Anda di halaman 1dari 37

Laporan Kasus

PNEUMONIA

Diajukan sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Program Internship Dokter
Indonesia
di RS Muhammadiyah Lamongan periode III angkatan 2022/2023

Disusun oleh :
dr. Serli Ulfa Novia Dewi

Dokter Pembimbing:
dr. Thanthawy Jauhary, Sp.Rad

PROGRAM INTERNSHIP PIDI ANGKATAN I PERIODE 2021/2022


DI RS MUHAMMADIYAH LAMONGAN
TAHUN 2022 HALAMAN PENGESAHAN
Nama : dr. Serli Ulfa Novia Dewi
Kasus : Pneumonia
Pembimbing : dr. Thanthawy Jauhary, Sp.Rad
Laporan kasus internsip ini telah disetujui.

Lamongan, 31 Januari 2023


Pembimbing

dr. Thanthawy Jauhary, Sp.Rad

2
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat ilmu pengetahuan
dan kesehatan bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas laporan kasus ini.
Salawat dan salam semoga senantiasa Allah curahkan ke pangkuan baginda
Rasulullah SAW yang telah mengantar umatnya dari alam kebodohan ke alam penuh
dengan ilmu pengetahuan.
Tugas laporan kasus ini membahas mengenai “Pneumonia” dan merupakan
salah satu tugas dalam menjalani Program Internship Angkatan III periode 2022-2023
di RS Muhammadiyah Lamongan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Thanthawy Jauhary
Sp.Rad yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam
penyusunan laporan kasus ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada rekan-rekan
dokter yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas ini. Semoga tulisan
ini memberikan manfaat bagi kita dan perkembangan ilmu kedokteran.

Lamongan, 31 Januari 2023

Penulis

3
DAFTAR ISI

COVER
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
BAB II LAPORAN KASUS ................................................................... 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 22
3.1 Definisi ................................................................................ 22
3.2 Klasifikasi.............................................................................. 23
3.3 Patogenesis ........................................................................... 23
3.4 Gejala .................................................................................... 25
3.5 Diagnosis............................................................................... 26
3.6 Penatalaksanaan..................................................................... 29
3.7 Prognosis............................................................................... 31
BAB IV PEMBAHASAN.......................................................................... 33
BAB III KESIMPULAN .......................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA

4
BAB I

PENDAHULUAN

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari


bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
Pneumonia termasuk dalam infeksi saluran napas bawah akut (ISNBA) dan
merupakan ISNBA yang paling sering ditemukan. 1,3

Data dari The National Hospital Discharge Survey di amerika serikat


menunjukan bahwa diantara tahun 1990 hingga 2002 terdapat 21, 4 juta orang
berumur lebih dari 65 tahun dirawat di rumah sakit. 48% dirawat akibat penyakit
infeksi dan 46% dari penyakit infeksi tersebut penyebabnya adalah infeksi saluran
napas bawah (ISNB). Kematian yang diakibatkan oleh ISNB dilaporkan berjumlah
48%. Pneumonia dan influenza terdaftar sebagai urutan ke 6 dari penyebab utama
kematian, dan sekitar 70% kasus pneumonia di rumah sakit terjadi pada lansia. Rata-
rata kasus rawat inap akibat pneumonia adalah 23,1 per 1000 pada pria berusia 75-84
tahun dan 13,3 pr 1000 pada perempuan berumur 75-84 tahun. Usia lanjut merupakan
risiko tinggi untuk pneumonia, hal ini juga tergantung pada keadaan pejamu dan
berdasarkan tempat mereka berada. Pada orang-orang yang tinggal di rumah sendiri
insidens pneumonia berkisar antara 25-44 per 1000 orang dan yang tinggal di tempat
perawatan 68-114 per 1000 orang. Di rumah sakit pneumonia usia lanjut insidensnya
tiga kali lebih besar daripada penderita usia muda. Pneumonia komunitas adalah
penyebab utama kesakitan dan kematian pada lansia. Studi epidemiologi telah
menunjukan insiden dari pneumonia meningkat bersamaan dengan bertambahnya
umur, dengan risiko enam kali lebih tinggi pada pasie dengan usia ≥ 75 tahun
dibandingkan dengan mereka yang berusia < 60 tahun. Rata-rata angka kematian
pada pasien dengan pneumonia komunitas yang membutuhkan perawatan dirumah
sakit adalah sekitar 6-15%. Sedangkan pasien yang memerlukan perawatan di
Intensive Care Unit (ICU) memiliki rata-rata angka kematian yang berkisar antara 45-
57%.

5
Pneumonia menimbulkan beberapa masalah yang cukup menantang
dikarenakan sering terjadi pada pasien lansia, menyebabkan infeksi yang sangat
serius terutama pada pasien lansia sehingga memiliki angka morbiditas dan mortalitas
yang cukup tinggi, dan mahalnya biaya yang perlu dikeluarkan untuk menangani
penyakit ini. Oleh sebab itu, diharapkan para tenaga medis dapat mengenali gejala-
gejala dan tanda-tanda dari pneumonia, menentukan etiologi dari pneumonia serta
mengetahui bagaimana penanganan dari pneumonia sehingga dapat mencegah
terjadinya komplikasi.
Berdasarkan paparan di atas, penulis tertarik membahas mengenai Pneumonia
dalam sebuah laporan kasus berjudul “Pneumonia”

6
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien

1. Nama : Dede Komarudin Albana Tn


1. Tanggal Lahir : 05-05-1982 (40th)
2. Jenis Kelamin : Laki-laki
3. Agama : Islam
4. Alamat : Tanah RT2 RW6 Ketemas Kembangbahu
5. No RM : 31.01.01
6. Tanggal Masuk : 30 September 2022, Jam 12:03
7. Triage Awal : Merah
8. Triage Akhir : Kuning

2.2 Anamnesis
Keluhan utama : Sesak nafas
Keluhan tambahan : Batuk berdahak
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan sesak sejak 4 hari yang lalu, memberat 1 hari
ini sejak 4 jam smrs. Keluhan disertai batuk berdahak namun susah dikeluarkan. Pilek
disangkal. Pasien juga mengeluhkan perut sedikit keram ketika batuk. Pasien tidur
selalu terbangun di malam hari karna keluhan sesak. Pasien tidur dengan
menggunakan 3 bantal. Meriang setiap malam nya. Keluhan mual muntah, nyeri
dada, demam disangkal. Keluhan BAK dan BAB disangkal.

