Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA

Disusun Oleh :

Ardini Saskia Noviayanti (1102016030)

Preseptor :
dr. Hendi Anshori, SpB

KEPANITERAAN KLINIK SMF BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD DR. SLAMET GARUT
JANUARI 2022
BAB I
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Tn. Y

Usia : 64 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Menikah

Alamat : Kp. Sindangsari, Cisompet

Agama : Islam

Pekerjaan : Tidak Bekerja

Pendidikan Terakhir : SMP

Tanggal Pemeriksaan : 5 Januari 2022

1
B. Anamnesis

KU: Sulit BAK sejak 2 bulan SMRS yang memberat dalam 2 hari SMRS

Pasien mengeluhkan tidak bisa BAK sejak 2 bulan SMRS. Karena pasien

tidak bisa BAK, pasien dipasang selang kencing sejak 2 bulan SMRS, selang

kencing diganti setiap 1 minggu di Puskesmas dekat dengan kediaman pasien.

Keluhan diawali dengan adanya sulit BAK sejak 1 tahun terakhir. Keluhan

disertai dengan BAK sering, <2jam ingin BAK lagi, pancaran BAK lemah dan

mengejan saat BAK. Pasien merasa BAK tidak tuntas, dan malam hari sering

terbangun untuk BAK, 3-4x per malam.

Tidak ada peningkatan dalam jumlah air yang diminum perhari yaitu

sekitar 8 gelas perhari. Demam disangkal. Nyeri saat BAK disangkal. BAK

berdarah disangkal. BAK berpasir disangkal. Gangguan BAB disangkal.

Penurunan BB disangkal. Penggunaan obat-obatan seperti diuretik disangkal.

Kebiasaan sering minum kopi disangkal. Higiene area genital baik. Riwayat

trauma saluran kemih disangkal. Riwayat operasi saluran kemih sebelumnya

disangkal. Riwayat DM dan hipertensi disangkal

C. Skor keluhan

International Prostate Symptoms Score (IPSS) : 33 (berat)

D. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

2
Tanda Vital

Tekanan Darah : 130/90 mmHg

Nadi : 96x/menit

Laju Nafas : 20x/menit

Suhu : 36,5oC

Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Leher : KGB tidak teraba

Thorax : Bentuk dan gerak simetris

Paru-paru : VBS kiri = kanan, Ronchi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung : S1 S2 reguler normal, murmur (-)

Abdomen : Datar, lembut, BU (+) normal, Nyeri tekan (-),

Hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2”

Genitourinaria

a/r flank bilateral : Ballotement (-/-), nyeri tekan (-/-)

Nyeri ketok CVA (-/-)

a/r suprapubic : Buli-buli kesan kosong, nyeri tekan (-)

a/r genitalia eksterna : Terpasang foley catheter 18 FR; kuning jernih

Rectal Toucher : TSA (+) kuat, mukosa licin, ampula tidak kolaps,

teraba massa prostat ukuran 3 ruas jari,

permukaan licin, nodul (-), kenyal, simetris,

BCR (+) kuat, lendir (-), darah (-)

3
E. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium (21/12/2021)

Parameter Hasil

Hemoglobin 15,2

Hematokrit 45
Leukosit 9.280

Trombosit 290.000
Eritrosit 5.70

Basofil 0
Eosinofil 1

Batang 0
Netrofil 69

Limfosit 25
Monosit 5

Ureum 18

Kreatinin 1.1

BT 2

CT 8

b. USG Prostat (21/12/2021)

■ Ginjal kanan dan kiri : Ukuran ginjal tampak normal, echogenitas


parenkim normal. Batas tekstur parenkim dengan central echocomplex
jelas. Tidak tampak bayangan hiperekhoik dengan acoustic shadow.
Sistem pelvokalises tidak menebal. Ureter tidak terdeteksi.

