Anda di halaman 1dari 51

Refleksi Kasus Oktober 2021

‘’PNEUMONIA+ EFUSI PLEURA + DIARE AKUT’’

Nama : Dinda Kemala Sakina

No. Stambuk : N111 20 072

Pembimbing : dr. Haryanty Kartini Huntoyungo

M. Biomed., Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA

PALU

2021

i
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Dinda Kemala Sakina

Stambuk : N 111 20 072

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Profesi Dokter

Universitas : Tadulako

Bagian : Ilmu Kesehatan Anak

Judul : Pneumonia, Efusi pleura, Diare akut

Bagian Ilmu Kesehatan Anak

RSUD Undata Palu

Program Studi Profesi Dokter

Fakulas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, Oktober, 2021

Mengetahui

Pembimbing Dokter Muda

dr. Haryanty Kartini Huntoyungo M. Biomed., Sp.A Dinda Kemala Sakina

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PENGESAHAN ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 4
BAB II LAPORAN KASUS 6
BAB III PEMBAHASAN 15
A. PNEUMONIA 15
1. Definisi

15
2. Epidemiologi 15
3. Etiologi 15
4. Faktor resiko 17
5. Manifestasi klinik 19
6. Patogenesis 20
7. Klasifikasi 22
8. Diagnosis 23
9. Tatalaksana 29
B. EFUSI PLEURA 32
1. Definisi 32
2. Epidemiologi 32
3. Etiologi 32
4. Manifestasi klinik 33
5. Patofisiologi 34
6. Diagnosis 35
7. Tatalaksana 36
C. DIARE AKUT

37
1. Definisi

37
2. Epidemiologi

37
3. Klasifikasi 38
4. Faktor resiko 39
5. Etiologi

40
6. Patofisiologi 41
7. Manifestasi Klinik 42
8. Penatalaksanaan

44
9. Komplikasi 47
BAB IV KESIMPULAN 48
DAFTAR PUSTAKA 49

BAB I
PENDAHULUAN
Pneumonia merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan
di Indonesia, dan menjadi penyebab kematian nomor tiga di Indonesia setelah
kardiovaskuler dan tuberkulosis. Tingginya kejadian pneumonia terutama menyerang
kelompok usia bayi dan balita.12
Berbagai mikroorganisme dapat menyebabkan pneumonia, antara lain virus,
jamur, dan bakteri. S. pneumoniae merupakan penyebab tersering pneumonia
bakterial pada semua kelompok umur.Virus lebih sering ditemukan pada anak kurang
dari 5 tahun. Respiratory Syncytial Virus (RSV) merupakan virus penyebab tersering
pada anak kurang dari 3 tahun. Pada umur yang lebih muda, adenovirus, virus
parainfluenza, dan virus influenza juga ditemukan. Mycoplasma pneumonia dan
Chlamydia pneumonia, lebih sering ditemukan pada anak-anak, dan biasanya
merupakan penyebab tersering yang ditemukan pada anak lebih dari 10 tahun.16

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan cairan melebihi
normal di dalam cavum pleura diantara pleura parietalis dan viseralis dapat berupa

transudat atau cairan eksudat. Efusi pleura merupakan penyakit sekunder terhadap
penyakit lain, jarang merupakan penyakit primer, secara normal ruang pleura
mengandung sejumlah kecil cairan (5-15ml) berfungsi sebagai pelumas yang
memungkinkan permukaan pleura bergerak tanpa adanya friksi.23

Diare merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
anak di negara berkembang. Anak usia 0-3 tahun rata-rata mengalami tiga kali diare

4
pertahun. Diare akut adalah keluarnya buang air besar lebih dari 3 kali dalam sehari
berbentuk cair dan berlangsung kurang 14 hari. Diare adalah suatu keadaan buang air
besar (BAB) dengan konsistensi lembek hingga cair dan frekuensi lebih dari tiga kali
sehari. Diare akut berlangsung selama 3-7 hari, sedangkan diare persisten terjadi
selama ≥ 14 hari.1

Terdapat banyak penyebab diare akut pada anak. Pada sebagian besar kasus
penyebabnya adalah infeksi akut intestinum yang disebabkan oleh virus, bakteri atau
parasit akan tetapi berbagai penyakit lain juga dapat menyebabkan diare akut,
termasuk malabsorpsi. Diare karena virus umumnya bersifat self limiting, sehingga
aspek terpenting yang harus diperhatikan adalah mencegah terjadinya dehidrasi yang
menjadi penyebab utama kematian dan menjamin asupan nutrisi untuk mencegah
gangguan pertumbuhan akibat diare. Diare menyebabkan hilangnya sejumlah besar air
dan elektrolit. 2

5
BAB II
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : By. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 01-12-2020
Usia : 9 Bulan 21 hari
Alamat : Morowali
Tanggal Masuk : 11-09-2021
Ruang Perawatan : ICU
II. Anamnesis
- Keluhan Utama :
Sesak nafas
- Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien laki-laki usia 9 bulan rujukan dari RS Kolonadelo, Kab.
Morowali dengan keluhan sesak napas sesak nafas dialami sejak 2 hari
SMRS, pasien mengeluhkan batuk berlendir sejak ± 2 hari SMRS, lendir
awalnya bening kemudian lendir menjadi kental dan berwarna kuning
kehijauan, pasien juga mengeluhkan demam, Riwayat kenjang saat di rumah
sakit 1x dengan durasi kejang < 15 menit. Pasien juga mengalami BAB
dengan lendir berwarna hitam dan kehijauan dengan konsistensi lembek,

6
BAK dalam batas normal. Pasien masuk dengan intubasi post Chest Tube dan
WSD.
- Riwayat Penyakit Sebelumnya :
Pasien memiliki riwayat kejang,
- Riwayat Penyakit Keluarga :
Keluarga tidak mempunyai keluhan dan penyakit yang sama, TB (-),
Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-).
- Riwayat Sosial-Ekonomi :
Pasien seorang anak dari keluarga dengan social ekonomi menengah
- Riwayat Kebiasaan dan Lingkungan :
Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya dan merupakan anak yang aktif

- Riwayat Kehamilan dan Persalinan :


Pasien merupakan anak ke 2 dari 2 bersaudara. Lahir secara saecar atas
indikasi air ketuban habis . Cukup bulan dengan BBL 3200 gram
- Anamnesis Makanan :
Pasien mendapatkan ASI mulai dari 0-12 bulan, 12-sekarang makan makanan
rumah. Tidak ada memliki riwayat alergi makanan tertentu.
- Riwayat Imunisasi :
Lengkap

III. Pemeriksaan Fisik


- Keadaan Umum : Sakit berat
- Kesadaran : Kompos mentis
- Antropometri
- Berat Badan : 8 kg
- Panjang badan : 70 cm
- Lingkar lengan atas : 15 cm
- Lingkar Kepala : 43 cm
- Lingkar Dada : 42 cm
- Lingkar Perut : 35 cm
- Status Gizi : BB/U : -2SD-2SD (BB Baik)
PB/U : <-3SD (PB Normal)

7
BB/PB : -2SD-2SD (Gizi Baik)

8
- Tanda Vital :
Denyut Nadi : 142 kali/menit
SP02 : 97 %
Respirasi : 41 kali/menit
Suhu : 37,4 0 C
- Kulit : Ruam (-), Rumple Leed (-), Sianosis (-), Turgor (-)
Baik
- Kepala
Bentuk : Normocephale
 Ubun - ubun tertutup (+)

 Ubun - ubun cekung (-)

 Deformitas (-)
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-),pupil
isokor (+/+), mata cekung (-), edema palpebra (-)
Hidung : Rhinorrhea (-/-), jejas (-), massa (-), pernapasan cuping
hidung (+)
Mulut : Sianosis (-), kering (-), stomatitis (-)

9
Telinga : Otorrhea (-/-)
- Leher
Kelenjar Getah Bening : Pembesaran (-), Nyeri Tekan (-)
Kelenjar Tiroid : Pembesaran (-), Nyeri Tekan (-)
Trakea : Posisi Central
Faring : Hiperemis (-)
Tonsil : T1-T1 Normal
- Paru – Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris bilateral kanan=kiri,
tampak retraksi (+/+)
Palpasi : Vocal fremitus simetris kanan=kiri, penonjolan/massa
(-)
Perkusi : hipersonor pada kedua lapang paru (+/+)
Auskultasi : bronkovesikuler (+/+), ronkhi (+/+), wheezing (-/-)
- Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula
sinistra
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : BJ I/II iregular (+), Bising jantung (-)
Abdomen
Inspeksi : bentuk datar kesan normal
Auskultasi : Terdengar peristaltik usus (+) meningkat
Perkusi : Bunyi timpani pada seluruh lapang abdomen
Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-)
- Anggota Gerak
Ekstremitas atas : Akral hangat (+/+), edema (-/-), jejas (-/-)
Ekstremitas Bawah : Akral hangat (+/+), edema (-/-), jejas (-/-)
- Genitalia
Laki-laki : Dalam batas normal

