Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN KASUS

TB PARU + HIV

Pembimbing
dr. Rofiman Sp.P

Disusun oleh:
dr. Ardini Saskia Noviayanti

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA SETUKPA LEMDIKPOL
KOTA SUKABUMI
PERIODE NOVEMBER 2022–NOVEMBER 2023
HALAMAN PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS

Telah disahkan disetujui laporan


kegiatan Dokter Internsip

TB PARU + HIV

Disusun Oleh :
dr. Ardini Saskia Noviayanti

Sukabumi, Agustus 2023


Dokter Pembimbing

(dr. Rofiman, Sp.P)

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan
rahmat-Nya sehingga laporan kasus yang berjudul “TB PARU + HIV” dapat
diselesaikan tepat padawaktunya.
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui pencapaian
pembelajaran dokter internship di Rumah Sakit Bhayangkara Setukpa Lemdikpol
Kota Sukabumi. Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada dr.
Rofiman Sp.P, atas saran dan bimbingannya dalam menyelesaikan laporan kasus
ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan kasus ini masih memiliki
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan dikarenakan keterbatasan kemampuan
penulis dan pembatasanwaktu. Oleh sebab itu, penulis menerima kritik dan saran
yang membangun guna menyempurnakan laporan kasus ini. Akhir kata, penulis
berharap agar laporan kasus ini memberi manfaat bagi banyak orang.

Sukabumi, Agustus 2023

Penulis

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh infeksi bakteri berbentuk
batang, Mycobacterium tuberculosis (M.TB) penyakit TB sebagian besar mengenai parenkim paru (TB
paru) namun bakteri ini juga memiliki kemampuan untuk menginfeksi organ lain (TB ekstra paru).
Berdasarkan Global TB Report 2018, diperkirakan di Indonesia pada tahun 2017 terdapat 842.000 kasus
TB baru (319 per 100.000 penduduk) dan kematian karena TB sebesar 116.400 (44 per 100.000 penduduk)
termasuk pada TB-HIV positif. Angka notifikasi kasus (case notification rate/CNR) dari semua kasus
dilaporkan sebanyak 171 per 100.000 penduduk. Secara nasional diperkirakan insidens TB HIV sebesar
36.000 kasus (14 per 100.000 penduduk). Jumlah kasus TB-RO diperkirakan sebanyak 12.000 kasus
(diantara pasien TB paru yang ternotifikasi) yang berasal dari 2.4% kasus baru dan 13% kasus pengobatan
ulang. Terlepas dari kemajuan yang telah dicapai Indonesia, jumlah kasus tuberkulosis baru di Indonesia
masih menduduki peringkat ketiga di dunia dan merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi
Indonesia dan memerlukan perhatian dari semua pihak, karena memberikan beban morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Tuberkulosis merupakan penyebab kematian tertinggi setelah penyakit jantung
iskemik dan penyakit serebrovaskuler.
Tinggi rendahnya keberhasilan pengobatan atau Treatment Success Rate (TSR) tuberkulosis
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: (1) Faktor pasien: pasien tidak patuh minum obat anti TB,
pasien pindah fasilitas pelayanan kesehatan (tanpa informasi hasil pengobatan ke fasyankes awal) dan kasus
TB resistan obat; (2) Faktor pengawas menelan obat (PMO): PMO tidak ada, PMO ada tapi kurang
memantau; dan (3) Faktor obat: suplai obat terganggu sehingga pasien menunda atau tidak meneruskan
pengobatan dan kualitas obat menurun karena penyimpanan tidak sesuai standar.
World Health Organization (WHO) mencanangkan strategi ‘End Tuberculosis’, yang merupakan
bagian dari Sustainable Development Goals, dengan satu tujuan yaitu untuk mengakhiri epidemi
tuberkulosis di seluruh dunia. Visi the end TB strategy adalah “dunia yang bebas TB” yaitu zero deaths,
disease and suffering due to TB dengan tujuan mengakhiri epidemik TB di dunia. Upaya pencegahan dan
tata laksana diimplementasikan diantaranya dalam bentuk: (1) Diagnosis dini TB termasuk penerapan
pemeriksaan uji kepekaan obat yang universal, skrining sistematis pada kontak dan kelompok risiko tinggi;
serta (2) Pengobatan untuk semua pasien TB termasuk TB resistan obat dengan dukungan pasien yang
memadai.

4
BAB 2
IDENTIFIKASI KASUS

2.1. Identitas Pasien

Nama : Tn. P

Umur : 27 Tahun

Alamat : Jl. Loa Copong RT/RW 002/021

Pekerjaan : Karyawan

Pendidikan Terakhir : SMP

Status : Menikah

Agama : Islam

Suku : Sunda

Penjamin : BPJS Kesehatan

Tanggal pemeriksaan : 02 Agustus 2023

2.2 Anamnesis

Keluhan utama : batuk berdahak > 3 minggu


Anamnesis lanjutan:
Pasien datang dengan keluhan batuk berdahak sudah lebih dari 3 minggu. Batuk
dirasakan terus menerus sampai pasien lemas dan terkadang timbul sesak. Keluhan juga
disertai demam yang naik turun dan keringat malam. Pasien merasa tidak ada energi
untuk aktivitas, malas makan, sering mual, dan dalam 2 bulan terakhir ada penurunan BB
sekitar 4 kg. BAB agak sulit. Keluhan lain disangkal. Pasien adalah perokok aktif, habis
3-5 batang rokok/hari

5
● RPD:
Riw. Asma disangkal
Riw. Penyakit jantung disangkal
Riw. Hipertensi disangkal
Riw. DM disangkal

● RPO:
Pasien saat ini sedang menjalani pengobatan TB – HIV bulan ke-2. Riw. pungsi paru 1
bulan yang lalu.

2.3 Pemeriksaan Fisik


• Keadaan umum : Sakit sedang
• Kesadaran : Compos mentis, GCS 15 4E 6M 5V
• TB/BB : 160 cm / 53 kg
• IMT : 20,7
• Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 120/80 mmhg
Nadi : 94 x/menit, regular, teraba kuat
Suhu : 36,8°c
Pernafasan : 24x/menit
SpO2 : 98% room air
• Kulit : Warna kuning langsat, turgor baik, jaringan parut (-)
• Kepala : Normocephal, rambut berwarna hitam
• Leher : Trakea di medial, pembesaran tiroid (-), pembesaran KGB (-), JVP
5 + 2 cm H2O
• Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat, isokor, 3 mm
• Telinga : Normotia, massa (-), secret (-)
• Hidung : Tidak ada kelainan, deviasi septum (-), sekret -/-
• Mulut : Mukosa lembab, deviasi (-), atrofi (-), lidah kotor (-), tonsil T1-T1, faring
hiperemis (-)

6
• Thoraks
Paru – Paru
Inspeksi : normochest, simetris, retraksi (+)
Palpasi : vocal fremitus (-/+)
Perkusi : redup/sonor
Auskultasi : VES (-/+), Wheezing (-/-), Ronkhi (+/+)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis terlihat di ICS 5 linea midclavicularis sinistra
Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS 5 linea midclavikularis sinistra
Perkusi :
- Batas jantung kanan pada ICS V linea sternalis dextra
- Batas jantung kiri pada ICS V linea midclavicularis sinistra
- Batas pinggang jantung pada ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I-II reguler, bising (-)
• Abdomen
Inspeksi : Datar, simetris, massa (-), pelebaran vena (-)
Palpasi : Soepel, nyeri tekan epigastrik (-), pembesaran hepar dan lien (-)
Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen
Auskultasi : Bising usus (+) normal
• Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, Motorik 5/5/5/5

