Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN TUBERKULOSIS PARU

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Stase Keperawatan Kritis


Holistik islami
Dosen Pengampu Santy Sanusi, S.Kep.,Ners.,M.Kep

Disusun oleh :
Ilham Zulkifli
NIM. 402021008

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS ‘AISYIYAH BANDUNG
2022
LAPORAN PENDAHULUAN TUBERKULOSIS PARU

A. Konsep Dasar Medis


1. Definisi Tuberkulosis
TB paru adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
kuman TB (mycobacterium tuberculosis). Kuman tersebut masuk ke dalam
tubuh manusia melalui udara ke dalam paru-paru,dan menyebar dari paru-
paru ke organ tubuh yang lain melalui peredaran darah seperti kelenjar
limfe, saluran pernapasan atau penyebaran langsung ke organ tubuh lainnya
(Febrian, 2015).
TB merupakan penyakit infeksi kronis yang sering terjadi atau
ditemukan di tempat tinggal dengan lingkungan padat penduduk atau daerah
urban, yang kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan
berperan terhadap peningkatan jumlah kasus TB (Ganis indriati, 2015).
2. Klasifikasi
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit : (Puspasari, 2019)
1) Tuberkulosis paru
TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB
dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
2) Tuberkulosis ekstra paru
TB yang terjadi pada organ selain paru misalnya kelenjar
limfe, pleura, abdomen, saluran kencing, kulit, selaput otak, sendi dan
tulang
b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
1) Klien baru TB: klien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
paru sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari
satu bulan (< 28 dosis).
2) Klien yang pernah diobati TB: klien yang sebelumnya pernah menelan
OAT selama satu bulan atau lebih (≥ 28 hari).
3) Klien berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
a) Klien kambuh: klien TB paru yang pernah dinayatakn sembuh dan
saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologi
b) Klien yang diobati kembali setelah gagal: klien TB paru yang
pernah diobati dan gagal pada pengobatan terakhir.
c) Klien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-
up): klien TB paru yang pernah diobati dan dinyatakan lost to
follow-up (dikenal sebagai pengobatan klien setelah putus berobat).
d) Lain-lain: klien TB paru yang pernah diobati tetapi hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui
c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat:
Pengelompokkan penderita TB berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji
dari mycobacterium tuberculosis terhadap OAT:
1) Mono resisten (TB MR): resisten terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja.
2) Poli resisten (TB PR): resisten terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
3) Multidrug resisten (TB MDR): resisten terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan.
4) Extensive drug resistan (TB XDR): TB MDR sekaligus resisten
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah
satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin,
Amikasin).
5) Resisten Rifampisin (TB RR): resisten terhadap Rifampisin dengan
atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi.
d. Klasifikasi penderita TB berdasarkan status HIV:
1) Klien TB dengan HIV positif
2) Klien TB dengan HIV negative
3) Klien TB dengan status HIV tidak diketahui
3. Factor resiko
a. Kotak dekat dengan seseorang yang menderita TB Paru aktif
b. Status gangguan imun (mis, lansia, kanker, terapi kortikosteroid dan
HIV)
c. Penggunaan obat injeksi dan alkoholisme
d. Masyarakat yang kurang mendapat layanan Kesehatan yang memadai
(mis, gelandangan atau penduduk miskin, kalangan minoritas, anak-anak
dan dewasa muda)
e. Kondisi medis yang sudah ada, termasuk diabet, gagal ginjal
kroniksilicosis dan malnutrisi
f. Imigran dari negara dengan insiden TB Paru yang tinggi (mis, asia
tenggara)
g. Instituasional (mis, fasilitas perawatan jangka Panjang, penjara)
h. Tinggal di lingkungan padat penduduk dan di bawah standar
i. Pekerjaan (mis, tenaga Kesehatan, terutama yang melakukan aktivitas
beresiko tinggi). (Brunner dan Suddarth, 2015)
4. Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah mycobacterium tuberculosis. Basil ini
tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan sinar matahari, pemanasan
dan sinar ultraviolet. Terdapat 2 macam mycobacterium tuberculosis yaitu
tipe human dan bovin. Basil tipe human berada di bercak ludah (droplet) di
udara yang berasal dari penderita TB paru dan orang yang rentan terinfeksi
bila menghirup bercak ludah ini (Nurrarif & Kusuma, 2015).
Menurut (Puspasari, 2019) Faktor resiko TB paru sebagai berikut:
a. Kontak dekat dengan seseorang yang memiliki TB aktif.
b. Status imunocompromized (penurunan imunitas) misalnya kanker, lansia,
HIV.
