Anda di halaman 1dari 11

PATOFISIOLOGI

KARAKTERISTIK PENYAKIT DEMAM TIFOID

Dosen Pengampu :

Tahoma Siregar, Drs. M. Si., Apt

Disusun oleh :

Irma Novelina 22334713

KELAS L

Tahun Ajaran 2023


A. PATOGENESIS DEMAM TIFOID

Salmonella Typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia.Manusia yang terinfeksi bakteri
Salmonella Typhi dapat mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin dan tinja
dalam jangka waktu yang bervariasi.Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses mulai
dari penempelan bakteri ke lumen usus, bakteri bermultiplikasi di makrofag Peyer’s
patch, bertahan hidup di aliran darah dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke lumen intestinal.Bakteri Salmonella Typhi bersama
makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut.Pada saat melewati
lambung dengan suasana asam banyak bakteri yang mati.Bakteri yang masih hidup akan
mencapai usus halus, melekat pada sel mukosa kemudian menginvasi dan menembus
dinding usus tepatnya di ileum dan yeyunum.Sel M, sel epitel yang melapisi Peyer’s patch
merupakan tempat bertahan hidup dan multiplikasi Salmonella Typhi. Bakteri mencapai
folikel limfe usus halus menimbulkan tukak pada mukosa usus.Tukak dapat
mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus.Kemudian mengikuti aliran ke kelenjar
limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan
Reticulo Endothelial System (RES) di organ hati dan limpa.Setelah periode inkubasi,
Salmonella Typhi keluar dari habitatnya melalui duktus torasikus masuk ke sirkulasi
sistemik mencapai hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari
ileum terminal.Ekskresi bakteri di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau
dikeluarkan melalui feses.Endotoksin merangsang makrofag di hati, limpa, kelenjar
limfoid intestinal dan mesenterika untuk melepaskan produknya yang secara lokal
menyebabkan nekrosis intestinal ataupun sel hati dan secara sistemik menyebabkan gejala
klinis pada demam tifoid. Penularan Salmonella Typhi sebagian besar jalur fekal oral,
yaitu melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari
penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama dengan feses.Dapat juga terjadi
transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada pada keadaan bakterimia
kepada bayinya.
B. TIMBULNYA PENYAKIT

Demam tifoid (tifus abdominalis) atau lebih populer dengan nama tifus di kalangan masyarakat
adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Salmonela typhi yang menyerang
saluran pencernaan. Kuman ini masuk ke dalam tubuh melalui makanan atau minuman yang
tercemar, baik saat memasak ataupun melalui tangan dan alat masak yang kurang bersih.
Selanjutnya, kuman itu diserap oleh usus halus yang masuk bersama makanan, lantas menyebar
ke semua organ tubuh, terutama hati dan limpa, yang berakibat terjadinya pembengkakan dan
nyeri. Setalah berada di dalam usus, kuman tersebut terus menyebar ke dalam peredaran darah
dan kelenjar limfe, terutama usus halus. Dalam dinding usus inilah, kuman itu membuat luka
atau tukak berbentuk lonjong. Tukak tersebut bisa menimbulkan pendarahan atau robekan yang
mengakibatkan penyebaran infeksi ke dalam rongga perut. Jika kondisinya sangat parah, maka
harus dilakukan operasi untuk mengobatinya. Bahkan, tidak sedikit yang berakibat fatal hingga
berujung kematian. Selain itu, kuman Salmonela Typhi yang masuk ke dalam tubuh juga
mengeluarkan toksin (racun) yang dapat menimbulkan gejala demam pada anak. Itulah
sebabnya, penyakit ini disebut juga demam tifoid.

