DISUSUN OLEH:
Hirari Fattah Yasfi (1102013128)
Muhammad Faisal Alfianto (1102013179)
Nadien (1102013200)
PEMBIMBING:
dr. Budi Satria, Sp.PD
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh
hiperglikemia akibat defek pada kerja insulin di hati dan di jaringan perifer, sekresi insulin
oleh sel beta pancreas, atau keduanya. Insiden dan prevalensi diabetes melitus berkembang
secara signifikan di seluruh dunia, terutama pada diabetes tipe 2. Peningkatan prevalensi
diabetes menyebabkan peningkatan jumlah komplikasi makro dan mikrovaskuler diabetes
seperti penyakit ginjal diabetik (DKD) dan penyakit ginjal tahap akhir (ESRD). Sebanyak
45% dari pasien gagal ginjal yang menerima terapi dialisis, penyebab utamanya adalah
diabetes.
Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskuler diabetes melitus. Pada
sebagian penderita komplikasi ini akan berlanjut menjadi gagal ginjal terminal yang
memerlukan pengobatan cuci darah atau cangkok ginjal. Laporan Perhimpunan Nefrologi
Indonesia (PERNEFRI) tahun 1995, disebutkan bahwa nefropati diabetik menduduki urutan
nomor tiga (16,1%) setelah glomerulonefritis kronik (30,1%) dan pielonefritis kronik
(18,51%), sebagai penyebab paling sering gagal ginjal terminal yang memerlukan cuci darah
di Indonesia. Tingginya prevalensi nefropati diabetik sebagai penyebab gagal ginjal terminal
juga menjadi masalah di negara-negara lain. Mengingat problematik mahalnya pengobatan
cuci darah dan cangkok ginjal, berbagai upaya dilakukan untuk dapat menegakkan diagnosis
nefropati diabetik sedini mungkin sehingga progresivitasnya menjadi gagal ginjal terminal
dapat dicegah atau sedikitnya diperlambat
Penyakit ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau
lebih, berupa kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG).
Penggunaan obat antidiabetika pada gangguan ginjal membutuhkan perhatian khusus
karena dengan terjadinya penurunan ginjal maka obat yang diekresikan melalui ginjal akan
terakumulasi dan dapat menimbulkan efek toksik atau memperburuk kondisi ginjal pasien
sehingga perlu dilakukan penyesuaian dosis.
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI GINJAL
Ginjal merupakan organ pada tubuh manusia yang menjalankan banyak fungsi untuk
homeostasis, yang terutama adalah sebagai organ ekskresi dan pengatur keseimbangan cairan
dan asam basa dalam tubuh. Terdapat sepasang ginjal pada manusia, masing-masing di sisi
kiri dan kanan (lateral) tulang vertebra dan terletak retroperitoneal (di belakang peritoneum).
Selain
itu sepasang ginjal tersebut dilengkapi juga dengan sepasang ureter, sebuah vesika urinaria
(bulibuli/ kandung kemih) dan uretra yang membawa urine ke lingkungan luar tubuh.
GAMBAR GINJAL MASUKIN!
Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritonium
(retroperitoneal), di depan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar (transversus abdominis,
kuadratus lumborum dan psoas mayor) di bawah hati dan limpa. Di bagian atas (superior)
ginjal terdapat kelenjar adrenal (juga disebut kelenjar suprarenal). Kedua ginjal terletak di
sekitar vertebra T12 hingga L3. Ginjal pada orang dewasa berukuran panjang 11-12 cm, lebar
5-7 cm, tebal 2,3-3 cm, kirakira sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Berat kedua ginjal
kurang dari 1% berat seluruh tubuh atau kurang lebih beratnya antara 120-150 gram.
GAMBAR LETAK GINJAL MASUKIN!
Bentuknya seperti biji kacang, dengan lekukan yang menghadap ke dalam. Jumlahnya
ada 2 buah yaitu kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada umumnya
ginjal laki-laki lebih panjang dari pada ginjal wanita. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit
ke bawah dibandingkan ginjal kiri untuk memberi tempat lobus hepatis dextra yang besar.
Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Kedua ginjal
dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu
meredam guncangan.
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat cortex
renalis di bagian luar, yang berwarna coklat gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang
berwarna coklat lebih terang dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk kerucut yang
disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-
lubang kecil disebut papilla renalis.
GAMBAR LAPISAN (KAPSULA, KORTEKS, MEDULLA) GINJAL MASUKIN!
Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya
pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis berbentuk corong yang
menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga kaliks renalis majores
yang masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga kaliks renalis minores. Medulla
terbagi menjadi bagian segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi
oleh bagian korteks dan tersusun dari segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron.
Papila atau apeks dari tiap piramid membentuk duktus papilaris bellini yang terbentuk dari
kesatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul.
GAMBAR BAGIAN-BAGIAN GINJAL (PIRAMID RENALIS, PAPILA RENALIS,
KALIKS, DLL)MASUKIN!
Mikroskopis Ginjal
Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2 juta buah pada
tiap ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal. Setiap nefron terdiri dari kapsula bowman,
tumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle dan tubulus
kontortus distal, yang mengosongkan diri keduktus pengumpul.
GAMBAR NEFRON GINJAL MASUKIN!
Unit nephron dimulai dari pembuluh darah halus / kapiler, bersifat sebagai saringan
disebut Glomerulus, darah melewati glomerulus/ kapiler tersebut dan disaring sehingga
terbentuk filtrat (urin yang masih encer) yang berjumlah kira-kira 170 liter per hari, kemudian
dialirkan melalui pipa/saluran yang disebut Tubulus. Urin ini dialirkan keluar ke saluran
Ureter, kandung kencing, kemudian ke luar melalui Uretra.
Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh
dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih
diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan
pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor.
Hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urin.
Vaskularisasi Ginjal
GAMBAR VASKULARISASI GINJAL MASUKIN!!!
Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra lumbalis
II. Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena kavainferior yang terletak disebelah kanan
garis tengah. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri
interlobaris yang berjalan diantara piramid selanjutnya membentuk arteri arkuata kemudian
membentuk arteriola interlobularis yang tersusun paralel dalam korteks. Arteri interlobularis
ini kemudian membentuk arteriola aferen pada glomerulus.
Glomeruli bersatu membentuk arteriola aferen yang kemudian bercabang membentuk
sistem portal kapiler yang mengelilingi tubulus dan disebut kapiler peritubular. Darah yang
mengalir melalui sistem portal ini akan dialirkan kedalam jalinan vena selanjutnya menuju
vena interlobularis, vena arkuarta, vena interlobaris, dan vena renalis untuk akhirnya
mencapai vena cava inferior. Ginjal dilalui oleh sekitar 1200 ml darah permenit suatu volume
yang sama dengan 20-25% curah jantung (5000 ml/menit) lebih dari 90% darah yang masuk
keginjal berada pada korteks sedangkan sisanya dialirkan ke medulla. Sifat khusus aliran
darah ginjal adalah otoregulasi aliran darah melalui ginjal arteiol afferen mempunyai
kapasitas intrinsik yang dapat merubah resistensinya sebagai respon terhadap perubahan
tekanan darah arteri dengan demikian mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerulus tetap konstan.
Inervasi Ginjal
Ginjal mendapat persarafan dari nervus renalis (vasomotor), saraf ini berfungsi untuk
mengatur jumlah darah yang masuk kedalam ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan
pembuluh darah yang masuk ke ginjal.
FISIOLOGI GINJAL
Fungsi ginjal yaitu :
Mempertahankan keseimbangan H2O di dalam tubuh
Mempertahankan osmolaritas cairan tubuh
Mengatur kuantitas dan konsentrasi sebagian besar ion ECF seperti sodium, klorida,
potasium, ion hidrogen, bikarbonat, dll
Mempertahankan volume plasma
Membantu mempertahankan keseimbangan asam basa di dalam tubuh
Membuang produk akhir metabolisme tubuh
Membuang zat asing seperti obat-obatan, pestisida, dan material non-nutritive lain
yang masuk ke dalam tubuh
Memproduksi eritropoietin
Memproduksi renin
Mengubah vitamin D ke bentuk aktif
Unit fungsional dasar dari ginjal adalah nefron yang dapat berjumlah lebih dari satu juta
buah dalam satu ginjal normal manusia dewasa. Nefron berfungsi sebagai regulator air dan
zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian
mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan
lainnya akan dibuang.
Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan
arus dan kotranspor. Hasil akhir yang diekskresikan disebut urin. Aliran darah ke ginjal
adalah 1,2 liter/menit atau 1.700 liter/hari, darah tersebut disaring menjadi cairan filtrat
sebanyak 120 ml/menit (170 liter/hari) ke tubulus. Cairan filtrat ini diproses dalam tubulus
sehingga akhirnya keluar dari kedua ginjal dan menjadi urin sebanyak 1-2 liter/hari.
Filtrasi Glomerolus
Kapiler glomerulus secara relatif bersifat impermeable terhadap protein plasma yang
lebih besar dan cukup permeable terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit,
asam amino, glukosa dan sisa nitrogen. Kapiler glomerulus mengalami kenaikan tekanan
darah (90 mmHg vs 10-30 mmHg). Tekanan darah terhadap dinding pembuluh ini disebut
tekanan hidrostatik (TH). Gerakan masuk kedalam kapsula Bowman disebut filtrasi
glomerulus dan materi yang masuk kedalam kapsula Bowman disebut filtrat. Tiga faktor lain
yang ikut serta dalam filtrasi: TH dan tekanan osmotik (TO) dari filtrat dalam kapsula
Bowman dan TO plasma. Tekanan osmotik adalah tekanan yang dikeluarkan oleh air pada
membrane semipermeable sebagai usaha untuk menembus membran kedalam area yang
mengandung lebih banyak molekul yang tidak dapat melewati membran semipermeable.
GAMBAR ALUR FILTRASI GLOMEROLUS MASUKIN!!!
Faktor-faktor yang memengaruhi laju filtrasi glomerulus :
1. Tekanan arteri
Bila tekanan arteri meningkat, maka tekanan di dalam glomerulus meningkat.
Tetapi, peningkatan filtrasi tidak sebesar yang diperkirakan, karena arteriol secara
otomatis diatur oleh suatu mekanisme yang disebut “autoregulasi” untuk menjaga
tekanan glomerulus dari peningkatan yang terjadi pada organ lain.
2. Efek konstriksi arteriol aferen pada laju filtrasi glomerulus
Konstriksi arteriol aferen menurunkan kecepatan aliran darah dalam glomerulus
dan menurunkan tekanan glomerulus. Akibatnya, ada penurunan filtrasi yang
berhubungan dengan glomerulus
3. Efek konstriksi arteriol eferen
Konstriksi arteriol eferen meningkatkan tahanan terhadap aliran keluar dari
glomerulus.
4. Efek aliran darah glomerulus
Jika arteriol aferen dan eferen berkonstriksi, maka jumlah darah yang mengalir ke
glomerulus tiap menitnya akan menurun.
DEFINISI
Nefropati Diabetik
Nefropati Diabetik adalah salah satu manifestasi mikroangiopati diabetic atau
permulaan mikroangiopati diabetik pada ginjal, sebagai penyulit Diabetes Melitus tipe I
maupun tipe II, dengan tanda-tanda : mikroproteinuria intermiten kemudian persisten dan
makroproteinuria yang kemudian disusul dengan penurunan fungsi ginjal yang bertahap dan
hipertensi, yang perjalanannya progresif menuju ke stadium akhir dari gagal ginjal.
Dalam pengertian patologi anatomi, Nefropati Diabetik merupakan kumpulan dari
bermacam-macam kelainan yang terdiri dari glomerulopati (difus, noduler, eksudatif dan
hialinisasi),arteriolopati (hialinisasi), dan tubulopati.
