OLEH :
GALUH AYUANTIWI
P27820717024
OLEH :
GALUH AYUANTIWI
P27820717024
A. Pengertian
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang menyerang parenkim
paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (Somantri, 2008).
1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru.
2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA
positif atau BTA negatif.
3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
4. Riwayat pengobatan TB sebelumnyaseperti baru diobati atau sudah
pernah diobati.
Kasus Baru, adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4
minggu).
Kasus Kambuh (Relaps), adalah pasien TB yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan
BTA positif (apusan atau kultur).
Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO), adalah pasien TB
yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
Kasus Gagal (Failure), adalah pasien yang hasil pemeriksaan
dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan
kelima atau lebih selama pengobatan.
Kasus Pindahan (Transfer In), adalah pasien yang dipindahkan
dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
Kasus lain, seperti semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan
diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien
dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulangan (Depkes RI, 2006).
D. Patofisiologi
Produksi Pecahnya pembuluh darah Merangsang hipotalamus Kerusakan membrane Perubahan cairan Reaksi sistematis
secret alveolar kapiler, merusak intrapleura
meningkat pluera
hemaptoe Suhu tubuh meningkat
Sesak nafas anoreksia Mual muntah
Sesak nafas & ekspansi
Tidak batuk HIPERTERMI toraks
dapat produktif POLA NAFAS Penurunan
HIPO anemia NAUSEA
batuk TIDAK EFEKTIF BB
produktif VOLE
batuk tiap MIA GANGGUAN Suplai O2 menurun
malam PERTUKARAN DEFISIT RESIKO
Kelemahan RESIKO
BERSIHAN GAS NUTRISI KETIDAKSEIMBA
JALAN INFEKSI Perfusi perifer terganggu NGAN CAIRAN
NAFAS GANGGUAN
INTOLERANSI
TIDAK POLA
AKTIVITAS
EFEKTIF TIDUR PERFUSI PERIFER TIDAK EFEKTIF
F. Manifestasi Klinis
Menurut Wong (2008) tanda dan gejala tuberkulosis adalah:
1. Demam
2. Malaise
3. Anoreksia
4. Penurunan berat badan
5. Batuk ada atau tidak
6. Peningkatan frekuensi pernapasan
7. Ekspansi buruk pada tempat yang sakit
8. Bunyi napas hilang dan ronkhi kasar, pekak pada saat perkusi
9. Demam persisten
10. Manifestasi gejala yang umum: pucat, anemia, kelemahan, dan penurunan
berat badan
G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Somantri (2008), pemeriksaan penunjang pada pasien tuberkulosis adalah:
1. Sputum Culture
2. Ziehl neelsen: Positif untuk BTA
3. Skin test (PPD, mantoux, tine, and vollmer, patch)
4. Chest X-ray
5. Histologi atau kultur jaringan: positif untuk Mycobacterium tuberculosis
6. Needle biopsi of lung tissue: positif untuk granuloma TB, adanya sel- sel besar
yang mengindikasikan nekrosis
7. Elektrolit
8. Bronkografi
9. Test fungsi paru-paru
10. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan Laboratorium
Diagnostic terbaik dari penyakit TB diperoleh dengan pemeriksaan
mikrobiologi melalui isolasi bakteri. Bahan pemeriksaan untuk isolasi
Mycobacterium Tuberculosis berupa :
a. Sputum, diambil pada pagi hari / sputum yang baru keluar.
b. Urine. Urine pertama di pagi hari
c. Cairan kumbah lambung. Pemeriksaan ini digunakan jika klien tidak
dapat mengeluarkan sputum.
d. Bahan-bahan lain, misalnya pus.
H. Komplikasi
Kerusakan jaringan paru yang massif
Gagal napas
Fistula bronkopleural
Pneumotoraks
Efusi Pleura
Pneumonia
Infeksi organ tubuh lain oleh focus mikrobakterial kecil
Penyakit hati terjadi sekunder akibat terapi obat
I. Penatalaksanaan
Zain (2001) membagi penatalaksanaan tuberculosis paru menjadi tiga bagian
yaitu pencegahan, pengobatan, dan penemuan penderita (active case finding).
Pencegahan TB Paru
1. Pemeriksaan kontak yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul
erat dengan penderita TB BTA positif. Pemeriksaan meliputi : tes
tuberculin, klinis, dan radiologis. Bila tes tuberculin positif maka
pemeriksaan radiologis foto thoraks diulang pada 6 dan 12 bulan
mendatang. Bila masih negative diberikan BCG vaksinasi.
2. Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan terhadap kelompok-kelompok
populasi tertentu, misal : penghuni rumah tahanan, petugas kesehatan,
siswa-sisiwi pesantren.
3. Vaksinasi BCG
4. Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12
bulan dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri
yang masih sedikit.
5. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberculosis
kepada masyarakat di tingkat puskesmas maupun di tingkat rumah sakit.
Pengobatan Tuberkulosis Paru
Berikut penatalaksanaan pengobatan tuberkulosisi. Mekanisme Kerja Obat
anti Tuberkulosis (OAT).
1. Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat
Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin (R) dan
Streptomisin (S).
Intraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin (R) dan
Isoniazid (INH).
2. Aktivitas sterilisasi, terhadap the persisters (bakteri semidormant).
Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin (R) dan
Isoniazid (INH).
Intraseluler, untuk slowly growing bacilli digunakan Rifampisin
dan Isoniazid. Untuk very slowly growing bacilli, digunakan
Pirazinamid (Z).
3. Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas
bakteriostatis terhadap bakteri terhadap asam.
Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Etambutol (E), asam
pra amino salisilik (PAS), dan sikloserine.
Intraseluler, kemungkinan masih dapat dimusnahkan oleh
Isoniazid dalam keadaan telah terjadi resistensi sekunder.
Pengobatan TB terbagi dalam dua fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan
obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai rekomendasi WHO
adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol.
(Depkes RI, 2004).
Penemuan penderita.
Terdapat empat kategori yaitu : kategori I,II,III, dan IV. Kategori ini
didasarkan pada urutan kebutuhan pengobatan.
J. Pencegahan
PNEUMOTHORAKS
A. DEFINISI
pneumothoraks
NYERI
AKUT DEFISIT
RESIKO
PENGETAHUAN
INFEKSI
F. MANIFESTASI KLINIS
A. PENGKAJIAN
1. PRIMARY SURVEY
a. Identitas pasien
b. Keluhan pasien : nyeri dada, sesak nafas, batuk terus
menerus, batuk darah
c. Riwayat penyakit sekarang
d. Riwayat penyakit dahulu : pasien TB Paru dalam pengobatan atau
tuntas berobat.
e. Airway : adanya sumbatan secret
f. Breathing : Peningkatan frekuensi pernapasan, Ekspansi
buruk pada tempat yang sakit, Bunyi napas hilang dan ronkhi
kasar, pekak pada saat perkusi, nafas pendek.
g. Circulation : sianosis, demam, hemaptoe.
h. Disability : perubahan tingkat kesadaran, gelisah.
2. SECONDARY SURVEY
a. Breathing
adanya sumbatan secret, Peningkatan frekuensi pernapasan,
Ekspansi buruk pada tempat yang sakit, Bunyi napas hilang dan
ronkhi kasar, pekak pada saat perkusi, nafas pendek. Saturasi
oksigen menurun. Batuk produktif
b. Blood
sianosis, hemaptoe, takikardia, penurunan Hb
c. Brain
Perubahan tingkat kesadaran, gelisah, nyeri dada, peningkatan
suhu tubuh
d. Bladder
Biasanya tidak ada keluhan
e. Bowel
Malaise, Anoreksia, Penurunan berat badan, mual dan muntah
f. Bone
Biasanya tidak ada keluhan.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan
nafas dibuktikan dengan sputum berlebih (D.0001)
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane
alveolus-kapiler dibuktikan dengan pola nafas abnormal (D.0003)
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas
dibuktikan dengan pola nafas abnormal (D.0005)
4. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran perifer
dibuktikan dengan warna kulit pucat (D.0009)
5. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik atau fisiologis
dibuktikan dengan mengeluh nyeri dan gelisah (D.0077)
6. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit dibuktikan dengan
suhu tubuh diatas normal (D.0130)
7. Nausea berhubungan dengan efek agen farmakologis dibuktikan dengan
mengeluh mual (D.0076)
8. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan
dibuktikan dengan berat badan turun (D.0019)
9. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan dibuktikan dengan
mengeluh lelah (D.0056)
10. Gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang control tidur dibuktikan
dengan mengeluh tidak pulas tidur (D.0055)
11. Deficit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang
penyakit dibuktikan dengan menanyakan masalah yang dihadapi (D.0111)
12. Resiko infeksi ditandai dengan tindakan invasive (D.0142)
13. Resiko hipovolemi dibuktikan dengan kehilangan cairan aktif (D.0034)
14. Resiko ketidakseimbangan cairan dibuktikan dengan disfungsi intestinal
(D.0036)
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan
nafas dibuktikan dengan sputum berlebih (D.0001)
Tujuan : bersihan jalan nafas meningkat
Kriteria hasil : batuk efektif meningkat, produksi sputum menurun,
frekuensi nafas membaik, pola nafas membaik.
