Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan

oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan

tahan asam yang sering dikenal dengan sebutan Basil Tahan Asam (BTA).

Meskipun sebagian besar kuman TB biasanya ditemukan menginfeksi

parenkim paru, bakteri ini juga dapat menginfeksi organ lain (TB ekstra-

paru), termasuk pleura, kelenjar getah bening, tulang, dan organ ekstra-

paru lainnya (Kemenkes, 2020).

Meskipun TB dapat dicegah dan disembuhkan, TB adalah

penyebab utama kematian di dunia dan penyebab utama kematian terkait

resistensi antimikroba. Jumlah tahunan kematian TB secara global

menurun sebesar 45% antara tahun 2000 dan 2019 dari 7,1 juta pada 2019

menjadi 5,8 juta pada 2020. Hal ini dikarenakan kekurangan yang

berkelanjutan dalam diagnosis dan pelaporan (WHO, 2022).

Kasus TB di Indonesia masih menduduki peringkat ketiga di dunia

dan memerlukan perhatian dari semua pihak karena memberikan beban

morbiditas dan mortalitas yang tinggi. (Kemenkes, 2020). Kasus TB di

kabupaten Klaten tercatat angka kesembuhan dari kasus tuberkolusis yang

terkonfirmasi bakteriologi sebanyak 200 orang atau 57,5% dan angka

kematian pada tahun 2021 sebanyak 25 orang atau sekitar 3,7% dari semua
kasus TB (Dinas Kesehatan Kabupaten, 2021). Balai Kesehatan

Masyarakat (Balkesmas) wilayah Klaten merupakan salah satu fasilitas

kesehatan yang menangani kasus tuberkulosis di kabupaten Klaten dengan

pengelolaan rekam medis yang baik dan terorganisir (Rahmi et al., 2019).

Pengobatan TB terbagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal dan tahap

lanjutan. Semua pasien baru menerima pengobatan tahap awal selama 2

bulan untuk secara efektif mengurangi jumlah kuman dalam tubuh mereka.

Pengobatan tahap lanjutan diberikan selama 4 bulan untuk membunuh

kuman yang tersisa (Kemenkes, 2020).

Angka keberhasilan pengobatan tuberkulosis (TB) di Indonesia

masih belum mencapai target nasional. Dari 90% target keberhasilan

pengobatan baru tercapai 73% pada tahun 2021. Salah satu permasalahan

utama yang menyebabkan kegagalan terapi pasien TB yaitu pengetahuan

dan persepsi. (TBC Indonesia, 2021) Selama masa pengobatan, kurangnya

pengetahuan dan kepatuhan pasien terhadap penyakit TB paru dapat

mengakibatkan kuman TB menjadi resisten dan mempengaruhi durasi

pengobatan (Karuma et al., 2021). Maka dari itu peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Tingkat Pengetahuan

dengan Kepatuhan Pengobatan Pasien TB Paru di Balai Kesehatan

Masyarakat (Balkesmas) Wilayah Klaten”.

1
2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana gambaran tingkat pengetahuan pasien TB paru di Balai

Kesehatan Masyarakat (Balkesmas) Wilayah Klaten?

2. Bagaimana gambaran kepatuhan pasien TB paru di Balai Kesehatan

Masyarakat (Balkesmas) Wilayah Klaten?

3. Bagaimana hubungan tingkat pengetahuan dengan kepatuhan

pengobatan pasien TB paru di Balai Kesehatan Masyarakat

(Balkesmas) Wilayah Klaten?

3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan pasien TB paru di

Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas) Wilayah Klaten

2. Untuk mengetahui gambaran kepatuhan pasien TB paru di Balai

Kesehatan Masyarakat (Balkesmas) Wilayah Klaten?

3. Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan kepatuhan

pengobatan pasien TB paru di Balai Kesehatan Masyarakat

(Balkesmas) Wilayah Klaten?

4. Kegunaan Penelitian

1. Bagi Peneliti

2
Sebagai informasi tambahan yang dapat dimanfaatkan oleh peneliti

yang melakukan penelitian terkait farmasi.

2. Bagi Institusi

Penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi tambahan bagi guru

untuk mengajarkan tentang TB paru dan untuk meningkatkan

pengetahuan siswa mengenai pengetahuan dan kepatuhan minum obat.

3. Bagi Masyarakat

Penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat untuk menambah wawasan

mengenai TB paru dan kepatuhan minum obat dan untuk

meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat, khususnya pelayanan

kesehatan bagi pasien TB paru.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

5. Tuberkulosis

a. Definisi

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan

oleh basil Mycobacterium tuberculosis dan menyebabkan

banyak kematian di seluruh dunia. Penularan TB terjadi ketika

orang yang terinfeksi batuk dan melepaskan bakteri ke udara.

Meskipun paru-paru adalah organ yang paling sering terkena

(TB paru), namun organ lain juga dapat terinfeksi. (WHO,

2021).

b. Patogenesis

Tuberkulosis (TB) adalah sebuah penyakit menular

yang dapat menyebar melalui partikel droplet nuklei dengan

ukuran 1-5 mikron yang terbawa melalui udara. Droplet nuklei

tersebut dapat bertahan di udara beberapa jam tergantung pada

kondisi lingkungan. Ketika inhalasi droplet nuklei yang

terinhalasi berjumlah sedikit, maka sistem imun nonspesifik

yang diwakili oleh makrofag akan segera memfagosit dan

mencerna kuman TB pada saluran napas. Namun, jika jumlah

4
kuman TB yang terdeposit melebihi kemampuan makrofag,

maka kuman TB dapat berkembang biak secara intraseluler di

dalam makrofag dan menyebabkan pneumonia tuberkulosis

terlokalisasi. Kuman TB yang berkembang biak di dalam

makrofag akan keluar ketika makrofag mati, dan sistem imun

akan membentuk barrier atau pembatas di sekitar area yang

terinfeksi dan membentuk granuloma. Namun, jika respon

imun tidak dapat mengontrol infeksi ini, maka kuman TB

dapat menyebar ke jaringan dan organ lain, seperti kelenjar

limfatik, apeks paru, ginjal, otak, dan tulang, melalui sistem

limfatik dan pembuluh darah. (Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia, 2021).

c. Faktor Risiko

1. Orang yang terinfeksi HIV dan memiliki penyakit


imunokompromais lain.

2. Orang yang menggunakan obat imunosupresan dalam

jangka waktu lama.

