Anda di halaman 1dari 31

WRAP UP SKENARIO 2

BLOK MEKANISME PERTAHANAN TUBUH

“GATAL DAN BENTOL MERAH DI SELURUH TUBUH”

Kelompok : B-10
Ketua : Sandrina Shera Monifa (1102019196)
Sekretaris : Syqiya Aqillanisah Fauzi (1102019210)
Anggota : 1. Nadia Rizki Amalia (1102019143)
2. Salfa Nurmarida Asriani (1102019189)
: 3. Tasya Anita Salam (1102019211)
4. Syaffira Novitasari Nadila (1102019208)
5. Syahrani Salsabila (1102019209)
6. Salsabila Nada Putri (1102019195)
: 7. Ryan Rizki (1102019246)
8. M. Javier Rifat Eryansjah (1102019127)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2019/2020
Jalan. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510
Telp.62.21.4244574 Fax. 62.21.424457
Daftar Isi

Daftar isi ................................................................................................................................... 2


Skenario .................................................................................................................................... 3
Kata Sulit .................................................................................................................................. 4
Analisis Masalah ...................................................................................................................... 5
Jawaban .................................................................................................................................... 6
Hipotesa .................................................................................................................................... 7
1. Memahami dan Mempelajari Hipersensitivitas ........................................................ 8
1.1. Definisi ................................................................................................................... 8
1.2. Klasifikasi .............................................................................................................. 8
1.3. Etiologi ................................................................................................................... 8
2. Memahami dan Mempelajari Hipersensitivitas Tipe I ............................................ 9
2.1. Mekanisme ............................................................................................................. 9
2.2. Mediator yang Berperan .................................................................................... 12
2.3. Manifestasi Klinis ............................................................................................... 13
3. Memahami dan Mempelajari Hipersensitivitas Tipe II ......................................... 14
3.1. Mekanisme ........................................................................................................... 14
3.2. Manifestasi Klinis ............................................................................................... 14
4. Memahami dan Mempelajari Hipersensitivitas Tipe III ....................................... 15
4.1. Klasifikasi ............................................................................................................ 15
4.2. Mekanisme ........................................................................................................... 16
4.3. Manifestasi Klinis ............................................................................................... 17
5. Memahami dan Mempelajari Hipersensitivitas Tipe IV ....................................... 19
5.1. Klasifikasi ............................................................................................................ 19
5.2. Mekanisme ........................................................................................................... 20
5.3. Manifestasi Klinis ............................................................................................... 20
6. Memahami dan Mempelajari Peran Antihistamin & Kortikosteroid .................. 20
6.1. Definisi dan Klasifikasi ....................................................................................... 20
6.2. Farmakokinetik ................................................................................................... 21
6.3. Farmakodinamik ................................................................................................ 23
6.4. Efek Samping ...................................................................................................... 25
6.5. Indikasi ................................................................................................................ 27
6.6. Kontraindikasi .................................................................................................... 29
7. Memahami dan Mempelajari Batasan Hukum Islam Pada Obat Alergi ............. 30
Daftar Pustaka ................................................................................................................... …31

2
Skenario 2
Gatal dan Bentol Merah Di Seluruh Tubuh

Seorang perempuan berusia 25 tahun dating ke dokter dengan keluhan demam dan sakit
menelan sejak 2 minggu yang lalu. Dokter memberikan antibiotika golongan penisilin. Setelah
minum antibiotika tersebut timbul gatal dan bentol-bentol merah yang hampur merata di
seluruh tubuh, timbul bengkak pada kelopak mata dan bibir. Ia memutuskan untuk kembali
berobat ke dokter. Pada pemeriksaan fisik didapatkan angiodem di mata dan bibir, dan urtikaria
di seluruh tubuh. Dokter menjelaskan keadaan ini diakibatkan oleh reaksi alergi
(hipersensitivitas tipe cepat), sehingga ia mendapatkan obat anti histamin dan kortikosteroid.
Dokter memberikan saran agar selalu berhati-hati dalam meminum obat.

3
Kata Sulit :
1. Urtikaria
2. Angiodema
3. Antibiotika
4. Penisilin
5. Antihistamin
6. Hipersensitivitas
7. Kortikosteroid
8. Alergi
Jawab :
1. Reaksi vaskular lapisan dermis bagian atas yang ditandai dengan bercak, ruam, biduran,
lebih merah dari kulit sekitarnya yang sering kali disertai gatal.
2. Reaksi vaskular pada dermis bagian dalam misalnya di submukosa subkutis, saluran
napas, dan saluran cerna yang disebabkan oleh dilatasi dan peningkatan permeabilitas
kapiler.
3. Zat kimiawi yang mempunyai kemampuan untuk menghambat dan membunuh
pertumbuhan mikroorganisme lain yang dihasilkan oleh suatu organisme secara
semisintesis.
4. Golongan antibiotika betalaktam yang berasal dari genus penisilium serta mempunyai
kemampuan mengatasi infeksi yang disebabkan oleh bakteri khususnya gram positif.
5. Kelompok obat obatan yang digunakan untuk mengobati reaksi alergi atau agen yang
melawan kerja histamin dan untuk menghambat sekresi lambung pada ulkus peptikum.
6. Keadaan berubahnya reaktivitas yang ditandai dengan respon imun berlebihan terhadap
sesutu yang dianggap sebagai benda asing.
7. Obat yang mengandung hormon steroid yang berfungsi untuk menambah hormon
steroid bila diperlukan, meredakan peradangan atau inflamasi, dan menekan kerja
sistem kekebalan tubuh yang berlebihan yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal.
8. Reaksi menyimpang sistem kekebalan tubuh manusia terhadap zat asing akibat dari
induksi oleh imunoglobulin E yang spesifik terhadap alergen tertentu.

4
Analisis Masalah
1. Apa saja tipe hipersensitivitas?
2. Apa penyebab seseorang mengalami hipersensitivitas?
3. Mengapa dokter memberikan obat antihistamin dan kortikosteroid?
4. Apa efek samping dari anti histamin dan kortikosteroid?
5. Apa obat selain antihistamin dan kortikosteroid yang dapat diberikan untuk menangani
reaksi alergi?
6. Mengapa angiodema terjadi di mata dan bibir?
7. Mengapa disebut hipersensitivits tipe cepat?
8. Apa saja sindrom klinis yang terjadi pada saat alergi?
9. Apa saja faktor penyebab alergi?
10. Obat antihistamin apa yang digunakan untuk mengobati angiodema dan urtikaria? Dan
mengapa?
11. Mengapa bisa terjadi urtikaria?
12. Mengapa terjadi bentol-bentol diseluruh tubuh?
13. Apa saja tes yang dilakukan untuk mengetahui reaksi alergi?
14. Bagaimana mekanisme hipersensitivitas?
15. Apa efek samping dari penisilin?
16. Bagaimana cara mencegah alergi?

5
Jawaban :
1. Hipersentivitas Tipe I : hipersensitivitas immediet atau reaksi cepat
Hipersensitivitas Tipe II : hipersensitivitas sitotoksik
Hipersensitivitas Tipe III : penyakit kompleks imun
Hipersensitivitas Tipe IV : seluler atau reaksi lambat
2. Obat, keturunan, makanan, dan lingkungan
3. Karena antihistamin digunakan untuk mengobati reaksi alergi dengan menghambat atau
menggeser ikatan histamin dan kortikosteroid sebagai obat anti inflamasi, karena
histamin merupakan mediator utama yang berperan terhadap terjadi reaksi alergi dan
antihistamin bekerja secara kompetitif terhadap histamin reseptor jaringan
4. Antihistamin 1: ngantuk, mual, diare, penglihatan kabur, muntah
Antihistamin 2 : menghambat sekresi asam lambung
Kortikosteroid : menghambat sekresi asam lambung, hipertensi, peningkatan gula
darah, warna kulit memucat, mempercepat timbulnya katarak
5. Epinefrin dan lotion kalamin
6. Angiodema terjadi karena adanya histamin yang membuat vasodilatasi sehingga
terjadinya edema kemudiann angiodema menyerang bagian mukosa seperti bibir, mata,
dan vagina
7. Terjadi dalam watu kurang dari 1 jam setelah terpapar antigen, karena reaksi alerginya
timbul tanpa ada jeda waktu, gejala hipersensitivias tipe 1 terdapat urtikaria, shock
anafilatik, dan angiodema
8. Kulit memerah, kulit kering, bersin, gatal dan kemerahan, hidung gatal, pembengkakan
pada bibir, lidah, dan kelopak mata, asma bronkial, dan sinusitis
9. Gigitan atau serangan serangga, makanan seperti udang, kepiting, partikel diudara
seperti debu, obat obatan, zat yang bersentuhan dengan kulit secara langsung,
ketahanan tubuh sendiri, dan benda yang dianggap asing
10. Antihistamin h 1, antihistamin non sedasi, salep kalamin kalau dikulit
11. Karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat akibat pelepasan
histamin dari sel mast dan basopil sel mast adalah sel efektor utama pada urtikaria
12. Nyamuk menggigit, kemudian histamin meningkat, vasodilatasi, dan terjadi bentol
13. Skin prick test, test provokasi
14. Hipersensitivitas tipe 1 : Ketika benda asing masuk ke dalam tubuh respon imun
meningkat sehingga IgE meningkat yang diikat oleh histamin terjadi pelepasan
histamin berlebih sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah meningkat dan
terjadi urtikaria
Hipersensitivitas 2 : sel tubuh normal keliru seperti memusnahkan imunnya sendiri
Hipersensitivitas 3 : antibodi dan antigen bergabung menjadi 1 menghasilkan
komplemen, kompleks mengaktifkan basofil sel mast me-release histamin dan
leukotrines dan menyebabkan inflamasi
Hipersensitivitas 4 : melibatkan sel t, sel t akan terjadi limfokin yang menyebabkan
makrofag diaktifkan dan terjadi reaksi inflamasi
15. Pusing, diare, mual, muntah, nyeri perut, insomnia, perdarahan, mudah memar, gatal,
ruam, kejang, gangguan fungsi ginjal
16. Kalau alergi dengan serangga bisa menggunakan pakaian tertutup dan menggunakan
lotion anti serangga, dan kalau alergi dengan debu bisa menggunakan masker saat pergi
keluar.

