DOKTER INTERNSHIP
Pembimbing :
Dr. Sartono
Penyusun :
Kabupaten Wonogiri
2020
IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Tn. x Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 65 tahun Suku bangsa : Jawa
Status perkawinan : Sudah Menikah Agama : Islam
Pekerjaan : pensiunan Pendidikan : SMA
Alamat : Ngadirojo, Wonogiri.
A. ANAMNESIS
Diambil dari autoanamnesis, tanggal 10 Maret 2020 , pukul 09.15 WIB
Keluhan Utama:
Susah buang air kecil
B. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
Kesadaran : Compos mentis
Kesan sakit : Sakit sedang
Tinggi Badan : 165
Berat badan : 55kg
Gizi : Baik
Tanda Vital
Tekanan darah : 160 / 100
Nadi : 100 x/ menit
Suhu : 36,5 derajat celcius
Pernapasan : 16 x/menit
- Kepala/leher : Normosefali, deformitas (-), bengkak (-)
: Pembesaran KGB -/-
: Pembesaran kelenjar tiroid -/-
- Mata : Reflek cahaya +/+, Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-,
Pupil isokor, 3mm/3mm
- Telinga/hidung : Deformitas (-), nyeri (-), sekret (-)
: Septum nasi ditengah
- Mulut/faring : Mukosa tidak pucat, hiperemis (-)
: Tonsil T1/T1
: Uvula ditengah
- Thorax
Paru
Inspeksi : Bentuk dada normal dan simetris, gerak napas tertinggal (-)
Palpasi : Tactile fremitus simetris, sama kuat, ekspansi normal
Perkusi : Bunyi sonor pada semua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler, wheezing -/-, ronki -/-
- Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Pekak, batas jantung normal
Auskultasi : S1/S2 normal, (-) murmur, (-) gallop (-)
- Abdomen
Inspeksi : Cembung, bekas luka (-)
Auskultasi : Bising usus normal, bruits (-)
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan epigastrik (+), hepatomegali (-), splenomegali (-)
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Lab 10 Maret 2020
Hematologi
Hb : 14,2 g/dL (13.5-17.5g/dL)
Hematokrit : 42 % (40 -51 %)
Trombosit : 174.000/uL ↓ (163.000-337.000/uL)
Leukosit : 5.500/uL ↓ (4.200-9.900/uL)
GDS : 97 mg/dl (60-100)
Ringkasan
Pasien pria usia 65 tahun datang dengan keluhan tidak bisa buang air kecil sejak tiga
bulan yang lalu. Kencing dirasakan sulit,harus mengedan dan terasa sakit. Pasien
mengeluh sehabis kencing belum merasa puas, sering kencing malam hari. Pada
pemeriksaan fisik TD 160/100, hasil rectal toucher teraba masa kenyal simetris dan terasa
ngilu.
Diagnosis Kerja
Retensio urin susp. BPH
Diagnosis Banding
Karsinoma prostat,
Karsinoma buli-buli
Prostatitis akut.
Penatalaksanaan
Pasang Kateter
PO. Asam Mefenamat 3 x 1
PO. Ciprofloxacin 2 x 500 mg
Prognosis :
Ad vitam : Dubia Ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Ad sanasionam : Dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang paling sering mengalami
pembesaran, baik jinak maupun ganas1. Pembesaran prostat jinak (PPJ) merupakan
penyakit tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih.
Penyakit ini juga dikenal sebagai benign prostatic hyperplasia (BPH), di mana kelenjar
periuretra mengalami hiperplasia, sedangkan jaringan prostat asli terdesak ke perifer
menjadi kapsul bedah.
Etiologi
Penyebab PPJ belum jelas. Beberapa teori telah dikemukakan berdasarkan faktor
histologi, hormon, dan faktor perubahan usia, di antaranya:
Teori DHT (dihidrotestosteron): testosteron dengan bantuan enzim 5-a reduktase
dikonversi menjadi DHT yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat.
Teori Reawakening. Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk merangsang
pertumbuhan epitel. Menurut Mc Neal, seperti pada embrio, lesi primer PPJ
adalah penonjolan kelenjar yang kemudian bercabang menghasilkan kelenjar-
kelenjar baru di sekitar prostat. Ia menyimpulkan bahwa hal ini merupakan
reawakening dari induksi stroma yang terjadi pada usia dewasa.