3. Perokok.

4. Orang yang mengonsumsi alkohol secara berlebihan.

5. Anak-anak di bawah usia 5 tahun dan lansia.

6. Orang yang memiliki kontak dekat dengan individu yang

menderita TB aktif dan sangat menular.

5
7. Orang yang tinggal atau bekerja di lingkungan dengan

risiko tinggi terinfeksi TB, seperti lembaga

pemasyarakatan atau fasilitas perawatan jangka panjang.

8. Petugas kesehatan (Kemenkes, 2020).

d. Gejala Klinis

Gejala penyakit TB dapat bervariasi tergantung pada lokasi

lesi, namun biasanya menunjukkan manifestasi klinis sebagai

berikut:

1. Batuk selama lebih dari 2 minggu

2. Batuk berdahak

3. Batuk berdahak yang bercampur darah

4. Nyeri dada

5. Sesak napas

Gejala lain yang dapat terjadi meliputi :

1. Malaise atau rasa tidak enak badan

2. Penurunan berat badan

3. Menurunnya nafsu makan

4. Menggigil

5. Demam

6. Berkeringat di malam hari (Kemenkes, 2020).

e. Klasifikasi

6
Klasifikasi TB berdasarkan Pedoman Diagnosis dan

Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia 2021 dapat dibagi

menjadi beberapa jenis sebagai berikut::

 Klasifikasi berdasarkan lokasi infeksi:

- Tuberkulosis paru: TB yang terjadi pada jaringan

paru-paru, termasuk TB milier yang dianggap sebagai

TB paru karena melibatkan lesi pada parenkim paru.

Jika seseorang menderita TB paru dan TB ekstraparu

secara bersamaan, maka pengklasifikasian dilakukan

sebagai TB paru.

- Tuberkulosis ekstra paru: TB yang terjadi pada organ

selain paru-paru, seperti pleura, kelenjar limfatik,

abdomen, saluran kemih, saluran pencernaan, kulit,

meninges, dan tulang. Jika terdapat beberapa TB

ekstraparu yang melibatkan organ yang berbeda,

maka klasifikasinya dilakukan dengan menyebutkan

organ yang terdampak TB terberat.

 Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:

- Kasus baru TB: Seseorang yang belum pernah

mendapatkan obat anti tuberkulosis (OAT) atau yang

pernah menerima OAT tetapi dengan total dosis

kurang dari 28 hari

- Kasus yang pernah diobati TB:

7
 Kasus kambuh: kasus di mana pasien sebelumnya

telah dinyatakan sembuh atau telah mendapatkan

pengobatan lengkap untuk TB, namun saat ini

didiagnosis kembali dengan TB.

 Kasus pengobatan gagal: kasus di mana pasien

sebelumnya telah diobati dengan OAT namun

tidak berhasil sembuh pada pengobatan terakhir.

 Kasus putus obat: kasus di mana pasien terputus

dari pengobatan selama minimal 2 bulan berturut-

turut.

 Lain-lain: kasus di mana pasien sebelumnya

pernah diobati dengan OAT, namun hasil akhir

pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

 Klasifikasi hasil uji kepekaan obat:

- TB Sensitif Obat (TB-SO)

- TB Resistan Obat (TB-RO):

 Monoresistan: bakteri resisten terhadap satu jenis

OAT lini pertama saja.

 Resistan Rifampisin (TB RR): bakteri resisten

terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi

terhadap OAT lini pertama lainnya.

 Poliresistan: bakteri resisten terhadap lebih dari

satu jenis OAT lini pertama, namun tidak pada

8
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara

bersamaan.

 Multi drug resistant (TB-MDR): bakteri resisten

terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara

bersamaan, dengan atau tanpa resistensi terhadap

OAT lini pertama lainnya.

 Pre extensively drug resistant (TB Pre-XDR):

bakteri resisten terhadap minimal satu

fluorokuinolon setelah memenuhi kriteria TB-

MDR.

 Extensively drug resistant (TB XDR): bakteri

resisten terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin

(R) secara bersamaan, minimal satu OAT

golongan fluorokuinolon, dan minimal satu OAT

golongan A (levofloksasin, moksifloksasin,

bedakuilin, atau linezolid).

 Klasifikasi berdasarkan status HIV:

- TB dengan HIV positif

- TB dengan HIV negative

- TB dengan status HIV tidak diketahui

f. Pengobatan

Tahapan pengobatan TB terdiri dari dua tahap, yaitu :

a. Tahap awal

9
Pengobatan diberikan setiap hari dan kombinasi

obat bertujuan mengurangi jumlah kuman dalam tubuh

pasien serta mengurangi dampak dari kuman yang resisten

terhadap obat sebelumnya. Tahap awal ini harus diberikan

selama 2 bulan pada semua pasien baru. Setelah dua

minggu pertama pengobatan, tingkat penularan umumnya

menurun secara signifikan dan tidak ada komplikasi yang

muncul.Tahap lanjutan

b. Tahap Lanjutan

Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh

kuman yang tersisa, terutama kuman yang persisten untuk

mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi tahap lanjutan

adalah selama 4 bulan dan obat harus diberikan setiap hari.

OAT Lini Pertama

Jenis Sifat Efek Samping

Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer, psikosis toksik,

gangguan fungsi hati, kejang

Rifampicin (R) Bakterisidal Flu syndrome, gangguan

gastrointestinal, urine berwarna

merah, ganngguan fungsi hati,

trombositopenia, demam, ruam

kulit, sesak napas, anemia

10
hemolitik

Pyrazinamide (Z) Bakterisidal Gangguan gastrointestinal,

gangguan fungsi hati, gout arthritis

Streptomycin (S) Bakterisidal Nyeri di tempat suntikan, gangguan

keseimbangan dan pendengaran,

syok anakfilasis, anemia,

agranulositosis, trombositopenia

Ethambutol (E) Bakterisidal Gangguan penglihatan, buta warna,

neuritis perifer

(Kemenkes, 2020)

Kategori Obat

Kategori 1 OAT diberikan pada pasien terkonfirmasi

bakteriologis, terdiagnosis klinis, pasien TB

ekstra paru dan dosis harian

(2(HRZE)/4(HR)

Kategori 2 Pasien kambuh, pasien gagal pengobatan,

(OAT pada pasien TB pasien putus obat dan dosis harian :

yang mengalami (2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE))

kekambuhan

(pengobatan ulang)

Kategori Anak OAT kategori anak diberikan dalam bentuk

paket obat dengan kombinasi 3 jenis obat

dalam satu tablet.