Riwayat penyakit dahulu


DM (-)
HT (-)
TB squele -- Poli paru 2016
Riw. Penyakit jantung (+) ASD, decompensatio cordis, cor pulmonale

11
12

Echo Cardiography: LVEF 70% normokinetik RA/RV dilatasi, TR+, (PG 89 mmHg),
susp ASD
2.3 Pemeriksaan fisik

a. Vital Sign
Heart Rate : 149 x/menit
Respiratory Rate : 38 x/menit
Temperatur : 36,5oC
Tekanan Darah : 113/89 mmHg

b. Primary Survey
A : Clear, Gargling -, Snoring -, Speak fluently +, Potensial obstruksi +
B : Spontan, RR 38 x/menit, Ves/Ves, Rh -/-, Wh -/-, SaO2 85%
C : Akral HKM, CRT < 2detik, N 149/menit TD 113/89 mmHg
D : GCS: 456, lateralisasi Kanan +, PBI 3mm/3mm, RC +/+
E : temp 36,5 °C

c. Secondary Survey
Kepala
GCS 456, Anemis -/ Icteric -/Cyanosis -/Dyspneu +

Thorax
I : simetris
P : Sonor +/+, batas jantung kesan membesar
P : Fremitus N/N
A : Cor : S1S2 Tunggal, murmur -, gallop -
Pulmo : Ves +/+, Rh -/-, Wz -/-

Abdomen

I : Flat
A : BU + N

12
13

P : timpani
P : nyeri tekan - epigastrium, H/L ttb, Undulasi -

Ekstremitas
Akral HKM, CRT < 2, pitting oedem

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Hematologi Nilai Rujukan Satuan 30/09/2022


Darah Rutin
Hemoglobin 11,0-16,5 g/dL 17.0

Hematokrit 35-50 % 50
Eritrosit 3,8-5,8 10 /mm
6 3
5.40
Leukosit 3.00-10.00 103/mm3 10.4
Trombosit 150-500 10 /mm
3 3
264
MCV 80-100 fL 92.60
MCH 27-31 Pg 31.50
MCHC 32-36 % 34.00

Eosinofil 0-6 % 0.4


Basofil 0-2 % 0.6

Neutropil 50-70 % 72.3


Limfosit 17-48 % 12.7
Monosit 4-10 % 14.0

Diabetes
Glukosa Darah < 200 mg/dL 89
Sewaktu

Ginjal
Kreatinin 0.7-1.2 mg/dL 0.8

13
14

2.5 Radiologi

14
15

Hasil
Cor : Besar dan bentuk normal
Pulmo : Tampak konsolidasi paru kanan, fibroinfiltrat suprahiler kiri
Trakhea tertarik ke kanan
Sinus phrenicocostalis kanan kiri tertutup perselubungan, tulang dan soft tissue tak
nampak kelainan
Kesimpulan :
Pneumonia susp TB (lesi berat) susp destroted lung kanan
Efusi pleura terorganisasi, kanan >

2.6 Diagosis
Diagnosa Utama

15
16

- Pneumonia unspecified (J.18.9\-)

Diagnosa Tambahan
- COPD/SOPT (J.44.\-)
- Dyspnoea (R.06.0\-)

2.7 Tatalaksana

- O2 NRM 15 lpm -> SpO2 99%


- Inf. PZ LL
- Inj. Santagesik 3x1g
- Inj. Pantoprazole 40mg extra di IGD
- Inj. Fluimucyl 2x600mg
- Inj. Methylprednisolon 3x62,5mg
- Inj. Cernevit 1x1amp
- Nebul V+P tiap 8 jam
- Chest fisiotherapy
- Pro TCM dari ruangan

Konsultasi Spesiaslis
Dr. Nurlaili, Sp.P -> SOPT, schwarte kanan. MRS.
Inj. Fluimucyl 2x600mg
Inj. Methylprednisolon 3x62,5mg
Inj. Cernevit 1x1amp
Nebul V+P tiap 8 jam
Chest fisiotherapy

2.8 Plannning

- Chest Fisiotherapy

16
17

- Pro TCM dari ruangan

2.9 Prognosis

Qua Ad Functionam : Dubia ad bonam

Qua Ad Sanationam : Dubia ad bonam

Qua Ad Vitam : Dubia ad bonam

2.10 Follow Up

30/09/2022 01/10/2022

S/ sesak nafas (+),batuk S/ sesak nafas (+),batuk(+), perut


O/ keram saat batuk, nafsu makan
KU: Cukup menurun
TD : 121/82 mmHg O/
N : 115 x/i KU: Cukup
RR : 25 x/i TD : 99/68 mmHg
T : 36 N : 97 x/i
SpO2 : 100 dg O2 support RR : 20 x/i
T : 36
Ass/ SpO2 : 100 dg O2 support
Pneumonia unspecified
COPD/SOPT Ass/
Dyspnoea Pneumonia unspecified
COPD/SOPT
Therapy/ Dyspnoea
Therapy Lanjutkan
Therapy/
O2 nrm 15lpm

17
18

Inj. Santagesik 3x1gr


Inj. Pantoprazole 40mg extra IGD
Inj. Fluimucyl 2x600mg
Inj. Methylprednisolon 3x62,5mg 
1x62,5mg
Inj. Cernevit 1x1 amp
Nebul V+P tiap 8 jam

02/10/2022 03/10/2022

S/ sesak nafas (+) S/ batuk berkurang, sesak tidak ada


O/ O/
KU: Baik KU: Baik
TD : 94/70 mmHg TD : 120/80 mmHg
N : 113 x/i N : 98 x/i
RR : 24 x/i RR : 24 x/i
T : 36 T : 36

Ass/ Ass/\
Pneumonia unspecified Pneumonia unspecified
COPD/SOPT COPD/SOPT
Dyspnoea Dyspnoea

Therapy/ Therapy/
Therapy Lanjutkan Dr. Ganis, Sp.P Pasien boleh pulang
Dr. Nurlaili  Pro SM, Pro cek B24, PO :
levofloxacin 1x750mg Levocin 1x500mg
Codein 3x10mg
Lansoprazole 2x1
Dr. Shinta Sp.JP  terapi teruskan

18
19

(cormega 2x1), control poli jantung dr.