c. Penggunaan narkoba suntikan dan alkoholisme.
d. Kondisi medis yang sudah ada sebelumnya, termasuk diabetes,
kekurangan gizi, gagal ginjal kronis.
e. Imigran dari negara-negara dengan tingkat tuberkulosis yang tinggi misal
Asia Tenggara, Haiti.
f. Tingkat di perumahan yang padat dan tidak sesuai standart.
g. Pekerjaan misalnya petugas pelayanan kesehatan.
h. Orang yang kurang mendapat perawatan kesehatan yang memadai
misalnya tunawisma atau miskin.
5. Patofisiologi
Menurut Darliana (2011), Individu terinfeksi melalui droplet nuclei
dari pasien TB paru ketika pasien batuk, bersin, tertawa. Droplet nuclei ini
mengandung basil TB dan ukurannya kurang dari 5 mikron dan akan
melayang-layang di udara. Droplet nuclei ini mengandung basil TB. Saat
Mikrobacterium Tuberkulosa berhasil menginfeksi paru- paru maka dengan
segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular. Biasanya
melalui serangkaian reaksi imunologis, bakteri TB paru ini akan berusaha
dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel
paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya
menjadi jaringan parut dan bakteri TB paru akan menjadi dormant
(istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai
tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen. Sistem imun tubuh berespon
dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit (neutrofil dan makrofag)
menelan banyak bakteri; limpospesifik-tuberkulosis melisis
(menghancurkan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini
mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli, yang menyebabkan
bronkopneumonia dan infeksi awal terjadi dalam 2-10 minggu setelah
pemajanan.
Massa jaringan paru yang disebut granulomas merupakan gumpalan
basil yang masih hidup. Granulomas diubah menjadi massa jaringan -
jaringan fibrosa, bagian sentral dari massa fibrosa ini disebut tuberkel ghon
dan menjadi nekrotik membentuk massa seperti keju. Massa ini dapat
mengalami klasifikasi, membentuk skar kolagenosa. Bakteri menjadi
dorman, tanpa perkembangan penyakit aktif. Setelah pemajaman dan infeksi
awal, individu dapat mengalami penyakit aktif karna gangguan atau respon
yang inadekuat dari respon sistem imun. Penyakit dapat juga aktif dengan
infeksi ulang dan aktivasi bakteri dorman. Dalam kasus ini, tuberkel ghon
memecah melepaskan bahan seperti keju dalam bronki. Bakteri kemudian
menjadi tersebar di udara, mengakibatkan penyebaran penyakit lebih jauh.
Tuberkel yang menyerang membentuk jaringan parut. Paru yang terinfeksi
menjadi lebih membengkak, mengakibatkan terjadinya bronkopneumonia
lebih lanjut.
6. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala pada TB paru yaitu batuk >3 minggu, nyeri dada,
malaise, sesak nafas, batuk darah, demam. Tanda dan gejala pada TB paru
dibagi menjadi 2 bagian yaitu gejala sistemik dan respiratorik (Padila,2013).
a. Gejala sistemik yaitu :
1) Demam
Adanya proses peradangan akibat dari infeksi bakteri sehingga
timbul gejala demam. Ketika mycobacterium tuberculosis terhirup
oleh udara ke paru dan menempel pada bronkus atau alveolus untuk
memperbanyak diri, maka terjadi peradangan (inflamasi) ,dan
metabolisme meningkat sehingga suhu tubuh meningkat dan terjadilah
demam.
2) Malaise
Malaise adalah rasa tidak enak badan, penurunan nafsu makan,
pegal-pegal, penurunan berat badan dan mudah lelah.
b. Gejala respiratorik yaitu :
1) Batuk
Batuk dimulai dari batuk kering (non produktif) kemudian
muncul peradangan menjadi produktif atau menghasilkan sputum
yang terjadi lebih dari 3 minggu (Suprapto,Abd.Wahid &
Imam,2013).
2) Batuk darah
Batuk darah atau hemoptisis merupakan batuk yang terjadi
akibat dari pecahnya pembuluh darah. Darah yang dikeluarkan bisa
bervariasi, berupa garis atau bercak darah, gumpalan darah atau darah
segar dalam jumlah yang banyak. (Suprapto,Abd.Wahid &
Imam,2013).
3) Sesak nafas
Pada awal TB sesak nafas tidak ditemukan. Sesak nafas
ditemukan jika penyakit berkelanjutan dengan kerusakan paru yang
meluas atau karena adanya hal lain seperti efusi pleura, pneumothorax
dan lain-lain (Suprapto,Abd.Wahid & Imam,2013).
4) Nyeri dada
Gejala nyeri dada dapat bersifat bersifat lokal apabila yang
dirasakan berada pada tempat patologi yang terjadi, tapi dapat beralih
ke tempat lain seperti leher,abdomen dan punggung. Bersifat pluritik
apabila nyeri yang dirasakan akibat iritasi pleura parietalis yang terasa
tajam seperti ditusuk-tusuk pisau (Smeltzer & Bare,2013).
7. Pathway
8. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Kemenkes (2014) pemeriksaan pada penderita TB paru yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
1) Untuk diagnosis dilakukan pemeriksaan dahak mikroskopis langsung,
penderita TB diperiksa contoh uji dahak SPS (sewaktu- pagi-
sewaktu).
2) Ditetapkan sebagai penderita TB apabila minimal satu dari
pemeriksaan hasilnya BTA positif.
b. Pemeriksaan dahak
1) Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dilakukan dengan cara mengumpulkan 3 contoh uji
dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan berupa Sewaktu-
Pagi-Sewaktu (SPS) :
S (sewaktu) : Dahak ditampung saat pasien TB datang berkunjung
pertama kali ke pelayanan kesehatan. Saat pulang pasien membawa
sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
P (pagi) : Dahak ditampung pasien pada hari kedua,setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan kepada petugas pelayanan kesehatan.
S (sewaktu) : Dahak ditampung pada hari kedua setelah saat
menyerahkan dahak pagi.
2) Pemeriksaan biakan
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengidentifikasi mycbacterium
tuberculosis.
c. Pemeriksaan uji kepekaan obat
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi
mycobacterium tuberculosis terhadap OAT. Pemeriksaan uji kepekaan
obat harus dilakukan oleh laboratorium yang telah lulus uji pemantapan
mutu atau quality assurance. (Kemenkes,2014).
d. Sedangkan menurut Nurafif & Kusuma (2015) pemeriksaan penunjang
pada TB paru meliputi :
1) Laboratorium darah rutin
LED normal/meningkat, limfositosis
2) Pemeriksaan sputum BTA
Untuk memastikan diagnostik paru, pemeriksaan ini spesifikasi karena
klien dapat didiagnosis TB paru berdasarkan pemeriksaan ini.
3) Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase)
Yaitu uji serologi imunosperoksidase memakai alat histogen staining
untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB.
4) Tes Mantoux/Tuberkulin
Yaitu uji serologi imunosperoksidase memakai alat histogen staining
untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB.
5) Teknik Polymerase Chain Reaction
Deteksi DNA kuman melalui amplifikasi dalam meskipun hanya satu
mikroorganisme dalam spesimen dapat mendeteksi adanya resistensi.
6) Becton Dikinson Diagnostic Instrument Sintem (BACTEC) Deteksi
Growth Indeks berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolisme
asam lemak oleh kuman TB.
7) Pemeriksaan Radiologi
Gambaran foto thorak yang menunjang didiagnostis TB paru yaitu :
a) Bayangan lesi terletak di lapangan paru atas satu segmen apical
lobus bawah.
b) Bayangan berwarna (patchy) atau bercak nodular.
c) Kelainan bilateral terutama di lapangan atas paru.
d) Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian.
e) Bayangan millie
9. Penatalaksanaan
a. Pengobatan TB paru menurut Kemenkes RI (2014):
1) Tujuan pengobatan
Pengobatan TB paru untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kekambuhan, mencegah kematian, memutuskan rantai penularan serta
mencegah resistensi mycobacterium tuberculosis terhadap OAT.
2) Prinsip pengobatan
Pengobatan yang dilakukan harus memenuhi prinsip sebagai berikut:
OAT yang diberikan mengandung minimal 4 macam obat untuk
mencegah resistensi, diberikan dalam dosis yang tepat, obat ditelan
secara teratur dan diawasi oleh PMO sampai selesai.
3) Tahapan pengobatan
pengobatan TB diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal (intensif)
dan tahap lanjutan.
a) Tahap awal
Pada tahap awal, penderita mendapatkan obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung guna mencegah terjadinya resisten obat.
b) Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan, penderita mendapatkan jenis obat yang lebih
sedikit tetapi dalam jangka waktu lebih lama.
4) Obat anti tuberculosis
a) Isoniazid (H)
Isoniazid diberikan melalui oral atau intramuskular. Obat ini
memiliki dua pengaruh toksik utama yaitu neuritis perifer dan
hepatotoksik. Tanda dari neuritis perifer yaitu mati rasa dan rasa
gatal pada tangan dan kaki. Sedangkan hepatotoksik jarang terjadi,
mungkin terjadi pada anak dengan TB berat dan remaja
(Astuti,2010).
b) Rifampisin (R)
Efek samping obat ini yaitu terjadi perubahan warna orange pada
urine dan air mata dan gangguan saluran pencernaan.
c) Etambutol (E)
Etambutol bertujuan untuk mencegah resistensi terhadap obat yang
lain.
d) Pirazinamid (Z)
Obat ini bersifat bakterisid dan memiliki efek samping rasa mual
yang disertai nyeri ulu hati dan muntah.
e) Streptomisin
Efek samping dari obat streptomisin yaitu rasa kesemutan didaerah
mulut dan muka setelah obat disuntikan.
b. Panduan OAT di Indonesia
1) Kategori 1 : 2(HRZE)/4H3R3
Obat diberikan selama dua bulan 2 (HRZE). Kemudian dilanjutkan
pada tahap lanjutan yang diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4
bulan (4H3R3).
Tabel 2.1 Panduan dosis OAT untuk kategori 1 :2(HRZE)/4H3R3
Tahap lanjutan 3
Tahap intensif tiap hari kali seminggu
Berat selama 50 hari RHZE selama 16 minggu
badan (150mg/75mg/400mg/275mg) RH
( 150mg/150mg)
30-37kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38-54kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55-70kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Sumber : Kemenkes,2014 Keterangan : H = Isoniasid


