Anda di halaman 1dari 63

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.....................................................................................................................................i
BAB I LAPORAN KASUS.............................................................................................................1
BAB II BORANG PORTOFOLIO .................................................................................................6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................61

1
BAB I

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama : Ny. A
Usia : 60 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status pernikahan : Menikah
Alamat : Jl. Bentengan, Kelurahan Makasar, Jakarta Timur
Pekerjaan : Tidak bekerja
No. RM : 09-15-93

Keluhan Utama:

Sesak

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 3 hari SMRS. Sesak dirasakan semakin
berat, menetap dan meningkat sepanjang hari. Sesak tidak di pengaruhi oleh posisi, cuaca, debu,
dan emosi. Sesak sedikit mereda jika pasien istirahat atau tidur. Pasien merasakan rasa berat di
dada saat bernapas. Sebelumya terdapat batuk berdahak yang sulit dikeluarkan dan jika berhasil
dikeluarkan dahak berwarna kuning kehijauan tidak berdarah yang dirasakan sudah 3 minggu
yang lalu. Terdapat demam yang dirasakan cukup tinggi, hilang timbul sejak 3 hari yang lalu,
Keluhan bengkak pada kaki, keringat malam, dan penurunan berat badan disangkal oleh pasien

Riwayat Penyakit Dahulu:

1
Riwayat TB paru dengan pengobatan yang tidak tuntas.
Riwayat hipertensi, kelainan jantung dan diabetes militus disangkal.
2

Riwayat Penyakit Keluarga:

Penyakit dengan keluhan serupa disangkal.

Riwayat pekerjaan dan sosial:

Pasien pernah bekerja di pabrik dan sering terpapar debu, sejak saat itu pasien mengeluh
sering batuk-batuk
Riwayat merokok disangkal, namun pasien tinggal dengan suami dan menantu yang
perokok.

Tanda Vital:

KU: Kompos mentis, tampak sakit berat


TD: 120/80 mmHg
N: 95x/menit
S: 38,60C
P: 32x/menit

Pemeriksaan Fisik:

Mata: Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-


Mulut: Mukosa basah, Oral hygiene cukup
Leher: JVP 5-2 cmH2O, KGB tidak membesar, tiroid tidak membesar
Thoraks :
Jantung:
Inspeksi : iktus kordis terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS 5 LMCS
Perkusi : batas atas jantung atas ICS 3, batas kanan ICS 5 LS Sinistra, batas kiri
ICS 5 LMC sinistra
Auskultasi : Bunyi Jantung I, II reguler, Murmur (-), Gallop (-)
3

Paru:
Inspeksi : retraksi interkostalis (+)
Palpasi : fremitus meningkat pada kedua lapang paru
Perkusi : redup pada kedua lapang paru
Auskultasi : suara napas bronkovesikular, rhonki (+/+), wheezing (+/+)

Abdomen: Datar, nyeri tekan abdomen (-), nyeri tekan suprapubis (-) hepar tidak teraba
membesar. Limpa tidak teraba membesar, shifting dullness (-), BU (+) normal

Extremitas: Akral hangat, CTR <2 detik.

Pemeriksaan penunjang

Laboratorium (24/2/2017)

Darah Rutin

Hemoglobin : 12,3
Hematokrit : 39
Leukosit : 15.100
Trombosit : 251.000
Hitung jenis :
Basofil : 0
Eosinofil : 1
Batang : 2
Segmen : 88
Limfosit : 4
Monosit : 5
4

Radiologi

Gambaran roentgen thoraks : terdapat fibrosis dan infiltrat pada kedua lapang paru. KP lama
duplex

Diagnosis

Bronkopneumonia dengan PPOK

Rencana diagnosis:

Konsul Sp. Paru

Penatalaksanaan:

IVFD RL 500 cc 20 tpm


Norages injeksi 3x1 ampul
Cefotaxim injeksi 3x1gr
O2 2 liter/menit.
Nebulizer +Ventolin + flixotide 3x1
Ambroxol 3x1 tablet
5

Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam


Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
6

BAB II

BORANG PORTOFOLIO
Nama Peserta: Dr. Andhika Rachadian Pratama

Nama Wahana: RS. Pusdikkes Kodiklat TNI-AD

Topik: Bronkopneumonia dengan PPOK

Tanggal (kasus): 24 Februari 2017

Nama Pasien: Ny.A No. RM: 09-15-93

Tanggal Presentasi: 15 Maret 2017 Nama Pendamping: Dr. Satyaningtyas

Tempat Presentasi: RS. Pusdikkes Kodiklat TNI-AD

Objektif Presentasi:

Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka

Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil

Deskripsi: Ny. A , usia 60 tahun dengan bronkopneumonia dan PPOK

Tujuan: Mengobati Ny. A dan melakukan terapi agar pasien menjadi lebih baik dan tidak jatuh
ke komplikasi lebih berat

Bahan bahasan: Tinjauan Riset Kasus Audit


Pustaka

Cara Diskusi Presentasi dan Email Pos


membahas: diskusi

Data Pasien: Nama: Ny.A Nomor Registrasi: 09-15-93

Nama Klinik: RS. Pusdikkes K Telp: Terdaftar sejak: 24 Februari


odiklat TNI-AD 2017

Data utama untuk bahan diskusi:

1. Diagnosis/Gambaran Klinis: Bronkopneumonia dan PPOK, sesak sejak 3 hari yang dirasakan
terus menerus semakin berat, menetap dan meningkat sepanjang hari. Terdapat rasa berat
didada saat bernapas juga batuk berdahak berwarna kuning kehijauan sudah 3 minggu.
Demam tinggi sejak 3 hari yang lalu.
2. Riwayat Pengobatan: belum minum obat apapun untuk keluhan ini.
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit: Riwayat TB paru putus berobat.
7

4. Riwayat Keluarga: Tidak ada anggota keluarga mengalami hal serupa.


5. Riwayat Pekerjaan: Pasien pernah bekerja di pabrik dan sering terpapar debu, sejak saat itu
pasien mengeluh sering batuk-batuk. Tinggal dengan suami dan menantu yang perokok.
6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik: Pasien pernah bekerja di pabrik dan sering terpapar debu,
sejak saat itu pasien mengeluh sering batuk-batuk. Riwayat merokok disangkal, namun pasien
tinggal dengan suami dan menantu yang perokok.
7. Lain-lain: Pasien keadaan sadar compos mentis, pernapasan 30x/menit, suhu 38.6 0C, tanda
vital lain dalam batas normal. Pemeriksaan fisik thoraks didapatkan rhonki +/+, wheezing +/+,
retraksi interkostalis (+). Hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin menunjukkan leukosit :
15.100. Roentgen thoraks :terdapat fibrosis dan infiltrat pada kedua lapang paru.
Daftar Pustaka:
Bronkopneumonia
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Komuniti. Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia.
2. Universuty of Michigan Health System. Pneumonia. Disitasi dari :
http://www.med.umich.edu/1libr/aha/aha_pneum_crs.htm, pada tanggal : 20 Agustus 2009.
Perbaharuan terakhir : Januari 2009.
3. Webmaster. Pneumonia. Disitasi dari : http://www.infeksi.com/articles.php(?
lng=in&pg=48.htm, pada tanggal : 22 Agustus 2009. Perbaharuan terakhir : Januari 2009.
4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 3.Jakarta:
Infomedika Jakarta; 1995.1228-1235.
5. Bartlett JG, Marrie TJ, File TM. Pneumonia in Adult. Disitasi dari :
http://www.utdol.com/patients/content/topic.do(?)topicKey=~IULIBvWWVqokVS.htm,
pada tanggal : 22 Agustus 2009. Perbaharuan terakhir : Januari 2008.
6. Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan. Pemberantasan Penyakit ISPA. Nomor:
1537.A/MENKES/SK/XII/2002. Tanggal 5 Desember 2002. Jakarta : Departemen Keseharan;
2002.
7. ReutersT.PneumoniainAdult.Disitasdari:http://www.pdrhealth.com/disease/disease-mono..htm,
pada tanggal : 22 Agustus 2009. Perbaharuan terakhir : 2009.
8. Dahlan Z. Artikel: Pandangan Baru Pneumonia Atipik dan Terapinya. Bagian Penyakit Dalam
FK.UNPAD Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Bandung : FK UNPAD; 2007.
9. Webmaster. Bronkopneumonia. Disitasi dari : http://hsilkma.blogspot.com /
2008/03/bronkopneumonia.html, pada tanggal 14 Juni 2008. Perbaharuan terakhir : Januari
2008.
10. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Standar Pelayanan Kesehatan Anak Edisi I. 2004. Jakarta :
IDAI; 2004.
11. Leman M. Pneumonia : Musuh Spesial para Lanjut Usia. Disitasi dari :
http://leman.or.id/medicastore/pneumonia.htm, pada tanggal : 20 Agustus 2009. Perbaharuan
terakhir : Juni 2007.
8

PPOK
1. Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius.
2. Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6.
Jakarta : EGC.
3. Airlangga University Press. 2006. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
University Press.
Hasil Pembelajaran:
1. Definisi dan Epidemiologi
2. Etiologi
3. Patofisiologi
4. Gejala Klinis

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio:

1. Subjektif: Pasien mengeluh sesak sejak 3 hari yang dirasakan terus menerus semakin berat,
menetap dan meningkat sepanjang hari. Terdapat rasa berat didada saat bernapas, juga batuk
berdahak berwarna kuning kehijauan sudah 3 minggu. Demam tinggi sejak 3 hari yang lalu.
2. Objektif: Pernapasan 30x/menit, suhu 38.60C. Pemeriksaan laboratorium darah rutin
menunjukkan leukosit : 15.100. Pada pemeriksaan thoraks didapatkan suara nafas
bronkovesikular, rhonki +/+, wheezing +/+, retraksi interkostalis (+). Roentgen thoraks
terdapat gambaran fibrosis dan infiltrat pada kedua lapang paru.
3. Assessment: Berdasarkan data anamnesis dan pemeriksaan fisik serta laboratorium diatas,
disimpulkan pasien mengalami Bronkopneumonia dengan PPOK atas dasar pasien
mengeluh sesak sejak 3 hari yang dirasakan terus menerus semakin berat, menetap dan
meningkat sepanjang hari, juga batuk berdahak berwarna kuning kehijauan sudah 3 minggu,
demam dengan suhu 38,60c, pernapasan 30x/menit, rhonki +/+, retraksi interkostalis (+),
pemeriksaan laboratorium darah rutin menunjukkan leukosit : 15.100, roentgen thoraks
terdapat fibrosis dan infiltrat pada kedua lapang paru, dapat menguatkan diagnosis
bronkopneumonia. Lalu pada pasien juga ditemukan wheezing +/+ Rasa berat didada saat
bernapas (+), riwayat terpajan debu saat bekerja di pabrik dan asap rokok dirumah
membantu menegakkan diagnosis PPOK.
4. Plan: Rencana terapi untuk pasien ini adalah dengan terapi non medikamentosa dan terapi
medikamentosa. Untuk terapi non medikamentosa pasien diminta untuk istirahat cukup,
kompres jika panas terlalu tinggi, menghindari pajanan yang menjadi faktor risiko seperti
debu dan rokok. Pada terapi medikamentosa akan diberi terapi antibiotik cephalosporin
generasi III yaitu cefotaxim yang diberikan melalui intravena bersamaan dengan infusan
cairan isotonik yaitu Ringer Laktat. Untuk mengobati sesak pasien akan diberikan nebulizer
Ventolin + flixotide. Selain itu, akan diberikan ambroxol tablet sebagai mukolitik dan
parasetamol tablet sebagai antipiretik.
9

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Pneumonia

3.1.1 Definisi

Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan pada paru


yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Sedangkan
perdangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi,
aspirasi bahan toksik, obat-obatan, dan lain-lain) disebut pneumonitis.1 Penyakit ini
merupakan penyakit yang serius yang dapat mengenai semua umur terutama pada
bayi/anak, usia lebih dari 65 tahun, dan orang dengan penyakit pemberat lain
seperti penyakit jantung kongestif, diabetes, dan penyakit paru kronis. Penyakit ini
lebih sering muncul pada musim dingin, perokok, dan pria dibanding wanita.5

Gambar 1. Pneumonia pada dewasa 2


10

3.1.2 Etiologi

Menurut publikasi WHO, penelitian di berbagai negara menunjukan bahwa di


negara berkembang Streptokokus pneumonia dan Hemofilus influenza merupakan
bakteri yang selalu ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi, yaitu 73,9 %
aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah. Sedangkan di negara
maju, pneumonia pada umumnya disebabkan oleh virus.6 Etiologi pneumonia
antara lain:4

1. Bakteri: Diplococcus pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus hemolyticus,


Streptococcus aureus, Hemophilus influenza, Bacillus Friedlander.

2. Virus: Respiratory syncytial virus, virus influenza, adenovirus,


cytomegalovirus.

3. Jamur: Mycoplasma pneumoces dermatitides, Coccidioides immitis,


Aspergillus, Candida albicans.

Tabel 1. Penyebab penemonia dan kenapa bisa terjadi.7

Penyebab Kenapa bisa terjadi?

Bakteri Penumonia akibat bakteri ini biasanya terjadi setelah flu, demam, atau ISPA yang
menurunkan sistem imunitas tubuh. Sistem imunitas yang lemah menjadi keadaan
yang baik untuk bakteri berkembang biak di paru, dan menimbulkan penyakit.
Bermacam-macam bakteri dapat menyebabkan pneumonia, yang tersering adalah
Streptococcus pneumoniae (pneumococcus). Dapat disebarkan apabila orang yang
terinfeksi batuk, bersin, atau menyentuh objek dengan tangan yang
terkontaminasi. Pneumonia akibat bakteri ini dapat menjadi lebih serius bila
dibandingkan dengan pneumonia akibat virus.

Virus Bermacam-macam virus dapat menyebabkan pneumonia. Contohnya termasuk


influenza, chickenpox, herpes simplex, and respiratory syncytial virus (RSV).
Virus dapat ditularkan antar manusia ke manusia lain melalui batuk, bersin atau
menyentuh objek dengan tangan yang terkontaminasi yang berkontak dengan
cairan dari orang yang terinfeksi.

Jamur Bermacam-macam jamur dapat menyebebkan pneumonia. Yang paling sering


adalah jamur yang terhirup dari udara luar/lingkungan.
11

3.1.2.1 Cara Pengambilan Bahan

Cara pengambilan bahan untuk pemeriksaan bakteriologik dapat


secara noninvasif, yaitu dibatukkan (dahak) atau dengan cara invasif, yaitu
aspirasi transtorakal, aspirasi transtrakeal, bilasan/sikatan bronkus,
bronchoalveolar lavage (BAL). Diagnosis pasti bila dilakukan dengan cara
steril didapatkan dari darah, cairan pleura, aspirasi transtrakeal, atau
aspirasi transtorakal, kecuali ditemukan bakteri yang bukan koloni di
saluran napas atas seperti M.tuberculosis, Legionella, P.carinii. Diagnosis
tidak pasti (kemungkinan): dahak, bahan yang didapatkan melalui
bronkoskopi (BAL, bilasan/sikatan bronkus, dan lain-lain).

