CASE REPORT
AUTHOR :
Yuliawati
SUPERVISOR :
DEPARTMENT OF PEDIATRICS
MEDICAL FACUTY DIPONEGORO UNIVERSITY/ DR. KARIADI
HOSPITALSEMARANG
2021
DAFTAR ISI
hal
HALAMAN JUDUL............................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................... ii
ABASTRAK....................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................
BAB II KASUS..............................................................................
BAB III TINJAUAN
PUSTAKA.......................................................
3.1 Difteri
a Diagnosis difteri
b Klasifikasi diagnosis difteri
c Tatalaksana difteri
d Prognosis
3.2 Bronkopenumonia
a Diagnosis bronkopneumonia
b Tatalaksana bronkopneumonia
3.3 Penyakit jantung bawaan
a Diagnosis PJB
b Tatalaksana PJB
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Difteri
4.2 Bronkopneumonia
4.3 Penyakit jantung bawaan
BAB V KESIMPULAN...................................................................
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................
ABSTRAC
Pohon keluarga
PEMERIKSAAN FISIK (IGD 16 Januari 2020)
Tanda vital : tekanan darah (TD): 99/49 mmHg denyut jantung (HR) 128 x/
menit Nadi : reguler, i/t cukup,laju pernafasan (RR) : 40 x/menit, suhu (t) :
36,70C, ,SpO2: 92-94% dengan O2 nasal ,
Pemeriksaan urinalisis : jernih, protein 100....., nitrit (+), lekosit 5,6, eritrosit
7,8...... bakteri 97,6........
Analisa gas darah (AGD) : pH 7.431 ,pCO2 37.4 mmHg, PO2 172.7 mmHg,
Temp 37.00C FiO2 44.0 %, HCO3- 25.1 mmol/L , BE (B) 1.5 mmol/L, SO 2c
99.2%, A-aDO2 98.9, RI 0.6.
Diagnosis
Tatalaksana
Follow Up
Rawat HCU
Keadaan umum sadar. Tanda vital TD : 115/73 mmHg,HR: 110 x/menit, nadi:
reguler, i/t cukup RR: 32 x/menit, t: 36,80C, SpO2 100%, Hasil Swab
tenggorok III ditemukan kuman difteri. Pemeriksaan EKG : normoaksis, irama
sinus, HR 100x/ menit, RVH, P pulmonal (-),ST elevasi (-),ST depresi(-)
Jawaban konsultasi divisi Kardiologi : suspek miokarditis belum dapat
disingkirkan. Saran; evaluasi hemodinamik, EKG/24jam. Jika terjadi
perburukan diberikan injeksi furosemide 10mg/8jam, Kaptopril 6,25mg/8jam
p.o. Hasil konsultasi divisi NPM : antropometri Anak laki-laki 6 tahun 7 bulan.
Berat lahir : 3400 g, BB sekarang: 16 kg, TB : 102 cm. WAZ : -1,83 SD
(berat badan normal) HAZ : -2,80 SD (stunting),BMI untuk usia : -0,05 SD.
Kesan Gizi baik, berat badan normal stunting. Saran: pasang NGT. Diet:
pediasure komplit 8x75cc .
ADS sudah diberikan tidak ada reaksi alergi. KU: sadar. Tanda vital TD
99/73 mmHg; HR: 99 x/menit nadi: reguler, isi dan tegangan cukup, RR: 30
x/menit,t: 36,80C,SpO2: 100% (O2 JR on trakhostomi 10 lpm). Tenggorok :
arcus faring simetris, faring hiperemis (+), T 3-T2, hiperemis (+),
pseudomembran (+) berkurang.Leher : bullneck (+) mengecil. Hasil evaluasi.
EKG ; BVH, t- inverted V1-V5 (-). Hasil swab tenggorok kuman diifteri (+).
Hasil kultur swab tenggorok sampel hari I (15/1/2020) kuman difteri (+).
Program diet :pediasure 8x100 cc, Rawat bersama dengan Bagian THT-KL,
Bagian Mikrobiologi, divisi Kardiologi anak dan divisi NPM.
Program; evaluasi swab tenggorok dan EKG tiap hari Diet: Pediasure 5x100
cc, Bubur sumsum 3x1, Advis THT trakesotomi ulang jika sesak memberat
atau saturasi oksigen <95%.