10
IV. Pemeriksaan Laboratorium
WHOLE BLOOD Hasil Rujukan Satuan
HGB 7,7 10,5 – 13,1 g/dl
WBC 6,5 5,0 – 17,5 103/uL
RBC 3,13 3,6-5,2 106/uL
HCT 24,3 35-43 %
PLT 79 229-553 103/uL
MCH 77,6 74-102 fL
MCH 24,6 23-31 Pg
MCHC 31,7 28-32 g/dl

Basophil 0,7 0-1 %


Eosinophil 0,4 6,0-17,5 %
Neutrophil 71,0 25-60 %
Limfosit 20,1 20-40 %
Monosit 7,8 1-6 %

V. Resume
Pasien laki-laki usia 9 bulan rujukan dari RS Kolonadelo, Kab. Morowali
dengan keluhan sesak napas sesak nafas dialami sejak 2 hari SMRS, pasien
mengeluhkan batuk berlendir sejak ± 2 hari SMRS, lendir awalnya bening
kemudian lendir menjadi kental dan berwarna kuning kehijauan, pasien juga
mengeluhkan demam, Riwayat kenjang saat di rumah sakit 1x dengan durasi
kejang < 15 menit. Pasien juga mengalami BAB dengan lendir berwarna hitam
dan kehijauan dengan konsistensi lembek, BAK dalam batas normal. Pasien
masuk dengan intubasi post Chest Tube dan WSD.
Kesadaran compos mentis, keadaan umum sakit berat. TTV: S: 37,4 °c, N:
142x/m, R: 41x/m, Spo2: 97%. Pemeriksaan fisik pada mata didapatkan
konjungtiva anemis (+/+), pada thorax adanya retraksi (+), hipersonor (+/+) dan
suara pernapsan rhonki . Hasil laboratorium mengalami penurunan HGB: 7,7
gr/dl HCT 24,3%, PLT 79 ribu/ul.

11
VI. Diagnosis
- Pneumonia berat
- Efusi pleura bilateral
- Diare akut disertai dehidrasi ringan sedang

VII. Terapi
Medikamentosa :
- IVFD asering 33,3 cc/ 1 amp
- Inj. Meropenem 100mg/8 jam
- Dexamethasone 4mg/8jam
- San b plex 1x 0,3 ml
- Paracetamol drips 3x1 cth/oral
- Zink 20 mg 1x1 cth/oral
- L-Bio 2x1 sachet

VIII. Anjuran
- Pemeriksaan feses
- Pemeriksaan darah rutin
- Pemeriksaan radiologi

IX. FOLLOW UP
Tanggal 28-09-2021
S : BAB 1 kali berampas dan berlendir, sakit perut (-), mual dan muntah (-),
mata cekung (-),Demam (-), batuk (+),, BAK lancar
O: Tanda vital :
Nadi : 185 x/menit
Suhu : 36,7 °C
Respirasi : 36 x/menit
SP02 : 97 %

A:

12
- Community Acquired pneumonia
- Efusi pleura bilateral
- Pneumothorax
- Diare akut

P:
- IVFD asering 33,3 cc/ 1 amp
- Inj. Meropenem 100mg/8 jam
- Inj.Dexamethasone 4mg/8jam
- San b plex 1x 0,3 ml
- Paracetamol drips 3x1 cth/oral
- Zink 20 mg 1x1 cth/oral
- L-Bio 2x1 sachet
- Terpasang NGT
- Terpasang WSD

Tanggal 29-09-2021
S : BAB 1 kali berampas dan berlendir, sakit perut (-), mual dan muntah (-),
mata cekung (-),Demam (-), batuk (+), BAK lancar
O: Tanda vital :
Nadi : 122 x/menit
Suhu : 37,1 °C
Respirasi : 38 x/menit
SP02 : 99 %

A:
- Community Acquired pneumonia
- Efusi pleura bilateral
- Post Pneumothorax
- Diare akut
P:
- IVFD asering 33,3 cc/ 1 amp
- Inj. Meropenem 100mg/8 jam
- Inj.Dexamethasone 4mg/8jam

13
- San b plex 1x 0,3 ml
- Paracetamol drips 3x1 cth/oral
- Zink 20 mg 1x1 cth/oral
- L-Bio 2x1 sachet
- Terpasang NGT
- Terpasang WSD

14
BAB III
DISKUSI

A. PNEUMONIA
1. Definisi
Pneumonia secara klinis didefinisikan sebagi suatu peradangan paru
yang disebabkan oleh mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur dan
parasit, akan tetapi tidak termasuk yang disebabkan oleh bakteri
M.tuberculosis. Pneumonia komuniti atau community acquired
pneumonia (CAP) adalah pneumonia yang didapat di masyarakat.11

2. Epidemiologi

Menurut The United Nations Children's Fund (UNICEF) mayoritas


pneumonia terjadi di negara Afrika dan Asia Tenggara yang
menyumbang hampir seperlima kematian anak di dunia dan ± 2 juta anak
balita meninggal setiap tahun. Hampir semua kematian akibat pneumonia
sekitar 80-90% menyebabkan kematian khususnya pada balita. Di
Indonesia pneumonia berada di peringkat 10 penyakit terbesar setiap
tahunnya sebagai penyebab kematian bayi dan balita. Kejadian
pneumonia di Indonesia pada balita diperkirakan 10%- 20% per tahun
dengan angka kematian 6 per 1000 kelahiran hidup. Kejadian tertinggi
pneumonia balita terdapat pada kelompok umur 12-23 bulan.12

3. Etiologi

Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada


perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum
etiologi, gambaran klinis, dan strategi pengobatan. Spektrum
mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil berbeda dengan

anak yang lebih besar.13 Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi

15
kecil meliputi Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E.
Coli, Pseudomonas sp., atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar
dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococus
pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus
aureus. Sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri
tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.15

Tabel 1. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut umur dengan


terjadinya infeksi. 13
Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Bakteria
 Escherichia colli  Group D streptococci
 Group B streptococci  Haemophillus influenzae
 Listeria monocytogenes  Streptococcus pneumoniae
 Ureaplasma urealyticum
Virus
 Cytomegalovirus
 Herpes simplex virus

3 minggu – Bakteria Bakteria


3 bulan  Clamydia trachomatis  Bordetella pertusis
 Streptococcus pneumoniae  Haemophillusinfluenza type B &
Virus non typeable
 Respiratory syncytial virus  Moxarella catarrhalis
 Influenza virus  Staphylococcus aureus

 Para influenza virus  Ureaplasma urealyticum


1,2 and 3 Virus
 Adenovirus  Cytomegalovirus

4 bulan – Bakteria Bakteria


5 tahun  Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenza type B
 Clamydia pneumoniae  Moxarella catarrhalis

16
 Mycoplasma pneumoniae  Neisseria meningitis
Virus  Staphylococcus aureus
 Respiratory syncytial virus Virus
 Influenza virus  Varicella zoster virus
 Parainfluenza virus
 Rhinovirus
 Adenovirus
 Measles

5 tahun – dewasa Bakteria Bakteria


 Clamydia pneumonia  Haemophillus influenza type B
 Mycoplasma pneumonia  Legionella species
 Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus
 Adenovirus
 Epstein barr virus
 Influenza virus
 Parainfluenza virus
 Rhinovirus
 Respiratory syncytial virus
 Varicella zoster virus

4. Faktor resiko

Faktor Anak Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pneumonia.18

1) Status Gizi

Status gizi yang kurang dan buruk dapat menyebabkan gangguan


sistem imun. Organ timus sangat sensitif terhadap malnutrisi
karena kekurangan protein dapat menyebabkan atrofi timus.
Hampir semua mekanisme pertahanan tubuh memburuk dalam
keadaan malnutrisi.

17
2) Umur Balita

Bayi dan balita memiliki mekanisme pertahanan tubuh yang


masih lemah dibanding orang dewasa, sehingga balita masuk ke
dalam kelompok yang rawan terhadap infeksi seperti influenza
dan pneumonia. Hal ini disebabkan oleh imunitas yang belum

sempurna dan saluran pernapasan yang relatif sempit.

3) Jenis Kelamin

Anak laki-laki adalah faktor risiko yang mempengaruhi kesakitan


pneumonia. Hal ini disebabkan karena diameter saluran
pernapasan anak laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan anak
perempuan atau adanya perbedaan dalam daya tahan tubuh antara

anak laki-laki dan perempuan.

