Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Apendiks disebut juga umbai cacing. Organ yang tidak diketahui
fungsinya ini sering menimbulkan masalah kesehatan. Peradangan akut
apendiks memerlukan tindak bedah segera untuk mencegah komplikasi yang
umumnya berbahaya. Apendiks Vermiformis merupakan derivat dan evolusi
dari caecum.1
Apendisitis dapat mengenai semua umur, baik laki-laki maupun
perempuan. Namun lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan  kebiasaan mengkonsumsi
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya penyakit
apendisitis. Tinja yang keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi.
Kemudian konstipasi akan menyebabkan meningkatnya tekanan intrasekal
yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semua ini akan mempermudah
timbulnya apendisitis.2
Gejala klasik apendisitis akut biasanya bermula dari nyeri di daerah
umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12
jam nyeri beralih kekuadran kanan, yang akan menetap dan diperberat bila
berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam
yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi tetapi kadang-
kadang terjadi diare, mual dan muntah. Pada permulaan timbulnya penyakit
belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam
nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif.1,2
Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang
ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh
perut, dan perut menjadi tegang dan kembung. Appendikular abses
merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba masa lunak di abdomen kanan

1
bawah. Seperti tersebut diatas karena perforasi terjadilah “walling off”
(pembentukan dinding) oleh omentum atau viscera lainnya, sehingga
terabalah massa (infiltrat) di regio abdomen kanan bawah tersebut. Masa
mula-mula bisa berupa plegmon, kemudian berkembang menjadi rongga yang
berisi pus.2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Appendiks


Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira
10 cm (kisaran 3-5 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di
bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Apendiks orang dewasa
umumnya lebih panjang daripada apendiks anak-anak. Diameter luar pada
umumnya berukuran 0,3-0,8cm, sedangkan diameter lumennya berukuran 1-
2mm. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan apendiks bergerak, dan ruang geraknya bergantung pada
panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks
terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakan kolon asendens,
atau tepi lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh
letak apendiks.1,3,4
Persarafan simpatis berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri
viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus.1,3,4
Perdarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang
merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami ganggren.1,3,4

3
Gambar 1. Anatomi apendiks vermiformis

2.2. Embriologi Appendiks


Apendiks vermiformis berasal dari struktur primordial yakni
divertikulum sekal yang muncul pada janin berusia 6 minggu. Bagian
proksimal dari divertikulum ini membentuk sekum sedangkan bagian distal
atau apeks terus memanjang membentuk apendiks. Pada anak-anak
peralihan antara sekum dan apendiks tidak sejelas pada orang dewasa, dan
apendiks tampak di sebelah inferior dari sekum, berbeda dengan orang
dewasa di mana peralihan lebih jelas dan apendiks berada di sisi
posteromedial dari sekum. Perkembangan embriologis yang abnormal dapat
mengakibatkan agenesis, hipoplasia, duplifikasi atau triplkasi dari apendiks.
Duplifikasi pada apendiks sering di asosiasikan dengan anomalia kongenital
lain yang mengancam jiwa. 1,4

4
Gambar 3. Embriologi apendiks vermiformis

2.3 Histologi Appendiks


Gambaran mikroskopis apendiks vermiformis secara struktural mirip
kolon , terdapat empat lapisan yaitu, mukosa, submukosa, tunika
muskularis, dan tunika serosa. Kecuali beberapa modifikasi yang khas untuk
apendiks.1,4
Terdapat beberapa persamaan antara mukosa apendiks dan kolon:
epitel pelapis dengan banyak sel goblet; lamina propria di bawahnya yang
mengandung kelenjar intestinal (kripti lieberkuhn) dan mukosa muskularis.
Kelenjar intestinal pada apendiks kurang berkembang, lebih pendek, dan
sering terlihat berjauhan letaknya. Jaringan limfoid difus di dalam lamina
propria sangat banyak dan sering terlihat sampai ke submukosa berdekatan.
Di sini terdapat sangat banyak limfonoduli dengan pusat germinal,
dan sangat khas untuk apendiks. Noduli ini berawal di lamina propria
namun karena ukurannnya besar, noduli ini meluas dari epitel permukaan
sampai ke submukosa. Di tunika muskularis terdapat tempat pertemuan
gabungan dari taenia coli.1,4
Submukosanya sangat vaskular dengan banyak pembuluh darah.
Muskularis eksterna terdiri atas lapisan sirkular dalam dan longitudinal luar.
Ketebalan lapisan otot ini bervariasi. Ganglia parasimpatis pleksus