6
Hipotesa

Alergi disebabkan oleh faktor pemicu alergi seperti gigitan atau serangan serangga,
makanan seperti makanan laut, partikel di udara seperti debu, obat obatan, zat yang bersentuhan
dengan kulit secara langsung, dan benda yang dianggap asing. Pada alergi obat khususnya
antibiotik golongan penisilin akan menimbulkan reaksi hipersensitivitas seperti kulit memerah,
kulit kering, bersin, gatal dan kemerahan, hidung gatal, pembengkakan pada bibir, lidah, dan
kelopak mata, asma bronkial, dan sinusitis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah skin
prick test dan test provokasi. Alergi dapat diobati dengan antihistamin dan kortikosteroid.

7
1. Memahami dan Mempelajari Hipersensitivitas
1.1. Definisi
Selain berpengaruh positif terhadap perlawanan antigen yang masuk ke tubuh,
ternyata imun dapat menyebabkan cedera jaringan atau penyakit. Hipersensitivitas
adalah refleksi dari respon imun yang berlebihan. Sedangkan reaksi
hipersensitivitas atau bisa juga disebut reaksi alergi adalah reaksi imun yang
menimbulkan cedera jaringan atau patologik. (Abbas. 2006)
1.2. Klasifikasi
1) Berdasarkan Gell dan Coombs :
• Hipersensitivitas tipe 1 (Hipersensitivitas tipe cepat)
• Hipersensitivitas tipe 2 (Diperantarai oleh antibodi)
• Hipersensitivitas tipe 3 (Diperatarai kompleks imun)
• Hipersensitivitas tipe 4 (Hipersensitivitas tipe lambat dan diperantarai sel T)
2) Berdasarkan waktu timbulnya reaksi :
• Reaksi Cepat
- Terjadi dalam hitungan detik dan menghilang dalam 2 jam
- Ikatan silang antara antigen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi
pelepasan mediator vasoaktif
- Dapat terjadi anafilaksis sistemik dan anafilaksis berat sebagai manifestasi
klinisnya
• Reaksi Intermediet
- Terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam
- Diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan host yang disebabkan sel NK atau
neutrophil
- Dapat terjadi reaksi transfusi darah (fetalis dan anemia hemolitik) dan reaksi
arthus local
• Reaksi Lambat
- Terjadi setelah 48 jam
- Reaksi yang terjadi adalah dermatitis kontak, reaksi M tuberculosis, dan
reaksi penolakan tandur
1.3. Etiologi
Reaksi hipersensitivitas disebabkan oleh munculnya respon abnormal atau yang tak
terkontrol terhadap antigen asing atau respons autoimun terhadap antigen sendiri.
• Hipersensitivitas segera, atau hipersensitivitas tipe I, adalah tipe reaksi
patologis yang disebabkan oleh pelepasan mediator - mediator dari sel mast.
Reaksi ini kebanyakan dipicu oleh produksi antibodi IgE terhadap antigen
lingkungan dan ikatan IgE dengan sel mast pada berbagai jaringan.
• Antibodi selain IgE yang bekerja langsung pada antigen sel atau jaringan dapat
merusak sel atau jaringan atau dapat mengganggu fungsinya. Penyakit ini
diperantarai antibodi dan mewakili hipersensitivitas tipe II.
• Antibodi terhadap antigen terlarut membentuk kompleks dengan antigen, dan
kompleks imun terkumpul pada pembuluh darah pada berbagai jaringan,
menyebabkan inflamasi dan cedera jaringan. penyakit ini disebut penyakit
kompleks imun dan mewakili hipersensitivitas tipe III.
• Beberapa penyakit akibat dari reaksi limfosit T, seringkali terhadap antigen diri
di jaringan. Penyakit yang diperantarai sel T mewakili hipersensitivitas tipe IV.

8
• Dapat terjadi juga karena ada respon terhadap antigen asing (mikroba dan
antigen lingkungan non-infeksi) yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan,
khususnya bila reaksinya berulang dan tidak terkontrol.
• Karena juga ada respons imun yang dapat bekerja langsung terhadap antigen
diri sendiri (autolog) sebagai akibat kegagalan toleransi diri (self-tolerance).
• Etiologi lainnya juga dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1) Infeksi Persisten
Pada infeksi, terdapat antigen mikroba. Pada proses ini akan muncul
kompleks imun pada organ yang terinfeksi.
2) Autoimun
Terjadi kompleks imun yang berasal dari tubuh sendiri. Kompleks imun
mengendap pada ginjal, sendi, dan pembuluh darah.
3) Ekstrinsik
Pada reaksi ini, antigen yang berperan adalah antigen lingkungan tempat
kompleks imun mengendap yaitu paru.

2. Memahami dan Mempelajari Hipersensitivitas Tipe I


2.1. Mekanisme
Hipersensitivitas tipe I merupakan suatu respons jaringan yang terjadi secara
cepat (secara khusus hanya dalam bilangan menit) setelah tejadi interaksi antara
alergen dengan antibodi IgE yang sebelumnya berikatan pada permukaan sel mast
dan basofil pada pejamu yang tersensitisasi. Bergantung pada jalan masuknya,
hipersensitivitas tipe I dapat terjadi sebagai reaksi lokal yang benar-benar
mengganggu (misainya, rhinitis musiman, atau hay fever) atau sangat melemahkan
(asma) atau dapat berpuncak pada suatu gangguan sistemik yang fatal (anafilaksis).
Banyak reaksi tipe I yang terlokalisasi mempunyai dua tahap yang dapat
ditentukan secara jelas: (1) respons awal, ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran
vaskular, dan spasme otot polos, yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5
hingga 30 menit setelah terpajan oleh suatu alergen dan menghilang setelah 60
menit; dan (2) kedua, reaksi fase lambat, yang muncul 2 hingga 8 jam kemudian

9
dan berlangsung selama beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan
infiltrasi eosinofil serta sel peradangan akut dan kronis lainnya yang lebih hebat
pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran jaringan dalam bentuk
kerusakan sel epitel mukosa.
Karena sel mast dan basofil merupakan inti dari terjadinya hipersensitivitas tipe
I, beberapa karakteristiknya yang menonjol akan dikaji ulang pertama kali dan
kemudian akan dibahas mengenai mekanisme imun yang mendasari bentuk
hipersensitivitas ini.
• Sel mast berasal dari sumsum tulang dan tersebar secara luas dalam jaringan ;
sel ini ditemukan menonjol pada daerah di dekat pembuluh darah dan saraf serta
di dalam subepitel. Sitoplasmanya mengandung granula dilapisi membran yang
mempunyai berbagai mediator yang aktif secara biologis. Seperti yang akan
digambarkan kemudian, sel mast (dan basofil) diaktivasi oleh IgE yang
bertautan silang yang terikat pada permukaan sel melalui reseptor Fc yang
berafinitas tinggi; sel mast dapat pula dipicu oleh rangsang lain, seperti
komponen komplemen C5a dan C3a (anafilaktoksin) yang berikatan pada
reseptor membran sel mast spesifik. Sel mast dapat pula diinduksi untuk
mengeluarkan granulanya oleh sitokin tertentu yang berasal dari makrofag
(misalnya, IL-8), obat-obatan seperti kodein dan morfin, melitin (terdapat dalam
bisa lebah), dan rangsang fisik (misalnya, panas, dingin, dan sinar matahari).
• Dalam banyak hal, basofil serupa dengan sel mast, tetapi secara normal tidak
terdapat dalam jaringan. Basofil justru masuk sirkulasi darah dalam jumlah
yang sangat sedikit dan, seperti granulosit lainnya, dapat direkrut menuju
tempat peradangan.
Pada manusia, reaksi tipe I diperantarai oleh antibodi IgE. Rangkaian
kejadiannya dimulai dengan pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergen).
Alergen tersebut merangsang induksi sel T CD4+ tipe TH2. Sel CD4+ ini berperan
penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I karena sitokin yang
disekresikannya (khususnya lL-4 dan IL-5) menyebabkan diproduksinya IgE oleh
sel B, yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut
dan mengaktivasi eosinofil. Antibodi IgE berikatan pada reseptor Fc berafinitas
tinggi yang terdapat pada sel mast dan basofil; begitu sel mast dan basofil
"dipersenjatai", individu yang bersangkutan diperlengkapi untuk menimbulkan
hipersensitivitas tipe I. Pajanan ulang terhadap antigen yang sama mengakibatkan
pertautan-silang pada IgE yang terikat sel dan memicu suatu kaskade sinyal intrasel
sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator kuat. Salah satu perangkat sinyal
mengakibatkan degranulasi sel mast disertai pengeluaran mediator praformasi atau
primer; perangkat sinyal lainnya akan menginduksi sintesis de novo serta
melepaskan mediator sekunder, seperti metabolit asam arakhidonat dan sitokin.