(L.01001)
Intervensi :
Observasi
- Monitor pola nafas
- Monitor bunyi nafas tambahan
- Monitor sputum
Terapeutik
- Posisikan semifowler/fowler
- Berikan minum hangat
- Lakukan fisioterapi dada
- Berikan oksigen
Edukasi
- Ajarkan batuk efektif
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian ekspetoran
(SIKI 1.01011)
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane
alveolus-kapiler dibuktikan dengan pola nafas abnormal (D.0003)
Tujuan : pertukaran gas meningkat
Kriteria hasil : tingkat kesadaran meningkat, dispnea menurun, bunyi
nafas tambahan menurun, PCO2 membaik, PO2 membaik, pH arteri
membaik
(L.01003)
Intervensi :
Observasi
- Monitor frekuensi, irama kedalaman dan upaya nafas
- Monitor pola nafas
- Monitor kemampuan batuk efektif
- Monitor adanya produksi sputum
- Monitor adanya sumbatan jalan nafas
- Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
- Auskultasi bunyi nafas
- Monitor saturasi oksigen
- Monitor hasil x-ray toraks
(SIKI 1.01014)
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas
dibuktikan dengan pola nafas abnormal (D.0005)
Tujuan : pola nafas efektif
Kriteria hasil : frekuensi nafas membaik, kedalaman nafas membaik,
dispnea menurun
(L.01004)
Intervensi :
Observasi
- Monitor pola nafas
- Monitor bunyi nafas tambahan
Terapeutik
- Pertahankan kepatenan jalan nafas
- Berikan oksigen
(SIKI 1.01011)
4. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran perifer
dibuktikan dengan warna kulit pucat (D.0009)
(L.02011)
Intervensi :
Observasi
Terapeutik
(SIKI 1.02079)
5. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik atau fisiologis
dibuktikan dengan mengeluh nyeri dan gelisah (D.0077)
Tujuan : tingkat nyeri menurun
Kriteria hasil : Keluhan nyeri menurun, Meringis menurun, Gelisah
menurun, Kesulitan tidur menurun, Frekuensi nadi membaik, Pola nafas
membaik
(L.08066)
Intervensi :
Observasi
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
dan intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
Terapeutik
1. Berikan teknik nofarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
2. Fasilitasi istirahat tidur
Edukasi
1. Anjurkan penggunaan analgetik secara tepat
2. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik
(SIKI 1.08238)
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT SISTEM TUBUH 1
TUBERCULOSIS PARU + PNEUMOTHORAKS SPONTAN SEKUNDER
OLEH :
GALUH AYUANTIWI
P27820717024
NIM : P27820717024
I. Primary Survey
Nama : Ny. TYN
Umur : 39 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Suku / bangsa : Jawa / Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : tidak bekerja
Pendidikan : SMA
Alamat : Benowo, Surabaya
Diagnosa Medis : TBC Paru + Pneumothoraks Spontan Sekunder
Keluhan utama : Penurunan kesadaran setelah batuk darah
Airway :
Jalan nafas bebas
Breathing :
RR 28 x/menit, Ekspansi buruk pada dada sebelah kanan dengan tekanan 19
kPa, ronkhi kasar, terpasang NRM dengan aliran 8 lpm
Circulation :
TD 80/60 mmHg, Nadi 76x/menit dan lemah, kulit pucat, akral dingin basah
pucat, CRT >2 detik. Terpasang infus NaCl 0,9% 21 tpm ditangan kanan.
Disability :
Penurunan kesadaran, respon to verbal.
