Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS KEPANITERAAN

SEORANG PEREMPUAN 23 TAHUN DENGAN

RINITIS ALERGI PERSISTEN RINGAN

Diajukan untuk melengkapi tugas kepaniteraan

Ilmu Kesehatan THT-KL Kedokteran Universitas Diponegoro

Penguji kasus : Prof. Dr. dr. Suprihati, Sp.THT-KL(K), MSc

Pembimbing : dr. Atik Masdarinah

Dibacakan oleh : Ratih Budinastiti 22010116210169

Andi Wicaksono 22010116210129

Dibacakan tanggal : 2 Juni 2017

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

RSUP Dr. KARIADI SEMARANG

2017

HALAMAN PENGESAHAN
Melaporkan kasus seorang Perempuan 23 tahun dengan Rinitis Alergi Persisten Ringan

Penguji kasus : Prof. Dr. dr. Suprihati, Sp. THT-KL(K), MSc

Pembimbing : dr. Atik Masdarinah

Dibacakan oleh : Ratih Budinastiti 22010116210169

Andi Wicaksono 22010116210129

Dibacakan tanggal: 2 Juni 2017

Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas

Kedokteran Universitas Diponegoro

Semarang, 2 Juni 2017

Mengetahui

Penguji kasus, Pembimbing,

Prof. Dr. dr. Suprihati, Sp. THT-KL(K), MSc dr. Atik Masdarinah
3

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN................................................................. ii

DAFTAR ISI........................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................... 1

1.1 Latar Belakang............................................................... 1

1.2 Tujuan............................................................................. 3

1.3 Manfaat........................................................................... 3

BAB II LAPORAN KASUS................................................................... 4

BAB III TINJAUAN PUSTAKA............................................................ 13

3.1 Definisi........................................................................... 13

3.2 Patofisiologi Rinitis Alergi............................................. 13

3.3 Gambaran Histologik..................................................... 17

3.4 Klasifikasi Rinitis Alergi ............................................... 17

3.5 Gejala Klinis................................................................... 18

3.6 Diagnosis........................................................................ 19

3.7 Diagnosis Banding......................................................... 21

3.8 Penatalaksanaan.............................................................. 22

3.9 Komplikasi..................................................................... 26

3.10 Prognosis...................................................................... 26

BAB IV PEMBAHASAN .......................................................................27

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 29
4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi pada mukosa nasal yang diinisiasi

oleh respon imun alergi terhadap alergen pada pasien atopi yang sebelumnya

sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator

kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.

Manifestasinya adalah gejala bersin-bersin, rinore, hidung gatal dan hidung

tersumbat, serta adanya post nasal drip yang cepat membaik setelah serangan atau

setelah pengobatan.1

Prevalensi rinitis alergi saat ini mencapai 40% dari total seluruh populasi

dunia. Seiring dengan perkembangan zaman, angka kejadian rinitis alergi

cenderung meningkat. Prevalensi di negara industri lebih banyak dibanding di

negeri agraria, sedangkan di perkotaan lebih banyak dibanding di pedesaan.2 Di

Indonesia sendiri, belum diketahui angka pasti penderitanya, tetapi sampai saat ini

diketahui prevalensinya mencapai 1,5-12,4% dan cenderung meningkat setiap

tahunnya. Di Indonesia alergen inhalan tersering adalah tungau rumah, dan tungau

debu.1
5

Gambar 1. Prevalensi Rinitis Alergi di Dunia2

Penatalaksanaan rinitis alergi dibagi menjadi beberapa tahap yaitu dengan

tatalaksana non medikamentosa, yaitu menghindari kontak dengan alergen

penyebab, tatalaksana medikamentosa, dan imunoterapi.35

Standart Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) menyatakan bahwa penyakit

rinitis alergi dimasukkan kompetensi 4 sehingga dokter umum harus mampu

melakukan pengobatan secara paripurna kepada pasien kecuali jika ditemukan

komplikasi, setelah diobati tidak menunjukan kemajuan signifikan, atau hal-hal

yang diluar penanganan yang boleh dilakukan oleh dokter umum maka harus

dibuatkan surat rujukan kepada Spesialis Telinga Hidung Tenggorokan Bedah

Kepala Leher.
6

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah agar mahasiswa kedokteran

mampu menegakkan diagnosis dan melakukan pengelolaan awal yang tepat

berdasarkan data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang dan pengelolaan pasien dengan rinitis alergi persisten

ringan.