Tidak ada keluhan. Keadaan umum sadar. Tanda vital TD : 88/49 mmHg,
HR: 96 x/menit, RR: 24 x/menit, t: 36,80C,SpO2: 100%(O2 nasal 2 lpm) Tonsil
hiperemis (-). Hasil swab tenggorok kuman difterie (+). Evaluasi EKG : BVH.
Hasil x foto thoraks kesan kardiomegali, gambaran edema pulmonum
mungkin disertai pneumonia.
Diet: Pediasure 8x100 cc, Program ENTHN : tutup stoma, saran tonsilektomi
(keluarga menolak operasi)
tidak ada keluhan, stoma trakestomi ditutup. Tanda vital dalam batas normal
Pemeriksaan jantung bising kontinyu grade III /6 PM di,infraklavicula.
Rawat Bangsal
Tappering off injeki metilprednisolon 5mg/12 jam (24/1/20) dan 5 mg/24 jam
(26/1/2020) kemudian stop
Tidak ada keluhan , diet dihabiskan. Keadaan umum: sadar. Tanda vital : HR:
96 x/menit,RR: 24 x/menit, t: 36,60C,SpO2: 98 % suhu kamar.
Tonsil T2/T1, pseudomembran (-). Leher: bullneck (-), luka tracehostomy
menutup. Thoraks tidak ada retraksi.Paru dalam batas normal. Jantung bising
kontinyu grade IV/6 PM di infraklavikula. Abdomen: normal.
Diagnosis akhir:
1. Confirmed tonsilitis difteria
2. Bronkopneumonia
3. Penyakit jantung
a. Diagnosis etiologi: penyakit jantung bawaan asianotik
b. Diagnosis anatomi: PDA, suspek miokarditis
c. Diagnosis fungsional: gagal jantung NYHA II
Program : Pasien dipulangkan, kontrol poliklinik anak divisi Infeksi dan
Penyakit Tropis, evaluasi EKG saat kontrol untuk evaluasi miokarditis.
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Kimia Darah
Pemeriksaan 15/1/20 23/1/20 Satuan Nilai rujukan
GDS 89 - mg/dL 80 – 160
Ureum 36 - mg/dL 15 – 39
Kreatinin 0,8 - mg/dL 0,6 - 1,3
Natrium 135 132 mmol/L 136 – 145
Kalium 4,9 3,8 mmol/L 3,5 - 5,1
Chlorida 96 90 mmol/L 98 – 107
SGOT 53 49 u/L 15-34
SGPT 31 56 u/L 15-60
CKMB 223 35 u/L 7-25
3.1 Diphtheria
a. Diagnosis:
c.Tata Laksana
Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negatif 2 kali berturut-turut dengan jarak 24 jam. Pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3
minggu bila terjadi komplikasi miokarditis, pemberian cairan serta diet yang
adekuat. Dilakukan pemeriksaan jantung (EKG) dan neurologis untuk
mengetahui ada/tidaknya komplikasi.
Khusus
Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran (tipe difteri) dan Lama Sakit
Tipe Difteri Dosis ADS (KI) Cara pemberian
Difteri kulit 20.000 intravena
Difteri hidung 20.000 Intravena
Difteri tonsil 40.000 intravena
Difteri faring 40.000 Intravena
Difteri laring 40.000 intravena
Difteri nasofaringeal 60.000 Intravena
Kombinasi lokasi di atas, tanpa 80.000 intravena
melibatkan hidung/nasal
Difteri + penyulit dan/atau ditemukan 80.000-100.000 Intravena
bullneck
Terlambat berobat (> 72 jam), lokasi 80.000-100.000 intravena
dimana saja
Antibiotik
Kortikosteroid
Trakeostomi
Pengobatan kontak
Kontak erat adalah orang serumah atau orang lain yang memiliki kontak erat
satu rumah, guru, petugas kesehatan yang terpapar dengan sekret
nasofaring, orang-orang yang menggunakan perangkat masak atau makan
minum yang sama dan pengasuh anak yang terinfeksi. Pada orang yang
mengalami kontak tanpa memandang status imunisasi seyogyanya
diimunisasi sampai hal-hal berikut dilakukan yaitu (a) Biakan hidung dan
tenggorok (b) Gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlewati (c)
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteri,
yang belum diimunisasi segera melengkapi imunisasi.