Definisi nefropati klinis pada DM tipe2 adalah, bila ekskresi albumin dalam urin : >
200 μg/menit urin sewaktu, atau > 300 mg/urin tampung 24 jam, atau > 0,2 rasio
albumin/kreatinin urin sewaktu. Mikroalbuminuria, merupakan istilah untuk ekskresi albumin
melalui urin yang melebihi batas normal tetapi kadarnya tidak terdeteksi oleh metode dipstik
konvensional. Mikroalbuminuria digunakan untuk ujisaring nefropati pada pasien DM tipe2.
Derajat penyakit ginjal kronik berdasarkan LFG sesuai dengan rekomendasi KDIGO 2012 :
ETIOLOGI CKD
Berdasarkan etiologinya, penyakit gagal ginjal kronik dapat dibedakan atas 3, yaitu
penyakit ginjal diabetes, penyakit ginjal non diabetes, dan penyakit ginjal pada transplantasi.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) dilihat dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan histopatologis.
1) Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2) Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
3) Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4) Menentukan strategi terapi rasional
5) Meramalkan prognosis
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
Sesuai penyakit yang mendasarinya
Tes urin berupa urinalisis
Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum kreatinin, dan penurunan
LFG
Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
Diagnosis stadium klinis nefropati diabetik secara klasik adalah dengan ditemukannya
proteinuria > 0,5 gram/hari. Mengingat bahwa hampir semua ekskresi protein dalam urin
berbentuk albumin, dihubungkan juga dengan perubahan morfologi membran basal yang
terjadi, telah dibuat konsensus bahwa diagnosis klinis nefropati diabetik sudah dapat
ditegakkan bila didapatkan makroalbuminuria persisten (albuminuria > 300 mg/urin tampung
24 jam atau >200 μg/menit urin sewaktu). Disebut persisten (menetap) adalah bila 2 dari 3
kali pemeriksaan, yang dilakukan dalam kurun waktu 6 bulan, memberikan hasil positif.
Definisi nefropati klinis pada DM tipe 2 adalah, bila ekskresi albumin dalam urin : > 200
μg/menit urin sewaktu, atau > 300 mg/urin tampung 24 jam, atau > 0,2 rasio
albumin/kreatinin urin sewaktu. Mikroalbuminuria, merupakan istilah untuk ekskresi albumin
melalui urin yang melebihi batas normal tetapi kadarnya tidak terdeteksi oleh metode dipstik
konvensional. Mikroalbuminuria digunakan untuk uji saring nefropati pada pasien DM tipe2.
Mikroalbuminuria menunjukkan stadium yang reversible pada disfungsi renal, sedangkan
proteinuria klinis menunjukkan penyakit yang irreversible.
b. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis pada penyakit ginjal kronik digunakan untuk menyingkirkan
berbagai penyakit penyebab, yaitu antara lain :
Foto polos abdomen, bisa tampak batu radiopak
Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yamg sudah mengalami kerusakan
Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi
Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronephrosis atau batu ginjal, kista, massa,
ataupun kalsifikasi
Pemeriksaan pemindai ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
Biopsi: Sebuah contoh dari jaringan ginjal (biopsi) kadang-kadang diperlukan
dalam kasus-kasus di mana penyebab dari penyakit ginjal tidak jelas.
Biasanya, biopsi dapat dikumpulkan dengan anestesi lokal dengan
memperkenalkan jarum melalui kulit ke dalam ginjal.
3. Pengaturan Diet
Dalam upaya mengurangi progresivitas nefropati maka pemberian diet rendah protein
sangat penting. Umumnya dewasa ini disepakati pemberian diet mengandung protein
sebanyak 0,8 gram/kgBB/hari, atau sekitar 10% kebutuhan kalori, pada pasien dengan
Nefropati Overt, tetapi bila LFG telah mulai menurun maka pembatasan protein dalam
diet menjadi 0,6 gram/kgBB/hari mungkin bermanfaat untuk memperlambat penurunan
LFG selanjutnya. Pada pasien DM sendiri cenderung mengalami keadaan dislipidemia
diatasi dengan statin, dengan target LDL Kolesterol <100 mg/dl pada pasien DM dan
<70 mg/dl bila sudah ada kelainan kardiovaskular.