1.3 Manfaat

Penulisan laporan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam

proses belajar menegakkan diagnosa dan melakukan pengelolaan pasien dengan

rinitis alergi persisten ringan.


BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Nn. M

Umur : 23 tahun

Agama : Islam

Alamat : Pedurungan, Semarang

No. CM : B411351

Masalah Aktif Masalah Pasif


1. Bersin berulang tiap pagi hari8 Tidak ada

2. Discharge serous 8

3. Hidung gatal 8

4. Hidung tersumbat (+/+) 8

5. Mukosa livid (+/+) 8

6. Allergic shiners 8

7. Alergic salute 8

8. Rinitis alergi persisten ringan

9. Riwayat alergi makanan : udang

10. Septum deviasi ke kanan

II. ANAMNESIS

Autoanamnesis pada tanggal 29 Mei 2017 pukul 14.30 WIB di Poli THT RSUP

Dr. Kariadi Semarang.


Keluhan Utama: Bersin-bersin setiap pagi hari

Perjalanan Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke Poli THT RSUP Dr. Kariadi Semarang dengan keluhan

bersin bersin setiap pagi hari. Sejak 10 tahun yang lalu pasien mengeluh

bersin-bersin pada pagi hari, dalam satu minggu keluhan dapat terjadi 5-7

hari. Keluhan dirasakan hampir setiap hari, hilang timbul terutama saat pagi

sewaktu bangun tidur dan saat akan tidur. Setiap kali serangan pasien

mengalami bersin lebih dari lima kali. Pasien juga mengalami gejala lain

yaitu hidung gatal, hidung tersumbat, keluar ingus encer warna bening dan

tidak berbau, pusing (-), demam (-), telinga gatal (+), penciuman berkurang

(-/-), mata gatal (-/-) saat sedang serangan, mata berair (-/-), nyeri wajah dan

dahi (-), batuk (-), terasa lendir ditengorokan (-), keluhan bertambah berat

saat terpapar debu ketika membersihkan rumah. Keluhan menghilang ketika

siang hari. Pasien tidak memiliki hewan peliharaan, pasien tidur dengan kasus

busa dan bantal kapuk dengan sprei yang diganti 4 minggu sekali. Keluhan

tidak menggangu aktifitas sehari-hari dan pasien belum mengkonsumsi obat.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat minum obat sebelumnya (-)

Riayat menggunakan obat semprot hidung sebeumnya (-)

Riwayat alergi makanan : udang

Riwayat alergi obat disangkal

Riwayat asma disangkal


Riwayat Penyakit Keluarga:

Anggota keluarga mengeluh keluhan yang sama disangkal

Riwayat alergi pada anggota keluarga disangkal

Riwayat keluarga yang tinggal satu rumah mengalami keluhan yang sama

disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi:

Pasien adalah seorang mahasiswa. Pembiayaan menggunakan biaya sendiri.

Kesan ekonomi baik.

PEMERIKSAAN FISIK

Tanggal 29 Mei 2017 pukul 14.30 WIB

Status Praesen

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Tanda vital : TD : 120/80 Suhu : 36,90 C

Nadi : 88 x/menit RR : 20 x/menit

Pemeriksaan fisik: Aktivitas : Normoaktif

Status gizi : Gizi baik

Kepala : Mesosefal

Thoraks : Jantung : tidak diperiksa

Paru : tidak diperiksa

Abdomen : tidak diperiksa

Ekstremitas : tidak diperiksa


Status Lokalis:

Telinga:

Gambar:

Bagian Telinga Telinga kanan Telinga kiri


Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Daerah
fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri
preaurikula
tekan tragus (-) tekan tragus (-)
Normotia, Hiperemis (-), Normotia, Hiperemis (-),
Aurikula
edema (-), nyeri tarik (-) edema (-), nyeri tarik (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),

Retroaurikula fistula (-), abses (-), nyeri fistula (-), abses (-), nyeri

tekan (-) tekan (-)


Hiperemis (-), nyeri tekan (-), Hiperemis (-), nyeri tekan (-),

Mastoid nyeri ketok (-), fistel (-), nyeri ketok (-), fistel (-),

abses (-) abses (-)


Serumen (-), edema (-), Serumen (-), edema (-),

CAE / MAE hiperemis (-), furunkel (-), hiperemis (-), furunkel (-),
discharge (-) discharge (-)
Membran Perforasi (-),granulasi(-), Perforasi (-),granulasi(-),

timpani reflek cahaya (+) arah jam 5, reflek cahaya (+) arah jam 7

Hidung:

Gambar :
Pemeriksaan Hidung Hidung Kanan Hidung Kiri
Inspeksi : Bentuk normal, simetris, deformitas

(-),warna kulit sama dengan sekitar, nasal crease (-),


Hidung Luar
alergic salute (+)
Palpasi : os nasal : krepitasi (-/-), nyeri tekan (-/-)
Sinus Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-)
Rinoskopi Anterior
Discharge + (serous) + (serous)
Mukosa Hiperemis (-), livid (+) Hiperemis (-), livid (+)

Konka Inferior Hipertrofi (-) Edema (- ) Hipertrofi (-) Edema (- )

Tumor Massa (-) Massa (-)


Septum nasi Deviasi (+) ke kanan , perdarahan(-)

Tenggorok:

Gambar:

Orofaring Keterangan
Dinding Faring
Granulasi (-), Post nasal drip (-)
Posterior
Palatum Bombans (-), hiperemis (-)
Arkus Faring Simetris, uvula ditengah, hiperemis (-)
Mukosa Hiperemis (-)
Tonsil Ukuran T1, hiperemis (-), Ukuran T2, hiperemis (-),

permukaan rata, kripte permukaan rata, kripte


melebar (-), detritus (-), melebar (-), detritus (-),

membran (-) membran (-)


Peritonsil Abses (-)

Kepala dan Leher :

Kepala : Mesosefal

Wajah : Perot (-), simetris, deformitas (-)

Mata : Allergic shiner (+/+)

Leher anterior : Pembesaran nnll (-)

Leher lateral : Pembesaran nnll (-)

Lain-lain : (-)

Gigi dan Mulut

Gigi geligi : Karies (-), gigi lubang (-), gigi goyang (-)

Lidah : Simetris, tidak ada deviasi

Palatum : Bombans (-)

Pipi : Mukosa buccal: hiperemis (-), stomatitis (-)

RINGKASAN

Seorang pasien perempuan usia 23 tahun datang dengan keluhan bersin-

bersin setiap pagi hari. Sejak 10 tahun yang lalu pasien mengeluh bersin-

bersin pada pagi hari, dalam satu minggu keluhan dapat terjadi 5-7 hari.

Keluhan dirasakan hampir setiap hari, hilang timbul terutama saat pagi

sewaktu bangun tidur dan saat akan tidur. Setiap kali serangan pasien

mengalami bersin lebih dari lima kali. Pasien juga mengalami gejala lain

yaitu hidung gatal, hidung tersumbat, keluar ingus encer warna bening,
telinga gatal (+), keluhan bertambah berat saat terpapar debu ketika

membersihkan rumah. Keluhan menghilang ketika siang hari. Pasien tidur

dengan kasus busa dan bantal kapuk dengan sprei yang diganti 4 minggu

sekali. Keluhan tidak menggangu aktifitas dan pasien tidak mengkonsumsi

obat. Pasien alergi terhadap makanan yaitu udang.

Dari pemeriksaan fisik ditemukan discharge (+) serous, mukosa livid (+/

+), deviasi septum ke kanan, allergic shiners (+/+), allergic salute.