Teori stem cell hypotesis. Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan
asumsi bahwa pada kelenjar prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan
epitel, juga ada hubungan antara jenis-jenis sel epitel yang ada di dalam jaringan
prostat. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying. Keduanya tidak
tergantung pada androgen. Sel aplifying akan berkembang menjadi sel transit
yang tergantung secara mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya androgen
sel ini akan berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.
Teori growth factors. Teori ini berdasarkan adanya hubungan interaksi antara
unsur stroma dan unsur epitel prostat yang berakibat PPJ. Faktor pertumbuhan ini
dibuat oleh sel-sel stroma di bawah pengaruh androgen. Adanya ekspresi
berlebihan dari epidermis growth factor (EGF) dan atau fibroblast growth factor
(FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi transforming growth factor- b (TGF -
b, akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan
menghasilkan pembesaran prostat.
Namun demikian, diyakini ada 2 faktor penting untuk terjadinya PPJ, yaitu
adanya dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Pada pasien dengan
kelainan kongenital berupa defisiensi 5-a reduktase, yaitu enzim yang
mengkonversi testosteron ke DHT, kadar serum DHT-nya rendah, sehingga
prostat tidak membesar. Sedangkan pada proses penuaan, kadar testosteron serum
menurun disertai meningkatnya konversi testosteron menjadi estrogen pada
jaringan periperal. Pada anjing, estrogen menginduksi reseptor androgen. Peran
androgen dan estrogen dalam PPJ adalah kompleks dan belum jelas benar.
Tindakan kastrasi sebelum masa pubertas dapat mencegah PPJ. Pasien dengan
kelainan genetik pada fungsi androgen juga mempunyai gangguan pertumbuhan
prostat. Dalam hal ini, barangkali androgen diperlukan untuk memulai proses PPJ,
tetapi tidak dalam hal proses pemeliharaan. Estrogen berperan dalam proses
hiperplasia stroma yang selanjutnya merangsang hiperlpasia epitel.
Patologi
Perubahan paling awal pada PPJ adalah di kelenjar periuretra sekitar
verumontanum.
Perubahan hiperlpasia pada stroma berupa nodul fibromuskuler, nodul
asinar atau nodul campuran fibroadenomatosa.
Hiperplasia glandular terjadi berupa nodul asinar atau campuran dengan
hiperplasia stroma. Kelenjar-kelenjar biasanya besar dan terdiri atas tall columnar
cells. Inti sel-sel kelenjar tidak menunjukkan proses keganasan. Sekitar 10—60%
sel epitel kelenjar ada yang berbentuk cribiform pada sepertiga spesimen
penderita PPJ. Ini tampak pada kanker prostat walaupun inti selnya tidak
menunjukkan perubahan keganasan.
Sel epitel PPJ serupa dengan prostat normal, yaitu sel yang aktif
bersekresi. Dengan teknik histokimia, tampak aktivitas yang tinggi dari prostat
specific antigen (PSA), asam fosfatase, enzim proteolitik dan enzim lainnya, serta
sitrat dan seng dalam kelenjar.
Patofisiologi
Perubahan yang terjadi berjalan lambat. Efek patofisiologi PPJ merupakan akibat
interaksi yang kompleks antara komponen statik berupa resistensi uretra. Juga akibat
penekanan uretra oleh prostat karena meningkatnya volume prostat dengan komponen
dinamik, yaitu adanya peningkatan tonus kelenjar prostat dan leher buli-buli yang diatur
oleh sistem saraf otonom melalui reseptor yang bertanggung jawab untuk proses tersebut,
a–1 adrenoceptor. Berbagai keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan dan resistensi
uretra. Selanjutnya hal ini akan menyebabkan sumbatan aliran kemih. Untuk mengatasi
resistensi uretra yang meningkat, mula-mula otot-otot detrusor mengalami kompensasi
dengan terjadinya hipertrofi. Lama-lama mengalami dekompensasi sehingga tonus otot
menurun dan terbentuk divertikel.