Hematocrit 35 – 47 % 32 %
pH 7,38-7,42 7.55
Spo2 96 – 100 % 92 %
IV. Terapi
Rifampisin 150 mg / 8 jam / oral
Isoniazid 75 mg / 8 jam / oral
Pirazinamid 400 mg / 8 jam / oral
Etambutol 275 mg / 8 jam / oral
Inj. Streptomicin 750 mg / 24 jam / IM
Metamizole 500 mg / 8 jam / IV
Ranitidin 50 mg / 12 jam / IV
Tramadol 100 mg / 8 jam / IV
Inf. NaCl 0,9% 1500 ml / 24 jam / IV / 21 tpm
ANALISA DATA
DO : pemasangan WSD
ditemukan
(SIKI 1.01011)
2. Gangguan pertukaran gas Tujuan : Observasi
berhubungan dengan perubahan setelah dilakukan - Monitor frekuensi, irama
membrane alveolus-kapiler tindakan kedalaman dan upaya
dibuktikan dengan PO2 menurun keperawatan 1x30 nafas
(D.0003) menit, pertukaran - Monitor pola nafas
gas meningkat - Monitor kemampuan
Kriteria hasil : batuk efektif
- tingkat - Monitor adanya produksi
kesadaran sputum
meningkat - Monitor adanya
- dispnea menurun sumbatan jalan nafas
- bunyi nafas - Palpasi kesimetrisan
tambahan ekspansi paru
menurun - Auskultasi bunyi nafas
- PCO2 membaik - Monitor saturasi oksigen
- PO2 membaik - Monitor hasil x-ray
- pH arteri toraks
membaik
(L.01003) (SIKI 1.01014)
3. Pola nafas tidak efektif Tujuan : Observasi
berhubungan dengan hambatan setelah dilakukan - Monitor pola nafas
upaya nafas dibuktikan dengan tindakan - Monitor bunyi nafas
pola nafas abnormal (D.0005) keperawatan 1x10 tambahan
menit, pola nafas
efektif Terapeutik
Kriteria hasil :
- frekuensi nafas - Pertahankan kepatenan
membaik jalan nafas
- kedalaman nafas - Berikan oksigen
membaik
- dispnea menurun (SIKI 1.01011)
(L.01004)
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Dx
D : respon to verbal
08.45 Pengambilan darah vena untuk pemeriksaan darah lengkap,
kimia klinik, dan pengambilan darah arteri untuk analisa gas
darah
Hematocrit 32 %
BUN 5 mg/dl
pH 7.55
Pco2 50 mmHg
Po2 70 mmHg
Spo2 92 %
A:
P:
Intervensi dilanjutkan
2. Gangguan pertukaran
gas S :
berhubungan dengan
Pasien mengalami penurunan
perubahan membrane alveolus- kesadaran
kapiler dibuktikan dengan PO2
O:
menurun (D.0003)
Respon to verbal, RR 26 x/menit,
SpO2 94%., jalan nafas bebas dan
paten, terpasang NRM aliran 8 lpm.
Terpasang WSD di dada kanan
dengan tekanan 19 kPa, cairan 350
cc. Ekspansi dada kanan masih
menurun. pH 7.55, Pco2 26 mmHg,
Po2 70 mmHg.
A:
P:
Intervensi dilanjutkan
3. Pola nafas tidak efektif S :
berhubungan dengan hambatan Pasien mengalami penurunan
kesadaran
upaya nafas dibuktikan dengan
pola nafas abnormal (D.0005) O:
A:
P:
Intervensi dilanjutkan
UPDATE KNOWLEDGE IN RESPIROLOGY
ABSTRACT
Pneumothorax can be caused by lung disorders such as COPD, malignancy, and tuberculosis with cavities. However,
pneumothorax which occurred in miliary tuberculosis is very rare. This case, a male, 26 years old, came with
unconsciousness one hour before hospital admission. Patient complained of chest pain and dyspnea. Chest x-ray
showed right pneumothorax and miliary infiltrate on the left lung, suspected as miliary lung tuberculosis. After
WSD insertion, chest x-ray showed that the right lung pneumothorax was improved post WSD insertion and miliary
infiltrate on the left lung suspected as miliary lung tuberculosis. For miliary tuberculosis management, patient
received anti tuberculosis drugs.
Korespondensi:
ABSTRAK
Pneumotoraks dapat disebabkan oleh penyakit paru seperti PPOK, keganasan, dan tuberkulosis dengan kavitas.