4) Berat Badan Lahir

Bayi dengan berat lahir rendah pembentukan zat anti kekebalan


kurang sempurna, pertumbuhan dan maturasi organ dan alat- alat
tubuh belum sempurna akibatnya bayi dengan berat badan lahir
rendah lebih mudah mendapatkan komplikasi dan infeksi,
terutama pneumonia dan penyakit pernapasan lainnya. Pada saat
ini penanganan dan perawatan bayi dengan BBLR sudah semakin
baik sehingga bisa mengurangi angka kesakitan dan kematian

akibat BBLR

5) Riwayat ASI eksklusif

Kandungan ASI sudah lengkap yaitu terdiri dari lemak, protein,

karbohidrat, mineral, vitamin, dan unsur- unsur anti infektif. Bayi


yang baru lahir secara alamiah mendapat imunoglobulin dari
ibunya melalui plasenta. Namun kadar zat ini akan cepat sekali
menurun segera setelah bayi lahir. Badan bayi sendiri baru

18
membuat zat kekebalan cukup banyak sehingga mencapai kadar
protektif pada saat berusia sekitar 9-12 bulan. Pada saat kadar zat
kekebalan bawaan menurun, sedangkan yang dibentuk oleh badan
bayi belum mencukupi maka akan terjadi kesenjangan zat
kekebalan pada bayi. Prevalensi pemberian ASI eksklusif di
Indonesia masih dibawah angka yang ditargetkan. Berdasarkan
hasil wawancara terdapat berbagai alasan yang dikemukan oleh
ibu sehingga mereka tidak memberikan ASI eksklusif kepada

anaknya

6) Riwayat Imunisasi Campak, DPT, Hib

Imunisasi campak merupakan imunisasi yang digunakan untuk


mencegah penyakit campak pada anak karena termasuk penyakit

menular. Balita yang telah mendapatkan imunisasi campak


diharapkan dapat terhindar dari penyakit campak dan pneumonia
yang merupakan komplikasi paling sering terjadi pada anak yang
mengalami campak

7) Kebiasaan Anggota Keluarga Yang Merokok

Kegiatan merokok terutama dilakukan oleh kepala keluarga yaitu


ayah balita itu sendiri , kakek, saudara ibu atau ayah. Asap rokok
mengandung partikel seperti hidrokarbon polisiklik, karbon
monoksida, nikotin, nitrogen oksida dan akrolein yang dapat
menyebabkan kerusakan epitel bersilia, menurunkan klirens
mukosiliar serta menekan aktifitas fagosit dan efek bakterisida
sehingga mengganggu sistem pertahanan paru.

5. Manifestasi klinik

Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat
ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut :

19
a. Gejala infeksi umum, yaitu : demam, sakit kepala, gelisah,
malaise, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal
seperti : mual, muntah atau diare ; kadang-kadang ditemukan
gejala infeksi ekstrapulmoner.
b. Gejala gangguan respiratori, yaitu : batuk, sesak napas, retraksi
dada, takipnea, napas cuping hidung, merintih, dan sianosis.

Pneumonia berat pada anak ditandai dengan adanya gangguan pada


saluran nafas, termasuk retraksi dinding dada bagian bawah dan hipoksia.
Pada anak usia di bawah 5 tahun, retraksi dinding dada bagian bawah terjadi
karena mereka mempunyai tulang sternum yang lunak, tulang iga masih
horisontal dan perkembangan otot sela iga yang belum sempurna. Di saat
mereka berusaha meningkatkan tekanan negatif untuk mengembangkan
paru maka dinding dada bagian bawah akan tampak kolaps akibat adanya
konsolidasi dan obstruksi saluran nafas bagian bawah. Perubahan diameter
jalan nafas akibat adanya inflamasi akan menurunkan aliran udara yang
masuk. Diduga, hipoksia merupakan akibat dari gangguan primer proses
pernafasan atau perfusi. Apabila tidak segera ditangani, hipoksia dan
asidosis akan menyebabkan gagal nafas dan kematian. 21

6. Pathogenesis

Dalam keadaan sehat, pada paru tidak terjadi pertumbuhan


mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru. Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian
bawah sangat efisien untuk mencegah infeksi dan terdiri dari:14

1. Susunan anatomis rongga hidung


2. Jaringan limfoid di naso-oro-faring.
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius
dan sekret liat yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
4. Refleks batuk
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang
terinfeksi
6. Drainase sistem limfatik dan fungsi menyaring kelenjar limfe
regional.

20
7. Fagositosis, aksi enzimatik, dan respon immuno-humoral terutama
dari immunoglobilin A (IgA).

Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme penyebab


terhisap ke paru perifer melalui saluran napas menyebabkan reaksi
jaringan berupa edema yang mempermudah proliferasi dan penyebaran
kuman. Bronkhopneumonia dalam perjalanan penyakitnya akan

menjalani beberapa stadium, yaitu:14

1. Stadium kongesti .

(4-12 jam pertama). Mengacu pada peradangan permulaan yang


berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler. Ini terjadi akibat
pelepasan mediator peradangan dari sel mast. Mediator tersebut
mencakup histamin dan prostagladin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen bekerjasama dengan histamin dan
prostagladin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini menyebabkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitial sehingga
terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus, yang
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini paling berpengaruh dan
sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

2. Stadium hepatisasi merah (48 jam berikutnya).


Lobus dan lobulus yang terkena menjadi padat tidak mengandung
udara, warna menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar. Dalam
alveolus didapatkan fibrin, leukosit netrofil, eksudat, dan banyak
sekali eritrosit dan kuman. Stadium ini berlangsung sangat pendek.

3. Stadium hepatisasi kelabu (3-8 hari).

Lobus masih tetap padat dan warna merah berubah menjadi pucat
kelabu terjadi karena sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru

21
yang terinfeksi. Permukaan pleura suram karena diliputi oleh fibrin.
Alveolus terisi fibrin dan leukosit, tempat terjadi fagositosis
pneumococcus, kapiler tidak lagi kongestif.

4. Stadium resolusi (7-11 hari).

Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan dan eksudasi lisis.
Eksudat berkurang. Dalam alveolus makrofag bertambah dan leukosit
mengalami nekrosis dan degenerasi lemak. Fibrin diresorbsi dan
menghilang. Proses kerusakan yang terjadi dapat di batasi dengan
pemberian antibiotik sedini mungkin agar sistem bronkopulmonal
yang tidak terkena dapat diselamatkan.

7. Klasifikasi

WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas


dan retraksi subkosta untuk mengklasifikasikan pneumonia di negara
berkembang. Namun demikian, kriteria tersebut mempunyai sensitivitas
yang buruk untuk anak malnutrisi dan sering overlapping dengan gejala
malaria.

Klasifikasi pneumonia berdasarkan WHO dijelaskan pada tabel berikut 16:

Klasifikasi Anak usia < 2 bulan Anak usia 2 bulan – 5 tahun

Pneumonia Kesadaran turun, letargis Kesadaran turun, letargis


Sangat Berat Tidak mau menetek / Tidak mau minum
minum Kejang
Kejang Sianosis
Demam atau hipotermia Malnutrisi
Bradipnea atau
pernapasan ireguler
Pneumonia Napas cepat Retraksi (+)
Berat Retraksi yang berat Masih dapat minum

22
Sianosis (-)
Pneumonia Takipnea
Ringan Retraksi (-)

Tabel 2. Klasifikasi beratnya pneumonia berdasarkan WHO.16

Sedangkan dalam MTBS/IMCI, derajat keparahan dalam diagnosa


pneumonia dapat dibagi menjadi pneumonia berat yang harus dirawat inap
dan pneumonia ringan yang bisa rawat jalan.

Diagnosis Klinis Klasifikasi (MTBS)

Pneumonia berat (rawat inap) :


Penyakit sangat berat
1.tanpa gejala hipoksemia
2.dengan gejala hipoksemia (Pneumonia berat)
3.dengan komplikasi

Pneumonia ringan (rawat jalan) Pneumonia

Infeksi respiratorik akut atas Batuk : bukan pneumonis

Tabel 3. Hubungan antara diagnosisi klinis dan Klasifikasi


Pneumonia (MTBS).17

8. Diagnosis

A. Diagnosis menurut WHO (2009)19

1) Pneumonia ringan
Disamping mengalami batuk dan kesulitan bernapas, anak hanya
mengalami napas cepat dan tidak terdapat tanda-tanda pneumonia
berat

-Pada anak umur 2 bulan – 11 bulan : > 50 kali/menit


- Pada anak umur 1 bulan – 5 tahun : > 40 kali/menit

2) Pneumonia berat
Terdapat batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah
satu dari tanda berikut :

a)  Kepala terangguk-angguk

b)  Pernafasan cuping hidung

23
c)  Tarikan dinding dada bagian

bawah ke dalam

d)  Foto dada menunjukkan

gambaran pneumonia (infiltrat luas, konsolidasi, Selain itu


terdapat tanda lain yaitu nafas cepat, suara merintih, pada
auskultasi terdengar suara ronki, suara nafas menurun dan
bronkial. Dalam keadaan yang sangat berat dijumpai beberapa
tanda tambahan sehingga pengobatan berbeda, misalnya
pemberian oksigen dan jenis antibiotik. Tanda tersebut antara
lain:

i. Tidak dapat menyusu atau makan/minum, atau


memuntahkan semuanya
ii. Kejang, letargis atau tidak sadar
iii. Sianosis
iv. Distres pernafasan berat