Proses patologis lainnya adalah penimbunan jaringan kolagen dan elastin di antara
otot polos yang berakibat melemahnya kontraksi otot. Selain itu, terdapat degenarasi sel
saraf yang mempersarafi otot polos. Hal ini mengakibatkan terjadinya hipersensitivitas
pasca fungsional, ketidakseimbangan neurotransmiter, dan penurunan input sensorik,
sehingga otot detrusor tidak stabil. Karena fungsi otot vesika tidak normal, maka terjadi
peningkatan volume residu urin yang menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran
kemih atas.
Gejala Klinis
Gejala pembesaran prostat jinak dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama,
gejala iritatif, terdiri dari sering buang air kecil (frequency), tergesa-gesa untuk buang air
kecil (urgency), buang air kecil malam hari lebih dari satu kali (nocturia), dan sulit
menahan buang air kecil (urge incontinence). Kedua, gejala obstruksi, terdiri dari
pancaran melemah, akhir buang air kecil belum terasa kosong (Incomplete emptying),
menunggu lama pada permulaan buang air kecil (hesitancy), harus mengedan saat buang
air kecil (straining), buang air kecil terputus-putus (intermittency), dan waktu buang air
kecil memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan terjadi inkontinen karena
overflow.
Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan
penentuan jenis pengobatan PPJ dan untuk menilai keberhasilan pengobatan PPJ,
dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable. Terdapat beberapa sistem skoring, di
antaranya skor International Prostate Skoring System (IPSS) yang diambil berdasarkan
skor American Urological Association (AUA). Sistem skoring yang lain adalah skor
Madsen-Iversen dan skor Boyarski1,
Skor AUA terdiri dari 7 pertanyaan. Pasien diminta untuk menilai sendiri derajat
keluhan obstruksi dan iritatif mereka dengan skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara 0-
35. Skor 0-7 ringan, 8-19 sedang, dan 20-35 berat1. Skor Madsen-Iversen terdiri dari 6
pertanyaan yang berupa pertanyaan-pertanyaan untuk menilai derajat obstruksi dan 3
pertanyaan untuk gejala iritatif. Total skor dapat berkisar antara 0-29. Skor < 10 ringan,
10-20 sedang, dan > 20 berat. Perbedaannya dengan skor AUA adalah dalam skor
Madsen Iversen penderita tidak menilai sendiri derajat keluhannya. Perbedaan ini yang
mendasari mengapa skor Madsen-Iversen digunakan di Sub Bagian Urologi RSUPN
Cipto Mangunkusumo.
Tanda Klinis
Tanda klinis terpenting dalam PPJ adalah ditemukannya pembesaran pada
pemeriksaan colok dubur/digital rectal examination (DRE). Ukuran dan konsistensi
prostat perlu diketahui, walaupun ukuran prostat yang ditentukan melalui DRE tidak
berhubungan dengan derajat obstruksi. Pada PPJ, prostat teraba membesar dengan
konsistensi kenyal. Apabila teraba indurasi atau terdapat bagian yang teraba keras, perlu
dipikirkan kemungkinan keganasan.
Laboratorium
Terdapat dua pemeriksaan yang terpenting, yaitu darah dan urin. Pemeriksaan
darah yang perlu dilakukan khusus untuk prostat adalah kreatinin serum, elektrolit
(Natrium dan Kalium), dan PSA. Pemeriksaan urin yang perlu dilakukan adalah sedimen
urin dan kultur.
Nilai PSA normal di negara-negara yang mempunyai prevalensi kanker prostat
yang tinggi adalah di bawah 4 ng/ml. Nilai PSA 4-10 ng/ml dianggap sebagai daerah
kelabu (gray area), perlu dilakukan penghitungan PSA Density (PSAD), yaitu serum PSA
dibagi dengan volume prostat. Apabila nilai PSAD > 0.15, perlu dilakukan biopsi prostat.
Bila nilai PSAD < 0.15, tidak perlu dilakukan biopsi prostat. Nilai PSA > 10 ng/ml
dianjurkan untuk dilakukan biopsi prostat.
