Anda di halaman 1dari 26

TUGAS PRESENTASI KASUS TB Paru BTA (+) Lesi Luas Kasus Kambuh

Disusun Oleh: Zuldi Erdiansyah NIM G1A009071

JURUSAN KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2012

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN PRESENTASI KASUS TB Paru BTA (+) Lesi Luas Kasus Kambuh

Diajukan sebagai syarat untuk melanjutkan proses pembelajaran Blok Early Clinical and Community Exposure III Jurusan Kedokteran, Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman

Disahkan dan dipresentasikan di Bagian Paru pada tanggal 27 Desember 2012

Pembimbing,

dr. Indah Rahmawati Sp.P NIP. ..

STATUS BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

A. IDENTITAS PASIEN 1. Namalengkap 2. Tempat / TanggalLahir 3. Status Perkawinan 4. Pekerjaan 5. Alamat 6. JenisKelamin 7. SukuBangsa 8. Agama 9. Pendidikan

: Ny. Alamah : wangon, 1963 : menikah : Pedagang : Wangon, Kab. Banyumas : Perempuan : Jawa : Islam : SD

B. SUBJECTIVE 1. KeluhanUtama 2. Onset 3. Kronologis a.

: Sesak nafas : 2 bulan :

2 bulan yang lalu pasien merasa kurang enak badan, batuk-

batuk terus menerus dengan dahak berwarna putih kental namun tidak mengeluarkan darah.
b. 4. Kualitas

Pasien dibawa ke RSMS karena keluhan sesak nafas. : mengganggu aktivitas sehingga pasien tidak dapat bekerja

5. Kuantitas : terus menerus 6. Faktor yang memperberat : melakukanaktivitas 7. Faktor yang memperingan 8. Keluhan penyerta

: istirahat :

a. Pasien merasa berat badannya semakin menurun b. Nafsu makan berkurang c. Demam d. Berkeringat malam hari e. Batuk-batuk dengan dahak kental bewarna putih tidak bercampur

darah
f.

Nyeri saat bernafas

g. Pusing dan sakit kepala h. Lemas 9. Riwayat Penyakit Dahulu a.

Pasien pernah menjalani pengobatan untuk penyakit TB

selama 6 bulan dan sudah dinyatakan sembuh oleh Puskesmas.


b.

Pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi, jantung, dan

kencingmanis
c.

Pasien juga menyangkal memiliki alergi terhadap makanan

dan obat-obatan yang pernah dikonsumsi


10. Riwayat Penyakit Keluarga a. Keluarga yang tinggal serumah tidak memiliki gejala yang sama

dengan pasien. Pasien juga menyangkal adanya keluarga yang pernah menjalani pengobatan TB

b. Riwayat tekanan darah tinggi, jantung, stroke, dan kencingmanis. c. Riwayat alergi dalam keluarga juga disangkal 11. Riwayat Sosial Ekonomi a. Pasien tinggal serumah dengan anaknya yang sekarang tidak

bersekolah. Ia bekerja sebagai penjual mie ayam, tetapi sudah lama berhenti karena sakit yang dideritanya. Suaminya sudah meninggal.
b. Pasien biasanya tidur bersama dengan anak perempuannya. c. Penghasilan keluarga kurang lebih Rp 750.000,00 perbulan dan

konsumsi makanan dengan menu seadanya. Pasien tidak merokok maupun mengkonsumsi alcohol dan obat terlarang.
d. Lingkungan rumah dengan sanitasi yang kurang baik; lantai tidak

berkeramik, ventilasi yang kurang, penyinaran kurang, dinding rumah batu bata dan kayu dan langit-langit tidak menggunakan eternit.

C. OBJECTIVE 1. 2.

Keadaanumum Vital sign: Tekanandarah Nadi Respiration Rate Suhu

: Compos Mentis : 100/70 mmHg : 100 kali/menit : 56 kali/menit : 36,40C

3.

