Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Pengertian Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh


kuman Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis yangdapat
menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT
(Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisamengganggu
penegakan diagnosis dan pengobatan TB Paru, (KEMENKES RI, 2017).
Penyakit Tuberkulosis merupakan penyakit yang menular berbahaya
dan menginfeksi tubuh manusia di bagian saluran pernafasan. Penyakit ini
disebabkan oleh bakteri Mycrobacterium tuberculosis (MTB) yang
ditularkan melalui udara (Mathofani & Febriyanti, 2020). Penularan bakteri
ini terjadi ketika seorang invidu menghirup (MTB) dari penderita yang
sedang batuk, bersin, berbicara atau meludah (Shaikh et al., 2019)
Tuberkulosis adalah salah satu penyakit menular yang dapat
menginfeksi semua kalangan mulai dari bayi, anak-anak, remaja sampai
lansia dan menimbulkan kesakitan dan kematian lebih dari 1 juta orang
setiap tahun. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri patogen yang disebut
Mycobacterium tuberculosis (MTB) (Yanti et al., 2019).

Pada kebanyakan orang, TB menginfeksi paru, namun dapat juga ditemukan

pada hampir semua organ tubuh seperti otak, tulang belakang, dan ginjal.

Berdasarkan dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa

tuberkulosis paru merupakan penyakit menular langsung yang menginfeksi

semua kalangan usia yang disebabkan oleh kuman yaitu Mycobacterium

tuberculosis. Umumnya penyakit ini menyerang paru- paru namun dapat

juga ditemukan pada organ tubuh lain seperti otak, tulang belakang dan

ginjal.
16

2.1.2 Etiologi Tuberkulosis

Tuberkulosis paru disebabkan oleh sejenis bakteri yang disebut


mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menyebar saat penderita TB Paru
batuk atau bersin dan orang lain menghirup droplet yang dikeluarkan yang
mengandung bakteri TB Paru. Meskipun TB Paru menyebar dengan cara
yang sama dengan flu, penyakit ini tidak menular dengan mudah. Seseorang
harus kontak waktu dalam beberapa jam dengan orang yang terinfeksi.
Misalnya, infeksi TB Paru biasanya menyebar antara anggota keluarga yang
tinggal di rumah yang sama. Akan sangat tidak mungkin bagi seseorang
untuk terinfeksi dengan duduk di samping orang yang terinfeksi di buas atau
kereta api. Selain itu, tidak semua orang dengan TB Paru dapat menularkan.
Anak dengan TB atau orang dengan infeksi TB yang terjadi di luar paru-
paru (TB ekstrapulmoner) tidak menyebabkan infeksi, (Puspasari, 2019).

Penyakit infeksi yang menyebar dengan rute naik di udara. Infeksi


disebabkan oleh penghisapan air liur yang berisi bakteri tuberculosis
mycobacterium tuberculosis. Seseorang yang terkena infeksi dapat
menyebabkan partikel kecil melalu batuk, bersin, atau berbicara.
Berhubungan dekat dengan mereka yang terinfeksi meningkatkan
kesempatan untuk transmisi. Begitu terhisap, organisme secara khas diam
didalam paru-paru, tetapi dapat menginfeksi dengan tubuh lainnya.
Organisme mempunyai kapsul sebelah luar (Prabantini, 2015).

2.1.3 Tipe Pasien Tuberkulosis

Menurut (Irianti et al., 2016), tipe pasien ditentukan berdasarkan


riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:

a. Kasus baru
Pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
17

b. Kasus kambuh (Relaps)


Pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif
(apusan atau kultur)

c. Kasus setelah putus berobat (Defaulth)


Pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.

d. Kasus setelah gagal (Failure)


Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.

e. Kasus pindahan (Transfer In)


Pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB
Paru lain untuk melanjutkan pengobatannya.

f. Kasus lain
Semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam

kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil

pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

2.1.4 Faktor Risiko Tuberkulosis


Menurut (Irianti et al., 2016) faktor risiko TB Paru yaitu :
a. Kontak yang dekat dengan seseorang yang memiliki TB Paru aktif.
b. Status imunocompromized (penurunan imunitas) misalnya, lansia,
kanker, terapi kortikosteroid, dan HIV.
c. Penggunaan narkoba suntikan dan alkoholisme.
d. Orang yang kurang mendapat perawatan kesehatan yang memadai
(misalnya, tunawisma atau miskin, minoritas, anak-anak, dan orang
dewasa muda).
e. Kondisi medis yang sudah ada sebelumnya termasuk diabetes, gagal
ginjal kronis, silicosis, dan kekurangan gizi.
18

f. Imigran dari Negara-negara dengan tingkat TB Paru yang tinggi


(misalnya, Haiti, Asia Tenggar).
g. Pelembagaan (misalnya, fasilitas perawatan jangka panjang, penjara).
h. Tinggal di perumahan yang dapat dan tidak sesuai standar
i. Pekerjaan (misalnya, petugas layanan kesehatan, terutama mereka
yang melakukan kegiatan berisiko tinggi.
Menurut (DEPKES RI, 2016) salah satu faktor risiko tuberkulosis
adalah daya tahan tubuh yang menurun. Secara epidemologi, kejadian
penyakit merupakan hasil dari interaksi tiga komponen, yaitu agent, host,
dan environment. Pada komponen host, kerentanan seseorang terkena
bakteri Mycobacterium tuberculosis dipengaruhi oleh daya tahan tubuh
seseorang.

2.1.5 Klasifikasi Tuberkulosis


Berdasarkan (Irianti et al., 2016) klasifikasi tuberkulosis paru
ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis yang
dibedakan ke dalam kriteria berikut :
a. Tuberkulosis paru BTA (Basil Tahan Asam) positif.
1. Tuberkulosis paru BTA positif yaitu kasus dengan hasil
pemeriksaan dahak mikroskopis BTA positif. Kriteria diagnostik
TB Paru BTA positif harus meliputi: Sekurang-kurangnya 2 dari 3
spesimen dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS) hasilnya BTA
positif.

a) Satu (1) spesimen dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)


hasilnyaBTA positif, foto toraks dada menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif.

b) Satu (1) spesimen dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)


hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB Paru positif
19

c) Satu (1) atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3


spesimen dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS) pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non obat anti
tuberkulosis (OAT).
2. Tuberkulosis paru BTA (Basil Tahan Asam) negatif
Tuberkulosis paru BTA negatif yaitu kasus yang tidak
memenuhi definisi pada TB Paru BTA positif. Kriteria diagnostik
TB Paru BTA negatif harus meliputi :
a) Paling tidak 3 spesimen dahak sewaktu , pagi ,sewaktu (SPS)
hasilnya BTA negatif.
b) Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi
pasien dengan HIV negatif.