C. PENYAKIT AKUT
Demam tifoid atau yang lebih sering dikenal tipes merupakan penyakit akut yang disebabkan
oleh bakteri Salmonella thyphi. Bakteri ini biasanya ditemukan di air atau makanan yang
terkontaminasi. Selain itu, bakteri ini juga bisa ditularkan dari orang yang terinfeksi. Seseorang
yang terinfeksi bakteri penyebab tipes bisa menyebar ke seluruh tubuh yang dapat
mempengaruhi banyak organ tubuh penderitanya. Orang yang terinfeksi penyakit demam tifoid
/ tipes dapat menularkan bakteri melalui fases dan urine, makan dan minuman yang sudah
terkontaminasi dengan urine atau fases penderita tipes. Ataupun mengkonsumsi makanan yang
ditangani oleh orang yang sedang mengalami tipes dan belum dinyatakan sembuh oleh
dokter, Demam tifoid termasuk infeksi bakteri yang bisa menyebar ke seluruh tubuh dan
memengaruhi banyak organ. Tanpa perawatan yang cepat dan tepat, penyakit ini bisa
menyebabkan komplikasi serius yang berakibat fatal.
D. KEADAAN SUBKLINIS
Menurut (Soedarto, 2015) gambaran klinis klasik yang sering ditemukan pada penderita tifoid
dapat dikelompokkan pada gejala yang terjadi pada minggu pertama, minggu kedua, minggu
ketiga dan minggu keempat sebagai berikut:
a) Minggu Pertama (awal infeksi) Demam tinggi lebih dari 40oC, nadi lemah bersifat dikrotik,
8 denyut nadi 80- 100 per menit.
b) Minggu Kedua Suhu badan tetap tinggi, penderita mengalami delirium, lidah tampak
kering mengkilat, denyut nadi cepat. Tekanan darah menurun dan limpa teraba.
c) Minggu Ketiga Keadaan penderita membaik jika suhu menurun, gejala dan keluhan
berkurang. Sebaliknya kesehatan penderita memburuk jika masih terjadi delirium, stupor,
pergerakan otot yang terjadi terus-menerus, terjadi inkontinensia urine atau alvi. Selain itu
tekanan perut meningkat. Terjadi meteorismus dan timpani, disertai nyeri perut. Penderita
kemudian mengalami kolaps akhirnya meninggal dunia akibat terjadinya degenerasi
miokardial toksik.
d) Minggu Keempat Penderita yang keadaannya membaik akan mengalami penyembuhan.

E. KEADAAN LATEN
Seorang yang sudah sembuh dari demam tifoid dapat beresiko mengalami kekambuhan.
Kekambuhan ini terjadi sehubungan dengan pengobatan yang tidak adekuat baik dosis atau
lamanya pemberian antibiotika. Kekambuhan dapat timbul dengan gejala klinis yang lebih
ringan atau lebih berat (Kemenkes RI, 2006). Sekitar 1% hingga 5% pasien akan menjadi 9
pembawa kronis Salmonella typhi meskipun terapi antimikroba yang memadai (Ashurst,
Truong, & Woodbury, 2019).

