Anda di halaman 1dari 6

TB paru pada anak

● Definisi
Tuberculosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan ditandai
oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell-
mediated hypersensitivity). Penyakit ini biasanya terletak di paru, tetapi dapat juga mengenai organ lain. Dengan
tidak adanya pengobatan yang efektif untuk penyakit yang aktif, biasanya terjadi perjalanan penyakit yang
kronik dan berakhir dengan kematian

● Klasifikasi

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting dilakukan untuk menetapkan paduan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai.

Klasifikasi penyakit Tuberkulosis paru

a. Tuberkulosis Paru (Zainita dkk, 2019). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TBC Paru
dibagi dalam : 1) Tuberkulosis Paru BTA (+) Kriteria hasil dari tuberkulosis paru BTA positif
adalah Sekurang-kurangnya 2 pemeriksaan dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (+) atau
1 spesimen dahak SPS hasilnya (+) dan foto rontgen dada menunjukan gambaran tuberkulosis
aktif. 2) Tuberkulosis Paru BTA (-) Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (-) dan
foto rontgen dada menunjukan gambaran Tuberkulosis aktif. TBC Paru BTA (-), rontgen (+)
dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk
berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas. b.
Tuberkulosis Ekstra Paru (PDPI, 2011).
b. TBC ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu : 1) TBC
ekstra-paru ringan Misalnya : TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. 2) TBC ekstra-paru berat Misalnya :
meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa duplex, TBC tulang belakang,
TBC usus, TBC saluran kencing dan alat kelamin.
c. Tipe Penderita (Zainita dkk, 2019). Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, ada
beberapa tipe penderita yaitu: 1) Kasus Baru penderita yang belum pernah diobati dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian). 2) Kambuh
(Relapse) Penderita Tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
Tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA (+). 3) Pindahan (Transfer In) penderita yang sedang mendapat
pengobatan di suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah . 4) Setelah Lalai (Pengobatan setelah
default/drop out) penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan dan berhenti 2 bulan
atau lebih, kemudian datang kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA (+).
● Klasifikasi
Klasifikasi WHO mengklasifikasikan TB berdasarkan 4 hal yaitu: (Bahar & Amin, 2014)
a. Lokasi anatomi penyakit
- TB paru. TB yang melibatkan parenkim paru atau trakeobronkial, termasuk TB milier.
- TB ekstra paru. TB yang terdapat di organ luar parenkim paru seperti pleura, kelenjar getah bening,
abdomen, genitourinaria, kulit, sendi-tulang, otak dll.
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
- Kasus baru, adalah pasien yang belum pernah dapat OAT sebelumnya atau riwayat mendapatkan
OAT < 1 bulan.
- Kasus dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang pernah
mendapatkan OAT ≥ 1 bulan. Kasus ini diklasifikasikan lebih lanjut
berdasarkan hasil pengobatan terakhir sebagai berikut:
1. Kasus kambuh, adalah pasien yang dulunya pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir pengobatan dan pada waktu sekarang ditegakkan
diagnosis TB episode rekuren. Kasus setelah pengobatan gagal, adalah pasien yang
sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir pengobatan.
2. Kasus setelah putus obat, adalah pasien yang pernah mendapat OAT
≥ 1 bulan dan tidak lagi meneruskannya selama > 2 bulan berturut-
turut atau dinyatakan tidak dapat dilacak pada akhir pengobatan.
3. Kasus dengan riwayat pengobatan lainnya, adalah pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan OAT dan hasil pengobatannya tidak diketahui atau tidak didokumentasikan.
4. Pasien pindah, adalah pasien yang dipindah dari register TB untuk melanjutkan
pengobatannya.
5. Pasien yang tidak diketahui riwayat pengobatannya, adalah pasien yang tidak dapat
dimasukkan dalam salah satu kategori diatas.
a. Hasil bakteriologik dan uji resistensi obat anti TB
- Sputum BTA positif
- Sputum BTA negatif
b. Status HIV
- Kasus TB dengan HIV postif.