2.1.6 Gejala klinis


Gejala utama pasien TB Paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
a. Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-
kadang dapat mencapai 40-41°C. Serangan demam pertama dapat
sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah
seterusnya sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari demam
influenza ini.
b. Batuk/Batuk Darah
Terjadi karena iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang produk-produk radang keluar. Keterlibatan bronkus pada
tiap penyakit tidaklah sama, maka mungkin saja batuk baru ada setelah
penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-
minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula.
20

Keadaan yang adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh


darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi
pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
c. Sesak Napas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak
napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut,
yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
d. Nyeri Dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi
radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi
gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.
e. Malaise
Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala
malaise sering ditemukan berupa anoreksia (tidak ada nafsu makan),
badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri
otot, dan keringat pada malam hari tanpa aktivitas. Gejala malaise ini
makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur,
(Indiyah, Yuswanitingsih, & Maunaturrohmah, 2018).

2.1.7 Patofisologi Tuberkulosis


Seorang penderita tuberculosis paru ketika bersin atau batuk
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).
Bakteri kemudian menyebar melalui jalan nafas ke alveoli, di mana pada
daerah tersebut bakteri bertumpuk dan berkembang biak. Penyebaran basil
ini dapat juga melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lain
(ginjal, tulang, korteks serebri) dan area lain dari paru-paru (Irianti et al.,
2016). Pada saat kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak dengan cara
membelah diri di paru, terjadilah infeksi yang mengakibatkan peradangan
pada paru, dan ini disebut kompleks
21

primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan


kompleks primer adalah 4-6 minggu. Setelah terjadi peradangan pada paru,
mengakibatkan terjadinya penurunan jaringan efektif paru, peningkatan
jumlah secret, dan menurunnya suplai oksigen (Yulianti et al, 2015).
Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas
perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag, sedangkan limfosit (biasanya
sel T) adalah sel imunoresponsifnya. Tipe imunitas seperti ini biasanya
lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit
dan limfokinnya. Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas
(lambat).
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat
dan seperti keju, lesi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang
mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang
terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast, menimbulkan respon berbeda.
Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan parut yang
akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberke.
Lesi primer paru-paru dinamakan fokus Gohn dan gabungan
terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan
kompleks Gohn respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah
pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam bronkus dan menimbulkan
kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding akvitas akan masuk
ke dalam percabangan trakeobronkhial. Proses ini dapat akan terulang
kembali ke bagian lain dari paru-paru, atau basil dapat terbawa sampai ke
laring, telinga tengah atau usus. Kavitas yangkecil dapat menutup sekalipun
tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut bila peradangan mereda
lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang
terdapat dekat perbatasan ronggabronkus. Bahan perkejuan dapat mengental
sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas
penuh dengan bahan perkejuan dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang
tidak terlepas keadaan ini dapat menimbulkan gejala dalam waktu lama atau
membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan
aktif.
22

Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah.


Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah
dalam jumlah kecil dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis
penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfohematogen, yang biasanya
sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut
yang biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila fokus
nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk
kedalam sistem vaskular dan tersebar ke organ-organ tubuh, (Irianti et al.,
2016).

2.1.8 Penularan Tuberkulosis


Tuberkulosis Paru ditularkan ketika seseorang penderita penyakit paru
aktif mengeluarkan oragnisme. Individu yang rentan menghirup droplet dan
menjadi terinfeksi. Bakteri ditransmisikan ke alveoli dan memperbanyak
diri. Reaksi inflamasi menghasilkan eksudat di alveoli dan
bronkopneumonia, granuloma, dan jaringan fibrosa. Awitan biasanya
mendadak.
Menurut (Irianti et al., 2016) penularan biasanya melalui paparan basil
tuberkulosis melalui cairan dari orang yang terkena TB Paru selama
berbicara, batuk, atau bersin. Gejala umum adalah batuk, demam,
hemoptisis, nyeri dada, kelelahan, dan penurunan berat badan. Masa
inkubasi adalah 4 hingga 12 minggu.
Periode paling kritis untuk pengembangannya adalah 6 sampai 12
bulan pertama setelah infeksi. Sekitar 5% dari mereka yang awalnya
terinfeksi dapat mengembangkan TB Paru atau keterlibatan di luar paru.
Infeksi pada sekitar 95% dari mereka yang awalnya terinfeksi menjadi laten
akan tetapi dapat terinfeksi kembali di kemudian hari pada orang dewasa
atau lebih tua (lansia), orang yang mengalami kekurangan berat badan dan
kurang gizi dan mereka yang menderita diabetes, silikosis, atau gastrektomi.
23

2.1.9 Masa Inkubasi


Mulai saat masuknya bibit penyakit sampai timbul gejala adanya lesi
primer atau reaksi tes tuberculosis postif kira-kira memakan waktu 2-10
minggu. Risiko menjadi TB Paru dan TB ekstrapulmoner progresif setelah
infeksi primer biasanya terjadi pada tahun pertama dan kedua. Infeksi laten
dapat berlangsung seumur hidup. Infeksi HIV meningkatkan risiko terhadap
infeksi TB Paru dan memperpendek masa inkubasi, (Irianti et al., 2016).

2.1.10 Komplikasi Tuberkulosis


Tanpa pengobatan, tuberkulosis bisa berakibat fatal. Penyakit aktif
yang tidak diobati biasanya menyerang paru-paru, namun bisa menyebar ke
bagian tubuh lain melalui aliran darah. Komplikasituberkulosis meliputi:
a. Nyeri tulang belakang. Nyeri punggung dan kekakuan adalah
komplikasi tuberkulosis yang umum.
b. Kerusakan sendi. Atritis tuberkulosis biasanya menyerang pinggul dan
utut.
c. Infeksi pada meningen (meningitis). Hal ini dapat menyebabkan sakit
kepala yang berlangsung lama atau intermiten yang terjadi selama
berminggu-minggu.
d. Masalah hati atau ginjal. Hati dan ginjal membantu menyaring limbah
dan kotoran dari aliran darah. Fungsi ini menjadi terganggu jika hati
atau ginjal terkena tuberkulosis.
e. Gangguan jantung. Meskipun jarang terjadi, tuberkulosis dapat
mengidentifikasi jaringan yang mengelilingi jantung, menyebabkan
pembengkakan kemampuan jantung untuk memompa secara efektif,
(Puspasari, 2019).
24

2.1.11 Penatalaksaan Tuberkulosis

a. Tujuan Pengobatan
Berdasarkan (Kemenkes RI, 2017) Pengobatan TB Paru bertujuan
untuk menyembuhkan pasien, memperbaiki produktivitas serta kualitas
hidup, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, dan memutuskan
rantai penularan.

