Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) PADA DIABETES MELITUS

DISUSUN OLEH:
Hirari Fattah Yasfi (1102013128)
Muhammad Faisal Alfianto (1102013179)
Nadien (1102013200)

PEMBIMBING:
dr. Budi Satria, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I RADEN SAID SUKANTO
PERIODE 19 NOVEMBER 2018 – 26 JANUARI 2019
PENDAHULUAN

Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh
hiperglikemia akibat defek pada kerja insulin di hati dan di jaringan perifer, sekresi insulin
oleh sel beta pancreas, atau keduanya. Insiden dan prevalensi diabetes melitus berkembang
secara signifikan di seluruh dunia, terutama pada diabetes tipe 2. Peningkatan prevalensi
diabetes menyebabkan peningkatan jumlah komplikasi makro dan mikrovaskuler diabetes
seperti penyakit ginjal diabetik (DKD) dan penyakit ginjal tahap akhir (ESRD). Sebanyak
45% dari pasien gagal ginjal yang menerima terapi dialisis, penyebab utamanya adalah
diabetes.
Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskuler diabetes melitus. Pada
sebagian penderita komplikasi ini akan berlanjut menjadi gagal ginjal terminal yang
memerlukan pengobatan cuci darah atau cangkok ginjal. Laporan Perhimpunan Nefrologi
Indonesia (PERNEFRI) tahun 1995, disebutkan bahwa nefropati diabetik menduduki urutan
nomor tiga (16,1%) setelah glomerulonefritis kronik (30,1%) dan pielonefritis kronik
(18,51%), sebagai penyebab paling sering gagal ginjal terminal yang memerlukan cuci darah
di Indonesia. Tingginya prevalensi nefropati diabetik sebagai penyebab gagal ginjal terminal
juga menjadi masalah di negara-negara lain. Mengingat problematik mahalnya pengobatan
cuci darah dan cangkok ginjal, berbagai upaya dilakukan untuk dapat menegakkan diagnosis
nefropati diabetik sedini mungkin sehingga progresivitasnya menjadi gagal ginjal terminal
dapat dicegah atau sedikitnya diperlambat
Penyakit ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau
lebih, berupa kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG).
Penggunaan obat antidiabetika pada gangguan ginjal membutuhkan perhatian khusus
karena dengan terjadinya penurunan ginjal maka obat yang diekresikan melalui ginjal akan
terakumulasi dan dapat menimbulkan efek toksik atau memperburuk kondisi ginjal pasien
sehingga perlu dilakukan penyesuaian dosis.
TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI GINJAL
Ginjal merupakan organ pada tubuh manusia yang menjalankan banyak fungsi untuk
homeostasis, yang terutama adalah sebagai organ ekskresi dan pengatur keseimbangan cairan
dan asam basa dalam tubuh. Terdapat sepasang ginjal pada manusia, masing-masing di sisi
kiri dan kanan (lateral) tulang vertebra dan terletak retroperitoneal (di belakang peritoneum).
Selain
itu sepasang ginjal tersebut dilengkapi juga dengan sepasang ureter, sebuah vesika urinaria
(bulibuli/ kandung kemih) dan uretra yang membawa urine ke lingkungan luar tubuh.
GAMBAR GINJAL MASUKIN!
Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritonium
(retroperitoneal), di depan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar (transversus abdominis,
kuadratus lumborum dan psoas mayor) di bawah hati dan limpa. Di bagian atas (superior)
ginjal terdapat kelenjar adrenal (juga disebut kelenjar suprarenal). Kedua ginjal terletak di
sekitar vertebra T12 hingga L3. Ginjal pada orang dewasa berukuran panjang 11-12 cm, lebar
5-7 cm, tebal 2,3-3 cm, kirakira sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Berat kedua ginjal
kurang dari 1% berat seluruh tubuh atau kurang lebih beratnya antara 120-150 gram.
GAMBAR LETAK GINJAL MASUKIN!
Bentuknya seperti biji kacang, dengan lekukan yang menghadap ke dalam. Jumlahnya
ada 2 buah yaitu kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada umumnya
ginjal laki-laki lebih panjang dari pada ginjal wanita. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit
ke bawah dibandingkan ginjal kiri untuk memberi tempat lobus hepatis dextra yang besar.
Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Kedua ginjal
dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu
meredam guncangan.
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat cortex
renalis di bagian luar, yang berwarna coklat gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang
berwarna coklat lebih terang dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk kerucut yang
disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-
lubang kecil disebut papilla renalis.
GAMBAR LAPISAN (KAPSULA, KORTEKS, MEDULLA) GINJAL MASUKIN!
Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya
pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis berbentuk corong yang
menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga kaliks renalis majores
yang masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga kaliks renalis minores. Medulla
terbagi menjadi bagian segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi
oleh bagian korteks dan tersusun dari segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron.
Papila atau apeks dari tiap piramid membentuk duktus papilaris bellini yang terbentuk dari
kesatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul.
GAMBAR BAGIAN-BAGIAN GINJAL (PIRAMID RENALIS, PAPILA RENALIS,
KALIKS, DLL)MASUKIN!

