Kemenkes (2018) Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017. Jakarta.
Khairunnisa, S., Hidayat, E.M. and Herardi, R. (2020) ‘Hubungan Jumlah
Leukosit dan Persentase Limfosit terhadap Tingkat Demam pada
Pasien Anak dengan Demam Tifoid di RSUD Budhi Asih Tahun 2018
– Oktober 2019’, Seminar Nasional Riset Kedokteran (SENSORIK),
p. 10.
Levani, Y. and Prastya, A. D. (2020) ‘Demam Thypoid: Manifestasi Klinis,
Pilihan Terapi Dan Pandangan Dalam Islam’, Al-Iqra Medical
Journal : Jurnal Berkala Ilmiah Kedokteran, 3(1), pp. 10–16. doi:
10.26618/aimj.v3i1.4038.
Padila. (2019). Asuhan keperawatn penyakit dalam. Yogyakarta: Nuha
Medika.
PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta:
DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: DPP
PPNI.
PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta:DPP
PPNI.
Sigalingging, G. (2019). Buku Panduan Laboratorium: Kebutuhan Dasar
Manusia. Jakarta: EGC.
Suriadi, Yuliani, Rita.2013. Asuhan Keperawatan pada Anak Edisi 2. Jakarta :
CV. Sagung Seto.
Ulfa, F., Handayani, O. W. K., 2018, Kejadian Demam Tifoid di Wilayah
Kerja Puskesmas Pagiyanten, Journal of Public Health Research and
Development, 2(2), pp. 227–238. Kerja Puskesmas Pagiyanten’,
Journal of Public Health Research and Development, 2(2), pp. 227–
238.
Wulandari dan Erawati, 2016 Buku Ajar Keperawatan Anak.Yogyakarta :
Pustaka pelajar.

Anda mungkin juga menyukai