DIAGNOSIS BANDING:

Rhinitis alergi persisten ringan

Rinitis vasomotor

DIAGNOSIS SEMENTARA:

Rinitis alergi persisten ringan

RENCANA PENGELOLAAN:

1. Pemeriksaan Diagnostik

skin prick test

2. Terapi:

Non medikamentosa: hindari pajanan alergen

Medikamentosa:

o Antihistamin generasi ke II: Cetirizine tab 10 mg/24

jam per oral


o Kortikosteroid intranasal: Triamcinolone acetonide

spray 1 puff hidung kanan kiri pagi hari.

3. Pemantauan

- Keadaan Umum

- Tanda vital

- Discharge hidung

- Komplikasi Rinitis Alergi

- Progresifitas penyakit

- Respon obat dan efek samping obat

4. Edukasi:

Menjelaskan diagnosis penyakit pasien dan terapi

Edukasi agar pasien menghindari alergen yang dicurigai

penyebab dan menjaga kebersihan lingkungan sekitar seperti

mengganti sprei tempat tidur dan sarung bantal secara teratur,

mencuci korden, menjemur kasur dan bantal dibawah terik matahari

setiap minggu, membuka jendela kamar agar sinar matahari dapat

masuk supaya kamar tidak lembab.

Edukasi saat tidak membaik setelah diberi pengobatan untuk

kembali kontrol setelah 2 minggu.

5. Prognosis:
Quo ad sanam ad bonam
Quo ad vitam ad bonam
Quo ad fungsionam ad bonam
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi pada mukosa nasal yang diinisiasi

oleh respon imun alergi terhadap allergen yang diperantarai oleh antibodi IgE

pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan

alergen spesifik tersebut.21

Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rinitis and its Impact on Asthma)

tahun 2010 adalah penyakit dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, hidung

tersumbat dan post nasal drip yang membaik secara spontan atau setelah

pengobatan setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.6

Rinitis alergi adalah penyakit kronik saluran pernapasan dengan angka kejadian

yang tinggi, mempengaruhi kualitas hidup, produktivitas kerja atau sekolah,

berdampak pada sosial ekonomi, serta dapat berkaitan dengan penyakit asma.2

3.2 PATOFISIOLOGI RINITIS ALERGI

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan

tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi

Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam

setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat

(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)

setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.7

Alergen yang memicu timbulnya rinitis alergi umumnya disusun oleh

protein yang diperoleh dari udara termasuk serbuk sari, partikel fekal tungau

debu, residu kecoa, dan partikel binatang. Setelah partikel tersebut terhirup, maka

akan terlarut di mukosa nasal dan berdifusi ke jaringan nasal.8

Proses sensitisasi dimulai dari jaringan hidung ketika sel penyaji/ antigen-

presenting cells (APC), yang utamanya adalah sel dendritik, menangkap alergen

yang kemudian akan dihancurkan menjadi peptida alergenik (antigenik). Antigen

tersebut akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul

HLA kelas II (Major Histocompability Complex), selanjutnya akan dibawa ke

kelenjar limfe dan dipresentasikan ke sel Th0 (sel limfosit T CD4+ yang belum

pernah terpapar antigen). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti

Interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th

1 dan Th 2.8,9

Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13.

IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga

sel limfosit B menjadi aktif dan alkan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE

di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi

aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang

tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang

sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi

degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya

mediator kimia yang sudah terbentuk (preformed mediators) terutama histamin.

Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain

prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4(LT C4),

bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5,

IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah

yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).


Gambar 2. Patogenesis Rinitis Alergi8

TSLP=thymic stromal lymphopoietin


Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus

sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga

akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan

permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung

tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf

vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi

pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).9

Pada RAFC, sel mastosit juga melepaskan molekul kemotaktik yang

menyebabkan akumulasi eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini tidak

berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6 - 8

jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan

jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di

mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte

Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada sekret

hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat

peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic

Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase

(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non

spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,

perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.9


3.3 GAMBARAN HISTOLOGIK

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (Vascular

Bed) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat

pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan

infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.1

3.4. KLASIFIKASI RINITIS ALERGI

Diagnosis dan pengelompokan yang tepat pada pasien dengan rinitis alergi

penting untuk menginisiasi terapi yang tepat. Gejala gejala rinitis alergi

termasuk rinorea, obstruksi nasal, gatal pada hidung, dan bersin, yang dapat

membaik secara spontan ataupun dengan terapi.