- Kasus TB dengan HIV negative.
- Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui.
● Faktor Risiko
Ada dua faktor resiko yang mempengaruhi kejadian tuberculosis paru yaitu faktor karakteristik individu dan
faktor karakteristik lingkungan.
1. Faktor karakteristik individu
a. Jenis Kelamin. Dalam beberapa penelitian menunjukan bahwa laki-laki sering terkena tuberkulosis
paru dibandingkan perempuan. Hal ini terjadi karena laki-laki memiliki aktivitas yang lebih tinggi
dibandingkan perempuan sehingga kemungkinan terpapar lebih besar pada laki-laki. Menurut jenis
kelamin, jumlah kasus pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuanyaitu 1,5 kali dibandingkan pada
perempuan (Kementrian Kesehatan, 2016).
b. Umur Di Indonesia diperkirakan 75% penderita Tuberkulosis Paru adalah kelompok usia produktif
yaitu 15-50 tahun (Kemenkes RI, 2010). Hal tersebut dikarenakan kelompok usia produktif mempunyai
banyak aktivitas luar sehingga banyak berinteraksi dengan kegiatan kegiatan yang memiliki pengaruh
terhadap resiko tertular penyakit tuberkulosis paru.
c. Pekerjaan Jika pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu akan mempengaruhi terjadinya gangguan
saluran pernapasan dan umumnya TB paru. Jenis pekerjaan seseorang juga akan berdampak terhadap
pola hidup sehari-hari seperti makanan, minuman, dan kontruksi rumah (Hardiyanti M, 2017)
d. Tingkat Pendidikan Pendidikan yang tinggi akan mempengaruhi pengetahuan seseorang termasuk
mengenai kondisi rumah yang memenuhi kesehatan dan penyakit TB paru. Sehingga ia akan
berperilaku hidup bersih dan sehat (Hardiyanti M, 2017).
e. Status Gizi Apabila kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh cukup akan berpengaruh pada
daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap infeksi bakteri tuberkulosis paru. Namun apabila
keadaan gizi buruk maka akan mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit ini, karena kekurangan
kalori dan protein serta kekurangan zat besi, dapat meningkatkan risiko tuberkulosis paru (Apsari,
2018).
f. Riwayat merokok Merokok merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskular
serta penyebab utama lain dari kematian di seluruh dunia yaitu serebrovaskular, infeksi saluran napas
bawah, PPOK, TB, dan kanker saluran napas (Nurjana, 10 2015). Kebiasaan merokok meningkatkan
resiko terkena TB paru sebesar 2,2 kali (Achmadi, 2005).
g. Imunitas / Kekebalan Kekebalan dibagi menjadi dua macam, yaitu kekebalan alamiah dan buatan.
Kekebalan alamiah didapatkan apabila seseorang pernah menderita tuberkulosis paru dan secara
alamiah tubuh membentuk antibodi, sedangkan kekebalan buatan diperoleh sewaktu seseorang diberi
vaksin BCG (Bacillis Calmette Guerin). Tetapi bila kekebalan tubuh lemah maka bakteri tuberkulosis
paru akan mudah menyebabkan penyakit tuberkulosis paru (Fatimah, 2008).
h. Penyakit Komorbid Kondisi medis yang sering menyertai tuberkulosis adalah diabetes, HIV, dan
kanker, dimana kondisi ini akan memperlemah sistem imun tubuh untuk melawan bakteri tuberkulosis
(Oliviera, Kholis, & Ngestiningsih, 2016). Peningkatan risiko tuberkulosis aktif pada penderita DM
diduga akibat dari gangguan sistem imun yang ada pada penderita DM, peningkatan daya lekat kuman
Mycobacterium tuberculosis pada sel penderita DM, adanya komplikasi mikroangiopati,
makroangiopati dan neuropati, dan banyaknya intervensi medis pada pasien tersebut. Kegagalan sistem
imun menjadi penyebab DM sebagai faktor risiko aktivasi TB laten. Dikatakan bahwa 11 DM memiliki
potensi untuk bermanifes dalam bentuk klinis yang lebih berat (Wulandari & Sugiri, 2013). Infeksi
HIV mengakibatkan kerusakan luas sitem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity) sehingga jika
terjadi infeksi oportunistik seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah
bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita
tuberkulosis paru akan meningkat, dengan demikian penularan tuberkulosis paru di masyarakat akan
meningkat pula (Apsari, 2018).