Mekanisme yang terjadi pada hipersensitivitas tipe 1 ini dapat dibagi menjadi 3
yaitu :
1) Fase Sensitasi
Fase sensitasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk membantu IgE sampai
diikat silang oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast atau basophil.
Mekanisme yang terjadi pada fase ini adalah :
• Antigen masuk ke dalam tubuh

10
• Kemudian ditangkap oleh fagosit yang akan diproses oleh fagosit
untuk dipresentasikan ke sel T helper 2
• Kemudian sel Th2 akan melepas sitokin dan merangsang sel B
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang akan membentuk antibody
IgE
• Selanjutnya antibody IgE diikat oleh reseptor spesifik
2) Fase Aktivasi
Pada fase ini adalah waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mast atau basophil melepas isinya sehingga
menimbulkan reaksi. Pada fase ini juga terjadi ikatan silang antara antigen
dengan IgE.
Mekanisme yang terjadi adalah:
• Peristiwa yang menimbulkan resiko penularan terulang (terpajan
ulang)
• Allergen yang masuk ke tubuh akan menimbulkan ikatan silang
antara antigen dengan IgE
• Kemudian terjadi degranulasi sel mast dimana sel mast melepas
isinya dan akhirnya memacu pelepasan mediator farmakologis aktif
(aminvasoaktif)
• Dan akhirnya menimbulkan reaksi
3) Fase Efektor
Fase efektor adalah waktu yang terjadi dimana respon kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas sel mast atau basophil
dengan aktivasi farmakologi.
Mekanisme yang terjadi adalah :
• Pelepasan mediator akan menyebabkan kontraksi otot polos,
mingkatkan permeabilitas vascular dan terjadi vasodilatasi, dan
kerusakan jaringan dan anafilaksis

11
2.2. Mediator yang berperan
a. Mediator Primer
Setelah pemicuan IgE, mediator primer (praformasi) di dalam granula
sel mast dilepaskan untuk memulai tahapan awal reaksi hipersensitivitas tipe I.
Histamin, yang merupakan mediator praformasi terpenting, menyebabkan
meningkatnya permeabilitas vaskular, vasodilatasi, bronkokonstriksi, dan
meningkatnya sekresi mukus. Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi
adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi dan menghambat agregasi trombosit)
serta faktor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan
dalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease netral (misalnya,
triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah komponen komplemen
untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya,
C3a).
b. Mediator Sekunder
Mediator ini mencakup dua kelompok senvawa: mediator lipid dan
sitokin. Mediator lipid dihasilkan melalui aktivasi fosfolipase A2, yang
memecah fosfolipid membran sel mast untuk menghasilkan asam arakhidonat.
Selanjulnya, asam arakhidonat merupakan senyawa induk untuk menyintesis
leukotrien dan prostaglandin.
• Leukotrien berasal dari hasil kerja 5-lipoksigenase pada prekursor asam
arakhidonat dan sangat penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe
I. Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik
yang dikenal paling poten; pada dasar molar, agen ini beberapa ribu kali
lebih aktif daripada histamin dalam meningkatkan permeabilitas
vaskular dan dalam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus.
Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil, dan
monosit.
• Prostaglandin D2 adalah mediator vang paling banyak dihasilkan oleh
jalur siklooksigenase dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan
bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi mukus.
• Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain,
mengakibatkan agregasi trombosit, pelepasan histamin, dan
bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaktik untuk neutrofil
dan eosinofil. Meskipun produksinya diawali oleh aktivasi fosfolipase
A2, mediator ini bukan produk metabolisme asam arakhidonat.
• Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF,IL-1, IL-4,IL-5, dan IL-6)
dan kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I
melalui kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel
radang. TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi,
emigrasi, dan arktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor
pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE
oleh sel B.

Secara ringkas, berbagai senyawa kemotaksis, vaso- aktif, dan


bronkospasme memerantarai reaksi hipersensitivitas tipe I. Beberapa senyawa
ini dilepaskan secara cepat dari sel mast yang tersensitisasi dan bertanggung
jawab terhadap reaksi segera yang hebat yang berhubugan dengan kondisi

12
seperti anafilaksis sistemik. Senyawa lain, seperti sitokin, bertanggung jawab
terhadap reaksi fase lambat, termasuk rekrutmen sel radang. Sel radang yang
direkrut secara sekunder tidak hanya melepaskan mediator tambahan, tetapi
juga menyebabkan kerusakan epitel setempat.
Eosinofil direkrut oleh eotaksin dan kemokin lain yang dilepaskan dari
epitel yang diaktivasi oleh TNF dan merupakan efektor penting pada cedera
jaringan dalam respons fase lambat pada hipersensitivitas tipe I. Sebagai contoh,
eosinofil menghasilkan protein dasar utama dan protein kationik eosinofil, yang
toksik terhadap sel epitel. Demikian pula, leukotrien C4 dan faktor pengaktivasi
trombosit yang dihasilkan oleh eosinofil secara langsung akan mengaktivasi
pelepasan mediator sel mast. Akibatnya, sel yang direkrut akan memperkuat dan
mempertahankan respons peradangan pada saat tidak adanya pajanan alergen
tambahan. Karena inflamasi merupakan komponen utama reaksi fase lambat
dalam hipersensitivitas tipe I, biasanya pengendaliannya memerlukan obat
antiinflamasi berspektrum luas, seperti kortikosteroid.
2.3. Manifestasi Klinis
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.
Sering kali hal ini ditentukan oleh rute pajanan antigen. Pemberian antigen protein
atau obat (misalnya, bisa lebah atau penisilin) secara sistemik (parenteral)
menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada
pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan
bengkak), dan eritema kulit, diikuti oleh kesulitan bernapas berat yang disebabkan
oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring
dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernapasan
bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan
mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat
terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik), dan penderita dapat mengalami
kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada ternpat tertentu
sesuai dengan jalur pemajanannya, seperti kulit (kontak, menyebabkan urtikaria),
traktus gastrointeslinal (ingesti, me- nyebabkan diare), atau paru (inhalasi,
menyebabkan bronkokonstriksi). Bentuk umum alergi kulit dan makanan, hay
fever, serta bentuk tertentu asma merupakan contoh reaksi anafilaksis yang
terlokalisasi. Kerentanan terhadap reaksi tipe I yang terlokalisasi sepertinya
dikendalikan secara genetik, dan istilah atopi digunakan untuk menunjukkan
kecenderungan familial terhadap reaksi terlokalisasi semacam itu. Pasien yang
menderita alergi nasobronkial (termasuk hay fever dan beberapa bentuk asma)
sering kali mempunyai riwayat keluarga yang menderita kondisi serupa. Dasar
genetik atopi belum dimengerti secara jelas; namun, suatu studi menganggap
adanya suatu hubungan dengan gen sitokin pada kromosom 5q yang mengatur
pengeluaran IgE dalam sirkulasi.
Sebelum pembahasan mengenai hipersensitivitas tipe I ini diakhiri, penting
untuk diperhatikan bahwa reaksi ini secara jelas tidak berkembang untuk
menyebabkan ketidaknyamanan serta penyakit pada manusia. Hipersensitivitas tipe
I, khususnya reaksi peradangan fase lambat, memainkan peran perlindungan yang
penting terhadap infeksi parasit. Antibodi IgE dihasilkan sebagai respons terhadap
berbagai infeksi cacing, dan proses antibodi IgE yang dapat bekerja secara langsung

13
untuk merusak larva skhisto-soma dengan merekrut sel radang dan rnenghasilkan
sitotoksisitas selular yang bergantung antibodi.

3. Memahami dan Mempelajari Hipersensitivitas Tipe II


3.1. Mekanisme
Reaksi alergi tipe II merupakan reaksi yang menyebabkan kerusakan pada sel
tubuh karena antibodi menyerang antigen yang berada pada permukaan sel.
Antibodi yang berperan biasanya IgG dan IgM, dapat menyebabkan toksik pada sel
atau lisis yang melibatkan komplemen(antibody sitotoksik) dan jalur independent
(ADCC).