■ Vesica urinaria: terisi penuh, dinding menebal, tidak tampak


batu/massa.
4
■ Prostat: Ukuran membesar volume 98 ml, parenkim homogen

■ Kesan: Pembesaran prostat

F. Resume

Tn.Y, 64 tahun, datang dengan keluhan utama Sulit BAK sejak 2 bulan
SMRS yang memberat dalam 2 hari SMRS. Keluhan diawali dengan munculnya
gejala frequency, urgency, nocturia, intermittency, straining, incomplete emptying
yang muncul sejak 1 tahun SMRS. Skor IPSS 33.
Dari pemeriksaan fisik rectal toucher didapatkan prostat teraba 3 ruas jari,
permukaan licin, nodul (-), konsistensi kenyal, simetris, nyeri tekan (-).
Pemeriksaan lab darah dan fungsi ginjal dalam batas normal. USG Prostat: Ukuran
membesar volume 98 ml, parenkim homogen.

G. Diagnosis

LUTS e.c Suspek Benign Prostat Hyperplasia dd/ LUTS e.c Ca Prostat

H. Tatalaksana

a. Pre - Operasi

■ IVFD RL 1500 CC 20tpm


■ Puasa 6 jam pre-op
■ Edukasi

b. Pembedahan

■ Open prostatectomy

I. Prognosis
Quo Ad Vitam : Ad bonam
Quo Ad Functionam : dubia Ad bonam
Quo Ad Sanationam : dubia Ad bonam

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi

Benign Prostate Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat

yang ditandai dengan gejala Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) yang dapat

menurunkan kualitas hidup penderita. BPH adalah istilah gambaran pada histologi

adanya hyperplasia dari sel stroma dan sel epitel pada periurethral dan transisional

prostat.

Sementara itu, istilah benign prostatic enlargement (BPE) merupakan

istilah klinis yang menggambarkan bertambahnya volume prostat akibat adanya

perubahan histopatologis yang jinak pada prostat (BPH). Diperkirakan hanya

sekitar 50% dari kasus BPH yang berkembang menjadi BPE. Pada kondisi yang

lebih lanjut, BPE dapat menimbulkan obstruksi pada saluran kemih, disebut

dengan istilah benign prostatic obstruction (BPO). BPO sendiri merupakan bagian

dari suatu entitas penyakit yang mengakibatkan obstruksi pada leher kandung

kemih dan uretra, dinamakan bladder outlet obstruction (BOO). Adanya obstruksi

pada BPO ataupun BOO harus dipastikan menggunakan pemeriksaan urodinamik.

B. Epidemiologi

BPH terjadi pada sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan

meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Angka kejadian BPH di

Indonesia yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital

prevalence di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sejak tahun 1994-2013

ditemukan 3.804 kasus dengan rata-rata umur penderita berusia 66,61 tahun

6
Sedangkan data yang didapatkan dari Rumah Sakit Hasan Sadikin dari tahun 2012-

2016 ditemukan 718 kasus dengan rata-rata umur penderita berusia 67.9 tahun.

C. Faktor Resiko

Faktor risiko yang paling berperan dalam BPH adalah usia, selain adanya

testis yang fungsional sejak pubertas (faktor hormonal). Dari berbagai studi

terakhir ditemukan hubungan positif antara BPH dengan riwayat BPH dalam

keluarga, kurangnya aktivitas fisik, diet rendah serat, konsumsi vitamin E,

konsumsi daging merah, obesitas, sindrom metabolik, inflamasi kronik pada

prostat, dan penyakit jantung.

D. Patogenesis

a. Androgen Pathway

Prostat merupakan androgen-dependent organ, dimana tetap

mempertahankan kemampuan untuk merespon androgen, mempertahankan

level reseptor androgen dan level DHT sepanjang usia. Peningkatan

konversi testosterone ke DHT oleh 5a-reductase menjadi DHT yang akan

berikatan dengan androgen receptor terutama di zona transitional dan

aromatisasi androgen menjadi estrogen oleh enzyme p450 aromatase ,

estrogen berikatan dengan estrogen receptor di prostat akan menyebabkan

alterasi expresi gen. Semua hal ini menyebabkan produksi dan sekresi

peptide GF (ex. IGF, EGF,FGF yang akan mengubah keseimbangan sel

proliferasi dan kematian sel yang akan menjadi proliferasi sel lebih dari

jumlah kematian sel.