2. Faktor karakteristik lingkungan Beberapa faktor lingkungan yang menjadi faktor resiko kejadian TB
paru, antara lain
a. Kepadatan hunian. Jumlah penghuni yang tidak sesuai dengan luas bangunan rumah akan
menyebabkan kekurangan oksigen. Jika salah seorang anggota keluarga terkena penyakit infeksi, maka
akan mudah menyebar ke anggota keluarga lainnya (Notoatmodjo, 2003)
b. Pencahayaan. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan dapat menjadi tempat yang baik untuk
berkembangnya bibitbibit penyakit. Sebaliknya, terlalu banyak cahaya di dalam rumah dapat
menyebabkn kerusakan mata (Notoatmodjo, 2003).
c. Ventilasi. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembapan udara di ruangan itu naik karena terjadi
proses penguapan cairan 12 dari kulit dan penguapan. Sehingga merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri patogen termasuk TB (Notoatmodjo, 2003).
d. Kondisi rumah. Lantai dan dinding yang sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu,
sehingga menjadi media yang baik untuk perkembangbiakan kuman
● Diagnosis
Dengan menggabungkan riwayat medis yang lengkap dan pemeriksaan klinis dengan pemeriksaan mikrobiologi,
radiologi, histologi, biologimolekular, dan imunologi, TB paru dapat didiagnosa (Kolk, 2012).
● Pemeriksaan Klinis Gejala Klinis
Keluhan utama pasien TB dapat bervariasi atau bahkan banyak pasien yang tidak bergejala dalam pemeriksaan
kesehatan. Keluhan terbanyak dalam penyakit tuberkulosis yaitu:
a. Demam Meskipun terkadang dapat mencapai suhu 41° Celcius, demam yang terjadi biasanya subfebril,
mirip dengan demam influenza. Mereka yang menderita keluhan demam merasa seperti mereka tidak
pernah sembuh dari demam karena gejalanya berulang. Beratnya infeksi dan daya tahan tubuh pejamu
memengaruhi kondisi ini.
b. Batuk/batuk darah Ini adalah gejala yang paling umum. Batuk mrpakan gejala bronkitis, dan tubuh
menggunakan batuk sebagai mekanisme pertahanan untuk membuang zat inflamasi. Pada awalnya,
batuk adalah batuk kering, tetapi ketika penyakitnya menjadi parah, batuk berubah menjadi sputum.
Karena pembuluh darah pecah, batuk darah dapat menjadi penyakit lanjutan. Meskipun batuk darah
paling sering terjadi di sinus, ulkus bronkial juga dapat mengalaminya (Amin, 2014).
c. Sesak napas Gejala ini jarang terjadi pada tahap awal penyakit. Penyakit yang lebih parah dapat
menyebabkan sesak napas karena infiltrasi telah mempengaruhi separuh paru-paru.
d. Nyeri dada Selama inspirasi atau ekspirasi, gesekan antara dua pleura yang meradang dan terinfiltrasi
menyebabkan ketidaknyamanan ini.
e. Malaise Anoreksia, penurunan berat badan, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat pada malam hari
meskipun tidak bergerak, kelelahan cepat, dll. adalah gejala malaise yang umum. Gejala ini semakin
parah seiring berjalannya waktu (Amin, 2014).
● Pemeriksaan Fisik Pada awalnya keluhan yang paling umum dijumpai adalah penurunan berat badan
atau ketidakmampuan untuk tumbuh dengan anoreksia yang membuat pasien terlihat lemas (malaise).