Pengobatan karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan tanda dan gejala
difteri, tetapi pada kultur swab tenggorok ditemukan basil difteri dalam
nasofaringnya. Pengobatan untuk karier adalah eritromisin 40-50
mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 7 hari, maksimum (1 gram/hari).
Eritromisin lebih superior daripada penisilin untuk eradikasi karier difteri
nasofaring. Pemantauan dilakukan sampai ada hasil kultur, jika masih positif,
antibiotik diberikan lebih lama.
d. Prognosis
Virulensi organisme
Tempat pada tubuh terjadinya infeksi. Pada difteri faring umumnya berat
dan toksik
Usia
Status imunisasi: belum/tidak lengkap
Kecepatan pemberian antitoksin
Obstruksi mekanik laring atau difteri bull-neck
3.2 Bronkopneumonia
a. Definisi
Bronkhopneumonia adalah peradangan paru, biasanya dimulai di bronkiolus
terminalis. Bronkiolus terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat
mukopurulen membentuk bercakbercak konsolidasi di lobulus yang
bersebelahan. Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak
berkisar antara ringan hingga sedang. (buku ajar respirology IDAI)
b. Gambaran klinis
Pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya infeksi,
yang secara umum dapat timbul sebagai gejala infeksi umum yaitu demam,
sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan
gastrointestinal dan gejala gangguan respiratory seperti batuk, sesak napas,
retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih dan
sianosis. Sejak awal 1990an WHO telah merekomendasikan untuk
menggunakan takipnea kuantitatif (peningkatan laju napas berdasarkan usia)
untuk mengidentifikasi anak yang membutuhkan terapi antibitoik yang
ducrigai pneumonia. (buku ajar respirology IDAI, community-acquired
pneumonia among children: the latest evidence for an updated management).
c. Diagnosis
Pneumonia pada anaknya umumnya berdasarkan gambaran klinis yang
menunjukkan keterlibatan system respiratory dan gambaran radiologis.
Prediktor yang paling kuat terhadap kecurigaan pneumonia adalah demam,
sianosis, dan terdapat lebih dari satu gejala respiratori antara lain takipnea,
batuk, napas cuping hdung, retraksi, ronki dan suara napas melemah. (buku
ajar respirology IDAI).
d. Penunjang
Pada pemeriksaan radiologi x foto thorax, ditemukannya gambaran infiltrat
yang menyertai demam dan distress respirasi pada anak mengkonfirmasi
diagnosis pneumonia. Namun tidak adanya temuan pada x foto thorax tidak
menyingkirkan adanya pneumonia apabila didapatkan gejala klinis yang kuat.
Pemeriksaan laboratorium terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan hitung
kenis, Pemeriksaan reaktan fase akut seperti CRP dan procalsitonin serum
tidak disarankan untuk diperiksa secara rutin pada anak yang telah
mendapatkan imunisasi lengkap, dengan keuhan ringan, tetapi dapat
berguna untuk pemantauan respon terapi oada pneumonia berat.
Pemeriksaan mikrobiologis didapatkan dari kultur darah, sampel
nasofaringeal, sputum, atau cairan efusi pleura. (Pneumonia, Pediatrics in
Review 2013;34;438 Rani S. Gereige and Pablo Marcelo Laufer P)
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Difteri
Diagnosis : Gejala dan tanda pada kasus ini sesuai dengan teori untuk difteri
yaitu suara serak dan stridor dan demam. Tonsil hipertrofi dengan tanda khas
difteri yaitu pseudomembran kebiruan dan mudah berdarah serta bullneck.
Hasil swab tenggorok saat pasien masuk belum ada, sehingga pasien
didiagnosis sebagai probable tonsilitis difteri. Hal ini sesuai kriteria diagnosis
difteri menurut CDC 2010 8, disebut probable bila ditemukan penyakit saluran
pernapasan bagian atas dengan membran yang melekat pada hidung, faring,
tonsil, atau laring dan belum ada konfirmasi laboratorium serta tidak ada
riwayat kontak.
Faktor risiko :
Risiko difteri adalah: usia 6 tahun 7 bulan, sosial ekonomi rendah dan status
imunisasi tidak lengkap (belum mendapatkan imunisasi booster) dan stunting.