R = Rifampisin
Z = Pirasinamid
E= Etambutol
S = Streptomisin
2) Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Obat ini diberikan pada pasien BTA positif yang pernah diobat
sebelumnya.
Tabel 2.2 panduan OAT kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Tahap intensif tiap hari RHZE Tahap lanjutan 3
Berat (150/75/400/275)+S kali seminggu RH
Badan (150/150)+ E (400)
56 hari 28 hari 20 minggu

30-37 kg 2tab 4KDT + 500 mg 2tab 2tab 2KDT + 2 tab


streptomisin inj. 4KDT Etambutol
38-54 kg 3tab 4KDT+750 mg 3tab 3tab 2KDT + 3 tab
streptomisin inj. 4KDT Etambutol
55-70 kg 4tab 4KDT+1000 mg 4tab 4 tab 2KDT + 4 tab
streptomisin inj. 4KDT Etambutol
71 kg 5 tab 4KDT+1000 mg 5tab 5 tab 2KDT + 5 tab
streptomisin inj. 4KDT Etambutol
Sumber : Kemenkes,2014
3) Obat sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT merupakan paduan paket tahap intensif atau
kategori 1 yang diberikan selama 28 hari (Kemenkes,2011).
Tabel 2.3 KDT sisipan
Tahap intensif tiap hari selama 28 hari
Berat badan RHZE
(150/75/400/275)