Walaupun cara invasif dapat menemukan etiologi pasti, tetapi cara


tersebut tidak dianjurkan, hanya digunakan pada kasus tertentu. Untuk
penderita rawat inap, dianjurkan pemeriksaan rutin kultur dahak pada
kasus berat yang sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik.
Pemeriksaan Gram harus dilakukan sebelum pemeriksaan kultur.

3.1.2.2 Cara Pengambilan dan Pengiriman Dahak yang Benar

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari. Pasien mula-mula kumur-


kumur dengan akuades biasa, setelah itu pasien diminta inspirasi dalam
kemudian membatukkan dahaknya. Dahak ditampung dalam botol steril
dan ditutup rapat. Dahak segera dikirim ke laboratorium (tidak boleh lebih
dari 4 jam). jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak, dapat dibantuk
nebulisasi dengan NaCl 3%.

Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan


langsung dan biakan yaitu bila ditemukan sel PMN > 25/lpk dan sel epitel
< 10/lpk.
12

3.1.3 Patogenesis

Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan


mikroorganisme. Keadaan ini disebabkan adanya mekanisme pertahanan paru.
Terdapatnya bakteri di dalam paru menunjukkan adanya gangguan daya tahan
tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan mengakibatkan
timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan
paru dapat melalui berbagai cara, antara lain inhalasi langsung dari udara, aspirasi
dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring serta perluasan langsung
dari tempat-tempat lain, penyebaran secara hematogen.9

Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk
mencegah infeksi, yang terdiri dari susunan anatomis rongga hidung, jaringan
limfoid di nasofaring, bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus
respiratorius, dan sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut. Refleks
batuk, refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi;
drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional; fagositosis,
aksi limfosit, dan respons imunohumoral terutama dari IgA; serta sekresi enzim
dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai anti mikroba yang
nonspesifik.11

Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan
nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan
jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu
proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu:9

A. Stadium (412 jam pertama/ kongesti)

Disebut hiperemia mengacu pada respons peradangan permulaan yang


berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
13

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator
tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin
dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan
permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma
ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida,
sehingga mempengaruhi perpindahan gas dalam darah dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

B. Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel


darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru
menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar. Pada stadium ini, udara
alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak,
stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

C. Stadium III (38hari)

Disebut hepatisasi kelabu, terjadi sewaktu sel-sel darah putih


mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini, eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu, dan
kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

D. Stadium IV (711hari)
14

Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respons imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.9

3.1.4 Klasifikasi

Dalam melakukan pengkajian diagnosis pneumonia termasuk menentukan


kelainan anatomik/patologik jaringan parenkim paru mana yang terkena, kelainan
klinik (akut, kronik, kronik eksaserbasi akut dan tingkat beratnya penyakit,
menentukan etiologi kuman penyebab, dan menentukan antibiotik mana yang harus
diberikan pada penderita, ada beberapa macam klasifikasi pneumonia yang perlu
diketahui:8

1. Berdasarkan klinis dan epidemiologi:

a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)

Sporadis atau endemik; muda atau orang tua.

b. Pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia / nosocomial


pneumonia). Didahului perawatan di rumah sakit.

c. Pneumonia aspirasi. Terjadi pada pasien alkoholik, usia tua.

d. Pneumonia pada penderita immunocompromised. Pada pasien


transplantasi, penyakit keganasan sistem imun, AIDS.

e. Pneumonia rekurens. Terdapat dasar penyakit kronik paru.

2. Berdasarkan bakteri penyebab:

a. Pneumonia bakterial/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa


bakteri mempunyai tendensi menyerang seseorang yang peka, misalnya
Klabsiella pada penderita alkoholik.

b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella, dan Chlamydia.


15

c. Pneumonia virus

d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama


pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised).

3. Berdasarkan predileksi infeksi:

a. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumonia bakterial, jarang pada bayi dan
orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen
kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus, misalnya: pada
aspirasi benda asing atau proses keganasan.

b. Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan


paru. Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus. Sering pada bayi dan
orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus.

c. Pneumonia interstisial.

3.1.5 Diagnosis

1. Gambaran Klinis

a. Anamnesis

Gejala tersering dari pneumonia antara lain nyeri dada, napas


memendek, nyeri saat bernafas, nadi dan pernapasan meningkat/cepat,
nausea, vomitus, diare, dan batuk dengan sputum berwarna hijau, kuning
dan berwarna karat. Kebanyakan penderita demam (temperatur > 38 oC),
walaupun pada lansia dapat menderita demam dengan suhu yang lebih
rendah.2

b. Pemeriksaan Fisik

Pneumonia dicurigai saat pada pemeriksaan fisik didapatkan ronki


(crackling sounds) saat mendengar dengan stetoskop pada bagian dada.
16

Dapat juga ditemukan wheezing, atau suara napas yang menjadi kasar
pada beberapa daerah di dada.2

2. Pemeriksaan Penunjang

a) Rogent torak PA merupakan dasar diagnosis utama pneumonia

b) Leukosit>15.000/ul, dengan didominasi sel neutrofil

c) Trombositopenia bisa didapatkan pd pneumonia dengan empiema

d) Pemeriksaan sputum kurang berguna

e) Biakan darah jarang positif (3 11%) kecuali untuk Pneumokokus dan H.


Influenzae (25 95%)

f) Rapid test untuk deteksi antigen bakteri mempunyai sensitifitas dan spesifisitas
rendah.

g) Pemeriksaan serologis kurang bermanfaat.5

Gambar 2. Rogent torak PA penderita pneumonia5


17

3.1.6 Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian


antibiotik sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya.
Akan tetapi karena beberapa alasan, yaitu:

1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab


pneumonia

3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

maka pada penderita penumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara
umum pemilihan antibiotik berdasarkan bakteri penyebab pneumonia dapat dilihat
sebagai berikut:1

Penisilin sensitif Streptococcus pneumoniae (PSSP)

- Golongan penisilin

- TMP-SMZ

- Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

- Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

- Sefotaksim, seftriakson dosis tinggi

- Makrolid baru dosis tinggi

- Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

- Aminoglikosida

- Seftazidim, sefoperason, sefepim


18

- Tikarsilin, piperasilin

- Karbapenem: meropenem, imipenem

- Siprofloksasin, levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

- Vankomisin

- Teikoplanin

- Linezolid

Hemophillus influenzae

- TMP-SMZ

- Azitromisin

- Sefalosporin gen. 2 atau 3

- Fluorokuinolon respirasi

Legionella

- Makrolid

- Fluorokuinolon

- Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

- Doksisiklin

- Makrolid

- Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae
19

- Doksisiklin

- Makrolid

- Fluorokuinolon

3.1.7 Komplikasi

Pneumonia biasanya dapat obati dengan baik tanpa menimbulkan komplikasi.


Bagaimanapun, komplikasi dapat terjadi pada beberapa pasien terutama penderita
yang termasuk ke dalam kelompok resiko tinggi (faktor risiko):5

Akumulasi cairan : cairan dapat menumpuk di antara pleura dan bagian bawah
dinding dada (efusi pleura) dan dapat pula terjadi empiema. Chest tube atau
drainage mungkin dibutuhkan untuk mengeluarkan cairan.

Abses : pengumpulan pus pada area yang terinfeksi pneumonia disebut dengan
abses. Biasanya membaik dengan terapi antibiotik, namun meskipun jarang
terkadang membutuhkan tindakan bedah untuk membuangnnya.

Bakteremia : Bakteremia muncul bila infeksi pneumonia menyebar dari paru


masuk ke peredaran darah. Ini merupakan komplikasi yang serius karena
infeksi dapat menyebar dengan cepat melalui peredaran darah ke organ-organ
lain.

Kematian : walaupun sebagian besar penderita dapat sembuh dari pneumonia,


pada beberapa kasus dapat menjadi fatal. Kurang dari 3 % penderita yang
dirawat di rumah sakit dan kurang dari 1 % penderita yang dirawat di rumah
meninggal dunia oleh peneumonia atau komplikasinya.5

3.2 Pneumonia Komuniti

3.2.1 Definisi
20

Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di masyarakat. Pneumonia


komuniti ini merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan angka kematian
tinggi di dunia.1

3.2.2 Etiologi

Menurut kepustakaan penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan bakteri


Gram positif dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa
kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan
dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negatif.
Berdasarkan laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia
(Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, dan Makasar) dengan cara pengambilan bahan
dan metode pemeriksaan mikrobiologi yang berbeda didapatkan hasil pemeriksaan
sputum sebagai berikut:1
o Klebsiella pneumoniae 45,18%
o Streptococcus pneumoniae 14,04%
o Streptococcus viridans 9,21%
o Staphylococcus aureus 9%
o Pseudomonas aeruginosa 8,56%
o Steptococcus hemolyticus 7,89%
o Enterobacter 5,26%
o Pseudomonas spp 0,9%

3.2.3 Diagnosis
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis,
pemeriksaan fisik, foto toraks, dan labolatorium. Diagnosis pasti pneumonia
komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat
progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini:1
Batuk-batuk bertambah
Perubahan karakteristik dahak/purulen
Suhu tubuh > 380C (aksila)/riwayat demam
Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial, ronki
21

Leukosit > 10.000 atau < 4500

3.2.4 Penilaian Derajat Keparahan penyakit

Penilaian derajat kerahan penyakit pneumonia komuniti dapat dilakukan


dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient
Outcome Research Team (PORT) seperti tabel di bawah ini:1

Tabel 1. Sistem skor pada pneumonia komuniti berdasarkan PORT

Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu atau lebih'
kriteria di bawah ini.1
Kriteria minor:
Frekuensi napas > 30/menit
Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg
Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
Tekanan sistolik < 90 mmHg
Tekanan diastolik < 60 mmHg
Kriteria mayor adalah sebagai berikut:
Membutuhkan ventilasi mekanik
22

Infiltrat bertambah > 50%


Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)
Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dl, pada penderita riwayat
penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialisis.

Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap
pneumonia komuniti adalah:1
1.Skor PORT lebih dari 70
2.Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila
dijumpai salah satu dari kriteria di bawah ini.
Frekuensi napas > 30/menit
Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
Tekanan sistolik < 90 mmHg
Tekanan diastolik < 60 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA

Kriteria perawatan intensif


Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat Intensif adalah
penderita yang mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor tertentu
(membutuhkan ventalasi mekanik dan membutuhkan vasopressor > 4 jam [syok
sptik]) atau 2 dari 3 gejala minor tertentu (Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto
toraks paru menunjukkan kelainan bilateral, dan tekanan sistolik < 90 mmHg).
Kriteria minor dan mayor yang lain bukan merupakan indikasi untuk perawatan
ruang rawat intensif.1

3.2.5 Pneumonia atipik


23

Pada pneumonia selain ditemukan bakteri penyebab yang tipik sering pula
dijumpai bakteri atipik. Bakteri atipik yang sering dijumpai adalah Mycoplasma
pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Legionella sp. Penyebab lain
Chlamydiapsittasi, Coxiella burnetti, virus influenza tipe A & B, adenovirus, dan
respiratory syncitial virus

Diagnosis pneumonia atipik


a. Gejalanya adalah tanda infeksi saluran napas yaitu demam, batuk nonproduktif
dan gejala sistemik berupa nyeri kepala dan mialgia. Gejala klinis pada tabel di
bawah ini dapat membantu menegakkan diagnosis pneumonia atipik.
b. Pada pemeriksaan fisis terdapat ronki basah tersebar, konsolidasi jarang terjadi.
c. Gambaran radiologis infiltrat interstitial.
d. Labolatorium menunjukkan leukositosis ringan, pewarnaan Gram, biarkan
dahak atau darah tidak ditemukan bakteri.
e. Laboratorium untuk menemukan bakteri atipik.
Isolasi biarkan sensitivitinya sangat rendah
Deteksi antigen enzyme immunoassays (EIA)
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Uji serologi
Cold agglutinin
Uji fiksasi komplemen merupakan standar untuk diagnosis M.pneumoniae
Micro immunofluorescence (MIF). Standard serologi untuk C.pneumoniae
Antigen dari urin untuk Legionella
untuk membantu secara klinis gambaran perbedaan gejala klinis atipik dan tipik dapat dilihat
pada tabel 2, walaupun tidak selalu dijumpai gejala-gejala tersebut.1
24

3.2.6 Penatalaksanaan
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya.
Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah. Juga
diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan
risiko infeksi dengan mikroorganisme patogen yang spesifik misalnya S. pneumoniae
yang resisten penisilin. Yang termasuk dalam faktor modifikasi adalah: (ATS 2001)
a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin
Umur lebih dari 65 tahun
Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir
Pecandu alkohol
Penyakit gangguan kekebalan
Penyakit penyerta yang multipel
b. Bakteri enterik Gram negatif
Penghuni rumah jompo
Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru
Mempunyai kelainan penyakit yang multipel
Riwayat pengobatan antibiotik
c. Pseudomonas aeruginosa
Bronkiektasis
25

Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari


Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir
Gizi kurang

Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi:1


a. Penderita rawat jalan
Pengobatan suportif/simptomatik
- Istirahat di tempat tidur
- Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
- Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
- Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
Pemberian antiblotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam.
b.Penderita rawat inap di ruang rawat biasa

Pengobatan suportif/simptomatik

- Pemberian terapi oksigen

- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit

- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik

Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam

c. Penderita rawat inap di ruang rawat intensif

Pengobatan suportif / simptomatik

- Pemberian terapi oksigen

- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit Pemberian
obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik

Pengobatan antibiotik (sesuai bagan) kurang dari 8 jam

Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik


26

Penderita pneumonia berat yang datang ke IGD diobservasi tingkat kegawatannya,


bila dapat distabilkan maka penderita dirawat map di ruang rawat biasa; bila terjadi
respiratory distress maka penderita dirawat di ruang rawat intensif.

Pengobatan pneumonia atipik

Antibiotik masih tetap merupakan pengobatan utama pada pneumonia termasuk atipik.
Antibiotik terpilih pada pneumonia atipik yang disebabkan oleh M.pneumoniae, C.pneumoniae
dan Legionella adalah golongan:1

- Makrolid baru (azitromisin, klaritromisin, roksitromisin)

- Fluorokuinolon respirasi

- Doksisiklin

Terapi Sulih (switch therapy)


27

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke oral
dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial. Perubahan obat suntik ke oral harus memperhatikan ketersediaan antibiotik
yang diberikan secara iv dan antibiotik oral yang efektivitasnya mampu mengimbangi efektiviti
antibiotik iv yang telah digunakan. Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama,
potensi sama), switch over (obat berbeda, potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda,
potensi lebih rendah).
Contoh terapi sekuensial: levofioksasin, moksifloksasin, gatifloksasin
Contoh switch over : seftasidin iv ke siprofloksasin oral
Contoh step down amoksisilin, sefuroksim, sefotaksim iv ke cefiksim oral.

