JURUSAN KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2012
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN PRESENTASI KASUS TB Paru BTA (+) Lesi Luas Kasus Kambuh
Diajukan sebagai syarat untuk melanjutkan proses pembelajaran Blok Early Clinical and Community Exposure III Jurusan Kedokteran, Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman
Pembimbing,
STATUS BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
A. IDENTITAS PASIEN 1. Namalengkap 2. Tempat / TanggalLahir 3. Status Perkawinan 4. Pekerjaan 5. Alamat 6. JenisKelamin 7. SukuBangsa 8. Agama 9. Pendidikan
: Ny. Alamah : wangon, 1963 : menikah : Pedagang : Wangon, Kab. Banyumas : Perempuan : Jawa : Islam : SD
batuk terus menerus dengan dahak berwarna putih kental namun tidak mengeluarkan darah.
b. 4. Kualitas
Pasien dibawa ke RSMS karena keluhan sesak nafas. : mengganggu aktivitas sehingga pasien tidak dapat bekerja
5. Kuantitas : terus menerus 6. Faktor yang memperberat : melakukanaktivitas 7. Faktor yang memperingan 8. Keluhan penyerta
: istirahat :
a. Pasien merasa berat badannya semakin menurun b. Nafsu makan berkurang c. Demam d. Berkeringat malam hari e. Batuk-batuk dengan dahak kental bewarna putih tidak bercampur
darah
f.
kencingmanis
c.
dengan pasien. Pasien juga menyangkal adanya keluarga yang pernah menjalani pengobatan TB
b. Riwayat tekanan darah tinggi, jantung, stroke, dan kencingmanis. c. Riwayat alergi dalam keluarga juga disangkal 11. Riwayat Sosial Ekonomi a. Pasien tinggal serumah dengan anaknya yang sekarang tidak
bersekolah. Ia bekerja sebagai penjual mie ayam, tetapi sudah lama berhenti karena sakit yang dideritanya. Suaminya sudah meninggal.
b. Pasien biasanya tidur bersama dengan anak perempuannya. c. Penghasilan keluarga kurang lebih Rp 750.000,00 perbulan dan
konsumsi makanan dengan menu seadanya. Pasien tidak merokok maupun mengkonsumsi alcohol dan obat terlarang.
d. Lingkungan rumah dengan sanitasi yang kurang baik; lantai tidak
berkeramik, ventilasi yang kurang, penyinaran kurang, dinding rumah batu bata dan kayu dan langit-langit tidak menggunakan eternit.
C. OBJECTIVE 1. 2.
3.
Pemeriksaan Fisik
a. Kepala b. Mata
: dbn : sianosis (-) : JVP (-) deviasi trachea (-), pembesaran KGB (+)
KelenjarGetahBening
1) Submandibula : + 2) Supraklavicula: + 3) Leher 4) Ketiak
: +, berkelompok dan sebesar biji tasbih :+ Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : Simetris (kanan=kiri), retraksi (+) : : : ST Vokal fremitus sinistra=dekstra, Batas paru heparSIC 5 s.d. SD : bronchial (+/+)
g. Paru 1) 2)
SIC 7
4)
: Ictus Cordis tidak terlihat : Ictus Cordisteraba di SIC 5 selebar2 jari : Kanan atas SIC 2 linea parasternalis
LMCS (dbn)
3) Perkusi
dekstra Kanan bawah SIC 4 linea parasternalis sinistra Kiri atas SIC 2 linea parasternalis dekstra Kiri bawah SIC 5 2 jari linea midclavicula sinistra
4) Auskultasi i.
Abdomen :
1)
Inspeksi
2) 3) 4)
: bisingusus (+) normal : timpani, pekaksisi (-), pekakalih (-) : supel, undulasi (-), Nyeri Tekan (-),
: 10, 5 mg/dl : 30% : 11.960 /ul : 446.000/ul : 0/0/0/80.6/12.2/7 : 78.4 fl : 28.3 pikogram : 34.9 %
b. Pemeriksaan BTA
: Positif III
2) 3)
Terdapat infiltrate yang menyebar di kedua lapang paru Corakan broncovascular meningkat
D. ASSESSMENT
Pada Anamnesis terdapat gejala sesak nafas disertai batuk nausea, cepalgia, malaise, berkeringat malam,
sejak 2 bulan yang lalu yang disertai dengan penurunan beratbadan, orthopneu, dan demam. Terdapat riwayat pengobatan TB selama 6 bulan dan yang telah dinyatakan sembuh oleh Puskesmas.
b.
sebesar biji tasbih dan bergerombol. Pada auskultasi paru ; suara dasar bronchial dan suara tambahan ronki basah kasar
c.