B. pemeriksaan fisik. 19, 20


1) Pemeriksaan fisik umum

a)  Sianosis sentral

b)  Merintih/grunting, pernafasan cuping hidung, wheezing,

stridor

c)  Kepala terangguk- angguk (gerakan kepala yang sesuai


dengan inspirasi menunjukkan adanya distres pernafasan berat.

d) Peningkatan tekanan vena jugularis

e) Telapak tangan sangat pucat

2) Pada pemeriksaan paru didapatkan

a. Pekak perkusi

b. Suara napas menurun

c. Ronki

24
d. Gejala distress napas:

Peningkatan usaha bernapas (retraksi interkosta- subkosta-


supraternal, pernapasan cuping hidung, penggunaan otot
asesarius)
e. Apnea
Perubahan tingkat kesadaran
Bisa muncul hipoksia atau sianosis
Perlu dilakukan pemeriksaan saturasi oksigen
menggunakan pulseoxymetry
3) Pemeriksaan fisik dada.19

a) Frekuensi pernafasan (hitung nafas selama 1 menit ketika


anak tenang). Dikatakan nafas

cepat adalah :
Umur < 2 bulan : ≥ 60 kali
Umur 2- 11 bulan : ≥ 50 kali
Umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali
Umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali

b) Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest


indrawing)
c) Denyut apeks bergeser / trakea terdorong dari garis tengah
d) Auskultasi – crakles (ronkhi) atau suara napas bronkial
e) Irama derap pada auskultasi jantung
f) Tanda efusi pleura (redup) atau pneumotorak (hipersonor)
pada perkusi

I. Pemeriksaan fisik abdomen

a) Masa abdomen : cair, padat


b) Pembesaran hati dan limfa

II. pemeriksaan penunjang

25
Untuk mendukung diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang, yaitu: 22

a) darah perifer lengkap, Pemeriksaan darah lengkap


perfier pada pneumonia yang disebabkan oleh virus
biasanya leukosit dalam batas normal, namun pada
pneumonia yang disebabkan oleh bakteri didapatkan
3
leukositosis (15.000–40.000/mm ).Dengan dominan
3
PMN. Leukopenia (<5000/mm ) menunjukkan
prognosis yang buruk. Pada infeksi Chlamydia kadang–
kadang ditemukan eosinofilia. Pada efusi pleura
didapatkan sel PMN pada cairan eksudat berkisar 300-
3
100.000/mm , protein > 2,5 g/dl, dan glukosa relatigf
lebih rendah daripada glukosa darah. Kadang–kadang
terdapat anemia ringan dan LED yang meningkat.
b) C-reaktif Protein (CRP),CRP adalah suatu protein fase
akut yang disisntesis oleh hepatosit. Sebagai respon
infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara
cepat distimulasi oleh sitokin, terutama IL-6, IL-1 da
TNF. Meskipun fungsi pastinya belum diketahui, CRP
sangat mungkin berperan dalam opsonisasi
mikroorganisme atau sel rusak, secara klinis CRP
digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan
antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeki virus dan
bakteri, atau infeksi superfisial atau profundal
c) uji serologis, Uji serologik untuk mendateksi antigen
dan antibodi pada infeksi bakteri tipik mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Secara umum,
uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam
mendiagnosis infeksi bakteri tipik, namun bakteri atipik
sepert Mycoplasma dan chlamydia tampak peningkatan
antibodi IgM dan IgG

26
d) pemeriksaan mikrobiologis Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat diambil dari usap
tenggorok, sekret nasofaring,
e) pemeriksaan rontgen thoraks. Foto rontgen toraks pada
pneumonia ringan tidak rutin dilakukan, hanya
direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat.
Kelainan foto rontgen toraks pada pneumonia tidak
selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Kadang-
kadang bercak- bercak sudah ditemukan pada gambaran
radiologis sebelum timbul gejala klinis. Akan. tetapi,
resolusi infiltrat sering memerlukan waktu yang lebih
lama setelah gejala klinis menghilang. Pada pasien
dengan pneumonia tanpa komplikasi, ulangan foto
rontgen toraks tidak diperlukan. Ulangan foto rontgen
toraks diperlukan bila gejala klinis menetap, penyakit
memburuk, untuk tindak lanjut.Foto rontgen toraks AP
dan lateral hanya dilakukan pada pasien dengan tanda
dan gejala klinik distres pernapasan seperti takipnea,
batuk, dan ronki, dengan atau tanpa suara .napas yang
melemah.13

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:13

 Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan


bronkovaskular, peribronchial cuffing, dan hiperaerasi.
 Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air
bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus
disebut dengan pneumonia lobaris, atau terlihat sebagai
lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis,
berbatas yang tidak terlalu tegas, dan menyerupai lesi
tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia.
 Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus
merata pada kedua paru, berupa bercak-bercak infiltrat

27
yang dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai
dengan peningkatan corakan peribronkial.

Gambar 1. X-ray Anak dengan Pneumonia.20

Gambaran foto rontgen toraks pneumonia pada anak meliputi


infiltrat ringan pada satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua
paru. Pada suatu penelitian ditemukan bahwa lesi pneumonia pada
anak terbanyak berada di paru kanan, terutama di lobus atas. Bila
ditemukan di paru kiri, dan terbanyak di lobus bawah, maka hal itu
merupakan prediktor perjalanan penyakit lebih berat dengan risiko
terjadinya pleuritis lebih meningkat.13

Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan


kecenderungan etiologi pneumonia. Penebalan peribronkial,
infiltrat intersisial merata, dan hiperinflasi cenderung terlihat pada
pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau
lobar, bronkopneumonia, dan air bronchogram sangat mungkin
disebabkan oleh bakteri. Pada pneumonia Stafilokokus sering
ditemukan abses-abses kecil dan pneumatokel dengan berbagai
ukuran.13

Gambaran foto rontgen toraks pada pneumonia Mikoplasma


sangat bervariasi. Pada beberapa kasus terlihat sangat mirip dengan

28
gambaran foto rontgen toraks pneumonia virus. Selain itu, dapat
juga ditemukan gambaran bronkopneumonia terutania di lobus
bawah, infiltrat intersisial retikulonodular bilateral, dan yang jarang
adalah konsolidasi segmen atau subsegmen. Biasanya lesi foto
rontgen toraks lebih berat daripada gambaran klinisnya. Meskipun
tidak terdapat gambaran foto rotgen toraks yang khas, tetapi bila
terdapat gambaran retikulonodular fokal pada satu lobus, hal ini
cenderung disebabkan oleh infeksi Mikoplasma. Demikian pula
bila terlihat gambarán perkabutan atau ground-glass consolidation,
serta transient pseudoconsolidation karena infiltrat intersisial yang
konfluens, patut dipertimbangkan adanya infeksi Mikoplasma.
Gambaran radiologis pneumonia Klamidia sulit dibedakan dengan
pneumonia Mikoplasma.13

9. Tatalaksana

1) Pneumonia ringan.19

a) Anak di rawat jalan


b) Berikan antibiotik : Kortimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali
sehari selama 3 hari atau amoksisilin (25 mg/kg BB/kali) 2 kali
sehari selama 3 hari. Untuk pasien HIV diberikan selama 5 hari.

2) Pneumonia berat

a)  Anak dirawat di rumah sakit

b)  Terapi antibiotik

Berikan ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kg BB/kali IV atau


IM setiap 6 jam), dipantau dalam 24 jam selama 72 jam. Bila anak
memberi respon yang baik maka diberikan selama 5 har.
Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan
amoksisilin oral (15 mg/kg BB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari
berikutnya.

29
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau
terdapat keadaan yang berat (tidak dapat menyusu atau
minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau
tidak sadar, sianosis, distres pernafasan berat) maka ditambahkan
kloramfenikol (25 mg/kg BB/kali IM atau IV setiap 8 jam).

Bila pasien datang dengan keadaan klinis berat, segera


berikan oksigen dan pengobatan kombinasi ampisilin-
kloramfenikol atau ampisilin –gentamisin. Sebagai alternatif, beri
seftriakson (80-100 mg/kg BB IM atau IV sekali sehari). Bila anak
tidak membaik dalam 48 jam, maka bila memungkinkan foto dada.
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan
gentamisin(7,5 mg/kg BB IM sekali sehari) dan kloksasilin (50
mg/kg BB Im atau IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15 mg/kg
BB/hari-3 kali pemberian). Bila keadaan anak membaik, lanjutkan
kloksasilin atau dikloksasilin secara oral 4 kali sehari sampai
secara keseluruhan mencapai 3 minggu atau klindamisin secara
oral selama 2 minggu

c) Terapi oksigen

Berikan oksigen, jika tersedia pulse oximetri gunakan


sebagai panduan untuk terapi oksigen (berikan pada anak dengan
saturasi oksigen < 90%, bila tersedia oksigen yang cukup).
Lakukan periode uji coba tanpa oksigen setiap harinya pada anak
yang stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi tetap stabil >
90%.