b. Obat anti Tuberkulosis , dosis dan efek samping

Tabel 2.1 Obat anti Tuberkulosis dosis dan Efek samping

Dosis
Dosis Harian
NO Nama Obat Maksimal Efek Samping
mg/kgBB/hari
mg/hari
1. Isoniazid 5 (4-6) 300 hepatitis,neuritis
(H) perifer,hipersensitivitas
2. Rifampisin 10 (8-12) 600 gastrointestinal, reaksi
(R) kulit,hepatitis,
trombositopenia,
peningkatan enzim
hati, cairan tubuh
berwarna oranye
kemerahan
3. Pirazinamid 25 (20-30) 2000 Toksisitas hati,
(Z) artralgia,
gastrointestinal
4. Etambutol 15 (15-20) 1250 Neuritis optik,
(E) ketajaman mata
berkurang, buta warna
merah hijau,
penyempitan lapang
25

pandang,
hipersensitivitas,
Gastrointestinal

5. Streptomisin 15 (12-18) 1000 Ototoksik, nefrotoksik


(S)

Tabel 2.2 Perhitungan dosis OAT RO (Resisten Obat)

NO Jenis obat Dosis Harian Efek samping


1. Levofloksasin 750-1000 mg/ hr Gangguan pencernaan,diare,
sembelit
2. Moksifloksasin 400 mg/ hr Diare, pusing,sakit kepala
3. Kanamisin 15-20 mg/kg/hr Sakit tenggorokan, nyeri otot
4. Kapreomisin 15-20 mg/kg/hr Pendengaran terganggu,
jarang bak
5. Streptomisin 12-18 mg/kg/hr Mual, muntah,sakit perut
6. Sikloserin 500-750 mg/ hr Sakit kepala, vertigo
7. Linezolid 600 mg/ hr Diare, demam, jantung
berdebar
8. Etionamid 500-750 mg/ hr. Nafsu makan berkurang, sakit
perut , penurunan bb
9. Klofazimin 200–300 mg/ hr Gangguan gastrointestinal
10 Pirazinamid 20-30 mg/kg/hr Toksisitas hati, artralgia,
gastrointestinal
11. Etambutol 15-25 mg/kg/hr Neuritis optik, ketajaman
mata berkurang, buta warna
merah hijau
12. Isoniazid 15-20 mg/kg/hr hepatitis,neuritis
perifer,hipersensitivitas
13. Bedaquilin 400 mg/ hari Mual, muntah, sakit kepala
14. Asam PAS 8 g/ hari. -
15. Sodium PAS 8 g/ hari. -
26

2.1.12 Prinsip pengobatan

a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,


dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi
Dosis Tetap (OAT – KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan
b. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan
c. Tahap awal (intensif)
Langsung Pada tahap intensif pasien mendapat obat setiap hari
dan perlu diawasi secara untuk mencegah terjadinya resistensi obat
terutama rifamfisin. Bila pengobatan tahapintensif tersebut diberikan
secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu. Sebagianbesar pasien TB Paru BTA positif menjadi
BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
d. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan atau intermiten pasien mendapat jenis obat
lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap
lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan. (Kemenkes RI, 2017)

2.1.13 Panduan OAT


Paduan OAT dan peruntukannya.
1. Kategori-1
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

1. Pasien baru TB Paru BTA positif.


2. Pasien TB Paru BTA negatif foto toraks positif
3. Pasien TB ekstra paru
27

Tabel 2.3 Dosis Paduan OAT Kategori 1

Berat Tahap Intensif Tahap Lanjutan 3 kali


Badan tiap hari selama seminggu selama 16
56 hari RHZE minggu RH (150/150)
(150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

2. Kategori -2
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

1. Pasien kambuh
2. Pasien gagal
3. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat.
Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT Kategori 2

Tahap Lanjutan
Tahap Intensif tiap hari 3 kali seminggu
Berat RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) +
Badan E(400)
Selama 56 hari Selama Selama 20
28 hari minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT + 2 tab 2 tab 2KDT + 2
500 mg 4KDT tab Etambutol
Streptomisin inj.
38-54 kg 3 tab 4KDT + 3 tab 3 tab 2KDT + 3
750 mg 4KDT tab Etambutol
Streptomisin inj.
55-70 kg 4 tab 4KDT + 4 tab 4 tab 2KDT + 4
1000 mg 4KDT tab Etambutol
Streptomisin inj.
≥71 kg 5 tab 4KDT + 5 tab 5 tab 2KDT + 5
1000mg 4KDT tab Etambutol
Streptomisin inj.
28

2.1.14 Penegakan Diagnosis Tuberkulosis


Untuk mengetahui secara pasti bahwa seseorang menderita penyakit
tuberkulosis paru atau tidak , dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Radiologis

Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang


praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Lokasi lesi tuberkulosis
umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobusatas atau segmen
apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian
inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya
kadang-kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak
spesifik. Pada saat tuberkulosis baru mulai sedikit meninggi dengan
hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah
normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai
sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih
tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi.
2. Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan
ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat
dipastikan. Disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat
memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan.
3. Tes Tuberkulin (Mantoux)
Tes ini dilakukan dengan cara menempatkan sejumlah protein
TB (antigen) dibagian bawah lapisan atas kulit pada lengan . Reaksi
muncul akan berbeda-beda.Jika terinfeksi kulit akan bereaksi
dengan muncul benjolan merah dipermukaan kulit yang sudah di
tes dalam 2 hari .Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah
seseorang individu sedang atau pernah
29

mengalami infeksi M. Tuberculosae, M. Bovis, vaksinasi BCG dan


Myobacteria patogen lainnya, (Irianti et al., 2016).

2.1.15 Upaya Pencegahan Penularan Tuberkulosis Paru


Upaya pencegahan penularan TB Paru yang terbaik adalah dengan
cara menemukan dan mengobati pasien tersebut .Tujuan pencegahan
adalah menghalangi perkembangan penyakit dan kesakitan sebelum
sempat berlanjut. Konsep pencegahan meluas, mencakup langkah-langkah
untuk mengganggu atau memperlambat penyakit atau kelainanan.
(Dahmudin, 2018). Menurut (Kemenkes, 2018) upaya pencegahan
penularan TB Paru dilakukan dengan cara:

a. Membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat


b. Membudayakan perilaku etika berbatuk
c. Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan dan
d. lingkungannya sesuai dengan standar rumah sehat
e. Peningkatan daya tahan tubuh
f. Penanganan penyakit penyerta TB Paru
g. Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB Paru di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan, dan di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Mycobakterium Tuberkulosis, serta dapat menular melalaui droplet atau
percikan ludah yang dikeluarkan oleh penderita Tuberkulosis saat batuk
atau tertawa. Adapun kriteria upaya pencegahan penularan Tuberkulosis
paru adalah sebagai berikut, (Dahmudin, 2018) :

a. Selalu menganjurkan penderita tuberculosis paru harus menutup


mulut pada saat batuk.
b. Selalu menganjurkan agar penderita tuberculosis paru tidak meludah
disembarang tempat, harus pada tempat yang khusus.
c. Mengusahakan agar rumah atau setiap ruangan tersinari oleh sinar
matahari.
30
d. Selalu menjemur kasur, bantal dan tempat tidur yang dipakai oleh
penderita terutama di pagi hari secara rutin atau setiap hari.
e. Selalu membuka jendela setiap hari, khususnya pada pagi hari.
f. Selalu menjemur peralatan seperti gelas, sendok, garpu, yang telah
dipakai oleh penderita Tuberculosis paru.
g. Selalu menjaga kebersihan khususnya kebersihan rumah dan
lingkungan sekitar.
h. Selalu menjadi pengawas minum obat yang baik terhadap anggota
keluarga yang terkena TB Paru.
i. Selalu mengingatkan penderita agar selalu minum obat selama sakit.
j. Selalu memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan untuk mengetahui
kesehatannya.
k. Selalu mencuci tangan dengan bersih saat akan makan.
l. Selalu mengkonsumsi makanan seperti sayuran, daging.
m. Selalu menjaga kesehatan dengan cara berolahraga secara teratur.
n. Memperbanyak ventilasi rumah apabila kurang.
o. Selalu mendapatkan informasi dari puskesmas dalam hal penyakit TB
Paru.