Menurut Allergic Rinitis and its Impact on Asthma (ARIA) 2007, rinitis

alergi dapat diklasifikasikan berdasarkan frekuensi timbulnya gejala :7

1 Intermiten: bila gejala muncul kurang dari 4 hari dalam seminggu atau

kurang dari 4 minggu berturut - turut.


2 Persisten: bila gejala muncul lebih dari 4 hari dalam seminggu dan lebih dari

4 minggu berturut turut.

Sedangkan berdasarkan berat ringannya penyakit, rinitis alergi dapat

dikelompokkan menjadi:
1 Ringan: bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas sehari

hari, berolahraga, sekolah, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu


2 Sedang Berat: bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
Lama gejala *Berat gejala

*Gangguan tidur

Intermitten *Gangguan aktifitas

< 4 hari/minggu *Simptom dirasakan


mengganggu
Atau < 4 minggu
Ringan
Persisten

4 hari/minggu
Sedang- berat
dan > 4 minggu

Gambar 3. Klasifikasi Rinitis Alergi6

3.5 GEJALA KLINIS

Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang pada pagi hari,

keluar ingus (rinore) yang encer, tidak berbau, dan berwarna bening, hidung

tersumbat, hidung dan mata gatal, dan post nasal drip yang membaik secara

spontan atau setelah pengobatan yang kadang-kadang disertai dengan banyak

keluar air mata (lakrimasi).6-9

Awitan gejala timbul cepat setelah paparan alergen dapat berupa bersin,

mata atau palatum yang gatal berair, rinore, hidung gatal, hidung tersumbat. 4,5,8

Pada mata dapat menunjukan gejala berupa mata merah, gatal, konjungtivitis,

mata terasa terbakar, dan lakrimasi Pada. telinga bisa dijumpai gangguan fungsi

tuba, efusi bagian tengah.7,10

3.6 DIAGNOSIS

Untuk dapat mendiagnosis secara tepat penyakitpenyakit yang

menyerang hidung dan sinus, anamnesis, pemeriksaan fisik, dan bila diperlukan

pemeriksaan penunjang dapat dilakukan.12


1. Anamnesis
Pasien dengan rinitis alergi pada umumnya memiliki gejala utama

obstruksi/ kongesti hidung, keluarnya cairan dari hidung, bersin berulang, dan

gatal pada hidung. Gejala pada mata dapat pula muncul pada pasien rinitis

alergi yaitu berupa konjungtivitis (mata berair dan gatal). Onset pada usia

muda (< 20 tahun) mendominasi, serta dapat pula disertai penyakit atopi yang

lain yaitu dermatitis atopik, asma, alergi makanan, dan obstructtive sleep

apneu syndrome (OSAS).11 Selain itu pertanyaan lain yang harus ditanyakan

ke pasien adalah durasi dan lama serangan, derajat keparahan, sifat gejala,

faktor pencetus timbulnya gejala, riwayat alergi, respon terhadap pengobatan,

adanya komorbid, riwayat atopi dalam keluarga, pajanan di lingkungan/

pekerjaan, dan efek gejala terhadap kualitas hidup.