Gunakan nasal prong untuk menghantarkan oksigen pada


bayi muda. Masker wajah atau maskr kepala tidak
direkomendasikan. Osigen harus tersedia secara terus- menerus
setiap waktu. Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia
(seperti tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat
atau napas ≥ 70x/menit) tidak ditemukan lagi. sebaiknya
memeriksa kateter dan nasal prong setiap 3 jam.

30
d) Perawatan penunjang

Bila anak disertai demam (≥390C) yang menyebabkan


distres, maka berikan parasetamol. Bila ditemukan adanya
wheeze, berikan bronkhidilator kerja cepat. Bila terdapat sekret
kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan, hilangkan
dengan alat penghisap secara perlahan. Pastikan anak memperoleh
kebutuhan cairan rumatan sesuai umur, anjurkan ASI dan cairan
oral. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan
berikan cairan rumatan sedikit tapi sering. jika oksigen diberikan
bersamaan dengan cairan nasogastrik, pasang keduanya pada
lubang hidung yang sama.

Bujuk anak untuk makan, segera setelah anak bisa menelan


makanan. Berikan makan sesuai dengan kebutuhannya dan sesuai
kemampuan anak dalam menerimanya.

e) Pemantauan

Pantau anak sedikitnya 3 jam dan oleh dokter minimal 1x


per hari. Jika tidak ada komplikasi, dalam 2 hari akan tampak
perbaikan klinis (bernafas tidak cepat, tidak ada tarikan dinding
dada, bebas demam dan anak dapat makan dan minum).

B. EFUSI PLEURA
1. Definisi
Efusi pleura adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan adanya

penimbunan cairan dalam rongga pleura. Efusi pleura, sebagai proses

penyakit primer jarang terjadi namun biasanya terjadi sekunder akibat

penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan jernih, yang mungkin merupakan

31
transudat, keruh yang mungkin merupakan eksudat, atau dapat berupa

darah atau pus.

Berdasarkan lokasi cairan yang terbentuk, efusi pleura dibagi menjadi


unilateral dan bilateral. Efusi yang unilateral tidak mempunyai kaitan
yang spesifik dengan penyakit penyebabnya, akan tetapi efusi yang
bilateral seringkali ditemukan pada penyakit : kegagalan jantung
kongestif, sindroma nefrotik, asites, infark paru, lupus eritematosis
sistemik, tumor dan tuberkulosis. 24

2. Epidemiologi
Efusi pleura pediatri lebih sering terjadi pada laki-laki daripada
perempuan dan juga pada anak remaja dibandingkan dengan yang lebih
tua. Insiden efusi pleura . pada anak tergantung jenis penyakit yang
mendasarinya. Efusi pleura masif yang menyebabkan empiema dapat
muncul pada 0,6-2% anak-anak dengan pneumonia bakteri. Efusi pleura
tuberkulosis biasanya terjadi pada anak usia remaja dan jarang terjadi
pada anak usia prasekolah. Distribusi efusi pleura menurut studi populasi
terjadi peningkatan di sebagian besar industri negara. Seperti di Amerika
Serikat terkait empiema tingkat rawat inap dari 2,2 per 100.000 pada
tahun 1997 hingga 3,7 per 100.000 anak pada tahun 2006. Menurut
sebuah penelitian pada populasi Spanyol, kejadian efusi pleura pada anak
dari usia 5 tahun meningkat dari 1,7 per 100.000 pada 1999 menjadi 8,5
per 100.000 pada tahun 2004.25

3. Etiologi
Kriteria klasifikasi dari penyebab efusi pleura merupakan :23
a. Efusi Tuberkulosis
Efusi pleura didiagnosis sebagai tuberkulosis apabila terdapat 1 dari
kriteria sebagai berikut: (1) terdapat nekrosis perkijuan pada biopsi
pleura, (2) pewarnaan Ziehl-Neelsen atau kultur Lowenstein dari
cairan pleura positif, (3) Pada pemeriksaan histologi ditemukan
granuloma tanpa nekrosis perkijuan dengan pemeriksaan sputum
BTA positif

32
b. Efusi Parapneumoni
Didefinisikan sebagai efusi pleura disertai demam dan batuk dan
terdapat efusi pleura bersifat eksudatif.
c. Efusi Maligna
Efusi maligna didiagnosis dengan analisis sitologi atau histologi
terdapat Sel adenocarcinoma atau sel mesentelial.
d. Efusi Cardiac
Efusi cardiac terdiagnosis apabila carian bersifat transudat serta
terdapat tanda klinis gagal jantung pada pasien.
e. Efusi sirosis hepatis
Efusi sirosis terdiagnosis apabila cairan bersifat transudat serta
terdapat tanda klinis sirosis hepatis pada pasien.
f. Efusi uremik
Efusi uremik terdiagnosis pada penderita dengan gagal ginjal dan
ureum tinggi, atau pada pasien dengan ureum tinggi tanpa penyebab
yang jelas.
g. Efusi SLE (Systematic Lupus Eritematous)
Efusi pada SLE adalah efusi yang terjadi pada pasien penderita SLE
dengan kultur bakteri negatif

4. Manifestasi klinik
Gejala yang paling sering timbul adalah sesak. Nyeri bisa timbul akibat
efusi yang banyak berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul. Efusi
menunjukkan tanda dan gejala yaitu sesak nafas, bunyi pekak atau datar
pada saat perkusi di atas area yang berisi cairan, bunyi nafas minimal
atau tak terdengar dan pergeseran trakea menjauhi tempat yang sakit.
Efusi ringan sesak bisa tidak terjadi. 23
Apabila dihubungkan dengan penyebabnya berupa pneumonia maka

gejala yang muncul adalah batuk, demam, sesak napas, menggigil.

Apabila penyebabnya bukan pneumonia, maka gejala pada anak mungkin

tidak ditemukan sampai efusi yang timbul telah mencukupi untuk

menimbulkan gejala sesak napas atau kesulitan bernapas.23

33
Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil,
dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril
(tuberkulosis), banyak keringat, batuk, banyak riak. Deviasi trachea
menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan
pleural yang signifikan.23

5. Patofisiologi
Cairan yang terakumulasi didalam kavum pleura umumnya timbul

apabila cairan yang diproduksi lebih banyak dibandingkan yang

diresorbsi. Hal ini bisa disebabkan karena adanya peningkatan tekanan

mikrovaskuler paru (contohnya pada kasus gagal jantung), berkurangnya

tekanan onkotik (pada kasus hipoproteinemia), peningkatan permeabilitas

mikrovaskuler, berkurangnya drainage limfatik (pada kasus limfangitis),

atau adanya defek pada diafragma sehingga cairan peritoneal dapat

masuk kedalam kavum pleura.25

Cairan yang terakumulasi didalam kavum pleura bisa berupa transudat,

eksudat, pus, darah ataupun chyle. Secara radiologi efusi pleura

umumnya akan memberikan gambaran radiologi yang hampir sama

sehingga sulit untuk dibedakan.25

Cairan pleura sebenarnya adalah cairan interseluler pleura parietal.

Oleh karena pleura parietal disuplai oleh sirkulasi sistemik sedangkan

tekanan didalam rongga pleura lebihrendah dibanding atmosfir, gradien

tekanan bergerak dari interselular pleura ke arah rongga pleura.25

Cairan pleura dapat menumpuk karena hal-hal berikut:23

34
a. Peningkatan tekanan hidrostatik di sirkulasi mikrovaskular. Studi
mengatakan bahwa peningkatan tekanan pada pembuluh kapiler
adalah pemicu penting dalam terjadinya efusi pleura pada penderita
gagal jantung.
b. Penurunan tekanan onkotik dalam sirkulasi mikrovaskular karena
hipoalbuminemia yang meningkatkan penumpukan cairan dalam
rongga pleura.
c. Peningkatan tekanan negatif pada rongga pleura juga membuat
meningkatnya akumulasi cairan pada rongga pleura. Hal ini dapat
terjadi pada ateletaksis
d. Peningkatan permeabilitas kapiler akibat mediator inflamasi. Hal
tersebut mengakibatkan lebih banyak protein dan cairan yang
masuk dalam rongga pleura, contohnya pada pneumonia.
e. Gangguan drainase limfatik dari permukaan pleura karena
penyumbatan oleh tumor dan fibrosis.