F. PRODOMAL PERIOD / WAKTU ANTARA TIMBULNYA GEJALA PERTAMA DAN


GEJALA LAINNYA YANG MENDASARI DIAGNOSIS

Gambaran klinis demam tifoid pada anak umur < 5 tahun, khususnya di bawah 1 tahun lebih sulit diduga
karena seringkali tidak khas dan sangat bervariasi.Masa inkubasi demam tifoid berkisar antara 7-14 hari,
namun dapat mencapai 3-30 hari.Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu
perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.Kemudian menyusul gejala
dan tanda klinis yang biasa ditemukan. Gejala Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada
awal penyakit. Demam berlangsung 3 minggu bersifat febris, remiten dan suhu tidak terlalu tinggi. Pada
awalnya suhu meningkat secara bertahap menyerupai anak tangga selama 2-7 hari, lebih tinggi pada sore
dan malam hari,tetapi demam bisa pula mendadak tinggi.Dalam minggu kedua penderita akan terus
menetap dalam keadaan demam, mulai menurun secara tajam pada minggu ketiga dan mencapai normal
kembali pada minggu keempat. Pada penderita bayi mempunyai pola demam yang tidak beraturan,
sedangkan pada anak seringkali disertai menggigil. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan nyeri,
perut kembung, konstipasi dan diare.Konstipasi dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal dan
kemudian pada minggu kedua timbul diare. Selain gejala – gejala yang disebutkan diatas, pada penelitian
sebelumnya juga didapatkan gejala yang lainnya seperti sakit kepala , batuk, lemah dan tidak nafsu
makan. Tanda Tanda klinis yang didapatkan pada anak dengan demam tifoid antara lain adalah
pembesaran beberapa organ yang disertai dengan nyeri perabaan, antara lain hepatomegali dan
splenomegali.Penelitian yang dilakukan di Bangalore didapatkan data teraba pembesaran pada hepar
berkisar antara 4 – 8 cm dibawah arkus kosta. Tetapi adapula penelitian lain yang menyebutkan dari
mulai tidak teraba sampai 7,5 cm di bawah arkus kosta. Penderita demam tifoid dapat disertai dengan
atau tanpa gangguan kesadaran.Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak terlalu dalam,
yaitu apatis sampai somnolen. Selain tanda – tanda klinis yang biasa ditemukan tersebut,mungkin pula
ditemukan gejala lain.Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola, yaitu bintik
kemerahan karena emboli dalam kapiler kulit.Kadang-kadang ditemukan ensefalopati, relatif bradikardi
dan epistaksis pada anak usia > 5 tahun. Penelitian sebelumnya didapatkan data bahwa tanda
organomegali lebih banyak ditemukan tetapi tanda seperti roseola sangat jarang ditemukan pada anak
dengan demam tifoid.

G. MANIFESTASI PENYAKIT DEMAM TIFOID


Manifestasi klinis demam tifoid pada anak sering kali tidak khas dan sangat bervariasi yang
sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat
lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah disembuhkan
sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik
yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau
perdarahan. Hal ini 27 mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja.
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita
demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan
gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada S.
typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup
di daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria. Namun
demikian demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala
hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. typhi
juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala
mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri
perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul
gambaran peritonitis akibat perforasi usus (Risky Vitria Prasetyo, 2009). Gejala klinis demam
tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas
rata-rata 10-20 hari, yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan
yang terlama sampai 30 hari jika infeksi melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin
ditemukan gejala prodormal, yaitu tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak
bersemangat.

H. TANDA-TANDA/GEJALA PENYAKIT DEMAM TIFOID


• Gejala
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.Demam berlangsung
3 minggu bersifat febris, remiten dan suhu tidak terlalu tinggi.Pada awalnya suhu meningkat
secara bertahap menyerupai anak tangga selama 2-7 hari, lebih tinggi pada sore dan malam
hari,tetapi demam bisa pula mendadak tinggi.Dalam minggu kedua penderita akan terus
menetap dalam keadaan demam, mulai menurun secara tajam pada minggu ketiga dan
mencapai normal kembali pada minggu keempat.1 Pada penderita bayi mempunyai pola
demam yang tidak beraturan, sedangkan pada anak seringkali disertai menggigil.11 Pada
abdomen mungkin ditemukan keadaan nyeri, perut kembung, konstipasi dan diare.Konstipasi
dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal dan kemudian pada minggu kedua timbul
diare. Selain gejala – gejala yang disebutkan diatas, pada penelitian sebelumnya juga
didapatkan gejala yang lainnya seperti sakit kepala , batuk, lemah dan tidak nafsu makan.