Hari Sp.JP

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

19
20

3.1 Definisi

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari


bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
Pneumonia termasuk dalam infeksi saluran napas bawah akut (ISNBA) dan
merupakan ISNBA yang paling sering ditemukan. Pneumonia ini dapat terjadi secara
primer atau merupakan tahap lanjutan manifestasi ISNBA lainnya misalnya sebagai
perluasan bronkiektasis yang terinfeksi.1,3

Pneumonia dikategorikan berdasarkan lokasi penularan, yaitu komunitas,


rumah sakit (nosokomial) atau pusat perawatan kesehatan (nursing home).
Pneumonia yang berasal dari pusat perawatan kesehatan tidak dimasukan dalam
golongan pneumonia nosokomial karena pada pusat perawatan kesehatan memiliki
penghuni yang bervariasi dimana terdapat penghuni yang masih berfungsi secara
penuh hingga penghuni yang hanya terbaring ditempat tidur.2

3.2 Epidemiologi

Data dari The National Hospital Discharge Survey di amerika serikat menunjukan
bahwa diantara tahun 1990 hingga 2002 terdapat 21, 4 juta orang berumur lebih dari
65 tahun dirawat di rumah sakit. 48% dirawat akibat penyakit infeksi dan 46% dari
penyakit infeksi tersebut penyebabnya adalah infeksi saluran napas bawah (ISNB). 2
Kematian yang diakibatkan oleh ISNB dilaporkan berjumlah 48%. Pneumonia dan
influenza terdaftar sebagai urutan ke 6 dari penyebab utama kematian, dan sekitar
70% kasus pneumonia di rumah sakit terjadi pada lansia. Rata-rata kasus rawat inap
akibat pneumonia adalah 23,1 per 1000 pada pria berusia 75-84 tahun dan 13,3 per
1000 pada perempuan berumur 75-84 tahun. Usia lanjut merupakan risiko tinggi
untuk pneumonia, hal ini juga tergantung pada keadaan pejamu dan berdasarkan
tempat mereka berada. Pada orang-orang yang tinggal di rumah sendiri insidens
pneumonia berkisar antara 25-44 per 1000 orang dan yang tinggal di tempat

20
21

perawatan 68-114 per 1000 orang. Di rumah sakit pneumonia usia lanjut insidensnya
tiga kali lebih besar daripada penderita usia muda.2,4

Pneumonia komunitas adalah penyebab utama kesakitan dan kematian pada


lansia. Studi epidemiologi telah menunjukan insiden dari pneumonia meningkat
bersamaan dengan bertambahnya umur, dengan risiko enam kali lebih tinggi pada
pasien dengan usia ≥ 75 tahun dibandingkan dengan mereka yang berusia < 60 tahun.
Rata-rata angka kematian pada pasien dengan pneumonia komunitas yang
membutuhkan perawatan dirumah sakit adalah sekitar 6-15%. Sedangkan pasien yang
memerlukan perawatan di Intensive Care Unit (ICU) memiliki rata-rata angka
kematian yang berkisar antara 45-57%. 2,4,5

3.3 Etiologi

Terdapat lebih dari 100 mikroba (bakteri, virus, jamur, protozoa, dan parasit
lainnya) yang dapat menyebabkan pneumonia komunitas. S. Pneumoniae adalah
penyebab tersering dari Pneumonia komunitas pada lansia, dengan presentasi > 50%
dari seluruh kasus pneumonia. Tabel 3.1 menunjukan urutan penyebab tersering dari
Pneumonia komunitas dan mengidentifikasi petunjuk yang didapatkan dari anamnesis
untuk mendapatkan kemungkinan organisme penyebab dari pneumonia.2,6

Tabel 3. 1 2
Most Common Causes of Community-Acquired Pneumoniain the Older Adults

1. S. Pneumoniae
2. C. pneumoniae
3. Enterobacteriaceae
4. L. pneumophila serogroups 1–6
5. Haemophilus influenzae
6. Moraxella catarrhalis
7. S. aureus
8. Influenza A virus
9. Influenza B virus

21
22

10. Respiratory syncytial virus


11. Legionella spp.
12. M. tuberculosis
13. HMPV
14. Pneumocystis jiroveci
15. Nontuberculous mycobacteria
16. M. Pneumoniae
17. Hantavirus

3.4 Faktor resiko


1. Komorbiditas dan Pengobatan.
Penyakit kronis pada saluran nafas terutama penyakit paru obstruksi kronis
(PPOK) dan asthma meningkatkan resiko pneumonia sebanyak 3-4 kali lipat. Terapi
inhalasi dan terapi oksigen yang digunakan pada penyakit ini dapat menyebabkan
mukosa nadal dan orofaring yang kering sehingga meningkatkan lesi infeksi, sulit
menelan dan resiko aspirasi.Sebanyak 1/3-1/2 kasus pneumonia didahului dengan
riwayat infeksi saluran nafas atas dan infeksi virus dengan prognosis yang lebih
buruk. Teknik diagnostik dan terapeutik pada saluran nafas dapat menyebabkan
kontaminasi, mengganggu penghalang aspirasin alami yaitu epiglotis dan
mendestruksi epitel saluran nafas sehingga menfasilitasi infeksi.6
Pasien refleks gastroesofagus dan ulkus gastroduodenum dengan resiko
pneumonia harus menghindari atau merendahkan dosis obat pengurangan asam
lambung terutama PPI karena pengurangan asam lambung yang berfungsi dalam
bakteriosidal dapat menfasilitasi kolonisasi patogen di saluran cerna atas dan saluran
nafas atas. Pasien HIV dan AIDS sering menderita pneumonia oleh kuman
pneumocystis jarovicii, Mycobakterium, Cytomegalovirus, Aspergillus dan
Toxoplasma gondii. Penyakit imunodefisiensi lain termasuk kanker terutama
leukemia dan Hodgkin’s limfoma, kemoterapi dan transplantasi organ. Pasien dengan
riwayat operasi misalnya operasi yang mengganggu mekanisme batuk, splenektomi,
aneurisme aorta abdomen juga beresiko.6,7