7
2.4 Pemeriksaan Penunjang
➢ Pemeriksaan Laboratorium Darah (02 Agustus 2023)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 9.3 g/dL 14-18
Hematokrit 29.0 % 41-53
3
Leukosit 3.000 /mm 4.000-10.000
3
Trombosit 440.000 /mm 150.000- 400.000
Eosinofil 0 % 2-4
Basofil 0 % 0-1
Neutrofil Batang 0 % 3-6
Neutrofil Segmen 60 % 50-70
Limfosit 29 % 25-40
Monosit 11 % 2-8
KIMIA KLINIK
SGOT 34 U/L 10-34
SGPT 18 U/L 9-46
IMUNOLOGI
Rapid Antigen Negatif - Negatif
GULA DARAH
GDS 91 mg/dl <180

8
➢ Pemeriksaan Radiologi (02 Agustus 2023)
Foto Rontgen Thorax

Thorax
• Trachea ditengah
• Cor tidak dapat dinilai batas kanan jantung perselubungan
• Diafragma kanan perselubungan
• Sinuses perselubungan
Pulmo
• Hilli kasar
• Corakan paru meningkat
• Tampak bercak infiltrat pada kedua paru
• Efusi pleura kanan

Kesan : TB Paru Aktif

9
2.5 Resume
Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan batuk berdahak sudah lebih dari 3 minggu. Batuk dirasakan
terus menerus sampai pasien lemas dan terkadang timbul sesak. Keluhan juga disertai
demam yang naik turun dan keringat malam. Pasien merasa tidak ada energi untuk
aktivitas, malas makan, sering mual, dan dalam 2 bulan terakhir ada penurunan BB sekitar
4 kg. BAB agak sulit. Keluhan lain disangkal. Pasien adalah perokok aktif, habis 3-5 batang
rokok/hari. Pasien saat ini sedang menjalani pengobatan TB – HIV bulan ke-2. Riw. pungsi
paru 1 bulan yang lalu.
Pemeriksaan fisik
TD : 120/80 mmhg
Suhu : 36,8°c
Pernafasan : 24x/menit
SpO2 : 98% room air
Thoraks : Retraksi (+), VES (-/+), Ronkhi (+/+), Perkusi redup/sonor, Fremitus (-/+)
Pemeriksaan Penunjang
Foto thorax : TB Paru Aktif
Diagnosis
TB Paru + HIV
Diagnosis Banding
Pneumonia
Tatalaksana di IGD:
• IVFD RL 20 tpm
• Inj. Omeprazole 2 x 40 mg
• Inj. Ondansentron 2 x 4 mg
• PO Sukralfat syr 3 x 1 cth
• PO Laxadin syr 1 x 1 cth
• PO Vit B Kompleks 1 x 1 tab
• OAT dilanjutkan
• ARV dilanjutkan

10
2.6 Follow Up Rawat Inap

03- Batuk (+), TD: 100/70 mmHg TB Paru IVFD RL 500cc / 12 jam
08- mual (+), BAB HR: 98 x/menit + HIV Inj. Omeprazole 2 x 40 mg
2023 masih agak RR: 22 x/menit Inj. Ondansentron 2 x 4 mg
sulit, sesak (-) S: 36,5 ºC PO Sukralfat syr 3 x 1 cth
SpO2: 97% Room air PO Laxadin syr 1 x 1 cth
PO Vit B Kompleks 1 x 1 tab
OAT & ARV dilanjutkan
04- Batuk TD: 110/70 mmHg TB Paru IVFD RL 500cc / 12 jam
08- membaik, HR: 94 x/menit + HIV Inj. Omeprazole 2 x 40 mg
2023 mual (+), BAB RR: 22 x/menit Inj. Ondansentron 2 x 4 mg
masih agak S: 36,8 ºC PO Sukralfat syr 3 x 1 cth
sulit, sesak (-) SpO2: 98% Room air PO Laxadin syr 1 x 1 cth
PO Vit B Kompleks 1 x 1 tab
OAT & ARV dilanjutkan
05- Batuk TD: 110/70 mmHg TB Paru ACC BLPL
08- membaik, HR: 88 x/menit + HIV PO Omeprazole 2 x 40 mg
2023 mual (+), RR: 20 x/menit PO Sukralfat syr 3 x 1 cth
sudah bisa S: 36,7 ºC PO Vit B Kompleks 1 x 1 tab
BAB, sesak (-) SpO2: 99% Room air OAT & ARV dilanjutkan
Edukasi

11
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga sering
dikenal dengan Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian besar kuman TB sering ditemukan
menginfeksi parenkim paru dan menyebabkan TB paru, namun bakteri ini juga memiliki
kemampuan menginfeksi organ tubuh lainnya (TB ekstra paru) seperti pleura, kelenjar limfe,
tulang, dan organ ekstra paru lainnya.1
Terdapat beberapa spesies Mycobacterium yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam
(BTA), antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. Leprae dsb. Kelompok bakteri
Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada
saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang
bisa mengganggu penegakkan diagnosis dan pengobatan TBC.2

3.2 EPIDEMIOLOGI
Secara global, diperkirakan 10 juta (berkisar antara 8,9-11.0 juta) orang sakit tuberkulosis
pada tahun 2019. Angka tersebut menurun secara perlahan beberapa tahun belakangan ini.
Diperkirakan terdapat 1,2 juta (berkisar antara 1.1-1.3 juta) kematian TB pada pasien dengan HIV-
negatif dengan 208.000 kematian (berkisar antara 177.000-242.000) pada pasien dengan HIV-
positif.3
Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017. Jumlah ini
membuat Indonesia menjadi satu dari lima negara di dunia dengan insiden kasus tertinggi yaitu
India, Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru
TBC tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. TB merupakan
satu dari 10 penyebab kematian dengan penyebab utama agen infeksius di Indonesia. 4

3.3 KLASIFIKASI5
Dari sistem lama diketahui beberapa klasifikasi seperti:
a. Pembagian secara patologis
• Tuberculosis primer (childhood tuberculosis)

12
• Tuberculosis post-primer (adult tuberculosis)
b. Pembagian secara aktivitas radiologis
• Tuberculosis paru (Koch pulmonum) aktif
• Tuberculosis paru non aktif
• Tuberculosis paru quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh)
c. Pembagian secara radiologis (luas lesi)
• Tuberculosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrate nonka-vitas pada satu paru
maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.
• Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm.
jumlah infiltrate bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya kasar
tidak lebih dari sepertiga bagian satu paru.
• Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrate dan kavitas yang melebihi keadaan pada
moderately advanced tuberculosis.
Pada tahun 1974 American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang diambil
berdasarakan aspek kesehatan masyarakat:
1. Kategori 0 : Tidak pernah terpajan dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negative, tes
tuberculin negatif
2. Kategori I : Terpajan tuberculosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Di sini riwayat kontak
positif, tes tuberculin negatif
3. Kategori II : Terinfeksi tuberculosis, tetapi tidak sakit. Tes tuberculin positif, radiologis
dan sputum negatif
4. Kategori III : Terinfeksi tuberculosis dan sakit
Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan klinis,
radiologis dan mikrobiologis:
1. Tuberculosis paru
2. Bekas tuberculosis paru
3. Tuberculosis paru tersangka
o Tuberculosis paru tersangka yang diobati. Sputum BTA (-), tanda-tanda lain (+).
o Tuberculosis paru tersangka yang tidak diobati. Sputum BTA (-), tanda-tanda lain
meragukan.

