Anda di halaman 1dari 7

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3. 1 Definisi Demam Tifoid
Demam tifoid (typoid fever) disebut juga demam enterik (enteric fever)
(Brooks dkk, 2008). Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik yang bersifat
akut karena infeksi bakteri Salmonella typhi (Iriani, 2012).

3. 2 Etiologi Demam Tifoid
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, yaitu bakteri gram negatif
dari genus Salmonella (Brooks dkk, 2008). S. typhi ialah bakteri gram negatif yang
berflagela, bersifat anaerobik fakultatif, tidak berspora, berkemampuan untuk invasi,
hidup dan berkembang biak di dalam sel kariotik. Di samping itu, mempunyai
beberapa antigen: antigen O, antigen H, antigen Vi dan Outer Membrane Protein
terutama porin OMP (Brooks dkk, 2008; Wardhani, 2005).
Berikut ini beberapa antigen yang terdapat dalam Salmonella typhi, yaitu
(Wardhani, 2005).
1. Antigen O
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman.
Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap
pemanasan 100C selama 25 jam, alkohol dan asam yang encer.
2. Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S. typhi
dan berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal
yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada
pemanasan di atas suhu 60C dan pada pemberian alkohol atau asam.
3. Antigen Vi
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi kuman
dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan
selama 1 jam pada suhu 60C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini
digunakan untuk mengetahui adanya karier.
4. Outer Membrane Protein (OMP)
Antigen OMP S. typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar
membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap
lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan
protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein
OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk
difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan
denaturasi pada suhu 85100C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A,
protein a dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya
masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen
OMP S. typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52 kDa.

3. 3 Patogenesis Demam Tifoid
Selama fase infeksi akut, S. typhi bermultiplikasi dalam mononuclear
phagocytic cells sebelum menyebar dalam aliran darah (WHO, 2003). S. typhi
masuk melalui makanan dan minuman yang sebelumnya telah terkontaminasi.
Makanan dan minuman tersebut masuk ke saluran pencernaan dan menuju usus
kecil. Organisme (S. typhi) masuk ke dalam mukosa epitel via microfold cells dan
enterocyte kemudian sampai di lamina propria di mana S. typhi hidup dalam sel
makrofag yang memfagositnya. Beberapa S. typhi tetap berada dalam sel-sel
makrofag di dalam jaringan limfoid usus halus, sedangkan beberapa S. typhi yang
lain masuk ke mensenteric lymph nodes di mana mereka bermultiplikasi dan
difagosit oleh makrofag (gambar 1). Melalui mesenteric nodes, S. typhi masuk ke
dalam aliran darah. Setelah terjadinya bakterimia, S. typhi masuk ke dalam
intraseluler dalam waktu 24 jam setelah ingesti melalui organ-organ
reticuloendothelial system (spleen, liver, bone marrow, dan lain-lain) di mana S.
typhi menetap selama masa inkubasi (Bhutta, 2011). Dosis infektif rata-rata untuk
menimbulkan infeksi klinis pada manusia adalah 1000 organisme S. typhi dengan
masa inkubasi antara 5-40 hari dengan rata-rata 10-14 hari (Brooks dkk, 2008).

Gambar 1. Patogenesis Salmonella typhi (Bhutta, 2011)

Dari perjalanan bakteri Salmonella typhi sampai ke dalam darah dan organ-
organ dalam tubuh, terjadi 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme S. typhi,
yaitu (Iriani, 2012).
a. Penempelan dan invasi sel-sel M Peyers patch.
b. Multiplikasi bakteri di makrofag Peyers patch, nodus limfatikus
mesenterikus, dan organ-organ ekstraintestinal RES.
c. Bakteri bertahan hidup dalam aliran darah (bakteremia).
d. Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus
menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.

3. 4 Manifestasi Klinis Demam Tifoid
Banyak faktor yang memengaruhi gejala klinis infeksi, seperti usia, riwayat
pemberian vaksin, virulensi dari bakteri, kuantitas dari bakteri yang termakan, dan
faktor status imun host (Bhutta, 2011). Demam tifoid akut ditandai dengan demam
yang memanjang (biasanya lebih dari 7 hari), diare pada anak, sakit kepala, malaise,
anorexia, batuk di fase awal penyakit, dan rose spot selama demam terjadi pada 25%
pasien (WHO, 2003).