5
meienterikus Auerbach terlihat di antara lapisan sirkular dalam dan
longitudinal luar. Lapisan terluar apendiks adalah serosa.1,4

Gambar 4. Gambaran histologi apendiks vermiformis

2.4 Fisiologi Appendiks


Apendiks menghasilkan sekret sebanyak 1-2 ml per hari. Sekret itu
normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum.
Hambatan aliran lendir di muara apendiks berperan dalam patogenesis
apendisitis.3
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated
Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna, termasuk
apendiks ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat aktif sebagai pelindung
terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
memengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limf di sini kecil
sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan seluruh
tubuh.3

2.5 Definisi Abses Appendiks

6
Merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba masa lunak di abdomen
kanan bawah. Seperti tersebut diatas karena perforasi terjadilah “walling
off” (pembentukan dinding) oleh omentum atau viscera lainnya, sehingga
terabalah massa (infiltrat) di regio abdomen kanan bawah tersebut. Masa
mula-mula bisa berupa plegmon, kemudian berkembang menjadi rongga
yang berisi pus. Dengan USG bisa dideteksi adanya bentukan abses ini.
Untuk massa atau infiltrat ini, beberapa ahli menganjurkan antibiotika
dulu, setelah 6 minggu kemudian dilakukan appendektomi. Hal ini untuk
menghindari penyebaran infeksi. Abses apendikular adalah
komplikasi apendisitis akut yang merupakan invasi usus besar oleh bakteri
biasanya karena obstruksi.  Abses apendikular adalah kumpulan nanah
akibat perforasi atau pecahnya usus buntu akut meradang. Nanah tetap
terlokalisasi dekat dengan usus buntu, karena adhesi dinding dibentuk oleh
struktur perut sekitarnya. Ini mencegah kebocoran nanah dan infeksi
menyebar ke seluruh rongga peritoneal. Ketika usus buntu menjadi
meradang (usus buntu), komplikasi timbul jika infeksi ini tidak diobati
segera. Pada beberapa pasien, usus buntu dapat menyebabkan gangren
usus buntu. Dalam sebagian besar pasien kumparan usus dan omentum
dalam rongga perut cenderung menutupi usus buntu meradang gangren. Ini
membentuk suatu massa apendikular. Proses supuratif terus dalam massa
apendikular dapat menyebabkan pembentukan abses. Pengembangan abses
biasanya mengikuti pecahnya usus buntu dalam massa apendikular. Abses
tetap dibatasi oleh dinding rongga yang dibentuk oleh gulungan meradang
usus, usus buntu dan omentum dan biasanya terbentuk di perut kanan
bawah. Tempat lain dari abses apendikular berada di panggul dan di
belakang usus buntu. Beberapa pasien dengan apendisitis akut yang secara
medis dikelola dengan antibiotik juga dapat kadang-kadang berkembang
menjadi abses apendikular.4,6

2.6 Etiologi

7
Etiologi apendisitis bersifat multifaktorial. Apendisitis disebabkan
oleh adanya obstruksi, iskemi, infeksi dan faktor herediter. Obstruksi
seringkali menjadi pertanda penting dalam patogenesis apendisitis. Akan
teteapi obstruksi hanya ditemukan dalam 30-40% kasus. Apendisitis akut
juga merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor
pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan
sebagai faktor pencetus. Di samping hiperplasia jaringan limf, fekalit, tumor
apendiks dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab
lain yang diduga dapat menyebabkan sumbatan adalah erosi mukosa
apendiks akibat parasit seperti Entamoeba histolytica, batu, makanan,
mukus, apendiks yang terangulasi, endometriosis, benda asing dan
hiperplasia limfoid.1,3,4