22
23

Efek imunosupresif kortikosteroid oral yang meningkatkan resiko dan


keparahan infeksi juga berhubungan dengan terjadinya pneumonia. Pasien yang
mendapat terapi antibiotik dalam 90 hari terakhir juga beresiko karena penggunaan
antibiotik yang tidak benar dapat meningkatkan resistensi bakteri terhadap antibiotik
dan mengganggu flora normal bakteri pada tubuh manusia. Riwayat rawat inap
mempunyai resiko pneumonia yang tinggi jika keadaan kemungkinan terjadinya
aspirasi misalnya gangguan kesadaran, penderita yang sedang diintubasi, penderita
stroke, pasien dengan disfagia atau posisi pasien yang salah. Dementia juga
menyebabkan disfagia dan sulit menelan sehingga dapat terjadi pneumonia.6,7
2. Faktor Demografik dan Sosioekonomi
Resiko pneumonia meningkat dengan peningkatan usia terutama pada umur
lebih daripada 65 tahun oleh karena penurunan sistem pertahanan tubuh dan
munculnya penyakit lain. Belum terbukti bahwa jenis kelamin berhubungan dengan
resiko pneumonia tetapi pada beberapa penelitian prognosis pneumonia pada laki-laki
30% lebih burruk dibanding dnegan wanita. Hal ini mungkin berhubungan dengan
disparitas genetik.Lingkungan hidup yang terlalu ramai (> 10 orang dalam satu
rumah) juga merupakan faktor resiko, misalnya di rumah perawatan atau asrama
karena lebih mudah terjadi penyebaran kuman antara satu sama yang lain. Tingkat
edukasi yang rendah disertai kebiasaan diet dan kebersihan pribadi yang spesifik juga
berpengaruh. Berat badan yang rendah lebih beresiko terhadap pneumonia dibanding
dengan berat badan normal karena sering berhubungan dengan penyakit atau
malnutrisi yang dapat menurunkan fungsi imun tubuh.6,7
3. Faktor Kebiasaan Pribadi
Kebiasaan merokok dan polusi lingkungan merupakan faktor resiko pneumonia.
Kebiasaan merokok satu bungkus per hari dapat meningkatkan resiko pneumonia
sebanyak tiga kali lipat, begitu juga dengan mereka yang terkena asap rokok secara
kronis. Hal ini terjadi karena asap rokok dapat menyebabkan kerusakan pada
mukosilia yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan saluran nafas dengan
transportasi kuman patogenik keluar dari saluran nafas. Asap beracun, industru dan
polusi udara lain juga dapat merusakkan mukosilia tersebut. Penggunaan narkoba dan

23
24

alkoholismus juga berhubungan dengan pneumonia karena bersifat sedatif yang dapat
mengganggu refleks batuk dan transportasi mukosiliar sehingga meningkatkan resiko
kolonisasi kuman. Alkohol dapat mengganggu efek makrofag yaitu sel darah putih
yang berfungsi dalam destruksi kuman. Penggunaan narkoba secara intravenous dapat
menyebabkan penyebaran kuman dari situs injeksi ke paru melalui pembuluh darah.6,7

3.5 Patofisiologi

Dalam kondisi normal, cabang tracheobronchial bersifat steril. Saluran nafas


memiliki sederet mekanisme perlindungan untuk mencegah masuknya patogen ke
dalam paru, yaitu :3,7

1. Didalam hidung terdapat concha dan rambut-rambut yang menahan benda


asing untuk masuk ke dlam paru.
2. Epiglottis menutupi trachea dan mencegah sekresi maupun makanan masuk
kedalam trakea.
3. Cabang trakeobronkial terdiri atas sel-sel yang mensekresikan musin. Musin
ini mengandung zat antibakterial seperti antibodi IgA, defesins, lisozim, dan
laktoferin. Selain itu musin juga bersifat lengketsehingga bakteri dan benda
asing lainnya yang berhasil melewati epiglottis akan terjebak.
4. Silia yang berada sepanjang dinding trachea dan bronkus bergetar sangat
cepat, berperan sebagai sabuk konveyer yang menggerakan musin keluar.
5. Ketika sejumlah cairan atau benda asing masuk ke dalam trakea, reflek batuk
akan bekerja, dan isi yang tidak diinginkan segera dikeluarkan dari cabang-
cabang trakeobronkial.
6. Apabila patogen dapat melewati seluruh mekanisme perlindungan tersebut
dan masuk ke dalam alveoli, patogen akan berada di ruangan yang pada
keadaan normal kering dan tidak dapat dihuni. Masuknya patogen akan
memicu masuknya netrofil dan makrofag alveolar yang akan memangsa dan
membunuh patogen tersebut. Immunoglobulin dan komplemen dapat

24
25

ditemukan pada area ini. Surfaktan juga memiliki fungsi perlindungannya


sendiri.
7. Kelenjar getah bening yang berada di alveoli bertugas untuk mengeringkan
dan mengalirkan cairan, makrofag dan limfosit ke kelenjar getah bening
mediastinum.
Terdapat tiga rute masuknya patogen ke dalam parenkim paru yaitu,
hematogen, airborne, dan mikroaspirasi. Rute tersering adalah melalui mikroaspirasi.
Penyebaran secara hematogen mungkin disebabkan akibat adanya infeksi saluran
kemih pada lansia. Patogen berupa bakteri biasanya masuk ke dalam paru melalui
aspirasi flora di mulut atau melalui inhalasi droplet kecil (diameter <3 μm) yang
dapat dihantarkan melalui udara ke dalam alveoli. Ketika patogen dapat masuk dan
bertahan, mulailah timbul respon inflamasi. Respon-respon ini telah dipelajari dengan
sangat teliti pada pneumonia akibat S. pneumoniae.3, 7
Awalnya, akan terjadi dikeluarkannya sekret dan cairan kedalam alveoli
sebagai akibat reaksi inflamasi, yang dimana cairan tersebut adalah media kultur yang
sangat baik bagi bakteri untuk tumbuh. Saat sekret dan cairan tersebut terakumulasi,
cairan tersebut akan menyebar melalui pori-pori Kohn dan bronkiolus terminalis,
menyebabkan terjadinya penyebaran infeksi secara sentrifugal. Batuk dan pergerakan
saat respirasi akan membantu penyebaran. 3, 7

Patogen akan berperan sebagai chemotractant untuk polimononuklear


leukosit. Mediator proinflamasi (TNF-α, IL-1, dan IL-6) akan dibebaskan dari
leukosit dan akan meningkatkan respon inflamasi. Sel darah merah, fibrin dan
leukosit akan mengisi alveoli dan mengakibatkan timbulnya konsolidasi pada paru.
Akibat dari respon inflamasi ini maka timbulah demam, batuk, sputum yang purulen,
nyeri otot, dan nyeri sendi. Dan apabila sitokin pro-inflamasi didalam darah cukup
tinggi, maka dapat terjadi syok. Konsolidasi pada paru akan menyebabkan dispnoe
(akibat dari berkurangnya komplians) dan hypoxemia akibat dari gangguan ventilasi
dan perfusi (paru yang mengalami konsolidasi dapat terjadi perfusi akan tetapi tidak
dapat mengalami ventilasi). 2,3,7