Pemeriksaanpenunjang :
1. Mikrobiologis
kedualapangparu
c)
E. PLAN 1. Penegakan diagnosis a. Pemeriksaan ulang sputum terhadap pasien. b. Pemeriksaan Radiologis untuk melihat luasya lesi TB paru pasien. c. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap untuk melihat profil
hematologi pasien.
2. Terapi a. Medikamentosa 1) Tes alergi terhadap obat yang akan diberikan 2) OAT KDT Kategori 2 Fase Intensif (56 hari) dengan komposisi:
Monitoring
a. Tanda vital pasien b. Respon terapi. c. Efek samping terapi. d. Pemeriksaan sputum pasien pada akhir fase intensif, sebulan
lain
seperti
menggunakan
masker,
menggunakan
blower
diruangan pasien, menggunakan alat makan dan minum secara terpisah dari anggota keluarga lain.
PENDAHULUAN Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan paling sering bermanifestasi di paru. Tuberkulosis paru menyerang sepertiga dari 1,9 miliar penduduk dunia dewasa ini. Setiap tahun terdapat 8 juta kasus baru penderita tuberkulosis paru, dan angka kematian tuberkulosis paru 3 juta orang setiap tahunnya. 1% dari penduduk dunia akan terinfeksi tuberkulosis paru setiap tahun. Satu orang memiliki potensi menularkan 10 hingga 15 orang dalam 1 tahun (Achmadi, 2005). TB atau tuberkulosis adalah salah satu penyakit menular yang menjadi indikator keberhasilan pengendalian penyakit menular bersama dengan malaria karena Indonesia adalah salah satu dari high burden countries untuk penyakit TB. Prevalensi TB di Indonesia mencapai 262 per 100.000 penduduk atau setara dengan 582.000 kasus setiap tahunnya dengan deteksi kasus sebesar 76%. TB menjadi penyebab kematian ketiga terbesar penduduk Indonesia, yaitu sekitar 100.000 orang setiap tahunnya. Setiap tahun satu orang dapat menulari sekitar 10 hingga 15 orang dengan melepaskan bakteri TB ke udara dengan cara dihirup (Stalker, 2008)
Pada tahun 2010 di Banyumas terdapat 770 kasus TB baru BTA positif yang menunjukkan peningkatan dari tahun sebelumnya, yaitu 546 kasus dengan Case Detection Rate 63,52% (Dinkes, 2011).
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya. Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu definisi kasus yang meliputi empat hal (Kemenkes , 2009), yaitu berdasarkan: 1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru 2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA negatif 3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat 4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya
B. Etiologi dan Prediposisi
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobakterium tuberculosis, kuman batang tahan asam ini dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit. Ada beberapa mikobakteria patogen, tetapi hanya strain bovin dan human yang patogenik terhadap manusia. Basil tuberkel ini berukuran 0,3 x 2 sampai 4 um, ukuran ini lebih kecil dari satu sel darah merah.(Patrick, 2005) Di dalam jaringan kuman hidup sebagai parasit intra seluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain kuman ini adalah aerob, sifat ini memungkinkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apical paru-paru lebih tinggi daripada bagian lain sehingga bagian apikal ini merupakan predilaksi penyakit tuberculosis .(Patrick, 2005) Faktor predisposisi penyebab penyakit tuberculosis antara lain.(Patrick, 2005) 1. Aksesorganisme/lingkunganorganisme.
Kontak erat dengan terjadinya infeksi ini. Karena itu infeksi sering terjadi pada keadaan kerja yang kumuh dan tak higienis atau pada keadaan kehidupan yang kumuh dan tak higienis. 2. Kerentanan Sampai tingkat tertentu terdapat variabilitas individu dalam kerentanan. 3. Faktor-faktor lokal. Terdapatnya 4. Faktor-faktorumum. Faktor sosial dan ekonomi merupakan hal penting karena hal ini secara predominan merupakan penyakit pada mereka yang kekurangan gizi dan kurang diperhatikan. 5. Terapi kortikosteroid penyakit paru-paru kronik sebelumnya merupakan predisposisi yang sudah mapan.