13
WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni:
1. Kategori I, ditujukan terhadap :
o Kasus baru dengan sputum (+)
o Kasus baru dengan bentuk TB berat
2. Kategori II, ditujukan terhadap :
o Kasus kambuh
o Kasus gagal dengan sputum BTA (+)
3. Kategori III, ditujukan terhadap :
o Kasus BTA – dengan kelainan paru yang tidak luas
o Kasus TB ekstrea paru selain dari yang disebut dalam kategori I
4. Kategori IV, ditujukan terhadap : TB kronik.
Klasifikai TB paru yaitu menurut Depkes (2007) yaitu:
A. Berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak,
selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
B. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru:
1. Tuberkulosis paru BTA positif
• Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (+)
• 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (+) dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
• 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (+) dan biakan kuman TB (+).
• 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya (+) setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA (-) dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

14
• Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (-)
• Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
• Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
• Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
C. Berdasarkan riwayat pengobatan pasien sebelumnya.
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis
dan telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi.
3. Kasus setelah putus berobat (default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam kelompok ini termasuk
kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulangan.
Klasifikasi TB menurut WHO tahun 2010 berdasarkan :
1. Lokasi anatomi penyakit
• TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau trakeobronkial. TB
milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena terdapat lesi di paru. Pasien yang
mengalami TB paru dan ekstra paru harus diklasifikasikan sebagai kasus TB paru.
• TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar parenkim paru seperti
pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran genitorurinaria, kulit, sendi dan
tulang, selaput otak. Kasus TB ekstra paru dapat ditegakkan secara klinis atau
histologis setelah diupayakan semaksimal mungkin dengan konfirmasi bakteriologis.
2. Riwayat pengobatan sebelumnya

15
• Kasus baru : pasien yang belum pernah mendapat OAT sebelumnya atau riwayat
mendapatkan OAT < 1 bulan (< dari 28 dosis bila memakai obat program).
• Kasus dengan riwayat pengobatan : pasien yang pernah mendapatkan OAT 1 bulan
atau lebih (>28 dosis bila memakai obat program). Kasus ini diklasifikasikan lebih
lanjut berdasarkan hasil pengobatan terakhir sebagai berikut :
• Kasus kambuh : pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir pengobatan dan saat ini ditegakkan
diagnosis TB episode kembali (karena reaktivasi atau episode baru yang disebabkan
reinfeksi).
• Kasus pengobatan setelah gagal : pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT
dan dinyatakan gagal pada akhir pengobatan.
• Kasus setelah loss to follow up : pasien yang pernah menelan OAT 1 bulan atau lebih
dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2 bulan berturut-turut dan dinyatakan loss
to follow up sebagai hasil pengobatan.
• Kasus lain-lain : pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan hasil akhir
pengobatannya tidak diketahui atau tidak didokumentasikan.
• Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui : pasien yang tidak diketahui
riwayat pengobatan sebelumnya sehingga tidak dapat dimasukkan dalam salah satu
kategori di atas.
Penting diidentifikasi adanya riwayat pengobatan sebelumnya karena terdapat
risiko resistensi obat. Sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan pemeriksaan
biakan dan uji kepekaan obat menggunakan tercepat yang telah disetujui WHO (TCM
TB MTB/Rif atau LPA (Hain test dan genoscholar) untuk semua pasien dengan
riwayat pemakaian OAT.
3. Hasil bakteriologik dan uji resistensi obat anti TB
o Apusan dahak (sputum) BTA positif
Pada laboratorium dengan jaminan mutu eksternal, sedikitnya BTA positif pada 1
spesimen, sedangkan yang tanpa mutu jaminan eksternal sedikitnya BTA positif pada
2 spesimen.
o Apusan dahak negatif :

16
• Hasil pemeriksaan apusan dahak BTA negative, tetap biakannya positif untuk M.
tuberculosis
• Memenuhi kriteria secara klinik perlu diobati dengan anti TB lengkap dan :
o Temuan radiologis sesuai dengan TB paru aktif dan
o Terdapat bukti kuat berdasarkan laboratorium atau
o Bila HIV negative, tidak respons dengan antibiotik spektrum luas (diluar
quinolone)
4. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

• Monoresisten: resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini pertama.


• Poliresisten: resistensi terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain isoniazid
(H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
• Multidrug resistant (TB MDR) : minimal resistan terhadap isoniazid (H) dan rifampisin
(R) secara bersamaan.
• Extensive drug resistant (TB XDR) : TB-MDR yang juga resistan terhadap salah satu
OAT golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan
(kanamisin, kapreomisin, dan amikasin).
• Rifampicin resistant (TB RR) : terbukti resistan terhadap Rifampisin baik
menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional), dengan
atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi. Termasuk dalam kelompok
TB RR adalah semua bentuk TB MR, TB PR, TB MDR dan TB XDR yang terbukti
resistan terhadap rifampisin.
5. Status HIV
• Kasus TB dengan HIV positif adalah kasus TB terkonfirmasi bakteriologis atau
terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki hasil tes HIV-positif, baik yang
dilakukan pada saat penegakan diagnosis TB atau ada bukti bahwa pasien telah
terdaftar di register HIV (register pra ART atau register ART).
• Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB terkonfirmasi bakteriologis atau
terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki hasil negatif untuk tes HIV yang
dilakukan pada saat ditegakkan diagnosis TB. Bila pasien ini diketahui HIV positif di
kemudian hari harus kembali disesuaikan klasifikasinya.

17
• Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui adalah kasus TB terkonfirmasi
bakteriologis atau terdiagnosis klinis yang tidak memiliki hasil tes HIV dan tidak
memiliki bukti dokumentasi telah terdaftar dalam register HIV. Bila pasien ini
diketahui HIV positif dikemudian hari harus kembali disesuaikan klasifikasinya.

3.4 PATOGENESIS5
Tuberkulosis Primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara
bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan
kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-
bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau
jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer. Kuman akan
dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan
mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia
dengan sekretnya.
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di
sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan
berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer atau
sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar
sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran
gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian
bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila
masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis
lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang
primer limfangitis lokal + limfadenitis regional = kompleks primer (Ranke). Semua proses ini
memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:
• Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.

18
• Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus,
keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan ± 10% di antaranya
dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.
• Berkomplikasi dan menyebar secara :
a) Per kontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya,
b) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya. Kuman
dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus,
c) Secara limfogen, ke organ tubuh lainnya,
d) Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya. Semua kejadian di atas tergolong dalam
perjalanan tuberkulosis primer.

Gambar 1. Patogenesis terjadinya TB6

19
*Catatan:
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenic spread).
Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi yang
baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi dikemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari; (1) fokus primer, (2) limfangitis, (3) limfadenitis regional.
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasi-komplikasinya.
4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau
reinfeksi (infeki sekunder) oleh kuman TB dari luar (eksogen), yang disebut sebagai TB
tipe dewasa (adult type TB)
Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian
sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer = TB pasca primer
= TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena
imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal.
Tuberkulosis pasca-primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian
apikal-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru- paru dan
tidak ke nodus hiler paru.
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu
sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel Histiosit dan sel Datia-
Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan
ikat.
TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB usia
tua (elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman, virulensi-nya dan imunitas pasien,
sarang dini ini dapat menjadi:
• Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
• Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan
fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan per-kapuran. Sarang dini
yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan
bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila
jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding
tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah

20
besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah
karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh ensim yang diproduksi oleh makrofag,
dan proses yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkijuan lain yang jarang
adalah cryptic disseminate TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut.
Di sini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas dapat:
a) Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas ini masuk
dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB miller. Dapatjuga masuk ke paru
sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan selanjutnya ke usus jadi TB usus. Sarang ini
selanjutnya mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan terdahulu. Bisa juga terjadi TB
endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema bila ruptur ke pleura;
b) Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma ini
dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi kavitas
lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah kolonisasi oleh fungus seperti Aspergillus dan
kemudian menjadi mycetoma;
c) Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga menyembuh dengan
membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang berakhir sebagai kavitas yang
terbungkus, menciut dan berbentuk seperti bintang disebut stellate shaped.
Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni:
1) Sarang yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi;
2) Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap dan sempurna;
3) Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh spontan,
tetapi mengingat kemungkinan terjadinya eksaserbasi kembali, sebaiknya diberi
pengobatan yang sempurna juga.