• Tanda
Tanda klinis yang didapatkan pada anak dengan demam tifoid antara lain adalah pembesaran
beberapa organ yang disertai dengan nyeri perabaan, antara lain hepatomegali dan
splenomegali.Penelitian yang dilakukan di Bangalore didapatkan data teraba pembesaran pada
hepar berkisar antara 4 – 8 cm dibawah arkus kosta.14 Tetapi adapula penelitian lain yang
menyebutkan dari mulai tidak teraba sampai 7,5 cm di bawah arkus kosta.9 Penderita demam
tifoid dapat disertai dengan atau tanpa gangguan kesadaran.Umumnya kesadaran penderita
menurun walaupun tidak terlalu dalam, yaitu apatis sampai somnolen.1 Selain tanda – tanda
klinis yang biasa ditemukan tersebut,mungkin pula ditemukan gejala lain.Pada punggung dan
anggota gerak dapat ditemukan roseola, yaitu bintik kemerahan karena emboli dalam kapiler
kulit.Kadang-kadang ditemukan ensefalopati, relatif bradikardi dan epistaksis pada anak usia
> 5 tahun.1,2,18 Penelitian sebelumnya didapatkan data bahwa tanda organomegali lebih
banyak ditemukan tetapi tanda seperti roseola sangat jarang ditemukan pada anak dengan
demam tifoid.

I. TES DIAGNOSTIK

Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat bermanfaat untuk mendapatkan
hasil yang cepat dan optimal sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi. Pengetahuan
mengenai gambaran klinis penyakit sangat penting untuk membantu mendeteksi dini penyakit
ini. Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan pemeriksaan tambahan dari laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis. Gambaran darah tepi pada permulaan penyakit dapat
berbeda dengan pemeriksaan pada keadaan penyakit yang lanjut. Pada permulaan penyakit,
dapat dijumpai pergeseran hitung jenis sel darah putih ke kiri, sedangkan pada stadium lanjut
terjadi pergeseran darah tepi ke kanan (limfositosis relatif ). Ciri lain yang sering ditemukan
pada gambaran darah tepi adalah aneosinofi lia (menghilangnya eosinofi l). Diagnosis pasti
demam tifoid berdasarkan pemeriksaan laboratorium didasarkan pada 3 prinsip, yaitu: Isolasi
bakteri,deteksi antigen mikroba dan titrasi antibodi terhadap organisme penyebab. 29 Kultur
darah merupakan gold standard metode diagnostik dan hasilnya positif pada 60-80% dari
pasien, bila darah yang tersedia cukup (darah yang diperlukan 15 mL untuk pasien dewasa).
Untuk daerah endemik dimana sering terjadi penggunaan antibiotik yang tinggi, sensitivitas
kultur darah rendah (hanya 10-20% kuman saja yang terdeteksi). Peran pemeriksaan Widal
(untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen Salmonella typhi) masih kontroversial. Biasanya
antibodi antigen O dijumpai pada hari 6-8 dan antibodi terhadap antigen H dijumpai pada hari
10-12 setelah sakit. Pada orang yang telah sembuh, antibodi O masih tetap dapat dijumpai
setelah 4-6 bulan dan antibodi H setelah 10-12 bulan. Karena itu, Widal bukanlah pemeriksaan
untuk menentukan kesembuhan penyakit. Diagnosis didasarkan atas kenaikan titer sebanyak
4 kali pada dua pengambilan berselang beberapa hari atau bila klinis disertai hasil pemeriksaan
titer Widal di atas rata-rata titer orang sehat setempat. Pemeriksaan Tubex dapat mendeteksi
antibodi IgM. Hasil pemeriksaan yang positif menunjukkan adanya infeksi terhadap
Salmonella. Antigen yang dipakai pada pemeriksaan ini adalah O9 dan hanya dijumpai pada
Salmonella serogroup D. Pemeriksaan lain adalah dengan Typhidot yang dapat mendeteksi
IgM dan IgG. Terdeteksinya IgM menunjukkan fase akut demam tifoid, sedangkan
terdeteksinya IgG dan IgM menunjukkan demam tifoid akut pada fase pertengahan. Antibodi
IgG dapat menetap selama 2 tahun setelah infeksi, oleh karena itu, tidak dapat untuk
membedakan antara kasus akut dan kasus dalam masa penyembuhan (Linson et al., 2012).