Mikroskopis Ginjal
Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2 juta buah pada
tiap ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal. Setiap nefron terdiri dari kapsula bowman,
tumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle dan tubulus
kontortus distal, yang mengosongkan diri keduktus pengumpul.
GAMBAR NEFRON GINJAL MASUKIN!
Unit nephron dimulai dari pembuluh darah halus / kapiler, bersifat sebagai saringan
disebut Glomerulus, darah melewati glomerulus/ kapiler tersebut dan disaring sehingga
terbentuk filtrat (urin yang masih encer) yang berjumlah kira-kira 170 liter per hari, kemudian
dialirkan melalui pipa/saluran yang disebut Tubulus. Urin ini dialirkan keluar ke saluran
Ureter, kandung kencing, kemudian ke luar melalui Uretra.
Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh
dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih
diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan
pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor.
Hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urin.

Vaskularisasi Ginjal
GAMBAR VASKULARISASI GINJAL MASUKIN!!!
Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra lumbalis
II. Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena kavainferior yang terletak disebelah kanan
garis tengah. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri
interlobaris yang berjalan diantara piramid selanjutnya membentuk arteri arkuata kemudian
membentuk arteriola interlobularis yang tersusun paralel dalam korteks. Arteri interlobularis
ini kemudian membentuk arteriola aferen pada glomerulus.
Glomeruli bersatu membentuk arteriola aferen yang kemudian bercabang membentuk
sistem portal kapiler yang mengelilingi tubulus dan disebut kapiler peritubular. Darah yang
mengalir melalui sistem portal ini akan dialirkan kedalam jalinan vena selanjutnya menuju
vena interlobularis, vena arkuarta, vena interlobaris, dan vena renalis untuk akhirnya
mencapai vena cava inferior. Ginjal dilalui oleh sekitar 1200 ml darah permenit suatu volume
yang sama dengan 20-25% curah jantung (5000 ml/menit) lebih dari 90% darah yang masuk
keginjal berada pada korteks sedangkan sisanya dialirkan ke medulla. Sifat khusus aliran
darah ginjal adalah otoregulasi aliran darah melalui ginjal arteiol afferen mempunyai
kapasitas intrinsik yang dapat merubah resistensinya sebagai respon terhadap perubahan
tekanan darah arteri dengan demikian mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerulus tetap konstan.

Inervasi Ginjal
Ginjal mendapat persarafan dari nervus renalis (vasomotor), saraf ini berfungsi untuk
mengatur jumlah darah yang masuk kedalam ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan
pembuluh darah yang masuk ke ginjal.

FISIOLOGI GINJAL
Fungsi ginjal yaitu :
 Mempertahankan keseimbangan H2O di dalam tubuh
 Mempertahankan osmolaritas cairan tubuh
 Mengatur kuantitas dan konsentrasi sebagian besar ion ECF seperti sodium, klorida,
potasium, ion hidrogen, bikarbonat, dll
 Mempertahankan volume plasma
 Membantu mempertahankan keseimbangan asam basa di dalam tubuh
 Membuang produk akhir metabolisme tubuh
 Membuang zat asing seperti obat-obatan, pestisida, dan material non-nutritive lain
yang masuk ke dalam tubuh
 Memproduksi eritropoietin
 Memproduksi renin
 Mengubah vitamin D ke bentuk aktif
Unit fungsional dasar dari ginjal adalah nefron yang dapat berjumlah lebih dari satu juta
buah dalam satu ginjal normal manusia dewasa. Nefron berfungsi sebagai regulator air dan
zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian
mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan
lainnya akan dibuang.
Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan
arus dan kotranspor. Hasil akhir yang diekskresikan disebut urin. Aliran darah ke ginjal
adalah 1,2 liter/menit atau 1.700 liter/hari, darah tersebut disaring menjadi cairan filtrat
sebanyak 120 ml/menit (170 liter/hari) ke tubulus. Cairan filtrat ini diproses dalam tubulus
sehingga akhirnya keluar dari kedua ginjal dan menjadi urin sebanyak 1-2 liter/hari.