2.2 Efikasi Diri

2.2.1 Pengertian Efikasi Diri


Menurut (Ningsih & Hayati, 2020) yang berarti efikasi diri merupakan
kepercayaan diri yang dimiliki seseorang tentang sejauh mana orang tersebut
mengerahkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas atau sejauh mana
tindakan yang dibutuhkan untukmencapainya.
Sementara Itu menurut (Ghufron, 2015) mendefinisikan efikasi diri
sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya
untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi hambatan.
Efikasi diri mengacu pada keyakinan akan kemampuan individu untuk
menggerakan motivasi, kemampuan kognitif, dan tindakan yang diperlukan
untuk memenuhi tuntutan situasi.
31

2.2.2 Aspek – aspek Efikasi Diri


Efikasi Diri Menurut (Ghufron, 2015), Efikasi Diri pada diri tiap
individu akan berbeda antara satu individu dengan yang lainnya berdasarkan
tiga dimensi. Berikut adalah tiga dimensi tersebut, yaitu :

a. Tingkat (level)
Dimensi ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas ketika
individu merasa mampu untuk melakukannya. Apabila individu
dihadapkan pada tugas-tugas yang disusun menurut tingkat kesulitannya,
maka Efikasi Diri individu mungkin akan terbatas pada tugas-tugas yang
mudah, sedang, atau bahkan meliputi tugas- tugas yang paling sulit,
sesuai dengan batas kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi
tuntutan perilaku yang dibutuhkan padamasing-masing tingkat. Dimensi
ini memiliki implikasi terhadap pemilihan tingkah laku yang dirasa
mampu dilakukannya dan menghindari tingkah laku yang berada di luar
batas kemampuan yang di rasakannya.

b. Kekuatan (strength)
Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kekuatan dari keyakinan atau
pengharapan individu mengenai kemampuannya. Pengharapan yang
lemah mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak
mendukung. Sebaliknya, pengharapan yang mantap mendorong individu
tetap bertahan dalam usahanya. Meskipun mungkin ditemukan
pengalaman yang kurang menunjang.Dimensi ini biasanya berkaitan
langsung dengan dimensi level, yaitu makin tinggi level taraf kesulitan
tugas, makin lemah keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya.

c. Generalisasi (generality)
Dimensi ini berkaitan dengan luas bidang tingkah laku yang mana
individu merasa yakin akan kemampuannya. Individu dapat merasa yakin
terhadap kemampuan dirinya. Apakah terbatas pada suatu aktivitas dan
situasi tertentu atau pada serangkain aktivitas dan situasi yang bervariasi.
32

2.2.3 Faktor – faktor yang mempengaruhi Efikasi Diri


Menurut (Hanif, 2018) Efikasi Diri dapat ditumbuhkan dandipelajari
melalui empat hal, yaitu:
a. Pengalaman Menguasai Sesuatu (Mastery Experience)
Pengalaman menguasai sesuatu yaitu performa masa lalu. Secara
umum performa yang berhasil akan menaikan Efikasi Diri individu,
sedangkan pengalaman pada kegagalan akan menurunkan.Setelah Efikasi
Diri kuat dan berkembang melalui serangkaian keberhasilan, dampak
negatif dari kegagalan-kegagalan yang umum akan terkurangi secara
sendirinya. Bahkan kegagalan-kegagalan tersebut dapat diatasi dengan
memperkuat motivasi diri apabilaseseorang menemukan hambatan yang
tersulit melalui usaha yang terus-menerus.
b. Modeling Sosial
Pengamatan terhadap keberhasilan orang lain dengan kemampuan
yang sebanding dalam mengerjakan suatu tugas akan meningkatkan
Efikasi Diri individu dalam mengerjakan tugas yang sama. Begitu pula
sebaliknya, pengamatan terhadap kegagalan orang lain akan menurunkan
penilaian individu mengenai kemampuannya dan individu akan
mengurangi usaha yang dilakukannya.
c. Persuasi Sosial
Individu diarahkan berdasarkan saran, nasihat, dan bimbingan
sehingga dapat meningkatkan keyakinannya tentang kemampuan-
kemampuan yang dimiliki dapat membantu tercapainya tujuan yang
diinginkan. Individu yang diyakinkan secara verbal cenderung akan
berusaha lebih keras untuk mencapai suatu keberhasilan. Namun
pengaruh persuasi tidaklah terlalu besar, dikarenakan tidak memberikan
pengalaman yang dapat langsung dialami atau diamati individu. Pada
kondisi tertekan dan kegagalan yang terus-menerus, akan menurunkan
kapasitas pengaruh sugesti dan lenyap disaat mengalami kegagalan yang
tidak menyenangkan.
33

d. Kondisi Fisik dan Emosional


Emosi yang kuat biasanya akan mengurangi performa, saat
seseorang mengalami ketakutan yang kuat, kecemasan akut, atau tingkat
stres yang tinggi, kemungkinan akan mempunyai ekspektasi efikasi yang
rendah.
Tinggi rendahnya Efikasi Diri seseorang dalam tiap tugas sangat
bervariasi. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa faktor yang
berpengaruh dalam mempersepsikan kemampuan diri individu. Ada
beberapa yang mempengaruhi Efikasi Diri, antara lain, (Hanif, 2018) :

1. Budaya
Budaya mempengaruhi Efikasi Diri melalui nilai (value),
kepercayaan (beliefs), dan proses pengaturan diri (self- regulation
process) yang berfungsi sebagai sumber penilaian Efikasi Diri dan juga
sebagai konsekuensi dari keyakinan akan Efikasi Diri.

2. Jenis Kelamin
Perbedaan gender juga berpengaruh terhadap Efikasi Diri. Hal ini
dapat dilihat dari penelitian (Bandura, 1997) yang menyatakan bahwa
wanita efikasinya lebih tinggi dalam mengelola perannya. Wanita yang
memiliki peran selain sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai wanita
karir akan memiliki Efikasi Diri yang tinggi dibandingkan dengan pria
yang bekerja.