Obat suntik dapat diberikan 2-3 hari, paling aman 3 hari, kemudian pada hari ke-4 diganti
obat oral dan penderita dapat berobat jalan. Kriteria untuk perubahan obat suntik ke oral pada
pneumonia komuniti :
Tidak ada indikasi untuk pemberian suntikan lagi
Tidak ada kelainan pada penyerapan saluran cerna
Penderita sudah tidak panas 8 jam
Gejala klinik membaik (mis : frekuensi pernapasan, batuk)
Leukosit menuju normal/normal1

3.2.7 Evaluasi Pengobatan


Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24 - 72 jam tidak ada
perbaikan, kita harus meninjau kernbali diagnosis, faktor-faktor penderita, obat-obat yan
telah diberikan, dan bakteri penyebabnya, seperti dapat dilihat pada gambar 2.1
28

3.2.8 Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita,
bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang
baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat.
Angka kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat
jalan, sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%. Menurut
Infectious Disease Society Of America (IDSA), angka kematian pneumonia komuniti
pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan kelas II 0,6% dan pada rawat
inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkan
meningkatnya risiko kematian penderita pneumonia komuniti dengan peningkatan risiko
kelas. Di RS Persahabatan, angka kematian pada penderita pneumonia rawat inap tahun
1998 adalah 13,8%, tahun 1999 adalah 21%, sedangkan di RSUD Dr. Soetomo angka
kematian 20-35%.1

3.2.9 Pencegahan

- Pola hidup sehat, termasuk tidak merokok

- Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza)


29

Sampai saat ini masih perlu dilakukan penelitian tentang efektivitasnya.


Pemberian vaksin tersebut diutamakan untuk golongan risiko tinggi, misalnya usia
lanjut, penyakit kronik, diabetes, penyakit jantung koroner, PPOK, HIV, dll. Vaksinasi
ulang direkomendasikan setelah > 2 tahun. Efek samping vaksinasi yang terjadi antara
lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi, yaitu hipersensitivitas tipe 3.1

3.3 Penyakit Paru Obstruktis Kronis (PPOK)

DEFINISI

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan penyakit yang dapat dicegah dan dapat
diobati dengan karakteristik hambatan aliran udara menetap dan progresif yang disertai dengan
peningkatan respon inflamasi kronis pada saluran napas dan paru terhadap partikel berbahaya.1

Penyakit paru obstruktif kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk
sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi
terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya.2

Terminologi Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) telah mengalami beberapa kali
perubahan sejak dicetuskan kali pertama dalam forum internasional yaitu: Chiba Guest
Symposium 1959, semula dikenal sebagai Chronic pulmonary emphysema and related
conditions, kemudian menjadi Chronic airflow limitation, lalu Chronic obstructive pulmonary
disease, kemudian Chronic obstructive airway disease dan Chronic airway obstruction, kesemua
ini menunjukkan bahwa masih belum ada kesepakatan perihal kelainan yang sebenarnya.3

Namun yang jelas, unsur patofisiologi yang utama pada PPOM adalah gangguan aliran udara
yang progresif yang dapat menjurus ke kegagalan pernapasan. Dua unsur penyebab yang saling
berkaitan adalah hilangnya kepegasan (loss of recoil) serta peningkatan tahanan saluran napas
kecil.3

Dalam International Classification of Disease yang telah diperbaharui (ICD 9), PPOM meliputi
penyakit dengan nomor 491-496 antara lain: 491 bronkitis kronis, 492 emfisema, 493 asma
30

bronkial dan 496 chronic airway obstruction not otherwise specified. Walaupun asma tercantum
disitu, namun PPOM dijabarkan sebagai keadaan klinik dengan rasio FEV/FVC yang abnormal,
yang tidak reversibel sepenuhnya dengan bronkodilator dan dianggap sebagai keadaan yang
terpisah dari asma bronkial (walau tidak disangkal bahwa asma dapat berkembang menjadi
PPOM).3

EPIDEMIOLOGI

Insiden PPOM penduduk negeri Belanda ialah 10-15% pria dewasa , 5% wanita dewasa dan 5%
anak-anak. Faktor risiko yang utama adalah rokok. Perokok mempunyai risiko 4 kali lebih besar
daripada bukan perokok, dimana faal paru cepat menurun. 3

Penderita pria : wanita = 3-10 : 1.

Pekerjaan penderita sering berhubungan erat dengan faktor alergi dan hiperreaktifitas bronkus.
Di daerah perkotaan, insiden PPOM 1,5 kali lebih banyak daripada pedesaan. Bila seseorang
pada saat anak-anak sering batuk, berdahak, sering sesak, kelak pada masa tua sering timbul
emfisema.3

POLA OBSTRUKTIF PADA PENYAKIT PERNAPASAN

Penyakit pernapasan diklasifikasikan berdasarkan etiologi, letak anatomis, sifat kronik penyakit,
dan perubahan struktur serta fungsi. Tidak satu pun klasifikasi ini yang memuaskan. Pada kasus-
kasus tertentu penyebab etiologisnya tak diketahui, sedangkan penyebab yang sama pada kasus-
kasus lain dapat menyerang lokasi anatomi yang berbeda dan menimbulkan akibat patofisiologis
yang berbeda pula. Menurut disfungsi ventilasi, penyakit pernapasan diklasifikasikan menjadi
dua kategori: penyakit-penyakit yang terutama menyebabkan gangguan ventilasi obstruktif dan
penyakit-penyakit yang mengakibatkan gangguan ventilasi restriktif. Klasifikasi ini dipilih
karena uji spirometri dan uji fungsi ventilasi lain dilakukan hampir secara rutin, dan sebagian
besar penyakit pernapasan mempengaruhi ventilasi. Cara pendekatan seperti ini mempunyai dua
keterbatasan. Pada beberapa gangguan pernapasan, kelainan ventilasi dapat menimbulkan bentuk
campuran (misalnya emfisema kronik yang disertai pneumonia), sedangkan pada gangguan lain
yang junga mempengaruhi pernapasan, fungsi ventilasi mungkin normal (misalnya anemia atau
pirau dari kanan ke kiri). Gangguan paru yang tidak termasuk dalam pola penyakit obstruktif
atau restriktif akan dibicarakan tersendiri.2

GEJALA KLINIS

Sesak napas kronis, batuk produktif kronis, mudah lelah.1

Bronkitis kronik, emfisema paru, dan asma bronkial membentuk kesatuan yang disebut COPD.
Agaknya ada hubungan etiologik dan sekuensial antara bronkitis krronik dan emfisema, tetapi
tampaknya tak ada hubungan antara kedua penyakit itu dengan asma. Hubungan ini nyata sekali
sehubungan dengan etiologi, patogenesis dan pengobatan.2
31

Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mukus yang
berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi sebagai batuk kronik dan pembentukan sputum
selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dalam dua tahun bertrut-turut.
Definisi ini tidak mencakup penyakit-penyakit seperti bronkiektasis dan tuberkulosis yang juga
menyebabkan batuk kronik dan pembentukan sputum. Sputum yang terbentuk pada bronkitis
kronik dapat mukoid atau mukopurulen.2

Emfisema paru merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh
pembesaran alveolus dan duktus alveolaris yang tidak normal, serta destruksi dinding alveolar.
Emfisema dapat didiagnosis secara tepat dengan menggunakan CT scan resolusi tinggi.2

Asma merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh hipersensitivitas cabang trakeobronkial
terhadap berbagai jenis rangsangan dan keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan jalan
napas secara periodik dan reversibel akibat bronkospasme.2

Perhatikan perbedaan mendasar dari definisi penyakit-penyakit yang disebutkan di atas:


bronkitis kronik didefinisikan menurut gejala klinisnya, emfisema paru menurut patologi
anatominya, sedangkan asma menurut patofisiologis klinisnya. Meskipun setiap penyakit dapat
timbul dalam bentuknya yang murni, tetapi bronkitis kronik biasanya timbul bersama-sama
emfisema pada pasien yang sama. Asma lebih mudah dibedakan dari bronkitis kronik dan
emfisema berdasarkan riwayat serangan mengi paroksismal, yang dimulai pada masa kanak-
kanak dan berhubungan dengan alergi, tetapi kadang-kadang pasien bronkitis kronik dapat
mempunyai gambaran asmatik dari penyakitnya. Gambar 1 menggambarkan hubungan antara
bronkitis kronik, asma, dan emfisema. Daerah yang diliputi bayangan menggambarkan pasien
dengan lebih dari satu penyakit; sedangkan daerah yang tak
berbayang menggambarkan penyakit yang menonjol dalam
bentuknya yang murni. Agar lebih jelas, asma akan
dipisahkan dari bronkritis kronik dan emfisema karena
mudah dibedakan dari kedua penyakit tersebut.2

Gambar 1. Hubungan antara penyakit-penyakit yang tergabung dalam COPD


32

ASMA

Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya terengah-engah dan berarti serangan napas
pendek. Meskipun dahulu istilah ini digunakan untuk menyatakan gambaran klinis napas pendek
tanpa memandang sebabnya, sekarang istilah ini hanya di tujukan untuk keadaan-keadaan yang
menunjukkan respons abnormal saluran napas terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan
penyempitan jalan napas yang meluas.2

Perubahan patologis yang menyebabkan obstruksi jalan napas terjadi pada bronkus ukuran
sedang dan bronkiolus berdiameter 1mm. Penyempitan jalan napas disebabkan oleh
bronkospasme, edema mukosa, dan hipersekresi mukus yang kental (Gambar 2).2

Gambar 2. Faktor-faktor yang mengakibatkan obstruksi ekspirasi pada asma bronkial. A.


Potongan melintang dari bronkiolus yang mengalami oklusi akibat spasme otot, mukosa yang
membengkak, dan mukus dalam lumen. B. Potongan memanjang dari bronkiolus

Asma dapat dibagi dalam tiga kategori. Asma eksentrik, atau alergik, ditemukan pada sejumlah
kecil pasien dewasa, dan disebabkan oleh alergen yang diketahui. Bentuk ini biasanya dimulai
pada masa kanak-kanak dengan keluarga yang mempunyai riwayat penyakit atopik termasuk hay
fever, ekzema, dermatitis dan asma. Asma alergik disebabkan oleh kepekaan individu terhadap
alergen (biasanya protein) dalam bentuk serbuk sari yang dihirup, bulu halus binatang, spora
jamur, debu, serat kain, atau yang lebih jarang, terhadap makanan seperti susu atau coklat.
Pajanan terhadap alergen, meskipun hanya dalam jumlah yang sangat kecil, dapat mengakibatkan
serangan asma. Sebaliknya, pada asma intriksik, atau idiopatik, ditandai dengan sering tidak
ditemukannya fator-faktor pencetus yang jelas. Faktor nonspesifik (seperti flu biasa, latihan fisik,
atau emosi) dapat memicu serangan asma. Asma intrinsik lebih sering timbul sesudah usia 40
tahun, dan serangan timbul sesudah infeksi sinus hidung atau pada percabangan trakeobronkial.
33

Makin lama serangan makin hebat, sehingga akhirnya keadaan iniberlanjut menjadi bronkitis
kronik dan kadang-kadang emfisema. Banyak pasien menderita asma campuran, yang terdiri dari
komponen-komponen asma ekstrinsik dan intrinsik. Sebagian besar pasien asma intrinsik akan
berlanjut menjadi bentuk campuran; anak yang menderita asma ekstrinsik sering sembuh
sempurna saat dewasa muda.2

Manifestasi klinis asma mudah dikenali. Setelah pasien terpajan alergen penyebab atau faktor
pencetus, segera akan timbul dispnea. Pasien merasa seperti tercekik dan harus berdiri atau
duduk dan berusaha penuh mengerahkan tenaga untuk bernapas. Berdasarkan perubahan-
perubahan anatomis yang telah dijelaskan, bahwa kesulitan utama terletak pada saat ekspirasi.
Percabangan trakeobronkial melebar dan memanjang selama inspirasi, tetapi sulit untuk
memaksakan udara keluar dari bronkiolus yang sempit, mengalami edema dan terisi mukus, yang
dalam keadaan normal akan berkontraksi sampai tingkatan tertentu pada ekspirasi. Udara
terperangkap pada bagian distal tempat penyumbatan, sehingga terjadi hiperinflasi progresif
paru. Akan timbul mengi ekspirasi memanjang yang merupakan ciri khas asma sewaktu pasien
berusaha memaksakan udara keluar. Serangan asma seperti ini dapat berlangsung beberapa menit
sampai beberapa jam, diikuti batuk produktif dengan sputum berwarna keputih-putihan.
Pengobatan terdiri atas pemberian bronkodilator, desensitasi spesifik yang lama, menghindari
alergen yang sudah dikenal, dan kadang-kadang obat kortikosteroid. Selang waktu antara dua
serangan biasanya bebas dari kesulitan bernapas. Asma dapat dibedakan dari bronkitis kronik
dan emfisema karena sifatnya yang intermitten dan berdasarkan kenyataan bahwa emfisema
destruktif jarang terjadi. Serangan asma yang berlangsung terus menerus selama berhari-hari dan
tak dapat ditangguangi dengan cara pengobatan biasa dikenal dengan status asmatikus. Dalam
kasus ini fungsi ventilasi dapat sangat memburuk sehingga mengakibatkan sianosis dan
kematian.2

BRONKITIS KRONIK DAN EMFISEMA

Meskipun bronkitis kronik dan emfisema merupakan dua proses penyakit yang berbeda, tapi
kedua penyakit ini sering ditemukan bersama-sama pada penderita COPD. Diperkirakan 16,2
juta orang Amerika menderita bronkitis kronik dan emfisema atau keduanya, yang bertanggung
jawab dalam menyebabkan 112.584 kematian pada tahun 1998. Insiden COPD meningkat 450%
sejak tahun 1950 dan sekarang merupakan penyebab kematian keempaat. COPD menyerang pria
dua kali lebih banyak di banding wanita, diperkirakan karena pria adalah perokok berat; tetapi
insiden pada wanita meningkat 600% sejak tahun 1950, dan diperkirakan akibat perilaku
merokok mereka.2

Temuan patologis utama pada bronkitis kronik adalah hipertrofi kelenjar mukosa bronkus dan
peningkatan jumlah dan ukuran sel-sel goblet, dengan infiltrasi sel-sel radang dan edema mukosa
bronkus. Pembentukan mukus yangmeningkat mengakibatkan gejala khas yaitu batuk produktif.
Batuk kronik yang disertai peningkatan sekresi bronkus tampaknya mempengaruhi bronkiolus
kecil sehingga bronkiolus tersebut rusak dan dindingnya melebar. Faktor etiologi utama adalah
34

merokok dan polusi udara yang lazim terjadi di daerah industri. Polusi udara yang terus menerus
juga merupakan predisposisi infeksi rekuren karena polusi memperlambat aktivitas silia dan
fagositosis, sehingga timbunan mukusmeningkat sedangkan mekanisme pertahanannya sendiri
melemah.2