3. 5 Diagnosis Demam Tifoid
Demam tifoid didiagnosis dengan (Iriani, 2013), antara lain.
Anamnesis bisa didapatkan riwayat, seperti.
Demam lebih dari 7 hari. Demam timbul insidius, naik secara bertahap setiap
hari, mencapai suhu tinggi pada akhir minggu pertama. Setelah itu, demam
bertahan tinggi dan pada minggu keempat demam turun perlahan secara lisis
(step-ladder temperature chart).
Anak sering mengigau (delirium), malaise, dan letargi.
Gangguan GIT: anoreksia, muntah, nyeri perut, konstipasi/diarre, kembung,
dan bau nafas tidak sedap.
Pada demam tifoid berat, dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan
ikterus.
Pemeriksaan fisik bisa didapatkan gejala klinis bervariasi dari ringan sampai berat
dengan komplikasi, seperti.
Kesadaran menurun mulai apatis sampai koma dan delirium.
Bradikardi relatif jarang dijumpai pada anak.
Rhagaden dan typhoid tongue (bagian tengah kotor dengan tepi hiperemis).
Meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai dibandingkan splenomegali.

Kriteria diagnosis dari demam tifoid, yaitu.
Apabila ditemukan gejala klinis seperti di atas, seorang klinis dapat membuat
diagnosis tersangka demam tifoid.
Diagnosis pasti demam tifoid apabila ditemukan Salmonella typhii (+) pada
biakan darah, urine atau feses dan/atau pemeriksaan serologis didapatkan titer
O Ag 1/200 atau meningkat lebih dari 4 kali dalam interval 1 minggu (titer
fase akut ke fase konvalesens).
3. 6 Tatalaksana Demam Tifoid
Tatalaksana demam tifoid adalah, antara lain (Iriani, 2013).
Perawatan
Pasien demam tifoid diisolasi dan dianjurkan untuk tirah baring sampai 7 hari bebas
panas. Setelah itu, dilakukan mobilisasi secara bertahap.
Diet
Pasien demam tifoid diberi makanan bebas serat, makanan yang tidak menimbulkan
gas, dan mudah dicerna dengan jumlah yang tidak terlalu banyak. Pemberian makan
bisa diberikan per sonde atau IVFD jika sulit diberikan per oral. Pasien diberi bubur
saring sampai tujuh hari bebas panas kemudian bubur biasa selama 3 hari. Setelah
itu, beri makanan seperti biasa.
Medikamentosa
1. Kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari maksimal 2 g/hari sampai 7 hari bebas panas,
minimal 10 hari.
2. Apabila leukosit <2000/mm3, kloramfenikol diganti dengan ampicillin, atau
trimetoprim-sulfametoxazol atau cefixime dengan:
Ampicillin 200 mg/hari dalam 4 dosis atau
Trimetoprim-sulfametoxazol 10 mg/kgBB/hari (TMP) dan 50 mg/kgBB/hari
(SMX) dalam 2 dosis atau
Cefixime 15-20 mg/kgBB/hari selama 14 hari.
3. Apabila panas tidak turun dalam 5 hari dengan pengobatan kloramfenikol,
kloramfenikol diganti dengan: ceftriaxone
4. Untuk demam tifoid berat, kloramfenikol yang digunakan adalah 100 mg/kgB iv
atau ceftriaxone 80 mg/kgBB/hari iv dosis tunggal selama 5-7 hari.
5. Jika panas tidak turun dalam 5 hari, pertimbangkan komplikasi, fokal infeksi
yang lain, resistensi, dosis tidak optimal atau diagnosis tidak tepat.
6. Pada ensefalopati tifoid, diberikan dexametason dengan dosis awal 3 mg/kgBB
satu kali dilanjutkan 1 mg/kgBB/6 jam sebanyak 8 kali (selama 48 jam), lakukan
pemeriksaan elektrolit.
7. Jika terdapat peritonitis atau perdarahan saluran cerna, pasien dipuasakan, pada
pipa nasogastrik, nutrisi parenteral, transfusi darah (atas indikasi), foto abdomen
3 posisi, antibiaotik sefalosporin generasi III parenteral. Pasien dengan perforasi
usus dikonsultasikan ke bagian bedah untuk tindakan laparatomi.
Pengobatan penunjang adalah, antara lain:
Cairan iv diberikan jika dehidrasi, keadaan umum lemah, tidak dapat makan per oral
atau timbul syok.
Terapi demam tifoid dengan syok disesuaikan dengan standar penatalaksanaan
berdasarkan penyebab syok (syok hipovolemik atau syok septik).
Transfusi darah dilakukan jika Hb <6 gr% atau terdapat gejala perdarahan yang
jelas.
Edukasi kepada pasien dan keluarga adalah, antara lain:
o Higiene perorangan dan lingkungan karena penularan lewat oro-fekal.
Feses yang berasal dari orang yang tidak dicurigai mengidap penyakit atau
carrier merupakan sumber kontaminasi yang penting daripada kasus klinis
yang jelas yang biasanya segera diisolasikan. Setelah infeksi nyata atau
dengan gejala klinis, beberapa individu menyimpan salmonella dalam waktu
yang tidak tentu (carrier konvalesen atau carrier permanen yang sehat). Tiga
persen individu yang sembuh dari tifoid menjadi carrier permanen di mana
organisme salmonella menetap di dalam kandung empedu, saluran empedu
atau kadang-kadang di saluran usus atau saluran kemih.
o Imunisasi dapat dilakukan dengan vaksin polisakarida (capsular Vi
polysacharide) usia 2 tahun per IM (ulang tiap 3 bulan) dan vaksin tifoid oral
(Ty21-a) pada usia 6 tahun dengan interval selang sehari (1,3, dan 5) yang
diulang tiap 3-5 tahun.