4. Penanganan Multifaktorial
Suatu penelitian klinik dari Steno Diabetes Center di Kopenhagen mendapatkan bahwa
penanganan intensif secara multifaktorial pada pasien DM tipe 2 dengan
mikroalbuminuria menunjukkan pengurangan faktor resiko yang jauh melebihi
penanganan sesuai panduan umum penanganan diabetes nasional. Penangan harus secara
intensif, artinya terapi yang dititrasi sampai mencapai target, baik tekanan darah, kadar
gula darah, lemak darah, dan mikroalbuminuria, serta juga disertai pencegahan penyakit
kardiovaskuler dengan pemberian aspirin. Obat obat ACE inhibitor dan ARB lebih
banyak digunakan. Untuk pengendalian lemak darah lebih banyak menggunakan statin.
Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal menawarkan hasil terbaik dan kualitas terbaik dari kehidupan.
Transplantasi ginjal Sukses terjadi setiap hari di Amerika Serikat. Transplantasi ginjal
dapat berasal dari donor hidup terkait, donor hidup tidak berhubungan, atau orang yang
telah meninggal karena sebab lain (donor kadaver). Pada penderita diabetes tipe I,
transplantasi ginjal-pankreas dikombinasikan sering merupakan pilihan yang lebih baik.
Namun, tidak semua orang merupakan kandidat untuk transplantasi ginjal. Orang perlu
menjalani pengujian ekstensif untuk memastikan kesesuaian mereka untuk transplantasi.
Ada kekurangan organ untuk transplantasi, membutuhkan waktu tunggu dari bulan
sampai tahun sebelum mendapatkan transplantasi.
Seseorang yang membutuhkan transplantasi ginjal mengalami beberapa tes untuk
mengidentifikasi karakteristik sistem kekebalan tubuh nya. Penerima dapat menerima
hanya ginjal yang berasal dari donor yang cocok tertentu karakteristik imunologi nya.
Donor lebih mirip berada dalam karakteristik ini, semakin besar kemungkinan
kesuksesan jangka panjang dari transplantasi. Transplantasi dari donor yang terkait hidup
umumnya memiliki hasil terbaik.
Terapi antibodi Antilymphocyte induksi bervariasi dan termasuk antiserum poliklonal,
monoclonals mouse, dan apa yang disebut monoclonals manusiawi. Antiserum
poliklonal, seperti globulin antilymphocyte (ALG), antilymphocyte serum (ALS), dan
antithymocyte globulin (ATG), adalah kuda, kambing, atau antiserum kelinci ditujukan
terhadap sel-sel limfoid manusia. Efeknya adalah untuk secara signifikan lebih rendah
dan hampir menghapuskan sel limfoid beredar yang sangat penting untuk respon
penolakan. Imunologi co-stimulasi blokade dengan Belatacept (Nulojix) telah
menjanjikan sebagai agen imunosupresif perawatan baru untuk meningkatkan fungsi
ginjal. Itu mungkin memainkan peran dalam menekan ketergantungan pada kalsineurin
inhibitor (tacrolimus dan siklosporin) untuk imunosupresi.
Sulfonylurea
Penggunaan sulfonilurea pada CKD membutuhkan perhatian yang cermat pada dosis
untuk menghindari hipoglikemia. Glyburide secara ekstensif dimetabolisme di hati dan
menjadi beberapa metabolit aktif yang diekskresikan oleh ginjal sehingga tidak
direkomendasikan untuk digunakan pada pasien CKD. Glipizide dimetabolisme oleh hati dan
menjadi beberapa metabolit tidak aktif, pembersihan dan eliminasinya tidak terpengaruh oleh
penurunan eGFR sehingga penyesuaian dosis pada pasien dengan CKD tidak diperlukan.