Namun, pneumotoraks yang terjadi pada penderita tuberkulosis milier jarang terjadi. Dalam kasus ini, seorang
laki-laki berusia 26 tahun, datang dengan penurunan kesadaran. Satu jam sebelum masuk rumah sakit, pasien
mengeluhkan nyeri dada dan sesak. Foto polos toraks memperlihatkan gambaran pneumotoraks kanan dan Indonesian Journal of
infiltrat milier di lapangan paru kiri, suspek tuberkulosis paru milier. Setelah pemasangan WSD, foto polos toraks
menunjukkan adanya pneumotoraks kanan post WSD dengan perbaikan serta infiltrat milier di lapangan paru
kiri, suspek tuberkulosis paru milier. Untuk penanganan tuberkulosis milier, pasien mendapatkan terapi OAT.
CHEST
Critical and Emergency Medicine
Vol. 2, No. 4
Kata kunci: milier, pneumotoraks, tuberkulosis October - Dec 2015
191
Astrid Priscilla Amanda, Oviliani Wijayanti
192 Ina J CHEST Crit and Emerg Med | Vol. 2, No. 4 | October - Dec 2015
Pneumotoraks pada Tuberkulosis Milier: Sebuah Laporan Kasus
positif, dengan resisten terhadap rifampisin. Pasien terjadi karena adanya trauma langsung atau tidak
mendapat terapi OAT untuk tuberkulosis miliernya. langsung terhadap dada, termasuk di dalamnya adalah
Selain itu, pasien mendapat terapi O2 dengan simple pneumotoraks iatrogenik.1
mask, IVFD NaCl 0,9%, antibiotik cefepime, vitamin B6, Pneumotoraks spontan dibagi menjadi primer
asetilsistein, inhalasi ipratropium bromida dengan dan sekunder. Pneumotoraks spontan primer terjadi
salbutamol sulfat, tramadol, dan omeprazol. Pasien pada orang yang sehat tanpa adanya penyakit paru
sempat mendapat transfusi 1 kolf albumin 20% untuk sebelumnya. Sedangkan pneumotoraks spontan
menangani hipoalbuminemia. sekunder merupakan komplikasi dari penyakit paru
yang sudah diderita oleh pasien. Pneumotoraks
DISKUSI spontan sekunder dapat berakibat serius karena
dapat memperburuk fungsi paru sebelumnya. Adanya
Tuberkulosismiliermerupakan jenis tuberkulosis penyakit paru tersebut juga dapat mempersulit
yang melibatkan paru dan organ-organ di luar paru. penanganan pneumotoraks.3 Insidens terjadinya
Tuberkulosis milier disebakan adanya penyebaran pneumotoraks spontan sebesar 24 per 100.000
Mycobacterium tuberculosis secara hematogen.4 pertahun pada laki-laki dan 9,8 per 100.000 pertahun
Dahulu tuberkulosis milier terjadi paling sering pada pada perempuan. Setengah dari jumlah tersebut
anak-anak. Akan tetapi, saat ini tuberkulosis milier adalah pneumotoraks spontan sekunder. Hal tersebut
dilaporkan lebih sering terjadi pada orang dewasa, sesuai pada pasien ini, yaitu pneumotoraks spontan
sebagai akibat dari terjadinya reaksi endogen dan sekunder yang terjadi pada laki-laki.1
invasi melalui aliran darah. Insidens tuberkulosis Manifestasi klinis dari pneumotoraks spontan
milier berimbang antara laki-laki dan perempuan, sekunder lebih parah dibandingkan dengan
namun pada populasi yang terkena HIV, tuberkulosis pneumotoraks spontan primer. Gejala yang dikeluhkan
milier lebih sering terjadi pada laki-laki.5 adalah sesak dan nyeri dada di sisi pneumotoraks.
Dari autopsi tampak bahwa hati, paru, tulang, Pemeriksaan fisik menunjukkan sianosis dan
sumsung tulang belakang, ginjal, kelenjar adrenal, dan hipotensi. Pada pemeriksaan fisik toraks didapatkan
limpa merupakan organ-organ yang sering terlibat perkusi yang hiper resonan serta bunyi nafas dan
dalam tuberkulosis milier. Pemeriksaan sputum BTA vocal fremitus yang menurun pada sisi yang terdapat
hanya positif pada 20-25% pasien, dan hanya 30- pneumotoraks.