C. Patofisiologi
Basil tuberkulosis masuk ke dalam tubuh tidak selalu menimbulkan penyakit. Terjadinya infeksi dipengaruhi oleh virulensi dan banyaknya basil tuberkulosis serta daya tahan tubuh manusia. Infeksi primer biasanya terjadi dalam paru. Ghon dan Kudlich (1930) mendapatkan bahwa 95.93 % dari 2.114 kasus mereka terdapat fokus primer di dalam paru. Hal ini disebabkan penularan sebagian besar melalui udara dan mungkin juga jaringan paru mudah terpapar infeksi tuberculosis karena memiliki kandungan oksigen yang sangat tinggi (Waspadji, 2006). Penyebaran kuman terjadi melalui udara. Hal ini disebabkan kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuklei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat menetap 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultra violet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Pada suasana lembab dan gelap kuman dapat bertahan berharihari sampai berbulanbulan. kuman akan menempel pada jalan nafas atau paru paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5 mikro. Apabila bakteri dalam jumlah bermakna berhasil menembus mekanisme pertahanan sistem pernafasan dan berhasil menempati saluran nafas bawah, maka penderita akan mencetuskan sistem imun dan peradangan yang kuat. Karena respon yang hebat ini, yang terutama diperantarai oleh sel T, maka hanya sekitar 5 % orang yang terpajan basil tersebut menderita tuberkulosis aktif. Yang bersifat menular bagi orang lain adalah mereka yang mengidap infeksi tuberkulosis aktif dan hanya pada masa infeksi aktif (Waspadji, 2006). Basil Mycobacterium tuberculosis sangat sukar dimatikan apabila telah mengkolonisasi saluran nafas bawah, maka tujuan respon imun adalah lebih umtuk mengepung dan mengisolasi basil bukan untuk mematikannya. Respon seluler melibatkan sel T dan makrofag. Makrofag mengelilingi basil diikuti oleh sel T dan jaringan fibrosa membungkus kompleks makrofag basil tersebut. Kompleks basil, makrofag, sel T, dan jaringan parut disebut tuberkel. Tuberkel akhirnya mengalami kalsifikasi dan disebut kompleks Ghon, yang dapat dilihat pada pemeriksaan sinar-X thoraks. Sebelum ingesti bakteri selesai, bahan mengalami perlunakan. Kondisi saat ini, mikroorganisme hidup
dapat memperoleh akses ke sistem trakeobronkus dan menyebar melalui udara ke orang lain. Bahkan walaupun telah dibungkus secara efektif, basil dapat bertahan hidup di dalam tuberkel. Diperkirakan bahwa karena viabilitas ini, sekitar 5 10 % individu yang pada awalnya tidak menderita tuberkulosis mungkin pada suatu saat dalam hidupnya akan menderita penyakit tersebut (Price & Wilson, 2005). Apabila kuman menetap di jaringan paru, kuman tumbuh dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan menjadi fokus primer. Basil tuberkulosis akan menyebar dengan cepat melalui saluran getah bening menuju kelenjar regional yang kemudian akan mengadakan reaksi eksudasi. Kerusakan pada paru akibat infeksi adalah disebabkan oleh basil serta reaksi imun dan peradangan yang hebat. Edema interstitium dan pembentukan jaringan parut permanent di alveolus meningkatkan jarak untuk difusi oksigen dan karbondioksida sehingga pertukaran gas menurun. Pembentukan jaringan parut dan tuberkel juga mengurangi luas permukaan yang tersedia untuk difusi gas sehingga kapasitas difusi paru menurun (Price & Wilson, 2005). Timbul kelainan yang apabila penyakitnya cukup luas, dapat menimbulkan vasokonstriksi hipoksik arteriol paru dan hipertensi paru. Jaringan parut juga dapat menurunkan compliance paru. Fokus primer, limfangitis, dan kelenjar gatah bening regional yang membesar, membentuk kompleks primer. Kompleks primer terjadi 210 minggu (68 minggu) setelah infeksi. Bersamaan dengan terbentuknya kompleks primer terjadi hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein yang dapat diketahui dari uji tuberkulin. Waktu antara terjadinya infeksi sampai terbentuknya kompleks primer disebut masa inkubasi (Price & Wilson, 2005).
Pada Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu
dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung pada pasien remaja dan dewasa, serta skoring pada pasien anak.