Pemeriksaan Fisik
a. Kepala b. Mata

: mesochepal :Ca +/+ , Si -/-, eksoftalmus -/-.

c. Hidung d. Mulut e. Leher f.

: dbn : sianosis (-) : JVP (-) deviasi trachea (-), pembesaran KGB (+)

KelenjarGetahBening
1) Submandibula : + 2) Supraklavicula: + 3) Leher 4) Ketiak

: +, berkelompok dan sebesar biji tasbih :+ Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : Simetris (kanan=kiri), retraksi (+) : : : ST Vokal fremitus sinistra=dekstra, Batas paru heparSIC 5 s.d. SD : bronchial (+/+)

g. Paru 1) 2)

pengembangan simetris saat bernafas


3)

SIC 7
4)

: Ronchi basah kasar (+/+)

h. Cor : 1) Inspeksi 2) Palpasi

: Ictus Cordis tidak terlihat : Ictus Cordisteraba di SIC 5 selebar2 jari : Kanan atas SIC 2 linea parasternalis

LMCS (dbn)
3) Perkusi

dekstra Kanan bawah SIC 4 linea parasternalis sinistra Kiri atas SIC 2 linea parasternalis dekstra Kiri bawah SIC 5 2 jari linea midclavicula sinistra
4) Auskultasi i.

: S1>S2, normal : datar, supel

Abdomen :
1)

Inspeksi

2) 3) 4)

Auskultasi Perkusi Palpasi

: bisingusus (+) normal : timpani, pekaksisi (-), pekakalih (-) : supel, undulasi (-), Nyeri Tekan (-),

hepar dan lien tidak teraba


j.

Ekstrimitas : Edema -/-/Sianosis -/-/-

4. PemeriksaanPenunjang a. Pemeriksaan Laboratorium Darah 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)

Hb Ht Leukosit Trombosit Hitungjenisleukosit MCV MCH MCHC

: 10, 5 mg/dl : 30% : 11.960 /ul : 446.000/ul : 0/0/0/80.6/12.2/7 : 78.4 fl : 28.3 pikogram : 34.9 %

b. Pemeriksaan BTA

Metode Zeihl Nelson

: Positif III

c. Pemeriksaan Rontgen Toraks 1)

Jantung dalam batas normal

2) 3)

Terdapat infiltrate yang menyebar di kedua lapang paru Corakan broncovascular meningkat

Gambar 1. Foto Rontgen Thoraks

D. ASSESSMENT

Diagnosis Primer dan Dasar Diagnosis


1. Diagnosis Primer 2. Dasar Diagnosis a.

: TB Paru BTA (+) lesi luas kasus kambuh

Pada Anamnesis terdapat gejala sesak nafas disertai batuk nausea, cepalgia, malaise, berkeringat malam,

sejak 2 bulan yang lalu yang disertai dengan penurunan beratbadan, orthopneu, dan demam. Terdapat riwayat pengobatan TB selama 6 bulan dan yang telah dinyatakan sembuh oleh Puskesmas.

b.

Pemeriksaanfisik: terdapat pembesaran limfanodi cervicalis

sebesar biji tasbih dan bergerombol. Pada auskultasi paru ; suara dasar bronchial dan suara tambahan ronki basah kasar
c.

Pemeriksaanpenunjang :
1. Mikrobiologis

Zeihl Nelson: Positif III


2. Rontgen Toraks a) b)

Jantung dalam batas normal Terdapat infiltrate yang menyebar di

kedualapangparu
c)

Corakan broncovascular meningkat

E. PLAN 1. Penegakan diagnosis a. Pemeriksaan ulang sputum terhadap pasien. b. Pemeriksaan Radiologis untuk melihat luasya lesi TB paru pasien. c. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap untuk melihat profil

hematologi pasien.
2. Terapi a. Medikamentosa 1) Tes alergi terhadap obat yang akan diberikan 2) OAT KDT Kategori 2 Fase Intensif (56 hari) dengan komposisi:

2 tab 4 KDT Inj. Streptomycin 500 mg 1 dd Aquabidestilatavial 1 dd


3) IVFD Dextore 5 % 1000 ml flaboth 15 tpm

Infus set 1 Abocath macro 1


b. Nonmedikamentosa 1) Istirahat dan Perawatan a) Tirah baring. b) Isolasi penderita untuk mencegah penularan. c) Perawatan di tempat seperti makan, minum, mandi, dan buang air

dengan menjaga kebersihan.


d) Diet makanan cukup cairan, kalori, dan tinggi protein. e) Banyak minum untuk mencegah dehidrasi karena demam. 3.

Monitoring

a. Tanda vital pasien b. Respon terapi. c. Efek samping terapi. d. Pemeriksaan sputum pasien pada akhir fase intensif, sebulan

sebelum akhir pengobatan, dan akhir pengobatan.


e. Pemeriksaan fungsi hati pasien. f. Pemeriksaan radiologis paru pasien. 4. Edukasi a. Diagnosis penyakit pasien. b. Tatalaksana serta prognosis tentang penyakit pasien. c. Menjelaskan

lamanya berobat TB paru dan menjelaskan

pentingnya pengobatan teratur pada TB paru.


d. Melakukan tindakan pencegahan untuk penularan kepada orang

lain

seperti

menggunakan

masker,

menggunakan

blower

diruangan pasien, menggunakan alat makan dan minum secara terpisah dari anggota keluarga lain.

PENDAHULUAN Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan paling sering bermanifestasi di paru. Tuberkulosis paru menyerang sepertiga dari 1,9 miliar penduduk dunia dewasa ini. Setiap tahun terdapat 8 juta kasus baru penderita tuberkulosis paru, dan angka kematian tuberkulosis paru 3 juta orang setiap tahunnya. 1% dari penduduk dunia akan terinfeksi tuberkulosis paru setiap tahun. Satu orang memiliki potensi menularkan 10 hingga 15 orang dalam 1 tahun (Achmadi, 2005). TB atau tuberkulosis adalah salah satu penyakit menular yang menjadi indikator keberhasilan pengendalian penyakit menular bersama dengan malaria karena Indonesia adalah salah satu dari high burden countries untuk penyakit TB. Prevalensi TB di Indonesia mencapai 262 per 100.000 penduduk atau setara dengan 582.000 kasus setiap tahunnya dengan deteksi kasus sebesar 76%. TB menjadi penyebab kematian ketiga terbesar penduduk Indonesia, yaitu sekitar 100.000 orang setiap tahunnya. Setiap tahun satu orang dapat menulari sekitar 10 hingga 15 orang dengan melepaskan bakteri TB ke udara dengan cara dihirup (Stalker, 2008)

Pada tahun 2010 di Banyumas terdapat 770 kasus TB baru BTA positif yang menunjukkan peningkatan dari tahun sebelumnya, yaitu 546 kasus dengan Case Detection Rate 63,52% (Dinkes, 2011).

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya. Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu definisi kasus yang meliputi empat hal (Kemenkes , 2009), yaitu berdasarkan: 1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru 2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA negatif 3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat 4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya
B. Etiologi dan Prediposisi

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobakterium tuberculosis, kuman batang tahan asam ini dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit. Ada beberapa mikobakteria patogen, tetapi hanya strain bovin dan human yang patogenik terhadap manusia. Basil tuberkel ini berukuran 0,3 x 2 sampai 4 um, ukuran ini lebih kecil dari satu sel darah merah.(Patrick, 2005) Di dalam jaringan kuman hidup sebagai parasit intra seluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain kuman ini adalah aerob, sifat ini memungkinkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apical paru-paru lebih tinggi daripada bagian lain sehingga bagian apikal ini merupakan predilaksi penyakit tuberculosis .(Patrick, 2005) Faktor predisposisi penyebab penyakit tuberculosis antara lain.(Patrick, 2005) 1. Aksesorganisme/lingkunganorganisme.