3.5 MANIFESTASI KLINIS5


Keluhan yang dirasakan pasien TB dapat bermacam-macam atau malah banyak ditemukan TB
paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatannya. Keluhan yang umum dijumpai
antara lain:
• Demam, Biasanya subfebris menyerupai demam influenza, tetapi kadang-kadang panas
badan dapat mencapai 40-41 °C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi
kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam seperti

21
influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam. Keadaan
ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman TB
yang masuk.
• Batuk/batuk darah. Gejala ini ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada
bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar dari saluran
napas bawah. Karena terlibatna bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja
batuk baru ada setelah penyakit TB berkembang dalam jaringan paru yakni setelah
berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari
batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan berubah menjadi
produktif (menghasilkan dahak). Keadaan lebih lanjut dapat berupa batuk darah karena
terdapat pembuluh darah kecil yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada TB terjadi pada
kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus. Batuk ini sering sulit
dibedakan dengan batuk karena sakit: pneumonia, asma, bronchitis, alergi, Penyakit Paru
Obstruksi Kronik dll.
• Sesak nafas. Pada penyakit TB paru yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan adanya
sesak nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit TB paru yang sudah lanjut, dimana
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
• Nyeri dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul apabila ilfiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu pasien menarik/melepaskan nafasnya.
• Malaise. Penyakit TB bersifat radang yang menahun. Gejala malaise seing ditemukan
berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, sakit kepal, meriang, nyeri otot, keringat malam,
dll. Gejala maleisi ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
• Berat badan turun. Biasanya pasien tidak merasakan berat badannya turun, Sebaiknya
kita tanyakan berat badan sekarang dan beberapa waktu sebelum pasien sakit. Pada pasien
anak-anak biasanya berat badannya sulit naik terutama dalam 2-3 bulan terakhir atau status
gizinya kurang.
• Rasa lelah. Keluhan ini juga pada kebanyakan pasien hamper tidak dirasakannya.

TB Ekstraparu7
• TB Limfe

22
TB ekstraparu yang paling sering dijumpai baik pada pasien dengan HIV positif ataupun
negatif.
• TB Pleural
Terkumpulnya cairan pada cavum pleura menunjukkan respon hipersensitivitas terhadap
antigen mycobacterial yang umumnya dijumpai pada infeksi primer.
• TB Saluran Napas Atas
Dapat melibatkan laring, faring, dan epiglottis serta selalu merupakan komplikasi dari TB
paru kavitas.
• TB Genitourinaria
Frekuensi urinasi, dysuria, nocturia, hematuria, serta nyeri perut merupakan gejala yang
dapat dijumpai.
• TB Skeletal
Berkaitan dengan reaktivasi fokus hematogen atau penyebaran dari nodus limfatikus
paravertebral. Sering dijumpai pada persendian yang menopang beban berat. TB spinal
(Pott’s disease) sering melibatkan dua atau lebih vertebrae.
• TB Meningitis dan Tuberkuloma
Sering diremukan pada anak-anak namun dapat juga ditemukan pada orang dewasa,
khususnya orang dengan HIV positif. TB meningitis berasal dari penyebaran
hematogen TB paru primer ataupun sekunder atau rupturnya tuberkel subependymal
kedalam ruang subarachnoid. Pungsi lumbal merupakan baku emas diagnosis.
• TB Pericardial
Berasal dari penyebaran langsung dari mediastinum atau nodus limfatikus hillus atau dari
hematogen. Sering dijumpai pada lansia serta pasien dengan HIV positif.

3.6 DIAGNOSIS8,9
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik/jasmani,
pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Gejala Klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau gejala
organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
1. Gejala respiratorik

23
• Batuk ≥ 3 minggu
• Batuk darah
• Sesak napas
• Nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical
check-up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita mungkin
tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya
batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar
getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada
pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga
pleuranya terdapat cairan.
2. Gejala sistemik
• Demam
• Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat.
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan.
Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen
posterior, serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain pada
inspeksi: bentuk dada yang tidak simetris; palpasi: fremitus mengeras/melemah; perkusi:
hipersonor seperti pada pneumotoraks atau pekak seperti pada efusi pleura; auskultasi: suara napas
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma &
mediastinum. Bila lesi luas, dapat ditemukan kelainan berikut: Ronki basah kasar terutama di apeks
paru, suara napas melemah atau mengeras, ataustridor. Suara napas bronkhial/amforik/ronkhi
basah/suara napas melemah di apeks.

24
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di
rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai
tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran
kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-
kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”.

Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang
sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini
dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut-turut atau dengan cara:
- Sewaktu/spot (sewaktu saat kunjungan)
- Dahak pagi (keesokan harinya)
- Sewaktu (saat mengantarkan dahak pagi)
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam pot
yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah
pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus
pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek atau untuk
kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum
dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak
sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas
penderita yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.
Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan penderita,
spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.
Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:

25
• Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian
tengahnya
• Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari
kertas saring sebanyak + 1 ml
• Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung
yang tidak mengandung bahan dahak
• Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal
di dalam dus
• Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik
kecil
• Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi
kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi
• Di atas kantong plastik dituliskan nama penderita dan tanggal pengambilan dahak
• Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.
c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (BAL), urin,
faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara:
• Mikroskopik
• Biakan

Pemeriksaan Mikroskopik
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen pewarnaan Kinyoun Gabbett
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening)
Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, dahak dipekatkan lebih dahulu dengan cara sebagai
berikut :
• Masukkan dahak sebanyak 2 – 4 ml ke dalam tabung sentrifuge dan tambahkan sama
banyaknya larutan NaOH 4%
• Kocoklah tabung tersebut selam 5 – 10 menit atau sampai dahak mencair sempurna
• Pusinglah tabung tersebut selama 15 – 30 menit pada 3000 rpm

26
• Buanglah cairan atasnya dan tambahkan 1 tetes indicator fenol-merahpada sediment yang
ada dalam tabung tersebut, warnanya menjadi merah
• Netralkan reaksi sedimen itu dengan berhati-hati meneteskan larutan HCl 2n ke dalam
tabung sampai tercapainya warna merah jambu ke kuning-kuningan
• Sedimen ini selanjutnya dipakai untuk membuat sediaan pulasan (boleh juga dipakai untuk
biakan M.tuberculosis)
lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif
1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali , kemudian
1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif bila 3 kali negatf → Mikroskopik
negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala bronkhorst atau IUATLD
Catatan: :
Bila terdapat fasiliti radiologik dan gambaran radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif, maka
hasil pemeriksaan dahak 1 kali positif, 2 kali negatif tidak perlu diulang.

Pemeriksaan Biakan Kuman


Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara :
• Egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh)
• Agar base media : Middle brook
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi
Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT).
Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya
pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan
cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul

Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan standar ialah foto thoraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain atas
indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat
memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologis yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

27
• Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah
• Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
• Bayangan bercak milier
• Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB inaktif
• Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
• Kalsifikasi atau fibrotik
• Kompleks ranke
• Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura
Luluh Paru (Destroyed Lung):
• Gambaran radiologis yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya
secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis,
multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya
berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
• Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan
sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif) :
• Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak
lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan
dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2)
dan tidak dijumpai kaviti
• Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.