25
26

3.6 Klasifikasi

1. Berdasarkan Klinis dan Epidemiologis


a. Pneumonia komuniti (CAP) merupakan suatu infeksi akut parenkim paru
yang sesuai dengan gejala infeksi akut, diikuti dengan infiltrat pada foto
thoraks, auskultasi sesuai dengan pneumonia.
b. Pneumonia nosokomial (HAP) merupakan pneumonia yang terjadi 72
jam atau lebih setelah masuk rumah sakit. Pasien di dalam rumah sakit
mempunyai faktor resiko yang lebih termasuk ventilasi mekanikal,
malnutrisi kronis, komorbiditas dan gangguan imun. Mikroorganisme
pada pneumonia nosokomial juga berbeda misalnya MRSA,
pseudomonas dan enterobakter. Pneumia ventilator merupakan salah satu
jenis HAP yaitu pneumonia yang terjadi 48 jam atau lebih setelah
intubasi dan ventilasi mekanik.
c. Pneumonia aspirasi atau pneumonitis aspirasi disebabkan oleh aspirasi
banda asing berasal dari oral atau gaster sewaktu makan atau refluks dan
muntah yang sering mengandungi bakteri anaerobik sehingga sering
menyebabkan bronkopneumonia.
d. Pneumonia pada penderita imunokompromis
2. Berdasarkan penyebab
a. Pneumonia tipikal: bersifat akut dengan gejala demam tinggi, menggigil,
batuk produktif dan nyeri dada. Seacara radiologis bersifat lobaris atau
segmental. Biasanya disebabkan bakteri gram positif dan ekstraseluler
misalnya S.pneumonia, S.piogenes dan H. Influenza.
b. Pneumonia atipikal: bersifat tidak akut dengan gejala demam tanpa
menggigil, batuk kering, sakit kepala, nyeri otot, ronki basah yang difus
dan leukositosis ringan. Penyebab biasanya mycoplasma pneumonia dan
chlamnydia pneumonia.
c. Pneumonia virus menyebabkan gejala seperti influenza yaitu demam,
batuk kering, sakit kepala, nyeri otot dan kelemahan. Penyebabnya

26
27

merupakan influenza virus, parainfluenza virus, rhinovirus dan lain-lain.


Pneumonia jamur: aspergilus, histoplasma kapsulatum.
3. Berdasarkan predileksi lokasi secara radiologis
a. Pneumonia lobaris merupakan infeksi paru yang akut dan hanya
melibatkan satu lobus paru dan sering disebabkan oleh streptokokus
pneumoniae dan klebsiella pneumoniae serta stafilokokus aureus,
streptokokus B hemolitik dan haemofilus influenza.
b. Bronkopneumonia merupakan infeksi akut yang melibatkan tubulus
terminal di dalam paru yaitu bronki atau bronkiolus yang menyebabkan
eksudasi purulen yang menyebar ke alveoli di sekitarnya secara
endobronkial sehingga menyebabkan konsolidasi “patchy”. Tipe ini
sering terjadi pada usia muda atau tua dan pada kondisi dengan
komorbiditas. Penyebabnya yang sering termasuk streptokokus,
stafilokokus aureus, dan hemofilus influenza.

Pneumonia interstitialis, juga disebutkan pneumonitis interstitial, merupakan


infeksi di ruangan antara alveoli dan sering disebabkan oleh virus atau bakteri
atipikal. Ciri khasnya ada edema septa alveolaris dan infiltrat mononuklear.

3.7 Manifestasi Klinis

Onset gejala dari pneumonia dapat bersifat akut ataupun insidius. Pada tabel
dibawah, ditunjukan frekuensi dari setiap gejala atau tanda dari pneumonia. Pada
suatu studi, pada pasien lansia dengan pneumonia mengeluhkan gejala yang lebih
sedikit dibandingkan pada pasien yang berusia muda. Pada pasien lansia, gejala yang
timbul dapat berupa gejala klasik respiratorius yang distai dengan delirium,
kebingungan kronis yang semakin memburuk dan terjatuh. Selain itu ditemukan
angka insiden yang tinggi dari “silent aspiration” pada pasien lansia dengan
pneumonia. Pneumonia dapat menjadi salah satu penyebab penurunan dari keadaan
umum dan atau aktifitas secara insidius atau non-spesifik, misalnya, kebingungan
ataupun ataupun jatuh pada pasien lansia. Infeksi, termasuk pneumonia, harus

27
28

dipertimbangkan sebagai salah satu penyebab dari penurunan atau melambatnya


penyembuhan dari suatu penyakit primer pada pasien lansia. 2,3,6,8

Diagnosis dari pneumonia ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik yang


memiliki sensitivitas berkisar 47%-69% dan spesifitas 58%-75%, maka dari itu
diagnosis klinis dari pneumonia harus dikonfirmasikan dengan menggunakan foto
rontgen dada. Ronchi, wheezing, dan tanda-tanda dari konsolidasi (pekak saat
dilakukan perkusi, suara nafas bronkial dan aegophoni) mungkin dapat ditemukan.
Tanda yang paling sensitif yang dapat ditemukan pada pasien lansia adalah
peningkatan respiratory rate (yang dihitung dalam 1 menit) dengan respiratory rate >
28x/menit menandakan pneumonia. Foto rontgen dada dapat sulit dinilai pada pasien
lansia, terutama bila foto dalam posisi AP. Terdapat setidaknya 25% kemungkinan
perbedaan hasil penilaian foto antara ahli radiologi dan dokter yang memeriksa. CT
scan dada sangatlah akurat untuk menentukan diagnosis dari pneumonia, akan tetapi
tidak dapat dilakukan pada seluruh pasien yang diduga mengalami pneumonia. 2,3,6

3.8 Penegakan Diagnosis


Penegakan diagnosis dibuat dengan maksud pengarahan kepada pemberian
terapi yaitu dengan cara mencakup bentuk dan luas penyakit, tingkat berat penyakit,
dan perkiraan jenis kuman penyebab infeksi. Dugaan mikroorganisme penyebab
infeksi akan mengarahkan kepada pemilihan terapi empiris antibiotik yang tepat.
Seringkali bentuk pneumonia mirip meskipun disebabkan oleh bentuk kuman yang
berbeda. Diagnosis pneumonia didasarkan kepada riwayat penyakit yang lengkap,
pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan penunjang.12

1. Anamnesis
Ditujukan untuk mengetahui kuman penyebab yang berhubungan dengan
factor infeksi:

28
29

a. Evaluasi factor pasien/predisposisi: PPOK (H. influenzae), penyakit kronik


(kuman jamak), kejang/tidak sadar (aspirasi Gram negative/anaerob),
penurunan imunitas (kuman Gram negative, Pneumocystic carinii, CMV,
Legionella, jamur, Mycobacterium), kecanduan obat bius (Staphylococcus).
b. Bedakan lokasi infeksi: Pneumonia Komunitas (Streptococcus pneumoniae, H.
influenzae, M. pneumonia), rumah jompo, Pneumonia Nosokomial
(Staphylococcus aureus), Gram negative.
c. Usia pasien: bayi (virus), muda (M. pneumoniae), dewasa (S. pneumoniae).
d. Awitan: cepat, akut dengan rusty coloured sputum (S. pneumoniae); perlahan,
dengan batuk, dahak sedikit (M. pneumoniae). 11