Perhatian utama penggunaan repaglinide dan nateglinida pada pasien CKD adalah sangat
berpotensi terjadinya hipoglikemia. Sehingga dosis awal konservatif agen ini dianjurkan.
Pada praktik sehari-hari, pasien DMT2 dengan PGK sering diberikan gikuidon.
Glikuidon merupakan golongan SU yang dikatakan penggunaannya aman pada PGK karena
ekskresinya melalui sistem bilier sehingga tidak memerlukan penyesuaian dosis pada PGK.
Namun, saat ini belum ada publikasi penelitian tentang efikasi glikuidon pada pasien DMT2
dengan PGK dalam hal penghambatan progresi PGK.
Golongan SU lainnya, seperti gliklazid dan glipizid, ternyata memiliki bukti ilmiah
yang lebih banyak dibandingkan glikuidon. Gliklazid dan glipizid terbukti efektif
menurunkan kadar glukosa darah dan juga menghambat progresi PGK. Namun demikian,
tetap perlu berhati-hati terkait dengan risiko hipoglikemia. Gliklazid dimetabolisme oleh hati
menjadi metabolit yang tidak aktif untuk kemudian dieliminasi melalui ginjal sehingga risiko
hipoglikemianya pada penggunaan di kasus dengan PGK lebih rendah. Gliklazid dapat
digunakan pada PGK dengan LFG >30 mL/menit, pada LFG yang lebih rendah datanya lebih
terbatas, tetapi melihat proses metabolismenya sepertinya relatif aman.
Sementara itu glipizide tidak memerlukan penyesuaian dosis bahkan pada PGK stadium
lanjut, tetapi tetap dikaitkan dengan risiko hipoglikemia. Penggunaan glibenklamid pada
PGK awal (LFG 60-90 mL/menit tetap harus hati-hati karena dengan penurunan dosis
sekalipun masih meningkatkan risiko hipoglikemia.
Glibenklamid dikontraindikasikan pada PGK dengan LFG <60 mL/menit. Sementara
itu, glimepirid relatif aman digunakan pada PGK dengan LFG >60 mL/menit, dan dengan
penurunan dosis boleh digunakan pada PGK dengan LFG >30 mL/menit.
Glinid
OAD golongan glinid jarang digunakan di Indonesia. Repaglinid dan nateglinid cara
kerjanya mirip dengan SU tapi kerjanya lebih pendek sehingga risiko hipoglikemianya lebih
rendah. Repaglinid dapat digunakan di PGK stadium 4 dan 5 bahkan tanpa penuruna dosis,
sedangkan nateglinid perlu penyesuaian dosis pada PGK stadium 4 dan dikontraindikasikan
pada PGK stadium 5.
Thiazolidinediones (Pioglitazone)
Thiazolidinediones (TZD) hampir sepenuhnya dimetabolisme oleh hati sehingga tidak
memerlukan penyesuaian dosis pada PGK. Penggunaan TZD umumnya dihindari di CKD
karena efek samping seperti retensi cairan, hipertensi, dan peningkatan risiko fraktur
(osteoporosis) sehingga pada PGK stadium akhir obat golongan ini penggunaannya terbatas
dan dosisnya biasanya diturunkan menjadi 15 mg/hari.
Inhibitor a-glukosidase
Inhibitor a-glukosidase, acarbose dan miglitol, diserap minimal dari saluran
pencernaan, namun kadar plasma dapat meningkat pada pasien CKD. Oleh karena itu,
disarankan hati-hati untuk penggunaan agen ini pada pasien diabetes dengan eGFR rendah
( 30 mL / menit / 1,73 m2).
Inhibitor DPP-4
OAD golongan penghambat DPP-4 mulai banyak digunakan di Indonesia karena risiko
hipoglikemianya yang rendah dan tidak memengaruhi berat badan. Selain itu OAD golongan
ini cukup efektif menurunkan HbA1c pada pasien PGK.18 Namun demikian, OAD golongan
ini sepertinya tidak memiliki efek menghambat progresi PGK pada DMT2.