Pemeriksaan Penunjang
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang dibutuhkan
untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada
beberapa teknik baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
1. Polymerase chain reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA
M .tuberculosis. Salah satu ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan

28
ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk
menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar
dan sesuai standar.
Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah
diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis
TB. Pada pemeriksaan deteksi M. tuberculosis tersebut, bahan/spesimen pemeriksaan dapat
berasal dari paru maupun luar paru sesuai dengan organ yang terlibat.
2. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metode:
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral
berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara
lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.
b. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini
menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat
yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum
penderita, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam
jumlah yang memadai yang sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul
perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi dengan mudah
c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi.
d. Uji ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik
untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT tuberculosis
merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari
membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen
tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran
immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) dismaping garis
kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 μl diteteskan ke bantalan warna biru,
kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung
antibodi IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen

29
dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit
terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran.
Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati
hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi. Saat
ini pemeriksaan serologi belum bisa dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis.
e. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M
tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO 2 yang
akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu
alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis.
f. Pemeriksaan Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada
penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil
analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan
cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan
glukosa rendah.
g. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru dengan trans
bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka,
biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat
pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH =biopsi jarum halus).
Pemeriksaan biopsi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama pada
tuberkulosis ekstra paru
Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada jaringan paru
atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa granuloma dengan perkijuan.
h. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data
ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan
biologik penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap
pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan

30
penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya tahan
tubuh penderita, yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada
proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis.
Limfositpun kurang spesifik.
i. Uji tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di daerah dengan
prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang
tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi
pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji
yang dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat
besar sekali atau bula.
Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif, terutama pada malnutrisi dan
infeksi HIV. Jika awalnya negatif mungkin dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan
kemudian.
Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan hanya menunjukkan gambaran
reaksi tubuh yang analog dengan ; a) reaksi peradangan dari lesi yang berada pada
target organ yang terkena infeksi atau b) status respon imun individu yang tersedia bila
menghadapi agent dari basil tahan asam yang bersangkutan (M. tuberculosis).

Alur Diagnosis TB di Indonesia

31
Gambar 2. Alur Diagnosis TB di Indonesia1
Keterangan alur:1
1. Prinsip penegakan diagnosis TB:
a. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan
pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah
pemeriksaan mikroskopis, tes cepat molekuler TB dan biakan.
b. Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB, sedangkan
pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopis.

32
c. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan
pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah
pemeriksaan mikroskopis, tes cepat molekuler TB dan biakan.
d. Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB, sedangkan
pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopis.
e. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru,
sehingga dapat menyebabkan terjadi over diagnosis ataupun under diagnosis.
f. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.
2. Fasyankes yang mempunyai alat tes cepat molukuler (TCM) TB:
a. Fasyankes yang mempunyai akses pemeriksaan TCM, penegakan diagnosis
TB pada terduga TB dilakukan dengan pemeriksaan TCM. Pada kondisi
dimana pemeriksaan TCM tidak memungkinkan (misalnya alat TCM
melampaui kapasitas pemeriksaan, alat TCM mengalami kerusakan, dll),
penegakkan diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.
b. Jika terduga TB adalah kelompok terduga TB RO dan terduga TB dengan
HIV positif, harus tetap diupayakan untuk dilakukan penegakan diagnosis
TB dengan TCM TB, dengan cara melakukan rujukan ke layanan tes cepat
molekuler terdekat, baik dengan cara rujukan pasien atau rujukan contoh
uji.
c. Jumlah contoh uji dahak yang diperlukan untuk pemeriksaan TCM
sebanyak 2 (dua) dengan kualitas yang bagus. Satu contoh uji untuk
diperiksa TCM, satu contoh uji untuk disimpan sementara dan akan
diperiksa jika diperlukan (misalnya pada hasil indeterminate, pada hasil Rif
Resistan pada terduga TB yang bukan kriteria terduga TB RO, pada hasil
Rif Resistan untuk selanjutnya dahak dikirim ke Laboratorium LPA untuk
pemeriksaan uji kepekaan lini-2 dengan metode cepat)
d. Contoh uji non-dahak yang dapat diperiksa dengan MTB/RIF terdiri atas

33
cairan serebrospinal (cerebro spinal fluid/CSF), jaringan biopsi, bilasan
lambung (gastric lavage), dan aspirasi cairan lambung (gastric aspirate).
e. Pasien dengan hasil M.tb resistan rifampisin tetapi bukan berasal dari
kriteria terduga
TB-RO harus dilakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika terdapat perbedaan hasil, maka
hasil pemeriksaan TCM yang terakhir yang menjadi acuan tindakan selanjutnya.
f. Jika hasil TCM indeterminate, lakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika hasil
tetap sama, berikan pengobatan TB lini 1, lakukan biakan dan uji kepekaan.
g. Pengobatan standar TB-MDR segera diberikan kepada semua pasien TB-
RR, tanpa menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan OAT lini 1 dan lini 2
keluar. Jika hasil resistensi menunjukkan MDR, lanjutkan pengobatan TB
MDR. Bila ada tambahan resistensi terhadap OAT lainnya, pengobatan
harus disesuaikan dengan hasil uji kepekaan OAT.
h. Pemeriksaan uji kepekaan menggunakan metode LPA (line probe assay)
lini-2 atau dengan metode konvensional.
i. Pengobatan TB pre XDR/ TB XDR menggunakan paduan standar TB pre
XDR atau TB XDR atau menggunakan paduan obat baru.
j. Pasien dengan hasil TCM M.TB negatif, lakukan pemeriksaan foto toraks.
Jika gambaran foto toraks mendukung TB dan atas pertimbangan dokter,
pasien dapat didiagnosis sebagai pasien TB terkonfirmasi klinis. Jika
gambaran foto toraks tidak mendukung TB kemungkinan bukan TB, dicari
kemungkinan penyebab lain.
3. Fasyankes yang tidak mempunyai alat tes cepat molukuler (TCM) TB
a. Fasyankes yang tidak mempunyai alat TCM dan kesulitan mengakses TCM, penegakan
diagnosis TB tetap menggunakan mikroskop.
b. Jumlah contoh uji dahak untuk pemeriksaan mikroskop sebanyak 2 (dua) dengan kualitas
yang bagus. Contoh uji dapat berasal dari dahak sewaktu-sewaktu atau sewaktu-Pagi.
c. BTA (+) adalah jika salah satu atau kedua contoh uji dahak menunjukkan hasil
pemeriksaan BTA positif. Pasien yang menunjukkan hasil BTA (+) pada pemeriksaan
dahak pertama, pasien dapat segera ditegakkan sebagai pasien dengan BTA (+)
d. BTA (-) adalah jika kedua contoh uji dahak menunjukkan hasil BTA negatif. Apabila

34
pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif, maka penegakan diagnosis TB dapat
dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-
tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter.
e. Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif dan tidak memilki akses rujukan
(radiologi/TCM/biakan) maka dilakukan pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non-
OAT dan Non-kuinolon) terlebih dahulu selama 1-2 minggu. Jika tidak ada perbaikan
klinis setelah pemberian antibiotik, pasien perlu dikaji faktor risiko TB. Pasien dengan
faktor risiko TB tinggi maka pasien dapat didiagnosis sebagai TB Klinis. Faktor risiko TB
yang dimaksud antara lain:
1. Terbukti ada kontak dengan pasien TB
2. Ada penyakit komorbid: HIV, DM
3. Tinggal di wilayah berisiko TB: Lapas/Rutan, tempat penampungan pengungsi,
daerah kumuh, dll.
4. Diagnosis TB ekstra paru
1. Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku
kuduk pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis),
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB serta
deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
2. Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan
klinis, bakteriologis dan atau histopatologis dari contoh uji yang diambil
dari organ tubuh yang terkena.
3. Pemeriksaan mikroskopis dahak wajib dilakukan untuk memastikan
kemungkinan TB Paru.
4. Pemeriksaan TCM pada beberapa kasus curiga TB ekstra paru dilakukan
dengan contoh uji cairan serebrospinal (cerebro spinal fluid/CSF) pada
kecurigaan TB meningitis, contoh uji kelenjar getah bening melalui
pemeriksaan biopsi aspirasi jarum halus/BAJAH (fine neddle aspirate
biopsy/FNAB) pada pasien dengan kecurigaan TB kelenjar, dan contoh uji
jaringan pada pasien dengan kecurigaan TB jaringan lainnya.
5. Diagnosis TB resisten obat
Seperti juga pada diagnosis TB maka diagnosis TB-RO juga diawali dengan