2. Pemeriksaan Fisik
Tanda dasar kelainan anatomis tuberkulosis paru terletak pada lobuli, jadi meliputi alveolus dan beberapa bronkiolus terminalis. Tanda-tanda dini berupa konsolidasi serta didapatkan ssekret di bronkus kecil. Karena proses menjalar pelan-pelan dan menahun, maka biasanya penderita datang dengan keadaan yang sudah lanjut sehingga kelainan fisik mudah diketahui. Jadi dapat dibayangkan hampir semua jenis proses terdapat di satu tempat dan kelainan-kelainan tersebut akan menimbulkan tanda fisik sebagai berikut :
a. Perubahan volume paru b. Perubahan pergerakan pernafasan c. Perubahan penghantaran getaran suara (Alsagaff,
2009) Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kalianan yang didapatkan tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan perkembangan penyakit umumnya tidak menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara nafas bronkial,
amforik, suara nafas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastimun (PDPI, 2002). Konsolidasi dan fibrosis pada parenkim paru dengan saluran pernafasan yang masih terbuka akan meningkatkan penghantaran getaran suara sehingga fremitus suara meningkat. Suara nafas menjadi bronkovesikuler atau bronkial, didapatkan bronkofoni atau suara bisik yang disebut whispered pectoriloque.Atelektasis obstruktif dan penebalan pleura akan menghambat penghantaran suara, tetapi atelektasis parsial meningkatkan penghantaran getaran suara.Sekret yang berada di dalam bronkus akan menimbulkan suara tambahan berupa ronki basah. Suara ronki kasar atau halus tergantung dari tempat sekret berada. Penyempitan saluran pernafasan menimbulkan ronki kering, dan jika penyempitan ini disertai kavitas, dapat terdengan suara yang disebut hollow sound sampai amforik (Alsagaff, 2009).
3. Pemeriksaan Penunjang a. Untuk Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
S(sewaktu):
Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
P(Pagi):
Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
S(sewaktu):
Dahak
dikumpulkan
di
UPK
pada
hari
kedua,
saat
Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
b. Indikasi Pemeriksaan Foto Toraks
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:
1) Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif.
2) Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3
spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).
3) Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas
berat
yang memerlukan
penanganan
khusus
(seperti:
pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).
c. Uji Tuberkulin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan dalam Screening TBC. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji
tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1 2 tahun 92%, 24 tahun 78%, 46 tahun 75%, dan umur 612 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi:
1. Pembengkakan (Indurasi) : 04mm, uji mantoux negatif.
Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi BCG. 3. Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif. Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. menguji diagnostik sindrom thalasemia ada beberapa pemeriksaan
E. Penatalaksanaan 1. Medikamentosa (Sudoyo, 2009)
Obat-obatan untuk pengobatan TB paru disebut sebagai OAT (Obat Anti Tuberkulosis). OAT sendiri dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Lini Pertama
Contoh obat lini pertama seperti isoniazid (H), rifampisin, (R), etambutol (E), pirazinamid (Z), danstreptomisin.
b. Lini Kedua
Contoh obat lini kedua adalah obat-obatan seperti, antibiotic golongan fluorokuinolon (siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin), sikloserin, etionamid, amikasin, kanamisin, kapreomisin dan paraaminosalisilat (Istiantoro & Setiabudy, 2009).
2HRZE/4H3R3 Yang artinya pasien akan diberi obat-obatan tersebut, isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol selama dua bulan pertama, OAT diberikan sehari satu kali.
b. Kategori II
2HRZES/HRZE/5H3R3E3 Yang artinya pasien akan diberi obat-obatan seperti kategori I, akan tetapi ditambah injeksi streptomisin (Kemenkes, 2009).
diterapkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment) yang dilakukan oleh seorang PMO (PengawasMenelanObat).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
tahap lanjutan. Tahap intensif diberikan dalam jangka waktu 2 bulan. Sedangkan tahap lanjutan diberikan dalam 4 bulan berikutnya (Kemenkes, 2009).