11
(Kemenkes, 2016)

Kisaran Dosis OAT Lini Pertama Bagi Pasien Dewasa

dosis rekomendasi harian 3 kali per minggu

dosis maksimum dosis maksimum

(mg/kgBB) (mg) (mg/kgBB (mg)

Isoniazid 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900

Rifampisin 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600

Pirazinamid 25 (20-30) - 35 (30-40) -

Etambutol 15 (15-20) - 30 (25-35) -

Streptomisin 15 (12-18) - 15 (12-18) -

(Kemenkes, 2020)

g. Pengobatan Herbal

Menurut definisi dari WHO, herbal adalah bahan tanaman

mentah seperti daun, bunga, buah, biji, batang kayu, kulit kayu,

akar, rimpang atau bagian tanaman lainnya, yang mungkin utuh,

terfragmentasi atau berbentuk bubuk. Sediaan herbal adalah dasar

untuk produk herbal jadi dan dapat mencakup bahan herbal yang

dihaluskan atau bubuk, atau ekstrak, tincture dan minyak lemak

dari bahan herbal. Sediaan herbal tersebut diproduksi dengan cara

ekstraksi, fraksinasi, pemurnian, konsentrasi, atau proses fisik atau

12
biologis lainnya. Herbal juga termasuk olahan yang dibuat dengan

cara seduhan atau pemanasan bahan herbal dalam minuman

beralkohol dan/atau madu, atau bahan lainnya (WHO, 2018).

Tanaman Herbal yang dapat membantu pengobatan TB

antara lain :

1. Daun Sambiloto

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Prabu, dkk

(2015) menunjukkan bahwa andrografolid, senyawa yang

terdapat pada tanaman sambiloto (Andrographis

paniculate), memiliki aktivitas antimikroba yang kuat

terhadap Mycobacterium tuberculosis dan mempunyai

potensi sebagai agen anti-TB yang baru. Selain itu,

penelitian ini juga menunjukkan bahwa andrografolid

menghambat aktivitas enzim Aminoglycoside 2-N-

acetyltransferase (AAC(2')-Ic), enzim yang sering

dijumpai pada bakteri TB yang resisten terhadap obat

anti-TB jenis aminoglikosida. Hal ini menunjukkan

bahwa andrografolid bisa menjadi alternatif pengobatan

TB terutama pada kasus TB yang resisten terhadap obat

anti-TB jenis aminoglikosida (Prabu et al., 2015)

2. Kunyit

Menurut Bai, dkk (2016) yang telah melakukan penelitian

menggunakan sampel darah dan sel darah putih manusia

13
yang diinfeksi dengan Mtb dan diperlakukan dengan

kurkumin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

kurkumin dapat meningkatkan kemampuan makrofag

dalam membunuh Mtb, mengurangi jumlah Mtb dalam

sel, dan meningkatkan aktivitas enzim antioksidan dalam

sel. Selain itu, kurkumin juga terbukti meningkatkan

produksi sitokin antiinflamasi dan menurunkan produksi

sitokin proinflamasi, sehingga memperbaiki respon imun

tubuh terhadap infeksi Mtb. Temuan ini menunjukkan

potensi penggunaan kurkumin sebagai terapi adjuvan

(pelengkap) dalam pengobatan TB, meskipun masih perlu

dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memvalidasi

efektivitas dan keamanan penggunaannya pada manusia

(Bai et al., 2016)

3. Bawang Putih

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nair, dkk (2017)

yang menunjukkan bahwa ekstrak bawang putih memiliki

aktivitas anti-tuberkulosis yang signifikan pada sel

makrofag yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.

Selain itu, bahan-bahan kimia yang terkandung dalam

bawang putih, seperti allicin, ajoene, dan alliin, juga

menunjukkan aktivitas anti-tuberkulosis yang kuat.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa bahan-bahan

14
kimia dalam bawang putih bekerja melalui mekanisme

yang berbeda untuk menghambat pertumbuhan

Mycobacterium tuberculosis. Selain itu, bahan-bahan

kimia tersebut juga mempengaruhi produksi sitokin,

molekul yang berperan dalam respons imun tubuh

terhadap infeksi tuberkulosis. Sehingga bawang putih dan

bahan-bahan kimia yang terkandung dalamnya memiliki

potensi sebagai agen anti-tuberkulosis yang efektif, dan

dapat digunakan sebagai bahan dasar untuk

pengembangan obat anti-tuberkulosis yang baru (Nair et

al., 2017)

h. Pencegahan

1. Vaksinasi Bacillus Calmette et Guerin (BCG)

Vaksin BCG masih dianggap penting untuk memberikan

proteksi terhadap tuberkulosis (TB) yang berat, seperti TB

milier dan meningitis TB, meskipun efeknya dalam melindungi

bervariasi pada setiap orang. Namun, pada anak-anak yang

menderita HIV, pemberian vaksin BCG tidak dianjurkan

karena dapat meningkatkan risiko terjadinya BCG-itis

diseminata.

2. Pengobatan pencegahan dengan INH

Diberikan kepada anak-anak yang sehat dan memiliki kontak

dengan pasien dewasa TB yang memiliki hasil BTA sputum

15
positif. Namun, jika anak tersebut tidak menunjukkan gejala

atau tanda klinis TB setelah evaluasi, maka diberikan

profilaksis primer dengan dosis INH sebanyak 10

mg/kgBB/hari selama 6 bulan. Selama pengobatan, pasien

akan dipantau dan dievaluasi minimal satu kali per bulan. Jika

anak tersebut belum pernah menerima imunisasi BCG, maka

BCG harus diberikan setelah pengobatan profilaksis dengan

INH selesai dan anak tersebut negatif pada uji tuberkulin.

3. Pengobatan pencegahan dengan 3HP

Selain memberikan INH selama 6 bulan, WHO 2018 juga

merekomendasikan penggunaan regimen lain yaitu kombinasi

INH-Rifampisin dan INH-Rifapentin (3HP) untuk pengobatan

pencegahan TB. Pemberian INH-Rifapentin lebih dipilih

karena pemberiannya lebih singkat yaitu hanya 1 kali per

minggu selama 12 minggu. Berdasarkan studi, pasien lebih

patuh dalam mengikuti regimen 3HP sehingga angka

keberhasilan dalam menyelesaikan terapi pencegahan lebih

tinggi (Kemenkes, 2020).

i. Pengawas Minum Obat (PMO)

Menurut Susiyanti (dalam Veronika BR. Samosir, 2021)

menyatakan bahwa Pengawas Minum Obat (PMO) adalah orang

yang membantu pasien TB dalam memberi pengawasan secara

langsung saat pasien menelan obat. Pengawas Minum Obat adalah

16
seseorang yang memberikan peranan penuh terhadap pasien agar

teratur untuk berobat selama masa pengobatan yang dijalaninya.