Kontak erat dengan terjadinya infeksi ini. Karena itu infeksi sering terjadi pada keadaan kerja yang kumuh dan tak higienis atau pada keadaan kehidupan yang kumuh dan tak higienis. 2. Kerentanan Sampai tingkat tertentu terdapat variabilitas individu dalam kerentanan. 3. Faktor-faktor lokal. Terdapatnya 4. Faktor-faktorumum. Faktor sosial dan ekonomi merupakan hal penting karena hal ini secara predominan merupakan penyakit pada mereka yang kekurangan gizi dan kurang diperhatikan. 5. Terapi kortikosteroid penyakit paru-paru kronik sebelumnya merupakan predisposisi yang sudah mapan.

C. Patofisiologi

Basil tuberkulosis masuk ke dalam tubuh tidak selalu menimbulkan penyakit. Terjadinya infeksi dipengaruhi oleh virulensi dan banyaknya basil tuberkulosis serta daya tahan tubuh manusia. Infeksi primer biasanya terjadi dalam paru. Ghon dan Kudlich (1930) mendapatkan bahwa 95.93 % dari 2.114 kasus mereka terdapat fokus primer di dalam paru. Hal ini disebabkan penularan sebagian besar melalui udara dan mungkin juga jaringan paru mudah terpapar infeksi tuberculosis karena memiliki kandungan oksigen yang sangat tinggi (Waspadji, 2006). Penyebaran kuman terjadi melalui udara. Hal ini disebabkan kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuklei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat menetap 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultra violet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Pada suasana lembab dan gelap kuman dapat bertahan berharihari sampai berbulanbulan. kuman akan menempel pada jalan nafas atau paru paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5 mikro. Apabila bakteri dalam jumlah bermakna berhasil menembus mekanisme pertahanan sistem pernafasan dan berhasil menempati saluran nafas bawah, maka penderita akan mencetuskan sistem imun dan peradangan yang kuat. Karena respon yang hebat ini, yang terutama diperantarai oleh sel T, maka hanya sekitar 5 % orang yang terpajan basil tersebut menderita tuberkulosis aktif. Yang bersifat menular bagi orang lain adalah mereka yang mengidap infeksi tuberkulosis aktif dan hanya pada masa infeksi aktif (Waspadji, 2006). Basil Mycobacterium tuberculosis sangat sukar dimatikan apabila telah mengkolonisasi saluran nafas bawah, maka tujuan respon imun adalah lebih umtuk mengepung dan mengisolasi basil bukan untuk mematikannya. Respon seluler melibatkan sel T dan makrofag. Makrofag mengelilingi basil diikuti oleh sel T dan jaringan fibrosa membungkus kompleks makrofag basil tersebut. Kompleks basil, makrofag, sel T, dan jaringan parut disebut tuberkel. Tuberkel akhirnya mengalami kalsifikasi dan disebut kompleks Ghon, yang dapat dilihat pada pemeriksaan sinar-X thoraks. Sebelum ingesti bakteri selesai, bahan mengalami perlunakan. Kondisi saat ini, mikroorganisme hidup