30-37 kg 2 tablet 4KDT

38-54 kg 3 tablet 4KDT

55-70 kg 4 tablet 4KDT

71 kg 5 tablet 4KDT

Sumber : Kemenkes RI,2011


c. Hasil pengobatan TB paru.
1) Sembuh
Penderita telah menyelesaikan pengobatan dan pemeriksaan dahak
ulang hasilnya negatif pada AP ( akhir pengobatan ) dan pada satu
pemeriksaan sebelumnya.
2) Pengobatan lengkap
Penderita yang menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tapi
tidak ada hasil pada pemeriksaan dahak ulang di akhir pengobatan.
3) Meninggal
Penderita yang meninggal saat masa pengobatan.
4) Pindah
penderita yang dipindah ke unit pencatatan & pelaporan lain dan hasil
pengobatannya tidak diketahui.
5) Putus berobat
penderita TB yang tidak berobat selama 2 bulan atau lebih sebelum
masa pengobatan selesai.
6) Gagal
Penderita dengan hasil pemeriksaan dahak positif atau kembali
menjadi positif pada bulan ke lima atau lebih saat masa pengobatan.
7) Keberhasilan pengobatan (Treatment succes)
Penderita yang sembuh dan sudah menyelesaikan pengobatan lengkap.
d. Penatalaksanaan Non Farmakologi
1) Fisioterapi Dada
Fisioterapi dada terdiri atas drainase postural,perkusi,dan
vibrasi dada. Tujuannya yaitu untuk memudahkan dalam pembuangan
sekresi bronkhial, memperbaiki fungsi ventilasi, dan meningkatkan
efisiensi dari otot-otot sistem pernafasan agar berfungsi secara normal
(Smeltzer & Bare,2013).
Drainase postural adalah posisi yang spesifik dengan gaya
gravitasi untuk memudahkan proses pengeluaran sekresi bronkial.
Perkusi adalah suatu prosedur membentuk mangkuk pada
telapak tangan dengan menepuk ringan pada dinding dada dalam.
Gerakan menepuk dilakukan berirama diatas segmen paru yang akan
dialirkan (Smeltzer & Bare,2013).
Vibrasi dada adalah tindakan meletakkan tangan berdampingan
dengan jari-jari tangan dalam posisi ekstensi diatas area dada
(Somantri,2012).
2) Latihan batuk efektif
Latihan batuk efektif yaitu tindakan yang dilakukan agar
mudah membuang sekresi dengan metode batuk efektif sehingga dapat
mempertahankan jalan nafas yang paten (Smeltzer & Bare,2013).
3) Penghisapan Lendir
Penghisapan lendir atau suction merupakan tindakan yang
dilakukan untuk mengeluarkan sekret yang tertahan pada jalan nafas.
Penghisapan lendir bertujuan untuk mempertahankan jalan nafas tetap
paten.
10. Komplikasi
Menurut Wahid&Imam (2013), komplikasi yang muncul pada TB
paru yaitu :
a. Pneumothorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan : kolaps
spontan karena kerusakan jaringan paru.
b. Bronki ektasis (peleburan bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) di paru.
c. Penyebaran infeksi keorgan lainnya seperti otak,tulang, persendian,
ginjal dan sebagainya.
d. Insufisiensi kardiopulmonal (Chardio Pulmonary Insufficiency).
e. Hemoptisis berat (pendarahan pada saluran nafas bawah) yang
mengakibatkan kematian karena terjadinya syok hipovolemik atau
tersumbatnya jalan pernafasan
11. Pencegahan Tuberkulosis Paru
Menurut Ardiansyah (2012), pencegahan TB Paru sebagai berikut:
a. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul
erat dengan penderita TB BTA positif
b. Mass chest x-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-
kelompok populasi tertentu, misalnya petugas rumah sakit atau
puskesmas, balai pengobatan, penghuni rumah tahanan dan siswa-siswi
pesantren
c. Vaksinasi BCG
d. Kemoprokfilaksis, yaitu dengan menggunakan INH 5 mg/kg BB selama
6-12 bulan dengan tujuan menghancurkan populasi bakteri yang masih
sedikit
e. Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberculosis
pada masyarakat