Di negara-negara Asia, di mana prevalensi kanker prostat rendah, terdapat
perbedaan nilai normal PSA. Di Indonesia, di mana rata-rata nilai PSA pada penderita
PPJ 12.9 + 24.6 ng/ml9, nilai normal PSA 8 ng/ml, sedangkan nilai daerah kelabu 8-30
ng/ml. Untuk nilai PSAD > 0.20 baru perlu dilakukan biopsi prostat. Di Taiwan diperoleh
angka nilai daerah kelabu 4.1-20.0 ng/ml dengan nilai PSAD > 0.20 baru dilakukan
biopsi. Tingginya angka PSA di Indonesia berhubungan erat dengan kateterisasi dan
volume prostat, mengingat sebagian besar pasien datang dalam keadaan retensi dan
dalam volume prostat yang besar.
Pencitraan
Pencitraan yang sering digunakan dalam penatalaksanaan PPJ adalah Trans Rectal
Ultrasonography (TRUS). Dengan TRUS dapat diketahui volume prostat dan dapat
mendeteksi kemungkinan keganasan dengan ditemukannya daerah hypoechoic. Selain
itu, dengan TRUS dapat ditemukan adanya bendungan vesika seminalis yang tampak
merupakan gambaran kista di sebelah bawah prostat. Pelebaran vena periprostat yang
sering ditemukan pada penderita prostatitis juga dapat diidentifikasi.
Ukuran prostat juga dapat dinilai dengan Trans Abdominal Ultrasonography
(TAUS). TAUS dapat digunakan untuk mendeteksi bagian prostat yang menonjol ke buli-
buli, yang dapat dipakai untuk meramalkan derajat berat obstruksi, selain tentu saja dapat
mendeteksi apabila terdapat batu di dalam vesika.
Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan pencitraan saluran kemih bagian atas,
terutama bila ditemukan tanda-tanda hematuria, infeksi saluran kemih, penurunan fungsi
ginjal, riwayat batu saluran kemih, dan operasi saluran kemih bagian atas. Pemeriksaan
pencitraan saluran kemih bagian atas tersebut ialah foto polos abdomen atau disebut
Kiney Ureter Bladder films (KUB films)-Intra Vena Pyelography (IVP), sistogram bila
dicurigai adanya divertikel, Computed Tomography Scanning (CT scan) atau untuk
maksud penelitian ada yang menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Uroflowmetri
Dengan uroflowmetri dapat diukur: (1) pancaran urin maksimal (maximal flow rate-
Qmax); (2) volume urin yang keluar (voided volume). Pengukuran sisa urin yang
tertinggal dalam buli-buli setelah buang air kecil diukur dengan memasang kateter setelah
buang air kecil atau dengan menggunakan TAUS (tidak invasif).
Sistoskopi
Pemeriksaan Lainnya.
Pemeriksaan urodinamik diperlukan pada pasien yang dicurigai dengan kelainan
neurologis atau pada pasien yang telah mengalami kegagalan terapi dengan bedah.
Diagnosis Banding.
Diagnosis banding pada pasien dengan keluhan obstruksi saluran kemih di
antaranya: struktur uretra, kontraktur leher vesika, batu buli-buli kecil, dan kanker prostat
atau kelemahan detrusor, misalnya pada penderita asma kronik yang menggunakan obat-
obat parasimpatolitik. Sedangkan pada pasien dengan keluhan iritatif saluran kemih,
dapat disebabkan oleh instabilitas detrusor, karsinoma in situ vesika, infeksi saluran
kemih, prostatitis, batu ureter distal, atau batu vesika kecil.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien PPJ yang dibiarkan tanpa pengobatan:
Pertama, trabekulasi, yaitu terjadi penebalan serat-serat detrusor akibat tekanan intra
vesika yang selalu tinggi akibat obstruksi. Kedua, dapat terjadi sakulasi, yaitu mukosa
buli-buli menerobos di antara serat-serat detrusor. Ketiga, bila sakulasi menjadi besar
dapat menjadi divertikel.
Komplikasi lain adalah pembentukan batu vesika akibat selalu terdapat sisa urin
setelah buang air kecil, sehingga terjadi pengendapan batu. Bila tekanan intra vesika yang
selalu tinggi tersebut diteruskan ke ureter dan ginjal, akan terjadi hidroureter dan
hidronefrosis yang akan mengakibatkan penurunan fungsi ginjal.