Pasien mungkin juga sering berkeringat, batuk, dan mengi. Pasien biasanya mengalami batuk kering,
yang membuat sulit untuk mendapatkan sputum. Terkadang, pasien tuberkulosis batuk berdarah atau
air liurnya mengandung darah. Infeksi sistemik seperti demam dan keringat saat tidur, kehilangan nafsu
makan, serta aktivitas berkurang jarang ditemukan (Nuriyanto, 2018). Tempat yang biasanya terjadi TB
paru adalah paru-paru di bagian atas.Perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial dapat
dilakukan jika dicurigai ada infiltrat yang agak luas. Suara napas seperti ronki basah, kasar, dan
nyaring juga akan ditemukan selama auskultasi. Namun, suara napas menjadi vesikular saat infiltrat ini
tertutup oleh 14 penebalan pleura. Suara hipersonor atau timpani biasanya muncul ketika terdapat
rongga yang cukup besar. Retraksi musculus intercostalis dan fibrosis yang luas sering terlihat pada
tuberkulosis paru lanjut. Isi mediastinum dan jaringan paru lainnya akan ditarik oleh bagian paru yang
kecil ini. Perkusi menghasilkan suara pekak. Menurut Amin (2014), suara napas dapat menjadi lebih
rendah atau bahkan tidak terdengar sama sekali. C. Pemeriksaan Radiologis Jantung, paru-paru, dan
saluran pernafasan dapat dilihat dalam rontgen dada. Rontgen dada juga mungkin menunjukan vertebra
termasuk tulang rusuk dan tulang selangka dan bagian atas tulang belakang (Purba, Zasneda, dan
Saragih, 2019). Salah satu pemeriksaan tambahan yang digunakan untuk menentukan diagnosis
tuberkulosis paru-paru adalah rontgen dada. Gambaran radiologi toraks biasanya mendukung diagnosis
tuberkuloma dengan menunjukkan Konsolidasi segmental atau lobar, efusi pleura, milier, atelektasis,
kavitas, dan kalsifikasi dengan infiltrat, serta pembesaran kelenjar hilar atau paratrakeal dengan atau
tanpa infiltrate (Nuriyanto, 2018).
● Klasifikasikasi tuberkulosis berdasarkan luas lesinya disebutkan di dalam buku Ilmu Penyakit
Dalam FK UI sebagai berikut :
a. Tuberculosis minimal: Terdapat sebagian kecil infiltrate non-kavitas pada suatu paru maupun kedua
paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu paru
b. Tuberkulosis lanjut sedang (moderately advance tuberculosis): Ada kavitas dengan diameter < 4cm.
Jumlah infiltrat bayangan halus < 1 bagian paru
c. Tuberkulosis sangat lanjut (far advanced tuberculosis): Terdapat infiltrate dan kavitas yang melebihi
keadaan pada tuberkulosis Lanjut sedang
Tuberkulosis paru juga dapat menunjukan gambaran perburukan (perluasan) penyakit, yaitu:
1. Pleuritis disebabkan oleh penyebaran hematogen atau infiltrasi primer yang menyebar langsung ke pleura.
Remaja sering mengalaminya, meski anak kecil di bawah usia 5 tahun biasanya tidak.
2. Penyebaran miliar Akibat penyebaran hematogen, sarang berukuran 1-2 mm atau seukuran jarum (milium)
tersebar merata di kedua paru. Pada rontgen dada, tuberkulosis milier terlihat seperti "badai salju".
Penyebaran tersebut juga dapat terjadi pada ginjal, tulang, persendian, selaput otak (Rasad, 2018).
3. Stenosis bronkus Stenosis bronkial yang disebabkan oleh atelektasis paru atau lobus paru yang terkena
sering melibatkan lobus kanan (sindrom lobus medius).
4. Timbulnya lubang (kavitas) Dinding lubang seringkali tipis dengan tepi yang halus atau tebal dengan tepi
yang tidak licin. Mungkin ada cairan yang terlihat di dalam, yang biasanya kecil. lubang kecil yang
dikelilingi oleh jaringan fibrotik dan tetap tidak berubah selama pemeriksaan normal(tindak lanjut) disebut
rongga residual dan berarti proses lama yang tenang
● Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Serologis Tes serologis, juga disebut tes antibodi, adalah tes in vitro dari reaksi antigen-antibodi.