Emfisema dibagi menurut bentuk asinus yang terserang. Meskipun beberapa bentuk morfologik
telah diperkenalkan, ada dua bentuk yang peling penting sehunbungan dengan COPD. Emfisema
sentrilobular (CLE), secara selektif hanya menyerang bagian bronkiolus respiratorius dan duktus
alveolaris. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung
menjadi satu ruang sewaktu dinding-dinding mengalami integrasi (Gambar 3).2

Mula-mula duktus alveolaris dan sakus alveolaris yang lebih distal dapat dipertahankan. CLE
sering kali lebih berat menyerang bagian atas paru, tetapi akhirnya cenderung tersebar tidak
merata. CLE lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan wanita, biasanya berhubungan
dengan bronkitis kronik, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok.2

Emfisema panlobular (PLE) atau emfisema panasinar, merupakan bentuk morfologik yang lebih
jarang, alveolus yang terletak distal dari bronkiolus terminalis mengalami pembesaran serta
kerusakan secara merata; mengenai bagian asinus yang sentral maupun perifer (Gambar 3).
Bersamaan dengan penyakit yang makin parah, semua komponen asinus sedikit demi sedikit
menghilang sehingga akhirnya hanya tertinggal beberapa lembar jaringan, yang biasanya berupa
pembuluh-pembuluh darah. PLE mempunyai dambaran khas yait : tersebar merata di seluruh
paru, meskipun bagian-bagian basal cenderung terserang lebih parah. PLE, tetapi tidak CLE,
juga ditemukan pada sekelompok kecil penderita emfisema primer. Jenis emfisema ini ditandai
dengan peningkatan resistensi jalan nafas yang berlangsung lambat tanpa adanya bronkitis
kronik, mula timbulnya dini dan biasanya memperlihatkan gejala-gejala pada usia antara 30 dan
40 tahun. Di inggris tercatat kurang dari 6% penderita COPD dengan emfisema primer, dan
angka kekerapannya sama baik pada wanita maupun pria. Penyebab emfisema bentuk initidak
diketahui, tetapi telah diketahui adanya bentuk familial yang berkaitan dengan deisiensi enzim
alfa-antiprotease.2
35

Gambar 3. Bentuk-bentuk morfologik emfisema. Panlobular: seluruh lobus primer terkena,


daerah yang rusak dan menggembung terletak di sebelah distal dari bronkiolus respiratorius.
Sentrilobular: kerusakan terjadi sentral, terutama mengenai bronkiolus respiratorius.

Alfa-antiprotease diperkirakan sangat penting sebagai perlindungan terhadap protease yang


terbentuk secara alami, dan kekurangan antiprotease ini memiliki peranan penting dalam
patogenesis emfisema. Protease dihasilkan oleh bakteri, PMN, monosit, dan makrofag sewaktu
proses fagositosis berlangsung dan mampu memecah elastin dan makromolekul lain pada
jaringan paru. Pada orang yang sehat, kerusakan jaringan paru dicegah oleh kerja antiprotease,
yang menghambat aktivitas protease. Penemuan ini berdasarkan studi pada sekelompok kecil
pasien dengan defisiensi alfa-antiprotease herediter. Pemetaan genetik telah memperlihatkan
bahwa sebagian besar anggota populasi normal dengan kadar alfa-antiprotease normal memiliki
dua gen M dan disebut sebagai tipe MM. Dua gen yang paling sering berkaitan dengan emfisema
adalah gen S dan gen Z. Homozigot SS atau ZZ pada individu- individu memiliki kadar serum
alfa-antiprotease yang mendekati nol atau sangat rendah dan mempunyai kemungkinan 70%
sampai 80% untuk menderita emfisema tipe primer (panlobular atau emfisematosa). Individu
dengan heterozigot MS atau MZ dengan satu gen yang abnormal mempunyai serum alfa-
antiprotease dalam kadar sedang, dan diperkirakan mempunyai pedisposisi yang tinggi terhadap
emfisema, biasanya daam bentuk bronkitis (sentrilobular). Pada orang-orang dalam kelompok
terakhir, merokok dapat mengakibatkan respons peradangan sehingga menyebabkan pelepasan
enzimproteolitik (protease), sementara bersamaan dengan itu oksidan pada asap menghambat
alfa-antiprotease. Kadaan heterozigot sering ditemui pada populasi, dengan perhitungan
insidensnya 5% hingga 14%.2

PLE walaupun merupakan ciri khas emfisema primer, tetapi dapat juga dikaitkan dengan
emfisema akibat usia tua dan bronkitis kronik. Kerusakan serabut elastik dan serabut retikular
paru yang disertai dengan menghilangnya kemampuan mengembangkan paru secara elastis
diduga akan mengakibatkan peregangan paru yang progresif pada proses penuaan. Tetapi,
emfisema senilis bukan merupakan emfisema sejati, karena sebagian besar pasienyang sudah tua
ini tak mengalami gangguan fungsi paru yang berarti. PLE yang menyertai bronkitis kronik
dianggap sebagai tahap akhir dari CLE progresif, karena kedua gambaran morfologis tersebut
dapat timbul pada paru yang sama.2

Jika toraks pasien emfisema dibuka selama pembedahan atau otopsi, paru tampak sangat
membesar; paru ini tetap terisi udara dan tidak kolaps. Warnanya lebih putih daripada paru
normal, dan terasa menggelembung serta halus seakan-akan berbulu. Seringkali terlihat bleb
yaitu rongga subpleura yang terisi udara, serta bula yaitu rongga parenkim yang terisi udara
dengan diameter lebih dari 1 cm (Gambar 4).2
36

Gambar 4. Bleb dan bula pada paru

Selain itu, rongga udara juga mengalami dilatasi merata. PLE dan CLE seringkali ditandai oleh
bula, tetapi bula ini dapat juga timbul tanpa adanya PLE atau CLE. Biasanya bula timbul karena
adanya penyumbatan pada katup pengatur bronkiolus (Gambar 5). Selama inspirasi, lumen
bronkiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan
banyaknya mukus. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkiolus tersebut kembali menyempit,
sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara. Hilangnya elastisitas dinding bronkiolus
pada emfisema juga menyebabkan kolaps prematur. Dengan demikian udara terperangkap dalam
segmen paru yang terkena, berakibat distensi berlebihan serta penggabungan beberapa alveolus.
Ini disebabkan karena fragmentasi jaringan elastis interalveolar, disertai rusaknya sekat
interalveolar yang sudah menipis, sehingga akhirnya terbentuk bula. Pada emfisema dapat timbul
satu atau banyak bula yang dapat ataupun tidak saling berhubungan. Bleb yang terbentuk akibat
ruptura alveoli dapat pecah ke dalam rongga pleura sehingga mengakibatkan pneumotoraks
spontan(kolaps paru). Perubahan-perubahan lain yang sering ditemukan pada paru penderita
COPD adalah pengurangan jaringan kapiler dan bukti histologik adanya bronkiolitis kronik.2
37

Gambar 5. Obstruksi katup pengatur bronkiolus. A. Selama inspirasi, lumen cukup besar untuk
dilalui udara. B. Selama ekspirasi, kolaps prematur dan penyempitan lumen menghalangi aliran
keluar udara, sehingga udara terperangkap dalam alveoli.
Diagram aliran yang dilukiskan pada Gambar 6 memperlihatkan patogenesis COPD dan
tipe morfologik emfisema yang ditimbulkannya. Diagram ini diperkuat fakta bahwa, walaupun
genetik mungkin merupakan suatu faktor predisposisi emfisema paru, dan merokok serta polusi
udara merupakan faktor utama pada patogenesis emfisema jenis bronkitis, tetapi sebenarnya ada
interaksi antara kedua faktor tersebut. Misalnya seseorang dengan faktor predisposisi genetik
mungkin akan menderita emfisema jika terpajan polusi udara. Meskipun dilatasi rongga udara
senilis tak dianggap sebagai emfisema sejati, tetapi mungkin hilangnya elastisitas normal
parenkim paru yang dihubungkan dengan usia merupakan faktor yang menentukan timbulnya
emfisema sejati.2
Perjalanan klinis penderita COPD terbentang mulai dari apa yang dikenal sebagai pink
puffers sampai blue bloaters. Tanda klinis utama pada pink puffers (berkaitan dengan PLE
primer) adalah timbulnya dispnea tanpa disertai batuk dan produksi sputum yang berarti.
Biasanya dispnea mulai timbul antara usia 30 sampai 40 tahun dan semakin lama semakin berat.
Pada penyakit lanjut, pasien mungkin begitu kehabisan napas sehingga tidak dapat makan lagi
dan tubuhnya tampak kurus tak berotot.2
Pada perjalanan penyakit lebih lanjut, pink puffers dapat berlanjut menjadi bronkitis
kronik sekunder. Dada pasien berbentuk tong; diafragma terletak rendah dan bergerak tak lancar.
Polisitemia dan sianosis jarang ditemukan (karena itu disebut pink=merah muda), sedangkan kor
pulmonale (penyakit jantung akibat hipertensi pulmonar dan penyakit paru) jarang ditemukan
sebelum penyakit sampai pada tahap terakhir. Gangguan keseimbangan ventilasi dan perfusi
minimal; sehingga dengan hiperventilasi, penderita pink puffers biasanya dapat mempertahankan
gas-gas darah dalam batas normal sampai penyakit ini mencapai tahap lanjut. Paru biasanya
membesar sekali sehingga kapasitas paru total (TLC) dan volume reidu (RV) sangat meningkat.2
38

Gambar 6. Patogenesis COPD. CLE, Emfisema sentralobular; PLE, emfisema panlobular


Pada keadaan COPD ekstrim yang lain didapatkan pasien-pasien blue bloaters (bronkitis
tanpa bukti-bukti emfisema obstruktif yang jelas). Pasien inin biasanya menderita batuk
produktif dan berulang kali mengalami infeksi pernapasan yang dapat berlangsung selama
bertahun-tahun sebelum tampak gangguan fungsi. Akan tetapi, akhirnya timbul gejala dispnea
pada waktu pasien melakukan kegiatan fisik. Pasien-pasien ini memperlihatkan gejala
berkurangnya dorongan untuk bernapas; mengalami hipoventilasi dan menjadi hipoksia dan
hiperkapnia. Rasio ventilasi/perfusi juga tampak sangat berkurang. Hipoksia yang kronik
merangsang ginjal untuk memproduksi eritropoietin, yang akan merangsang peningkatan
pembentukan sel-sel darah merah, sehingga terjadi polisitemia sekunder. Kadar hemoglobin (Hb)
dapat mencapai 20 g/100 ml atau lebih, dan sianosis mudah tampak karena Hb tereduksi mudah
mencapai kadar 5g/100 ml walau hanya sebagian kecil Hb sirkulasi yang berada dalam bentuk
Hb tereduksi (oleh karena itu dinamakan blue bloaters). Pasien-pasien ini tidak mengalami
dispnea sewaktu istirahat sehingga mereka tampak sehat. Biasanya berat tubuh tidak banyak
menurun dan bentuk tubuh normal. TLC mungkin normal, dan diafragma berada dalam posisi
normal. Kematian biasanya terjadi akibat kor pulmonale (yang timbul dini) atau akibat kegagalan
pernapasan. Pada otopsi sering (meskipun tak selalu) ditemukan emfisema. Emfisema cenderung
berbentuk sentrilobular, meskipun dapat pula berbentuk panlobular.2

Tabel 5 menggambarkan perbedaan-perbedaan antara bronkitis murni (blue bloater) dan bronkitis
emfisematosa (pink puffers) dari COPD. Sebagian besar penderita COPD terdapat di antara
kedua ekstrem tersebut.

Perjalanan klinis COPD yang khas adalah berlangsung lama, dimulai pada usia 20-30
tahun dengan batuk merokok atau batuk pagi disertai pembentukan sedikit sputum mukoid.
Infeksi pernapasan ringan cenderung berlangsung lebih lama dari biasanya pada pasien-pasien
ini. Meskipun mungkin terdapat penurunan toleransi terhadap kerja fisik, tetapi biasanya keadaan
ini tak diketahui karena berlangsung dalam jangka waktu lama. Akhirnya serangan bronkitis akut
makin sering timbul, terutama pada musim dingin, dan kemampuan kerja pasien berkurang,
sehingga watu mencapai usia 50-60an, pasien mungkin harus berhenti bekerja. Pada pasien
dengan tipe emfisematosa yang mencolok, perjalanan klinis tampaknya tidak begitu lama, yaitu
tanpa riwayat batuk produktif; dan dalam beberapa tahun timbul dispnea yang membuat pasien
menjadi sangat lemah. Bila timbul hierkapnia, hipoksemia dan kor pulmonale, prognosisnya
39

buruk dan kematian biasanya terjadi beberapa tahun sesudah timbul penyakit. Gabungan gagal
napas dan gagal jantungyang dipercepat oleh pneumonia merupakan pernyebab kematian yang
lazim.2

FAKTOR RISIKO

- Pajanan asap rokok


- Polusi udara di dalam ruangan, seperti bahan biomass untuk memasak dan memanaskan
- Pekerjaan yang berkaitan dengan paparan bahan kimiadan partikel yang lama dan terus
menerus
- Polusi udara di luar ruangan
- Genetik diketahui berperan dalam terjadinya PPOK, yaitu defisiensi antitripsin alfa-1
- Masalah pada paru yang terjadi saat masa gestasi atau saat kanak-kanak (berat badan
lahir rendah, infeksi pernafasan) juga berpotensi meningkatkan risiko terjadinya PPOK.1

Tabel 5. Perbandingan Tipe-Tipe Klinis COPD

Gambaran Pink Puffer (emfisematosa) Blue Bloater (bronkitis)


Awitan Usia 30-40 tahun Usia 20an dan 40an batuk
akibat merokok
Usia saat diagnosis 60 tahun 50tahun
Etiologi - Faktor-faktor yang - Faktor-faktor yang
tak diketahui tak diketahui
- Predisposisi genetik - Merokok
- Merokok - Polusi udara
- Polusi udara - Cuaca
Sputum Sedikit Banyak sekali
Dispnea Relatif dini Relatif lambat
Rasio V/Q Ketidakseimbangan V/Q Ketidakseimbangan V/Q
minimal nyata
Bentuk tubuh Kurus dan ramping Gizi cukup
Diameter AP dada Sering berbentuk tong Tidak bertambah
Patologi anatomi paru Emfisema panlobular Emfisema sentrilobular
Pola pernapasan Hiperventilasi dan dispnea Hilangnya dorongan
yang jelas, dapat timbul pernapasan, sering terjadi
sewaktu istirahat hipoventilasi, berakibat
hipoksia dan hiperkapnia
Volume paru - FEV rendah - FEV rendah
- TLC dan RV - TLC normal, RV
meningkat meningkat sedang
PaCO Normal atau rendah (35 Meningkat (50-60 mmHg)
sampai 40 mmHg)
PaO 65-75 mmHg 45-60 mmHg
SaO Normal Desaturasi tinggi karena
40

ketidakseimbangan V/O
Hematokrit 35-45% 50-55%
Polisitemia Hb dan Ht normal sampai Sering terjadi peningkatan
tahap akhir Hb dan Ht
Sianosis Jarang Sering
Kor pulmonale Jarang Sering