2. Pemeriksaan Fisik
Persentasi bervariasi tergantung etiologi, usia, dan keadaan klinis. Perhatikan
gejala klinis yang mengarah pada tipe kuman penyebab/patogenitas kuman dan
tingkat berat penyakit.
a. Awitan akut biasanya oleh kuman pathogen seperti S. pneumonia,
Streptococcus spp., Staphylococcus. Pneumonia virus ditandai dengan myalgia,
malaise, batuk kering dan nonproduktif;
b. Awitan lebih insidious dan ringan pada orangtua/imunitas menurun akibat
kuman yang kurang patogen /oportunistik, misalnya Klebsiella, Pseudomonas,
Enterobacteriaceae, kuman anaerob, jamur.
c. Tanda-tanda fisik pada tipe pneumoniaklasik bisa didapatkan berupa demam,
sesak napas, tanda-tanda konsolidasi paru (perkusi paru yang pekak, ronki
nyaring, suara pernapasan bronchial). Bentuk klasik pada pneumonia
komunitas primer berupa bronkopneumonia, pneumonia lobaris, atau
pleuropneumonia. Gejala atau bentuk yang tidak khas dijumpai pada
pneumonia komunitas yang sekunder (didahului penyakit dasar paru) ataupun
pneumonia nosokomial. Dapat diperoleh bentuk manifestasi lain infeksi paru
seperti efusi pleura, pneumotoraks/hidropneumotoraks. Pada pasien pneumonia

29
30

nosokomial atau dengan gangguan imun dapat dijumpai gangguan kesadaran


oleh hipoksia.
d. Warna, konsistensi, dan jumlah sputum penting untuk diperhatikan.11

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Radiologis
Pola radiologis dapat berupa pneumonia alveolar dengan gambaran air
bronchogram (airspace disease) misalnya oleh Streptococcus pneumoniae,
bronkopneumonia (segmental disease) oleh antara lain Staphylococcus, virus
atau mikoplasma; dan pneumonia interstitial (interstitial disease) oleh virus
dan mikoplasma. Distribusi infiltrat pada segmen apical lobus bawah atau
inferior lobus atas sugestif untuk kuman aspirasi. Tetapi pada pasien yang tidak
sadar, lokasi ini bisa dimana saja. Infiltrate di lobus atas sering ditimbulkan
Klebsiella spp, tuberkulosis atau amiloidosis. Pada lobus bawah dapat terjadi
akibat Staphylococcus atau bakteremia. Bentuk lesi berupa kavitasi dengan air-
fluid level sugestif untuk abses paru, infeksi anaerob, Gram negatif atau
amiloidosis. Efusi pleura dengan pneumonia sering ditimbulkan S.
pneumoniae. Dapat juga oleh kuman anaerob, S. pyogenes, E. coli dan
Staphylococcus (pada anak). Kadang-kadang oleh K. pneumoniae, P.
pseudomallei. Pembentukan kista terdapat pada pneumonia
nekrotikans/supurativa , abses, dan fibrosis akibat terjadinya nekrosis jaringan
paru oleh kuman S. aureus, K. pneumoniae,dan kuman-kuman anaerob
(Streptococcus anaerob, Bacteroides, Fusobacterium). Ulangan foto perlu
dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya infeksi sekunder/tambahan,
efusi pleura penyerta yang terinfeksi atau pembentukan abses. Pada pasien
yang mengalami perbaikan klinis ulangan foto dada dapat ditunda karena
resolusi pneumonia berlangsung 4-12 minggu.

30
31

Gambar 3.1 Tampak perselubungan inhomogen pada lapangan paru kanan


bagian atas13

b. Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis umumnya menandai adanya infeksi bakteri; leukosit
normal/rendah dapat disebabkan oleh infeksi virus/mikoplasma atau pada
infeksi yang berat sehingga tidak terjadi respon leukosit, orangtua, atau lemah.
Leukopenia menunjukkan depresi imunitas, misalnya neutropenia pada infeksi
kuman gram negative atau S. aureus pada pasien dengan keganasan dan
gangguan kekebalan. Faal hati mungkin terganggu.11

c. Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal, aspirasi
jarum transtorakal, torakosentesis, bronkoskopi, atau biopsi.untuk tujuan terapi
empiris dilakukan pemeriksaan apus Gram, Burri Gin, Quellung test, dan Z.
Nielsen. Kuman yang predominan pada sputum yang disertai PMN yang
kemungkinan merupakan penyebab infeksi. Kultur kuman merupakan

31
32

pemeriksaan utama pra terapi dan bermanfaat untuk evaluasi terapi


selanjutnya.11
d. Pemeriksaan Khusus
Titer antibody terhadap virus, legionella, dan mikoplasma. Nilai diagnostik
bila titer tinggi atau ada kenaikan titer 4 kali. Analisis gas darah dilakukan
untuk menilai tingkat hipoksia dan kebutuhan oksigen. Pada pasien pneumonia
nosokomial/pneumonia komunitas yang dirawat nginap perlu diperiksakan
analisa gas darah, dan kultur darah.11

3.9 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari penyakit pneumonia adalah sebagai berikut:12
1.Tuberculosis Paru (TB)
Tuberkulosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh M. tuberculosis. Jalan masuk untuk organism M. tuberculosis adalah
saluran pernafasan, saluran pencernaan. Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang
produktif (durasi lebih dari 3 minggu), nyeri dada, dan hemoptisis dan gejala sistemik
meliputi demam, menggigil, keringat malam, lemas, hilang nafsu makan dan
penurunan berat badan.
2. Atelektasis 
Atelektasis adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak
sempurna dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang terserang tidak
mengandung udara dan kolaps. Memberikan gambaran yang mirip dengan pneumonia
tanpa air bronchogram. Namun terdapat penarikan jantung, trakea, dan mediastinum
ke arah yang sakit karena adanya pengurangan volume intercostal space menjadi
lebih sempit dan pengecilan dari seluruh atau sebagian paru-paru yang sakit.
Sehingga akan tampak thorax asimetris.
3. Efusi Pleura
Memberi gambaran yang mirip dengan pneumonia, tanpa air bronchogram.
Terdapat penambahan volume sehingga terjadi pendorongan jantung, trakea, dan

32
33

mediastinum kearah yang sehat. Rongga thorax membesar. Pada efusi pleura
sebagian akan tampak meniscus sign, tanda khas pada efusi pleura.
Untuk membedakan antara pneumonia, atelektasis, dan efusi pleura dilihat
dari adanya penarikan atau pendorongan jantung, trakea dan mediastinum ke arah
yang sakit atau sehat. Sementara untuk membedakan pneumonia dengan TB adalah
dilihat dari ada atau tidaknya kavitas yang umumnya terdapat pada lobus paru bagian
atas. Jadi dalam menegakkan pneumonia, sangat diperlukan gambaran radiologis
untuk penegakan diagnosis disamping pemeriksaan laboratorium.