2.7 Patogenesis
Saat bagian proksimal tersumbat, terjadi sekresi mukus yang
tertimbun dalam lumen apendiks, sehingga tekanan intraluminer meninggi.
Tekanan ini akan mengganggu aliran limfe sehingga terjadi edema dan
terdapat luka pada mukosa. Stadium ini disebut sebagai apendisitis akut
kataralis. Tekanan yang meninggi, edem dan disertai dengan inflammasi
menyebabkan obstruksi aliran vena dinding sehingga menyebabkan
trombosis yang memperberat iskemi dan edem. Pada lumen apendiks juga
terdapat bakteri sehingga dalam keadaan tersebut suasana lumen apendiks
cocok bagi bakteri untuk diapedesis dan invasi ke dinding dan membelah
diri sehingga menimbulkan infeksi dan menghasilkan pus, stadium ini
disebut sebagai apendisitis akut purulenta.8 Proses ini berlangsung terus
sehingga pada suatu saat aliran darah arteri juga terganggu terutama bagian
mesentrika yang memiliki vaskulaarisasi minimal sehingga terjadi infark
dan gangren, yang disebut stadium apendisitis gangrenosa. Ada stadium ini
sudah terjadi mikroperforasi karena tekanan intraluminer yang tinggi
ditambah adanya bakteri dan mikroperforasi, mendorong pus serta produk
infeksi mengalir ke rongga abdomen. Stadium ini disebut apendisitis akut
perforasi dimana menimbulkan peritonitis akut dan abses sekunder. 8

8
Tapi proses perjalanan apendisitis tidak mulus seperti tersebut di
atas, karena ada usaha tubuh untuk melokalisir tempat infeksi dengan cara
“walling off” oleh omentum, lengkung usus halus,caecum, colon, dan
peritoneum sehingga terjadi gumpalan massa plekmon yang melekat erat.
Keadaan ini disebut apendisitis infiltrat. 8
Appendikular abses merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba
masa lunak di abdomen kanan bawah. Seperti tersebut diatas karena
perforasi terjadilah “walling off” (pembentukan dinding) oleh omentum atau
viscera lainnya, sehingga terabalah massa (infiltrat) di regio abdomen kanan
bawah tersebut. Masa mula-mula bisa berupa plegmon, kemudian
berkembang menjadi rongga yang berisi pus.
Perforasi mungkin masih bisa terjadi pada walling off yang
sempurna sehingga akan terbentuk abses primer. Sedangkan pada walling
off yang belum sempurna akan terbentuk abses sekunder yang bisa
menyebabkan peritonitis umum. 8

Skema terbentuknya apendikuler infiltrat dan abses7

9
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang
dimulai dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam
waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan
membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus
halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya
dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami
perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa
periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri
secara lambat.

Gambar 3. Alur kemungkinan perjalanan penyakit apendisitis.6


Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan
daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada
gangguan pembuluh darah.
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi yang ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk
usus halus. Pada massa periapendikular yang pendidingannya belum
sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika
perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata.

10
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks,
omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti
vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses
peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi
perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah
selesai tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan
dalam cavum abdominalis, oleh karena itu pendeita harus benar-benar
istirahat (bedrest).
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna,
tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan
dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan
berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang
akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.

2.8 Diagnosis
a. Gambaran Klinis
Gambaran klinis abses appendiks didahului gejala appendiksitis
akut. Adanya keluhan appendiksitis akut meliputi: Kurang enak ulu
hati/ daerah pusat, mungkin kolik, nyeri tekan kanan bawah
(rangsaganan automik) nyeri sentral pindah ke kanan bawah, mual
dan muntah, rangsangan peritoneum lokal (somatik), nyeri pada
gerak aktif dan pasif, defans muskuler, takikardia, mulai toksik,
leukositosis, demam tinggi, dehidrasi, syok, toksik. Pada abses
appendiks biasa nyeri muncul di fosa iliaca kanan. Awalnya tidak
begitu parah namun akan melanjut menjadi nyeri yang lebih hebat
secara bertahap. Nyeri menjadi semakin berat saat abses terbentuk.
Terbentuk massa di fossa iliaca kanan yang lembut atau empuk bila
disentuh. Kulit yang berada di atasnya biasanya normal. Suhu lokal
bisa meningkat atau tidak. Ukuran massa bisa membesar dan terasa
lebih nyeri. Massa menjadi terasa empuk (tenderness) tidak hanya

11
saat disentuh tapi juga saat terjadi gerakan respirasi. Saat
pemeriksaan, palpasi yang lembut pun dapat menimbulkan nyeri
yang hebat. Terdapat gangguan miksi, gangguannya berupa
kesulitan untuk kencing, frekuensi BAK, retensi urin yang akut
serta hematuria. Hal ini terjadi karena terbentuknya massa dan
abses dekat dengan ureter kanan bagian bawah serta vesica
urinaria.

b. Pemeriksaan Fisik
- Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila
suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat
perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1C. Pada inspeksi perut
tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada
penderita dengan komplikasi perforasi. Appendisitis infiltrat atau
adanya abses apendikuler terlihat dengan adanya penonjolan di
perut kanan bawah.
- Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka
kanan, bisa disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan
adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan
bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri
bawah akan dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut
tanda Rovsing. Pada apendisitis retrosekal atau
retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa
nyeri.