B. Konsep Dasar Keperawatan


1. Pengkajian
Menurut Wijaya & Putri (2013), pengkajian padapasien TB Paru meluputi :
a. Identifikasi diri klien
b. Riwayat Kesehatan
1) Kesehatan sekarang: keadaan pernafasan, nyeri dada, batuk, dan
sputum.
2) Kesehatan dahulu: jenis kegiatan yang pernah dialami
3) Kesehatan keluarga: adakah anggota keluarga yang menderita
gangguan pernapasan seperti asma, dan TBC.
c. Data pola pemeliharaan Kesehatan, missal: pekerjaan, obat yangtersedia
dirumah, pola tidur dan stress.
d. Pola keterlambatan atau pola peranan-kekerabatan, misal: adakah
pengaruh dari gangguan penyakit terhadap dirinya dan keluarganya.
e. Pola aktivitas istirahat: untuk mengkaji kelelahan dan kelemahan pasien
serta pola tidur.
f. Pola integritas ego: factor stress, masalah keuangan.
g. Makanan/cairan: kehilangan nafsu makan, penurunan BB
h. Nyeri/kenyamanan: nyeri dada meningkat karena batuk berulang
i. Pernapasan: batuk produktif/tidak produktif, napas pendek, Riwayat TB
Paru
j. Keamanan: adanya kondisi penekanan imun, contoh AIDS, Kanker
k. Interaksi sosial: peran isolasi dan perubahan kapasitas fisik untuk
melaksanakan peran.
l. Pemeriksaaan penunjang: rontgen dada, kultur sputum, tes kulit
tuberculin.
2. Penyimpangan KDM
3. Diagnosis Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan skeresi yang
tertahan
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane
alveolus
c. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan deperesi pusat pernapasan
d. Deficit nutrisi berhubungan dengan kurangnya asupan makanan
4. Rencana Intervensi Keperawatan
No Diagnosis keperawatan Luaran Keperawatan Intervensi Keperawatan
(SDKI) (SLKI) (SIKI)
1 Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan Manajemen jalan napas
tidak efektif Tindakan keperawatan dan Latihan batuk
berhubungan dengan selama 3 x 24 jam efektif
skeresi yang tertahan maka di harapkan Tindakan manajemen
ditandai dengan: bersihan jalan napas jalan napas:
Gejala dan tanda mayor meningkat dengan Observasi:
subjektif kriteria hasil: 1. monitor pola napas
(tidak tersedia) 1. batuk efektif (frekuensi,
Objektif meningkat kedalaman, usaha
1. batuk tidak efektif 2. produksi sputum napas)
atau tidak mampu menurun 2. monitor banyi napas
batuk tambahan (mis:
2. sputum berlebih / gurgling, mengi,
obstruksi di jalan wheezing, ronchi,
napas kering)
3. monitor sputum
(warna, jumlah,
aroma)
Terapeutik:
1. pertahankan
kepatenan jalan napas
dengan head dan tilt
chin-lift (jaw thrust
jika trauma servical)
2. posisikan semi fowler
atau fowler
3. berikan minuman
hangat
4. lakukan fisioterapi
dada, jika perlu
5. lakukan penghisapan
lender kurang dari 15
detik
6. lakukan
hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
endotrakeal
7. keluarkan sumbatan
benda padat dengan
forsep McGill
8. Berikan oksigen, jika
perlu
Edukasi:
1. Anjurkan asupan
cairan 2000ml/hari,
jika tidak
kontraindikasi
2. Ajarkan Teknik batuk
efektif
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik, jika perlu

Tindakan latihan batuk


efektif:
Observasi:
1. Identifikasi
kemampuan batuk
2. Monitor adanya
retensi sputum
3. Monitor tanda dan
gejala infeksi saluran
napas
4. Monitor input dan
output cairan (mis:
jumlah dan
karakteristik)
Terapeutik:
1. Atur posisi semi
fowler
2. Pasang perlak dan
bengkok di pangkuan
pasien
3. Buang secret
padatempat sputum
Edukasi:
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur batuk efektif
2. Anjurkan Tarik napas
dalam melalui hidung
selama 4 detik,
titahan selama 2
detik, kemudian
dikeluarkan dari
mulut dengan bibir
mencuu (dibulatkan)
selama 8 detik
3. Anjurkan mengulang
Tarik napas dalam
hingga 3 kali
4. Anjurkan batuk
dengan kuat langsung
setelah Tarik nafas
dalam yang ke-3
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik, jika perlu

2 Gangguan pertukaran Pertukaran gas Pemantauan Respirasi


gas berhubungan dengan Setelah dilakukan Tindakan
perubahan membrane tindakan keperawatan Observasi:
alveolus kapiler ditandai selama 3 x 24 jam 1. Monitor frekuensi,
dengan : diharapkan pertukaran irama, kedalaman,
Gejala dan tanda mayor gas meningkat dengan dan upaya napas
Subjektif kriteria hasil: 2. Monitor pola napas
1. Dispnea 1. Dispnea: Menurun (seperti bradypnea,
Objektif 2. Bunyi Napas takipnea, hiper
1. PCO2 Tambahan Menurun ventilasi, kussmaul,
meningkat/menurun 3. PCO2: membaik chyne-stoke, biot,
2. PO2 menurun 4. Po2: Membaik ataksik)
3. Ph arteri meningkat / 3. Monitor kemampuan
menurun batuk efektif
4. Bunyi napas 4. Monitor adanya
tambahan produksi sputum
5. Monitor adanya
sumbatan jalan napas
6. Auskultasi bunyi
napas
7. Monitor satu rasi
oksigen
8. Monitor nilai AGD
Terapeutik:
1. Atur intervasi
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi:
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil
pemantauan, jika
perlu