Pengawas minum obat bisa berasal dari anggota keluarga, kader,

petugas kesehatan atau pun relawan. PMO berperan penting dalam

memastikan bahwa penderita TB terus minum obat yang telah

diresepkan (Samosir, 2021).

6. Pengetahuan

a. Definisi

Pengetahuan adalah suatu hasil dari rasa keingintahuan

melalui proses sensoris, terutama pada mata dan telinga

terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang

penting dalam terbentuknya perilaku terbuka atau open

behavior (Donsu, 2017).

b. Tingkat pengetahuan

Menurut Notoatmodjo, 2014, bahwa pengetahuan yang

mencakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan,

yaitu:

1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang

telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam

pengetahuan tingkatan ini adalah mengingat kembali

(Recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan

17
yang dipelajari merupakan tingkatan pengetahuan yang

paling rendah.

2. Memahami (Comprehention)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan

untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang

diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut

secara benar, orang yang telah paham terhadap objek suatu

materi harus dapat menjelaskan, menyimpulkan, dan

meramalkan terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk

menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi

sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan aplikasiatau

penggunaan hukum-hukum, rumus, metode prinsip dan

sebagainya dalam konteks atau situasi lain.

4. Analisis (Analysis)

Kemampuan untuk melakukan penyelidikan

terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang

sebenarnya untuk menjabarkan suatu materi dalam

struktur organisasi.

5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis mengarah pada suatu kemampuan untuk

menggabungkan komponen yang berbeda menjadi satu

18
kesatuan baru. Dengan kata lain, sintesis adalah kapasitas

untuk menggabungkan formulasi yang digunakan

sebelumnya.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk

membenarkan atau mengevaluasi materi atau objek.

Penilaian lain menggunakan kriteria yang sudah ada atau

ditentukan sendiri (Notoatmodjo, 2014).

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Notoatmojo, 2010 dalam Wardhani, 2022 menyebutkan bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan antara lain:

1. Tingkat pendidikan

Kepribadian dan kemampuan seseorang

dikembangkan melalui pendidikan agar dapat memahami

sesuatu. Proses belajar dipengaruhi oleh pendidikan, dan

semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah

menyerap informasi. Pendidikan dan pengetahuan sangat

erat kaitannya, karena diharapkan seseorang dengan

pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki lebih banyak

pengetahuan.

2. Pekerjaan

19
Pekerjaan adalah suatu kegiatan yang harus

dilakukan terutama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Seseorang dapat secara langsung atau tidak langsung

memperoleh pengetahuan dan pengalaman di tempat kerja.

Misalnya, tenaga non-medis akan memiliki pemahaman

yang lebih dalam tentang penyakit dan manajemennya

daripada non tenaga medis.

3. Umur

Persepsi dan mentalitas seseorang dipengaruhi oleh

usianya. Persepsi dan mentalitas seseorang akan semakin

berkembang seiring bertambahnya usia, sehingga

pengetahuan yang diperoleh akan meningkat.

4. Minat

Minat merupakan keinginan yang kuat untuk

sesuatu hal. Orang mengejar apa yang mereka minati, yang

mengarah pada pengetahuan yang lebih besar.

5. Pengalaman

Pengalaman merupakan suatu kejadian yang dialami

seseorang pada masa lalu. Seseorang pada umumnya

memperoleh lebih banyak pengetahuan dikarenakan

semakin banyak pengalaman yang dimilikinya. Contoh:

Pengetahuan ibu dari anak yang pernah mengalami diare

sebelumnya atau yang sering mengalaminya seharusnya

20
lebih tinggi daripada pengetahuan ibu dari anak yang tidak

pernah mengalami diare..

6. Lingkungan

Lingkungan merupakan segala sesuatu yang ada di

sekitar individu misalnya lingkungan fisik, biologis,

maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses

masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada

didalam lingkungan tersebut Contoh: Sangat mungkin

bahwa masyarakat di daerah tersebut juga akan memiliki

komitmen untuk kebersihan lingkungan jika suatu daerah

memiliki sikap seperti itu.

7. Informasi

Seseorang akan memiliki pengetahuan yang lebih

jika memiliki akses ke sumber informasi yang lebih

banyak. Pada umumnya, seseorang belajar lebih cepat

ketika lebih mudah untuk mendapatkan informasi

(Wardhani, 2022).

7. Kepatuhan

a. Definisi

Kepatuhan adalah perilaku taat atau disiplin terhadap

suatu perintah maupun aturan yang telah ditetapkan dengan

penuh kesadaran, kepatuhan mengacu pada perilaku seseorang

21
sebagai respon terhadap permintaan orang lain (Rahmawati,

2015).

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan

pengobatan TB paru menurut Ulyah, dkk (2017) diantaranya

yaitu:

1. Faktor Dukungan Keluarga

Kepatuhan dalam menjalani pengobatan dapat meningkat

jika pasien mendapat dukungan dari keluarga. Sebagai

penyakit yang membutuhkan pengobatan jangka panjang,

TB paru membutuhkan konsumsi obat yang teratur dan

tepat waktu, dan dalam hal ini, dukungan dari keluarga

menjadi sangat penting.

2. Faktor Efek Samping Obat

Efek samping obat antituberkulosis bisa meningkatkan

risiko ketidakpatuhan dalam berobat. Contoh efek

samping tersebut adalah hilangnya nafsu makan, mual,

sakit perut, nyeri sendi, kesemutan, sensasi terbakar di

kaki, dan perubahan warna pada air seni. Namun, tidak

semua efek samping obat akan berdampak buruk pada

pasien.

3. Faktor Peran PMO

22
PMO memiliki peran penting dalam pengobatan pasien.

Tugas PMO meliputi mengingatkan pasien untuk minum

obat, mengawasi saat menelan obat, membawa pasien ke

dokter, dan membantu saat ada efek samping. Agar pasien

patuh dalam minum obat, dibutuhkan pengawasan

langsung oleh PMO dari masyarakat, bukan dari kalangan

kesehatan yang terbatas.