3. Sifat dari tugas yang dihadapi


Derajat kompleksitas dari kesulitan tugas yang dihadapi oleh
individu akan mempengaruhi penilaian individu tersebut terhadap
kemampuan dirinya sendiri semakin kompleks suatu tugas yang dihadapi
oleh individu maka akan semakin rendah individu tersebut menilai
kemampuannya. Sebaliknya, jika individu dihadapkan pada tugas yang
mudah dan sederhana maka akan semakin tinggi individu tersebut
menilai kemampuannya.
34

4. Insentif eksternal
Faktor lain yang dapat mempengaruhi Efikasi Diri individu adalah
insentif yang diperolehnya. Bandura menyatakan bahwa salah satu faktor
yang dapat meningkatkan Efikasi Diri adalah competent contingens
incentive, yaitu insentif yang diberikan oleh orang lain yang
merefleksikan keberhasilan seseorang. Status atau peran individu dalam
lingkungan Individu yang memiliki status lebih tinggi akan memperoleh
derajat kontrol yang lebih besar sehingga Efikasi Diri yang dimilikinya
juga tinggi. Sedangkan individu yang memiliki status yang lebih rendah
akan memiliki kontrol yang lebih kecil sehingga Efikasi Diri yang
dimilikinya juga rendah. Informasi tentang kemampuan diri Individu
akan memiliki Efikasi Diri tinggi, jika ia memperoleh informasi positif
mengenai dirinya, sementara individu akan memiliki efikasi diri yang
rendah, jika ia memperoleh informasi negatif mengenai dirinya.
2.2.4 Fungsi Efikasi Diri
Efikasi Diri yang telah terbentuk akan mempengaruhi dan memberi
fungsi pada aktifitas individu. Menurut (Imanti, 2019) menjelaskan tentang
pengaruh dan fungsi tersebut, yaitu:

a. Fungsi kognitif
Bandura menyebutkan bahwa pengaruh dari Efikasi Diri padaproses
kognitif seseorang sangat bervariasi. Pertama, Efikasi Diri yang kuat akan
mempengaruhi tujuan pribadinya. Semakin kuat Efikasi Diri, semakin
tinggi tujuan yang ditetapkan oleh individu bagi dirinya sendiri dan yang
memperkuat adalah komitmen individuterhadap tujuan tersebut. Individu
dengan Efikasi Diri yang kuat akan mempunyai cita-cita yang tinggi,
mengatur rencana dan berkomitmen pada dirinya untuk mencapai tujuan
tersebut. Kedua, individu dengan Efikasi Diri yang kuat akan
mempengaruhi bagaimana individu tersebut menyiapkan langkah-langkah
antisipasibila usahanya yang pertama gagal dilakukan.
35

b. Fungsi motivasi
Efikasi Diri memainkan peranan penting dalam pengaturan motivasi
diri. Sebagian besar motivasi manusia dibangkitkan secara kognitif.
Individu memotivasi dirinya sendiri dan menuntun tindakantindakannya
dengan menggunakan pemikiran-pemikiran tentang masa depan sehingga
individu tersebut akan membentuk kepercayaan mengenai apa yang dapat
dirinya lakukan. Individu juga akan mengantisipasi hasil-hasil dari
tindakan-tindakan yang prospektif, menciptakan tujuan bagi dirinya
sendiri dan merencanakan bagian dari tindakan-tindakan untuk
merealisasikan masa depan yang berharga.
Efikasi Diri mendukung motivasi dalam berbagai cara dan
menentukan tujuan-tujuan yang diciptakan individu bagi dirinya sendiri
dengan seberapa besar ketahanan individu terhadap kegagalan. Ketika
menghadapi kesulitan dan kegagalan, individu yang mempunyai keraguan
diri terhadap kemampuan dirinya akan lebih cepat dalam mengurangi
usaha-usaha yang dilakukan atau menyerah. Individu yang memiliki
keyakinan yang kuat terhadap kemampuan dirinya akan melakukan usaha
yang lebih besar ketika individu tersebut gagal dalam menghadapi
tantangan. Kegigihan atau ketekunan yang kuat mendukung bagi
mencapaian suatu performansi yang optimal. Efikasi Diri akan
berpengaruh terhadap aktifitas yang dipilih, keras atau tidaknya dan tekun
atau tidaknya individu dalam usaha mengatasi masalah yang sedang
dihadapi.

c. Fungsi Afeksi
Efikasi Diri akan mempunyai kemampuan koping individu dalam
mengatasi besarnya stres dan depresi yang individu alami pada situasi yang
sulit dan menekan, dan juga akan mempengaruhi tingkat motivasi individu
tersebut. Efikasi Diri memegang peranan penting dalam kecemasan, yaitu
untuk mengontrol stres yang terjadi. Penjelasan tersebut sesuai dengan
pernyataan Bandura bahwa Efikasi Diri mengatur perilaku untuk
menghindari suatu kecemasan. Semakin kuat Efikasi Diri,
36

individu semakin berani menghadapi tindakan yang menekan dan


mengancam. Individu yang yakin pada dirinya sendiri dapat
menggunakan kontrol pada situasi yang mengancam, tidak akan
membangkitkan pola-pola pikiran yang mengganggu. Sedangkan bagi
individu yang tidak dapat mengatur situasi yang mengancam akan
mengalami kecemasan yang tinggi. Individu yang memikirkan
ketidakmampuan coping dalam dirinya dan memandang banyak aspek
dari lingkungan sekeliling sebagai situasi ancaman yang penuh bahaya,
akhirnya akan membuat individu membesar-besarkan ancaman yang
mungkin terjadi dan khawatiran terhadap hal-hal yang sangat jarang
terjadi. Melalui pikiran-pikiran tersebut, individu menekan dirinya
sendiri dan meremehkan kemampuan dirinya sendiri.

d. Fungsi Selektif
Fungsi selektif akan mempengaruhi pemilihan aktivitas atau tujuan
yang akan diambil oleh indvidu. Individu menghindari aktivitas dan situasi
yang individu percayai telah melampaui batas kemampuan koping dalam
dirinya, namun individu tersebut telah siap melakukan aktivitas-aktivitas
yang menantang dan memilih situasi yang dinilai mampu untuk diatasi.
Perilaku yang individu buat ini akan memperkuat kemampuan, minat-
minat dan jaringan sosial yang mempengaruhi kehidupan, dan akhirnya
akan mempengaruhi arah perkembangan personal. Hal ini karena pengaruh
sosial berperan dalam pemilihan lingkungan, berlanjut untuk
meningkatkan kompetensi, nilai-nilai dan minat-minat tersebut dalam
waktu yang lama setelah faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan
keyakinan telah memberikan pengaruh awal.
2.2.5 Pengukuran Efikasi Diri
Menurut Kamilah (2015), berdasarkan penelusuran peneliti terhadap
alat ukur self-efficacy, peneliti mendapatkan alat ukur yang dapat digunakan
dalam pengukuran self-efficacy sebagai berikut:
37

a. General Self-Efficacy Scale (GSES)