7
b. Age Related Tissue Remodelling

Aging menyebabkan remodelling jaringan prostate di zona transition

dengan cara:

● Hipertrofi sel basal

● Alterasi sekresi sel luminal → kalsifikasi, ductus tersumbat dan

inflamasi

● Infiltrasi limfosit dan produksi cytokine proinflammatory

● Meningkatkan produksi ROS

8
● Meningkatkan basic fibroblast dan TGF-B → proliferasi stromal,

transdiferensiasi dan produksi ECM

● Alterasi fungsi sel neuroendokrin dan pelepasn peptide NE (e.q. :

calcitonin, neurotensin, bombesin) yang mempromote epithelial cell

growth dan diffrentiation

c. Inflamasi

Ketika terjadi inflamasi (ex. Infeksi kronis) akan menyebabkan

prostate inflamasi sehingga sel stromal prostat mengaktivasi CD4 dan

proinflammatory cytokine-chemokine (ex. Stromal-derived IL-8) sehingga

terjadi remodelling jaringan kronis.

d. Metabolic Syndrome

Setiap peningkatan 1 kg/m2 pada BMI akan meningkatkan 0.4 ml

volume prostate. Sehingga, pada pasien obesitas (BMI>35 kg/m2)

meningkatkan resiko 3.5x BPE. peningkatan ROS diduga dapat

menurunkan suplai vascular yang akan mendukung inflamasi prostate.

E. Manifestasi Klinis

Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa lower

urinary tract symptoms (LUTS), yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding

symptoms), gejala iritasi (storage symptoms), dan gejala pasca berkemih.

9
F. Diagnosis

a. Anamnesis

i. Riwayat Penyakit

● Keluhan yang dirasakan dan berapa lama keluhan itu mengganggu

● Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia :

cedera, infeksi, kencing berdarah (hematuria), kencing batu,

pembedahan pada saluran kemih

● Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual

● Riwayat konsumsi obat yang dapat menimbulkan keluhan berkemih

ii. Skor Keluhan

Pemandu untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala

obstruksi akibat pembesaran prostat adalah sistem skoring keluhan.

Salah satu sistem penskoran yang digunakan secara luas adalah

International Prostate Symptom Score (IPSS) yang telah

dikembangkan American Urological Association (AUA) dan

distandarisasi oleh World Health Organization (WHO). Skor ini

berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien BPH. IPSS

10
terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki nilai 0

hingga 5 dengan total maksimum 35 (lihat lampiran kuesioner IPSS

yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia). Kuesioner

IPSS dibagikan kepada pasien dan diharapkan pasien mengisi

sendiri setiap pertanyaan. Beratringannya keluhan pasien BPH

dapat digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh, yaitu: skor 0-7:

ringan, skor 8-19: sedang, dan skor 20-35: berat.4-6 Selain 7

pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan IPSS terdapat satu

pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup (quality of life atau

QoL) yang juga terdiri atas 7 kemungkinan jawaban.4-5 Saat ini

IPSS telah divalidasi dalam bahasa Indonesia, dengan hasil validasi

dan realibilitas sangat baik, dan terbukti memiliki kualitas sama

dengan versi asli.

11
iii. Visual Prostatic Symptom Score (VPSS)

Metode lain untuk menilai secara subyektif gangguan

saluran kemih bawah adalah dengan Visual Prostatic Symptom

Score (VPSS). Gambar pada VPSS mewakili frekuensi, nokturia,

pancaran lemah dan kualitas hidup. VPSS memiliki keunggulan

12
dibandingkan IPSS, antara lain, lebih mudah digunakan oleh lansia

yang mengalami gangguan penglihatan, yang sulit membaca tulisan

pada IPSS.

b. Pemeriksaan Fisik

i. Status Urologis

● Ginjal: obstruksi, tanda infeksi

13
● Kandung kemih: palpasi dan perkusi untuk menilai isi

kandung kemih, tanda infeksi

● Genitalia eksterna: meatal stenosis, fimosis, tumor penis,

urethral discharge

ii. Colok dubur

Colok dubur atau digital rectal examination (DRE)

merupakan pemeriksaan yang penting pada pasien BPH. Dari

pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran

prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan

salah satu tanda dari keganasan prostat. Mengukur volume prostat

dengan DRE cenderung lebih kecil daripada ukuran yang

sebenarnya.