J. FAKTOR PENCETUS

Demam tifoid (tifus abdominalis) atau lebih populer dengan nama tifus di kalangan
masyarakat adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Salmonela typhi yang
menyerang saluran pencernaan. Kuman ini masuk ke dalam tubuh melalui makanan atau
minuman yang tercemar, baik saat memasak ataupun melalui tangan dan alat masak yang
kurang bersih. Selanjutnya, kuman itu diserap oleh usus halus yang masuk bersama makanan,
lantas menyebar ke semua organ 25 tubuh, terutama hati dan limpa, yang berakibat terjadinya
pembengkakan dan nyeri. Setalah berada di dalam usus, kuman tersebut terus menyebar ke
dalam peredaran darah dan kelenjar limfe, terutama usus halus. Dalam dinding usus inilah,
kuman itu membuat luka atau tukak berbentuk lonjong. Tukak tersebut bisa menimbulkan
pendarahan atau robekan yang mengakibatkan penyebaran infeksi ke dalam rongga perut. Jika
kondisinya sangat parah, maka harus dilakukan operasi untuk mengobatinya. Bahkan, tidak
sedikit yang berakibat fatal hingga berujung kematian. Selain itu, kuman Salmonela Typhi
yang masuk ke dalam tubuh juga mengeluarkan toksin (racun) yang dapat menimbulkan gejala
demam pada anak. Itulah sebabnya, penyakit ini disebut juga demam tifoid (Fida & Maya,
2012).

K. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada demam tifoid adalah perdarahan usus dan perforasi.
Perdarahan usus dan perforasi merupakan komplikasi serius dan perlu diwaspadai. Sekitar 5
persen penderita demam tifoid mengalami komplikasi ini. Komplikasi lain yang lebih jarang
antara lain pembengkakan dan peradangan pada otot jantung (miokarditis), pneumonia,
peradangan pankreas (pankreatitis), infeksi ginjal atau kandung kemih, infeksi dan
pembengkakan selaput otak (meningitis), serta timbulnya masalah psikiatri seperti mengigau,
halusinasi, dan paranoid psikosis (Tjipto et al., 2009).

L. TERAPI
Penggunaan antibiotik merupakan terapi utama pada demam tifoid, karena pada dasarnya
patogenesis infeksi Salmonella Typhi berhubungan dengan keadaan bakterimia. Pemberian
terapi antibiotik demam tifoid pada anak akan mengurangi komplikasi dan angka kematian,
memperpendek perjalan penyakit serta memperbaiki gambaran klinis salah satunya terjadi
penurunan demam. Namun demikian pemberian antibiotik dapat menimbulkan drug induce
fever, yaitu demam yang timbul bersamaan dengan pemberian terapi antibiotik dengan catatan
tidak ada penyebab demam yang lain seperti adanya luka, rangsangan infeksi, trauma dan
lainlain.Demam akan hilang ketika terapi antibiotik yang digunakan tersebut dihentikan.
Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada terapi demam tifoid, hal ini dapat
dibenarkan apabila sensitivitas Salmonella Typhi masih tinggi terhadap obat tersebut.Tetapi
penelitian-penelitian yang dilakukan dewasa ini sudah menemukan strain Salmonella Typhi
yang sensitivitasnya berkurang terhadap kloramfenikol,untuk itu antibiotik lain seperti
seftriakson, ampisilin, kotrimoksasol atau sefotaksim dapat digunakan sebagai pilihan terapi
demam tifoid.

1. Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan antibiotik lini pertama terapi demam tifoid yang bersifat
bakteriostatik namun pada konsentrasi tinggi dapat bersifat bakterisid terhadap kuman- kuman
tertentu serta berspektrum luas.Dapat digunakan untuk terapi bakteri gram positif maupun
negatif.Kloramfenikol terikat pada ribosom subunit 50s serta menghambat sintesa bakteri
sehingga ikatan peptida tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman.Sedangkan
mekanisme resistensi antibiotik ini terjadi melalui inaktivasi obat oleh asetil transferase yang
diperantarai faktor-R.Masa paruh eliminasinya pada bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar
24 jam.Dosis untuk terapi demam tifoid pada anak 50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4
dosis.Lama terapi 8-10 hari setelah suhu tubuh kembali normal atau 5-7 hari setelah suhu
turun.Sedangkan dosis terapi untuk bayi 25-50 mg/kgBB.