General Self-Efficacy Scale yang dikembangkan oleh Schwazer &
Jerusalem pada tahun 1979. Terdiri atas 10 item, dengan rentang jawaban
1-4 dengan bentuk model skala likert yang digunakan untuk mengukur
keyakinan diri dalam menghadapi berbagai kesulitan dalamhidup. GSES
ini digunakan untuk anak berusia di atas 12 tahun.
b. General Self-Efficacy Scale Sherer (SGSES)
General Self-Efficacy Scale Sherer merupakan alat ukur self- efficacy
yang dikembangkan oleh sherer, dkk pada tahun 1982. Alat ukur ini
terdiri atas 17 item yang mengukur keyakinan seseorang akan
kemampuannya untuk mengatasi hambatan untuk sukses.
c. General Self-Efficacy Scale 12 (GSES-12)

General Self-Efficacy Scale 12 merupakan alat ukur self-efficacy yang


dikembangkan berdasarkan pada teori Sherer oleh Bosscher & Smith,
menemukan bahwa 5 item dari 17 item GSES memiliki kolerasi yang
rendah dan ambigu sehingga 5 item ini dihilangkan dan menjadi 12 item
dalam versi baru dari skala ini (GSES-12). Dimensi dari skala initerdari
atas 3 item mengungkapkan dimensi initiative, 5 item mengungkapkan
dimensi effort, 4 item mengungkapkan dimensi persistence.
d. New General Self-Efficacy Scale

New General Self-Efficacy Scale merupakan alat ukur terbaru dari


self-efficacy yang dikembangkan ileh Chen pada tahun 2001. NewGeneral
Self-Efficacy Scale ini terdiri dari 8 item.

2.3 Kepatuhan
2.3.1 Pengertian Kepatuhan
Kepatuhan adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu
tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan kebiasaan hidup sehat dan
ketetapan berobat. Dalam pengobatan, seseorang dikatakan tidak patuh
apabila orang tersebut melalaikan kewajibannya berobat, sehingga dapat
mengakibatkan terhalangnya kesembuhan, (Hanif, 2018).
38

Kepatuhan diartikan sebagai riwayat pengobatan penderita berdasarkan


pengobatan yang sudah ditetapkan. Kepatuhan minum obat sendiri kembali
kepada kesesuaian penderita dengan rekomendasi pemberi pelayanan yang
berhubungan dengan waktu, dosis, dan frekuensi pengobatan selama jangka
waktu pengobatan yang dianjurkan. Sebaliknya, “ketekunan” mengacu pada
tindakan untuk melanjutkan pengobatan untuk jangka waktu yang ditentukan
sehingga dapat didefinisikan sebagai total panjang waktu penderita
mengambil obat, dibatasi oleh waktu antara dosis pertama dan terakhir,
(Nurzaman, 2021).
Salah satu indikator kepatuhan dalam pengobatan Tuberkulosis adalah
kembali berobat atau tidaknya penderita setelah mendapatkan jadwal untuk
kontrol selanjutnya. Seorang penderita akan dikatakan patuh jika dalam
proses pengobatan penderita meminum obat sesuai dengan aturan pemakaian
obat dan tepat waktu dalam pengambilanobat. Tipe-tipe ketidakpatuhan
pasien anatara lain:

a. Tidak meminum obat sama sekali

b. Tidak meminum obat dalam dosis yang tepat/benar (terlalu kecil/terlalu


besar)

c. Meminum obat untuk alasan yang salah

d. Jarak waktu meminum obat yang kurang tepat/benar

e. Meminum obat lain disaat yang bersamaan sehingga menimbulkan


interaksi terhadap obat tuberkulosis tersebut, (Amalia, 2020).
Ketidakpatuhan meminum obat, tidak hanya diartikan sebagai tidak
minum obat, namun bisa memuntahkan obat ataupun mengkonsumsi obat
dengan dosis yang salah sehingga menimbulkan efek resisten terhadap obat
yang sering kita sebut dengan Multi Drug Resistance (MDR). Perbedaan
secara signifikan antara patuh dan tidak patuh belum ada, sehingga banyak
peneliti yang mendefinisikan patuh sebagai berhasil tidaknya suatu
pengobatan dengan melihat hasil, serta melihat proses dari pengobatannya
tersebut. Hal-hal yang dapat meningkatkan faktor ketidakpatuhan bisa karena
sebab yang disengaja dan tidak disengaja.
39

Ketidakpatuhan yang tidak disengaja terlihat pada penderita yang gagal


mengingat atau dalam beberapa kasus yang membutuhkan pengaturan fisik
untuk meminum obat yang sudah diresepkan. Ketidakpatuhan yang disengaja
berhubungan dengan keyakinan penderita terhadap pengobatan anatara
manfaat dan efeksamping yang dihasilkan, (Amalia, 2020).
2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum Obat
Menurut (Nurzaman, 2021) ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi perubahan perilaku klien untuk menjadi taat/tidak taat
terhadap program pengobatan, yang diantaranya dipengaruhi oleh faktor
predisposisi, faktor pendukung serta faktor pendorong, yaitu :

a. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi merupakan faktor utama yang ada didalam diri


individu yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, persepsi, kepercayaan
dan keyakinan, nilai-nilai serta sikap.

b. Faktor Pendukung

Faktor pendukung merupakan faktor yang diluar individu seperti :

1. Pendidikan Tingkat
Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang
bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif dalam
hal ini sekolah - sekolah umum mulai dari tingkat dasar sampai
perguruan tinggi yang menggunakan buku-buku danpenggunaan kaset
secara mandiri.

2. Akomodasi
Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian
pasien yang dapat memengaruhi kepatuhan, sebagai contoh, pasien
yang lebih mandiri harus dapat merasakan bahwa dia dilibatkan secara
aktif dalam program pengobatan, sementara pasien yang lebih
mengalami ansietas dalam menghadapi sesuatu,
40

harus diturunkan dahulu tingkat ansietasnya dengan cara meyakinkan


dia atau dengan teknik-teknik lain sehingga dia termotivasi untuk
mengikuti anjuran pengobatan dan jika tingkat ansietas terlalu tinggi
atau terlalu rendah, maka kepatuhan pasien akan berkurang.

3. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial


Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan
teman-teman. Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk
membantu kepatuhan terhadap program-program pengobatan seperti
pengurangan berat badan, membatasi asupan cairan, dan menurunkan
konsumsi protein.

4. Perubahan model terapi


Program-program pengobatan dapat dibuat sesederhana
mungkin, dan pasien terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut.
Dengan cara ini komponen-komponen sederhana dalam program
pengobatan dapat diperkuat, untuk selanjutnya dapat mematuhi
komponen-komponen yang lebih kompleks.