Fagositosis sebagian besar bertanggung jawab atas deplesi sel-sel yang dilapisi
antibodi. Sel-sel dilapisi oleh antibodi IgG dikenali oleh reseptor-reseptor Fc
fagosit, yang spesifik untuk bagian Fc dari beberapa subkelas IgG. Sebagai
tambahan, ketika antibodi IgM atau IgG dideposit pada permukaan sel, mereka
dapat mengaktifkan sistem komplemen dengan jalur klasik. Aktivasi komplemen
menghasilkan produkproduk, terutama C3b dan C4b, yang dideposit pada
permukaan sel dan dikenali oleh 14 fagosit kemudian mengekspresikan reseptor
untuk protein ini. Hasilnya adalah fagositosis dari sel-sel yang dilapisi dan
kerusakan sel-sel tersebut. Aktivasi komplemen pada sel juga mengarah ke
pembentukan serangan kompleks terhadap membran, yang mengganggu integritas
membran dengan membuat "lubang pengeboran" melalui lipid bilayer, sehingga
menyebabkan lisis osmotik sel-sel.
Mekanisme ini membunuh mungkin hanya efektif membunuh sel yang
memiliki dinding yang tipis, seperti bakteri Neisseria. Perusakan sel yang dimediasi
antibodi dapat terjadi oleh proses lain disebut antibody-dependent celluler
citotoxicity (ADCC). Sel-sel yang dilapisi dengan antibodi IgG tersebut dibunuh
oleh berbagai sel efektor, terutama sel NK dan makrofag, yang mengikat target
reseptornya untuk fragmen Fc dari IgG dan proses lisis sel berlangsung tanpa
fagositosis. Kontribusi ADCC untuk hipersensitivitas pada umumnya tidak pasti.
3.2. Manifestasi Klinis
Secara klinis, penghancuran sel yang dimediasi antibodi dan fagositosis terjadi pada
situasi berikut:
1) Reaksi transfusi, yang mana reaksi sel-sel dari donor yang tidak kompatibel
bereaksi dengan dan hilangnya antibodi tubuh

14
2) Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir (erithroblastosis fetalis), dimana ada
antigen yang membedakan antara ibu dan janin dan IgG antierythrocyte
antibody dari ibu melewati plasenta dan menyebabkan kerusakan sel darah
merah janin.

3) Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis dan trombositopenia, di mana


individu menghasilkan antibodi-antibodi ke sel darah mereka sendiri, yang
kemudian dihancurkan.
4) Reaksi obat tertentu, dimana obat bertindak sebagai "hapten" dengan
menempelkan protein membran plasma terhadap sel darah merah dan antibodi
yang menghasilkan kompleks protein-obat. Dibagi menjadi 3 yaitu :
o Hapten model
Contoh : penisilin
o Immune complex formation
Contoh : Quinidine
o Autoimmune model
Contoh : Metildopa
4. Memahami dan Mempelajari Hipersensitivitas Tipe III
4.1. Klasifikasi
Hipersensitivitas tipe III adalah reaksi kompleks imun yang
ditemukan dalam darah atau dalam jaringan yang merupakan tempat terjadinya
kerusakan. Reaksi kompleks imun ini disebabkan oleh inflamasi yang diperantarai
komplemen atau reseptor Fc. Antibodi dapat berikatan dengan antigen dalam darah
sehingga membentuk kompleks imun, yang akan tersebar ke pembuluh darah dan
akan menyebabkan inflamasi pada dinding pembuluh darah atau disebut juga
vaskulitis sehingga terjadi gangguan aliran darah.
Tipe ini dikenal sebagai hipersensitivitas kompleks imun. Reaksinya umum
(mis. Serum Sickness) atau melibatkan organ, misal kulit (mis. S L K, Arthus
Reaction), ginjal (mis. Lupus Nephritis), paru-paru (mis. Aspergillosis), pembuluh
darah (mis. Polyarthritis), sendi (mis. Rheumatoid Arthritis) atau organ yang lain.

15
Reaksi ini ialah sebuah gambaran mekanisme patogenik suatu penyakit yang
diakibatkan oleh beberapa bakteri. Waktu reaksi terjadi 3-10 jam sesudah paparan
antigen. (Arthus Reaction), diperantarai kompleks imun larut, terutama IgG,
walaupun IgM juga berperan serta.
Antigennya, eksogenus (Chronic bacterial, infeksi atau parasit) atau endogenus
(non-organ autoimunitas spesifik, contoh SLE). Antigennya, antigen larut dan tidak
menempel pada organ yang terlibat. Komponen utama ialah kompleks imun dan
produk komplemen larut (C3a, 4a dan 5a). Kerusakan yang terjadi disebabkan oleh
platelet dan neutrofil.
Lesinya terkandung, terutama neutrofil serta timbunan kompleks imun serta
komplemen. Masuknya makrofag pada tahap akhir, berperan serta dalam proses
penyembuhan. Afinitas antibodi dan besarnya kompleks imun, ialah suatu hal yang
penting untuk timbulnya penyakit dan determinasi jaringan yang terlibat.
Diagnosa mengaitkan pemeriksaan biopsi jaringan untuk mengetahui adanya
timbunan imunoglobulin dan komplemen, dengan imunofluoresen. Hasil
pengecatan imunofluoresen hipersensitivitas tipe III ialah granular (untuk
hipersensitivitas tipe II adalah linier). Adanya kompleks imun dan berkurangnya
jumlah komplemen dalam serum, juga bisa digunakan sebagai diagnosa. Turbiditas
yang diperantarai polietilenglikol (Nephelometri) dan tes dengan sel Raji, bisa
digunakan untuk mendeteksi adanya kompleks imun. Pengobatan
dengan menambahkan agen anti-inflamasi.

4.2. Mekanisme
Dalam keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut
eritrosit ke hati, limpa, dan disana dimusnahkan oleh sel fagosit mononuclear,
terutama di hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Pada umumnya
kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag
dalam hati. Kompleks kecil dan kecil larut sulit untuk dimusnahkan, karena itu
dapat lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan fungsi fagosit
merupakan salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan.
Meskipun kompleks imun berada dalam sirkulasi untuk jangka waktu lama,
biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun
mengendap di jaringan.
• Kompleks imun mengendap di pembuluh darah
Antigen berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria),
bahkan yang terhirup (jamur yang menimbulkan alveolitis alergik
ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri. Infeksi yang disebabkan oleh antigen
dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang
efektif. Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan
kompleks imun sehingga makrofag dirangsang terus untuk melepas
berbagai bahan yang dapat merusak jaringan. Kompleks imun IgM atau
IgG3 dapat juga IgA diendapkan di membran basal vaskular dan membran
basal ginjal yang menimbulkan reaksi inflamasi lokal dan luas. Kompleks
yang terjadi dapat menimbulkan agregrasi trombosit ,aktivasi makrofag ,
perubahan permeabilitas vaskuler dll.
Endapan kompleks imun dalam vaskuler bed menimbulkan agregasi
trombosit, aktivasi komplemen yang disusul oleh infiltrasi PMN. Faktor

16
yang dilepas oleh PMN yang diaktifkan menimbulkan kerusakan pada
jaringan serta gambaran patologi kerusakan akibat komplemen (MAC) atau
memluli lisis oleh penglepasan granula sitotoksik.
• Kompleks Imun mengendap di jaringan
Hal yang memungkinkan terjadinya pengendapan kompleks imun di
jaringan ialah ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vascular
yang meningkat, antara lain karena histamin yang dilepas sel mast.
Pada mekanisme kompleks imun yang mengendap di jaringan dibagi
menjadi 3 yaitu :
a) Immune complex formation
Antigen yang berada di pembuluh darah akan memicu respon imun
membantu ab yang kemudian ab akan bereaksi dan ag membantu
kompleks antigen antibody dan kemudain terjadi inflamasi.
b) Immune complex deposition
• Antigen akan mengendap pada jaringan (endotel, kulit, ginjal, dan
persendian)
• Organ yang darahnya tersaring pada tekanan tinggi untuk membantu
cairan lain lebih mudah terserang sehingga meningkatkan terjadinya
kompleks imun
• Neutrophil dan leukosit di gerakkan ke tempat reaksi dan kemudian
menimbulkan abstruksi aliran darah
• Aktivasi komplemen dan menyebabkan pelepasan mediator oleh
mastosit
c) Immune complex mediated inflammation
4.3. Manifestasi Klinis
• Reaksi Arthus
Pada reaksi bentuk arthus, ditemukan eritema ringan dan edema dalam
2-4 jam sesudah suntikan. Reaksi tersebut menghilang keesokan harinya.
Suntikan selanjutnya menimbulkan edema yang lebih besar dan suntikan
yang ke 5-6 menimbulkan perdarahan dan nekrosis. Hal tersebut disebut
fenomena arthus yang merupakan bentuk reaksi dari kompleks imun. Reaksi
arthus membutuhkan antigen dan antibodi dalam jumlah besar. Antigen
yang disuntikkan akan membentuk kompleks yang tidak larut dalam
sirkulasi dan mengalami pengendapan. Mekanisme pada reaksi arthus
adalah sebagai berikut :
1) Neutrofil menempel pada endotel vaskular kemudian bermigrasi ke
jaringan tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul yaitu
berupa pengumpulan cairan di jaringan (edema) dan sel darah merah
(eritema) sampai nekrosis.
2) C3a dan C5a yag terbentuk saat aktivasi komplemen meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah sehingga memperparah edema. C3a dan
C5a juga bekerja sebagai factor kemotaktik sehingga menarik neutrofil
dan trombosit ke tempat reaksi. Neutrofil dan trombosit ini kemudian
menimbulkan statis dan obstruksi total aliran darah.
3) Neutrofil akan memakan kompleks imun kemudian akan melepas
bahan-bahan seperti protease, kolagenase dan bahan-bahan vasoaktif

17
bersama trombosit sehingga akan menyebabkan perdarahan yang
disertai nekrosis jaringan setempat.