Sampel serum darah dikenakan sejumlah tes laboratorium, termasuk yang ini, untuk mencari antibodi atau
antigen yang secara unik terkait dengan kelainan tertentu. Ada pendekatan langsung dan tidak langsung untuk
mendiagnosis TB menggunakan tes serologis. Berikut adalah teknik serologi langsung dan tidak langsung:
- Uji serologi metode direct Untuk mengidentifikasi tuberkulosis dalam urin, tes kuantitatif untuk deteksi
lipoarabinomannan (LAM) digunakan. Tes lain yang digunakan dalam uji coba adalah metode dipstik
(semikuantitatif) untuk mendeteksi LAM pada TB paru dan luar paru.
a. Deteksi LAM pada sputum
b. Deteksi antigen pada cairan tubuh
- Uji serologi metode Indirect Immunodiagnosis (uji serologi) indirect biasanya untuk mendeteksi Antibodi
terhadap antigen Mycobacterium tuberculosis.
a. Rapid Test Metode baru uji cepat untuk menegakkan diagnosis TB adalah Immunochromatography
Tuberculosis (ICT–TB), tes serologi yang mendeteksi antibodi Mycobacterium tuberculosis dalam
serum
b. Elisa / Enzyme Linked Immunosorbent Assay Metode ini merupakan salah satu uji serologis yang
memungkinkan untuk mendeteksi respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang diberi label
dengan enzim sebagai penanda reaksi dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.
c. Tuberculin Skin Test (TST) Injeksi 0,1 mL 5 TU PPD ke lengan bawah digunakan untuk TST.
Setelah 48-72 jam, reaksi positif ditunjukkan dengan eritema dan indurasi lebih dari 10 mm. (Buchari,
2019)
-Tes Cepat Molekuler (TCM) Penemuan terbaru dalam pemeriksaan molekuler, test cepat molekuler
menargetkan wilayah hotspot gen rpoB pada Mycobacterium tuberculosis. Ini terintegrasi dan mengolah
sediaan dengan ekstraksi deoxyribo nucleic acid (DNA) dalam cartridge sekali pakai. Dengan metode RT-
PCR GeneXpert, minimal 131 bakteri/ml sputum dapat ditemukan untuk bakteri TB, menurut penelitian
invitro. Menurut Naim (2018), waktu yang diperlukan untuk mendapatkan hasilnya kurang dari dua jam, dan
menggunakannya hanya membutuhkan instruksi dasar.
● Patogenesis dan Patofisiologi
Eksotoksin dan endotoksin tidak diproduksi atau ditemukan di dinding sel Mycobacterium TB. Biasanya,
mikroorganisme ini menyerang makrofag dan sel retikuloendotel lainnya. Dalam struktur sel yang disebut
fagosom, Mycobacterium TB tumbuh subur dan tumbuh. Mikroorganisme ini membuat "exported repetitive
proteins" yang menghentikan fagosom membentuk koneksi dengan lisosom, memungkinkan mereka melewati
enzim degradasi lisosom (Levinson, 2016).
Kehadiran organisme dan reaksi inang mempengaruhi lesi. Ada dua jenis lesi yang berbeda;
a. Lesi eksudatif,yang biasanya berhubungan dengan paru-paru sebagai tempat infeksi primer, terdiri dari
reaksi inflamasi langsung.
b. Lesi granulomatosa, terjadi di dalam wilayah sel raksasa yang merupakan rumah bagi basil tuberkel,
dan dikelilingi oleh sel epiteloid. Sel raksasa Langhans adalah sel yang sangat besar ini, dan merupakan
temuan patologis yang penting pada penyakit tuberkulosis. Menurut Levinson (2016), tuba adalah
granuloma yang telah mengalami core caseous necrosis dan dikelilingi oleh jaringan ikat.