35
penemuan pasien terduga TB-RO. Terduga TB-RO adalah pasien yang memiliki
risiko tinggi resistan terhadap OAT, yaitu pasien yang mempunyai gejala TB yang
memiliki riwayat satu atau lebih di bawah ini:
1. Pasien TB gagal pengobatan kategori 2.
2. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan pengobatan.
3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta
menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua paling sedikit selama 1 bulan.
4. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.
5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah 2
bulan pengobatan.
6. Pasien TB kasus kambuh (relaps), dengan pengobatan OAT
kategori 1 dan kategori 2.
7. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai
berobat/default).
8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan
pasien TB- RO, termasuk dalam hal ini warga binaan yang ada di lapas/rutan, hunian
padat seperti asrama, barak, buruh pabrik.
9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara bakteriologis maupun klinis
terhadap pemberian OAT, (bila pada penegakan diagnosis awal tidak menggunakan
TCM TB).
Selain 9 kriteria di atas, kasus TB-RO dapat juga dijumpai pada kasus TB baru, sehingga
pada kasus ini perlu juga dilakukan penegakan diagnosis dengan TCM yang saat ini sudah
tersedia. Kriteria terduga TB-MDR menurut program manajemen TB resistan obat di
Indonesia
1. Pasien TB gagal pengobatan kategori 2
Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak positif pada bulan ke-5 atau pada akhir
pengobatan
2. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan pengobatan
Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak positif setelah
pengobatan tahap awal
3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta

36
menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua minimalis selama 1 bulan
4. Pasien TB yang memiliki riwayat pengobatan TB tidak sesuai dengan paduan OAT
standar, dan atau menggunakan kuinolon serta obat injeksi lini kedua paling sedikit
selama 1 bulan.
5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal
Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak positif pada bulan ke-5 atau pada akhir
pengobatan.
4. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan pengobatan (yang
tidak konversi)
5. Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah pengobatan tahap awal
6. Pasien TB kasus kambuh (relaps) kategori 1 dan 2
7. Pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini
diagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis
8. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow up (lalai berobat/default)
9. Pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan putus berobat
selama dua bulan berturut-turut atau lebih
10. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB-MDR
Terduga TB yang pernah memiliki riwayat atau masih kontak erat dengan pasien TB-RO
11. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara klinis maupun bakteriologis terhadap
pemberian OAT (bila penegakan diagnosis awal tidak menggunakan TCM
Pasien ko-infeksi TB-HIV dalam penggunaan OAT selama dua minggu tidak
memperlihatkan perbaikan klinis
6. Diagnosis TB pada anak
Gejala klinis berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Gejala klinis TB
pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai
penyakit selain TB. Gejala khas TB sebagai berikut:
1. Batuk ≥ 2 minggu
2. Demam ≥ 2 minggu
3. BB turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya
4. Lesu atau malaise ≥ 2 minggu
5. Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan

37
terapi yang adekuat.

3.7 PENATALAKSANAAN1
1. Tujuan pengobatan TB adalah :
1. Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas pasien
2. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan
3. Mencegah kekambuhan TB
4. Mengurangi penularan TB kepada orang lain
5. Mencegah perkembangan dan penularan resistan obat
2. Prinsip Pengobatan TB :
Obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.
Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran
lebih lanjut dari bakteri penyebab TB. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
1. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
2. Diberikan dalam dosis yang tepat
3. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (pengawas menelan
obat) sampai selesai masa pengobatan.
4. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal
serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
3. Tahapan pengobatan TB terdiri dari 2 tahap, yaitu :
a. Tahap awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah dimaksudkan
untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan
meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak
sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru,
harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan
tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2
minggu pertama.
b. Tahap lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam

38
tubuh, khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya
kekambuhan. Durasi tahap lanjutan selama 4 bulan. Pada fase lanjutan seharusnya obat
diberikan setiap hari.
Tabel 1. Dosis rekomendasi OAT lini pertama untuk dewasa

*) Pasien berusia diatas 60 tahun tidak dapat mentoleransi lebih dari 500-700 mg perhari,
beberapa pedoman merekomendasikan dosis 10 mg/kg BB pada pasien kelompok usia ini.
Pasien dengan berat badan di bawah 50 kg tidak dapat mentoleransi dosis lebih dari 500-
750 mg perhari.

Standar 8
• Semua pasien yang belum pernah diobati sebelumnya dan tidak memiliki faktor risiko
untuk resistensi obat harus mendapatkan pengobatan lini pertama yang sudah disetujui
oleh WHO dengan menggunakan obat yang terjamin kualitasnya.
• Fase intensif harus mencakup dua bulan pengobatan dengan menggunakan Isoniazid,
Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol*.
• Pada fase lanjutan harus diberikan Isoniazid dan Rifampisin selama 4 bulan. Dosis
pengobatan harus mengikuti rekomendasi WHO. Penggunaan obat kombinasi dosis
tetap dapat mempermudah pemberian obat.
• Etambutol dapat tidak diberikan pada anak dengan status HIV negatif dan memiliki TB
tanpa kavitas.

39
4. Paduan obat standar untuk pasien dengan kasus baru
Pasien dengan kasus baru diasumsikan peka terhadap OAT kecuali:
1. Pasien tinggal di daerah dengan prevalensi tinggi resisten isoniazid ATAU
2. Terdapat riwayat kontak dengan pasien TB resistan obat. Pasien kasus baru seperti ini
cenderung memiliki pola resistensi obat yang sama dengan kasus sumber. Pada kasus
ini sebaiknya dilakukan uji kepekaan obat sejak awal pengobatan dan sementara
menunggu hasil uji kepekaan obat maka paduan obat yang berdasarkan uji kepekaan
obat kasus sumber sebaiknya dimulai.
Tabel 2. Paduan obat standar pasien TB kasus baru
(dengan asumsi atau diketahui peka OAT)

• Berdasarkan hasil penelitian meta analisis WHO merekomendasikan paduan standar untuk
TB paru kasus baru adalah 2RHZE/4RH (Rekomendasi A)
• Jika tidak tersedia paduan dosis harian, dapat dipakai paduan 2RHZE/4R3H3 dengan
syarat harus disertai pengawasan yang lebih ketat secara langsung untuk setiap dosis obat
(Rekomendasi B)
• Pada akhir fase intensif, bila hasil apusan dahak tetap positif maka fase sisipan tidak lagi
direkomendasikan namun dievaluasi untuk TB-RO (uji kepekaan), sementara pengobatan
diteruskan sebagai fase lanjutan (Rekomendasi A)
• Pasien TB paru sebaiknya mendapatkan paduan obat : 2RHZE/4HR, selama 6 bulan. Untuk
TB ekstra paru biasanya diperlukan durasi pengobatan yang lebih dari 6 bulan.
• Semua pemberi layanan harus memastikan pemantauan pengobatan dan dukungan untuk
semua pasien TB agar dapat menjalankan pengobatan hingga selesai.
Semua pasien dengan riwayat pengobatan OAT harus diperiksa uji kepekaan OAT pada awal
pengobatan. Uji kepekaan dapat dilakukan dengan metode cepat atau rapid test (TCM, LPA
lini 1 dan 2), dan metode konvensional baik metode padat (LJ), atau metode cair (MGIT) .
Bila terdapat laboratorium yang dapat melakukan uji kepekaan obat berdasarkan uji molekular
cepat dan mendapatkan hasil dalam 1-2 hari maka hasil ini digunakan untuk menentukan
paduan OAT pasien. Bila laboratorium hanya dapat melakukan uji kepekaan obat konvensional

40
dengan media cair atau padat yang baru dapat menunjukkan hasil dalam beberapa minggu atau
bulan maka daerah tersebut sebaiknya menggunakan paduan OAT kategori I sambil menunggu
hasil uji kepekaan obat.
Pada daerah tanpa fasilitas biakan, maka pasien TB dengan riwayat pengobatan diberikan
OAT kategori 1 sambil dilakukan pengiriman bahan untuk biakan dan uji kepekaan.