12
- Jika sudah terbentuk abses yaitu bila ada omentum atau usus lain
yang dengan cepat membendung daerah apendiks maka selain ada
nyeri pada fossa iliaka kanan selama 3-4 hari (waktu yang
dibutuhkan untuk pembentukan abses) juga pada palpasi akan
teraba massa yang terlokalisir dengan nyeri tekan dan tepi atas
massa dapat diraba. Jika apendiks intrapelvinal maka massa dapat
diraba pada RT (Rectal Touche) sebagai massa yang hangat.
- Peristalsis usus sering normal, peristalsis dapat hilang karena ileus
paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata.
Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi
bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis
pelvika.

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium, pada darah lengkap didapatkan
leukosit ringan umumnya pada apendisitis sederhana. Lebih dari
13.000/mm3 umumnya pada apendisitis perforasi. Tidak adanya
leukositosis tidak menyingkirkan apendisitis. Hitung jenis leukosit
terdapat pergeseran ke kiri.
Pada pemeriksaan urin, sedimen dapat normal atau terdapat
leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang
menempel pada ureter atau vesika.

13
Pemeriksaan Radiologi, foto polos abdomen dikerjakan apabila
hasil anamnesa atau pemeriksaan fisik meragukan. Tanda-tanda
peritonitis kuadran kanan bawah. Gambaran perselubungan mungkin
terlihat ”ileal atau caecal ileus” (gambaran garis permukaan air-udara
disekum atau ileum). Patognomonik bila terlihat gambar fekalit.
Pada CT Scan khususnya apendiceal CT, lebih akurat dibanding
USG. Selain dapat mengidentifikasi apendiks yang mengalami
inflamasi (diameter lebih dari 6 mm) juga dapat melihat adanya
perubahan akibat inflamasi pada periapendik.

Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan


pemeriksaan awal untuk menyingkirkan kemungkinan adanya
karsinoma colon. Tetapi untuk apendisitis akut pemeriksaan barium
enema merupakan kontraindikasi karena dapat menyebabkan rupture
apendiks.

14
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif ditandai
dengan:
- keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi
- pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas
terdapat tanda-tanda peritonitis
- laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis
terdapat pergeseran ke kiri.

Massa apendiks dengan proses radang yang telah mereda dengan


ditandai dengan :
- keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu
tubuh tidak tinggi lagi
- pemeriksaan lokal abdomen tenang, tidak terdapat tanda-tanda
peritonitis dan hanya teraba massa dengan batas jelas dengan nyeri
tekan ringan
- laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.

2.9 Diagnosis Banding


 Mukokel apendiks

 Dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat adanya


obstruksi kronik pangkal apendiks
 rasa tidak enak pada perut kanan bawah, massa memanjang di
regio iliaka dekstra
 Tumor apendiks / kolon / sekum
 Dispepsia, kelemahan umum, penurunan berat badan, anemia,
gangguan defekasi
 Chron disease
 Enteritis regional: demam, nyeri dan nyeri tekan pada perut kanan
bawah, diare, anoreksia, mual, muntah serta leukositosis.

15
 Amuboma (Kolitis Amuba)
 diare dengan atau tanpa bercampur darah atau lendir, demam dan
menggigil, nyeri hebat, serta tenesmus.
 Enteritis tuberkulosa
 obstipasi atau diare, nyeri perut berkala karena kejang dan kolik,
teraba massa pada palpasi abdomen.
 Kelainan ginekologis (Torsio Kista Ovarium Dextra)
 demam, nyeri perut kanan bawah, nyeri tekan dan nyeri lepas pada
perut kanan bawah, leukositosis, serta massa dapat dipalpasi pada
vaginal toucher.