Pada pemeriksaan colok dubur juga perlu menilai tonus

sfingter ani dan refleks bulbokavernosus yang dapat menunjukkan

adanya kelainan pada lengkung refleks di daerah sakral. Kelebihan

colok dubur adalah dapat menilai konsistensi prostat, dan adanya

nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat.

c. Pemeriksaan Penunjang

i. Urinalisis

Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya

leukosituria dan hematuria. Apabila ditemukan hematuria, maka

14
perlu dicari penyebabnya. Bila dicurigai adanya infeksi saluran

kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine.

ii. Pemeriksaan fungsi ginjal

Obstruksi infravesika akibat BPH dapat menyebabkan

gangguan pada saluran kemih bagian atas. Gagal ginjal akibat BPH

terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Pemeriksaan faal

ginjal berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan

pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas.

iii. Pemeriksaan PSA

PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ

specific tetapi bukan cancer specific. Kadar PSA di dalam serum

dapat mengalami peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi

pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut,

kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua.Serum PSA

dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH;

dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti:

(a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat,

(b) keluhan akibat BPH/ laju pancaran urine lebih jelek, dan

(c) lebih mudah terjadi retensi urine akut

Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan

berdasarkan kadar PSA. Semakin tinggi kadar PSA, maka semakin

cepat laju pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan volume prostat

rata-rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2-1,3 ng/dl adalah 0,7

15
mL/tahun,sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl adalah 2,1

mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3 mL/tahun.12

Serum PSA dapat meningkat pada saat terjadi retensi urine akut dan

kadarnya perlahan-lahan menurun terutama setelah 72 jam

dilakukan kateterisasi.

iv. Uroflowmetri

Uroflowmetry adalah pemeriksaan pancaran urine selama

proses berkemih. Pemeriksaan non-invasif ini ditujukan untuk

mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah. Dari

uroflowmetry dapat diperoleh informasi mengenai volume

berkemih, laju pancaran maksimum (Qmax), laju pancaran rata-rata

(Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai laju pancaran

maksimum, dan lama pancaran. Pemeriksaan ini dipakai untuk

mengevaluasi gejala obstruksi infravesika, baik sebelum maupun

setelah terapi.

16
v. Residu Urin

Peningkatan volume residu urine dapat disebabkan oleh

obstruksi saluran kemih bagian bawah atau kelemahan kontraksi

otot detrusor. Volume residu urine yang banyak pada pemeriksaan

awal berkaitan dengan peningkatan risiko perburukan gejala.

Peningkatan volume residu urine pada pemantauan berkala

berkaitan dengan risiko terjadinya retensi urine.

d. Pencitraan

i. Saluran kemih bagian atas

Jika ada indikasi : hematuria, infeksi saluran kemih,

insufiensi renal, residu urin banyak, riwayat urolitiasis, riwayat

pembedahan saluran urogenitalia. Pemeriksaan awal : USG

ii. Saluran kemih bagian bawah

Jika dicurigai ada striktur uretra ⇒ uretrosistografi retrograd

iii. Prostat

Dengan Ultrasonografi transabdominal (TAUS) atau

Ultrasonogrrafi transrektal (TRUS) ⇒ menilai bentuk dan besar

prostat

17
iv. Indeks protrusi prostat

Diukur menggunakan USG transabdominal. Derajat

berdasarkan ukuran protrusi :

● <5 mm

● 5-10 mm

● 10-15 mm

● >15 mm

v. Urosistoskopi

Jika : riwayat hematuria, striktur uretra, uretritis, trauma

uretra, instrumentasi uretra, riwayat operasi uretra, kecurigaan

kanker kandung kemih

vi. Urodinamik

Merupakan serangkaian tes untuk menilai fungsi dan kondisi

saluran kemih bagian bawah.