2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada hidung harus dilakukan untuk

mengidentifikasi adanya kelainan. Pemeriksaan dimulai dari pemeriksaan

hidung luar dan area maksilofasial. Terdapat 3 tanda khas yang dapat

ditemukan pada penderita rinitis alergi yaitu adanya allergic shiners berupa

perubahan warna menjadi kehitaman pada kulit periorbita, allergic salute

yaitu menggosok hidung dengan punggung tangan, dan allergic crease berupa

garis melintang di dorsum nasi sepertiga bagian bawah akibat penggosokan

hidung yang berlangsung lama.7,11 Pada pasien rinitis alergi, pemeriksaan

rinoskopi anterior akan menunjukkan ukuran konka yang membesar karena

edema, mukosa yang mengalami inflamasi memiliki warna kebiru biruan/

pucat (livid), selain itu dapat pula ditemukan discharge yang berwarna jernih

dan encer (serous).11


3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang ada dua macam, tes in vitro dan in vivo.
In vitro: Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.

Demikian pula pemeriksaan IgE total seringkali menunjukan nilai normal.

Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio

Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay

Test). Pemeriksaan sitologi dari sekret hidung atau kerokan mukosa dapat

dijadikan pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah

banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan, jika basofil (> 5

sel/lapangan) kemungkinan alergi makanan, dan jika ditemukan sel PMN

menunjukkan adanya infeksi bakteri.


In vivo: Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit

kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-

Point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan

menyuntikan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat

kepekatannya. Untuk alergen makan, uji kulit Intracutaneus Provocative

Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan

diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).7

3.7 DIAGNOSA BANDING

Diagnosa banding dari rinitis alergi adalah:

1 Rinitis Infeksi

2 Rinitis Vasomotor

3 Rinitis Medikamentosa
3.8 PENATALAKSANAAN

Tata laksana pada pasien rinitis alergi dibagi menjadi 2 yaitu:

1. Non Farmakologi
Tata laksana yang paling utama pada pasien dengan alergi adalah pemberian

edukasi untuk menghindari pajanan terhadap alergen yang dapat mencetuskan

timbulnya gejala alergi.6,7 Eliminasi alergen pencetus dari lingkungan sekitar

pasien merupakan metode paling efektif untuk mengkontrol gejala rinitis

alergi.6,7,9
2. Farmakologi
Prinsip dari terapi farmakologikal adalah pendekatan bertahap sesuai dengan

derajat keparahan dan durasi gejala.10


a. Antihistamin oral
Antihistamin generasi I memiliki beberapa efek samping diantaranya adalah

sedasi, gangguan daya ingat, dan disfungsi psikomotor, sehingga

menimbulkan banyak permasalahan dalam penggunaannya.10 Antihistamin

generasi II tidak lebih efektif untuk mengkontrol gejala rinitis alergi bila

dibandingkan dengan antihistamin generasi I, namun penetrasinya ke blood

brain barrier lebih rendah dibandingkan antihistamin generasi I sehingga

efek samping terhadap sistem saraf pusat juga menjadi lebih rendah. 10,11

Antihistamin oral lebih efektif untuk terapi rinorea, bersin, gatal pada

hidung, dan gejala mata, namun kurang efektif untuk obstruksi hidung. 10

Antihistamin generasi II yang dapat digunakan adalah loratadine, seftirisin,

fexofenadine, desloratadine, dan levoseftirisin.9


b. Antihistamin intranasal
intranasal dan juga tidak efektif untuk mengatasi gejala yang timbul pada

mata. Efek samping antihistamin intranasal diantaranya adalah sedasi ringan

dan rasa seperti metalik.10


c. Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal tidak diabsorbsi secara sistemik sehingga memiliki

lebih sedikit efek samping sistemik. Obat ini bekerja dengan menghambat

reaksi cepat dan lambat serta menurunkan produksi IgE dan eosinofil

dengan cara menghambat sekresi sitokin termasuk IL-4, IL-5, dan IL-13.