3 Pola napas tidak efektif Setelah di lakukan Terapi oksigen


berhubungan dengan Tindakan keperawatan Tindakan:
hambatan pola napas selama 3 x 24 jam Observasi:
ditandai dengan diharapkan pola napas 1. Monitor kecepatan
Gejala dan tanda mayor membaik dengan aliran oksigen
Subjektif kriteria hasil: 2. Monitor posisi alat
1. dispnea 1. dispnea : menurun terapi oksigen
Objektif 2. penggunaan otot 3. Monitor aliran
1. penggunaan otot bantu napas : oksigen secara
bantu pernapasan menurun periodic dan pastikan
2. fase ekspirasi 3. pemanjangan fase fraksi yang diberikan
memanjang ekspirasi : menurun cukup
3. pola napas abnormal 4. ortopnea : menurun 4. Monitor efektivitas
(mis: takipnea, 5. frekuensi napas : terapi oksigen (mis :
bradypnea, membaik oksimetri, Analisa gas
hiperentilasi, darah), jika perlu
kussmaul, Cheyne- 5. Monitor kemampuan
stokes) melepaskan oksigen
saat makan
6. Monitor tanda-tanda
hipoventilasi
7. Monitor tanda dan
gejala toksikasi
oksigen dan
atelectasis
8. Monitor tingkat
kecemasan akibat
terapi oksigen
9. Monitor integritas
mukosa hidung akibat
pemasangan oksigen
Terapeutik:
1. Bersihkan secret pada
mulut, hidung dan
trakea, jika perlu
2. Pertahankan
kepatenan jalan napas
3. Siapkan dana tur
peralatan pemberian
oksigen
4. Berikan oksigen
tambahan, jika perlu
5. Tetap berikan oksigen
tambahan, jika perlu
6. Tetap berikan terapi
oksigen saat pasien
ditrasportasi
7. Gunakan perangkat
oksigen yang sesuai
dengan tingkat
mobilitas pasien
Edukasi:
1. Ajarkan pasien dan
keluarga cara
menggunakan oksigen
di rumah
Kolaborasi:
1. Kolaborasi
pemantauan dosis
oksigen
2. Kolaborasi
penggunaan oksigen
saat aktivitas dan mau
tidur

4 Deficit nutrisi Status Nutrisi Manajemen Nutrisi


berhubungan dengan Setelah di lakukan Tindakan
kurangnya asupan Tindakan keperawatan Observasi:
makanan ditandai selama 3 x 24 jam 1. Identifikasi kebutuhan
dengan diharapkan status kalori dan jenis
Gejala dan tanda mayor nutrisi membaik nutrient
Subjektif dengan kriteria hasil: 2. Identifikasi perluya
(tidak tersedia) 1. Porsi makan yang selang nasogastric
Objektif dihabiskan 3. Monitor asupan
1. Berat bada menurun meningkat makanan
minimal 10 % 2. Verbalisasi 4. Monitor berat badan
dibawah rentang ideal keinginan untuk Terapeutik:
meningkatkan 1. Lakukan oral hygiene
nutrisi meningkat sebelum makan, jika
3. Berat badan perlu
membaik 2. Fasilitas menentukan
4. Indeks masa tubuh pedoman diet (mis:
(IMT) membaik piramida makanan)
5. Frekuensi makan 3. Sajikan makanan
membaik secara menarik dan
6. Nafsu makan suhu yang sesuai
membaik 4. Berikan makanan
7. Bising usus tinggi serat atau
membaik mencegak konstipasi
5. Berikan makanan
tinggi kalori dan
tinggi protein
6. Berikan suplemen
makanan, jika perlu
Edukasi:
1. Anjurkan posisi
duduk, jika mampu
2. Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum
makan (mis: Pereda
nyeri, antiemetik),
jika perlu
2. Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan jenis
nutrient yang
dibutuhkan, jika perlu

DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2015. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 12. Jakarta :
EGC
Nurarif Huda Amin dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 3
Jogjakarta. MediAction.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017 Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Edisi 1 Cetakan II. Jakarta. Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019 Standar Luaran Diagnosis Keperawatan
Indonesia Edisi 1 Cetakan II. Jakarta. Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018 Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi
1 Cetakan II. Jakarta. Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai