PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 DEFINISI
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat saluran
pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pencernaan dan
gangguan kesadaran. Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella typhi, kuman masuk
lewat mukosa usus halus, melalui pembuluh limfe, mengadakan replikasi dan
kemudian kembali ke darah dan menyebar ke kelenjar limfoid ileum (plaques peyeri),
menimbulkan radang dan membentuk tukak. Tukak inilah yang mudah berdarah dan
tembus usus pada stadium rekonvalese waktu tukak membersih pada proses
penyembuhan11.
II.2 ETIOLOGI
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi, yang secara morfologi
identik dengan Escheria coli. Walaupun patogen kuat, kuman ini tidak bersifat
piogenik tapi justru menekan pembentukan sel polimorfonuklear dan eosinophil.
Kuman ini mempunyai beberapa antigen yang penting untuk diagnosis imulogik (tes
Widal).
Sumber infeksi S. typhi selalu manusia, baik orang sakit maupun orang sehat
pembaa kuman. Infeksi umumnya terjadi melalui makanan yang terkontaminasi tinja,
kemih, atau pus yang positif mengandung kuman. Kontaminasi bakteri pada susu
sangat berbahaya karena bakteri dapat berkembang biak dalam media ini. Penyebaran
umumnya terjadi melalui air atau kontak langsung. Oleh karena itu, pencegahan harus
diusahakan melalui perbaikan sanitasi lingkungan, kebiasaan makan, proyek MCK
(mandi cuci kakus), dan pendididkan kesehatan di puskesmas dan posyandu14.
2
II.3 EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang banyak
orang dan masih merupakan masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-
negara sedang berkembang. Sedikitnya ada 16 juta kasus baru TF (Typhoid Fever)
yang terjadi di seluruh dunia setiap tahun. Komplikasi TF yang paling mematikan
yaitu perforasi ileum dan pendarahan usus10.
II.4 KLASIFIKASI
3
kliniknya, hingga 10% pasien dapat mengalami komplikasi, mulai dari
melena, perforasi, susu dan peningkatan ketidaknyamanan abdomen.
3. Keadaan karier .
Keadaan karier tifoid terjadi pada 1-5% pasien, tergantung umur pasien.
Karier tifoid bersifat kronis dalam hal sekresi Salmenella typhi di feses17.
II.5 PATOFISIOLOGI
Di lamina propria maka kuman akan dimakan oleh sel sel makrofag. Kuman
yang termakan sel makrofag sebagian masih bertahan hidup dan akan terbawa ke
bagian Peyer Patch di ileum distal dan kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus toraksikus maka kuman ini akan dibawa masuk kedalam
sirkulasi darah (menyebabkan bakterimia asimptomatis) dan menyebar ke seluruh
organ retikuloendotelial tubuh dan mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya
dengan disertai tanda dan gejala sistemik.
Didalam hati, kuman akan masuk dalam kandung empedu, berkembang biak
dan bersama dengan cairan empedu disekresikan secara intermittent kedalam lumen
usus. Proses yang sama selanjutnya akan terulang kembali, berhubung makrofag
sudah aktif dan teraktifasi serta hipertrofi maka saat fagositosis kuman Salmonella
terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menyebabakan
reaksi infeksi sistemik perut seperti demam, malaise, mual, muntah, instabilitas
vaskular, gangguan mental, dan koagulasi.
4
Didalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi
jaringan (S. Thypi intramakrofag akan menimbulkan reski hipersensitivitas tipe
lambat, hiperplasi organ, serta nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat akumulasi sel-sel mononuklear dalam dinding usus. Proses patologi jaringan
limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi.
Pada Peyer Patch yang terinfeksi dapat terbentuk luka atau tukak yang
berbentuk lonjong atau memanjang dalam sumbu usus. Bila luka menembus lumen
usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak
menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi.
Sifat ini berlangsung selama 1-4 jam tergantung keadaan umum dan juga
keadaan usus itu sendiri. Misalkan penderita dengan keadaan umum jelek (KP,
kakeksia) maka sifat ini berlangsung 1 jam atau kurang bahakan tak ada sama sekali.
Juga pada usus yang sakit misalkan pada tifus abdominalis maka mekanisme ini juga
akan berkurang.
5
terus maka pita-pita perlengketan peritoneum akan sampai ke bagian lengkung usus
ataupu organ-organ. Eksudasi cairan dapat berlebihan hingga menyebabkan dehidrasi
yang terjadi penumpiukan cairan di rongga peritoneal.
Cairan dan elektrolit tadi akan masuk kedalam lumen usus dan menyebabkan
terbentuknya sekuestrasi. Dengan disertai perlekatan-perlekatan usus, maka dinding
usus menjadi atonia. Atonia dinding usus menyebabkan permeabilitas dinding usus
terganggu mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, oliguri. Sedangkan
perlekatan-perlekatan menyebabkan ileus paralitik atau obstruksi. Ileus menyebabkan
kembung, nausea, vomitting, sedangkan reaksi inflamasi menyebabkan febris.
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis
yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik
hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian. Pada
minggu pertama setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada
awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang
berkepanjangan yaitu setinggi 39 C hingga 40 C, sakit kepala, pusing, pegal-pegal,
anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut
lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung
dan merasa tak enak, sedangkan diare dan sembelit silih berganti.
Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada
penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor.
Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan
meradang. Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam
6
dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga.
Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen di
salah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari,
kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita golongan
kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul
paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan
memucat bila ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat
dijumpai. Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi.
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari,
yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam
hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam
keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada
pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan relatif nadi penderita. Yang semestinya
nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat
dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala septicemia semakin berat yang ditandai
dengan keadaan penderita yang mengalami delirium. Umumnya terjadi gangguan
pendengaran, lidah tampak kering, merah mengkilat, nadi semakin cepat sedangkan
tekanan darah menurun, diare yang meningkat dan berwarna gelap, pembesaran hati
dan limpa, perut kembung dan sering berbunyi, gangguan kesadaran, mengantuk terus
menerus, dan mulai kacau jika berkomunikasi.
Pada minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan normal kembali di
akhir minggu. Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan
membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperature mulai turun. Meskipun
demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk
terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk,
dimana septikemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium
atau stupor, otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin.
Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat
diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi
7
sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini
menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah,
sukar bernapas, dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran
adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari
terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.
1. Perforasi non trauma, misalnya pada ulkus peptik, tifoid dan apendisitis.
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda -
tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan
defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma.
Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus. Bila telah
terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia,
hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.
8
berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes
lainnya.
II.7 DIAGNOSIS
1) Anamnesis
Demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu demam
menetap (kontinyu) atau remiten pada minggu kedua.Demam erutama sore /
malam hari,sakit kepala,nyeriotot,anoreksia,mual, muntah, obstipasi atau
diare. Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul
pada semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba,
dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh
karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada S. typhi.
Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita
yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan
oleh malaria.Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat timbul
bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam
tinggi dapat menyerupai gejala meningitis,di sisi lainS. Typhi juga dapat
menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala
mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik
9
atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada
tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus.
2. Pemeriksaan Fisis
Febris, kesadaran berkabut, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1C
tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (kotor
di tengah, tepi dan ujung merah, serta tremor), hepatomegali, splenomegali,
nyeri abdomen, roseolae(jarangpada orang Indonesia)18.
3. Laboratorium
Ditemukan lekopeni, lekositosis, atau lekosit normal, aneosinofilia,
limfopenia, peningkatan Led, anemia ringan, trombositopenia, gangguan
fungsi hati. Kultur darah (biakan empedu) positif . Dalam keadaan normal
darah bersifat steril dan tidak dikenal adanya flora normal dalam darah.
Ditemukannya bakteri dalam darah disebut bakteremia.