3.10 Tatalaksana
a. Terapi Kausal
Pasien pada awalnya diberikan terapi empiric yang ditujukan pada pathogen
yang paling mungkin menjadi penyebab atau antibiotik yang berspektrum luas. Bila
telah ada hasil kultur dilakukan penyesuaian obat. Pada pasien rawat inap antibiotik
harus diberikan dalam 8 jam pertama dirawat di rumah sakit.11
Pilihan antibiotika yang disarankan pada pasien dewasa dengan pneumonia
komunitas adalah golongan makrolida atau doksisiklin atau fluoroquinolon terbaru.
Namun untuk dewasa muda yang berusia antara 17-40 tahun pilihan doksisiklin lebih
dianjurkan karena mencakup mikroorganisme atypical yang mungkin menginfeksi.
Untuk bakteri Streptococcus pneumoniae yang resisten terhadap penicillin
direkomendasikan untuk terapi beralih ke derivate fluoroquinolon terbaru. Sedangkan
untuk pneumonia komunitas yang disebabkan oleh aspirasi cairan lambung pilihan
jatuh pada amoksisilin-klavulanat. Golongan makrolida yang dapat dipilih mulai dari
eritromisin, claritromisin serta azitromisin. Eritromisin merupakan agen yang paling
ekonomis, namun harus diberikan 4 kali sehari. Azitromisin ditoleransi dengan baik,
efektif dan hanya diminum satu kali sehari selama 5 hari, memberikan keuntungan
bagi pasien. Sedangkan klaritromisin merupakan alternatif lain bila pasien tidak dapat
menggunakan eritromisin, namun harus diberikan dua kali sehari selama 10-14 hari.
Sedangkan pemilihan antibiotika untuk pneumonia nosokomial memerlukan kejelian,
karena sangat dipengaruhi pola resistensi antibiotika baik in vitro maupun in vivo di

33
34

rumah sakit. Sehingga antibiotika yang dapat digunakan tidak heran bila berbeda
antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lain. Namun secara umum antibiotika
yang dapat dipilih sesuai tabel dibawah ini.13

Tabel 3.2 Antibiotika pada terapi Pneumonia13


Dosis
Kondisi Dosis Anak Dewasa
Patogen Terapi
Klinik (mg/kg/hari) (dosis
total/hari)
Sebelumnya Pneumococcus, Eritromisin 30-50 1-2 g
sehat Mycoplasma Klaritromisin 15 0,5-1 g
Pneumoniae Azitromisin 10 pada hari
1, diikuti 5
mg
selama 4
hari
Komorbiditas S. pneumoniae, Cefuroksim 50-75 1-2 g
(manula, Hemophilus Cefotaksim 50-75 1-2 g
DM, gagal influenzae, Ceftriakson 50-75 1-2 g
ginjal, gagal Moraxella
jantung, catarrhalis,
keganasan) Mycoplasma,
Chlamydia
pneumoniae dan
Legionella
Aspirasi Anaerob mulut Ampicilin 100-200 2-6 g
Community Anaerob mulut, Amoxicillin 100-200 2-6 g
Hospital S.aureus, gram(-) Klindamisin 8-20 1,2-1,8 g
enterik Klindamisin 8-20 1,2-1,8 g
+aminoglikosida .

34
35

Nosokomial
Pneumonia K. pneumoniae, Cefuroksim 50-75 1-2 g.
Ringan, Onset P. aeruginosa, Cefotaksim 50-75 1-2 g.
<5 hari, Enterobacter Ceftriakson 50-75 1-2 g
Risiko spp. Ampicilin-Sulbaktam 100-200 4-8 g
rendah S. aureus, Tikarcilin-klav 200-300 12 g
Gatifloksasin - 0,4 g
Levofloksasin - 0,5-0,75
g
Pneumonia K. pneumoniae, Gentamicin/ 7,5 4-6
berat**, P. aeruginosa, Tobramicin - mg/kg
Onset > 5 Enterobacter atau Ciprofloksasin )* 150
hari, Risiko spp. + 100-150 0,5-1,5 g
Tinggi S. aureus, Ceftazidime atau 2-6 g
Cefepime atau 2-4 g
Tikarcilinklav/
Meronem/Aztreonam
Keterangan :
*) Aminoglikosida atau Ciprofloksasin dikombinasi dengan salah satu antibiotika yang terletak di
bawahnya dalam kolom yang sama.
**) Pneumonia berat bila disertai gagal napas, penggunaan ventilasi, sepsis berat, gagal ginjal.

b. Terapi Suportif
Terapi suportif yang dapat diberikan pada pasien dengan pneumonia adalah
sebagai berikut.11
1. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96% berdasarkan
pemeriksaan analisa gas darah.
2. Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental, dapat
disertai nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme.

35
36

3. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk batuk,


khususnya anjuran untuk batuk dan napas dalam. Bila perlu dikerjakan fish mouth
breathing untuk melancarkan ekspirasi dan pengeluaran CO2. Posisi tidur
setengah duduk untuk melancarkan pernapasan.
4. Pengaturan cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia, dan
paru lebih sensitive terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat
pneumonia bilateral. Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik,
termasuk pada gangguan sirkulasi dan gagal ginjal. Overhidrasi untuk maksud
mengencerkan dahak tidak diperkenankan.
5. Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan. Terapi ini tidak
bermanfaat pada renjatan septik.
6. Pertimbangkan obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang
diperlukan bila terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal pre renal.
7. Ventilasi mekanis. Indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia
adalah:
a. Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O 2 100% dengan
menggunakan masker.konsentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan
kompliens paru hingga tekanan inflasi meninggi. Dalam hal ini perlu
dipergunakan PEEP untuk memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2
menjadi 50% atau lebih rendah.
b. Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan CO2 didapat asidosis, henti napas,
retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif.
8. Drainase empiema bila ada.
9. Bila terdapat gagal napas, diberikan nutrisi yang cukup kalori terutama
didapatkan dari lemak (50%), hingga dapat dihindari produksi CO 2 yang
berlebihan.