dapat memperoleh akses ke sistem trakeobronkus dan menyebar melalui udara ke orang lain. Bahkan walaupun telah dibungkus secara efektif, basil dapat bertahan hidup di dalam tuberkel. Diperkirakan bahwa karena viabilitas ini, sekitar 5 10 % individu yang pada awalnya tidak menderita tuberkulosis mungkin pada suatu saat dalam hidupnya akan menderita penyakit tersebut (Price & Wilson, 2005). Apabila kuman menetap di jaringan paru, kuman tumbuh dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan menjadi fokus primer. Basil tuberkulosis akan menyebar dengan cepat melalui saluran getah bening menuju kelenjar regional yang kemudian akan mengadakan reaksi eksudasi. Kerusakan pada paru akibat infeksi adalah disebabkan oleh basil serta reaksi imun dan peradangan yang hebat. Edema interstitium dan pembentukan jaringan parut permanent di alveolus meningkatkan jarak untuk difusi oksigen dan karbondioksida sehingga pertukaran gas menurun. Pembentukan jaringan parut dan tuberkel juga mengurangi luas permukaan yang tersedia untuk difusi gas sehingga kapasitas difusi paru menurun (Price & Wilson, 2005). Timbul kelainan yang apabila penyakitnya cukup luas, dapat menimbulkan vasokonstriksi hipoksik arteriol paru dan hipertensi paru. Jaringan parut juga dapat menurunkan compliance paru. Fokus primer, limfangitis, dan kelenjar gatah bening regional yang membesar, membentuk kompleks primer. Kompleks primer terjadi 210 minggu (68 minggu) setelah infeksi. Bersamaan dengan terbentuknya kompleks primer terjadi hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein yang dapat diketahui dari uji tuberkulin. Waktu antara terjadinya infeksi sampai terbentuknya kompleks primer disebut masa inkubasi (Price & Wilson, 2005).

D. Penegakan Diagnosis 1. Anamnesis

Pada Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu

dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung pada pasien remaja dan dewasa, serta skoring pada pasien anak.
2. Pemeriksaan Fisik

Tanda dasar kelainan anatomis tuberkulosis paru terletak pada lobuli, jadi meliputi alveolus dan beberapa bronkiolus terminalis. Tanda-tanda dini berupa konsolidasi serta didapatkan ssekret di bronkus kecil. Karena proses menjalar pelan-pelan dan menahun, maka biasanya penderita datang dengan keadaan yang sudah lanjut sehingga kelainan fisik mudah diketahui. Jadi dapat dibayangkan hampir semua jenis proses terdapat di satu tempat dan kelainan-kelainan tersebut akan menimbulkan tanda fisik sebagai berikut :
a. Perubahan volume paru b. Perubahan pergerakan pernafasan c. Perubahan penghantaran getaran suara (Alsagaff,

2009) Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kalianan yang didapatkan tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan perkembangan penyakit umumnya tidak menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara nafas bronkial,

amforik, suara nafas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastimun (PDPI, 2002). Konsolidasi dan fibrosis pada parenkim paru dengan saluran pernafasan yang masih terbuka akan meningkatkan penghantaran getaran suara sehingga fremitus suara meningkat. Suara nafas menjadi bronkovesikuler atau bronkial, didapatkan bronkofoni atau suara bisik yang disebut whispered pectoriloque.Atelektasis obstruktif dan penebalan pleura akan menghambat penghantaran suara, tetapi atelektasis parsial meningkatkan penghantaran getaran suara.Sekret yang berada di dalam bronkus akan menimbulkan suara tambahan berupa ronki basah. Suara ronki kasar atau halus tergantung dari tempat sekret berada. Penyempitan saluran pernafasan menimbulkan ronki kering, dan jika penyempitan ini disertai kavitas, dapat terdengan suara yang disebut hollow sound sampai amforik (Alsagaff, 2009).
3. Pemeriksaan Penunjang a. Untuk Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
S(sewaktu):

Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
P(Pagi):

Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
S(sewaktu):

Dahak

dikumpulkan

di

UPK

pada

hari

kedua,

saat

menyerahkan dahak pagi.

Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
b. Indikasi Pemeriksaan Foto Toraks

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:
1) Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif.
2) Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3

spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).
3) Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas

berat

yang memerlukan

penanganan

khusus

(seperti:

pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).
c. Uji Tuberkulin

Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan dalam Screening TBC. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji

tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1 2 tahun 92%, 24 tahun 78%, 46 tahun 75%, dan umur 612 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi:
1. Pembengkakan (Indurasi) : 04mm, uji mantoux negatif.

Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis.


2. Pembengkakan (Indurasi) : 59mm, uji mantoux meragukan.

Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi BCG. 3. Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif. Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. menguji diagnostik sindrom thalasemia ada beberapa pemeriksaan
E. Penatalaksanaan 1. Medikamentosa (Sudoyo, 2009)

Obat-obatan untuk pengobatan TB paru disebut sebagai OAT (Obat Anti Tuberkulosis). OAT sendiri dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Lini Pertama

Contoh obat lini pertama seperti isoniazid (H), rifampisin, (R), etambutol (E), pirazinamid (Z), danstreptomisin.
b. Lini Kedua

Contoh obat lini kedua adalah obat-obatan seperti, antibiotic golongan fluorokuinolon (siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin), sikloserin, etionamid, amikasin, kanamisin, kapreomisin dan paraaminosalisilat (Istiantoro & Setiabudy, 2009).

Pengobatan TB paru juga didasarkanpadakategorinya, yaitu :


a. Kategori I

2HRZE/4H3R3 Yang artinya pasien akan diberi obat-obatan tersebut, isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol selama dua bulan pertama, OAT diberikan sehari satu kali.
b. Kategori II

2HRZES/HRZE/5H3R3E3 Yang artinya pasien akan diberi obat-obatan seperti kategori I, akan tetapi ditambah injeksi streptomisin (Kemenkes, 2009).

Pengobatan TB paru dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :


a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa obat,

dengan jumlah tepat dan dosis yang tepat.


b. Untuk

menjamin kepatuhan pasien meminum obat maka

diterapkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment) yang dilakukan oleh seorang PMO (PengawasMenelanObat).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan

tahap lanjutan. Tahap intensif diberikan dalam jangka waktu 2 bulan. Sedangkan tahap lanjutan diberikan dalam 4 bulan berikutnya (Kemenkes, 2009).

Tabel 4. Ringkasan paduan obat

Kategori Kasus I

Paduan obat yang diajurkan

Keterangan

- TB paru BTA2 RHZE / 4 RH atau +, 2 RHZE / 6 HE BTA - , lesi *2RHZE / 4R3H3 luas - Kambuh -RHZES / 1RHZE / sesuai hasil uji Bila streptomisin resistensi atau 2RHZES / 1RHZE / alergi, dapat diganti Gagal 5 RHE kanamisin pengobatan -3-6 kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin / 15-18 ofloksasin, etionamid, sikloserin atau 2RHZES / 1RHZE / 5RHE - TB paru putusSesuai lama pengobatan berobat sebelumnya, lama berhenti minum obat dan keadaan klinis, bakteriologi dan radiologi saat ini (lihat uraiannya) atau *2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3 -TB paru BTA2 RHZE / 4 RH atau neg. lesi6 RHE atau minimal *2RHZE /4 R3H3 - Kronik RHZES / sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif) + obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan) Sesuai uji resistensi + OAT lini 2 atau H seumur hidup

II

II

III

IV

IV

- MDR TB

Catatan : * Obat yang disediakan oleh Program Nasional TB

Sekarang, penggunaan obat yang terpisah kurang dianjurkan. Selain obat menjadi banyak, pasien juga akan menjadi malas untuk meminum obat dalam jumlah yang banyak. Maka dari itu, WHO dan IUATLD merekomendasikan untuk memberikan pasien dengan OAT-KDT (KombinasiDosisTetap). OAT-KDT adalah satu obat yang mengandung beberapa jenis obat. Jadi, dalam 1 OAT-KDT terkandung isoniazid (75 mg), rifampisin (150 mg), pirazinamid (400 mg) dan etambutol (275 mg). Penggunaan OAT-KDT ini mampu meningkatkan kepatuhan pasien dalam meminum obat, walaupun memiliki kelemahan seperti dosis yang kurang tepat, karena hanya berpatokan pada berat badan pasien (Kemenkes, 2009). Adapaun panduan pemberian jumlah OAT-KDT sebagai berikut : BeratBadan (kg) 30-37 38-54 55-70 >71 Jumlah OAT-KDT 2 tablet KDT 3 tablet KDT 4 tablet KDT
5