4. Faktor Jarak Fasilitas Kesehatan

Jarak jauh antara rumah kepala keluarga dan tempat

pelayanan kesehatan dapat mengurangi penggunaan

layanan kesehatan dan menyulitkan transportasi, yang

memengaruhi keteraturan berobat. Kendala dalam

transportasi adalah faktor utama yang mempersulit akses

ke layanan kesehatan. Kemudahan akses ke fasilitas

kesehatan dapat membantu memanfaatkan layanan

tersebut.

Faktor Sikap Petugas Kesehatan

5. Faktor Sikap Petugas Kesehatan

Sikap petugas kesehatan dalam berinteraksi dengan pasien

sangatlah penting. Hubungan baik antara petugas

kesehatan dan pasien dapat menumbuhkan kepercayaan

dan kredibilitas dengan cara menghargai, menerima,

bersikap empatik, menjaga kerahasiaan, menghormati,

23
responsif, dan memberikan perhatian terhadap pasien

(Ulfah et al., 2017).

B. Hasil Penelitian yang Relevan

1. Penelitian yang dilakukan oleh Vena Mellyana, dkk, 2022 dengan

judul Hubungan Pengetahuan terhadap Tingkat Kepatuhan Pasien

Tuberkulosis Paru di Puskesmas Binangun Cilacap. Hasil

penelitian menunjukkan berdasarkan uji Spearman Rho diperoleh

p-value 0,028 < α (0,05) dan τ 0,389 sehingga dapat diketahui

bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan

pasien tuberkulosis paru yang menjalani pengobatan di Puskesmas

Binangun Cilacap. (Mellyana et al., 2022)

2. Penelitian yang dilakukan oleh Firdiyanti, dkk, 2021 dengan judul

Hubungan Pengetahuan Dengan Perilaku Kepatuhan Berobat Pada

Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Darek

Lombok Tengah. Hasil penelitian menunjukkan berdasarkan hasil

uji sperman rank di dapatkan nilai P=0,000, nilai P<0,05 sehingga

dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan

pengetahuan penderita tentang tuberkulosis dengan kepatuhan

berobat (Firdiyanti et al., 2021)

3. Penelitian yang dilakukan oleh Ivon Saubaki, 2022 dengan judul

Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Kepatuhan Pengobatan

Pasien TB di Puskesmas Kota Kupang. Hasil penelitian

menunjukkan hasil uji Pearson Chi-Square yaitu nilai p < 0,001 (p

24
< 0,05) yang artinya terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan

dengan kepatuhan pengobatan pasien TB di Puskesmas Oebobo

dan Puskesmas Bakunase Kota Kupang. (Saubaki, 2022)

4. Penelitian yang dilakukan oleh Karuma Barza A, Enrawani

Damanik, Restu Wahyuningsih, 2021 dengan judul Hubungan

Tingkat Pengetahuan Dengan Tingkat Kepatuhan Pengobatan Pada

Pasien TB di RS Medika Dramaga. Hasil penelitian menunjukkan

nilai signifikansi dari uji Chi Square yaitu 0,80 lebih besar dari

(0,05). Hasil nilai signifikansi dari uji Chi Square dapat

disimpulkan menerima Ho yaitu tidak terdapat hubungan bermakna

antara pengetahuan dengan tingkat kepatuhan pengobatan pada

pasien TB Paru di Rumah Sakit Medika Dramaga. (Barza A. et al.,

2021)

5. Penelitian yang dilakukan oleh Otri Rosiana Simatupang, 2018

dengan judul Analisis Hubungan Tingkat Pengetahuan Terhadap

Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Tuberkulosis Paru di UPT

Puskesmas Belawan, Medan Belawan. Berdasarkan hasil penelitian

diperoleh nilai korelasi sebesar 0,142. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa tidak terdapat hubungan antara data demografi, dan tingkat

pengetahuan, dengan tingkat kepatuhan pasien dalam minum obat.

(Simatupang, 2018)

25
C. Kerangka Berfikir

TB merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan tahan

asam yang sering dikenal dengan sebutan Basil Tahan Asam (BTA).

TB biasanya menular dari manusia ke manusia lain lewat udara

melalui droplet nucleus (<5 microns) yang keluar ketika seorang yang

terinfeksi TB paru batuk, bersin, atau bicara. Tingkat pengetahuan

pengobatan dan kepatuhan terhadap dosis dan pedoman penggunaan

yang ditetapkan sangat mendukung keberhasilan pengobatan TB paru.

Selama masa pengobatan, kurangnya pengetahuan dan kepatuhan

pasien terhadap penyakit TB Paru dapat mengakibatkan kuman TB

menjadi resisten dan mempengaruhi durasi pengobatan dan sebaliknya.

Selain faktor kepatuhan, keberhasilan terapi pasien TB paru juga

disebabkan oleh diagnosa yang tepat, pemilihan obat yang benar dan

pemberian obat yang benar. Dan kepatuhan minum obat selain

disebabkan oleh pengetahuan pasien ada beberapa faktor lain

diantaranya yaitu motivasi, dukungan dari keluarga dan Pengawas

Minum Obat (PMO). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

hubungan tingkat pengetahuan dengan kepatuhan pengobatan pasien

TB paru di Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas) Wilayah Klaten.

Dalam penelitian ini terdapat 2 variabel yaitu variabel bebas dan

26
variabel terikat. Variabel bebas yaitu tingkat pengetahuan pasien TB

paru di Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas) Wilayah Klaten dan

variabel terikat yaitu kepatuhan pengobatan pasien TB paru di Balai

Kesehatan Masyarakat (Balkesmas) Wilayah Klaten. Untuk mengukur

tingkat pengetahuan pasien digunakan kuesioner dari penelitian yang

dilakukan oleh Wuri Kinanti dengan judul ‘Pengembangan Instrumen

Pengukuran Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Masyarakat

Terkait Penyakit Tuberculosis (TBC) Paru’ dan untuk mengukur

kepatuhan pasien digunakan kuesioner MARS yang telah di

kembangkan oleh (alfian riza, 2017).