DIAGNOSIS

Diagnosis PPOM seperti juga banyak penyakit lain umumnya didasarkan pada anamnesa,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan sinar X, pemeriksaan faal paru dan pemeriksaan laboratorium
patologi klinik. Menurut American Thoracic Society (ATS) diagnosis PPOM adalah sebagai
berikut:3

ANAMNESIS

Umumnya penderita adalah usia pertengahan ke atas. Anamnesa ulang pada waktu
penderita kembali memeriksakan diri, amat bermanfaat untuk menilai progresivitas
penyakit dan respons pengobatan. Sesak napas yang menjadi keluhan utama, sering
disertai batuk, mengi, dahak, serta infeksi saluran napas berulang. Rokok serta polusi di
tempat kerja patut ditanyakan. Dalam disertasinya, Moh. Amin menekankan perlu
diwaspadainya peran defisiensi alfa-1-antiprotease, sebagai suatu faktor yang
meningkatkan risiko terjadinya PPOM pada para perokok dan pekerja di tempat kerja
tertentu.3

Jika pasien mengalami gejala sesak napas, batuk kronis, produksi sputum kronis, dan
terdapat paparan faktor risiko, diagnosis klinis PPOK dapat dipertimbangkan. Sesak
napas pada pasien PPOK bersifat progresif, menetap, dan memburuk dengan olah raga/
aktivitas. Sedangkan batuk kronis bersifat intermitten dan mungkin unproductive.1

PEMERIKSAAN FISIK

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda: hiperinflasi paru, penggunaan otot
napas sekunder, perubahan pola napas dan suara napas yang abnormal. 3 Dapat ditemukan
barrel chest, penggunaan otot bantu napas, pelebaran sela iga, fremitus melemah,
hipersonor, vesikuler noemal/melemah, ekspirasi memanjang, wheezing.1

FOTO TORAKS
41

Dibutuhkan x-foto toraks dalam proyeksi PA serta lateral, namun perlu ditekankan bahwa
korelasi kelainan foto toraks dengan gradasi obstruksi jalan napas tidak besar.
Pemeriksaan yang lebih canggih seperti CT-scan tidak dibutuhkan.3
Terdapat gambaran hiperinflasi, hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskular
meningkat, jantung pendulum.1

SPIROMETRI
Digunakan untuk meneggakan diagnosis PPOM. Pemeriksaan utama adalah FEV/FVC,
walau masih banyak lagi pemeriksaan faal paru lain, namun tidak ada bukti bahwa tes-tes
ini dapat menambah informasi yang berarti selain yang telah diungkapkan oleh
pemeriksaan FEV dan rasio FEV/FVC. Kriteria yang lazim dipakai untuk PPOM
derajat sedang adalah: FEV kurang dari 60% dari nilai ramal atau rasio FEV/FVC yang
lebih kecil dari 60%.3
a. Alat ini dibutuhkan untuk memastikan diagnosis klinis dari PPOK. Jika tidak
memiliki fasilitas spirometri di tempat praktik, diagnosis PPOK dapat ditegakkan
secara klinis.1
b. Pada pasien usia >40 tahun dengan gejala yang mengarah ke PPOK, sangat
dianjurkan untuk dilakukan tes spirometri.1
c. Setelah penggunaan bronkodilator, hasil VEP/KVP <70 % (0.70) menjelaskan bahwa
pasien mengalami PPOK. Jika hasil 70, berarti bukan PPOK.1

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Analisis gas darah dan elektrolit perlu dikerjakan pada penderita PPOM dengan FEV
kurang dari 1,5 liter atau EKG yang konsisten dengan pembesaran ventrikel kanan.
Eritrositosis sekunder yang didapatkan dari kadar Hb dan hematokrit, mencerminkan
keadaan hipoksemia yang kronis. Pemeriksaan laboratorium patologi klinik lainnya
disesuaikan dengan keadaan.3

DIAGNOSIS BANDING

Asma, sindrom obstruksi paska TB (SOPT), gagal jantung kongestif, bronkiektasis, TB,
bronkiolitis obliteratif, panbronkiolitis difus. Pada umumnya SPOT berbeda dengan PPOK
karena tidak memiliki riwayat merokok lama, usia muda dan muncul tidak lama setelah
dinyatakan sembuh dari tuberkulosis paru.1

PENILAIAN PPOK1

Tujuan dari assessment pasien PPOK adalah menentukan derajat keparahan penyakit sehingga
mempengaruhi status kesehatan pasien dan berisiko terjadinya kejadian ke depannya
42

(eksaserbasi, rawat inap, hingga kematian) dalam rangka untuk pemilihan terapi yang sesuai. Hal
ini dapat dinilai melalui beberapa aspek, yaitu :

1. Penilaian gejala , dengan menggunakan kuesioner tervalidasi, seperti CAT (COPD


Assessment Test) atau MMRC (modified british medical research council).
2. Penilaian Spirometri , pemeriksaan dilakukan ketika tidak dalam eksaserbasi akut.
Terbagi menjadi 4 klasifikasi, dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Keterbatasan Aliran Udara pada PPOK (berdasarkan VEP
setelah penggunaan bronkodilator)

GOLD 1: Ringan VEP80% prediksi


GOLD 2: Sedang 50% VEP < 80% prediksi
GOLD 3: Berat 30% VEP < 50% prediksi
GOLD 4: Sangat Berat VEP< 30% prediksi
Pada pasien dengan VEP/KVP <70% VEP; volume ekspirasi paksa detik pertama,
KVP; kapasitas vital paksa.

3. Penilaian risiko eksaserbasi , eksaserbasi pada PPOK diartikan sebagai kejadian akut
akibat gejala pernapasan yang memburuk dibandingkan biasanya sehingga menyebabkan
perubahan tatalaksana. Eksaserbasi dikatakan sering terjadi 2x/tahun (lihat tabel 2).

Tabel 2. Kombinasi Penilaian Pasien PPOK

Pasie Karakteristik Klasifikasi Eksaserbasi CAT mMRC


n spirometri per tahun
A Risiko rendah, gejala GOLD 1-2 1 <10 0-1
sedikit
B Risiko rendah, gejala GOLD 1-2 1 10 2
banyak
C Risiko tinggi, gejala GOLD 3-4 2 <10 0-1
sedikit
D Risiko tinggi, gejala GOLD 3-4 2 10 2
banyak
Keterangan CAT: COPD Assessment Test; MMRC : Modified British Medical Research Council

4. Komorbiditas , penyakit komorbid seperti penyakit kardiovaskular, osteoporosis, depresi


dan cemas, sindrom metabolik, kanker paru, dan disfungsi otot skeletal.

TERAPI
43

Tujuan utama terapi PPOM adalah penanganan terhadap kegagalan pernapasan, oleh karena
cepat atau lambat, dalam pejalanan penyakitnya kegagalan pernapasan selalu menghantui. Maka
tujuan terapi adalah:3

1. Mencegah agar PPOM tidak makin memburuk


2. Mengatasi gangguan fungsi paru sehingga dapat mengurangi keluhan-keluhan.
3. Menigkatkan kualitas hidup penderita PPOM yang sudah cacat. Terapi harus ditujukan
pada mekanisme patogenesis dan patofisiologi PPOM, disamping pengobatan
simptomatis, pengobatan penyulit yang timbul, atau penyakit lain yang menyertai.

Tabel 6 merupakan ringkasan tujuan dan prosedur pengobatan pasien dengan COPD. Pengobatan
untuk pasien dengan bronkitis kronik dan emfisema obstruktif berupa tindakan-tindakan untuk
menghilangkan obstruksi saluran napas kecil. Meskipun kolaps saluran napas akibat emfisema
bersifat ireversibel, banyak pasien mengalami bronkospasma, retensi sekret, dan edema mukosa
dalam derajat tertentu yang masih dapat ditanggulangi dengan pengobatan yang sesuai. Yang
penting adalah berhenti merokok dan menghindari bentuk polusi udara lain, atau alergen yang
dapat memperberat gejala yang dialami. Berhenti merokok saja sering dapat mengurangi gejala
dan memperbaiki ventilasi. Infeksi harus segera diobati dan pasien yang mudah terkena infeksi
pernapasan dapat langsung diberi antibiotik profilaksis. Pasien diinstruksikan untuk segera
mencari pengobatan bila timbul gejala dispnea atau bila jumlah sputum bertambah. Strept
penumococcusoniae dan Haemophilus influenzae adalah organisme penyebab tersering.
Sehingga seringkali pilihan antibiotika yang digunakan adalah antibiotika yang dapat diterima
oleh kedua organisme tersebut. Semua pasien harus mendapatkan vaksin influenza dan
penumococcus.2

Tindakan lain untuk mengurangi obstruksi saluran napas adalah dengan memberikan hidrasi
yang memadai untuk mengencerkan sekret bronkus; ekspektoran dan bronkodilator untuk
meredakan spasme otot polos. Biasanya diberikan obat-obatan simpatomimetik seperti albuterol,
terbutalin, dan xantin (seperti aminofilin). Ipratropium bromida (Atrovent), yaiitusuatu agen
antikolergik dalam inhalasi dosis terukur, adalah bronkodilator yang efektif untuk pasien dengan
bronkitis kronik. Pasien-pasien dengan sekret yang banyak, dilakukan perkusi dan drainase
postural untuk membuang sekret yang menyumbat, yang dapat menjadi predisposisi infeksi.
Latihan bernapas dapat juga membantu. Pasien diajarkan untuk mengeluarkan napas dengan
perlahan dan tenang melalui bibir yang dikerutkan. Latihan ini mencegah kolaps bronkiolus-
bronkiolus kecil serta mengurangi jumlah udara yang terperangkap.2

Pengobatan tambahan yang penting adalah pemberian suplemen oksigen (O) kepada pasien
COPD yang mengalami hipoksia bermakna (O arteri (PaO) 55 hingga 60 mmHg atau kurang).
Aliran udara rendah dengan O sebesar 1 hingga 2 L/menit yang diberikan dengan sungkup
hidung mengalirkan O sebesar 24% hingga 28%, dan nilai tersebut cukup efektif dan dapat
ditoleransi. Beberapa studi telah memperlihatkan keuntungan efek pemberian O sebagai
44

pengobatan untuk pasien COPD. Telah diketahui bahwa pemberian O sebagai pengobatan
secara terus menerus lebih menguntungkan daripada bila O hanya di berikan selama 12 jam
pada malam hari. Beberapa efek yang paling penting adalah meringankan hipertensi pulmonal
dan kor pulmonale serta meningkatkan toleransi kerja fisik (hipoksemia menyebabkan
vasokonstriksi paru, yang akan mengarah ke hipertensi pulmonal dan kor pulmonal). Pengobatan
O juga menurunkan frekuensi polisitemia (hematokrit>50%) pada pasien COPD. Polisitemia
merupakan kompensasi dari hipoksemia kronik pada COPD, namun mengakibatkan peningkatan
viskositas darah dan memperburuk hipertensi pulmonal. Program kerja fisik seperti berjalan,
berakibat peningkatan toleransi kerja fisik dan rasa nyaman tapi tifak meningkatkan fungsi paru.2

Pengobatan pengganti dengan alfa-antitripsin (AAT) untuk penderita defisiensi AAT familial,
baru-baru ini sedang diteliti untuk menentukan apakah perjalanan penyakit tersebut dapat
berubah dengan pengobatan pengganti ini. Dasar pengobatan ini adalaah untuk menggantkan
defisiensi inhibitor protease dan mencegah destruksi proteolitik jaringan alveolar. AAT dibentuk
dari sedikit plasma manusia dan diberikan secara intravena dengan jarak seminggu atau sebulan.
Hasil awal dari pengobatan ini adalah pasien mengalami angka penurunan yang lebih rendah
pada volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV) dan angka kematian yang lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberikan pengobatan. Biaya pengobatan AAT sangat
mahal.2

Dua bentuk terapi bedah telah digunakan untuk mengobati pasien-pasien tertentu dengan COPD
berat, yaitu: bedah reduksi volume paru dan transplantasi paru. Bedah reduksi volume paru
meliputi pengangkatan bagian-bagian paru yang terlalu meluas pada pasien dengan emfisema
nonhomogen yang difus agar fungsi elastisitas rekoil dan otot diafragma membaik. Pendekatan
kedua untuk mengobati COPD adalah transplantasi paru, tetapi pendekatan ini memiliki batasan
karena terbatasnya organ-organ dari donor dan banyaknya jumlah pasien yang membutuhkan.2

Pada akhirnya, ventilasi mekanis mungkin diperlukan untuk mempertahankan penerimaan gas-
gas darah saat timbul gagal napas akut karena bersamaan dengan infeksi pernapasan atau
memburuknya penyakit.2

Tabel 6. Prosedur dan Tujuan Pengobatan COPD

Tujuan Prosedur
1. Menghindari zat-zat yang Menghentikan merokok
mengiritasi bronkus
2. Mencegah/mengatasi infeksi Antibiotik; vaksin pneumokokus dan
influenza
3. Meringankan bronkospasme Obat bronkodilator
4. Mengeluarkan sekresi bronkus Perkusi dan drainase postural; hidrasi
5. Meningkatkan keefektifan Latihan pernapasan
pernapasan
6. Mencegah/memperlambat hipertensi Pengobatan dengan oksigen aliran rendah
45

pulmonal dan kor pulmonale yang terus menerus


7. Meningkatkan toleransi kerja fisik Program kerja fisik
8. Meningkatkan protease-antiprotease Pengobatan pengganti alfa-antitripsin
9. Meningkatkan elastisitas rekoil paru Reseksi bedah

TATALAKSANA PPOK STABIL1

Pentalaksanaan PPOK dibagi menjadi terapi non-farmakologi dan farmakologi (lihat Tabel 3).
Penatalaksanaan non-farmakologi pada pasien PPOK berdasarkan penilaian risiko eksaserbasi
dan gejala, yaitu :

1. Pasien kelompok A : smoking cessation (konseling, terapi pengganti nikotin), aktivitas


fisik.
2. Pasien kelompok B, C , D : smoking cessation, rehabilitasi pulmonal, aktivitas fisik.