Pasien dengan gejala klinis demam tiga hari atau lebih dan konfirmasi
hasil biakan darah positif S. typhi paratyphi dapat dijadikan sebagai diagnose
pasti demam tifoid. Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen
dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella terdapat
dalam serum demam tifoid, juga pada orang yang pemah ketularan Salmonella
dan pada orang yang pernah divaksinasi terhadap demam tifoid. Peningkatan
titer uji Widal >4 kali lipat setelah satu minggu memastikan diagnosis. Kultur
darah negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Uji Widal tunggal dengan titer
antibodi O 1/320 atau H 1/640 disertai gambaran klinis khas menyokong
diagnosis. Hepatitis Tifosabila memenuhi 3 atau lebih kriteria Khosla (1990)
: hepatomegali, ikterik, kelainan laboratorium (antara lain : bilirubin >30,6
umol/1, peningkatan SGOT/SGPT, penurunan indeks PT), kelainan
histopatologi. Tifoid Karier. Ditemukannya kuman Salmonella typhi dalam
biakan feses atau urinpada seseorang tanpa tanda klinis infeksi atau pada
seseorang setelah 1 tahun pasca-demam tifoid7.
10
II.8 DIAGNOSIS BANDING
II.9 KOMPLIKASI
Jika plak peyer usus mengalami infeksi (terutama ileum terminalis) makadapat
terbentuk tukak atau luka dengan bentuk lonjong dan memanjang terhadapsumbu
usus. Jika luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah
dapatmengakibatkan perdarahan serta perforasi usus. Perdarahan dapat terjadi akibat
duafaktor, yaitu faktor luka dan gangguan koagulasi darah. Secara klinis perdarahan
akutdarurat bedah dapat ditegakkan jika terjadi perdarahan sebanyak 5
ml/KgBB/jamdengan faktor pembekuan dalam batas normal. Angka kematian cukup
tinggi akibatkondisi ini.
11
2. Perforasi Usus
3.Komplikasi Hematologi
4. Hepatitis Tifosa
12
5. Pankreatitis Tifosa
6. Miokarditis
13
II.10 PENATALAKSANAAN
1. Perawatan umum
Pasien demam tifoid perlu dirawat dirumah sakit untuk isolasi,
observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7
hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring
adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi
usus. Mobilisasi pesien harus dilakukan secara bertahap,sesuai dengan
pulihnya kekuatan pasien.
Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah
pada waktu- waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia
hipostatik dan dekubitus.
Defekasi dan buang air kecil harus dperhatikan karena kadang-kadang
terjadi obstipasi dan retensi air kemih. Pengobatan simtomik diberikan untuk
menekan gejala-gejala simtomatik yang dijumpai seperti demam, diare,
sembelit, mual, muntah, dan meteorismus. Sembelit bila lebih dari 3 hari perlu
dibantu dengan paraffin atau lavase dengan glistering. Obat bentuk laksan
ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat memberikan akibat perdarahan
maupun perforasi intestinal.
Pengobatan suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan
penderita, misalnya pemberian cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan
keseimbangan cairan, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dan
kortikosteroid untuk mempercepat penurunan demam.
2. Diet
Di masa lampau, pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian
bubur kasar dan akhirnya diberi nasi. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa
pemberian makanan padat dini,yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa
(pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada
pasien demam tifoid.
14
3. Medikamentosa
tifoid berat.
4. Tindakan bedah
15
Tabel Antibiotik untuk demam tifoid menurut
16
Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5
kebutuhan dengan kadar natrium rendah.
Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskuler dan jaringan dengan
pemberian oral/parenteral
Pertahanankan fungsi sirkulasi dengan baik
Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan O2
Pelihara keadaan nutrisi
Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit
Antipiretik, diberikan apabila demam 39C, kecuali pada riwayat kejang
demam dapat diberikan lebih awal.
Diet
Makanan tidak berserat dan mudah dicerna.
Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih padat
dengan kalori cukup.
Transfusi darah : kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan
perforasi usus.
Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialis lainnya)
Konsultasi bedah apabila dijumpai komplikasi perforasi usus
17
Penderita dengan perdarahan usus memerlukan perawatan intensif, resusitasi
ciran, darah, dan oksigen, dilanjutkan dengan tindakan operatif. Intervensi tidak
diperlukan sampai kehilangan darah yang bermakna. Konsultasi pembedahan pada
suspek perforasi ususu diinfikasikan. Jika perforasi terjado, tindakan operatif segera
dilakukan setidaknya tidak lebih dari 6 jam. Saat operasi, ileum caecum, dan usus
besar bagian proksimal harus diperksa ada tidaknya perforasi. Prosedur tetap harus
diperhatikan, termasuk reseksi usus dan anastomosis primer atau reseksi wedge atau
debridement dari ulkus. Dengan penutupan primer pada perforasi, ileustomi atau
ileocoistomi sementara kadang-kadang perlukan. Tempat dimana akan terjadi
perforasi dapat disambung dengan cara penyambungan dari serosa ke serosa.
Pembersihan kavum peritonela kemudian ddikuti dengan penutupan, dengan atau
tanpa drainase. Pasien harus mendapatkan antibiotik parenteral untuk
mengeliminasikan kuman enteral aerob dan anaerob yang dapat mengkontaminasi
kavum peritoneal10.
18
II. 11 PROGNOSIS
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku kuliah ilmu penyakit dalam. 1987. Demam Tifoid. Balai Penerbit
Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Demam Tifoid Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Depkes. 2007.
3. Denkesyah. 2009. SPO Pelayanan Medis Anak. Detassemen Kesehatan
Wilayah 04.04.04 RS Slamet Riyadi Surakarta.
4. Departemen Kesehatan RI. 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No 364/Menkes/SK/V/2006 Tentang Pedoman Pengendalian
Demam Tifoid.
5. Feasey NA, Gordon MA (Enteric fever) in Farrar J et al. Mansons Tropical
Diseases 23rd Edition. 2014. Elsevier Saunders; 338-43 16. Brusch JL, et al.
Typhoid Fever. [updated April 4 2014] Available from
http://emedicine.medscape.com/article/231135-clinical.
6. Jong EC Enteric Fever in Netters Infectious Diseases. 2012. Philadelphia
Elsevier Saunders.
7. Juwono,R. 1996. Demam Tifoid. Dalam: Noer, H.M.S (editor). Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jilid I, Edisis Ketiga. Jakarta: Balai FKUI.
8. Keputusan Menteri Kesehatan No. 365/Menkes/SK/v/2006 Pedoman
Pengendalian Demam Tifoid.
9. Kumpulan catatan kuliah. 1997. Radiologi abdomen. Yogyakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
10. Parry, Christopher et, al. 2002. Typhoid Fever. The New England Journal of
Medicine.
11. Poorwo,Soedarmo S, Herry G, Sri Rezeki S, Hindra I. 2008. Buku Ajaran
Infeksi dan Pediatris Tropis, Edisi Kedua, Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
12. Pusponegoro HD, Hadinegoro SR, Firmanda D. Tridjaja B, Pudjiadi AH,
Kosim MS,dkk. 2004. Standart Pelayanan Meis Kesehatan Anak. Edisi ke
satu. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
20
13. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. 1999. Abdomen Akut, dalam Radiologi
Diagnostik. Jakarta: Gaya Baru.
14. Sjamsuhidayat. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
15. Tumbelaka AR. 2005. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak.
Simposium Infeksi Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI
Cabang Jawa Timur. Malang : IDAI Jawa Timur.
16. Widodo, Djoko. 2009. Demam Tifoid (dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam).Jakarta : Interna Publishing.
17. World Health Organization). Background Doc: The Diagnosis, Treatment and
Prevention of Typhoid Fever 2003. Geneva, Swizerland.
18. World Health Organization. Essential safety requirement for street vended
foods. (Revised ed). Food Safety Unit, Divisionof Foodand
Nutrition,WorldHealthOrganization, 2003.
19. Zulkarnain I. 2000. Diagnosis demam tifoid. In: Zulkarnain I, Editors. Buku
panduan dan diskusi demam tifoid. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
21