27
Pengobatan TB paru

Kepatuhan dipengaruhi :
Keberhasilan Terapi Keberhasilan dipengaruhi :
a. Tingkat pengetahuan
- Motivasi
b. Kepatuhan - Dukungan keluarga
- Pengawas Minum
Obat (PMO)

Faktor lain penentu


keberhasilan
- Diagnosa yang tepat
- Pemilihan obat yang
benar
- Pemberian obat
yang benar

Kesembuhan Pasien

Keterangan :

28
Variabel yang diteliti

---------- Variabel yang tidak diteliti

D. Hipotesis

H0 : Tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan

pengobatan pasien TB paru di Balai Kesehatan Masyarakat

(Balkesmas) Wilayah Klaten (Sig > 0,05)

H1 : Ada hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan pengobatan

pasien TB paru di Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas) Wilayah

Klaten (Sig < 0,05)

29
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain

penelitian observasional analitik dan rancangan cross sectional. Populasi

dalam penelitian ini adalah pasien TB paru yang masih menjalani

pengobatan di Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas) Wilayah Klaten

periode Januari – Februari 2023. Kriteria ditentukan dengan menggunakan

purposiva sampling dan pengambilan data dilakukan dengan

menggunakan accidental sampling yaitu pasien TB yang ditemukan pada

saat berobat atau sedang melakukan pemeriksaan di Balai Kesehatan

Masyarakat (Balkesmas) Wilayah Klaten. Sampel dalam penelitian ini

yaitu seluruh populasi pasien TB paru sebanyak 43 pasien dengan cara

membagikan kuesioner pada pasien yang sedang melakukan pemeriksaan

atau pengambilan obat TB paru di Balai Kesehatan Masyarakat

(Balkesmas) Wilayah Klaten.

B. Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien TB paru yang

memenuhi kriteria inklusi.

1. Kriteria inklusi

30
a. Pasien TB paru yang sedang melakukan pengobatan di Balai

Kesehatan Masyarakat (Balkesmas) Wilayah Klaten periode

Januari – Februari 2023.

b. Berusia minimal 17 tahun.

c. Bersedia secara sukarela menjadi responden.

2. Kriteria eksklusi

a. Pasien tidak dapat berkomunikasi dengan baik.

b. Pasien mengisi kuesioner tidak lengkap

C. Bahan dan Alat yang Digunakan

1. Bahan :

Bahan penelitian yang digunakan adalah data primer yang diperoleh

dengan pengisian kuesioner oleh pasien serta data sekunder yang

diperoleh dari catatan rekam medik pasien TB paru.

2. Alat :

Alat penelitian yang digunakan untuk pengumpulan data berupa

kuesioner dari penelitian yang dilakukan oleh Wuri Kinanti dengan

judul ‘Pengembangan Instrumen Pengukuran Tingkat Pengetahuan,

Sikap dan Tindakan Masyarakat Terkait Penyakit Tuberculosis (TBC)

Paru’ untuk mengukur tingkat pengetahuan pasien dan kuesioner

MARS yang telah di kembangkan oleh (alfian riza, 2017) untuk

mengukur kepatuhan pasien

31
D. Variabel Penelitian

1. Klasifikasi Variabel

a. Variabel bebas : Tingkat pengetahuan pasien TB paru di

Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas) Wilayah Klaten.

b. Variabel terikat : Kepatuhan pengobatan pasien TB paru di

Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas) Wilayah Klaten.

2. Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Parameter

Operasional

Tingkat Segala sesuatu Kuesioner dari Interpretasi hasil

Pengetahuan yang diketahui penelitian yang tingkat

oleh pasien TB dilakukan oleh pengetahuan

paru tentang Wuri Kinanti dikategorikan

sejumlah dengan judul menjadi 3 yaitu :

pertanyaan ‘Pengembangan 1) Baik jika

yang telah Instrumen jawaban

disiapkan oleh Pengukuran benar 19-

peneliti Tingkat 24 .

mengenai TB Pengetahuan, 2) Cukup jika

paru. Sikap dan jawaban

Tindakan benar 14-18.

Masyarakat 3) Kurang jika

32
Terkait Penyakit jawaban

Tuberculosis (T benar 0-13.

BC) Paru’.

Kepatuhan Perilaku pasien Kuesioner Interpretasi hasil

TB paru untuk MARS yang kepatuhan

minum obat telah di dikategorikan

anti kembangkan menjadi 2 yaitu :

tuberkulosis oleh (Alfian 1) Tinggi jika

(OAT) sesuai riza, 2017). diperoleh 25

dengan yang poin.

dianjuran oleh 2) Rendah jika

petugas diperoleh

kesehatan, <25 poin.

E. Prosedur Penelitian

Prosedur yang akan digunakan untuk melaksanakan penelitian ini adalah

sebagai berikut :

a. Menyiapkan kuesioner penelitian yang akan diisi responden.

b. Meminta izin untuk melakukan penelitian dengan responden di Balai

Kesehatan Masyarakat (Balkesmas) Wilayah Klaten melalui surat dari

Dekan Fakultas Farmasi UAD

33
c. Menghubungi Kepala Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas)

Wilayah Klaten tersebut untuk mendapatkan izin melakukan

penelitian.

d. Membagikan kuesioner penelitian kepada responden

e. Mengumpulkan data penelitian.

f. Mengolah data penelitian.

g. Menganalisis data dan informasi yang diperoleh sehingga didapatkan

kesimpulan dari penelitian.

F. Analisis Data

Analisis data dilakukan mengguanakan analisa univariat dan bivariat.

1. Analisis Univariat

Analisis univariat adalah metode yang menganalisis data setiap

variabel secara independen, tanpa mempertimbangkan hubungannya

dengan variabel lain. Tujuan dari analisis univariat yaitu

menggambarkan kondisi fenomena yang dikaji.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat adalah analisis yang digunakan untuk melihat

hubungan antara dua variabel, meliputi variabel bebas dan variabel

terikat. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner.

Data yang telah didapatkan akan dianalisa dengan uji statistik.

Analisis data menggunakan SPSS dengan uji Chi-Square.

34
G. Jadwal Kegiatan

Kegiatan Mei Jun Jul Agt Se Okt Nov Des Jan Fe Mar

p b

Baca

Jurnal

BAB I

BAB II

BAB III

Seminar

Proposal

Pengajuan

EC

Pengambil

an Data

Olah Data

dan

Pembahas

an

35
Seminar

Hasil

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Univariat

A. Karakteristik Responden

Pasien TB Paru di Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas)

Wilayah Klaten dalam penelitian ini berjumlah 40 pasien. Pasien tersebut

memenuhi kriteria inklusi. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data

demografi yaitu jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir dan pekerjaan.