2. Seftriakson
Seftriakson merupakan terapi lini kedua pada kasus demam tifoid dimana bakteri Salmonella
Typhi sudah resisten terhadap berbagai obat. Antibiotik ini memiliki sifat bakterisid dan
memiliki mekanisme kerja sama seperti antibiotik betalaktam lainnya, yaitu menghambat
sintesis dinding sel mikroba, yang dihambat ialah reaksi transpeptidase dalam rangkaian reaksi
pembentukan dinding sel.Dosis terapi intravena untuk anak 50-100 mg/kg/jam dalam 2 dosis,
sedangkan untuk bayi dosis tunggal 50 mg/kg/jam.

3. Ampisilin
Ampisilin memiliki mekanisme kerja menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan
untuk sintesis dinding sel mikroba.Pada mikroba yang sensitif, ampisilin akan menghasilkan
efek bakterisid.Dosis ampisilin tergantung dari beratnya penyakit, fungsi ginjal dan umur
pasien.Untuk anak dengan berat badan 7 hari diberi 75 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis.
4. Kotrimoksasol
Kotrimoksasol merupakan antibiotik kombinasi antara trimetoprim dan sulfametoksasol,
dimana kombinasi ini memberikan efek sinergis.Trimetoprim dan sulfametoksasol
menghambat reaksi enzimatik obligat pada mikroba.Sulfametoksasol menghambat masuknya
molekul PAmino Benzoic Acid (PABA) ke dalam molekul asam folat, sedangkan trimetoprim
menghambat enzim dihidrofolat reduktase mikroba secara selektif.Frekuensi terjadinya
resistensi terhadap kotrimoksasol lebih rendah daripada masing-masing obat, karena mikroba
yang resisten terhadap salah satu komponen antibiotik masih peka terhadap komponen
lainnya.Dosis yang dianjurkan untuk anak ialah trimetoprim 8 mg/kgBB/hari dan
sulfametoksasol 40 mg/kgBB/hari diberikan dalam 2 dosis.

5. Sefotaksim
Sefotaksim merupakan antibiotik yang sangat aktif terhadap berbagai kuman gram positif
maupun gram negatif aerobik.Obat ini termasuk dalam antibiotik betalaktam, di mana memiliki
mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel mikroba.Mekanisme penghambatannya
melalui reaksi transpeptidase dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel.Dosis terapi
intravena yang dianjurkan untuk anak ialah 50 – 200 mg/kg/h dalam 4 – 6 dosis.Sedangkan
untuk neonatus 100 mg/kg/h dalam 2 dosis. Pada penelitian – penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya, menyebutkan bahwa pasien dengan deman tifoid menunjukkan respon klinis yang
baik dengan pemberian seftriakson sehari sekali.Lama demam turun berkisar 4 hari, hasil
biakan menjadi negatif pada hari ke – 4 dan tidak ditemukan kekambuhan.Pada kasus MDRST
anak, seftriakson merupakan antibiotik pilihan karena aman.Sedangkan pada penggunaan
antibiotik kloramfenikol lama demam turun berkisar 4,1 hari, efek sampingnya berupa mual
dan muntah terjadi pada 5 % pasien.Kekambuhan timbul 9 - 12 hari setelah obat dihentikan
pada 6 % dari kasus, hal ini berhubungan dengan lama terapi yang < 14 hari. Antibiotik terpilih
untuk MDRST adalah siprofloksasin dan seftriakson.Pemberian siprofloksasin pada anak usia
< 18 tahun masih diperdebatkan karena adanya potensi artropati, sehingga seftriakson lebih
direkomendasikan.22 Penelitian lainnya juga ada yang menyebutkan bahwa terjadi resistensi
terhadap antibiotik kloramfenikol, ampisilin, amoksisilin dan trimetoprim, tetapi penelitian
yang dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSHS sejak tahun 2006 – 2010
menunjukkan Salmonella Typhi masih sensitif terhadap antibiotik kloramfenikol, ampisilin
dan kombinasi trimetoprim- sulfametoksasol (kotrimoksasol).Dengan antibiotik kotrimoksasol
demam turun berkisar 5 hari, sedangkan dengan ampisilin berkisar 7 hari.

M. EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid menyerang penduduk di semua negara. Demam tifoid lebih sering terjadi pada
anak-anak dan dewasa muda yang berhubungan dengan daerah berpenghasilan rendah dengan
sanitasi yang buruk. Pada tahun 2000, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,7 juta
penyakit dan 216.000 kematian secara global, dan International Vaccine Institute
memperkirakan bahwa ada 11,9 juta kasus demam tifoid dan 129.000 kematian pada negara
berpenghasilan rendah hingga menengah pada tahun 2010. Di Amerika Serikat, sekitar 200
hingga 300 kasus Salmonella enterica serotype typhi dilaporkan setiap tahun, dan sekitar 80%
dari kasus ini berasal dari wisatawan yang kembali dari daerah endemis. Pada era pra-
antibiotik, angka kematian adalah 15% atau lebih besar. Namun, angka kematian telah turun
menjadi kurang dari 1% dengan diperkenalkannya antibiotik (Ashurst, Truong, & Woodbury,
2019). Insiden terjadinya demam tifoid diperkirakan lebih dari 100 per 100.000 penduduk.
Sekitar tujuh juta orang terkena dampak setiap tahun di Asia dengan sekitar 75.000 kematian
(Chang, Song, & Galán, 2016). Penelitian di Indonesia disuatu daerah memperkirakan tingkat
kejadian tifoid 148,7 per 100.000 orang pertahun pada kelompok umur 2-4 tahun, 180,3 pada
kelompok usia 5-15 tahun, dan 51,2 pada mereka lebih dari 16 tahun, dengan usia onset rata-
rata 10,2 tahun (Alba et al., 2016).

N. PENYAKIT MENULAR
Sumber penularan demam tifoid tidak selalu harus penderita yang sedang sakit. Ada penderita
yang sudah mendapat pengobatan dan sembuh, tetapi di dalam air seni dan fesesnya masih
mengandung bakteri tanpa diikuti gejala klinis (asimtomatik). Penderita ini disebut sebagai
pembawa atau karier. Meski tidak lagi menderita penyakit demam tifoid, orang ini masih
dapat menularkan penyakit pada orang lain (Sudoyo, 2016). Cara penularan tifoid adalah
melalui melalui fecal-oral. Bakteri Salmonella typhi menular ke manusia melalui makanan
dan minuman yang dikonsumsi yang telah tercemar oleh komponen feses atau urin dari
pengidap tifoid (Kemenkes RI, 2006). Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau
minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut melewati lambung dengan suasana asam
banyak bakteri yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus, melekat pada
sel mukosa kemudian menginvasi dan menembus dinding usus tepatnya di ileum dan jejunum.
Sel M, sel epitel yang melapisi Peyer’s patch merupakan tempat bertahan hidup dan
multiplikasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus menimbulkan tukak
pada mukosa usus. Tukak dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Kemudian
mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik
sampai ke jaringan Reticulo Endothelial System (RES) di organ hati dan limpa. Setelah
periode inkubasi, Salmonella 10 typhi keluar dari habitatnya melalui duktus torasikus masuk
ke sirkulasi sistemik mencapai hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyer’s
patch dari ileum terminal. Ekskresi bakteri di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus
atau dikeluarkan melalui feses. Endotoksin merangsang makrofag di hati, limpa, kelenjar
limfoid intestinal, dan mesenterika untuk melepaskan produknya yang secara lokal
menyebabkan nekrosis intestinal ataupun sel hati dan secara sistemik menyebabkan gejala
klinis pada demam tifoid (Ardiaria, 2019).

Anda mungkin juga menyukai