Anda di halaman 1dari 27

Presentation schedule:

CASE REPORT

DIPHTERIA IN 6 YEARS-7 MONTH OLD BOY

AUTHOR :

Yuliawati

SUPERVISOR :

Dr. MMDEAH. Hapsari, Sp.A(K)

DEPARTMENT OF PEDIATRICS
MEDICAL FACUTY DIPONEGORO UNIVERSITY/ DR. KARIADI
HOSPITALSEMARANG
2021
DAFTAR ISI

hal
HALAMAN JUDUL............................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................... ii
ABASTRAK....................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................
BAB II KASUS..............................................................................
BAB III TINJAUAN
PUSTAKA.......................................................
3.1 Difteri
a Diagnosis difteri
b Klasifikasi diagnosis difteri
c Tatalaksana difteri
d Prognosis
3.2 Bronkopenumonia
a Diagnosis bronkopneumonia
b Tatalaksana bronkopneumonia
3.3 Penyakit jantung bawaan
a Diagnosis PJB
b Tatalaksana PJB
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Difteri
4.2 Bronkopneumonia
4.3 Penyakit jantung bawaan
BAB V KESIMPULAN...................................................................
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................
ABSTRAC

Background : Diphtheria is an acute toxin-mediated disease caused


by Corynebacterium diphtheria and it is remains a health problem in Asia,
including Indonesia. Complications of diphtheria breathing problems is one
that can be severe enough to cause death. If treated appropriately and early
in the infection, the prognosis for diphtheria is usually good;

Objective to improve understanding of the diagnosis, management,


monitoring and prognosis of diphteria.

Presentasi kasus : Anak laki-laki 6 tahun 7 bulan dengan tonsilitis difteri


dengn komplikasi sumbatan jalan nafas, dan PJB. Konfirmasi difteri
didapatkan dari hasil swab hari ke 2 dan kultur positif hari ke ..... Dilakukan
trakeostomi saat masuk, dan dirawat d iruang isolasi PICU. Antibiotik prokain
penislin dan ADS serta pemantauan EKG dan swab tenggorok hari. Pasien
dinyatakan sembuh setelah perawatan selama 11 hari.
Kesimpulan : Tatalaksana cepat dan tepat mendukung kesembuhan anak
dengan difteri
BAB I
PENDAHULUAN

Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria,


merupakan bakteri gram positif fakultatif anaerob, merupakan penyakit yang
sangat menular yang disebarkan melalui kontak fisik langsung atau
menghirup sekresi aerosol dari individu yang terinfeksi. Predileksi infeksi
kuman difteri umumnya pada tonsil, faring, dan/atau hidung..1,2
Angka kematian difteri pada anak usia di bawah 5 tahun diperkirakan
20%. Difteri paling sering terjadi di daerah di mana orang tinggal dalam
kondisi padat dengan sanitasi yang buruk. Anak-anak, yang tidak diimunisasi
atau imunisasi tidak lengkap paling berisiko. 1,3,5 (kepustakaan 4?)
Pengobatan difteri ditujukan untuk netralisasi toksin bebas dan
pemberantasan C. diphtheriae dengan penggunaan antibiotik. Pemberian
anti-toksin harus didasarkan pada lokasi, ukuran membran, derajat toksisitas
dan durasi penyakit. Lima puluh prosen dari pasien yang sembuh dari difteri
tetap mengalami infeksi ulang karena kekebalan yang tidak berkembang
sempurna. Imunisasi difteri tetap merpakan indikasi setelah pasien sembuh5,7
Dilaporkan kasus anak laki-laki berusia 6 tahun 7 bulan dengan difteri
dengan komplikasi obstruksi jalan nafas atas dan suspek miokarditis. Pasien
dinyatakan sembuh setelah perawatan selama 11 hari.
Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk meningkatkan pemahaman
tentang diagnosis, tatalaksana, monitoring dan prognosis difteri.
BAB II
LAPORAN KASUS

Anak ATL,laki-laki usia 6 tahun 7 bulan asal ................. masuk RS 15


Januari 2020. No. CM: C660xxx.

Alloanamnesa diperoleh dari Ibu dan catatan medis.

Keluhan utama : Rujukan RSND dengan suspek difteri.

Riwayat penyakit sekarang : 2 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS),


anak pilek, kemudian dibawa berobat namun tidak ada perbaikan. Sehari
SMRS anak tiba-tiba sesak, leher pasien tampak membengkak. Tidak ada
demam dan suara serak. Anak semakin sesak dan dibawa ke RSND dan
dicurigai difteri dirujuk ke RSDK.

Riwayat penyakit dahulu : baru pertama kali sakit seperti ini.


Riwayat penyakit keluarga Tidak ada riwayat penyakit seperti itu dalam
keluarga dan teman sekelasnya.
Riwayat sosial ekonomi:......................
Riwayat perinatal : .....................
Riwayat imunisasi : imunisasi dasar lengkap, booster tidak pernah dilakukan
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan: perkembangan menurut usia

Pohon keluarga
PEMERIKSAAN FISIK (IGD 16 Januari 2020)

Laki-laki 6 tahun 7 bulan BB 16 kg, TB 102 cm,WAZ -1,83,HAZ -2,80,BMI


0,05.