3.11 Komplikasi
Dapat terjadi komplikasi pneumonia ekstrapulmoner, misalnya pada
pneumonia pneumokokus dengan bakteriemi berupa meningitis, arthritis,

36
37

endokarditis, perikarditis, peritonitis dan empiema. Komplikasi ekstrapulmoner non


infeksius bisa terjadi gagal ginjal, gagal jantung, emboli paru/infark paru, dan infark
miokard akut acute respiratory distress syndrome (ARDS), gagal organ jamak, dan
pneumonia nosokomial.11

3.12 Prognosis

1. Pneumonia Komunitas
Secara umum angka kematian pneumonia oleh pneumokokus sebesar
5%, namun dapat meningkat pada orang tua dengan kondisi yang buruk.
Pneumonia dengan influenza di USA merupakan penyebab kematian no. 6
dengan kejadian sebesar 59%. Sebagian besar pada lanjut usia sebesar 89%.

2. Pneumonia Nosokomial

Angka mortalitas dapat mencapai 33-50% yang bisa mencapai 70%


bila termasuk yang meninggal akibat penyakit dasar yang dideritanya.
Penyebab kematian biasanya adalah akibat bakteriemi terutama oleh P.
Aeruginosa atau Acinobacter sp.

37
4

BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang. Keluhan sesak nafas dan batuk pada pasien dapat
dimungkinkan karena pneumonia, tuberkulosis dan asma bronchial. Kemungkinan
tuberkulosis dapat disingkirkan pada pasien ini karena dari anamnesis ditemukan
gejala yang sifatnya akut, keluhan keringat malam dan penggunaan obat selama 6
bulan disangkal. Pada tuberkulosis biasanya ditemukan gejala yang bersifat kronik
serta adanya keluhan keringat di malam hari dan penurunan berat badan yang
signifikan.
Dari hasil pemeriksan fisik juga ditemukan pada inspeksi pergerakan
dinding dada simetris pada saat statis maupun dinamis. Pada palpasi ditemukan
stem fremitus sama pada kedua hemitoraks, perkusi didapatkan suara sonor dan
auskultasi ronkhi pada kedua lapangan paru. Pada pemeriksaan penunjang
ditemukan adanya leukositosis yaitu 6,49 x 103/mm3. Pada pneumonia bakteri
biasanya didapatkan leukositosis berkisar antara 10.000-30.000. Hasil
pemeriksaan foto thoraks menunjukkan adanya infiltrat pada paru kanan dan kiri
terutama kiri dengan kesan pneumoniaparu. Berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini, maka diagnosis
pasien ini adalah pneumonia.
Klasifikasi pneumonia pada pasien ini adalah pneumonia komuniti, karena
keluhan timbul sebelum pasien masuk kerumah sakit. Sedangkan pneumonia
nosokomial didapat 48 jam setelah pasien dirawat dirumah sakit.7

BAB V
5

KESIMPULAN

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari


bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi yang cukup sering terjadi pada
pasien lansia karena berbagai macam faktor risiko yang dimiliki oleh pasien.
Pneumonia juga merupakan penyakit infeksi yang cukup serius dan memiliki anka
morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Oleh karena itu, keahlian untuk
mendiagnosis dini dan tepat, identifikasi etiologi dan pemilihan antibiotika yang
tepat sangatlah penting guna mencegah terjadinya kematian pada pasien. Pada
kasus ini, diagnose pasien dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan radiologi.

5
6

DAFTAR PUSTAKA

1. Cronewett, JL and K. Wayne Johnston. Lower Extremity Amputation:


Techniques and Results. In :Rutherford’s Vascular Surgery. Eight Edition.
Philadelphia: Elseiver Saunders,2014.

2. Malawer, MM, James C. Wittig and Jacob Bickles. 2012.Operative


Techniques In Orthopaedic Surgical Oncology. Philadelphia : Lippincott
williams & wilkins.

3. Sjamsuhidajat R, Warko Karnadiharja, Theddeus O.H Prasetyono,Reno


Rudiman. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah sjamjuhidajat-de jong. Edisi 3. Jakarta
: EGC.

4. Nwosu C, Babalola MO, Ibrahim MH, Suleiman SI. Major limb amputation in
a tertiary hospital north western nigeria. African health science.
2017;17(2):508-512.

5. Brown, Benjamin J and Christopher E.Attinger. The below knee amputation:


to amputate or palliate?.Washington. 2013;2(1):30-35.

6. Samodro R, Sutiyono D, Satoto HH. Mekanisme kerja obat anestesi lokal


Dalam: Jumal Anestesiologi Indonesia. Bagian anestesiologi dan
terapiintensifFK UNDIPIRSUP Dr.Kariacti. 2011; 3(1): 48-59.

7. McLure HA, Rubin AP. Review of local anaesthetic agents. Dalam Anestesia.
Minerva anestesiologica. 2005; 71 (3): 59-74.

8. Said A, Kartini A, Ruswan M. Petunjuk praktis anestesiologi: anesteti lokal


dan anestesia regional. Edisi ke-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran ill;2002.

6
7

9. Liu SS, McDonald SB. Current issues in spinal anesthesia. Dalam: Review
article American Society of Anesthesiologist. Anesthesiology. 2001; 94(5):
888-906.

10. Morgan GE. Clinical Anesthesiology: 441hEdition.

11. Snell RS. Clinical Anatomy: T" edition. Philadelphia: Wolters Kluwer Health;
20 10

12. Guyton AC. Fisiologi Kedokteran. Jakarta. EGC. 2008

13. Snell RS. Clinical neuroanatomy: 71h edition. Philadelphia: Wolter Kluwer
Health; 2010

14. The New York School of Regional Anesthesia. Spinal anesthesia. 2013.
[Diakses 10 Juli2019]. (Diakses dari
http://vrww.nysora.com/techniques/neuraxial-and-perineuraxialtechniques/
landmark-based/3423-spinal-anesthesia.html).

15. Matras PJ, Poulton B, Derman S. Self learning package: Pain physiologyand
assessment, patient controlled analgesia, epidural and spinal analgesia,nerve
block catheters. Fraserhealth. 2012: 12-13.

16. Moos DD. Basic guide to anesthesia for developing countries. Volume 2.2008.
[Diakses 10 Juli 2019]. (Diakses dari http.z/www.ifnaint.orgli fna/e
107_tiles/downloads/DCAnesthesia Volume2Final.pdf).

17. Aitkenhead A, Smith G, Rowbotham D. Texbook of anaesthesia. Fifth edition.


United Kingdom: Churchilllivingstone elsevier; 2007.

Anda mungkin juga menyukai