5. Meningkatkan interaksi tenaga kesehatan dengan pasien


Suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien
setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien
membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa
penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi
seperti itu. Suatu penjelasan tentang penyebab penyakit dan
bagaimana pengobatannya, dapat membantu meningkatkan
kepercayaan pasien. Untuk melakukan konsultasi selanjutnya dapat
membantu meningkatkan kepatuhan. Untuk meningkatkan interaksi
tenaga kesehatan dengan pasien, diperlukan suatu komunikasi yang
baik oleh seorang perawat, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan
pasien.
41

c. Faktor Pendorong
Faktor pendorong terwujud dalam sikap dan perilaku petugas
kesehatan atau petugas yang lain. Menurut (Nurzaman, 2021) faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah :

1. Faktor Demografi seperti usia, jenis kelamin, suku bangsa, status


sosial, ekonomi dan pendidikan.

2. Faktor penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala


akibat terapi.

3. Faktor psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga


kesehatan, penerimaan atau penyangkalan terhadap penyakit,
keyakinan agama atau budaya dan biaya finansial dan lainnya yang
termaksud dalam mengikuti regimen.
2.3.3 Instrumen kepatuhan minum obat (MMAS-8)
Morisky Medication Adherence Scale-8 (MMAS-8) merupakan bentuk
kuesioner standar yang dibuat pada tahun 1986 oleh Donald E. Morisky dari
universitas california, kuesioner yang mengukur kepatuhan pengobatan
pasien. Instrumen penelitian dari MMAS-8 yang dilakukan oleh Morisky,
dkk. 2011 (Amalia, 2020). Pengukuran pasien dalam mengkonsumsi obat anti
Tuberkulosis di Asia, kuesioner MMAS-8 merupakan metode yang sering
digunakan untuk mengukur tingkat kepatuhan pasien Tuberkulosis Paru
(Nurzaman, 2021).
Menurut World Health Organization 2017 rata-rata kepatuhan pasien
pada terapi jangka panjang terhadap penyakit kronis di negara maju sebesar
50% dan di negara berkembang diperkirakan akan lebih rendah (keamey et al,
2015) perbedaan tersebut terjadi karena ada beberapa faktor yang
menyebabkan ketidakpatuhan pasien, dan dikategorikan pada 5 kategori
yaitu: faktor sosial ekonomi, faktor-faktor yang berhubungan dengan terapi
pengobatan yang dijalani pasien, faktor perilaku pasien, faktor kondisi pasien,
dan faktor yang berasal dari pelayanan Kesehatan, (Amalia, 2020).
42

Jenis kuesioner MMAS-8 banyak digunakan untuk menilai tingkat


kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat. Hal ini dilakukan karena
kuesioner MMAS-8 yang telah diterjemahkan dalam bahasa indonesia yang
digunakan merupakan kuesioner MMAS-8 versi indonesia yang telah
dibakukan, oleh karena itu tidak perlu melakukan uji validitas lagi, sedangkan
kuesioner yang belum baku perlu dilakukan uji validitas (Nasir dkk, 2015
dalam Nurzaman, 2021). Pengukuran tingkat kepatuhan pasien Tuberkulosis
Paru dengan instrumen yang telah valid dan reliabel perlu dilakukan di
fasilitas kesehatan seperti puskesmas ataupun rumah sakit, untuk
memonitoring tingkat keberhasilan dari suatu pengobatan. Morisky
Medication Adherence Scale-8 (MMAS-8) merupakan skala kuesioner
dengan pertanyaan sebanyak 8 butir pertanyaan yang menyangkut dengan
kepatuhan meminum obat. Kuesioner ini telah tervalidasi pada penyakit
Tuberkulosis akantetapi dapat juga di lakukan pada penyakit lainnya, (
Amalia, 2020).

a. 8 untuk nilai kepatuhan tinggi

b. 6 - < 8 untuk nilai kepatuhan sedang

c. 0 - < 6 untuk nilai kepatuhan rendah

Menilai tingkat kepatuhan pasien tuberkulosis paru dapat di ukur


dengan menggunakan kuesioner MMAS-8. Item 1-7, jika di jawab “YA”
maka di beri nilai 0 dan jika jawaban nya “tidak” diberi nilai 1. Item 5 jika di
jawab “ya” maka diberi nilai 1 dan jika jawabannya “tidak” diberi nilai 0. Item
8 menggunakan skala likert 5 poin (0-1), dan kemudian hasilnya ditambahkan
dengan item 1 sampai 7. Skala likert 5 point terdiri dari 5 pendapat responden
yang diminta yaitu tidak pernah (1), pernah sekali (0,75), kadang-kadang
(0,50), biasanya (0,25), dan selalu (0). MMAS-8 dikategorikan menjadi 3
tingkat kepatuhan minum obat : kepatuhan tinggi(nilai 8), kepatuhan sedang
(nilai 6 - < 8), dan kepatuhan rendah (nilai 0 -< 6) (Amalia, 2020)
43

2.3.4 Hubungan Efikasi diri dengan kepatuhan Minum Obat


Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi menular disebabkan bakteri
mycrobacterium tuberculosis yang dapat menyerang berbagai organ,
terutama paru paru. Penyakit ini bila tidak diobati atau pengobatannya tidak
tuntas dapat menimbulkan komplikasi hingga kematian, (Novitasari, 2017).
Penderita Tuberkulosis paru selain faktor fisik, penting juga
diperhatikan faktor psikologis antara lain pemahaman individu yang dapat
mempengaruhi persepsi terhadap penyakit. Tuberkulosis paru merupakan
contoh klasik penyakit yang tidak hanya menimbulkan dampak terhadap
perubahan fisik, tetapi mental dan juga sosial. Bagi penderita Tuberkulosis
paru dampak secara umum, batuk yang terus menerus, sesak nafas, nyeri
dada, nafsu makan menurun, berat badan menurun, keringat pada malam hari
dan kadang-kadang demam yang tinggi, (Irmawati et al., 2019).
Ketidakpatuhan untuk berobat secara teratur bagi penderita
Tuberkulosis paru tetap menjadi hambatan untuk mencapai angka
kesembuhan yang tinggi. kebanyakan penderita tidak datang selama fase
intensif karena tidak adekuatnya motivasi dan keyakinan terhadap kepatuhan
berobat, besarnya angka ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan
tingginya angka kegagalan pengobatan penderita Tuberkulosis paru dengan
BTA yang resisten dengan pengobatan standar, (Irmawati et al., 2019).
Efikasi diri dibutuhkan seseorang untuk termotivasi, sadar dan mau
melakukan kegiatan yang dianggap perlu dan penting bagi dirinya. Efikasi
diri juga dapat mempengaruhi pemikiran perasaan, motivasi serta pilihan
seseorang yang dianggapnya berguna bagi dirinya. Menurut (Novitasari,
2017), semakin tinggi efikasi diri yang dimiliki oleh penderita TB Paru maka
akan semakin patuh ia meminum obat sesuai dengan anjuran dokter atau
tenaga kesehatan. Efikasi diri memberikan kontribusi terhadap pemahaman
yang lebih baik dalam proses perubahan perilaku Kesehatan sehingga efikasi
diri sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan, perilaku, dan
keterampilan.
44