• Reaksi serum sickness


Reaksi serum sickness ditemukan sebagai konsekuensi imunisasi pasif
pada pengobatan infeksi seperti difteri dan tetanus. Antibodi yang berperan
dalam reaksi ini adalah IgG atau IgM dengan mekanisme sebagai berikut :
1) Komplemen yang telah teraktivasi melepaskan anafilatoksin (C3a dan
C5a) yang memacu sel mast dan basofil melepas histamin.
2) Kompleks imun lebih mudah diendapkan di daerah dengan tekanan
darah yang tinggi dengan putaran arus (contoh: kapiler glomerulus,
bifurkasi pembuluh darah, plexus koroid, dan korpus silier mata).
3) Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk
mikrotrombi kemudian melepas amin vasoaktif. Bahan-bahan vasoaktif
tersebut mengakibatkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas
pembuluh darah dan inflamasi.
4) Neutrofil dikerahkan untuk menghancurkan kompleks imun. Neutrofil
yang terperangkap di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks
tetapi akan tetap melepaskan granulanya (angry cell) sehingga
menyebabkan lebih banyak kerusakan jaringan.
5) Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut juga melepaskan
mediator-mediator antara lain enzim-enzim yang dapat merusak
jaringan.

18
5. Memahami dan Mempelajari Hipersensitivitas IV
5.1. Klasifikasi
Reaksi hipersensitivitas tipe IV dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Delayed Type
Hypersensitivity (DTH) yang melalui sel CD4 dan T cell Mediated Cytolysis yang
terjadi melalui sel CD8.
a. Delayed Type Hypersensitivity (DTH)
Sel CD4 dan sel T helper 1 melepas sitokin (interferon gamma) yang
mengaktifkan makrofag dan menginduksi inflamasi. Pada reaksi ini kerusakan
jaringan disebabkan oleh produk makrofag yang diaktifkan seperti enzim
hidrolitik, oksigen reaktif intermediet, oksida nitrat, dan sitokin proinflamasi.
Contoh reaksi DTH yang termasuk :
1) Reaksi tuberculin
Merupakan reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak dan
terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Setelah 48 jam, timbul
infiltrasi limfosit dalam jumlah besar sekitar pembuluh darah yang merusak
hubungan serat-serat kolagen kulit.
2) Dermatitis kontak
Dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul pada kulit tempat
kontak dengan allergen. Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan
merupakan reaksi epidermal.
3) Reaksi granuloma
Merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV yang paling penting karena
menimbulkan efek patologis. Efek patologis tersebut terjadi karena adanya
antigen yang persisten didalam makrofag yang tidak dapat dihancurkan atau
kompleks imun yang menetap misalnya pada alveolitis alergik.
Reaksi granuloma terjadi sebagai usaha badan untuk membatasi kehadiran
antigen yang persisten dalam tubuh, sedangkan reaksi tuberculin merupakan
respons imun selular yang terbatas. Kedua reaksi dapat terjadi akibat sensitasi
terhadap antigen mikroorganisme yang sama.
b. T cell Mediated Cytolysis
Dalam reaksi ini, kerusakan terjadi melalui sel CD8 / Cytotoxic T
Lymphocyte (CTL/Tc) yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakit
hipersensitivitas selular merupakan sebab autoimunitas. Oleh karena itu,
penyakit yang ditimbulkan hipersensitivitas terbada pada beberapa organ dan
biasanya tidak sistemik.

( Ilmu Penyakit Dalam, 2014 )

19
5.2. Mekanisme

Reaksi terjadi karena respons


Th1 yang sudah disensitisasi
terhadap antigen tertentu.
Akibat dari sensitasi, Th1
melepas limfokin, yaitu MIF
dan MAF. Kemudian makrofag
yang diaktifkan akan melepas
beberapa mediator (sitokin,
enzim, dsb) sehingga dapat
menimbulkan respon inflamasi
dan kerusakan jaringan. Bila
ada antigen yang menetap,
makrofag akan terus menerus
diaktifkan dan membentuk
jaringan granulomata.

(Imunologi Dasar, 2006)

5.3. Manifestasi Klinis


Manisfestasi klinis hipersensitivitas tipe IV dapat berupa reaksi paru akut
seperti demam, sesak, batuk, dan efusi pleura. Adapun gejala klinis umunya, yaitu:
1) Pada saluran pernapasan : asma
2) Pada saluran cerna : mual, muntah, diare, nyeri perut
3) Pada kulit : utrikaria, angioderma, dermatitis, pruritus, gatal, demam
4) Pada mulut : rasa gatal dan pembengkakan bibir

6. Memahami dan Menjelaskan Peran Antihistamin dan Kortikosteroid


6.1. Definisi dan Klasifikasi
• Antihistamin
Antihistamin adalah agen yang melawan kerja histamin, digunakan
untuk mengobati reaksi alergi, dan digunakan untuk mencegah kerja
histamin pada organ sasaran.
Antihistamin diklasifikasikan menjadi 2 :
1) Antihistamin Penghambat Reseptor H1 (AH1)
• Berikatan secara reversibel dan menstabilkan bentuk inaktif reseptor
• Kerja dari AH1 akan menurunkan produksi dari sitokin pro-
inflamasi, ekspresi molekul adhesi, kemotaksis eosinophil dan sel
lainnya
• Berperan dalam pelepasan mediator dari sel mast dan basophil
• AH1 dibagi menjadi 2 golongan :
a) AH1 generasi pertama
• Mempunyai efek sedasi karena mempunyai
kemampuan untuk menembus sawar darah otak

20
• Dikelompokan menjadi 6 : etilendiamin, etanolamin,
akilamin, fenotiazin, piperazin dan piperidin
b) AH1 generasi kedua
• Tidak dapat menembus sawar darah otak sehingga
tidak mempunyai efek sedasi atau hanya minimal.
• Dikelompokan menjadi 3 : akilamin, piperazin dan
piperidin.

2) Antihistamin Penghambat Reseptor H2 (AH2)


Disebut inverse agonist, berikatan secara reversibel dan
menstabilkan bentuk inaktif reseptor H2 yang berada di seluruh tubuh,
meliputi sel epitel dan sel endotel.
• Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah derivat hormon steroid yang dihasilkan oleh kelenjar
adrenal. Hormon ini memiliki peranan penting seperti mengontrol respon
inflamasi. Hormon steroid dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid. Glukokortikoid memiliki efek
penting pada metabolisme karbohidrat dan fungsi imun, sedangkan
mineralokortikoid memiliki efek kuat terhadap keseimbangan cairan dan
elektrolit (Katzung, 2012; Gilman, 2012; Johan, 2015). Kortikosteroid
ditemukan pada tahun 1950, pertama kali digunakan untuk terapi irritable
bowel disease (IBD). Pasien IBD merasakan efek pengobatan gejala
penyakit mereka sejak hari pertama menggunakan kortikosteroid (Crohn &
Colitis Foundation of America, 2015).
6.2. Farmakokinetik
• Antihistamin
1) Antihistamin Penghambat Reseptor H1 (AH1)
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara
baik. Efeknya timbul 15-30 menit setelah pemberian oral atau maksimal
setelah 1-2 jam. Lama kerjanya AH1 generasi 1 setelah pemberian dosis
tunggal umumnya 4-6 jam, sedangkan beberapa derivate piperizin
seperti meklizin dan hidroksizin memiliki masa kerja yang lebih
panjang, seperti juga umumnya pada antihistamin generasi 2.
Difenhidramin yang diberikan secara oral akan mencapai kadar
maksimal dalam darah setelah kira-kira 2 jam, dan menetap pada kadar
tersebut untuk 2 jam berikutnya, kemudian dieliminasi dengan masa
paruh kira-kira 4 jam. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru
sedangkan, pada limpa, ginjal, otak, otot dan kulit kadarnya lebih
rendah. Tempat utama biotransformasi AH adalah hati tetapi dapat juga
pada paru-paru dan ginjal.
2) Antihistamin Penghambat Reseptor H2 (AH2)
• Simetidin dan Ranitidin
Bioavailabilitas oral simetidin sekitar 70% sama dengan
setelah pemberian IV atau IM. Absorpsi simetidin diperlambat
oleh makanan, sehingga simetidin diberikan bersama atau segera
setelah makan denga maksud untuk memperpanjang efek pada
periode pascamakan. Absorpsi simetidin terutama terjadi pada