6. Diagnosis
Diagnosis efusi pleura dapat ditegakkan melalui anamnesis serta
pemeriksaan fisik yang teliti, diagnosis yang pasti melalui pungsi
percobaan, biopsi dan analisa cairan pleura.23
Pada anamnesis, pasien dengan efusi pleura biasanya memiliki sesak,
batuk, nyeri dada yang bersifat tajam. Riwayat gagal jantung, gagal
ginjal, dan penyakit hati dapat mengarahkan kepada efusi pleura yang
bersifat transudat. Sedangkan riwayat kanker dapat mengarah pada efusi
akibat keganasan. Pembengkakan pada ekstermitas, atau deep vein
thrombosis menunjukkan efusi yang berhubungan dengan embolisme
paru. Riwayat infeksi seperti pneumonia menununjukkan efusi
parapneumonik.23
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan fremitus taktil yang menurun
terutama pada daerah basal. Perkusi tumpul, kemudian suara nafas
vesikular yang menurun atau tidak ada sama sekali pada paru yang
terdapat efusi. Suara pleural friction rub mungkin juga terdengar selama
akhir inspirasi. 23

35
Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan,
karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang
bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada
perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan

membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu). Didapati segitiga


Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas
garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak
karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah
ini didapati vesikuler melemah dengan ronki.24
Untuk membantu menegakkan diagnosis dibutuhkan pemeriksaan
penunjang. Rontgen thoraks adalah suatu strategi imaging yang paling
sederhana untuk mengkonfirmasi adanya efusi pleura. Rontgen thoraks
dapat dilakukan dengan posisi AP, Lateral, dan dekubitus. Biasanya hasil
rontgen thoraks pasien efusi pleura menunjukkan adanya free-flowing
pleural fluid, sudut costofrenicus, dan Meniscus Sign (+). 24

7. Tatalaksana
Tujuan penobatan adalah untuk menemukan penyebab yang
mendasarinya : untuk mencegah reakumulasi cairan dan untuk
meringankan ketidaknyamanan, dipsnea, dan penurunan kerja sistem
pernapasan.26
Pengobatan spesifik, diarahkan pada penyebab yang mendasarinya : 26
1. Pemasangan chest tube dan water-seal drainage diperlukan
untuk drainase dan re-ekspansi paru-paru.
2. Tirah Baring
Tirah baring bertujuan untuk menurunkan kebutuhan oksigen
karena peningkatan aktifitas akan meningkatkan kebutuhan
oksigen sehingga dispneu akan semakin meningkat pula.
3. Modalitas pengobatan lainnya, termasuk pleurektomi
pembedahan (pemasangan kateter kecil yang menempel pada
botol penghisap)

C. DIARE AKUT
1. Definisi

36
Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali
perhari, disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau
tanpa lendir dan darah yang berlangsung kurang dari 14 hari. Diare
dibagi menjadi dua, yaitu diare akut dan diare persisten atau diare kronik.
Diare akut adalah diare yang berlangsung kurang dari 14 hari, sementara
diare persisten atau diare kronis adalah diare yang berlangsung lebih dari
14 hari.2 Pada kasus ini tergolong diare akut karena berlangsung kurang
dari 14 hari.
Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali
perhari, disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau
tanpa lendir dan darah yang berlangsung kurang dari satu minggu.1
Pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut: lama diare,
frekuensi, volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada/tidak lendir dan
darah. Bila disertai muntah: volume dan frekuensinya. Buang air kecil:
biasa, berkurang, jarang atau tidak kencing dalam 6-8 jam terakhir.
Makanan dan minuman yang diberikan selama diare. Adakah panas atau
penyakit lain yang menyertai seperti: batuk, pilek, otitis media dan
campak.(2)

2. Epidemiologi
Diare masih menempati urutan ketiga sebagai penyebab kematian
terbanyak untuk anak-anak dibawah lima tahun. diperkirakan sebanyak
800.000 kematian dibawah lima tahun disebabkan oleh diare pada tahun
2010, yang merupakan 11% dari total kematian dibawah lima tahun.

dengan sekitar 80% kematian ini terjadi di Afrika dan Asia tenggara.
Survei angka kesakitan (morbiditas) yang dilakukan Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia sejak tahun 2000 hingga 2010 terlihat
adanya kecenderungan peningkatan kasus diare utamanya pada anak.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diare
tersebar di antara semua kelompok usia dengan angka terbanyak
didapatkan pada balita berusia 1-4 tahun (16,7%). Berdasarkan jenis
kelamin, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki
maupun perempuan (8,9% vs 9,1%). Berdasarkan penyebab kematian

37
bayi, diare (31,4%) masih menjadi momok diikuti oleh pneumonia
(23,8%). 4

3. klasifikasi
Diare diklasifikasikan menjadi beberapa jenis menurut karakteristiknya

seperti berdasarkan waktu (akut dan kronis) dan karakteristik fesesnya

(cair, berlemak, radang, dll). Durasi diare adalah hal penting karena

bentuk akut biasanya dikarenakan beberapa agen infeksi, keracunan, atau

alergi makanan. meskipun begitu diare akut bisa juga menjadi gejala dari

penyakit organik atau fungsional kronis. Diare cair merupakan gejala dari

beberapa kelainan dalam penyerapan air ulang dikarenakan

ketidakseimbangan antara sekresi dan absorpsi elektrolit (diare

sekretorik) atau tercernanya substansi yang usus tidak dapat

menyerapnya kembali (diare osmotik). 4


Diare dengan lemak yang banyak mungkin dikarenakan rendahnya

absorbsi lipid di usus yang dikarenakan buruknya pencernaan, dan diare

radang jika ada mucus dan pus. Perbedaan antara diare sekretori dan

osmotic ditegakkan melalui klinis dengan cara mengeliminasi beberapa

penyebab diare osmotik yang umumnya sedikit. Diare osmotik

dikarenakan pencernaan garam (magnesium sulfat atau fosfat) atau

polisakarida (mannitol, sorbitol) yang tidak siap untuk dicerna, atau

untuk defek beberapa enzim di mukosa usus (contohnya kurangnya

laktase). Diare osmotik berhenti saat pasien puasa, atau saat subtansi

yang tidak siap diserap tidak lagi dicerna. Diare sekretori, berlanjut

meskipun pasien telah berhenti makan. Diare sekretori mungkin

disebabkan oleh beberapa faktor, antara endogen atau exogen, yang

menentukan ketidakseimbangan antara absorpsi dan sekresi elektrolit.

38
Diantara penyebab diare sekretori, terdapat juga abnormalitas motilitas

usus, keduanya merupakan penyakit primer dan sekunder terhadap

penyakit metabolik maupun neuro-endokrin sistemik. 4

4. Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya diare akut pada anak antara lain: tidak
memberikan ASI secara penuh untuk waktu 4-6 bulan pertama kehidupan
bayi, tidak memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja,
kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk, penyiapan dan
penyimpanan makanan yang tidak higienis. Untuk kelompok umur 6-11
bulan lebih banyak terjadi diare terutama pada saat diberikan makanan
pendamping ASI yang mungkin terkontaminasi oleh mikroorganisme,
kontak langsung pada mikroorganisme pada saat bayi belajar merangkak.
serta pada umur tersebut telah terjadi penurunan kadar antibodi ibu, dan
kurangnya kekebalan aktif bayi.3
Mekanisme dasar yang dapat menyebabkan timbulnya diare pada anak
adalah 3
1. Gangguan osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi sehingga
terjadi pergeseran air dan elektrolik ke dalam rongga usus.
2. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin dari virus atau bakteri)
pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolik ke
dalam rongga usus dan selanjutnya timbul diare karena terdapat
peningkatan isi rongga usus.
3. Gangguan motilitis usus
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan
usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare. Sebaliknya bila
peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri timbul
berlebihan.

39
5. Etiologi
Adapun penyebab diare pada anak dapat dilihat pada bagan berikut.2

Penyebab terbanyak diare akut pada anak-anak dinegara berkembang


adalah rotavirus, escherichia coli enterotoksigenik, shigella, vibrio cholera,
sallmonella, dan E. coli enteropatogenik. Setiap infeksi bakteri atau virus
memiliki gambaran khas masing-masing, meskipun pemeriksaan kultur
merupakan pemeriksaan pasti untuk mengetahui penyebab dari diare. Tabel
dibawah ini merupakan ciri-ciri dari beberapa agen infeksius penyebab
diare.3Adapun jenis diare berdasarkan lama diare yaitu diare akut dan diare
persisten. Diare akut adalah diare yang berlangsung kurang dari 14 hari. Diare
persisten adalah diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.1