3. 7 Komplikasi dari Demam Tifoid
Komplikasi demam tifoid, antara lan (Iriani, 2013).
Perforasi usus atau perdarahan saluran cerna.
Kolesistitis akut/kolesistitis kronik berhubungan dengan terbentuknya batu
empedu pada fenomena pembawa kuman (carrier).
Ekstraintestinal: ensefalopati tifoid, hepatitis tifosa, meningitis, pneumonia, syok
septik, pyelonefritis atau miokarditis.
3. 8 Prognosis Demam Tifoid
Prognosis pasien demam tifoid tergantung pada cepatnya diagnosis dan
tatalaksana. Faktor lain yang juga mempengaruhi, yaitu usia pasien, nutrisi,
komplikasi. Selain itu, riwayat penyakit sebelumnya juga memengaruhi prognosis
(Iriani, 2013). Anak-anak dengan malnutrisi dan pasien dengan resistensi antibiotik
memiliki prognosis lebih buruk (Bhutta, 2011). Relaps dapat terjadi beberapa kali.
Selain itu, carrier kronik dapat terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid (Iriani,
2012). Carrier kronik terus mengekskresi S. typhi dalam kotoran yang terjadi lebih
dari satu tahun setelah onset dari demam tifoid akut (WHO, 2003).
3. 9 DAFTAR PUSTAKA
1. Iriani, Yulia. Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak: Demam Tifoid.
2013. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unsri-RSMH, Palembang.
2. Brooks, Geo F., Janet S. Butel, dan Stephen A. Morse. 2008. Jawetz, Melnick,
dan Adelberg Mikrobiologi Kedokteran Ed. 23. Terjemahan oleh: Retna Neary
Elferia. EGC, Jakarta.
3. De Jong, Hanna K. dkk. Host-Pathogen Interaction in Invasive Salmonellosis.
(on line)
http://www.plospathogens.org/article/fetchObject.action?uri=info%3Adoi%2F
10.1371%2Fjournal.ppat.1002933&representation=PDF . 2012.
4. Wardhani, Puspa, dkk. Kemampuan Uji Tabung Widal Menggunakan Antigen
Import dan Antigen Lokal. (on line)
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/IJCPML-12-1-07.pdf . 2005.
5. Bhutta, Zulfiqar Ahmed. Enteric Fever (Typhoid Fever). 2011. Dalam:
Kliegman, Rebert M. dkk. (Editor). Nelson Textbook of Pediatrics (halaman
1655). Elseviers Saunders, Philadelphia, Amerika Serikat.
6. WHO. 2003. Background Document: The Diagnosis, Treatment, and
Prevention of Typhoid Fever. (on line)
http://whqlibdoc.who.int/hq/2003/WHO_V&B_03.07.pdf

Anda mungkin juga menyukai