Tabel 1. Karakteristik responden

Karakteristik Responden Kategori Frekuensi Persentase (%)


Laki-laki 28 70
Jenis kelamin
Perempuan 12 30
17 – 25 3 7,5
26 – 35 8 20
36 – 45 9 22,5
Usia
46 – 55 8 20
56 – 65 6 15
> 65 6 15
SD 12 30
SMP 12 30
Pendidikan Terakhir
SMA 11 27,5
Perguruan Tinggi 5 12,5

36
Tidak Bekerja 11 27,5
Pedagang 1 2,5
Wiraswasta 9 22,5
Pekerjaan PNS 2 5
Petani 3 7,5
Buruh 11 27,5
Pelajar/Mahasiswa 0 0
Lain-lain 3 7,5

Berdasarkan tabel 1, hasil analisis pasien TB Paru di Balai

Kesehatan Masyarakat (Balkesmas) Wilayah Klaten terkait jenis kelamin

responden dengan frekuensi pasien laki-laki sebanyak 28 orang (70%)

sedangkan pasien perempuan sebanyak 12 orang (30%). Hal ini

menunjukkan bahwa pasien TB Paru lebih banyak diderita oleh laki-laki

daripada perempuan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Dotulong (2015) bahwa penyakit TB paru lebih banyak

diderita oleh laki-laki dibandingkan dengan perempuan karena laki-laki

lebih banyak yang merokok dan meminum alkohol sehingga dapat

menurunkan imunitas tubuh dan lebih rentan terserang penyakit TB paru.

Hasil penelitian pada tabel di atas menunjukkan karakteristik

responden terkait usia yang dikelompokkan menjadi 6 kelompok. Rentang

usia paling tinggi menderita TB paru adalah kelompok usia 36 – 45 tahun

yaitu sebanyak 9 orang (22,5%), diikuti dengan kelompok usia 26 – 35

dan 46 – 55 yang masing-masing terdapat 8 orang (20%). Hal ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh Sunarmi & Kurniawaty (2022)

bahwa kelompok penderita TB paru paling banyak diderita oleh pasien

37
berusia 15-55 tahun (usia produktif) dikarenakan pada usia ini orang

banyak beraktivitas, menghabiskan waktu dan tenaga untuk bekerja yang

dapat mengurangi waktu istirahat sehingga mengakibatkan daya tahan

tubuh menurun.

Hasil analisis terkait pendidikan terakhir responden terdapat 2

kategori pendidikan terakhir yang sama yaitu SD dan SMP dengan

masing-masing jumlah respondennya yaitu 12 orang (30%) diikiti dengan

pendidikan terakhir SMA sebanyak 11 orang (22,7%) dan paling sedikit

pendidikan terakhir perguruan tinggi sebanyak 5 orang (12,5%). Menurut

penelitian yang dilakukan oleh Triyono (2021) bahwa tingkat pendidikan

merupakan salah satu faktor pengendalian penularan penyakit TB paru.

Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin banyak pengetahuannya

dan tinggi kesadarannya tentang hak yang dimilikinya untuk memperoleh

informasi tentang upaya pengendalian penularan penyakit TB paru

sehingga menuntut dirinya agar memperoleh keselamatan jiwanya. Hasil

analisis ini juga sesuai dengan data Profil Pendidikan Kabupaten Klaten

(2021) bahwa pendidikan di Kabupaten Klaten masyarakat paling banyak

menempuh pendidikan setingkat SD/MI tercacat 44,53%, diikuti

Pendidikan setingkat SMP tercatat 20,87%, SMA/SMK tercatat sebesar

25,87 dan yang terakhir perguruan tinggi tercatat sebesar 8,73 persen.

Hasil penelitian tabel di atas juga analisis pasien TB Paru di Balai

Kesehatan Masyarakat (Balkesmas) Wilayah Klaten terkait pekerjaan yang

paling banyak ada 2 yaitu tidak bekerja dan buruh dengan frekuensi yang

38
sama masing-masing sebanyak 11 orang (27,5%). Berdasarkan penelitian

yang dilakukan oleh Rianto (2018) bahwa ketika seseorang tidak bekerja

maka tidak memiliki pendapatan sehingga dapat mempengaruhi kualitas

dan kuantitas makanan yang dikonsumsi, hal ini dapat berdampak pada

kesehatan. Selain itu berdasarkan Survei Angkatan Kerja (2021), status

dalam pekerjaan utama di Kabupaten Klaten terbanyak pada tahun 2021

adalah sebagai buruh/karyawan/pegawai sebesar 236.271 orang (39,60

persen). (Statistik & Klaten, 2021)

B. Gambaran Tingkat Pengetahuan dan Kepatuhan Pengobatan Pasien

TB Paru

1. Gambaran Tingkat Pengetahuan Responden

Tabel 2. Gambaran tingkat pengetahuan responden


No Rentang Skor Kategori Frekuensi Persentase (%)
1 19 – 24 Baik 30 75
2 14 – 18 Cukup 9 22,5
3 0 - 13 Kurang 1 2,5
TOTAL 40 100

Berdasarkan tabel 2, responden memiliki tingkat pengetahuan kategori

baik sebanyak 30 orang (61%) sedangkan responden yang memiliki tingkat

pengetahuan kategori cukup sebanyak 9 orang (22,5%) dan responden yang

memiliki tingkat pengetahuan kategori kurang sebanyak 1 orang (2,5%). Hasil ini

menunjukkan bahwa sebagian besar pasien TB Paru di Balai Kesehatan

Masyarakat (Balkesmas) Wilayah Klaten memiliki tingkat pengetahuan yang baik.

39
Hasil yang didapat dari penelitian ini dapat disebabkan karena informasi

yang diberikan oleh tenaga kesehatan saat pasien pertama kali menjalani

pengobatan. Informasi yang disampaikan meliputi definisi, gejala, cara penularan,

pengobatan, pencegahan dan pengendalian TB Paru. Selain informasi dari tenaga

kesehatan, responden juga dapat mencari secara mandiri informasi terkait TB Paru

baik melalui media elektronik maupun non elektronik sehingga dapat

meningkatkan pengetahuan dan wawasan responden.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chairil (2016) bahwa

informasi yang diperoleh responden sangat mempengaruhi pengetahuan

responden. Semakin banyak informasi yang didapat, maka semakin banyak pula

pengetahuan responden, sehingga dapat berpikir lebih kritis dibandingkan dengan

seseorang yang sedikit pengetahuan.