Kategori Kasus I
Keterangan
- TB paru BTA2 RHZE / 4 RH atau +, 2 RHZE / 6 HE BTA - , lesi *2RHZE / 4R3H3 luas - Kambuh -RHZES / 1RHZE / sesuai hasil uji Bila streptomisin resistensi atau 2RHZES / 1RHZE / alergi, dapat diganti Gagal 5 RHE kanamisin pengobatan -3-6 kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin / 15-18 ofloksasin, etionamid, sikloserin atau 2RHZES / 1RHZE / 5RHE - TB paru putusSesuai lama pengobatan berobat sebelumnya, lama berhenti minum obat dan keadaan klinis, bakteriologi dan radiologi saat ini (lihat uraiannya) atau *2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3 -TB paru BTA2 RHZE / 4 RH atau neg. lesi6 RHE atau minimal *2RHZE /4 R3H3 - Kronik RHZES / sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif) + obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan) Sesuai uji resistensi + OAT lini 2 atau H seumur hidup
II
II
III
IV
IV
- MDR TB
Sekarang, penggunaan obat yang terpisah kurang dianjurkan. Selain obat menjadi banyak, pasien juga akan menjadi malas untuk meminum obat dalam jumlah yang banyak. Maka dari itu, WHO dan IUATLD merekomendasikan untuk memberikan pasien dengan OAT-KDT (KombinasiDosisTetap). OAT-KDT adalah satu obat yang mengandung beberapa jenis obat. Jadi, dalam 1 OAT-KDT terkandung isoniazid (75 mg), rifampisin (150 mg), pirazinamid (400 mg) dan etambutol (275 mg). Penggunaan OAT-KDT ini mampu meningkatkan kepatuhan pasien dalam meminum obat, walaupun memiliki kelemahan seperti dosis yang kurang tepat, karena hanya berpatokan pada berat badan pasien (Kemenkes, 2009). Adapaun panduan pemberian jumlah OAT-KDT sebagai berikut : BeratBadan (kg) 30-37 38-54 55-70 >71 Jumlah OAT-KDT 2 tablet KDT 3 tablet KDT 4 tablet KDT
5
tablet KDT
orang lain.
b. Pasien harus patuh dalam meminum obat. c. Mengisolasi pasien dalam ruang tersendiri, agar penularan dapat
diminimalisir.
ventilasi, kelembaban dan kecukupan cahaya yang masuk ke dalam rumah (Alsagaff & Mukty, 2008).
F. Komplikasi
Beberapa komplikasi pada pasien tuberkulosis, baik sebelum pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang timbul adalah (PDPI, 2006) :
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Batuk darah Pneumotoraks Luluh paru Gagal napas Gagal jantung Efusi pleura
Komplikasi yang terjadi pada penderita TB Paru stadium lanjut (PDPI, 2006):
1) Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
dan sebagainya.
6) Insufisiensi Kardio Pulmoner. G. Prognosis
Ad vitam
: Dubia ad bonam
Ad sanam Ad fungsionam
KESIMPULAN
1. Tuberculosis adalah penyakit menular paru yang disebabkan kuman
Mycobacterium tuberculosa.
2. Mycobacterium Tuberculosa adalah bakteri tahan asam yang
bersifat negatif, dalam tubuh manusia memunculkan reaksi imun tipe lambat.
3. Bakteri tuberkulosa masuk kedalam tubuh manusia melalui udara
diikuti gejala-gejala seperti berkeringan pada malam hari, turun berat badan dan sesak apabila kondisi semakin parah.
5. Diagnosis dapat ditegakan melalui pemeriksaan sputum SPS. 6. Penatalaksanaanya diberikan terapi OAT selama 6 bulan atau lebih
secara teratur, diperlukan adanya petugas minum obat sebagai pengatur kepatuhan pasien dalam meminum obat.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U. F., 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Alsagaff, Hood dan H. Abdul Mukty. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press. 334 hal. Departemen Kesehatan. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2, cetakan pertama. Depkes, 2008.Pengendalian TB dan Penanganan Indonesia.Jakarta :Kementerian Kesehatan RI di
Dinkes, [. K. B., 2011. Profil Kesehatan Kabupaten Banyumas Tahun 2010. Purwokerto: Dinas Kesehatan Banyumas. Kementerian Kesehatan RI. 2009. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Kementeriam Kesehatan Republik Indonesia. Patrick, Davey, 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga. PDPI. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta : Indah Offset Citra Grafika Price, S. A., & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC; hal 753-761. Stalker, P., 2008. Millenium Development Goals. [Online] Available at: http://www.undp.or.id/pubs/docs/Let%20Speak%20Out %20for%20MDGs%20-%20ID.pdf [Diakses Maret 2012]. Waspadji, Sarwono. 2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FK UI, Hal 573 761. WHO. 2012. Guidelines on TuberculosisNew York :WHO Publishing