65% pasien menunjukkan hasil kultur M. tuberculosis Foto polos toraks yang memperlihatkan adanya
yang positif. Pasien pada kasus ini menunjukkan hasil garis pleura menandakan adanya pneumotoraks.
sputum BTA dan kutur yang negatif. Namun, garis pleura ini dapat sulit terlihat bila
Pada pasien dengan hasil foto polos toraks yang terdapat penyakit paru yang mendasari seperti pada
abnormal dan hasil negatif pada pemeriksaan dahak, PPOK. Pneumotoraks juga harus dibedakan dengan
bronkoskopi perlu dilakukan. Kombinasi dari BAL bulla atau kavitas yang besar.6 Garis pleura pada bulla
(bronchoalveolar lavage) dan biopsi transbronkial terlihat lebih konkaf, memperlihatkan tepi medial
diharapkan dapat menegakkan diagnosis. Pada pasien dari bulla. Sedangkan pada pneumotoraks, garis
ini, pemeriksaan sputum BTA dan BAL menunjukkan pleura terlihat konveks terhadap dinding dada. Bila
BTA negatif. Namun gene expert menunjukkan MTB diperlukan, dapat dilakukan pemeriksaan CT scan
positif, sehingga diagnosis TB pada pasien ini terbukti. toraks untuk menegakkan diagnosis.1
Dengan pemberian terapi, angka kematian dari Diagnosis pada kasus ini berdasarkan foto
tuberkulosis milier bervariasi dari 29% sampai 64%, polos toraks yang memperlihatkan adanya garis
tergantung dari ada tidaknya penyerta meningitis. pleura di hemisfer kanan. Adanya pneumotoraks
Bila terdapat meningitis, durasi pemberian OAT juga dikonfirmasi dengan hasil CT scan toraks pasien
diperpanjang dari 6 bulan menjadi 9-12 bulan. yang menunjukkan adanya pneumotoraks kanan.
Pada pasien ini terdapat juga pneumotoraks. Metaanalisis oleh Ali Hebrahimi, dkk menunjukkan
Pneumotoraks adalah suatu keadaan dimana terdapat bahwa ketepatan diagnostik ultrasound toraks
udara di dalam rongga pleura. Pneumotoraks dibagi dalam mendeteksi adanya pneumotoraks lebih baik
menjadi dua, spontan yaitu terjadi tanpa adanya dibandingkan dengan foto polos toraks.7 Namun pada
trauma atau sebab lainnya, dan traumatik yang pasien ini, ultrasound toraks tidak dilakukan karena
Ina J CHEST Crit and Emerg Med | Vol. 2, No. 4 | October - Dec 2015 193
Astrid Priscilla Amanda, Oviliani Wijayanti
pneumotoraks sudah terlihat dari foto polos toraks. pneumotoraks jarang terjadi pada tuberkulosis
Penyakit paru lain yang sering menyebabkan milier. Mekanisme terjadinya pneumotoraks
pneumotoraks adalah PPOK, sistik fibrosis, pada tuberkulosis milier belum diketahui secara
keganasan paru primer atau akibat metastasis dan pasti. Beberapa kemungkinan penyebab adalah
pneumonia, dimana yang paling sering adalah PPOK.8, pembentukan nodul milier subpleura yang mengalami
9 Pneumotoraks dapat ditemukan pada tuberkulosis perkejuan dan nekrosis yang selanjutnya akan pecah
dengan kavitas. Pada pasien yang dirawat dengan ke rongga pleura, terjadinya peningkatan intra
diagnosis tuberkulosis, 1% sampai 3% ditemukan alveolar akibat batuk yang sering menyebabkan
adanya pneumotoraks.1 Namun, pneumotoraks septa antara alveloli pecah yang berakibat terjadinya
merupakan komplikasi yang jarang dari tuberkulosis pneumomediastinum, atau pecahnya bula atau
milier.8, 10 lesi emfisematus. Gejala nyeri dada, sesak, sulit
Mekanisme terjadinya pneumotoraks pada bernafas, adanya sianosis dan hipotensi, perkusi yang
tuberkulosis milier belum diketahui secara hiper resonan serta bunyi nafas dan vocal fremitus
pasti. Beberapa kemungkinan di antaranya yaitu yang menurun, serta garis pleura pada foto polos
pembentukan nodul milier subpleura yang mengalami toraks dapat menunjukkan adanya pneumotoraks.
perkejuan dan nekrosis yang selanjutnya akan pecah Penatalaksaan awal untuk kasus pneumotoraks pada
ke rongga pleura, terjadinya peningkatan tekanan tuberkulosis milier adalah tube thoracostomy serta
intra alveolar akibat batuk yang sering menyebabkan pemberian OAT.