Standar 11
• Penilaian untuk kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya atau pajanan dari kasus yang mungkin merupakan sumber penularan
organisme resistan obat, dan survei prevalensi resistensi obat di komunitas (jika
diketahui), perlu dilakukan untuk semua pasien.
• Uji kepekaan obat perlu dilakukan saat pengobatan dimulai untuk semua pasien dengan
risiko memiliki TB resistan obat. Pasien dengan BTA tetap positif setelah
menyelesaikan tiga bulan pengobatan, pasien dengan pengobatan yang gagal, dan
pasien yang putus pengobatan atau kambuh setelah menyelesaikan satu atau lebih
pengobatan harus diperiksa untuk kemungkinan resistensi obat.
• Pada pasien yang diduga memiliki resistensi obat, pemeriksaan dengan TCM-TB,
MTB/RIF perlu dilakukan sebagai pemeriksaan diagnostik awal. Jika ditemukan
resistensi terhadap Rifampisin, biakan dan uji kepekaan terhadap Isoniazid,
Fluorokuinolon, dan obat-obatan suntik lini kedua harus segera dilakukan.
• Konseling dan edukasi pasien dan pengobatan empirik dengan paduan lini kedua harus
segera dimulai untuk meminimalisasi potensi penularan.
• Perlu dilaksanakan tindakan yang sesuai kondisi untuk pengendalian infeksi.
International standard for TB care, 3rd edition
5. Pemantauan respon pengobatan
Semua pasien harus dipantau untuk menilai respons terapinya. Pemantauan reguler akan
memfasilitasi pengobatan lengkap, identifikasi dan tata laksana reaksi obat yang tidak
diinginkan. Semua pasien, PMO dan tenaga kesehatan sebaiknya diminta untuk
melaporkan gejala TB yang menetap atau muncul kembali, gejala efek samping OAT atau
terhentinya pengobatan. Berat badan pasien harus dipantau setiap bulan dan dosis OAT
disesuaikan dengan perubahan berat badan. Respon pengobatan TB paru dipantau dengan

41
sputum BTA. Perlu dibuat rekam medis tertulis yang berisi seluruh obat yang diberikan,
respons terhadap pemeriksaan bakteriologis, resistensi obat dan reaksi yang tidak
diinginkan untuk setiap pasien pada kartu berobat TB.
WHO merekomendasi pemeriksaan sputum BTA pada akhir fase intensif pengobatan
untuk pasien yang diobati dengan OAT lini pertama baik kasus baru maupun pengobatan
ulang. Pemeriksaan sputum BTA dilakukan pada akhir bulan kedua (2RHZE/4RH) untuk
kasus baru dan akhir bulan ketiga (2RHZES/1RHZE/5RHE) untuk kasus pengobatan
ulang. Rekomendasi ini juga berlaku untuk pasien dengan sputum BTA negatif.
Sputum BTA positif pada akhir fase intensif mengindikasikan beberapa hal berikut ini:
1. Supervisi yang kurang baik pada fase inisial dan ketaatan pasien yang buruk.
2. Kualitas OAT yang buruk.
3. Dosis OAT dibawah kisaran yang direkomendasikan.
4. Resolusi lambat karena pasien memiliki kavitas besar dan jumlah kuman yang
banyak
5. Adanya penyakit komorbid yang mengganggu ketaatan pasien atau respons terapi.
6. Penyebab TB pada pasien adalah M. tuberculosis resistan obat yang tidak
memberikan respons terhadap terapi OAT lini pertama.
Pada kasus yang tidak konversi disarankan mengirimkan sputum ke fasilitas pelayanan
kesehatan yang mempunyai TCM atau biakan.

Standar 10
• Respons terhadap pengobatan pada pasien dengan TB paru (termasuk pada pasien
yang di diagnosis dengan pemeriksaan molekular cepat) harus dimonitor dengan
pemeriksaan mikroskopis lanjutan pada saat selesainya fase intensif (dua bulan).
• Jika sputum masih positif diakhir fase intensif, pemeriksaan mikroskopis dilakukan
lagi pada akhir bulan ketiga, dan jika tetap positif, pemeriksaan kepekaan obat
molekular cepat (line probe assays atau TCM TB, MTB/RIF) atau biakan dengan
uji kepekaan obat harus dilakukan.
• Pada pasien dengan TB ekstra paru dan pada anak-anak, respons pengobatan dinilai
secara klinis.
International standard for TB care, 3rd edition

42
Bila hasil sputum BTA positif pada bulan kelima atau pada akhir pengobatan menandakan
pengobatan gagal dan perlu dilakukan diagnosis cepat TB MDR sesuai alur diagnosis TB
MDR. Pada pencatatan, kartu TB 01 ditutup dan hasil pengobatan dinyatakan “Gagal”.
Pengobatan selanjutnya dinyatakan sebagai tipe pasien “Pengobatan setelah gagal”. Bila
seorang pasien didapatkan TB dengan galur resistan obat maka pengobatan dinyatakan
“Gagal” kapanpun waktunya.
Pada pasien dengan sputum BTA negatif di awal pengobatan dan tetap negatif pada akhir
bulan kedua pengobatan, maka tidak diperlukan lagi pemantauan dahak lebih lanjut.
Pemantauan klinis dan berat badan merupakan indikator yang sangat berguna.

Standar 13
Untuk semua pasien perlu dibuat catatan yang mudah diakses dan disusun secara
sistematis mengenai:
• Obat-obatan yang diberikan,
• Respons bakteriologik,
• Hasil akhir pengobatan,
• Efek samping
International standard for TB care, 3rd edition
Pada pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya bila spesimen yang diperoleh pada
akhir fase intensif (bulan ketiga) adalah BTA positif maka biakan sputum dan uji kepekaan
obat sebaiknya dilakukan (Rekomendasi A)

6. Menilai respons OAT lini pertama pada pasien TB dengan riwayat pengobatan
sebelumnya
Pada pasien dengan OAT kategori 2, bila BTA masih positif pada akhir fase intensif, maka
dilakukan pemeriksaan TCM, biakan dan uji kepekaan. Bila BTA sputum positif pada akhir
bulan kelima dan akhir pengobatan (bulan kedelapan), maka pengobatan dinyatakan gagal
dan lakukan pemeriksaan TCM, biakan dan uji kepekaan. Hasil pengobatan ditetapkan
berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada akhir pengobatan, seperti pada Tabel
3.

43
Tabel 3. Definisi hasil pengobatan

Catatan :
Pasien TB sensitif OAT yang kemudian terbukti resistan obat dikeluarkan dari pelaporan
kohort hasil pengobatan.
Pemeriksaan sputum untuk biakan dan uji kepekaan sebaiknya dilakukan untuk semua
pasien dengan riwayat pengobatan TB sebelum atau sesaat sebelum pengobatan dimulai.
Pemeriksaan uji kepekaan minimal dilakukan INH dan Rifampisin.
7. Efek samping OAT
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa mengalami efek samping
yang bermakna. Namun, sebagian kecil dapat mengalami efek samping yang signifikan
sehingga mengganggu pekerjaannya sehari-hari. Penting dilakukannya pemantauan gejala
klinis pasien selama pengobatan sehingga efek tidak diinginkan tersebut dapat dideteksi
segera dan ditata laksana dengan tepat.