Keadaaan umum : sadar, tampak sangat sesak,nafas cuping, terdengar


stridor. leher kiri kanan tampak bengkak dan tidak demam.

Tanda vital : tekanan darah (TD): 99/49 mmHg denyut jantung (HR) 128 x/
menit Nadi : reguler, i/t cukup,laju pernafasan (RR) : 40 x/menit, suhu (t) :
36,70C, ,SpO2: 92-94% dengan O2 nasal ,

Wajah tidak edema, tonsil T4-T3, hiperemis, terdapat pseudomembran,


berdarah jika dilepas. Leher: bullneck (+), teraba pembesaran noduli
limpatisi.

Dada : simetris, retraksi suprasternal. Paru : suara dasar vesikuler, terdapat


suara hantaran dan ronkhi. Bunyi jantung I-II normal, bising kontinyu derajat
IV/6 punctum maximum (PM) di infra klavikula, thrill (+) gallop (-). Abdomen:
datar, supel, bising usus normal, hepar dan limpa tak teraba. Ekstremitas:
tidak ada akral dingin dan sianosis.

Hasil pemeriksaan laboratorium: Hb 11 g/dL, Ht 35,2%, leukosit 38000/mm3,


trombosit 148.000/mm3. GDS 89 mg/dL SGOT 53 U/L,SGPT 31 U/L,Ureum
36 mg/dL. Kreatinin 0,8 mg/dL , Natrium 135 mmo/L, kalium 4,9 mmo/L
klorida 96 mmo/L kalsium 2,3 mmo/L CKMB 223 U/L..Hitung jenis(%);
eosinofil 0, basofil 0, batang 2,segmen 33, limfosit 40, monosit 25. Gambaran
darah tepi;eritrosit sebaran agak longgar mikrositik,poikilositosis
ringan,trombosit estimasi jumlah sulit dinilai,clumping (+),leukosit estimasi
jumlah peningkat,limfositosis (+) atipikal.

Pemeriksaan urinalisis : jernih, protein 100....., nitrit (+), lekosit 5,6, eritrosit
7,8...... bakteri 97,6........
Analisa gas darah (AGD) : pH 7.431 ,pCO2 37.4 mmHg, PO2 172.7 mmHg,
Temp 37.00C FiO2 44.0 %, HCO3- 25.1 mmol/L , BE (B) 1.5 mmol/L, SO 2c
99.2%, A-aDO2 98.9, RI 0.6.

Pemeriksaan rontgent thoraks (15/1/2020): kesan kardiomegali, gambaran


edema pulmonum mungkin disertai pneumonia.

Diagnosis

1. Probable tonsilitis difteri dengan gangguan nafas berat


2. Bronkopneumonia
3. Penyakit Jantung Bawaan
o Diagnosis etiologi: penyakit jantung bawaan asianotik
o Diagnosis anatomi: patent ductus arteriosus (PDA),suspek
miokarditis
o Diagnosis fungsional: gagal jiantung NYHA III.

Tatalaksana

1. Infus D10% 436 cc + D40 % 19 cc + NaCl 3% 29 cc + KCl otsuka 7 ml +


kalsium glukonas 10% 8ml jalan 25 ml/jam dengan infus pump.
2. Infus protein 5 % 324/14 ml/jam (1 g/kgBB/hari)
3. Drip dobutamin 5 mcg/jam
4. Injeksi Ampicillin 800 mg/6 jam
5. Injeksi Gentamisin 120 mg/24 jam
6. Injeksi metilprednisolon 10 mg/12 jam
7. Injeksi Prokain penisilin 810.000 IU I.M (H1 s/d H10)
8. Injeksi anti difteri serum (ADS) 120.000 IU, tes sebelum pemberian:
 tes mata : 1 tetes antitoksin pengenceran 1:10 diteteskan pada
konjungtiva, atau
 0,02 ml pengenceran 1:1000 disuntikkan intradermal
 Nilai positif bila dalam 20 menit terdapat indurasi lebih dari 10mm
(kulit) atau muncul kemerahan pada mata.
Program :
1. Konsultasi Bagian THT-KL untuk tindakan trakheostomi cito
2. Konsultasi Bagian Mikrobiologi untuk pengambilan swab tenggorokan.
3. Konsultasi ERIA untuk perawatan HCU isolasi tekanan negatif
4. Alih kelola divisi Infeksi dan penyakit tropik

Follow Up

Hari perawatan I (16 Januari 2020) Di IGD telah dilakukan trakeostomi.


Keadaan umum anak sadar, sesak berkurang. Hasil swab nasofaring I
(15/1/2020) dan pewarnaan Neisser ditemukan kuman batang diplokokus
gram positif, (difteri). Pengecatan swab tenggorok II (16/1/20); Difteri : jumlah
berkurang dibanding tanggal pemeriksaan I. Hasil pemeriksaan EKG
didapatkan sinus takikardi, T inverted V1-V3, tidak ada RBBB.

A : Asesmen confirmed tonsilitis dfteri post trakheostomi.

Program : 1. konsultasi divisi Kardiologi anak, 2. kosultasi divisi Nutrisi dan


Penyakit metabolik, 3 swab faring tiap hari sampai hasil pemeriksaan negatif
3 kali berturut-turut, 4. Rawat intensif anak (HCU) Isolasi tekanan negatif.