Terdiri dari :

● Uroflowmetri

● Tes sistometri : memasukkan kateter dengan manometer ke

dalam kandung kemih

● Elektromiografi : aktivitas listrik dari saluran kemih bagian

bawah. Diagnosis kerusakan saraf kandung kemih

● Pengukuran post void sisa : USG atau kateter

18
G. Diagnosis Banding

● Striktur uretra

● Kontraktur leher kandung kemih

● Batu buli

● Kanker prostat yang meluas secara lokal

● Penurunan kontraktilitas kandung kemih

H. Tatalaksana

Tujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki kualitas hidup

pasien.Terapi yang didiskusikan dengan pasien tergantung pada derajat keluhan,

keadaan pasien, serta ketersediaan fasilitas setempat. Pilihannya adalah: (1)

konservatif (watchful waiting), (2) medikamentosa, (3) pembedahan (Tabel 1), dan

(4) lain-lain (kondisi khusus).

19
a. Konservatif

Terapi konservatif pada BPH dapat berupa watchful waiting yaitu

pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya

tetap diawasi oleh dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien

BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak

mengganggu aktivitas sehari-hari.

Pada watchful waiting ini, pasien diberi penjelasan mengenai segala

sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya:

(1) jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah

makan malam,

(2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi

pada kandung kemih (kopi atau cokelat),

(3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung

fenilpropanolamin,

(4) jangan menahan kencing terlalu lama.

(5) penanganan konstipasi

b. Medikamentosa

Terapi medikamentosa diberikan pada pasien dengan skor IPSS >7.

Jenis obat yang digunakan adalah:

20
c. Pembedahan

Indikasi tindakan pembedahan, yaitu pada BPH yang sudah

menimbulkan komplikasi, seperti:

(1) retensi urine akut;

(2) gagal Trial Without Catheter (TWOC);

(3) infeksi saluran kemih berulang;

(4) hematuria makroskopik berulang;

(5) batu kandung kemih;

(6) penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH;

(7) dan perubahan patologis pada kandung kemih dan saluran kemih bagian

atas.

21
Indikasi relatif lain untuk terapi pembedahan adalah keluhan sedang

hingga berat, tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non

bedah, dan pasien yang menolak pemberian terapi medikamentosa.

I. Komplikasi

● Retensi urin

● Infeksi Saluran Kencing

● Gangguan pada kandung kemih

● Gangguan pada ginjal

● Batu kandung kemih

J. Prognosis

Laki-laki dengan BPH yang mengalami retensi urin akut biasanya berusia

di atas 70 tahun dengan komorbiditas yang lebih banyak dan risiko komplikasi

yang lebih tinggi. Prognosis ditentukan oleh respons terhadap terapi. TURP

22
mengurangi retensi urin akut 85-90%. Penggunaan modalitas kateterisasi lepas

pasang dan sistostomi menunjukkan hasil komplikasi yang lebih sedikit.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Gerber GS, Brendler CB. Evaluation of the Urologic Patient:History,


Physical Examination, and Urinalysis. In: Campbell-Walsh Urology. 10th
Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders 2012; p. 71-80.
2. Gravas S, Bachmann A, Descazeaud A, et al. Guidelines on the
Management of NonNeurogenic Male Lower Urinary Tract Symptoms
(LUTS), incl. Benign Prostatic Obstruction (BPO). European Association
of Urology 2014.
3. Curran MP. Silodosin: treatment of the signs and symptoms of benign
prostatic hyperplasia. Drugs. 2011;71(7): 897-907.
4. Russo A, Hedlund P, Montorsi F. Silodosin From Bench to Bedside:
Selectivity, Safety, and Sustained Efficacy. Eur Urol Suppl 2011;10(6):445-
50.
5. Yoshida M, J. K, Homma Y, Kawabe K. New clinical evidence of
silodosin, an a 1A selective adrenoceptor antagonist, in the treatment for
lower urinary tract symptoms. 2012;(December 2011):306–16. Int J Urol.
2012;19(4):306-16.
6. McVary KT, Roehrborn CG, Avins AL, et al. Management of Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH). American Urological Association Education
and Research, Inc. Chapter 3: 13- 35, 2010
7. Gravas S, Bach T, Bachmann A et al. Management of Non-Neurogenic
Male Lower UrinaryTract Symptom (LUTS) incl. benign prostatic
obstruction (BPO). European Association of Urology Guidelines. 2016
edition. 15-22, 2016

24

Anda mungkin juga menyukai