tablet KDT

2. Nonmedikamentosa a. Pasien harus mengenakan masker untuk pencegahan penularan ke

orang lain.
b. Pasien harus patuh dalam meminum obat. c. Mengisolasi pasien dalam ruang tersendiri, agar penularan dapat

diminimalisir.

d. Menjaga atau memperbaiki imunitas tubuh dengan cara memakan

makanan yang bergizi serta berolahraga yang teratur.


e. Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan, terutama dalam hal

ventilasi, kelembaban dan kecukupan cahaya yang masuk ke dalam rumah (Alsagaff & Mukty, 2008).

F. Komplikasi

Beberapa komplikasi pada pasien tuberkulosis, baik sebelum pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang timbul adalah (PDPI, 2006) :
1. 2. 3. 4. 5. 6.

Batuk darah Pneumotoraks Luluh paru Gagal napas Gagal jantung Efusi pleura

Komplikasi yang terjadi pada penderita TB Paru stadium lanjut (PDPI, 2006):
1) Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat

mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.


2) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial. 3) Bronkiectasis dan fribosis pada Paru. 4) Pneumotorak spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan Paru. 5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal

dan sebagainya.
6) Insufisiensi Kardio Pulmoner. G. Prognosis

Ad vitam

: Dubia ad bonam

Ad sanam Ad fungsionam

: Dubia Ad bonam : Dubia Ad bonam

KESIMPULAN
1. Tuberculosis adalah penyakit menular paru yang disebabkan kuman

Mycobacterium tuberculosa.
2. Mycobacterium Tuberculosa adalah bakteri tahan asam yang

bersifat negatif, dalam tubuh manusia memunculkan reaksi imun tipe lambat.
3. Bakteri tuberkulosa masuk kedalam tubuh manusia melalui udara

dan menginfeksi paru utamanya bagian apikal dan basis.


4. Manifestasi klinis utama adalah batuk selama 2-3 minggu yang

diikuti gejala-gejala seperti berkeringan pada malam hari, turun berat badan dan sesak apabila kondisi semakin parah.
5. Diagnosis dapat ditegakan melalui pemeriksaan sputum SPS. 6. Penatalaksanaanya diberikan terapi OAT selama 6 bulan atau lebih

secara teratur, diperlukan adanya petugas minum obat sebagai pengatur kepatuhan pasien dalam meminum obat.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U. F., 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Alsagaff, Hood dan H. Abdul Mukty. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press. 334 hal. Departemen Kesehatan. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2, cetakan pertama. Depkes, 2008.Pengendalian TB dan Penanganan Indonesia.Jakarta :Kementerian Kesehatan RI di

Dinkes, [. K. B., 2011. Profil Kesehatan Kabupaten Banyumas Tahun 2010. Purwokerto: Dinas Kesehatan Banyumas. Kementerian Kesehatan RI. 2009. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Kementeriam Kesehatan Republik Indonesia. Patrick, Davey, 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga. PDPI. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta : Indah Offset Citra Grafika Price, S. A., & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC; hal 753-761. Stalker, P., 2008. Millenium Development Goals. [Online] Available at: http://www.undp.or.id/pubs/docs/Let%20Speak%20Out %20for%20MDGs%20-%20ID.pdf [Diakses Maret 2012]. Waspadji, Sarwono. 2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FK UI, Hal 573 761. WHO. 2012. Guidelines on TuberculosisNew York :WHO Publishing

Anda mungkin juga menyukai