Selain itu menurut (Novitasari, 2017), individu dengan efikasi diri


tinggi cenderung akan mengalami peningkatan signifikan terhadap kepatuhan
pengobatan, diet rendah garam, terlibat aktivitas fisik, tidak merokok, dan
melakukan manajemen berat badan. Bagi pasien TB Paru efikasi diri
dibutuhkan agar pasien tersadar dan mau melakukan dengan senang hati apa
yang menjadi kebutuhannya seperti patuh dalam pengobatan secara teratur.
Dengan demikian maka efikasi diri dapat memberi pengaruh pada kepatuhan
seseorang untuk melakukan sesuatu hal yang dianggap penting baginya.
Berdasarkan penelitian (Herawati & Purwanti, 2018) hubungan antara
pengetahuan dengan efikasi diri penderita tuberkulosis paru. Metode
penelitiannya menggunakan kuantitatif dengan pendekatan cross sectional.
Metode yang digunakan adalah non probability sampling. Populasi penelitian
ini adalah penderita TB Paru yang menjalani rawat jalan di Poliklinik TB
BBKPM. Sampel yang digunakan adalah 72 responden dengan teknik
pengambilan sampel accidental sampling. Hasil analisisnya diperoleh dengan
nilai p = 0,001. Adanya hubungan yang positif dan signifikan antara
pengetahuan dengan efikasi diri penderita TB Paru di BBKPM Surakarta.
Berdasarkan penelitian (Malinti et al., 2020) faktor yang berhubungan
dengan kepatuhan minum obat pasien TB di wilayah kerja puskesmas
parongpong. Metode penelitian ini menggunakan deskripsi analisis dengan
design penelitian cross-sectional Dalam penelitian ini diambil secara total
sampling sebanyak 23 responden. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja
Puskesmas Parongpong, pada bulan Oktober – November 2019. adanya
hubungan yang signifikan antara efikasi / keyakinan diri dari penderita TB
terhadap kepatuhan minum obat dengan nilai p 0,016 < 0,05. Tingkatkeeratan
sedang dengan nilai 0,494.
Berdasarkan penelitian (Arzit et al., 2020) Penelitian ini menggunakan
study kuantitatif dengan desain cros sectional. Jumlah sampel penelitian ini
adalah 45 orang yang diambil menggunakan teknik consecutive sampling.
hasil analisis diperoleh dengan nilai P-value 0,042 (<0,05) Terdapat
hubungan yang signifikan antara efikasi diri dengan kepatuhan minum obat
pada pasien TB Paru.
45

2.4 Kerangka Pemikiran


Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi menular disebabkan bakteri
mycrobacterium tuberculosis yang dapat menyerang berbagai organ, terutama
paru paru. Penyakit ini bila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat
menimbulkan komplikasi hingga kematian Tuberkulosis mempunyai dampak
yang luas terhadap kualitas hidup dan kasus kematian yang tinggi. Faktor yang
berpengaruh dalam upaya menekan atau mengendalikan angka kejadian
Tuberkulosis adalah keberhasilan pengobatan.
Pengobatan TB Paru diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan tahap awal (intensif). Pada tahap intensif pasien mendapat obat setiap
hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi
obat terutama rifamfisin. Pada tahap lanjutan atau intermiten pasien mendapat
jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap
lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan. Untuk itu sangatlah penting bagi penderita TB Paru
patuh terhadap terapi pengobatan yang sedang dijalani. (Desviana et al., 2020)
Kepatuhan minum obat adalah keselarasan antara penderita dengan
rekomendasi pemberi pelayanan yang berhubungan dengan jenis obat, dosis,
waktu serta frekuensi pengobatan untuk jangka waktu pengobatan yang
dianjurkan. Keberhasilan program dari pengobatan TB Paru ditentukan dari
kepatuhan pasien untuk meminum obat yang lengkap sampai selesai, untuk
mencapai target pengobatan diperlukan tindakan yang mampu mendorong
penderita untuk patuh menjalani pengobatan, (Fintiya et al., 2019).
Menurut (Ningsih & Hayati, 2020) Salah satu aspek afektif yang dapat
mempengaruhi kepatuhan minum obat adalah Efikasi Diri. Efikasi diri atau
Efikasi Diri yaitu keyakinan atas kompetensi diri. Efikasi diri merupakan
keyakinan seseorang untuk mengendalikan kemampuan dirinya sendiri yang
diwujudkan dengan serangkaian tindakan dalam memenuhi tuntutan-tuntutan
dalam hidupnya. Penderita dengan Efikasi Diri yang tinggi akan yakin bahwa
mereka sanggup melakukan sesuatu untuk mengubah hal-hal di sekitarnya,
sedangkan penderita dengan efikasi diri yang rendah akan menganggap dirinya
tidak sanggup mengerjakan segala sesuatu yang ada disekitarnya.
46

Efikasi diri dibutuhkan seseorang untuk termotivasi, sadar dan mau


melakukan kegiatan yang dianggap perlu dan penting bagi dirinya. Efikasi diri
juga dapat mempengaruhi pemikiran perasaan, motivasi serta pilihan seseorang
yang dianggapnya berguna bagi dirinya (Ningsih & Hayati, 2020).
Maka dari itu peneliti tertarik untuk meneliti penyakit tuberkulosis paru
apakah ada hubungan nya efikasi diri dengan kepatuhan minum obat OAT pada
pasien TB Paru yang dibuat dengan judul penelitian Hubungan Efikasi Diri
Dengan Kepatuhan Minum Obat OAT Pada Penderita TB Paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Palabuhanratu.

Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran Hubungan efikasi diri dengan kepatuhan


minum obat OAT di wilayah kerja Puskesmas Palabuhanratu.

Kepatuhan Minum
Efikasi Diri Obat

Keterangan :
Faktor yang diteliti
Adanya hubungan
47

2.5 Hipotesis
Penelitian Hipotesis adalah uraian suatu rumusan yang bertujuan
untukmembuat gambaran atau dugaan sementara tentang suatu peristiwa
yang akanterjadi apabila suatu gejala itu muncul, (Notoatmodjo, 2018).
Hipotesis dalam penelitian ini adalah Ada hubungan efikasi diri
dengan kepatuhan minum obat OAT pada penderita TB Paru di wilayah
kerja Puskesmas Palabuhanratu bentuk hipotesisnya adalah :
Ho : Tidak ada hubungan efikasi diri dengan kepatuhan minum obat OAT
pada penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Palabuhanratu.
H1 : Ada hubungan efikasi diri dengan kepatuhan minum obat OAT pada
penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Palabuhanratu.

Anda mungkin juga menyukai