40
6. Patofisiologi
Pada umumnya, virus penyebab diare masuk kedalam tubuh melalui
saluran pencernaan, menginfeksi enterosit, dan menimbulkan kerusakan villii
usus halus. Enterosit yang rusak akan digantikan oleh enterosit berbentuk
kuboid atau epitel gepeng yang belum matang secara struktur dan fungsi. Hal
ini yang menyebabkan villii mengalami atropi sehingga tidak dapat menyerap
makanan dan cairan secara maksimal. Makanan dan cairan yang tidak terserap
dengan baik tersebut akan menyebabkan peningkatan tekanan osmotik usus
dan meningkatkan motilitas usus, pada akhirnya akan timbul diare. Namun
perlu diketahui bahwa diare yang disebabkan oleh virus akan mengalami
perbaikan dalam waktu 3 hingga 5 hari tergantung kondisi fisik anak. Pasien
sembuh saat enterosit yang rusak sudah digantikan oleh enterosit baru dan
serta berfungsi normal (mature).4
Diare yang disebabkan oleh bakteri diklasifikasikan menjadi dua
golongan yaitu bakteri non infasif dan bakteri infasif. Bakteri non infasif
diantaranya Vibrio cholera dan E coli (EPEC, ETEC, EIEC). Bakteri infasif
diantaranya adalah Salmonella sp, E. colii hemorrhagic (EHEC) dan
Campylobacter sp. Bakterii tipe non infasif dan bakteri infasif dapat
menimbuklan tanda tanda infeksi melalui salah satu mekanisme yang
berhubungan dengan proses transpor ion dalam sel-sel usus cAMP,
cGMP, dan Ca dependen. Patogenesis diare oleh bakteri non infasif
dalam tubuh masuk melalui saluran pencernaan yang tercemar oleh
makanan kurang higienis. Didalam lambung, seluruh komponen bakteri
akan dihancurkan oleh asam lambung. Namun, perlu diperhatikan bahwa
saat bakteri yang masuk memiliki jumlah yang cukup banyak, bakteri
akan melanjutkan proses infeksi menudu duodenum. Dalam duodenum
bakteri berkembang biak hingga 100 juta koloni. Didalam membrane,
bakteri mensekresi toksin subunit A dan subunit B. Toksin subunit B
menempel pada membran subunit A dan akhirnya bersentuhan dengan
membrane sel. Akhirnya, akan terjadi rangsangan sekresi dan hambatan

41
absorpsi cairan, hal ini menyebabkan volume cairan lumen usus
bertambah banyak. Jika cairan melebihi 4500 ml atau kapasitasnya
untuk menyerap maka terjadilah diare. 4

7. Manifestasi Klinik
Cara penularan diare pada umumnya melalui fekal-oral yaitu melalui
makanan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen atau kontak
langsung tangan dengan penderita atau barang-barang yang telah tercemar
tinja penderita atau tidak langsung melalui lalat. Melalui 4F {finger (jari-jari
tangan), flies (lalat), fluid (cairan), fiel`d (lingkungan)}. 2
Infeksi usus menimbulkan tanda dan gejala gastrointestinal. Gejala
gastrointestinal bisa berupa diare, kram perut dan muntah. Bila terdapat panas
dimungkinkan karena proses peradangan atau akibat dehidrasi. Panas badan
umumnya terjadi pada penderita dengan inflammatory diare. Nyeri perut yang
lebih hebat dan tenesmus yang terjadi pada perut bagian bawah serta rectum
menunjukkan terkenanya usus besar.2 Pada kasus ini, pasien tidak mengalami
demam/panas.5
Mual dan muntah adalah simptom yang non spesifik akan tetapi
muntah mungkin disebabkan oleh karena faktor organisme yang menginfeksi
saluran cerna bagian atas seperti: enterik virus, bakteri yang memproduksi
enterotoksin, Giardia, dan Cryptosporidium.2
Tabel 1. Gejala khas diare akut oleh berbagai penyebab2
Tanda& Rotavirus ETEC EIEC Salmonella Shigella Kolera
Gejala Disentri
Mual/ Sering + - Sering Jarang Sering
muntah
Demam + - ++ ++ ++ -

Nyeri Tenesmus - tenesmus Tenesmus Tenesmus, Kram


perut kram kolik kram
Gejala anoreksia Meteoris Infeksi Bakteremia kejang -
lain mus sistemik
Sifat Tinja

42
Volume Sedang Banyak Sedikit Sedikit Sedikit Banyak
Frekuensi 5-10 Sering Sering Sering >10x Terus
kali/hari /hari menerus
Konsisten Cair Cair Lembek Lembek Lembek Cair
si
Darah - - + Kadang + Sering + -
Bau Langu + - Bau telur Bau tinja Amis
busuk
Warna Kuning Warna Merah Kehijauan Merah Seperti air
kehijauan tinja hijau hijau cucian
beras
Leukosit - - + + + -

Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi
denyut jantung dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari
tanda-tanda utama dehidrasi: kesadaran, rasa haus dan turgor kulit abdomen dan
tanda-tanda tambahan lainnya: ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata
cowong atau tidak, ada atau tidaknya air mata, bibir, mukosa mulut dan lidah
kering atau basah.2 Dari hasil pemeriksaan fisik diperoleh turgor kulit abdomen
kembali cepat. Auskultasi abdomen peristaltik usus (+), kesan meningkat.6
Penilaian derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara: objektif yaitu
dengan membandingkan berat badan sebelum dan selama diare. Penilaian secara
subjektif, salah satunya dengan menggunakan kriteria WHO.

Penilaian A B C
Keadaan Baik, Sadar Gelisah, Rewel Lesu, Lunglai atau
Umum tidak sadar
Mata Normal Cekung Sangat Cekung
Air Mata Ada Tidak Ada Kering
Mulut dan Basah Kering Sangat Keing
Lidah

Rasa Haus Minum Biasa, Haus, ingin Malas minum atau

43
tidak haus minum banyak tidak minum
Turgor Kembali Cepat Kembali Lambat Kembali sangat
lambat
Hasil Tanpa Dehidrasi Dehidrasi Dehidrasi Berat
Pemeriksaan ringan/sedang (Bila ada 1 tanda
(Bila ada 1 tanda di tambah 1 atau
ditambah atau lebih tanda lain)
lebih tanda lain)
Terapi Rencana Terapi Rencana Terapi B Rencana Terapi
A C
Tabel 2. Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO
Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak
diperlukan, hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya
penyebab dasarnya tidak diketahui atau ada sebab-sebab lain selain diare akut
atau pada penderita dengan dehidrasi berat. Contoh: pemeriksaan darah lengkap,
kultur urin dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran kemih. Pemeriksaan
laboratorium yang kadang-kadang diperlukan pada diare akut:
- Darah: darah lengkap, serum elektrolit, analisis gas darah, glukosa darah,
kultur dan tes kepekaan terhadap antibiotik.
- Urine : urin lengkap, kultur dan tes kepekaan terhadap antibiotic
- Tinja : Pemeriksaan makroskopis, pemeriksaan tinja makroskopis perlu
dilakukan pada semua penderita dengan diare meskipun pemeriksaan
laboratorium tidak dilakukan Pemeriksaan mikroskopis, untuk mencari adanya
leukosit dapat memberikan informasi tentang penyebab diare, letak anatomis,
serta adanya proses peradangan mukosa. 2

8. PENATALAKSANAAN
Prinsip dari tatalaksana diare pada balita adalah LINTAS DIARE
(Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang didukung oleh Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI) dengan rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan satu-satunya
cara untuk mengatasi diare tetapi memperbaiki kondisi usus serta
mempercepat penyembuhan/menghentikan diare juga menjadi cara untuk
mengobati diare. Untuk itu Kementerian Kesehatan telah menyusun Lima
Langkah Tuntaskan Diare, (LINTAS DIARE), yaitu:

44
prioritas managemen diare akut dengan dehidrasi ringan sedang adalah
menggantikan jumlah kebutuhan cairan yang diperlukan tubuh.
1. Rehidrasi menggunakan oralit osmolalitas rendah
Berikan oralit sesuai yang dianjurkan selama periode 3 jam. Jumlah
oralit yang diperlukan = berat badan (dalam kg) x 75 ml.
Setelah 3 jam:
a. Ulangi penilaian dan klasifikasikan kembali derajat dehidrasi
b. Pilih rencana terapi yang sesuai untuk melanjutkan pengobatan.
c. Melanjutkan memberi makan pasien
Jika ibu memaksa pulang sebelum pengobatan selesai:
1. Mengajarkan ibu cara menyiapkan cairan oralit di rumah.
2. Menjelaskan aturan perawatan diare di rumah:
1) Beri cairan tambahan
2) Lanjutkan pemberian tablet zinc sampai 10 hari
3) Lanjutkan pemberian makan
Oralit adalah campuran garam elektrolit yang terdiri atas Natrium klorida
(NaCl), Kalium Klorida (KCl), sitrat dan glukosa. Oralit osmolaritas rendah
telah direkomedasikan oleh WHO dan UNICEF (United Nations
International Children's Emergency Fund).1
2. Zink diberikan selama 10 hari berturut-turut
a. Anak < 6 bulan = 10 mg (1/2 tablet) per hari
b. Anak > 6 bulan = 20 mg (1 tablet) per hari
Zink termasuk mikronutrien yang berperan dalam sistem kekebalan
tubuh dan merupakan mediator potensial pertahanan tubuh terhadap
infeksi. Pemberian zink dapat menurunkan frekuensi dan volume buang
air besar sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya dehidrasi pada
anak7.
Zinc berperan di dalam sintesa Dinukleosida Adenosin (DNA) dan
Ribonukleosida Adenosin (RNA), dan protein. Maka bila terjadi defisiensi
Zinc dapat menghambat pembelahan sel, pertumbuhan dan perbaikan
jaringan. Zinc umumnya ada di dalam otak, dimana zinc mengikat
protein.8
Mekanisme kerja Zinc untuk terapi diare mempengaruhi system imun
(pertahanan tubuh) spesifik humoral ataupun selular dan mempengaruhi