septa antara pecah yang mengakibatkan terjadinya
pneumomediastinum, atau pecahnya bula lesi DAFTAR PUSTAKA
emfisematus.10 Pada pasien ini, penyebab pasti 1. Light RW, Gary LYC. Pneumothorax, Chylothorax, Hemothorax,
pneumotoraks belum dapat ditentukan. Gejala seperti and Fibrothorax. In: Robert J Mason et al, editor. Textbook of
Respiratory Medicine. 5th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier;
sesak dan batuk kering pada pneumotoraks juga 2010. p. 1764-87.
didapatkan pada pasien dengan tuberkulosis milier 2. Grossman D, Nasrallah E. Pneumothorax in Liberia:
complications
tanpa adanya pneumotoraks. Bila ditemukan adanya
of tuberculosis. West J Emerg Med. 2013;14(3):233-235.
peningkatan sesak pada pasien tuberkulosis milier, 3. Şimsek A, Guler M, Erguden HC, Ofluoglu R, Çapan N. Recurrent
pneumotoraks perlu dipertimbangkan sebagai salah bilateral pneumothorax complicating miliary tuberculosis with
bone marrow involvement. Tuberk Toraks. 2014;62(4):322-
satu penyebabnya. 323.
Penatalaksaan awal untuk kasus pneumotoraks 4. Khan NA, Akhtar J, Baneen U, Shameem M, Ahmed Z, Bhargava
R. Recurrent pneumothorax: a rare complication of miliary
pada tuberkulosis milier adalah tube thoracostomy. tuberculosis. N Am J Med Sci. 2011;:428-430.
Pemberian OAT harus segera diberikan. Bila terdapat 5. Hopewell PC, Kato-Maeda M. Tuberculosis. In: Robert J Mason
dkk, editor. Textbook of Respiratory Medicine. 2. 5th ed.
pneumotoraks bilateral, pleurektomi perlu segera Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. p. 754-87.
dilakukan.4 Pada pasien ini, terapi kegawatdaruratan 6. Tam J, Lim K. Massive pulmonary tuberculosis cavity
misdiagnosed as pneumothorax. Respirol Case Rep.
yang dilakukan adalah pemasangan tube thoracostomy 2013;1(2):23-25.
sesuai dengan British Thoracic Society Pleural Disease 7. Ebrahimi A, Yousefifard M, Kazem HM, Reza H, Rasouli, Asady H,
dkk. Diagnostic accuracy of chest ultrasonography versus chest
Guideline 2010.11 Kekambuhan pada pneumotoraks radiography for identification of pneumothorax: a systematic
spontan sekunder sebesar 45%, sedangkan pada review and meta-analysis. NRITLD. 2014;13(4):29-40.
pneumotoraks spontan primer sebesar 30 %1 8. Singh A, Atam V, Das L. Secondary spontaneous pneumothorax
complicating miliary tuberculosis in a young woman. BMJ Case
Merokok dapat meningkatkan risiko kekambuhan, Rep. 2014
sehingga pasien perlu mendapat edukasi agar berhenti 9. Freixinet JL, Caminero JA, Marchena J, Rodrı´guez PM, Casimiro
JA, Hussein M. Spontaneous pneumothorax and tuberculosis:
merokok.11, 12 Pada kasus pneumotoraks berulang, long-term follow-up. Eur Respir J. 2011;38:126-31.
pleurodesis kimiawi atau video-assisted thoracoscopic 10. Arya M, George J, Dixit R, Gupta RC, Gupta N. Bilateral
spontaneous pneumothorax in miliary tuberculosis. Indian J
surgery (VATS) dapat dipertimbangkan.10, 12 Tuberc. 2011;58:125-8.
11. MacDuff A, Arnold A, Harvey J. Management of spontaneous
pneumothorax: British Thoracic Society pleural disease
SIMPULAN guideline 2010. Thorax. 2010;65(Suppl 2):ii18-ii31.
12. Huang Y, Huang H, Li Q, F. Browning R, Parrish S, Francis TJ,
Salah satu penyakit yang dapat menyebabkan dkk. Approach of the treatment for pneumothorax. J Thorac Dis.
2014;6.
pneumotoraks adalah tuberkulosis. Pneumotoraks
sering terjadi pada tuberkulos dengan kavitas, namun
194 Ina J CHEST Crit and Emerg Med | Vol. 2, No. 4 | October - Dec 2015