Kadar eosinofil dan basofil akan berkurang dalam 1 minggu setelah

pemberian kortikosteroid intranasal. Obat golongan ini efektif untuk

mengatasi semua gejala rinitis alergi, terutama obstruksi hidung dan gejala

pada mata. Kortikosteroid intranasal yang digunakan secara luas adalah

budesonide, triamcinolone acetonide, fluticasone propionate, mometasone

furoate, dan fluticasone furoate.9,10


d. Antikolinergik topikal
Ipratropium bromide adalah pengobatan yang efektif untuk mengontrol

rinorea dan umumnya sama sekali tidak menimbulkan efek samping.11


e. Cuci hidung dengan saline intranasal11
f. Antileukotrien11
Terdiagnosis

Penghindaran
alergen

Intermite Persisten

Ringa Sedang Ringa Sedang

Antihistamin H1 Antihistamin H1 oral Kortikosteroid


oral gen 2 gen 2 dan/atau intranasal
dan/atau dekongestan atau dan
dekongestan kortikosteroid antihistamin
atau intranasal atau H1 oral gen2

Evaluasi 2-4 mgg Evaluasi 2-4

Berhasil: Berhasil: Gagal :


lanjutkan Step down, rediagnosis,
pengobata lanjutkan apakah ada infeksi
n 1 bulan pengobatan atau kelainan
1 bulan anatomi yang
membutuhkan
Gagal :
Step up
(persisten Kortikasteroid intranasal dosis
sedang ditingkatkan, ditambah
antihistamin H1 (bersin/hidung
gatal), dekongestan/kortikosteroid
oral jangka pendek (hidung
tersumbat), atau ipatropium

Gagal

Tindaka
n
operatif
Penghindaran terhadap alergen dan iritan
konjungtivitis ditambahkan : antihistamin H1 oral, atau antihistamin H1 intraokuler, atau kromon in

Pertimbangkan untuk imunoterapi spesifik

Gambar 4. Bagan alur terapi rinitis alergi berdasarkan guideline


ARIA7,9
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),

konkoplasti, atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan

bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak dapat dikecilkan dengan cara

kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.7


4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat

dan sudah berlangsung lama, serta dengan pengobatan cara lain tidak

memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah

pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada dua metode yang

umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual.7

3.9 KOMPLIKASI

Komplikasi rinitis alergi adalah:7


1.
Polip hidung

2. Otitis Media Efusi

3. Sinusitis Paranasal

3.10 PROGNOSIS

Kebanyakan gejala rinitis alergi dapat diobati. Pada kasus yang parah dapat

diobati dengan imunoterapi. Pada anak anak seiring dengan bertambahnya usia

membuat lebih tidak sensitif terhadap paparan alergen, namun jika suatu individu

mengalami alergi terhadap zat tertentu zat tersebut dapat membuat individu

tersebut terkena alergi lagi.


BAB IV

PEMBAHASAN

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi pada mukosa nasal yang diinisiasi

oleh respon imun alergi terhadap allergen yang diperantarai oleh antibodi IgE

yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta

dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan

alergen spesifik tersebut. Gejala yang timbul berupa bersin-bersin, rinore, hidung

terasa gatal dan hidung tersumbat. Penegakan diagnosis rinitis alergi didasarkan

pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien ini

didapatkan keluhan bersin-bersin setiap pagi hari sejak 10 tahun yang lalu,

dalam satu minggu keluhan dapat terjadi 5-7, hilang timbul terutama saat pagi

sewaktu bangun tidur dan saat akan tidur. Setiap kali serangan pasien mengalami

bersin lebih dari lima kali. Pasien juga mengalami gejala lain yaitu hidung gatal,

hidung tersumbat, keluar ingus encer warna bening (rinore) dan tidak berbau. Hal

ini sesuai dengan teori mengenai gejala klinis rinitis alergi yaitu bersin-bersin

berulang, hidung gatal, hidung tersumbat, dan rinore. Pada pasien Nn. M ini

termasuk klasifikasi rinitis alergi persisten ringan karena gejala yang timbul lebih

dari 4 hari dalam seminggu dan lebih dari 4 minggu dan tidak didapatkan

gangguan aktivitas sehari-hari.