21
menit ke 60-90. Simetidin masuk ke dalam SSP dan kadarnya
dalam cairan spinal 10-20% dari kadar serum. Sekitar 50-80%
dari dosis IV dan 40% dari dosis oral simetidin diekskresi dalam
bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasinya sekitar 2 jam
Bioavailabilitas ranitidine yang diberikan secara oral
sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit hati. Masa
paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada orang dewasa dan memanjang
pada orang tua dan pasien gagal ginjal. Kadar puncak pada
plasma dicapai selama 1-3 jam setelah penggunaan 150mg
ranitidine oral dan terikat protein plasma hanya 15%. Ranitidine
mengalami metabolism lintas pertama di hati dalam jumlah
cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidine dan metbolitnya
diekskresi terutama melalui ginjal sisanya melalui feses.
• Famotidin
Famotidine mencapai kadar puncak di plasma kira-kira
dalam 2 jam setelah penggunaan secara oral, masa paruh
eliminasinya 3-8 jam dan bioavailabilitas 40-50%. Setelah dosis
oral tunggal, sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal
di urin.
• Nizatidin
Bioavailabilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak
dipengaruhi oleh makanan atau antikolinergik. Kadar puncak
dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1 jam, masa
paruh plasma sekitar 1½ jam dan lama kerja sampai dengan 10
jam. Nizatidin diekskresi terutama melalui ginjal 90% dari dosis
yang digunakan ditemukan di urin dalam 16 jam.
• Kortikosteroid
Absorpsi dari glukokortikoid seperti hidrokortison dan analog
sintetisnya cukup efektif bila diberikan per oral, karena kortikosteroid
diabsorpsi dengan baik secara oral. Obat ini juga dapat diberikan dengan
cara intravena, intramuskular, subkutan, dan jalur topikal. Pada keadaan
yang memerlukan konsentrasi tinggi di dalam darah, glukokortikoid dapat
diberikan secara intravena. Secara intramuskular hidrokortison juga dapat
diberikan untuk memberikan efek yang lebih lama. Dan pada beberapa
kasus juga dapat diberikan secara lokal seperti dari area sinovial,
konjungtiva, kulit dan juga jalan nafas. Namun hal ini harus diperhatikan
cara pemberiannya, seperti diberikan penutup pada area lokal, pemberian
jangka panjang, luas area pemberian. Beberapa analog sintetik dari
kortikosteroid seperti kortison dan prednisone, membutuhkan aktivasi dari
hepar dan mungkin tidak efektif pada gangguan hepar. Metabolismenya
menjadi komponen tidak aktif terjadi di berbagai jaringan terutama di hepar.
Konsekuensinya, metabolismenya ditingkatkan oleh obat-obatan yang
memicu enzym di hepar. Hasil dari metabolismenya diekskresikan oleh
ginjal. Kortisol akan diikat protein di dalam darah lebih dari 90% dan hanya
bagian dari kortikosteroid yang tidak terikat yang dapat memasuki sel untuk
menghasilkan efek yang diinginkan. Ada dua plasma protein yang berguna
sebagai pengkikat kortikosteroid yaitu corticosteroid-binding globulin

22
(CBG) dan albumin. CBG adalah alfa-globulin yang dihasikan oleh hepar
yang mempunyai afinitas tinggi dengan kortikosteroid namun kapasitas ikat
totalnya hanya sedikit, sedangkan albumin mempunyai ikatan yang lemah
namun kapasitasnya relatif lebih besar. Pada kadar kortikosteroid yang
normal atau rendah, mayoritas akan diikat oleh protein tersebut, namun pada
konsentrasi yang lebih tinggi kapasitas akan melebihi ambang batas
sehingga banyak kortikosteroid yang tidak akan diikat dan berbentuk pada
steroid yang bebas. Kortikosteroid akan berkompetisi satu sama lain di situs
pengikatan pada CBG. CBG mempunyai daya afinitas yang lebih tinggi
dengan kortisol dan sintetisnya dibanding dengan mineralokortikoid.
6.3. Farmakodinamik
• Antihistamin
1) Antihistamin 1
a) Antagonisme terhadap histamine
AH1 menghambat efek histamine pada pembuluh darah, bronkus
dan bermacam-macam otot polos, AH1 bermanfaat untuk mengobati
reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai penglepasan
histamine endogen berlebihan
b) Otot polos
AH1 efektif menghambat kerja histamine pada otot polos, usus dan
bronkus. Bronkokonstriksi akibat histamine dapat dihambat oleh
AH, pada percobaan dengan marmot.
c) Permeabilitias kapiler
Peningkatan permeabilitas kapiler dan edema akibat histamine,
dapat dihambat dengan efektif oleh AH1.
d) Reaksi anafilaksis dan alergi
Reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi refrakter terhadap
pemberian AH1, karena disini bukan histamine saja yang berperan
tetapi autokoid lain yang dilepaskan. Efektivitas AH1 melawan
beratnya reaksi hipersensitivitas berbeda-beda, tergantung berat nya
gejala histamine.
e) Kelenjar eksokrin
Efek perangsangan histamine terhadap sekresi cairan lambung tidak
dapat dihambat oleh AH1. AH1 dapat menghambat sekresi saliva
dan sekresi kelenjar eksokrin lain akibat histamin.
f) Susunan saraf pusat
AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek
perangsangan yang kadang-kadang terlihat dengan dosis AH1
biasanya adalah insomnia, gelisah dan eksitasi. Efek perangsangan
ini juga dapat terjadi pada keracunan AH1. Dosis terapi AH1
umumnya menyebabkan penghambatan SSP dengan gejala misalnya
kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat.
Golongan entanolamin misalnya difenhidramin paling jelas
menimbulkan kantuk, akan tetapi kepekaan pasien berbeda-beda
untuk masing-masing obat. Antihistamin generasi 2 misalnya,
terfenadin, astemizol, tidak atau sangat sedikit menembus sawar
darah otak sehingga pada kebanyakan pasien biasanya tidak

23
menyebabkan kantuk, gangguan koordinasi atau efek lain pada SSP.
Obat-obat tersebut digolongkan sebagai antihistamin non sedatif.
Beberapa obat AH1 juga efektif untuk mengobati muak dan muntah
akibat peradangan labirin atau sebab lain.
g) Anastetik lokal
Beberapa AH1 bersifat anastetik local dengan intensitas berbeda.
AH1 yang baik sebagai anastetik local adalah prometazin dan
pirilamin. Akan tetapi untuk menimbulkan efek tersebut dibutuhkan
kadar yang beberapa kali lebih tinggi daripada sebagai antihistamin.
h) Antikolinergik
Banyak AH1 bersifat mirip atropine. Efek ini tidak memadai untuk
terapi, tetapi efek antikolinergik ini dapat timbul pada beberapa
pasien berupa mulut kering, kesukaran miksi dan impotensi.
i) Sistem kardiovaskular
Dalam dosis terapi AH1 tidak memperlihatkan efek yang berarti
pada sistem kardiovaskular.
2) Antihistamin 2
a) Simetidin dan Ranitidin
Simetidin dan ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif
dan reverisbel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi
asam lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidine
sekresi asam lambung dihambat. Simetidin dan ranitidine juga
mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung.
b) Famotidin
Seperti halnya dengan simetidin dan ranitidine, famotidine
merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung
pada keadaan basal. Famotidine tiga kali lebih poten daripada
ranitidine dan 20 kali lebih poten daripada simetidin.
c) Nizatidin
Potensi nizatidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang
lebih sama dengan ranitidine.
• Kortikosteroid
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintetis
protein. Hormon memasuki sel jaringan yang responnya melalui membran
plasma secara difusi pasif kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang
spesifik dalam sitoplasma sel jaringandan membentuk kompleks reseptor
steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konfirmasi, lalu bergerak
menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi
transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Meskipun kortikosteroid
mempunyai berbagai macam aktifitas biologik, umumnya potensi preparat
alamiah maupun sintetik ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium dan
penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya anti inflamasinya. Efek
stabilisasi membran mempengaruhi pergeseran cairan dan menurunkan
pergerakan cairan dan sel dari ruang vaskuler, di mana kortikosteroid juga
mempengaruhi permeabilitas dinding vaskuler. Enzim lisosomal juga
dicegah untuk dilepaskan. Hasil akhirnya adalah perubahan retensi cairan
pada daerah dengan kerusakan jaringan. Pada beberapa jaringan, misalnya