Tabel 3. Terapi Farmakologi Pasien PPOK Stabil

Grup Rekomendasi Pilihan Pilihan Alternatif Terapi Lainnya yang


Pasie Pertama Memungkinkan
n
A - Antikolinergik kerja - Antikolinergik kerja - Teofilin
cepat lama
- Atau B2 Agonis - Atau B2 agonis
kerja cepat kerja lama
- Atau B2 agonis
kerja cepat +
antikolinergik kerja
cepat
B - Antikolinergik kerja - Antikolinergik kerja - B2 agonis
lama lama + B2 agonis kerja cepat
- Atau B2 agonis kerja lama dan/atau
kerja lama antikolinergik
kerja cepat.
- Teofilin
C - Kortikosteroid - Antikolinergik kerja - B2 agonis
inhalasi + B2 agonis lama+ B2 agonis kerja cepat
kerja lama kerja lama dan/ atau
- Atau antikolinergik - Atau antikolinergik antikolinergik
kerja lama kerja lama + kerja cepat
inhibitor - Teofilin
fosfodiesterase-4
(PDE-4)
- Atau B2 agonis
kerja lama +
inhibitor PDE-4
46

D - Kortikosteroid - Kortikosteroid - Karbosistein


inhalasi +B2 agonis inhalasi + B2 agonis - B2 agonis
kerja lama kerja lama+ kerja cepat
- Dan/atau antikolinergik kerja dan/atau
antikolinergik kerja lama antikolinergik
lama - Atau steroid inhalasi kerja cepat
+ B2 agonis kerja - Teofilin
lama + inhibitor
PED-4
- Atau antikolinergik
kerja lama + B2
agonis kerja lama
- Atau antikolinergik
kerja lama +
inhibitor PED-4

TATALAKSANA PPOK EKSASERBASI1

Kriteria eksaserbasi PPPOK antara lain sputum berubah warna atau semakin banyak dan sesak
yang memberat. Gejala dapat disertai batuk semakin sering, keterbatasan aktivitas, gagal napas
acute on chronic, hingga penurunan kesadaran.

Eksaserbasi akut dapat diklasifikasikan 3 gejala kardinal diatas :

1. Eksaserbasi berat : terdapat 3 gejala kardinal.


2. Eksaserbasi sedang : terdapat 2 dari 3 gejala kardinal.
3. Eksaserbasi ringan : terdapat 1 dari 3 gejala kardinal ditambah salah satu dari kriteria
tambahan, antara lain infeksi saluran napas atas >5 hari, demam tanpa sebab lainya,
peningkatan batuk, mengi, peningkatan laju pernapasan atau frekuensi nadi >20 % nilai
dasar.

Penyebab tersering adalah infeksi saluran pernapasan oleh virus atau bakteri. Penyebab lainnya
dapat berupa pneumonia, gagal jantung, aritmia, emboli paru, asupan nutrisi buruk, aspirasi,
polusi udara, pneumotoraks atau penyebab sistemik (DM atau gangguan elektrolit).

Penatalaksanaan yang dilakukan, yaitu :

1. Penilaian awal (derajat kesadaran).


2. Pemeriksaan penunjang : analisis gas darah, darah perifer lengkap, foto toraks, EKG.
Spirometri tidak direkomendasikan untuk dilakukan ketika kondisi akut.
3. Pemberian oksigen
4. Bronkodilator : B2 agonis kerja cepat dengan/tanpa antikolinergik kerja cepat (lihat tabel
4):
47

o Nebulizer: agonis B2 kerja cepat (salbutamol) + antikolinergik (2,5 +0,5 mg),


lama kerja : 4-8 jam.
o Xantin IV (bolus dan drip).
Contoh : aminofilin (sediaan oral: 200 mg, IV: 240 mg, lama kerja 4-6 jam)
teofilin (oral: 100-400 mg, lama kerja bervariasi hingga 24 jam).
5. Kortikosteroid sistemik
Pemberian ini akan mempercepat waktu pemulihan; meningkatkan fungsi paru dan
hipoksemia arteri; menurunkan risiko relaps, kegagalan terapi, dan durasi rawat inap.
Dianjurkan pemberian prednison 30-40 mg selama 10-14 hari. Diberikan PO untuk
eksaserbasi ringan sedang atau IV untuk eksaserbasi berat. Pemberian kortikosteroid
sebanyak <2 minggu untuk mencegah efek samping.
6. Antibiotik
Antibiotik diindikasikan jika terdapat salah satu gejala kardinal atau pada pasien yang
membutuhkan ventilasi mekanik. Pemilihan regimen antibiotik bergantung dari data
prevalensi bakteri setempat. Dianjurkan untuk menggunakan antibiotik spektrum sempit
jika belum memiliki riwayat penggunaan antibiotik sebelumnya (amoksisilin 500 mg
3x/hari PO 3-14 hari atau doksisiklin 100 mg 2x/hari PO 3-14 hari) atau spektrum luas
jika diketahui terdapat resistensi antibiotik (amoksisilin/klavulanat 875 mg 2x/hari atau
500 mg 1x/hari PO 5 hari atau levofloksasin 500 mg 1x/hari PO 5 hari). Dapat diberikan
secara intravena jika dirawat di rumah sakit.
7. Terapi suportif
Tergantung dari kondisi pasien, contoh: pemberian diuretik, bila ada resistensi cairan.
Tabel 4. Obat dalam Penatalaksanaan PPOK

Golongan Jenis Obat Sediaan Lama Kerja


Antikolinergik Ipratropium Nebulizer: 0,25-0,5 6-8 jam
bromida mg.
Oral : -
IDT: 20-40 g
Agonis B2 kerja Salbutamol IDT: 100-200 g 4-6 jam
singkat Nebulizer: 2,5-5 mg
Oral: 2-4 mg
Fenoterol IDT: 100-200 g 4-6 jam
Nebulizer: 0,25-2 mg
Oral: 0,05% (sirup)
Terbutalin IDT: 250-500g 4-6 jam
Nebulizer: 5-10 mg
Oral: 2,5-5 mg
Agonis B2 kerja Formoterol IDT: 4,5-12g 12 jam
lama Salmeterol IDT: 50-100 g 12 jam
Metilsantin Aminofilin Oral: 200 mg 4-6 jam
Injeksi: 240 mg
Teofilin Oral: 100-400 mg Variasi s/d 24
jam
48

Kombinasi Salbutamol + IDT: 75 + 15 g 4-8 jam


Ipratropium Nebulizer: 2,5 + 0,5
mg
Fenoterol + IDT: 200 + 20 g 4-8 jam
Ipratropium
Budesonid + 80/160 +4,5 g 12 jam
Formoterol
Kortikosteroid Budesonid IDT: 100, 200, 400 g
Nebulizer: 0,5 mg
Oral: -
Flutikason Nebulizer: 0,5 mg
Oral: -
Beklometason IDT: 100, 200 g
Oral: -
Kortikosteroid Prednison Oral: 5-30 mg
sistemik Metilprednisolon IDT: 10-1000 g
Nebulizer: -
Oral: 4, 8, 16 mg
Injeksi: 125 mg

INDIKASI RAWAT INAP


Peningkatan intensitas gejala (misal, timbul saat tidak beraktivitas), PPOK derajat berat, timbul
tanda fisik yang baru (sianosis, edema), tidak ada perbaikan dari penatalaksanaan inisial, terdapat
komorbiditas serius, seringnya terjadi eksaserbasi, usia lanjut, dan tidak sanggup untuk
melakukan perawatan di rumah.1
INDIKASI RAWAT ICU1
- Sesak berat setelah tatalaksana di IGD/ruang rawat
- Penurunan kesadaran, kelemahan otot respirasi, hemodinamik tidak stabil
- Setelah pemberian oksigen, terjadi hipoksemia atau PaO 50 mmHg atau PaCO >50
mmHg, memerlukan ventilasi mekanis
- Perlu ventilasi mekanis
GAGAL NAPAS AKUT (GNA) PADA PPOM
Patofisiologi:3
Mekanisme penting yang mendasari GNA pada PPOM:
1. Maldistribution of inspired air relative to perfusion oleh karena sebagian dari udara
ventilasi tidak dimanfaatkan dan terbuang sebagai ventilasi ruang rugi sehingga terjadi
hioksemia arteri.
2. Obstruksi berat, yang memungkinkan ventilasi alveolar yang adekuat dengan akibat
terjadi hipoventilasi dan hipoksemia.
Gejala
Batasan GNA yang umum digunakan adalah memakai kriteria analisa gas darah, yaitu keadaan
PaO 50 mmHg dan PaCO 50 mmHg yang dikenal dengan istilah rule of fifty.
49

Dengan demikian gejala GNA pada PPOM dapat dikembalikan pada keadaan hipoksemia dan
hiperkapnia.3
Gejala akibat hipoksemia meliputi:
Impaired judgement, loss of fine motor coordination, rasa cemas, disorientasi, dizziness,
vasokonstriksi, takikardi, bradikardi, hipertensi atau hipotensi. Pada PaO 45 mmHg gejala
klinik akan tampak lebih jelas lagi dengan terjadinya hipertensi pulmonal, peningkatan cardiac
output, adverse myocardial performance, gangguan faal ginjal yang disertai retensi Na,
gangguan SSP serta kecenderungan metabolisme anaerob.3
Gejala akibat hiperkapnia antara lain:

Sakit kepala, mengantuk sampai koma, edema papil, takikardia, hipertensi, vasodilatsi kulit,
conjungtival injection, sembab dan diaphoresis.3

Faktor Predisposisi GNA pada PPOM, antara lain:3

1. Infeksi saluran napas : paling utama


2. Gagal jantung, infark miokard
3. Pemakaian sedativa, narkotika
4. Emboli paru
5. Pneumotoraks
6. Rokok, polusi udara
7. Pemberian oksigen yang tidak tekontrol
8. Anemia
9. Pembedahan, terutama toraks dan abdomen bagian atas

Setiap faktor yang menambah beban pernapasan, menekan respiration drive menganggu
kapasitas penyampaian O dan dapat menyebabkan penderita PPOM jatuh ke dalam GNA. Hal
ini dapat diterangkan melalui kapasitas cadangan ventilasi yang mengecil. Dalam keadaan
normal, Hb mampu membawa 1 liter O/menit, sedangkan kebutuhan basal jaringan akan O
hanya 250 ml/menit.3

Namun pada penderita PPOM cadangan kemampuan ini dapat kecil sekali bahkan negatif.
Pemeriksaan PPOM sudah menunjukkan gangguan faal paru pada pemeriksaan spirometri rutin,
sekalipun gejala klinik maupun radiologik masih belum ada. Sebagai contoh, penderita emfisema
baru menunjukkan gejala klinik bila lebih dari 20% paru terkena.3

Infeksi saluran pernapasan umumnya melibatkan Streptococcus (Diplococcus) pneumoniae dan


Haemophillus influenzae. Pada 50% kasus, infeksi virus dan atau mycoplasma mendahului
infeksi bakteri. Mengenai sedativa dikatakan bahwa tidak ada dosis aman untuk penderita
PPOM, khlor diazepoxide 3 dd 10 mg akan mengakibatkan penurunan FEV dengan penurunan
PaO, hal yang sama juga berlaku untuk diazepam. Disamping itu indikasi pemberian sedativa
50

pada PPOM sangat diragukan, mengingat bahwa kelainan tingkah laku dapat disebabkan
hipoksemia.3

Diagnosis GNA pada PPOM

Keluhan utama adalah sesak napas yang bertambah berat. Namun oleh karena sesak merupakan
suatu perasaan subjektif penderita, batasan yang diberikan ATS berbunyi : Deviation from
blissfulstate of unawareness of respiration inwich the healthy among us pass our lives. Evaluasi
secara sistematik diperlukan untuk mencapai diagnosis:3

1. Kecurigaan akan GNA pada PPOM: didapatkan pada anamnesa, keluhan saluran napas,
sputum yang purulen, sesak yang progresif dalam waktu yang relatif singkat, adanya
sembab, dapat pula disertai gejala dan keluhan yang sesuai dengan hipoksemia dan
hiperkapnia.
2. Ditunjang pemeriksaan fisik, foto toraks serta laboratorium rutin.
3. Analisa gas darah: merupakan satu-satunya cara untuk menentukan adanya serta derajat
hipoksemia danhiperkapnia. Hanya mengandalkan pada gejala klinik tanpa analisa gas
darah pun dapat menyesatkan.
4. Pemeriksaan faal paru
5. Pemeriksaan lain menurut kebutuhan: bronkoskopi serat optik (FOB), angiografi

Pengobatan GNA Pada PPOM3

Dapat dibagi dalam dua bagian utama serta satu penunjang:

1. Pemberian oksigen terkontrol


2. Penanganan:
2.1. Terhadap bronkospasme.
2.2. Adanya infeksi saluran napas.
2.3. Gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit.
2.4. Adanya sekresi lendir pada jalan napas.
2.5. Penyulit kardiologik
2.6. Pemberian steroid
3. Penunjang : pada emboli paru, pada stress ulcer, nutrisi.

1. Pemberian Oksigen Terkontrol


Merupakan tindakan terpenting untuk GNA pada PPOM, bahkan O dapat dianggap
sebagai obat oleh karena itu penggunaan O harus dengan dosis tepat. Pemberian terlalu
sedikit tidak bermanfaat, namun pemberian terlampau banyak, mengundang bahaya CO
narkosis. CO narkosis adalah suatu keadaan hiperkapnia progesif dengan asidosis yang
disebabkan oleh penurunan stimulus hipoksia untuk pernapasan. Adapun dosis O yang
tepat dirumuskan sebagai jumlah O yang tidak menyebabkan CO narkosis, namun
kebutuhan jaringan akan O terpenuhi.
51

Pada penderita GNA dengan PPOM tujuan pemberian O adalah untuk mencapai PaO
sekitar 60 mmHg, yaitu suatu keadaan dimana sejumlah besar O akan dapat diberikan
pada jaringan berhubung dengan sifat O seperti yang digambarkan pada kurva disosiasi
oksigen. Kecuali CO narkosis pemberian oksigen berlebih juga dapat memberikan efek
toksik sebagai akibat langsung dari terbentuknya radikal bebas dari oksigen. Lodato
menekankan bahwa oksigen bersifat seperti pisau bermata dua: both, life promoting and
life destroying.3

Pada kurva disosiasi oxy-Hb, fase ginjal terjadi pada PaO 60 mmHg, dan pada PaO 65
mmHg terkandung bahaya potensial, yaitu supresi terhadap stimulus hipoksia untuk
pernapasan. Kecuali dosis, cara pemberian juga penting. Sebaiknya O diberikan melalui
nasal pronge atau venturi mask. Nasal pronge mempunyai keuntungan antara lain
memungkinkan penderita batuk, makan, minum tanpa perlu melepaskannya. Flow rate O
yang dianjurkan untuk nasal pronge 2-4 liter/menit secara terus menerus. Flow rate 5-6
liter/menit akan mengakibatkan pengeringan mukosa. Pemberian O secara interniten
tidak dianjurkan. Hal yang disebabkan oleh storage capacity tubuh berbeda untuk CO
dan O, sehingga pemberian O secara
intermiten, pada saat O dihentikan, PaO
cepat turun, sedangkan PaCO tetap
tinggi. Sejalan dengan ini, bila terjadi CO
narkosis oleh karena pemberian berlebih,
maka O harus diturunkan secara
bertahap.3

Gambar 7. Oxy-Hb dissociation curve.