Lesi TB paling sering di paru-paru. Istilah "kompleks Ghon" mengacu pada kumpulan lesi parenkim
eksudatif dan kebocoran kelenjar getah bening. Lesi primer sering terjadi di lobus bawah, sedangkan lesi
reaktivasi terjadi ke arah apeks. Pada organ yang teroksigenasi dengan baik termasuk ginjal, otak, dan tulang,
lesi yang diaktifkan kembali juga dapat berkembang. Pasien yang mengalami imunosupresi lebih mungkin
mengalami reaktivasi (Levinson, 2016).
Ada dua proses di mana organisme menyebar ke seluruh tubuh :
a. Tuberkel dapat mengikis ke dalam bronkus, melepaskan isinya, dan kemudian menyebar ke area lain di
paru-paru dengan memakan sistem pencernaan dan batuk ke bagian lain
b. Mikroba ini juga mampu menginfeksi beberapa organ dalam melalui sirkulasi. Ketika kekebalan seluler
tidak dapat menghentikan infeksi asli, penyebaran dapat dimulai lebih cepat.
● Komplikasi
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau dalam masa
pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Komplikasi tersebut dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut
(Departemen Kesehatan, 2003)
a) Komplikasi dini seperti: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis,TB usus.
b) Komplikasi yang sering terjadi pada penderita tuberculosis paru stadium lanjut, antara lain:
- Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena
syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
- Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
- Bronkiectasis dan fribosis pada Paru.
- Pneumotorak spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan Paru.
- Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya.
- Insufisiensi Kardio Pulmonal
● Tatalaksana
Penatalaksanaan penderita Tuberkulosis paru
a. Pengobatan TBC Paru Pengobatan tetap dibagi dalam dua tahap yakni:
1) Tahap intensif (initial), dengan memberikan 4–5 macam obat anti TB per hari dengan tujuan
mendapatkan konversi sputum dengan cepat (efek bakterisidal), menghilangkan keluhan dan mencegah
efek penyakit lebih lanjut, mencegah timbulnya resistensi obat
2) Tahap lanjutan (continuation phase), dengan hanya memberikan 2 macam obat per hari atau secara
intermitten dengan tujuan menghilangkan bakteri yang tersisa (efek sterilisasi), mencegah kekambuhan
pemberian dosis diatur berdasarkan berat badan yakni kurang dari 33 kg, 33 – 50 kg dan lebih dari 50
kg. Kemajuan pengobatan dapat terlihat dari perbaikan klinis (hilangnya keluhan, nafsu makan
meningkat, berat badan naik dan lain-lain), berkurangnya kelainan radiologis paru dan konversi sputum
menjadi negatif. Kontrol terhadap sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4, dan 6.
Pada yang memakai paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa pada akhir bulan ke-2, 5, dan 8. BTA
dilakukan pada permulaan, akhir bulan ke-2 dan akhir pengobatan. Kontrol terhadap pemeriksaan
radiologis dada, kurang begitu berperan dalam evaluasi pengobatan. Bila fasilitas memungkinkan foto
dapat dibuat pada akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus
kambuh.
a. Perawatan bagi penderita tuberkulosis Perawatan yang harus dilakukan pada penderita tuberkulosis adalah
1)Awasi penderita minum obat, yang paling berperan disini adalah orang terdekat yaitu keluarga.
2) Mengetahui adanya gejala efek samping obat dan merujuk bila diperlukan
3) Mencukupi kebutuhan gizi seimbang penderita
4) Istirahat teratur minimal 8 jam per hari
5) Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada bulan kedua, kelima dan enam
6) Menciptakan lingkungan rumah dengan ventilasi dan pencahayaan yang baik
● Pencegahan penularan TBC Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah :
1) Menutup mulut bila batuk
2) Membuang dahak tidak di sembarang tempat. Buang dahak pada wadah tertutup yang diberi lisol
3) Makan makanan bergizi
4) Memisahkan alat makan dan minum bekas penderita
5) Memperhatikan lingkungan rumah, cahaya dan ventilasi yang baik
6) Untuk bayi diberikan imunisasi BCG.

Anda mungkin juga menyukai