24
hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan sintetis protein spesifik
pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblas, hormon ini bersifat
katabolik. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa hormon steroid
merangsang sintetis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap
sel-sel limfoid, hal inilah yang mungkin menimbulkan efek kataboliknya.
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan
besar yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Glukokortikoid efek
utamanya pada penyimpanan glikogen hepar dan efek anti inflamasinya
nyata, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil.
Prototip untuk golongan ini yaitu kortisol. Golongan mineralokortikoid efek
utamanya terhadap keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya
pada penyimpangan glikogen hepar sangat kecil. Prototip golongan ini ialah
desoksikortikosteron.
6.4. Efek Samping
• Antihistamin
1) Antihistamin 1
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1
adalah vertigo, tinnitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur,
diplopia, euphoria, gelisah, insomnia dan tremor. Efek samping yang
termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan berkurang, mual,
muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare, efek samping
ini akan berkurang bila AH1 diberikan sewaktu makan.
Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut
kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah
pada tangan. Insidens efek samping karena efek antikolinergik tersebut
kurang pada pasien yang mendapat antihistamin nonsedatif.
2) Antihistamin 2
Pada simatidin dan ranitidine efek samping ini antara lain nyeri
kepala, pusing, malaise, myalgia, mual, diare, konstipasi, ruam kulit,
pruritus, kehilangan libido dan impoten. Pada famotidine efek samping
biasanya sakit kepala, pusing, konstipasi dan diare. Pada nizatidin efek
samping ringan pada saluran cerna, peningkatan asam urat dan
transaminase serum ditemukan pada beberapa pasien yang nampaknya
tidak menimbulkan gejala klinik yang bermakna.
• Kortikosteroid
Berbagai efek samping dapat ditimbulkan pada penggunaan
kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid tanpa peringatan dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang bisa bersifat sementara ataupun
permanen yang terjadi pada level lokal maupun sistemik. Namun, meskipun
obat ini digunakan dengan rekomendasi protokol, efek samping ini sering
terjadi. Hal ini benar tergantung dari jalur pemberian, kondisi medis pasien
ataupun pengalaman dari dokter sendiri. Kortikosteroid dosis tinggi atau
penggunaan kronis dari kortikosteroid lebih sering menyebabkan efek
samping dibandingkan dengan injeksi dosis tunggal. Efek samping lokal
dari kortikosteroid biasanya terjadi lokal di daerah kulit, jaringan lunak, atau
daerah periartikuler di daerah injeksi. Perubahan pigmentasi kulit dapat
dilihat pada beberapa kasus bila dilihat secara dekat, terutama pada pasien

25
berkulit gelap. Atropi pada jaringan subkutan dan periartikuler terjadi bila
dilakukan pemberian injeksi berulang. Hal ini terutama terjadi setelah
pemberian injeksi berulang pada daerah epikondiler medial dan lateral,
setelah blok saraf oksipital, dan daerah spinal dimana injeksi berulang dari
kortikosteroid diberikan. Efek ini dapat diminimalisir atau dihilangkan
dengan secara hatihati membilas jarum dengan cairan salin atau anestetik
sebelum memasukkan jarum ke dalam kulit. Adanya rupture tendon, erosi
tendon, kerusakan tulang rawan, arthritis oleh karena penumpukan kristal
dan klasifikasi perikapsuler juga dilaporkan pada beberapa literatur.
Reaksi sistemik dari kortikosteroid terjadi pada berbagai sistem organ.
Masalah yang paling sering dilaporkan antara lain gangguan cairan dan
elektrolit, demineralisasi tulang, penyakit gastrointestinal dan gangguan
metabolisme glukosa. Pada kondisi sehat, masalah cairan dan elektrolit
sering kali tidak terjadi atau hanya terjadi pembengkakan sementara pada
ekstrimitas atau wajah. Peringatan hati-hati harus dilakukan jika
memberikan obat ini pada pasien dengan penyakit jantung yang
berhubungan dengan resiko gagal jantung kongestif. Pemberian
kortikosteroid secara kronis dapat menyebabkan demineralisasi tulang yang
menyebabkan osteoporosis dengan akibat terjadinya fraktur di daerah tulang
belakang, pergelangan tangan maupun di pinggul. Fraktur jenis ini biasanya
terlihat pada pasien yang menggunakan steroid oral seperti prednisone
untuk kondisi medis kronis termasuk penyakit respirasi, penyakit rematik,
dan penyakit kulit. Gangguan gastrointestinal, seperti mual, muntah, diare,
gangguan pencernaan, colitis ulseratif dengan ancaman perforasi dan abses
juga pernah dilaporkan. Pasien dengan diabetes atau pasien dengan
gangguan metabolisme glukosa yang diberikan kortikosteroid akan
mengalami peningkatan serum glukosa. Pasien ini harus diberitahu
mengenai masalah yang akan dihadapi dan harus dimonitor ketat mengenai
perubahan kadar glukosa untuk menyesuaikan dosis obat hipoglikemik yang
akan diberikan.
Reaksi alergi juga pernah dilaporkan pada pemberian kortikosteroid.
Reaksi alergi mungkin bermanifestasi sebagai lesi kulit seperti kemerahan
atau erupsi. Namun harus dibedakan rekasi alergi disebabkan oleh
kortikotseroid atau tambahan pada campuran kortikosteroid.
Salah satu komplikasi yang lebih serius dari penggunaan kortikosteroid
yaitu insufisiensi adrenal. Kondisi ini disebabkan oleh penekanan pada aksis
hipotalamik-pituitariadrenal. Jika aksis ini mengalami penekanan,
kemampuan individu untuk berespon terhadap situasi stress seperti infeksi
atau pembedahan akan membahayakan. Hal ini biasanya terjadi pada
penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dalam jangka waktu lama. Efek
samping lain yang cukup serius dari penggunaan kortikosteroid yaitu
gangguan penyembuhan luka yang disebabkan oleh penghambatan sintesa
kolagen dan fungsi fibroblastic.

26
6.5. Indikasi
• Antihistamin
1) Antihistamin 1
• Penyakit Alergi
AH1 berguna untuk mengobati alergi tipe eksudatif akut
misalnya pada polinosis dan urtikaria. Efeknya bersifat paliatif,
membatasi dan menghambat efek histamine yang dilepaskan
sewaktu reaksi antigen-antibodi terjadi. AH1 tidak berpengaruh
terhadap intesitas reaksi antigen-antibodi yang merupakan
penyebab berbagai gangguan alergik. Keadaan ini dapat diatasi
hanya dengan menghindari alergen, desensitisasi atau menekan
reaksi tersebut dengan kortikosteroid. AH1 tidak dapat melawan
reaksi alergi akibat peranan autakoid lain. Asma bronkial
terutama disebabkan oleh SRS-A atau leukotrien, sehingga AH1
saja tidak efektif. AH1 dapat mengatasi asma bronkial ringan
bila diberikan sebagai profilaksis. Untuk asma bronkial berat,
aminofilin, epinefrin, dan isoproterenol merupakan pilihan
utama. Pada reaksi anafilaktif, AH1 hanya merupakan tambahan
dari epinefrin yang merupakan obat terpilih. Pada angioedema
berat dengan edema laring, epinefrin juga paling baik hasilnya.
Epinefrin merupakan obat terpilih untuk mengatasi krisis alergi
karena epinefrin: (1) lebih efektif daripada AH1; (2) efeknya
lebih cepat; (3) merupakan antagonis fisiologik dari histamine
dan autakoid lainnya. Artinya epinefrin mengubah respons
vasodilatasi akibat histamine dan autakoid lain menjadi
vasokonstriksi. Demikian pula AH1 dapat melawan efek
bronkokonstriksi oleh histamine tetapi tidak bersifat
bronkodilatasi seperti yang diperlihatkan epinefrin.
AH1 dapat menghilangkan bersin, rinore dan gatal pada
mata, hidung dan tenggorokan pada pasien seasonal hay fever.
AH1 efektif terhadap alergi yang disebabkan debu, tetapi kurang
efektif bila jumlah debu banyak dan kontaknya lama. Kongesti
hidung kronikn lebih refrakter terhadap AH1. AH1 tidak efektif
pada rhinitis vasomotor. Manfaat AH1 untuk mengobati batuk
pada anak dengan asma diragukan, karena AH1 mengentalkan
sekresi bronkus sehingga dapat menyulitkan ekspektorasi. AH1
efektif untuk mengatasi urtikaria akut, sedangkan pada urtikaria
kronik hasilnya kurang baik. Kadang-kadang AH1 dapat
mengatasi dermatitis atopic, dermatitis kontak, dan gigitan
serangga.
Reaksi transfuse darah tipe nonhemolitik dan
nonpirogenik ringan dapat diatasi dengan AH1. Demikian juga
reaksi alergi seperti gatal-gatal, urtikaria dan angioedema
umumnya dapat diobati dengan AH1.
• Mabuk perjalanan dan keadaan lain
AH1 tertentu misalnya difenhidramin, dimenhidrinat,
derivate piperazin dan prometazin dapat digunakan untuk