Penggunaan ventilator mekanik (IPPB) sedapat mungkin dihindari berhubung intubasi


mengurangi kemampuan untuk mengeluarkan sekret melalui batuk. Bahaya komplikasi
antara lain: infeksi nosokomial, pneumotoraks, serta kesulitan penyapihan.
52

Indikasi penggunaan hanyalah apabila dengan pemberian O terkontrol keadaan klinis


tetap memburuk. Tekanan positif ventilator hendaknya tidak melebihi 15 mm HO.3

2. Penanganan Presipitasi Reversibel Faktor GNA Pada PPOM


2.1. Terhadap bronkospasme
Pemberian bronkodilator merupakan andalan utama untuk mengatasi
bronkospasme namun haruslah diingat bahwa tidak seampuh pada asma bronkial. Hal
ini dapat dimengerti oleh karena PPOM terdapat berbagai faktor yang mengakibatkan
obstruksi jalan napas antara lain hipertrofi kelenjar mukus, peningkatan sekret,
penebalan mukosa, loss of airway support dengan akibat expiratory airway collaps
karena hilangnya elastic recoil paru, serta fibrosis jalan napas perifer. Berdasarkan
titik tangkapnya, bronkodilator dapat dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu:
golongan derivat xanthine, golongan simpatomimetika dan golongan antikolinergik.3
2.1.1. Golongan xanthine
Merupakan bronkodilator pilihan utama GNA pada PPOM. Dosis
loading dose: 5-6 mg/kg BB i.v pelan (10-20 menit). Dosis pemeliharaan:
dianjurkan menggunakan dosis yang lebih rendah daripada yang umum
digunakan pada status asmatikus (0,9 mg/kg BB/jam) yaitu: pada bukan
perokok = 0,5 mg/kg BB/jam; pada bukan perokok + gagal jantung = 0,2
mg/kg BB/jam, sedangkan pada perokok = 0,8 mg/kg BB/jam. Hal ini
berhubungan dengan memanjangkan waktu paruh xanthine pada penderita
PPOM, sebagai akibat kelainan faal hati atau jantung yang sering menyertai
penderita PPOM. Bila fasilitas memungkinkan, maka penentuan kadar
aminofilin serum amat dianjurkan. Kadar optimal adalah 10-20 g/ml.
Keuntungan tambahan: mempunyai efek stimulasi pernapasan, hal ini terbukti
dengan adanya peningkatan minute ventilation sebesar 10-25%, efek inotropik
dan kronotropik yang positif serta mempuyai efek diuretika. Kerugiannya
dapat menimbulkan aritmia jantung.3
2.1.2. Golongan simpatomimetik
Walaupun dapat diberikan peroral atau parenteral, namun penggunaan
paling aman dan efektif adalah pemberian perinhalasi. Mungkin inilah
sebabnya mengapa laporan penggunaan golongan ini per oral atau parenteral
untuk GNA pada PPOM jarang didaptkan di kepstakaan. Secara teoritis
golongan ini bermanfaat, setidaknya oleh karena sifat sinergisme dengan
golongan xanthine.3
2.1.3. Golongan antikolinergik
Dulu pernah amat populer, namun pada 60an banyak ditinggalkan dengan
alasan mengentalkan sekret. Akhir-akhir ini dengan ditemukannya derivat
baru atropin antara lain ipratropium bromida, golongan ini mendapatkan
perhatiannya kembali. Dikatakan bahwa dalam keadaan asidosis ia masih
dapat bekerja, sedangkan golongan xanthine, beta agonis tidak dapat bekerja
dalam suasana asam. Chapman menyatakan bahwa antikolinergik inhaler 4
53

kali/hari memberikan manfaat yang paling besar dengan efek samping yang
paling sedikit, sehingga merupakan pilihan utama sebagai bronkodilator.3
2.2. Adanya infeksi saluran napas
Pada umumnya community acquired infection saluran napas, melibatkan
Streptococcus (Diplococcus) pneumonia dan Haemophilus influenza yang dapat
diatasi dengan ampisilin atau amoksisilin, tetrasiklin, trimetoprim-sulfametoksazol.
Pada hospital acquired infection kuman gram negatif biasanya ikut berperan.
Antibiotika yang dipergunakan sesuai dengan gambaran kepekaan antibiotika untuk
rumah sakit bersangkutan. Pada aspirasi pneumonia biasanya kuman-kuman anaerob
ikut berperan.3
2.3. Terhadap gangguan elektrolit dan keseimbangan asam basa
Pada kurva disosiasi oxy-Hb, pH mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap
oksigenasi jaringan. Bila pH 7,20 umumnya disertai kematian penderita. Asidemia
dapat dikoreksi dengan pemberian bikarbonat parenteral, dengan patokan
meningkatkan Ph diatas 7,20 namun tidak melampaui 7,35. Pemberian bikarbonat
berlebihan akan mengakibatkan alkalosis metabolik serta penurunan ventilatory drive.
Biasanya 88-250 mEq bikarbonat sudah mencukupi. Pada PPOM dengan hiperkapnia
juga didapatkan penurunan total K tubuh sebagai akibat pengaruh nutrisi yang jelek,
diuretika atau steroid. Rendahnya K dapat memperberat GNA melalui mekanisme
kelemahan otot serta peningkatan iritabilitas jantung. Pemberian KCL (oral/i.v.) dapat
dilakukan, bila faal ginjal memadai.3
2.4. Adanya sekret lendir pada jalan napas
Usaha pengenceran sekret melalui pemberian mukolitik/proteolitik masih
kontroversial, usaha-usaha untuk mengubah ciri-ciri sputum memudahkan clearance
tidak selalu bermanfaat, berhubung clearance sputum tidak hanya tergantung pada
faktor-faktor mukus (depth and rheology) tetapi juga tergantung faktor silia
(frekuensi, amplitudo, periciliary fluid depth dan viscositas). Bahkan banyak sarjana
saat ini umumnya berpendapat bahwa air merupakan mukolitik yang paling efektif.
Fisioterapi, seperti juga mukolitik, diragukan kegunaannya pada PPOM. Namun
apabila sekret banyak, tidak ada salahnya untuk dicoba, atas dasar pemikiran bahwa
perkusi dada serta postural drainase berpotensi membebaskan jalan napas,
meringankan pekerjaan pernapasan dan perbaikan distribusi ventilasi.
2.5. Penyulit kardiologi
Penyulit kardiologi utama PPOM adalah gagal jantung dan aritmia.
Gagal jantung:
Mempunyai etiologi yang multifaktorial. Dari skema dapatlah dilihat bahwa
penanganan terpenting adalah mengatasi hipoksia alveolar. Pemberian digitalis dapat
dilakukan apabila stres otonomik akibat hipoksia telah stabil dan terkoreksi. Walapun
jantung yang hipoksia lebih peka terhadap aritmia serta dinding ventrikel kananyang
relatif tipis secara potensial tidak banyak memberikan keuntungan bila dibandingkan
dengan ventrikel kiri, pengalaman klinik menunjukkan bahwa digitalis dapat pula
memperbaiki fungsi ventrikel kanan. Dosis digitalis tidak berbeda dengan keadaan
54

payah jantung umumnya. Diuretika dapat diberikan, sedangkan argumentasi bahwa


diuretika akan mengakibatkan pengentalan sekret tidaklah berdasar.3
Phlebotomi jarang sekali digunakan, namun bila eritrositosis sekunder hebat (Hb>19
g%, PVC > 60%), phlebotomi dapat dipertimbangkan.
Aritmia:
Didapatkan pada 50-80% kasus GNA pada PPOM. Pada PaO <37 mmHg, 85%
penderita akan mengalami ectopic venticular beat yang acap kali menjurus ke aritmia
ventrikular atau supraventrikular dan biasanya mempunyai prognostik yang jelek.
Suatu hal yang perlu diingat apabila menggunakan IPPB yaitu alkalosis respiratorik,
lebih banyak memberikan aritmia daripada asidosis respiratorik sehingga
hiperventilasi penderita dengan IPPB haruslah dihindari. Demikian pula hipokalemia,
theophyline, intoksikasi digitalis, beta-2 agonis non selektif, meningkatkan
kemungkinan terjadinya aritmia.
Adanya sembab pada PPOM bukan selalu merupakan tanda kegagalan jantung.
Sembab pada PPOM sering refrakter terhadap digitalis dan diuretika, namun cepat
menghilang bila hipoksemia terkoreksi dan PaCO menurun.
Adapun mekanismenya adalah hiperkapia menyebabkan gangguan ekskresi air dan
Na lewat, serta peningkatan absorbsi bikarbonat oleh ginjal, demikian pula PaO 40
mmHg akan mengakibatkan penurunan aliran darah ginjal.3
2.6. Pemberian steroid
Penggunaan kortikosteroid pada PPOM masih kontroversial, penggunaan jangka
panjang dilaporkan dapat bermafaat pada sebagian penderita, namun tidak sedikit
peneliti melaporkan hasil negatif.3
Dosis sterois yang dianjurkan yaitu :
Methyl prednisilone 0,5 mg/kg BB/6 jam selama 72 jam.
Mekanisme kerja steroid yang dianggap menguntungkan pada PPOM umumnya dan
asma khususnya adalah :
a. Mempengaruhi sintesa dan pengeluaran mediator yang menimbulkan inflamasi :
- Menurunkan sintesa dan pengeluaran histamin.
- Menurunkan sintesa prostaglandin dan mediator lainnya.
- Menghambat pengeluaran asam arakhidonat dari membran fosfolipid.
b. Mempengaruhi aktivitas dan jumlah leukosit.
c. Menstabilkan membran lisosome.
d. Meningkatkan efek terhadap katekolamin :
- Merangsang pembentukan dan aktivitas cyclic AMP.
- Merangsang sintesa adrenergik beta.
- Menghambat fosfodiesterase.
e. Menurunkan efek rangsangan kolinergik melalui inhibisi GMP

Namun di pihak lain, terdapat kerugian potensial dari kortikosteroid yang meliputi
hipokalemia, retensi natrium, gangguan kejiwaan, perdarahan lambung.

3. Tindakan penunjang
Pada emboli paru:
55

Sebagai profilaksis dapat diberikan heparin dosis rendah (5000/8 jam).

Pada stress ulcer :


Perdarahan lambung sebagai manifestasi stress ulcer terjadi padaa 18-25% kasus, maka
pemberian antasida sebagai profilaksis amat dianjurkan.

Nutrisi:
Pemberian nutrisi melalui sonde lambung yang berdiameter kecil lebih menguntungkan
daripada mengandalkan pemberian infus. Pemberian glukosa per infus, setelah beberapa
hari dapat menimbulkan hipofosfatemia yang mempunyai pengaruh kurang
menguntungkan pada oksigenasi jaringan, serta membuat penderita lebih peka terhadap
keradangan, melalui efek depresi terhadap mekanisme pemusnahan bakteri, yaitu
menghambat daya kemotaksis dan fagositosis PMN.

Prognosis GNA pada PPOM


Tergantung dari penangannya, prognosis jangka pendek GNA pada PPOM mempunyai
mortalitas 5-30%, namun dalam jangka panjang, kurang dari 50% kasus akan hidup 3
tahun sesudah serangan GNA pada PPOM.3

GAGAL NAPAS FASE LANJUT PPOM

Klasifikasi

PPOM mempunyai kecenderungan progresif dan memburuk walaupun diberi obat. Oleh karena
itu sebagian besar penanganannya bersifat suportif-simptomatis. Reversibilitas obstruksi jalan
napas biasanya hanya terbatas 10-20% dari FEV-nya.3

PENATALAKSANAAN GAGAL NAPAS FASE LANJUT PADA PPOM

Mengingat perjalanan penyakit yang progresif, maka perlu sekali dicanangkan tujuan
penanganan yang realistik yaitu : perbaikan kualitas hidup melalui peningkatan toleransi latihan,
peningkatan kemampuan aktivitas sehari-hari, mengurangi frekuensi masuk rumah sakit. Dengan
kata lain tujuan penanganan adalah rehabilitasi dari penderita PPOM sesuai dengan pembatasan
akibat kelainan faal paru, status psikososial dan ekonomi, premorbid personality, kemampuan
menyesuaikan diri terhadap penyakit kronis, progresif dan kecacatan melalui pengendalian dan
pengurangan sejauh mungkin gejala dan gangguan pernapasan, mengajarkan penderita
bagaimana mencapai kapasitas optimal untuk kegiatan sehari-hari, serta menghambat
progresifitas penyakit sedapat mungkin.3

PROGRAM RESPIRATORY CARE COMPREHENSIVE3


56

1. Usaha-usaha umum pencegahan/pengurangan progresifitas penyakit:


1.1. Mengurangi paparan iritan lingkungan : asap rokok, polutan tempat kerja
misalnya debu dan zat kimia, udara dingin.
1.2. Berat badan berlebih.
1.3. Predisposisi genetik.
1.4. Nutrisi.
2. Farmakologi.
3. Terhadap sekret jalan napas, fisioterapi dan latihan.
4. Oksigen.
5. Terhadap komplikasi kardiologi

Rokok
Rokok merupakan faktor risiko PPOM nomor satu. Pengaruh polusi udara pada PPOM
tidak seberapa bila dibandingkan dengan rokok. Polusi udara terutama berperan memperberat
PPOM pada perokok, tetapi pada bukan perokok hal ini kurang berperan, walaupun di inggris
peran asap diesel banyak dipermasalahkan. Teori hubungan rokok-PPOM yang saat ini
digandrungi adalah peran keseimbangan oksidan-anti oksidan dalam pemeliharaan integritas
paru. Oksidan berkemampuan merusak sel parenkim serta jaringan ikat dari ekstraseluler,
melalui sifatnya sebagai bahan kimia yang elektrofilik reaktif. Asap rokok dapat meningkatkan
kadar oksidan melalui peningkatan sel radang antara lain makrofag alveolar meningkat 2-4 kali,
netrofil meningkat 3-5 kali, hal yang mengakibatkan bertambahnya kadar superoksida dan
hidrogen peroksida. Disamping itu asap rokok sendiri juga bertindak sebagai oksidan serta
menekan aktifitas silia, dan dapat mengakibatkan hipertrofi mukus. Pemeriksaan FEV secara
periodik pada interval tertentu, dapat digunakan sebagai bahan persuasi penderita untuk
menghentikan kebiasaan merokok, atas dasar kesadaran bahwa merokok makin memperburuk
FEV secara progresif. Penelitian jangka panjang Fletcher dkk. mendapatkan bahwa apabila
penghentian kebiasaan merokok pada PPOM dilaksanakan cukup dini, kemerosotan faal paru
dapat dikurangi.3