Pada pemeriksaan fisik maksilofasial Nn.M didapatkan adanya allergic

shinner dan allergic salute, tetapi tidak didapatkan nasal crease. Kemudian pada
pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan hasil yaitu mukosa berwarna livid (+)

pada hidung kanan dan kiri, adanya discharge yang jernih dan encer, akan tetapi

tidak didapatkan konka yang edema. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik maka

hal-hal tersebut sedikit berbeda dengan dengan buku ilmu ajar kesehatan telinga

hidung tenggorok kepala leher edisi ketujuh dan ARIA 2010 dimana tanda rinitis

alergi pada rinoskopi anterior selain didapatkan mukosa berwarna pucat atau livid

disertai adanya sekret encer yang banyak, juga didapatkan konka yang edema dan

bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Hal ini disebabkan karena

pemeriksaan rinoskopi anterior dilakukan pada saat pasien sedang tidak

mengeluhkan hidung tersumbat.

Pada kasus ini belum dilakukan pemeriksaan penunjang. Namun untuk

membantu menegakkan diagnosis pasti, disarankan dilakukan tes cukit kulit atau

Skin Prick Test (SPT) untuk mengetahui alergen pencetus rinitis pada pasien.

Pada kasus Nn. M ini, penatalaksanaan secara non medikamentosa

diutamakan, yaitu berupa edukasi pasien untuk menghindari pajanan alergen

sesuai dari hasil skin prick test (SPT) apabila sudah dilakukan, menjaga

kebersihan lingkungan, membersihkan tempat tinggal sesering mungkin,

menjemur kasur dan bantal secara rutin dan mengupayakan sinar matahari masuk

ke dalam rumah. Sedangkan tatalaksana medikamentosa sesuai dengan guideline

ARIA yang dianjurkan untuk penderita rinitis alergi persisten ringan adalah

pemberian antihistamin H1 oral generasi kedua dan atau dekongestan atau

kortikosteroid intranasal atau antileukotrien (jika disertai asma). Pada kasus ini

dipilih yaitu cetirizine 10 mg / 24 jam per oral, dan Triamcinolon acetonide spray
1 puff/24 jam pada hidung kanan dan kiri,serta cuci hidung menggunakan NaCl

0.9% namun pasien menolak. Alasan pemberian antagonis histamin H1 generasi

kedua adalah efek samping obat lebih minimal seperti tidak menyebabkan

berdebar-debar, mengantuk, sehingga dapat digunakan meskipun akan

beraktivitas.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ibiapina CdC, Sarinho ESC, Camargos PAM, de Andrade CR, Filho

AASdC. Allergic Rhinitis : Epidemiological Aspects, Diagnosis, and

Treatment. J Bras Pneumol. 2008;34.

2. Agache I, Akdis C, Akdis M, Angier M, Arshad S, Avila P, et al. Global

Atlas of Allergic Rhinitis and Chronic Rhinosinusitis. Eur Acad Allergy

Clin Immunol. 2015

3. Small P, Kim H. Immunology Allergic rinitis. 2011;7(Suppl 1):18.

4. Barr JG, Al-reefy H, Fox AT. Allergic rinitis in children.

2014;4153(July):18.

5. Greiner AN, Hellings PW, Rotiroti G, Scadding GK. Allergic rinitis. Lancet

[Internet]. Elsevier Ltd; 2011;378(9809):211222. Available from:

http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(11)60130-X

6. Bousquet J, Team EE, Baena-cagnani CE, Bonini S, Canonica GW,

Diseases R, et al. Allergic Rinitis and its Impact on Asthma ( ARIA ) 2010

Revision. 2010;

7. Irawati, Kasakeyan, E., Rusmono N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi Ke-tujuh. Jakarta: Balai Penerbit

FK UI; 2012. 106-111 p.

8. Wheatley L, Togias A. Allergic Rhinitis. N Engl J Med [Internet]. 2015 Jan

29;372(5):456-463. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4324099/
9. ARIA At-A-Glance Pocket Reference. 2007;

10. Min Y. The Pathophysiology , Diagnosis and Treatment of Allergic Rinitis.

Allergy. 2010;2(2):6576.

11. Sin B, Togias A. Pathophysiology of allergic and nonallergic rinitis. Proc

Am Thorac Soc [Internet]. 2011;8(1):10614. Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21364228

12. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaryngology. 2006.

Anda mungkin juga menyukai