2. Gambaran Kepatuhan Pengobatan Responden

Tabel 3. Gambaran tingkat pengetahuan responden


No Rentang Skor Kategori Frekuensi Persentase (%)
1. 25 Tinggi 36 90
2. < 25 Rendah 4 10
TOTAL 40 100

Berdasarkan tabel 3, sebagian besar responden memiliki kepatuhan

pengobatan kategori tinggi sebanyak 36 orang (90%) dan kepatuhan pengobatan

kategori rendah sebanyak 4 orang (10%). Hasil ini menunjukkan bahwa sebagian

besar pasien TB Paru di Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas) Wilayah Klaten

patuh selama menjalani proses pengobatan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Setyowati dan Emil (2021)

menyatakan bahwa kepatuhan sangat berpengaruh terhadap pengobatan TB

40
karena pasien yang mengacu pada prosedur terapi TB dan menjalankan semua

instruksi yang diberikan oleh tenaga kesehatan akan memberikan hasil terapi yang

baik. Selain itu tingkat kepatuhan minum obat pada pasien TB Paru sangat

penting, kerena bila pengobatan tidak dilakukan secara teratur maka akan timbul

kekebalan (resistence) kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau

disebut Multi Drug Resistence (MDR) (Pameswari et al., 2016) .

Tingginya tingkat kepatuhan pengobatan di Balai Kesehatan Masyarakat

(Balkesmas) Wilayah Klaten dapat disebabkan karena beberapa faktor diantaranya

yaitu motivasi ingin sembuh, dukungan keluarga dan PMO. Selain itu adanya

kartu pengingat yang diberikan oleh tenaga kesehatan kepada pasien TB Paru

yang dapat dibawa pulang untuk mengetahui jadwal minum obat agar dapat

konsisten dan teratur.

Analisis Bivariat

Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Kepatuhan Pengobatan TB Paru

Tabel 4. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Kepatuhan Pengobatan TB Paru

Kepatuhan Pengobatan
Tingkat Total Nilai
Rendah Tinggi
Pengetahuan P
N % N % N %
Kurang 0 0 1 2,8 1 2,5
Cukup 1 25 8 22,2 9 22,5
0,940
Baik 3 75 27 75 30 75
Total 4 10 36 90 40 100

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan bahwa pasien TB paru yang

memiliki tingkat pengetahuan yang baik dengan kepatuhan pengobatan yang

41
tinggi yaitu sebanyak 27 responden (75%). Hasil analisis menunjukkan bahwa

pasien TB paru di Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas) Wilayah Klaten

memiliki tingkat pengetahuan yang baik dengan kepatuhan pengobatan yang

tinggi. Semakin baik pengetahuan pasien TB tentang penyakit TB paru, pasien

akan mampu memahami penjelasan yang diberikan serta mampu menerima dan

menggali informasi yang didapat atau diterima sehingga diharapkan pasien patuh

dalam pengobatan TB Paru.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ulyah, dkk (2017) bahwa

kepatuhan pengobatan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, faktor-faktor lain

selain pengetahuan yang dapat mempengaruhi kepatuhan pengobatan TB paru

diantaranya yaitu faktor dukungan keluarga untuk mengingatkan konsumsi obat

yang teratur dan tepat waktu, faktor efek samping obat antituberculosis yang bisa

meningkatkan risiko ketidakpatuhan dalam berobat, faktor peran PMO untuk

mengingatkan, mengawasi dan membawa pasien ke dokter, faktor jarak fasilitas

kesehatan yang dapat mengurangi penggunaan layanan kesehatan dan

menyulitkan transportasi, faktor sikap petugas kesehatan yang berhubungan baik

dengan pasien dapat menumbuhkan kepercayaan dan kredibilitas dengan cara

menghargai, menerima, bersikap empatik, menjaga kerahasiaan, menghormati,

responsif, dan memberikan perhatian terhadap pasien (Ulfah et al., 2017).

Berdasarkan pada hasil uji Person Chi-Square pada tabel diatas diperoleh

derajat signifikansi sebesar p>0,940 (P>0,05), hal ini menunjukkan bahwa tidak

terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan

pengobatan pasien TB paru di Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas) Wilayah

42
Klaten. Sehingga H0 diterima yaitu tidak ada hubungan antara pengetahuan

dengan kepatuhan pengobatan pasien TB paru di Balai Kesehatan Masyarakat

(Balkesmas) Wilayah Klaten (Sig > 0,05).

Hasil penelitian ini selaras dengan beberapa penelitian sebelumnya

diantaranya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Barza A, dkk (2021) dengan

hasil tidak ada hubungan tingkat pengetahuan dengan tingkat kepatuhan

pengobatan pada pasien TB Paru di RS Medika Dramaga (0,80 > 0,05) selain itu

sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hendesa (2018) bahwa tidak

ada hubungan pengetahuan dengan kepatuhan berobat pada pasien TB Paru di RS

Paru Kota Palembang tahun 2017 (0,059 > 0,05). Namun berbeda dengan

penelitian yang dilakukan oleh Ivon Saubaki (2022) dengan hasil penelitian

menunjukkan hasil uji Pearson Chi-Square yaitu nilai p < 0,001 (p < 0,05) yang

artinya terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan

pengobatan pasien TB di Puskesmas Oebobo dan Puskesmas Bakunase Kota

Kupang.

43
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Gambaran tingkat pengetahuan pasien TB Paru di Balai Kesehatan

Masyarakat (Balkesmas) Wilayah Klaten diperoleh sebanyak 30 orang (61%)

dengan tingkat pengetahuan baik, 9 orang (22,5%) dengan tingkat

pengetahuan cukup dan sebanyak 1 orang (2,5%) dengan tingkat pengetahuan

kurang.

2. Gambaran kepatuhan pengobatan pasien TB Paru di Balai Kesehatan

Masyarakat (Balkesmas) Wilayah Klaten diperoleh sebanyak 36 orang (90%)

dengan kategori tinggi dan sebanyak 4 orang (10%) kepatuhan pengobatan

kategori rendah.

3. Berdasarkan pada hasil uji Person Chi-Square diperoleh derajat signifikansi

sebesar p>0,940 (P>0,05), hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan

pengobatan pasien TB Paru di Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas)

Wilayah Klaten.

Saran

1. Bagi instansi terkait agar dapat meningkatkan komunikasi yang baik kepada

pasien TB Paru dengan lebih mengoptimalkan konseling secara berkala baik

44
kepada pasien maupun pihak keluarga (PMO) agar dapat meningkatkan

pengetahuan serta lebih patuh dalam menjalani pengobatan TB Paru.

2. Bagi Peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi

untuk dapat dikembangkan serta dapat dilakukan penelitian lebih lanjut

terkait faktor-faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap kepatuhan

pengobatan pasien TB Paru.

45

Anda mungkin juga menyukai