27
mencegah dan mengobati mabuk perjalan udara, laut, dan darat.
Dahulu digunakan skopolamin untuk mabuk perjalanan berat
dengan jarak dekat (kurang dari 6 jam). Tetapi sekarang AH1
lebih banyak digunakan, karena efektif dengan dosis relatif kecil.
Karena AH1 seperti juga skopolamin memiliki antikolinergik
yang kuat, maka diduga sebagian besar efek terhadap mabuk
perjalanan didasarkan oleh efek antikolinergiknya. Untuk
mencegah mabuk perjalanan AH1 sebaiknya diberikan setengah
jam sebelum berangkat. AH1 terpilih untuk mengobati mabuk
perjalanan ialah prometazin, difenhidramin, siklizin dan
meklizin. Meklizin cukup diberikan sekali sehari.
AH1 efektif untuk dua pertiga kasus vertigo, mual dan
muntah. AH1 efektif sebagai antimuntah pascabedah, mual dan
muntah waktu hamil dan setelah radiasi. AH1 juga dapat
digunakan untuk mengobati penyakit Meniere dan gangguan
vestibular lain. Penggunaan AH1 lain ialah untuk mengobati
pasien paralisis agitans (penyakit Parkinson) yaitu mengurangi
rigiditas dan tremor.
Efek samping hypnosis terutama oleh AH1 golongan
etanolamin digunakan untuk hipnotik. Efek ini jelas pada pasien
yang sensitive terhadap AH1. Sifat anestetik local AH1
digunakan untuk menghilangkan gatal-gatal. Tetapi harus
diingat bahwa pada penggunaan topikal, AH1 ini bisa
menyebabkan sensitivitas kulit.
2) Antihistamin 2
• Simetidin & Ranitidin
Simetidin, ranitidin, dan antagonis reseptor H2. Lainnya
efektif untuk mengatasi gejala akut tukak duodenum dan
mempercepat penyembuhannya. Dengan dosis lebih kecil
umumnya dapat membantu mencegah kambuhnya tukak
duodenum.
Antagonis reseptor H2 satu kali sehari yang diberikan
pada malam hari efektif untuk mengatasi gejala akut tukak
duodenum. Penyembuhan tukak duodenum umunya dipercepat
dengan pemberian simetidin 800 mg, ranitidine 300 mg,
famotidine 40 mg, atau nizatidin 300 mg satu kali sehari selama
8 minggu. Karena ekskresi antagonis reseptor H2 terutama
melalui ginjal maka pada pasien gangguan fungsi ginjal dosis
perlu dikurangi. Terapi pemeliharaan untuk mencegah
kekambuhan hanya membutuhkan dosis setengahnya dan
diberikan satu kali sehari. Umumnya obat diberikan secara oral.
Selain untuk tukak duodenum, dengan dosis yang sama,
simetidin, ranitidine, dan antagonis reseptor H2 lainnya juga
efektif untuk mengatasi gejala dan mempercepat penyembuhan
tukak lambung.
Antagonis reseptor H2 juga diindikasikan untuk
gangguan refluks lambung-esofagus (Gastroesophageal Reflux

28
Disorder = GERD), meskipun lebih sulit diatasi, memerlukan
frekuensi pemberian yang lebih sering, dan dosis per hari yang
mungkin lebih besar.
Pada pasien Zollinger Ellison syndrome, simetidin,
ranitidine, dan antagonis reseptor H2 lainnya efektif untuk
mengatasi gejala akibat sekresi asam lambung yang berlebihan
tetapi memerlukan dosis yang jauh lebih besar dan pemberian
yang lebih sering dibandingkan dengan tukak peptic. Antagonis
reseptor H2 juga diindikasikan untuk profilaksis tukak stress
(stress ulcers).
• Formatidin
Efektivitas obat ini untuk tukak duodenum dan tukak
lambung setelah 8 minggu pengobatan sebanding dengan
ranitidine dan simetidin. Pada penelitian berpembanding selama
6 bulan, famotidine juga mengurangi kekambuhan tukak
duodenum yang secara klinis bermakna. Famotidine kira-kira
sama efektif dengan AH2 lainnya pada pasien sindrom
Zollinger-Ellison, meskipun untuk keadaan ini omeprazole
merupakan obat terpilih. Efektivitas famotidine untuk profilaksis
tukak lambung, refluks esophagitis dan pencegahan tukak stress
kurang lebih sama dengan antagonis reseptor H2 lainnya.
• Nizatidine
Efektivitas untuk pengobatan gangguan asam lambung
sebanding dengan ranitidine dan simetidin. Dengan pemberian
satu atau dua kali sehari biasanya dapat menyembuhkan tukak
duodenum dalam 8 minggu dan dengan pemberian satu kali
sehari nizatidin mencegah kekambuhan. Meskipun data nizatidin
masih terbatas, efektivitasnya pada tukak lambung nampaknya
sama dengan AH2 lainnya. Pada refluks esofagitis, sindrom
Zollinger-Ellison dan gangguan asam lambung lainnya, nizatidin
diperkirakan sama efektif dengan ranitidine meskipun masih
diperlukan pembuktian lebih lanjut.
• Kortikosteroid
Kortikosteroid telah lama dipergunakan untuk penanganan penyakit
rematik dan penyakit sistemik dan juga sering digunakan pada pasien kanker
oleh karena efek antiinflamasi, analgesik, antiemetik dan anti anoreksia
yang dimiliki. Oleh karena efeknya yang multiple, kortikosteroid cocok
dipergunakan untuk penanganan nyeri pascaoperasi meskipun sampai saat
ini penggunaannya untuk indikasi nyeri hanya bersifat sporadik. Namun,
kortikosteroid secara signifikan dapat menurunkan konsumsi opioid dan
memiliki efek menurunkan efek samping dari pemberian opioid. Selain
menghasilkan efek opioid-sparing, kortikosteroid juga secara signifikan
menurunkan kejadian ileus dan mual muntah pasca operasi.
6.6. Kontraindikasi
• Antihistamin
Antihistamin yang menyebabkan kantuk mempunyai aktivitas
antimuskarinik yang nyata dan harus digunakan dengan hati-hati pada

29
hipertrofi prostat, retensi urin, pasien dengan risiko galukoma sudut sempit,
obstruksi pyloroduodenal, penyakit hati dan epilepsi. Dosis mungkin perlu
diturunkan pada gangguan ginjal. Anak dan lansia lebih mudah mendapat
efek samping. Penggunaan pada anak di bawah 2 tahun tidak dianjurkan
kecuali atas petunjuk dokter dan tidak boleh digunakan pada neonatus.
Banyak antihistamin harus dihindari pada porfiria, meskipun beberapa
(misalnya klorfenamin dan setirizin) diperkirakan aman.
• Kortikosteroid
Sebenarnya hingga saat ini tidak ada kontraindikasi absolute untuk
penggunaan kortikosteroid. Kortikosteroid digunakan lebih hati-hati pada
pasien dengan gangguan jantung, pasien dengan riwayat ulkus peptikum,
pasien diabetes dan dengan riwayat hipertensi. Pertimbangan khusus pada
pemberian kortikosteroid juga dilakukan pada pasien dengan infeksi kronis
seperti tuberkulosis yang dapat menyebabkan penyebaran tuberkulosis
secara sistemik.

7. Memahami dan Mempelajari Batasan Hukum Islam Pada Obat Alergi


Al-Qur’an & Hadist bahwa bahan haram diluar babi merupakan organ insan
(bahan dari rambut, plasenta, essen dari embrio), bangkai hewan (mati tidak disembelih,
dipukul, tercekik, disembelih nir secara Islam), hewan buas (srigala, harimau. Singa,
burung buas, & lain-lain), darah, khamar (minumam yg difermentasi mengandung
alkohol). Pelarangan memakan darah dan bangkai terdapat dalam Surat Al Baqarah ayat
173 dan Surat Al Maidah ayat 3.
Sedangkan pelarangan minum khamar terdapat pada Surat Al Maidah ayat 90-
91, pelarangan memakan & menggunakan organ insan terdapat dalam Surat Bani Israil
ayat 70. Ketentuan melarang memakan binatang buas terdapat pada Hadist.
1) Obat-obatan tidak boleh mengandung bagian atau produk hewan yg nir halal
atau nir disembelih sesuai ketentuan Islam.
2) Obat-obatan nir boleh mengandung najis.
3) Obat-obatan wajib kondusif untuk digunakan manusia, yakni nir beracun, tidak
memabukkan atau nir berbahaya bagi kesehatan sesuai dosis yang ditentukan
4) Obat-obatan tidak bisa dibuat, diproses atau diproduksi menggunakan peralatan
yg terkontaminasi menggunakan najis.
5) Obat-obatan nir boleh mengandung bagian manusia atau derivatnya yang tidak
halal.
6) Selama persiapan, pengolahan, penanganan, pengemasan, penyimpanan dan
distribusi, mereka wajib dipisahkan secara fisik menurut produk tidak halal dan
najis.

30
Daftar Pustaka
- Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S., 2016, Imunologi Dasar Abbas: Fungsi dan
Kelainan Sistem Imun, Edisi Indonesia Kelima, ELSEVIER, Halaman 239 – 256
- Adi, P R. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke 6. Jakarta : Interna Publishing
- Baratawidjaya, K G. 2006. Imunologi Dasar. Edisi ke 7. Jakarta ; Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
- Robbins, Stephen P. dan Coulter, Mary. 2012.Buku Ajar Patologi. Jakarta: PT. Indeks
- https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/4970a90760d069372e1c64d2
d9671de6.pdf

31

Anda mungkin juga menyukai