2.10 Penatalaksanaan
a. Konservatif
- Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang
dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu
dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa,
serta luasnya peritonitis.
- Pada periapendikuler infiltrat dilarang keras membuka perut,
tindakan bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan
lebih banyak, terlebih jika masa apendik telah terbentuk lebih dari
satu minggu sejak serangan awal.
- Terapi konservatif meliputi :
o Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum
douglassi.
o Diet lunak bubur saring.
o Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi
yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah
keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan
apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase
saja dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian.
Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan

16
pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan
tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalakan
tindakan bedah.
o Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu
dan nadi. Biasanya 48 jam gejala akan mereda. Bila gejala
menghebat, tandanya terjadi perforasi maka harus
dipertimbangkan appendiktomy. Batas dari massa hendaknya
diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada hari ke 5-7
massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga
mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa harus
segera dibuka dan didrainase.
o Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikuler hilang, dan
leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi
elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan atau 6-8 minggu kemudian
agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil
mungkin

b. Operatif
- Masa periapendikuler yang masih bebas (mobile) sebaiknya segera
dioperasi untuk mencegah penyulit.
- Pasien dewasa dengan massa periapendikuler yang terpancang
dengan pendinginan yang sempurna sebaiknya dirawat terlebih
dahulu dan diberi antibiotik sambil dilakukan pemantauan terhadap
suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis.
- Apendiktomi dilakukan pada infiltrat periapendikuler tanpa pus
yang telah ditenangkan. Sebelumnya, pasien diberi antibiotik
kombinasi yang aktif terhada p kuman aerob dan anaerob. Baru
setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian,
dilakukan apendiktomi.
- Bila sudah terjadi abses, dianjurkan untuk drainase; apendiktomi
dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika pada saat dilakukan

17
drainase bedah, apendiks mudah diangkat, dianjurkan sekaligus
dilakukan apendiktomi.
-
c. Pasien dengan abses yang lebih besar dari 4 cm dan demam tinggi
biasanya diterapi dengan drainase abses. Drainase dapat dilakukan
melalui rektum (transrectal), melalui vagina (transvaginal) atau melalui
kulit (percutaneous) tergantung pada lokasi. Abses apendikular
panggul dikeringkan secara transrectal atau transvaginal. Beberapa
pasien mungkin memerlukan drainase bedah terbuka
(laparotomi). Drainase abses didukung dengan terapi antibiotik.
Pasien dengan abses kecil yang berada dalam kondisi baik dapat
dikelola awalnya dengan antibiotik saja. Pasien menunjukkan tidak ada
respon maka mungkin memerlukan drainase abses. Hal ini untuk
menghindari risiko komplikasi yang berhubungan dengan menjahit
dari sekum meradang. Manajemen yang buruk atau pecahnya abses
apendikular dapat menyebabkan lebih berbahaya infeksi peritoneal
umum (peritonitis).5,6

2.11 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan
lekuk usus halus. Perforasi dapat menyebabkan timbulnya suatu peritonitis
generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah:
- Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen
menyeluruh
- Suhu tubuh naik tinggi sekali.
- Nadi semakin cepat.
- Defance Muskular yang menyeluruh
- Bising usus berkurang
- Distensi abdomen

18
Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya:
- Pelvic Abscess
- Subphrenic absess
- Intra peritoneal abses lokal.

2.12 Pencegahan
Pencegahan pada abses appendiks yaitu dengan menurunkan resiko
obstruksi atau peradangan pada lumen apendik atau dengan penanganan secara
tuntas pada penderita apendisitis akut. Pola eliminasi klien harus dikaji, sebab
obstruksi oleh fecalit dapat terjadi karena tidak adekuatnya diet serat, diit tinggi
serat. Perawatan dan pengobatan penyakit cacing juga meminimalkan resiko.
Pengenalan yang cepat terhadap gejala dan tanda apendisitis dan apendisitis
infiltrat meminimalkan resiko terjadinya gangren, perforasi, dan peritonitis.

2.13 Prognosis
 Mortalitas adalah 0.1% jika apendisitis akut tidak pecah dan 15% jika
perforasi.

 Morbiditas meningkat dengan rupture dan usia tua. Komplikasi dini adalah
sepsis.
 Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat.