Dari semua OAD golongan penghambat DPP-4 di Indonesia, hanya linagliptin yang
tidak memerlukan penyesuaian dosis pada PGK karena sebagian besar eliminasinya melalui
system bilier.17 Pada pasien DMT2 dengan LFG 30-45 mL/menit, dosis sitagliptin,
vildagliptin, dan saxagliptin sebaiknya diturunkan sebanyak 50% (atau ½ dosis). Pada PGK
dengan LFG <30 mL/menit dosis sitagliptin perlu diturunkan lagi menjadi ¼ dosis, sementara
saxagliptin tidak perlu.
Inhibitor SGLT-2
Selanjutnya, empagliflozin dan canagiflozin, golongan penghambat SGLT-2, terbukti
dapat menurunkan progresi PGK dibandingkan penggunaan plasebo, dengan risiko
hipoglikemia yang sebanding dengan placebo. Efek penghambatan progresi nefropati diabetik
pada OAD golongan ini mungkin tidak hanya terkait efeknya terhadap kendali glukosa, tetapi
terkait penurunan proses hiperfiltrasi pada nefropati diabetik. Penghambat SGLT-2
menurunkan reabsorbsi natrium di tubulus proksimal, menyebabkan umpan balik
tubuloglomerular, vasokonstriksi arteriol aferen, dan penurunan hiperfiltrasi. Hal ini disertai
penurunan respons inflamasi dan fibrosis di sel-sel tubulus proksimal ginjal.
Studi-studi baru secara konsisten menunjukkan bahwa OAD golongan ini dapat
menurunkan albuminuria, namun demikian masih perlu menunggu hasil uji klinis dengan
keluaran utama fungsi ginjal (renal outcome trials) untuk membuktikan apaka OAD
penghambat SGLT-2 ini memiliki efek proteksi ginjal di luar efeknya terkait kendali glukosa
darah.
Tabel . Rekomendasi dosis obat noninsulin antihiperglikemik agen pada Penyakit
Ginjal Diabetik
PROGNOSIS
Prognosis Nefropati Diabetik
Secara keseluruhan prevalensi dari mikroalbuminuria dan makroalbuminuria pada
kedua tipe diabetes melitus diperkirakan 30-35%. Nefropati diabetik jarang berkembang
sebelum sekurang-kurangnya 10 tahun pada pasien IDDM, dimana diperkirakan 3% dari
pasien dengan NIDDM yang baru didiagnosa menderita nefropati. Puncak rata-rata insidens
(3%/th) biasanya
ditemukan pada orang yang menderita diabetes selama 10-20 tahun.
Mikroalbuminuria sendiri memperkirakan morbiditas kardiovaskular, dan
mikroalbuminuria dan makroalbuminuria meningkatkan mortalitas dari bermacam-macam
penyebab dalam diabetes melitus. Mikroalbuminuria juga memperkirakan coronary and
peripheral vascular disease dan kematian dari penyakit kardiovaskular pada populasi umum
nondiabetik. Pasien dengan proteinuria yang tidak berkembang memiliki tingkat mortalitas
yang relative rendah dan stabil, dimana pasien dengan proteinuria memiliki 40 kali lipat lebih
tinggi tingkat relatif mortalitasnya. Pasien dengan IDDM dan proteinuria memiliki
karakteristik hubungan antara lamanya diabetes /umur dan mortalitas relatif, dengan
mortalitas relatif maksimal pada interval umur 34-38 tahun (dilaporkan pada 110 wanita dan
80 pria).
ESRD adalah penyebab utama kematian, 59-66% kematian pada pasien dengan IDDM
dan nefropati. Tingkat insidens kumulatif dari ESRD pada pasien dengan proteinuria dan
IDDM adalah 50%, 10 tahun setelah onset proteinuria, dibandingkan dengan 3-11%, 10 tahun
setelah onset proteinuria pada pasien Eropa dengan NIDDM. Penyakit kardiovaskular juga
penyebab utama kematian (15-25%) pada pasien dengan nefropati dan IDDM, meskipun
terjadi pada usia yang relatif muda.