Rawat HCU

Hari perawatan 2 (17/1/2020)

Keluhan sesak minimal, batuk (+), terpasang trakheostomi dengan O2 10 lpm,


Bullneck(+). ADS 120.000 IU belum diberikan karena menunggu konfirmasi
Dinas Kesehatan.

Keadaan umum sadar. Tanda vital TD : 115/73 mmHg,HR: 110 x/menit, nadi:
reguler, i/t cukup RR: 32 x/menit, t: 36,80C, SpO2 100%, Hasil Swab
tenggorok III ditemukan kuman difteri. Pemeriksaan EKG : normoaksis, irama
sinus, HR 100x/ menit, RVH, P pulmonal (-),ST elevasi (-),ST depresi(-)
Jawaban konsultasi divisi Kardiologi : suspek miokarditis belum dapat
disingkirkan. Saran; evaluasi hemodinamik, EKG/24jam. Jika terjadi
perburukan diberikan injeksi furosemide 10mg/8jam, Kaptopril 6,25mg/8jam
p.o. Hasil konsultasi divisi NPM : antropometri Anak laki-laki 6 tahun 7 bulan.
Berat lahir : 3400 g, BB sekarang: 16 kg, TB : 102 cm. WAZ : -1,83 SD
(berat badan normal) HAZ : -2,80 SD (stunting),BMI untuk usia : -0,05 SD.

Kesan Gizi baik, berat badan normal stunting. Saran: pasang NGT. Diet:
pediasure komplit 8x75cc .

Hari perawatan 3 (18/9/2020)

ADS sudah diberikan tidak ada reaksi alergi. KU: sadar. Tanda vital TD
99/73 mmHg; HR: 99 x/menit nadi: reguler, isi dan tegangan cukup, RR: 30
x/menit,t: 36,80C,SpO2: 100% (O2 JR on trakhostomi 10 lpm). Tenggorok :
arcus faring simetris, faring hiperemis (+), T 3-T2, hiperemis (+),
pseudomembran (+) berkurang.Leher : bullneck (+) mengecil. Hasil evaluasi.
EKG ; BVH, t- inverted V1-V5 (-). Hasil swab tenggorok kuman diifteri (+).
Hasil kultur swab tenggorok sampel hari I (15/1/2020) kuman difteri (+).

Asesmen confirmed tonsilitis dfteri post trakheostomi Hari ke-3 perbaikan

Program diet :pediasure 8x100 cc, Rawat bersama dengan Bagian THT-KL,
Bagian Mikrobiologi, divisi Kardiologi anak dan divisi NPM.

Hari perawatan 4 ( 19/1/2020)

Kanul trakheostomi lepas.Keadaaan umum sadar.Tanda vital TD : 99/68


mmHg, HR: 99 x/menit, RR: 32 x/menit,T: 36,80C,SpO2: 98% (O2 nasal kanul
2 lpm) . Tenggorok : faring hiperemis (-), tonsil hiperemis (+),
pseudomembran (-/-). Leher : bullneck mengecil, stoma trakeostomi tertutup
kasa. Hasil evaluasi laboratorium setelah 3 hari pemberian Penicillin Prokain;
Hb 11,6 g/dL,Ht 36,6 % ,Leukosit 11.300/mm3, trombosit 236.000/mm3. Hasil
evaluasi EKG : BVH, t inverted (-) ST elevasi (-).

Asesmen confirmed tonsilitis dfteri post trakheostomi Hari ke-4 perbaikan

Advis Bagian ENTHE N asetil sistein 100mg/8jam.

Program; evaluasi swab tenggorok dan EKG tiap hari Diet: Pediasure 5x100
cc, Bubur sumsum 3x1, Advis THT trakesotomi ulang jika sesak memberat
atau saturasi oksigen <95%.

Hari perawatan 5 (20/1/2020)

Tidak ada keluhan. Keadaan umum sadar. Tanda vital TD : 88/49 mmHg,
HR: 96 x/menit, RR: 24 x/menit, t: 36,80C,SpO2: 100%(O2 nasal 2 lpm) Tonsil
hiperemis (-). Hasil swab tenggorok kuman difterie (+). Evaluasi EKG : BVH.
Hasil x foto thoraks kesan kardiomegali, gambaran edema pulmonum
mungkin disertai pneumonia.

Asesmen confirmed tonsilitis dfteri post trakheostomi Hari ke-5 perbaikan

Diet: Pediasure 8x100 cc, Program ENTHN : tutup stoma, saran tonsilektomi
(keluarga menolak operasi)

Hari perawatan 6 (Tgl 21/1/2020)

tidak ada keluhan, stoma trakestomi ditutup. Tanda vital dalam batas normal
Pemeriksaan jantung bising kontinyu grade III /6 PM di,infraklavicula.

Hasil kultur swab tenggorok (sampel 18/1/2020 ) streptococcus oralis/mitis,


sensitif : klindamisin, linezolid, vankomisin, tigecycline. Hasil ,EKG; tgl
21/1/20 : BVH. Hasil swab tenggorok tidak ditemukan kuman difteri,

Asesmen confirmed tonsilitis dfteri perbaikan


Diet: Pediasure 5x200 cc. Program pemeriksaan laboratorium untuk evaluasi
elektrolit dan kalsium, CKMB. Perawatan ruang isolasi dilanjutkan sampai
hasil swab negatif 2 kali berturut-turut.

Rawat Bangsal

Hari Perawatan 7-10 (Tgl 22-25/1/2020)

Tidak ada keluhan. Tanda vital normal. Tonsil pseudomembaran (-).Hasil


laboratorium evaluasi (23/1/2020) SGOT 49 U/L , SGPT 56 U/L , CKMB 35
U/L kalsium 2.1 mmo/L, natrium 132 mmol/L, kalium 3.8 mmol/L, klorida 90
mmol/L. Swab tenggorok (22/1/2020), tidak ditemukan kuman difteri.

Asesmen confirmed tonsilitis dfteri perbaikan

Terapi : Infus. D51/2NS 240/10ml/jam + Na (2) + K(2), drip Dobutamin


tappering off sampai 3 mcg/jam kemudian stop. Injeksi metilprednisolon 10
mg/12 jam (H8) dilanjutkan sampai hari ke14 ,kemudian tappering off, Injeksi
Penicillin Prokain 810.000 IU I.M (H7) dilanjutkan sampai hari ke 10.Injeksi
furosemide 10 mg/8 jam. Per Oral : Kaptopril 6,25 mg/8 jam,CTM 1
mg/8jam,N asetil sistein 100mg/8jam. Program :diet susu 3x200 cc + nasi
lunak 3x1,Rencana pindah bangsal infeksi karena hasil swab tenggorok
negaitf 2 kali berturut-.turut.

Rawat bersama Kardiologi, nutrisi, ENHT,

Tappering off injeki metilprednisolon 5mg/12 jam (24/1/20) dan 5 mg/24 jam
(26/1/2020) kemudian stop

Hari Perawatan 11 (26/1/2020)

Tidak ada keluhan , diet dihabiskan. Keadaan umum: sadar. Tanda vital : HR:
96 x/menit,RR: 24 x/menit, t: 36,60C,SpO2: 98 % suhu kamar.
Tonsil T2/T1, pseudomembran (-). Leher: bullneck (-), luka tracehostomy
menutup. Thoraks tidak ada retraksi.Paru dalam batas normal. Jantung bising
kontinyu grade IV/6 PM di infraklavikula. Abdomen: normal.

Diagnosis akhir:
1. Confirmed tonsilitis difteria
2. Bronkopneumonia
3. Penyakit jantung
a. Diagnosis etiologi: penyakit jantung bawaan asianotik
b. Diagnosis anatomi: PDA, suspek miokarditis
c. Diagnosis fungsional: gagal jantung NYHA II
Program : Pasien dipulangkan, kontrol poliklinik anak divisi Infeksi dan
Penyakit Tropis, evaluasi EKG saat kontrol untuk evaluasi miokarditis.

PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam

Ringkasan hasil pemeriksaan laboratorium


Hematologi
Pemeriksaan 15/1/20 19/1/20 Satuan Nilai rujukan
Hemoglobin 11,5 11.6 g/dL 13,00 – 16,00
Hematokrit 35,2 36.6 % 40 – 54
Eritrosit 4,71 4,85 106/uL 4,4 – 5,9
MCH 24,4 23,9 pg 27,00 – 32,00
MCV 74,4 75.5 fL 76 – 96
MCHC 32,7 31,7 g/dL 29,0 – 36,0
Leukosit 38 11,3 103/uL 5 – 13,5
Trombosit 148 236 103/uL 150 – 400
RDW 14,4 13,9 % 11,6 – 14, 8
MPV 11 10,6 fL 4,00 – 11,00

Kimia Darah
Pemeriksaan 15/1/20 23/1/20 Satuan Nilai rujukan
GDS 89 - mg/dL 80 – 160
Ureum 36 - mg/dL 15 – 39
Kreatinin 0,8 - mg/dL 0,6 - 1,3
Natrium 135 132 mmol/L 136 – 145
Kalium 4,9 3,8 mmol/L 3,5 - 5,1
Chlorida 96 90 mmol/L 98 – 107
SGOT 53 49 u/L 15-34
SGPT 31 56 u/L 15-60
CKMB 223 35 u/L 7-25

Imunologi : Prokalsitonin (19/1/20) 89 ng/dL <0.5 risiko rendah untuk Sepsis

Ringkasan hasil pemeriksaan swab tenggorok


Tanggal pemeriksaan 15/1 16/1 17/1 18/1 19/1 20/1 21/1 22/1
Kuman batang
+ +* + + + + - -
granula metakromatik
Diplokokus gram (+) + + + + + + + +
Kuman batang gram (+) + + + + + + + +
Kuman batang gram (-) + + + + + + + +
Yeast cell - - - - - - + +
Pseudo Hifa - - - - - - + +
Leukosit - 0-2 - 0-3 - 0-3 - 1-5
Ket:* Berkurang di banding Tgl 15/1/2020

Ringkasan hasil pemeriksaan kultur swab tenggorok


15/1/20 18/1/20
Difteri Positif Difteri Negatif
Streptococcus oralis/mitis
sensitif : clindamisin, linezolid, vancomicin, tigecycline
resisten : ampicilin, ceftriaxone, levoflofacin,eritromisin
CHAPTER III
LITERATURE REVIEW

3.1 Diphtheria

a. Diagnosis:

Anamnesis: Hoarse voice, sore throat, painful swallowing, low-grade fever,


stridor, and other signs of upper respiratory obstruction, with incomplete
immunization history, and close contact with diphtheria cases (housemates
and playmates); contact with nasopharyngeal secretions (eg: resuscitation
without personal protective equipment); and individual that living in the same
room with the patient for >4 hours for 5 consecutive days or >24 hours a
week (eg: classmates, bedmates)

Physical examination: Showed signs of tonsillitis and pharyngitis with a


grayish-white pseudomembrane/membrane at the site of infection (94%), that
easily bleeding when removed. In severe cases, we can be found
enlargement of the neck (bull neck). The child looks toxic and very sick, fever
(sub febrile), the face is pale or even cyanosis, signs of shock, and difficulty
swallowing.

Laboratory: The confirmation criteria of diphtheria diagnosis were positive


culture or PCR. Toxicity of diphtheria were checked by elek test. Samples for
culture were taken on the 1 st, 2nd, and 7th days. The media used today are
Amies and Stewart (formerly Loeffler or tellurite). The success of culture from
nose and throat in Indonesia is less than 10%, so for getting definite
diagnosis using PCR. The sample is taken from the tissue under or around
the pseudomembrane. Direct sample could be examined with a microscope
or Gram/Albert staining cannot be trusted because there are many bacteria
shaped like C. diphtheriae (diphtheroids) in the oral cavity.
b. Diphtheria classification:

Suspected diphtheria: if a person with symptoms of pharyngitis, tonsillitis,


laryngitis, tracheitis (or a combination), without fever or a subfebrile condition
accompanied by a grayish/blackish white pseudomembrane on one or both
tonsils that bleeds when detached or manipulated. The diphtheria cases were
about 94% involved the tonsils and pharynx.

Probable diphtheria are people with symptoms of laryngitis, nasopharyngitis


or tonsillitis plus a grayish-white pseudomembrane that doesn't come off
easily and bleeds easily in the pharynx, larynx, tonsils (suspected diphtheria)
plus one of:

a) Have been in contact with the case (< 2 weeks)


b) Incomplete immunization status, including not having a booster
c) Stridor, bullneck
d) Submucosal bleeding or petechiae on the skin
e) Toxic heart failure, acute renal failure
f) Myocarditis and/or motor paralysis 1 to 6 weeks after onset
g) Death.

Diphtheria laboratory confirmation: Positive culture or PCR results for C.


diphtheria and the positive Elek test.

c.Tata Laksana

Semua kasus yang memenuhi kriteria di atas harus diperlakukan sebagai


difteri sampai terbukti bukan. Dokter memutuskan diagnosis difteri
berdasarkan tanda dan gejala. Terpenting: mulai tata laksana antitoksin dan
antibiotik apabila dokter mendiagnosis suspek difteri tanpa perlu konfirmasi
laboratorium.
Pengobatan

Tujuan pengobatan penderita difteri adalah menginaktivasi toksin yang belum


terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteri.

Umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negatif 2 kali berturut-turut dengan jarak 24 jam. Pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3
minggu bila terjadi komplikasi miokarditis, pemberian cairan serta diet yang
adekuat. Dilakukan pemeriksaan jantung (EKG) dan neurologis untuk
mengetahui ada/tidaknya komplikasi.

Khusus

Antitoksin: Anti Diphtheria Serum (ADS)

Antitoksin diberikan segera setelah ditegakkan diagnosis difteri. Dengan


pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita
kurang dari 1%, namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka
kematian ini bisa meningkat sampai 30%.

Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran (tipe difteri) dan Lama Sakit
Tipe Difteri Dosis ADS (KI) Cara pemberian
Difteri kulit 20.000 intravena
Difteri hidung 20.000 Intravena
Difteri tonsil 40.000 intravena
Difteri faring 40.000 Intravena
Difteri laring 40.000 intravena
Difteri nasofaringeal 60.000 Intravena
Kombinasi lokasi di atas, tanpa 80.000 intravena
melibatkan hidung/nasal
Difteri + penyulit dan/atau ditemukan 80.000-100.000 Intravena
bullneck
Terlambat berobat (> 72 jam), lokasi 80.000-100.000 intravena
dimana saja

CDC Protocol-03/26/2014-Revised dan Krugman, 1992 dengan modifikasi


Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit terlebih dahulu, oleh
karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus
disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan
penyuntikkan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara
intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi >10 mm. Bila uji
kulit positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila uji
hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus diberikan sekaligus
secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat
penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar
antara 20.000-100.000 KI seperti tertera pada tabel 1. Pemberian ADS
intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2
jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan
selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula
perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
Kemungkinan terjadi reaksi anafilaksis sekitar 0,6% yang terjadi beberapa
menit setelah pemberian ADS. Reaksi demam (4%) setelah 20 menit-1 jam,
serum sickness (8,8%) 7-10 hari kemudian.

Antibiotik

Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi


toksin. Penisilin prokain 25.000 - 50.000 U/kgBB/hari (maksimum 1,2 juta
U/hari) diberikan secara intramuskular (IM) selama 14 hari. Bila terdapat
riwayat hipersensitivitas penisilin diberikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari
(maksimum 2 g/hari) dibagi 4 dosis, interval 6 jam selama 14 hari.

Kortikosteroid

Kortikosteroid diberikan untuk kasus difteri yang disertai dengan gejala


obstruksi saluran napas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan
bila terdapat penyulit miokarditis. Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu
kemudian diturunkan bertahap.

Trakeostomi

Ditemukannya obstruksi saluran napas karena membran dan edema


perifaringeal, bahkan apabila telah tampak kegelisahan, iritabilitas serta
gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan
trakeostomi.

Pengobatan kontak

Kontak erat adalah orang serumah atau orang lain yang memiliki kontak erat
satu rumah, guru, petugas kesehatan yang terpapar dengan sekret
nasofaring, orang-orang yang menggunakan perangkat masak atau makan
minum yang sama dan pengasuh anak yang terinfeksi. Pada orang yang
mengalami kontak tanpa memandang status imunisasi seyogyanya
diimunisasi sampai hal-hal berikut dilakukan yaitu (a) Biakan hidung dan
tenggorok (b) Gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlewati (c)
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteri,
yang belum diimunisasi segera melengkapi imunisasi.

Pengobatan karier

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan tanda dan gejala
difteri, tetapi pada kultur swab tenggorok ditemukan basil difteri dalam
nasofaringnya. Pengobatan untuk karier adalah eritromisin 40-50
mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 7 hari, maksimum (1 gram/hari).
Eritromisin lebih superior daripada penisilin untuk eradikasi karier difteri
nasofaring. Pemantauan dilakukan sampai ada hasil kultur, jika masih positif,
antibiotik diberikan lebih lama.

d. Prognosis
 Virulensi organisme
 Tempat pada tubuh terjadinya infeksi. Pada difteri faring umumnya berat
dan toksik
 Usia
 Status imunisasi: belum/tidak lengkap
 Kecepatan pemberian antitoksin
 Obstruksi mekanik laring atau difteri bull-neck

Difteri dengan pengobatan, 1 dari 10 pasien difteri kemungkinan meninggal.


Tanpa pengobatan 1 dari 2 pasien difteri meninggal

3.2 Bronkopneumonia
a. Definisi
Bronkhopneumonia adalah peradangan paru, biasanya dimulai di bronkiolus
terminalis. Bronkiolus terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat
mukopurulen membentuk bercakbercak konsolidasi di lobulus yang
bersebelahan. Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak
berkisar antara ringan hingga sedang. (buku ajar respirology IDAI)
b. Gambaran klinis
Pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya infeksi,
yang secara umum dapat timbul sebagai gejala infeksi umum yaitu demam,
sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan
gastrointestinal dan gejala gangguan respiratory seperti batuk, sesak napas,
retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih dan
sianosis. Sejak awal 1990an WHO telah merekomendasikan untuk
menggunakan takipnea kuantitatif (peningkatan laju napas berdasarkan usia)
untuk mengidentifikasi anak yang membutuhkan terapi antibitoik yang
ducrigai pneumonia. (buku ajar respirology IDAI, community-acquired
pneumonia among children: the latest evidence for an updated management).
c. Diagnosis
Pneumonia pada anaknya umumnya berdasarkan gambaran klinis yang
menunjukkan keterlibatan system respiratory dan gambaran radiologis.
Prediktor yang paling kuat terhadap kecurigaan pneumonia adalah demam,
sianosis, dan terdapat lebih dari satu gejala respiratori antara lain takipnea,
batuk, napas cuping hdung, retraksi, ronki dan suara napas melemah. (buku
ajar respirology IDAI).
d. Penunjang
Pada pemeriksaan radiologi x foto thorax, ditemukannya gambaran infiltrat
yang menyertai demam dan distress respirasi pada anak mengkonfirmasi
diagnosis pneumonia. Namun tidak adanya temuan pada x foto thorax tidak
menyingkirkan adanya pneumonia apabila didapatkan gejala klinis yang kuat.
Pemeriksaan laboratorium terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan hitung
kenis, Pemeriksaan reaktan fase akut seperti CRP dan procalsitonin serum
tidak disarankan untuk diperiksa secara rutin pada anak yang telah
mendapatkan imunisasi lengkap, dengan keuhan ringan, tetapi dapat
berguna untuk pemantauan respon terapi oada pneumonia berat.
Pemeriksaan mikrobiologis didapatkan dari kultur darah, sampel
nasofaringeal, sputum, atau cairan efusi pleura. (Pneumonia, Pediatrics in
Review 2013;34;438 Rani S. Gereige and Pablo Marcelo Laufer P)

3.3. Penyakit jantung bawaan


a. Diagnosis etiologi: penyakit jantung bawaan asianotik
b. Diagnosis anatomi: PDA, suspek miokarditis
c. Diagnosis fungsional: gagal jantung NYHA II
a. Diagnosis
b. Tatalaksana

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Difteri

Diagnosis : Gejala dan tanda pada kasus ini sesuai dengan teori untuk difteri
yaitu suara serak dan stridor dan demam. Tonsil hipertrofi dengan tanda khas
difteri yaitu pseudomembran kebiruan dan mudah berdarah serta bullneck.

Hasil swab tenggorok saat pasien masuk belum ada, sehingga pasien
didiagnosis sebagai probable tonsilitis difteri. Hal ini sesuai kriteria diagnosis
difteri menurut CDC 2010 8, disebut probable bila ditemukan penyakit saluran
pernapasan bagian atas dengan membran yang melekat pada hidung, faring,
tonsil, atau laring dan belum ada konfirmasi laboratorium serta tidak ada
riwayat kontak.

Hasil swab tenggorokan yang dilakukan selama 5 hari pertama perawatan


memberikan gambaran postif. Hasil ini didukung dengan ditemukannya C.
diphtheria pada kultur medium tellurite. Pemeriksaan toksigenocitas tidak
dilakukan karena tidak tersedia di laboratorium mikrobiologi.Pasien
didiagnosis sebagai Difteri konfirmasi.

Faktor risiko :

Risiko difteri adalah: usia 6 tahun 7 bulan, sosial ekonomi rendah dan status
imunisasi tidak lengkap (belum mendapatkan imunisasi booster) dan stunting.
Angka kejadian difteri pada anak < 10 tahun adalah 61,9% - 72%, dengan
insiden tertinggi pada anak usia 5-6 tahun.11 Stunting pada kasus ini
menunjukkan riwayat malnutrisi jangka panjang. Status gizi buruk
meningkatkan angka kematian difteri.13,14 Riwayat kontak tidak didapatkan.

Pelacakan kontak

Dalam kasus ini, pelacakan kontak telah dilakukan, tetapi tidak didapatkan .
Tatalaksana

Kegawatan :

keluhan utama sesak makin memberat 2 hari sebelum masuk rumah sakit
dan batuk, tonsil hipertrofi, pseudomembran dan bullneck, merupakan
penyebab sumbatan jalan nafas berat dan sesak. Pemeriksaan dada terdapat
retraksi suprasternal. Asesmen tonsilitis difteri dengan obstruksi jalan nafas.
Program konsultasi Bagian THT dengan permintaan trakhestomi cito.Pasien
telah dilakukan tindakan trakeostomi. Tarkhestomi terlepas pada hari ke …...,
keadaan anak tidak sesak.

Isolasi pasien :

Pasien ditempatkan di ruang isolasi sejak di IGD dan ruang rawat intensif.
Penularan difteri melalui droplet dari sekret yang dihasilkan oleh batuk atau
bersin pada kontak fisik yang dekat.1

Umum :

Inj. Penicillin Prokain 810.000 IU I.M (H1 s/d H10), Inj. Metilprednisolon 10
mg/12 jam intravena untuk mengurangi reaksi inflamasi yang dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas. Tatalaksana dietetik pasien menerima
formula: Infus Protein 5% 324/14 ml/jam (1 g/kgBB/hari), susu formula
isokalori 8x75 cc naik bertahap dengan total kalori 740 kkal, protein gram.
(kalori 115% dari RDA, protein 17,4% dari RDA). Diet kembali normal pada
hari ke…...

Khusus :
Untuk pengobatan khusus, pasien menerima injeksi ADS 120.000 IU
diencerkan dengan 200 ml NaCl 0,9%, diberikan secara intravena dalam
waktu 4 jam,

Komplikasi jantung,

Selama perjalanan penyakit, evaluasi miokarditis difteri belum dapat


disiingkirkan. Pada awal masuk CKMB adalah 223 U/l. Leukosit 38.000
103/uL SGOT 53 u/L. Elektrokardiografi sinus takikardi, T inverted V1-V3,
RBBB (-), tidak ditemukan pemanjangan interval PR, ritmia.

Biomarker laboratorium untuk miokarditis difteri ditemukan ada peningkatan


akan tetapi hasil ini tidak spesifik karena biomarker tersebut juga ditemukan
pada otot rangka dan ginjal. Walaupun demikian pasien tetap dirawat dengan
tersangka miokarditis difteri dan dilakukan dipantau EKG untuk menilai
secara dini munculnya miokarditis difteri.

Pemantauan

Perawatan hari ke 11 pasien dinyatakan sembuh. Hal ini didukung oleh


pengenalan dini, pemberian ADS yang cepat, perawatan yang baik
Pemantauan dilakukan sampai 2 minggu paska rawat inap melalui kontrol
poliklinik rawat jalan. untuk deteksi komlikasi yang terjadi.

4.2 Bronkopneumonia

4.3. Penyakit jantung bawaan

DAFTAR PUSTAKA
1. Burkovski A. Pathogenesis of Corynebacterium diphtheriae and
Corynebacterium ulcerans. In: Human Emerging and Re-emerging
Infections. Hoboken, NJ, USA: John Wiley & Sons, Inc.; 2015. p.
699–709.

2. Samdani S, Jain A, Meena V, Meena CB. Cardiac complications in


diphtheria and predictors of outcomes. Int J Pediatr Otorhinolaryngol.
2018;104:76–8

3. Hadfield TL, McEvoy P, Polotsky Y, Tzinserling VA, Yakovlev AA.


The pathology of diphtheria. J Infect Dis. 2000;181(Suppl 1):S116--
20.

4. Kumar R, Kumar P, Prajapati NC, Kumar D, Goyal A, Abbas J,


Vijayran M. Diphtheria: Is it really out? Journal of Pediatric Sciences.
2013;5:e188

5. Long SS. Diphtheria (Corynebacterium diphtheria). In: Behrman RE,


Kliegman RM, Jensen HB, editors. Nelson textbook of Pediatrics.
Philadelphia: WB Saunders Company; 2000. 817-20

6. Efstratiou A, Engler KH, Mazurova IK, Glushkevich T, Vuopio-Varkila


J, Popovic T. Current Approaches to the Laboratory diagnosis of
diphtheria. The Journal of Infectious Diseases 2000;181(Suppl
1):S138–45

7. Both L, Neal S, De Zoysa A, et al. External quality assessments for


microbiologic diagnosis of diphtheria in Europe. J Clin Microbiol.
2014;52(12):4381-4384. doi:10.1128/JCM.01776-14.

8. Centers for disease control and prevention. Diphtheria [cited


2017December 23).

9. Husada D, Puspitasari D, Kartina L, Setiono P, Moedjito I and Kartika


B. Six-year surveillance of diphtheria outbreak in Indonesia. Open
forum Infectious Diseases. 2017; 4: S244-S.

10. Quick ML, Sutter RW, Kobaidze K, Malakmadze N, Nakashidze R,


Murvanidze S, et al. Risk factors for diphtheria: a prospective case-
control study in the Republic of Georgia, 1995-1996. J Infect Dis.
2000 Feb;181 Suppl 1:S121-9.

11. Wagner KS, White JM, Lucenko I, Mercer D, Crowcroft NS, Neal S, et
al. Diphtheria in the postepidemic period, Europe, 2000-2009. Emerg
Infect Dis. 2012 Feb;18(2):217-25.
12. Kunarti U. Titer imunoglobulin G (igG) Difteri Pada Anak Sekolah,
Studi Kasus di Kota Semarang. . Jurnal epidemiologi. 2005.

13. Rusmil K, VChairufattah. Wabah difteri di kecamatan Cilkalong


wetan, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Sari Pediatri. 2010;12

14. Mustikawati D. Faktor karakteristik individu yang mempengaruhi


penularan penyakit difteri di kabupaten Situbondo. Indonesian
Journal, Uniar Surabaya. 2012.

15. Wagner KS, White JM, Lucenko I, Mercer D, Crowcroft NS, Neal S, et
al. Diphtheria in the postepidemic period, Europe, 2000-2009. Emerg
Infect Dis. 2012 Feb; 18(2):217-25.

16. Arfijanto MV, Mashitah SI, Widiyanti P, Bramantono. A patient with


suspected diphtheria. Indonesian journal of tropical and infectious
disease. 2010; 1(2): 69-75

17. Wagner KS, Stickings P, White JM, Neal S, Crowcroft NS, Sesardic
D, Efstratiou A. A review of the international issues surrounding the
availability and demand for diphtheria antitoxin for therapeutic use.
Vaccine. 2010;28 : 14–20

18. Kneen R, Giao PN, Solomon T, Van TTM, Hoa NTT, Long TB, et al.
Penicillin vs. erythromycin in the treatment of diphtheria. Clinical
Infectious Diseases 1998;27:845–50

19. Jayashree M, Shruthi N, Singhi S. Predictors of outcome in patients


with diphtheria receiving intensive care. Indian Pediatr. 2006;43:155-
60.
20. Kole AK, Roy R, Kar SS, Chanda D. Outcomes of respiratory
diphtheria in a tertiary referral infectious disease hospital. Indian
Journal of Medical Sciences. 2010; 64 (8): 1-5

21. Kneen R, DungNM, Solomon T, Giao PN, Parry CM, Hoa NTT, et al.
Clinical features and predictors of diphtheritic cardiomyopathy in
vietnamese children. Clinical Infectious Diseases. 2004; 39:1591–8

22. Kole AK, Roy R, Kar SS. Cardiac involvement in diphtheria: Study
from a tertiary referral infectious disease hospital. Ann Trop Med
Public Health 2012;5:302-6
23. Nalmas S, Nagarakanti R, Slim J, Abter E, Bishburg E.
Electrocardiographic changes in infectious disease. Hospital
Physician.2007; 9: 15-27

24. Al Aswad IH, Shubair ME. Efficacy of diphtheria and tetanus


vaccination in Gaza, Palestina. Eastern Mediterranean Health
Journal. 2009; 15 (2) : 285-95

25. Ren Q, Xiong H, Li Y, Xu R, Zhu C. Evaluation of an otside-the-cold-


chain vaccine delivery strategy in remote regions of western China.
Public Health Rep . 2009; 124(5): 745–50

26. CDC, Use of Diphtheria antitoxin (DAT) for suspected diphtheria


cases; protocol CDC IRB # 4167; 2020.

27. Anggraeni D, Yosephine P, Natalia Ar, Pedoman Pencegahan dan


Pengendalian Difteri. Kementerian Kesehatan RI Direktorat
Surveilans dan Karantina Kesehatan Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit,Kementerian Kesehatan RI; 2017; Ed.1

Anda mungkin juga menyukai