45
proses penyerapan intestinal dan/atau proses transport sekretorik. Sleian
itu Zinc juga memiliki efek penghambatan antimikroba, seperti
Salmonella thypi, Salmonella parathypi A, Shigella flexneri, Shogella
sonnei.8
3. Teruskan pemberian ASI dan makanan
ASI dan makanan dengan menu yang sama saat anak sehat sesuai umur
tetap diberikan untuk mencegah kehilangan berat badan dan sebagai
pengganti nutrisi yang hilang. Adanya perbaikan nafsu makan menandakan
fase kesembuhan. Anak tidak boleh dipuasakan, makanan diberikan
sedikit-sedikit tapi sering (lebih kurang 6 x sehari), rendah serat, buah
buahan.5
4. Antibiotik selektif
Antibiotik diberikan bila ada indikasi, misalnya disentri (diare
berdarah) atau kolera. Pemberian antibiotik yang tidak rasional akan
mengganggu keseimbangan flora usus sehingga dapat memperpanjang
lama diare dan Clostridium dificile akan tumbuh yang menyebabkan diare
sulit disembuhkan. Antibiotik pada umumnya tidak diperlukan pada semua
diare akut oleh karena sebagian besar diare infeksi adalah rotavirus yang
sifatnya self-limited dan tidak dapat dibunuh dengan antibiotika. Hanya
sebagian kecil (10-20 %) yang disebabkan oleh bakteri patogen seperti
Shigella, Salmonella, Enterotoxin E. Coli, Enteroinvasif E. Coli dan
sebagainya.7
5. Nasehat kepada orangtua/pengasuh
Orangtua diminta untuk membawa kembali anaknya ke Pusat
Pelayanan Kesehatan bila ditemukan hal sebagai berikut: demam, tinja
berdarah, makan atau minum sedikit, sangat haus, diare makin sering, atau
belum membaik dalam 3 hari. Orangtua dan pengasuh diajarkan cara
menyiapkan oralit secara benar. Langkah promotif/preventif : (1) ASI tetap
diberikan, (2) kebersihan perorangan, cuci tangan sebelum makan, (3)
kebersihan lingkungan, buang air besar di jamban, (4) immunisasi campak,
(5) memberikan makanan penyapihan yang benar, (6) penyediaan air
minum yang bersih, (7) selalu memasak makanan.9
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus diare akut
yakni pemeriksaan feses, analisis gas darah dan pemeriksaan elektrolit.

46
Pemeriksaan feses atau tinja tidak rutin dilakukan pada diare akut, kecuali
apabila ada tanda intoleransi laktosa dan kecurigaan amubiasis. Hal yang
dinilai pada pemeriksaan tinja berupa makroskopis yakni konsistensi,
warna, lendir, darah, bau dan mikroskopis berupa leukosit, eritrosit,
parasit, bakteri, dan pemeriksaan kimia feses berupa PH, elektrolit (Na, K,
HCO3). Selain itu dapat pula dilakukan kultur atau biakan feses dan uji
sensitivitas (kepekaan terhadap antibiotika). Selain pemeriksaan feses
dapat pula dilakukan pemeriksaan analisis gas darah dan elektrolit (jika
secara klinis dicurigai adanya gangguan keseimbangan asam basa dan
elektrolit) pada kasus dehidrasi berat.9

9. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada diare akut adalah gangguan
elektrolit seperti: hipernatremia, hiponatremia, hiperkalemia, hipokalemia, dan
kejang. Adanya karbonat yang hilang menyebabkan pernapasan kussmaull.
Kehilangan cairan dalam jumlah yang besar dapat berujung pada kematian.10

47
BAB IV
KESIMPULAN

1. Pneumonia secara klinis didefinisikan sebagi suatu peradangan paru yang


disebabkan oleh mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur dan parasit, akan
tetapi tidak termasuk yang disebabkan oleh bakteri M.tuberculosis. Gejala
infeksi umum, yaitu : demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu
makan, keluhan gastrointestinal seperti : mual, muntah atau diare ; kadang-
kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner. Gejala gangguan respiratori,
yaitu : batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung,
merintih, dan sianosis
2. Efusi pleura adalah adanya penimbunan cairan dalam rongga pleura. Efusi
pleura, sebagai proses penyakit primer jarang terjadi namun biasanya terjadi
sekunder akibat penyakit lain. Efusi pleura lebih sering terjadi pada laki-laki
daripada perempuan dan juga pada anak remaja dibandingkan dengan yang
lebih tua. Insiden efusi pleura pada anak tergantung jenis penyakit yang
mendasarinya. penyebab efusi pleura merupakan Efusi Tuberkulosis, Efusi
Parapneumoni, Efusi Maligna, Efusi Cardiac, Efusi sirosis hepatis, Efusi
uremik, Efusi SLE (Systematic Lupus Eritematous)
3. Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari,
disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan
darah yang berlangsung kurang dari 14 hari. Prinsip dari tatalaksana diare
pada balita yang didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dengan
rekomendasi WHO : Rehidrasi menggunakan oralit osmolalitas rendah, Zink
diberikan selama 10 hari berturut-turut, Teruskan pemberian ASI dan
makanan, Antibiotik selektif, Nasehat kepada orangtua/pengasuh

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi Edisi


pertama, Jakarta : Badan Penerbit IDAI, 2012.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Tata Laksana Diare Pada Balita.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012.
3. FKUI. Gastroenterologi Anak Praktis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1994.
4. Indriyani, D, P, R., Putra I, G, N, S. 2020. Penanganan Terkini Diare Pada Anak :
Tinjauan Pustaka.Volume 11 (2) : 928-932.
5. Juffrie, M. et al. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi Jilid 1. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2012.
6. UKK Gastroenterologi Hepatologi IDAI. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi
Jilid I Cetakan Ketiga. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2012.
7. Departemen Kesehatan RI, Manajemen Terpadu Balita Sakit, Departemen
Kesehatan RI, Jakarta, 2008
8. Behrman, R. E., Kliegman, R., Arvin, A. M. Nelson Textbook of Pediatrics 19th
Edition. Hal 23,58. Philadelphia: Elsevier. 2015
9. Sudaryat, S. Gastroenterologi Anak, Kapita Selekta. FK UNUD/RS Sanglah-
denpasar. 2010.
10. Rudolph, A. M. et al. Buku Ajar Pediatri Rudolph Edisi 20 Volume 3. Jakarta:
EGC. 2014.
11. Arlini, Y . Diagnosis Community Aquired Pneumonia (CAP) dan Tatalaksana
Terkini . Bagian Pulmunologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala. 2015
12. Bahri., Asikin, S.B., Gunung Sari Medical Clinik. Faktor Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Rumah Sakit Tingkat Ii Pelamonia
Makassar . 2019 ; XI (2).
13. Ikatan Dokter anak Indonesia. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama . Jakarta :
Badan Penerbit IDAI, 2008
14. Andy Samuel . J . Bronkopneumonia On Pediatric Patient. Agromed Unila, 2014;
1(2).

49
15. Adityo, R., Aditya, M. Diagnosis dan Tatalaksana Bronkopneumonia pada Bayi
Laki-laki Usia 8 Bulan. J Agromed Unila, 2015;2 (2).
16. Hegar, Badriul. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta : IDAI. 2009.
17. Latief, Abdul, dkk. Pelayanan Kesehatan anak di rumah sakit standar WHO.
Jakarta : Depkes. 2009.
18. Rigustia, R., Zeffira, L., Vani, A.T. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan
Kejadian Pneumonia pada Balita Di Puskesmas Ikur Koto
Kota Padang. Heme, 2019; 1(1).
19. Seyawati, A., Marwiati. Tata Laksana Kasus Batuk Dan Atau Kesulitan Bernafas :
Literature Review. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 2018;9(1).
20. Udin, M.F. Buku Praktis Penyakit Respirasi pada Anak untuk Dokter Umum.
Malang : UB Press. 2019.
21. Rahayu, A.S. Pneumonia pada Anak. 2011;3(2).
22. Fadhila. A. Penegakan Diagnosis Dan Penatalaksanaan Bronkopneumonia Pada
Pasien Bayi Laki-Laki Berusia 6 Bulan. Medula, 2013;1(2).
23. Puspita, I., Soleha, T.U., Berta, G. Penyebab Efusi Pleura di Kota Metro pada
tahun 2015. J AgromedUnila, 2017; 4(1).
24. Harjanto, A.R., Nurdin, F., Rahmanoe, M. Efusi Pleura Sinistra Masif Et Causa
TB pada Anak. Majority, 2018;7(3).
25. Afsharpaiman. Pleural Effusion in Children: A Review Article and Literature
Review. International Journal of Medical Reviews Review Article International
Journal of Medical Reviews Winter, 2016;3(1)
26. Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, edisi 8. Jakarta : EGC. (2013).

50
51

Anda mungkin juga menyukai