Angka kejadian difteri pada anak < 10 tahun adalah 61,9% - 72%, dengan
insiden tertinggi pada anak usia 5-6 tahun.11 Stunting pada kasus ini
menunjukkan riwayat malnutrisi jangka panjang. Status gizi buruk
meningkatkan angka kematian difteri.13,14 Riwayat kontak tidak didapatkan.
Pelacakan kontak
Dalam kasus ini, pelacakan kontak telah dilakukan, tetapi tidak didapatkan .
Tatalaksana
Kegawatan :
keluhan utama sesak makin memberat 2 hari sebelum masuk rumah sakit
dan batuk, tonsil hipertrofi, pseudomembran dan bullneck, merupakan
penyebab sumbatan jalan nafas berat dan sesak. Pemeriksaan dada terdapat
retraksi suprasternal. Asesmen tonsilitis difteri dengan obstruksi jalan nafas.
Program konsultasi Bagian THT dengan permintaan trakhestomi cito.Pasien
telah dilakukan tindakan trakeostomi. Tarkhestomi terlepas pada hari ke …...,
keadaan anak tidak sesak.
Isolasi pasien :
Pasien ditempatkan di ruang isolasi sejak di IGD dan ruang rawat intensif.
Penularan difteri melalui droplet dari sekret yang dihasilkan oleh batuk atau
bersin pada kontak fisik yang dekat.1
Umum :
Inj. Penicillin Prokain 810.000 IU I.M (H1 s/d H10), Inj. Metilprednisolon 10
mg/12 jam intravena untuk mengurangi reaksi inflamasi yang dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas. Tatalaksana dietetik pasien menerima
formula: Infus Protein 5% 324/14 ml/jam (1 g/kgBB/hari), susu formula
isokalori 8x75 cc naik bertahap dengan total kalori 740 kkal, protein gram.
(kalori 115% dari RDA, protein 17,4% dari RDA). Diet kembali normal pada
hari ke…...
Khusus :
Untuk pengobatan khusus, pasien menerima injeksi ADS 120.000 IU
diencerkan dengan 200 ml NaCl 0,9%, diberikan secara intravena dalam
waktu 4 jam,
Komplikasi jantung,
Pemantauan
4.2 Bronkopneumonia
DAFTAR PUSTAKA
1. Burkovski A. Pathogenesis of Corynebacterium diphtheriae and
Corynebacterium ulcerans. In: Human Emerging and Re-emerging
Infections. Hoboken, NJ, USA: John Wiley & Sons, Inc.; 2015. p.
699–709.
11. Wagner KS, White JM, Lucenko I, Mercer D, Crowcroft NS, Neal S, et
al. Diphtheria in the postepidemic period, Europe, 2000-2009. Emerg
Infect Dis. 2012 Feb;18(2):217-25.
12. Kunarti U. Titer imunoglobulin G (igG) Difteri Pada Anak Sekolah,
Studi Kasus di Kota Semarang. . Jurnal epidemiologi. 2005.
15. Wagner KS, White JM, Lucenko I, Mercer D, Crowcroft NS, Neal S, et
al. Diphtheria in the postepidemic period, Europe, 2000-2009. Emerg
Infect Dis. 2012 Feb; 18(2):217-25.
17. Wagner KS, Stickings P, White JM, Neal S, Crowcroft NS, Sesardic
D, Efstratiou A. A review of the international issues surrounding the
availability and demand for diphtheria antitoxin for therapeutic use.
Vaccine. 2010;28 : 14–20
18. Kneen R, Giao PN, Solomon T, Van TTM, Hoa NTT, Long TB, et al.
Penicillin vs. erythromycin in the treatment of diphtheria. Clinical
Infectious Diseases 1998;27:845–50
21. Kneen R, DungNM, Solomon T, Giao PN, Parry CM, Hoa NTT, et al.
Clinical features and predictors of diphtheritic cardiomyopathy in
vietnamese children. Clinical Infectious Diseases. 2004; 39:1591–8
22. Kole AK, Roy R, Kar SS. Cardiac involvement in diphtheria: Study
from a tertiary referral infectious disease hospital. Ann Trop Med
Public Health 2012;5:302-6
23. Nalmas S, Nagarakanti R, Slim J, Abter E, Bishburg E.
Electrocardiographic changes in infectious disease. Hospital
Physician.2007; 9: 15-27