Tahap akhir adalah tahap dekompensasi dari detrusor di mana buli-buli sama
sekali tidak dapat mengosongkan diri sehingga terjadi retensi urin total. Apabila tidak
segera ditolong, akan terjadi overflow incontinence.
Penatalaksanaan
Terapi PPJ dapat berkisar dari watchful waiting di mana tidak diperlukan
teknologi yang canggih dan dapat dilakukan oleh dokter umum, hingga terapi bedah
minimal invasif yang memerlukan teknologi canggih serta tingkat keterampilan yang
tinggi. Berikut ini akan dibahas penatalaksanaan PPJ berupa watchful waiting,
medikamentosa, terapi bedah konvensional, dan terapi minimal invasif.
Watchful Waiting
Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan (skor IPSS < 7
atau Madsen-Iversen < 9). Tindakan yang dilakukan adalah observasi saja tanpa
pengobatan. Pasien diberi nasihat agar mengurangi minum setelah makan malam agar
mengurangi nokturia, menghindari obat-obat parasimpatolitik (mis: dekongestan),
mengurangi kopi, dan melarang minum minuman alkohol agar tidak terlalu sering buang
air kecil. Penderita dianjurkan untuk kontrol setiap tiga bulan untuk diperiksa: skoring,
uroflowmetri, dan TRUS. Bila terjadi kemunduran, segera diambil tindakan.
Terapi Medikamentosa.
Pilihan terapi non-bedah adalah pengobatan dengan obat (medikamentosa).
Terdapat tiga macam terapi dengan obat yang sampai saat ini dianggap rasional, yaitu
dengan penghambat adrenergik a-1, penghambat enzim 5a reduktase, dan fitoterapi.
Penghambat adrenergik a-1
Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor a-1 yang banyak ditemukan pada
otot polos ditrigonum, leher buli-buli, prostat, dan kapsul prostat. Dengan demikian, akan
terjadi relaksasi di daerah prostat sehingga tekanan pada uretra pars prostatika menurun
dan mengurangi derajat obstruksi. Obat ini dapat memberikan perbaikan gejala obstruksi
relatif cepat. Efek samping dari obat ini adalah penurunan tekanan darah yang dapat
menimbulkan keluhan pusing (dizziness), lelah, sumbatan hidung, dan rasa lemah
(fatique). Pengobatan dengan penghambat reseptor a-1 masih menimbulkan beberapa
pertanyaan, seperti berapa lama akan diberikan dan apakah efektivitasnya akan tetap baik
mengingat sumbatan oleh prostat makin lama akan makin berat dengan tumbuhnya
volume prostat. Contoh obat: prazosin, terazosin dosis 1 mg/hari, dan dapat dinaikkan
hingga 2-4 mg/hari. Tamsulosin dengan dosis 0.2-0.4 mg/hari.
Microwave hyperthermia.
Memanaskan jaringan adenoma melalui alat yang dimasukkan melalui uretra atau rektum
sampai suhu 42-45oC sehingga diharapkan terjadi koagulasi.
Intraurethral stent.
Adalah alat yang secara endoskopik ditempatkan di fosa prostatika untuk
mempertahankan lumen uretra tetap terbuka. Dilakukan pada pasien dengan harapan
hidup terbatas dan tidak dapat dilakukan anestesi atau pembedahan.
Transurethral baloon dilatation.
Dilakukan dengan memasukkan kateter yang dapat mendilatasi fosa prostatika dan leher
kandung kemih. Prosedur ini hanya efektif bila ukuran prostat kurang dari 40 g, sifatnya
sementara, dan jarang dilakukan lagi
Daftar Pustaka
Presti JC. Neoplasms of the prostate gland. In: Tanagho EA, Mc Aninch JW, editors.
Smith’s general urology. 15th ed. Conecticut: Mc Graw-Hill; 2000.p.399-406.
Rahardjo D. Prostat: kelainan-kelainan jinak, diagnosis dan penanganan. 1st ed. Jakarta:
AsianMedical;1999.
Rahardjo D, Birowo P. Karakteristik penderita pembesaran prostat jinak di RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo dan RS Sumber Waras, Jakarta, tahun 1994-1997. MKI
2000;50(2): 81-5.
Anonim, 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Ed.III, hal. 329-334. Jakarta: Media
Aeculapius.