Polutan di tempat kerja


Bermacam-macam debu, zat kimia dan serat dalam lingkungan kerja mungkin empunyai
pengaruh yang merugikan pada sistem pernapasan. Undang-undang kesehatan kerja telah
menetapkan batas-batas yang diperbolehkan untuk masing-masing bahan polutan tersebut.
Namun, persoalannya adlaah penderita dengan saluran napas yang hipereaktif akan merasakan
bahwa debu atau zat-zat kimia dalam batas normal pun memperburuk sesaknya. Faktor polutan
tempat kerja ini, biasanya akan makin tampak peranannya apabila penderita merokok.3

Polutan sebagai hasil sampingan bahan bakar


Minyak tanah, batu bara, bensin, asap diesel, baik di dalam ataupun di luar rumah banyak
menimbulkan permasalahan sebagai faktor risiko PPOM. Bahkan Moyle dari Inggris
berpendapat bahwa asap diesel amat berbahaya dan mungkin lebih jahat daripada asap rokok.
Pendapat ini didasari studi perbandingan antaa Selandia Baru dan Inggris, dimana tingkat
57

konsumsi rokok kurang lebih sama, tetapi polusi asap diesel jauh lebih hebat di Inggris. Bahan
benzopyrene adalah zat yang terkandnung di dalam asap diesel yang menyebabkan PPOM.3
Udara Dingin
Mungkin berperan pada PPOM melalui peningkatan reaktivitas saluran napas penderita
bronkitis kronis.3
Berat Badan yang Berlebihan
Obesitas merupakan problem pada bronkitis kronis, berhubung otot-otot pernapasan
harus bekerja lebih keras, diafragma terdorong ke atas dan menekan paru bagian bawah,
sehingga mengakibatkan gangguan keseimbangan ventilasi perfusi, oleh karena paru bagian
bawah masih tetap mendapatkan airan darah.3
Predisposisi Genetik
Dikatakan bahwa apabila dalam keluarga didaptkan riwayat penyakit saluran napas
kronis terutama emfisema, maka intervensi dini seperti berhenti merokok dan sebagainya, harus
benar-benar dilakukan. Hal ini mengingat adanya kelainan defsiensi alfa-1 antitripsin yang
diturunkan secara resesif autosomal. Alfa -1 antitripsin menghalangi perusakan parenkim paru
oleh protease yang berasal dari bakteri maupun leukosit. Bila sistem genetika dinamakan Pi
(protease inhibtor), Pi dan H menghasilkan fenotip MM dan MZ; MM adalah normal,
sedangkan ZZ defisiensi berat. Pada fenotip ZZ: prevalensi PPOM 15 kali populasi normal, serta
70-80% fenotip ZZ ini akan menderita PPOM biasanya dalam bentuk panlobular emfisema.3
Nutrisi
Penderita dengan PPOM mempunyai banyak problem nutrisi, biasanya didapatkan
penurunan berat badan, terutama pada penderita panlobular emfisema. Hal ini antara lain oleh
karena kerja pernapasan yang meningkat, anoreksia sebagai akibat rasa sesak, air swallowing,
rasa mual oleh karena obat. Insiden tukak lambung yang meningkat sebagai akibat peningkatan
sekresi asam lambung dalam usaha kompensasi asidosis melalui sekresi gastrointestinal HCl.3

Anjuran diet pada PPOM:3


a. Tinggi protein, dalam porsi kecil tapi sering.
b. Banyak minum.
c. Kurangi garam.
d. Hindari obesitas.
e. Hindari makanan yang merangsang sekresi sekret : cokelat, gorengan, cream.

Bronkodilator dan Steroid


Pemberian bronkodilator pada PPOM tidak memberikan efek reversibilitas obstruksi
jalan napassebaik pada asma bronkial, namun perbaikan FEV sebesar 10-20% masih dalam
batas-batas realistik. Keterbatasan reversibilitas ini disebabkan adanya penyebab multifaktorial
pada kebanyakan penderita PPOM antara lain hipertropi kelenjar mukus, sekret, penebalan
mukosa, loss of airway support fibrosis jalan napas perifer dan lain-lain.3
Pemberian bronkodilator jangka panjang baik berdiri sendiri maupun dalam rangka
pengobatan komprehensif, tidak terbukti memperpanjang survival. Namun dapat mengurangi
58

gejala antara lain batuk dan sesak pada sebagian penderita. Pengukuran spirometer pada interval-
interval tertentu amat membantu, baik untuk keperluan prognostik maupun motivasi penderita.
Penurunan FEV lebih dari 40 ml/tahun pada usia lebih dari 30 tahun menandakan bahwa
penyakit berjalan progresif. Penurunan yang sesuai dengan proses penuaan adalah kurang dari 30
ml/tahun untuk usia diatas 30 tahun. Penggunaan bronkodilator pada PPOM dapat dibagi dua
tahap:
Tahap 1. Theophyline oral dan beta 2 agonis perinhalasi.

Tahap 2. Bila respon tahap 1 kurang memuaskan :

Dilakukan trial kortikosteroid dan mungkin pula derivat atropin perinhalasi.

Pemakaian trial kortikosteroid:

a. Klinis PPOM (+) dengan FEV/VC < 60%.


b. Respons klinis pengobatan tahap 1 tidak memuaskan.
c. Spirometer sebelum trial, dilakukan sebelum dan sesudah inhalasi beta 2 agonis.
d. Prednison 40 mg tiap pagi, selama 2-4 minggu, sementara terapi tahap 1 tetap
dipertahankan.
e. Ulangi pemeriksaan spirometri.

Bila didapatkan perbaikan FEV lebih dari 15% baik sebelum atau sesudah pemakaian
bronkodilator, kortikosteroid dilanjutkan. Diusahakan dosis serendah mungkin yang masih
efektif, bila mungkin dengan cara pemberian selang sehari (alternating day) atau dengan
beclomethasone per inhalasi. Bila perbaikan kurang dari 15%, steroid dihentikan dengan cara
tapering off. Pemberian steroid ini dapat dikombinasikan dengan pemberian derivat atropin
perinhalasi.3

Bila fasilitas pemeriksaan faal paru tidak ada, maka suatu pegangan untuk memperkirakan
keberhasilan trial kortikosteroid adalah: makin menyerupai patofisiologi asma, makin besar pula
kemungkinan adanya respons terhadap steroid, antara lain adanya wheezing, terutama bila
wheezing kurang dari 10 tahun, adanya atopi, eosinophil darah atau sputum meningkat.3

Profilaksis Antibiotika

Profilaksis antibiotika dikatakan dapat mengurangi berat-ringannya suatu eksaserbasi,


namun tidak berpengaruh pada jumlah kejadian eksaserbasi. Haruslah diingat bahwa infeksi
virus atau mikoplasma memberi predisposisi untuk infeksi bakterial. Sehingga infeksi
virus/mikoplasma pada PPOM sebaiknya diberikan payung antibiotika. Berhubung kuman yang
paling sering terlibat dalam eksaserbasi ini adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus
influenza, maka obat-obatan yang bermanfaat antara lain ampisilin/amoksisilin, tetrasiklin,
trimetoprim-sulfametoksazol.3
59

Sekret Jalan Napas, Fisioterapi dan Latihan


Sekret merupakan masalah, berhubungan dengan rangsangan batuk yang menyebabkan
kelelahan dna memberi beban psikososial. Dapat dibedakan dua macam tindakan:3
a. Mengurangi produk sekret.
b. Meningkatkan eliminasi sekret.
Mengurangi produk sekret, terutama berpijak pada pengurangan iritasi, yang paling
penting adalah rokok. Pengobatan post nasal drip dan reflux esofageal juga termasuk tindakan
pengurangan iritasi. Peningkatan eliminasi sekret atau program higiene bronkus meliputi
fisioterapi dada. Hal ini meskipun kontrovesial, namun pada penderita dengan riak yag banyak,
sudah sepatutnya dicoba. Drainase postural dan perkusi dada dilakukan hingga batuk terkendali
sesudah inspirasi dalam, tidak lagi menghasilkan sputum ataupun ronki yang jelas. Pemberian
mukolitik dan ekspektoransia juga kontroversial dan umumnya para sarjana sependapat bahwa
minum air adalah mukolitik yang paling efektif, walaupun pendapat ini sebenarnya tidak
berdasarkan dokumentasi ilmiah bahwa minum banyak air akan mengencerkan sekret.3

Latihan
Latihan yang paling praktis adalah jalan kaki (12 menit), bila mempergunakan treadmill
atau ergocycle hendaknya mencapai 50-70% dari maximal achievable exercise tolerance. Latihan
lain yang dianjurkan adalah latihan pernapasan (30 menit) yaitu ekspirasi panjang melalui pursed
lip ditambah penggunaan otot abdominal secara sadar (voluntary). Memperkuat otot napas
ispirator juga dapat dilakukan melalui cara bernapas dengan menggunakan alat yang lubang
masuknya dapat diatur (adjustable orifice).3
Oksigen
Oksigen amat bermanfaat untuk penderita PPOM dan pemberian oksigen terkontrol
mungkin merupakan bagian terpenting dari penanganan PPOM. Dasar pemberian oksigen adalah
bahwa hipoksemia terjadi pada fase lanjut dalam perjalanan alamiah PPOM dan akan
mengakibatkan hipertensi pulmonal dengan segala akibatnya. Pemberian oksigen terkontrol
bermanfaat menurunkan tekanan arteri pulmonalis, tahanan arteriolar paru, serta red cell mass.
Penelitian Pretty dkk. Pada matched group penderita PPOM didapatkan angka mortalitas dalam 2
tahun sebesar 28% pada kelompok yang mendapatkan oksigen, sedang kelompok yang tanpa
oksigen mempunyai mortalitas dalam waktu sama sebsar 62%. Pemberian oksigen jangka
panjang juga akan menurunkan frekuensi masuk rumah sakit oleh karena GNA pada PPOM,
melalui mekanisme bahwa oksigen dapat meningkatkan daya tahan, serta memperbaiki
fagositosis serta mucocilliary clearance.3
Jadi tujuan pemberian oksigen jangka panjang adalah mengurangi hipoksia jaringan serta
meningkatkan kualitas dan mungkin pula kuantitas hidup penderita PPOM, walaupun hal
terakhir ini masih merupakan tanda tanya. Kandidat untuk pemberian oksigen jangka panjang
adalah: penderita dengan hipoksemia kronis dan persisten (PaO < 55 mmHg walaupun telah
diberikan terapi maksimal) serta penderita dengan tanda-tanda hipertensi pulmonal (kriteria
EKG) ataupun payah jantung kongestif.3
60

Cara pemberian oksigen sebaiknya melalui nasal pronge dengan flow rate 2 liter/menit ;
flow rate 5-6 liter/menit merugikan oleh karena akan mengakibatkan pengeringan mukosa.
Penghematan oksigen dapat dicapai dengan menggunakan reservoir bag, yang berdasarkan
prinsip bahwa 1/3 bagian pertama gas ekspirasi ditampung kembali, oleh karena bagian pertama
gas ekspirasi dianggap masih tinggi kandungan oksigennya berhubung berasal dari dead space.3

Kor Pulmonal

Kor pulmonal adalah dilatasi venrikel kanan jantung segai akibat kelainan vaskular bed
paru. Pengobatan bertujuan mengurangi beban ventikel serta memperbaiki kerjanya, hal yang
membutuhkan penanganan terpadu yaitu pengobatan jantungnya dan yang lebih penting lagi
adalah pengobatan penyakit parunya. Koreksi asidosis respiratorik dan hipoksia mempunyai
pengaruh di dalam mengurangi hipertensi pulmonal. Pengobatan payah jantung sendiri
sebenarnya tidak berbeda dengan keadaan payah jantung pada penderita tanpa PPOM. Digitalis
dan diuretika jangka panjang tetap merupakan andalan, walau peran digitalis pada payah jantung
kanan masih amat kontrovesial. Flebotomi hanya
diindikasikan bila Hb>19 g%, PVC >60%.3

Gambar 8. Etiologi kor pulmonale, dalam Friedberg CX; Disease of the heart, ed 3.

Prognosis

Bila sudah terdapat hipoksemia, prognosis biasanya kurang memuaskan dan mortalitas pada 2
tahun kurang lebih 50%. Namun disamping survival, perlu diketahui pula morbiditas penderita
PPOM.3
61

DAFTAR PUSTAKA

Pneumonia

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Komuniti. Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia.
5. University of Michigan Health System. Pneumonia. Disitasi dari :
http://www.med.umich.edu/1libr/aha/aha_pneum_crs.htm, pada tanggal : 20 Agustus 2009.
Perbaharuan terakhir : Januari 2009.
6. Webmaster. Pneumonia. Disitasi dari : http://www.infeksi.com/articles.php(?
lng=in&pg=48.htm, pada tanggal : 22 Agustus 2009. Perbaharuan terakhir : Januari 2009.
4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 3.Jakarta:
Infomedika Jakarta; 1995.1228-1235.
12. Bartlett JG, Marrie TJ, File TM. Pneumonia in Adult. Disitasi dari :
http://www.utdol.com/patients/content/topic.do(?)topicKey=~IULIBvWWVqokVS.htm,
pada tanggal : 22 Agustus 2009. Perbaharuan terakhir : Januari 2008.
6. Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan. Pemberantasan Penyakit ISPA. Nomor:
1537.A/MENKES/SK/XII/2002. Tanggal 5 Desember 2002. Jakarta : Departemen
Keseharan; 2002.
7. Reuters T. Pneumonia in Adult. Disitasi dari : http://www.pdrhealth.com/disease/disease-
mono.aspx(?)contentFileName=BHG01ID07.xml&contentName=Pneumonia+in+Adults&c
ontentId=119.htm, pada tanggal : 22 Agustus 2009. Perbaharuan terakhir : 2009.
8. Dahlan Z. Artikel: Pandangan Baru Pneumonia Atipik dan Terapinya. Bagian Penyakit
Dalam FK.UNPAD Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Bandung : FK UNPAD; 2007.
9. Webmaster. Bronkopneumonia. Disitasi dari : http://hsilkma.blogspot.com /
2008/03/bronkopneumonia.html, pada tanggal 14 Juni 2008. Perbaharuan terakhir : Januari
2008.
10. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Standar Pelayanan Kesehatan Anak Edisi I. 2004. Jakarta :
IDAI; 2004.
62

11. Leman M. Pneumonia : Musuh Spesial para Lanjut Usia. Disitasi dari :
http://leman.or.id/medicastore/pneumonia.htm, pada tanggal : 20 Agustus 2009. Perbaharuan
terakhir : Juni 2007.

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)

1. Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius.
2. Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6.
Jakarta : EGC.
3. Airlangga University Press. 2006. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
University Press.

Anda mungkin juga menyukai