19
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI
Nama : Karman Bin Rasyid
Tanggal Lahir : 5 Juni 1963
No. RM : 54.88.79
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl.PSI Lautan, Lrg Mutiara RT/RW.015/003 Ilir Barat 2,
Palembang
Agama : Islam
Suku Bangsa : Sumatera Selatan
MRS : 10 Januari 2018

II.ANAMNESIS
II.1.Keluhan Utama:
Nyeri di perut kanan bawah

2.2. Riwayat Perjalanan Penyakit:


+ 4 hari SMRS pasien mengeluh nyeri di ulu hati, nyeri seperti di tusuk-
tusuk, yang terus menerus dan menjalar ke kanan bawah, nyeri dirasakan
semakin berat. Nyeri bertambah jika pasien tidur miring ke kiri. Pasien juga
mengeluh nafsu makan berkurang , mual dan muntah.
+ 2 hari SMRS Pasien mengalami demam tidak terlalu tinggi. Pasien
mengatakan nyeri yang dirasakan berpindah-pindah, nyeri dirasakan sangat
menganggu aktivitas sehari-hari BAB seperti biasa. Pasien juga mengeluh sulit
BAK, BAK sedikit-sedikit dengan frekuensi yang lebih sering. Kemudian
pasien merasakan ada benjolan diperut sebelah kanan nya.

20
2.3. Riwayat Penyakit Dahulu
• Riwayat hipertensi disangkal
• Riwayat gejala apendisitis sebelumnya disangkal
• Riwayat kencing manis disangkal
• Riwayat asma disangkal

2.4. Riwayat Penyakit Keluarga


• Riwayat hipertensi disangkal
• Riwayat Apendisitis disangkal
• Riwayat kencing manis disangkal
• Riwayat asma disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan Fisik Umum (12 Januari 2018)
Kesadaran : GCS = 15 (E4M6V5)
Suhu Badan : 37,8 º C
Nadi : 102 x/mnt
Pernapasan : 22 x/mnt
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Skala Nyeri VAS : 4 (nyeri sedang)

Pemeriksaan Fisik Khusus


Kepala
Normocephali, simetris, konjungtiva palpebra pucat (-/-), sclera ikterik (-/-),
refleks cahaya (+/+), pupil isokor (+/+) ukuran 3mm.

Leher
Letak sentral, JVP: 5-2 cmH2O, kelenjar getah bening tak teraba

21
Thorax
Paru :Inspeksi : Statis simetris kanan = kiri
Dinamis simetris kanan = kiri
Retraksi sela iga (-)
Palpasi :Stem fremitus kiri = kanan
Pelebaran sela iga (-)
Nyeri tekan (-), Krepitasi (-)
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronkhi
(-)
Jantung : Inspeksi : Ictus kordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas ICS II, batas kanan
linea sternalis dextra ICS V, batas kiri linea
mid clavicularis sinistra ICS V
Auskultasi : HR= 102x/menit, Bunyi jantung I-II (+)
normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :Inspeksi : abdomen datar, tidak terlihat distensi
abdomen, tidak nampak adanya gambaran
darm contour dan darm steifung.
Palpasi :
• Teraba massa fluktuatif di regio iliaka
dekstra, di 1/3 lateral garis antara SIAS
kanan dengan umbilikalis. Nyeri tekan
(+)
• Nyeri tekan di regio epigastrium (+)
• Rovsing sign (+)
• Psoas Sign (+)
• Nyeri lepas/ rebound tenderness (+)
• Organomegali (-)

22
Perkusi : Timpani, nyeri ketok (+), shifting dulness
(-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas : Akral pucat (-), CRT < 2 detik, Tonus otot baik di
keempat ekstremitas

IV. PEMERIKSAAN TAMBAHAN


a. Laboratorium

Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan


Hemoglobin 12,0 gr/dL 12-16 gr/dL
HCT 39,9 % 36-48 %
Leukosit 24,0 5,0 -10,0 x 103/uL
Neutrofil 86,3 % 50-70 %
Lymphosit 78 % 20-40 %
Monosit 5,6 % 2-8 %
Eosinofil 3,0 % 1-3 %
Basofil 0% 0-1 %
Bleeding Time 4,15 menit 1-7 menit
Clotting Time 9,5 menit < 15 menit

b. Pemeriksaan USG
Didapatkan:
 Regio Mc Burney:
 Tampak fluid collection ukuran 6 x 4 cm
 Sousage sign
Kesimpulan:
Susp. Abses appendicular ukuran 6 x 4 cm

V. DIAGNOSIS
Abses Appendicular

VI. DIAGNOSIS BANDING

23
Tumor intraabdoem
Tumor apendiks / kolon / sekum
Amuboma (Kolitis amuba)
Omentum tuberkulosa

VII. PENATALAKSANAAN
A. Nonfarmakologis
Edukasi
Bed rest
Rujuk ke dokter spesialis bedah

B. Farmakologis
- IVFD RL gtt xx/m
- Ceftriaxone 2x1000 mg (IV)
- Ondansentron 2x4 mg (IV)
- Ketorolac 3x30 mg (IV)
- Cek darah rutin
- USG
VIII. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam

24
BAB IV
ANALISIS KASUS

Dari anamnesis + 4 hari SMRS pasien mengeluh nyeri di ulu hati, nyeri
seperti di tusuk-tusuk, yang terus menerus dan menjalar ke kanan bawah, nyeri
dirasakan semakin berat. Nyeri bertambah jika pasien tidur miring ke kiri. Pasien
juga mengeluh nafsu makan berkurang, mual dan muntah. + 2 hari SMRS Pasien
mengalami demam tidak terlalu tinggi. Pasien mengatakan nyeri yang dirasakan
berpindah-pindah, nyeri dirasakan sangat menganggu aktivitas sehari-hari BAB
seperti biasa. Pasien juga mengeluh sulit BAK, BAK sedikit-sedikit dengan
frekuensi yang lebih sering. Pasien juga mengeluh timbul benjolan diperut kanan
bawah. Keluhan pasien di atas menunjukkan gejala khas dari apendisitis akut dan
abses appendiks, dimana jika sudah terbentuk massa akan teraba benjolan pada

25
fossa iliaca dextra, abses yang terbentuk pada dekat dengan ureter kanan bagian
bawah serta vesica urinariaakan menimbulkan gangguan miksi.
Dari palpasi teraba massa dan nyeri tekan (+) regio iliaka dekstra, Rovsing
sign (+), Psoas sign (+), Nyeri tekan di regio epigastrium (+). Menandakkan
bahwa terdapat abses yang telah terbentuk pada apendiks di retrosekal. Pada
pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan pada leukosit, neutrofil,
lymphosit, monosit, yang menandakan infeksi dan shift to the left (khas pada
peradangan apendiks). Selain itu pada pemeriksaan usg didapatkan kesan abses
appendiculaer, yang menandakan terdapat Tampak fluid collection ukuran 6 x 4
cm dan Sousage sign.
Penegakkan diagnosis berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang, sehingga diagnosis nya adalah abses appendiks.
Tatalaksana pada kasus ini adalah dengan tatalaksana konservatif, dimana
diberikan pemberian antibiotik. Pasien dengan abses yang lebih besar dari 4 cm
dan demam tinggi biasanya diterapi dengan drainase abses. Drainase dapat
dilakukan melalui rektum (transrectal), melalui vagina (transvaginal) atau melalui
kulit (percutaneous) tergantung pada lokasi. Drainase abses didukung dengan
terapi antibiotik. Apendiktomi dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika pada
saat dilakukan drainase bedah, apendiks mudah diangkat, dianjurkan sekaligus
dilakukan apendiktomi.
Prognosis pada pasien ini adalah baik selama tidak ada komplikasi seperti
tanda-tanda peritonitis.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Way LW. Appendiks. In : Current surgical diagnosis and treatment. New


york: McGraw-Hill; 2006.

2. Meshikes AW. Appendiceal mass: Is interval appenticetomy “something”


of the past. World J Gastroenterol 2011 July; 17 (25) : 2977-2980.

3. Sjamsuhidajat R, De Jong W. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 3. Jakarta:


EGC; 2010. hal. 755-762.

4. Berger DH. The Appendix. In : Schwartz’s principles of surgey. Edisi 8.


New york. Mcgray-Hill; 2006.PERKENI. 2011.

27
5. Sulistyaningsih. 2014. Abses Appendicular. [internet]
https://dryunisulityaningsih.wordpress.com/2014/06/29/abses-
appendiculare/ (Diakses 28 Januari 2018).

6. Bewes P. Appendicitis. [Internet] April 2003. [cited April 2011] E-Talc


Issue 3. Available from: http://web.squ.edu.om/med

7. Cooperman, M., complication of appendectomy, surgery clinic North


America, 63;1233-47.1983.

8. Jajang Edi P. 1992. Kontroversi Pengelolaan Abses Appendiculare.


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro: Semarang.

28

Anda mungkin juga menyukai