44
Neuropati perifer menunjukkan gejala kebas atau rasa seperti terbakar pada tangan atau
kaki. Hal ini sering terjadi pada perempuan hamil, orang dengan HIV, kasus
penyalahgunaan alkohol, malnutrisi, diabetes, penyakit hati kronik, dan gagal ginjal. Pada
pasien seperti ini sebaiknya diberikan pengobatan pencegahandengan piridoksin 25
mg/hari diberikan bersama dengan OAT.
Efek tidak diinginkan dari OAT dapat diklasifikasikan menjadi efek mayor dan minor.
Pasien yang mengalami efek samping OAT minor sebaiknya melanjutkan pengobatan dan
diberikan terapi simtomatik. Pada pasien yang mengalami efek samping mayor maka
paduan OAT atau OAT penyebab sebaiknya dihentikan pemberiannya.
Tata laksana efek samping dapat dilihat pada Tabel 4. Efek samping dibagi atas 2
klasifikasi yaitu efek samping berat dan ringan. Bila terjadi efek samping yang masuk ke
dalam klasifikasi berat, maka OAT dihentikan segera dan pasien dirujuk ke fasilitas yang
lebih tinggi.
Tabel 4. Pendekatan berdasarkan gejala untuk mengobati efek samping dari OAT
Efek Samping Kemungkinan obat penyebab Pengobatan
BERAT
Ruam kulit dengan atau streptomisin, isoniazid,
Hentikan OAT
tanpa gatal rifampisin, pirazinamid
Tuli streptomisin Hentikan streptomisin
Pusing vertigo dan
Streptomisin Hentikan streptomisin
nistagmus
Ikterik tanpa penyakit streptomisin, isoniazid,
Hentikan OAT
hepar (hepatitis) rifampisin, pirazinamid
Bingung (curigai gagal
Isoniazid, pirazinamid,
hati imbas obat bila Hentikan OAT
rifampisin Sebagian besar OAT
terdapat ikterik)
Gangguan penglihatan
(singkirkan penyebab Etambutol Hentikan etambutol
lainnya)
Syok, purpura, gagal Rifampisin Hentikan rifampisin

45
ginjal akut (sangat
jarang terjadi, akibat
gangguan
imunologi)
Oligouria Streptomisin Hentikan streptomisin
Lanjutkan OAT dan cek dosis
RINGAN
OAT
Anoreksia, mual, nyeri Pirazinamid, rifampisin, Berikan obat dengan bantuan
perut isoniazid sedikit makanan atau menelan
OAT sebelum tidur, dan
sarankan untuk menelan pil
secara lambat dengan sedikit air.
Bila gejala menetap atau
memburuk, atau muntah
berkepanjangan atau terdapat
tanda tanda perdarahan,
pertimbangkan kemungkinan
ETD mayor dan rujuk ke dokter
ahli segera
Aspirin atau obat anti inflamasi
Nyeri sendi isoniazid
non-steroid, atau parasetamol
Rasa terbakar, kebas
atau kesemutan di isoniazid Piridoksin 50-75 mg/ hari(13)
tangan dan kaki
Obat dapat diberikan sebelum
Rasa mengantuk isoniazid
tidur
Pastikan pasien diberitahukan
Air kemih berwarna
rifampisin sebelum mulai minum obat dan
kemerahan
bila hal ini terjadi adalah normal
Sindrom flu (demam, Pemberian rifampisin intermiten Ubah pemberian rifampisin

46
menggigil, malaise, sakit intermiten menjadi setiap hari
kepala, nyeri tulang)

8. Pengawasan dan ketaatan pasien dalam pengobatan OAT


Ketaatan pasien pada pengobatan TB sangat penting untuk mencapai kesembuhan,
mencegah penularan dan menghindari kasus resistan obat. Pada “Stop TB Strategy”
mengawasi dan mendukung pasien untuk minum OAT merupakan landasan DOTS dan
membantu pencapaian target keberhasilan pengobatan 85%. Kesembuhan pasien dapat
dicapai hanya bila pasien dan petugas pelayanan kesehatan bekerjasama dengan baik dan
didukung oleh penyedia jasa kesehatan dan masyarakat.
Pengobatan dengan pengawasan membantu pasien untuk minum OAT secara teratur dan
lengkap. Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan metode
pengawasan yang direkomendasikan oleh WHO dan merupakan paket pendukung yang
dapat menjawab kebutuhan pasien. Pengawas menelan obat (PMO) harus mengamati
setiap asupan obat bahwa OAT yang ditelan oleh pasien adalah tepat obat, tepat dosis dan
tepat interval, disamping itu PMO sebaiknya adalah orang yang telah dilatih, dapat diterima
baik dan dipilih bersama dengan pasien. Pengawasan dan komunikasi antara pasien dan
petugas kesehatan akan memberikan kesempatan lebih banyak untuk edukasi, identifikasi
dan solusi masalah-masalah selama pengobatan TB. Directly observed treatment short
course sebaiknya diterapkan secara fleksibel dengan adaptasi terhadap keadaan sehingga
nyaman bagi pasien.
9. Pencatatan dan pelaporan program penanggulangan TB
Pencatatan dan pelaporan adalah komponen penting dalam program nasional TB, hal ini
dilakukan agar bisa didapatkannya data yang kemudian dapat diolah, dianalisis,
diinterpretasi, disajikan serta kemudian disebarluaskan. Data yang dikumpulkan harus
merupakan data yang akurat, lengkap dan tepat waktu sehingga memudahkan proses
pengolahan dan analisis data. Data program TB diperoleh dari pencatatan yang
dilakukan di semua sarana pelayanan kesehatan dengan satu sistem baku yang sesuai
dengan program TB, yang mencakup TB sensitif dan TB RO.

47
3.8 PROGNOSIS
Kesembuhan total biasanya dijumpai pada kasus TB non-MDR dan TB non- XDR TB,
ketika regimen pengobatan telah selesai. Beberapa penelitian yang melibatkan directly observed
therapy (DOT) dalam terapi TB menunjukkan angka kekambuhan senilai 0-14%. Pada negara
dengan prevalensi TB yang rendah, kekambuhan biasanya timbul 12 bulan setelah pengobatan
selesai dan biasanya merupakan kasus relaps. Hal ini berbeda pada negara dengan prevalensi TB
yang tinggi, dimana kekambuhan lebih mungkin merupakan kasus reinfeksi dibandingkan dengan
relaps. Prognosis yang buruk ditandai dengan keterlibatan ekstraparu, keadaan immunodefisiensi,
usia lanjut, dan riwayat pengobatan TB sebelumnya. 10

48
DAFTAR PUSTAKA

1. KEMENKES RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis.


Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2019.
2. PUSDATIN KEMENKES RI. Tuberkulosis, Jakarta: Pusat Data dan informasi Kementerian
Kesehatan RI. 2018.
3. Global TB. Report 2016. Methods used by WHO to estimate the global burden of TB disease,
Glaziou P., Sismanidis C., Zignol M., Floyd K., Global TB Programme, WHO, Geneva,
Switzerland. 2016.
4. Ramadhaniah F, Syarif S. Studi Tinjauan Pustaka: Risiko Kejadian Kanker Paru pada
Penderita Tuberkulosis Paru. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia Vol. 2020 Jun;4(1).
5. Amin Z & Bahar A. Tuberkulosis Paru dalam Sudoyo, Aru W, et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 1. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2014 Jul:
863-881.
6. KEMENKES RI. Petunjuk Teknis Manajemen Dan Tatalaksana TB pada Anak. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2016.
7. Kasper D, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson J, Loscalzo J. Harrison's principles of
internal medicine, 20e. Mcgraw-hill; 2018.
8. Indonesia PD. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. 2006.
9. Burhan E. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis.
http://www.perdoki.or.id/pdf/32.pdf.
10. Herchline TE & Amorosa JK. Tuberculosis (TB).
https://emedicine.medscape.com/article/230802-overview#a7.

Anda mungkin juga menyukai