Filtrasi Glomerolus
Kapiler glomerulus secara relatif bersifat impermeable terhadap protein plasma yang
lebih besar dan cukup permeable terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit,
asam amino, glukosa dan sisa nitrogen. Kapiler glomerulus mengalami kenaikan tekanan
darah (90 mmHg vs 10-30 mmHg). Tekanan darah terhadap dinding pembuluh ini disebut
tekanan hidrostatik (TH). Gerakan masuk kedalam kapsula Bowman disebut filtrasi
glomerulus dan materi yang masuk kedalam kapsula Bowman disebut filtrat. Tiga faktor lain
yang ikut serta dalam filtrasi: TH dan tekanan osmotik (TO) dari filtrat dalam kapsula
Bowman dan TO plasma. Tekanan osmotik adalah tekanan yang dikeluarkan oleh air pada
membrane semipermeable sebagai usaha untuk menembus membran kedalam area yang
mengandung lebih banyak molekul yang tidak dapat melewati membran semipermeable.
GAMBAR ALUR FILTRASI GLOMEROLUS MASUKIN!!!
Faktor-faktor yang memengaruhi laju filtrasi glomerulus :
1. Tekanan arteri
Bila tekanan arteri meningkat, maka tekanan di dalam glomerulus meningkat.
Tetapi, peningkatan filtrasi tidak sebesar yang diperkirakan, karena arteriol secara
otomatis diatur oleh suatu mekanisme yang disebut “autoregulasi” untuk menjaga
tekanan glomerulus dari peningkatan yang terjadi pada organ lain.
2. Efek konstriksi arteriol aferen pada laju filtrasi glomerulus
Konstriksi arteriol aferen menurunkan kecepatan aliran darah dalam glomerulus
dan menurunkan tekanan glomerulus. Akibatnya, ada penurunan filtrasi yang
berhubungan dengan glomerulus
3. Efek konstriksi arteriol eferen
Konstriksi arteriol eferen meningkatkan tahanan terhadap aliran keluar dari
glomerulus.
4. Efek aliran darah glomerulus
Jika arteriol aferen dan eferen berkonstriksi, maka jumlah darah yang mengalir ke
glomerulus tiap menitnya akan menurun.

Tahap Pembentukan Urine :


1. Filtrasi Glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti kapiler
tubuh lainnya, kapiler glumerulus secara relatif bersifat impermiabel terhadap protein
plasma yang besar dan cukup permabel terhadap air dan larutan yang lebih kecil
seperti elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF =
Renal Blood Flow) adalah sekitar 25% dari curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit.
Sekitar seperlima dari plasma atau sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus
ke kapsula bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular
Filtration Rate). Gerakan masuk ke kapsula bowman’s disebut filtrat. Tekanan filtrasi
berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula
bowman’s, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah filtrasi
dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula bowman’s
serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh
tekanan-tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding kapiler.
2. Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit, elektrolit
dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-zat tersebut
kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi.
3. Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran darah melalui
tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi secara alamiah
dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah terjadi dalam tubuh
termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion hidrogen. Pada tubulus distalis, transfor
aktif natrium sistem carier yang juga telibat dalam sekresi hidrogen dan ion-ion
kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap kali carier membawa natrium keluar dari
cairan tubular, cariernya bisa hidrogen atau ion kalium kedalam cairan tubular
“perjalanannya kembali” jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau
kalium harus disekresi dan sebaliknya. Pilihan kation yang akan disekresi tergantung
pada konsentrasi cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium).
Pengetahuan tentang pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita
memahami beberapa hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya.
Sebagai contoh, kita dapat mengerti mengapa bloker aldosteron dapat menyebabkan
hiperkalemia atau mengapa pada awalnya dapat terjadi penurunan kalium plasma
ketika asidosis berat dikoreksi secara theurapeutik.

DEFINISI
Nefropati Diabetik
Nefropati Diabetik adalah salah satu manifestasi mikroangiopati diabetic atau
permulaan mikroangiopati diabetik pada ginjal, sebagai penyulit Diabetes Melitus tipe I
maupun tipe II, dengan tanda-tanda : mikroproteinuria intermiten kemudian persisten dan
makroproteinuria yang kemudian disusul dengan penurunan fungsi ginjal yang bertahap dan
hipertensi, yang perjalanannya progresif menuju ke stadium akhir dari gagal ginjal.
Dalam pengertian patologi anatomi, Nefropati Diabetik merupakan kumpulan dari
bermacam-macam kelainan yang terdiri dari glomerulopati (difus, noduler, eksudatif dan
hialinisasi),arteriolopati (hialinisasi), dan tubulopati.
Definisi nefropati klinis pada DM tipe2 adalah, bila ekskresi albumin dalam urin : >
200 μg/menit urin sewaktu, atau > 300 mg/urin tampung 24 jam, atau > 0,2 rasio
albumin/kreatinin urin sewaktu. Mikroalbuminuria, merupakan istilah untuk ekskresi albumin
melalui urin yang melebihi batas normal tetapi kadarnya tidak terdeteksi oleh metode dipstik
konvensional. Mikroalbuminuria digunakan untuk ujisaring nefropati pada pasien DM tipe2.

Chronic Kidney Disease (CKD)


Penyakit gagal ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang
ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialysis atau transplantasi ginjal.
Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat
penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
Kriteria penyakit gagal ginjal adalah kerusakan gionjal lebih dari 3 bulan berupa
kelainan struktural atau fungsional dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG) atau Laju Filtrasi Glomerolus (LFG) kurang dari 60ml/menit/1,73m 2 selama 3 bulan
dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
EPIDEMIOLOGI
Progresivitas nefropati diabetik mengarah stadium akhir penyakit ginjal dipercepat
dengan adanya hipertensi. Angka kejadiannya nefropati diabetik pada diabetes mellitus tipe 1
dan 2 sebanding, tetapi insiden pada tipe 2 sering lebih besar daripada tipe 1 karena jumlah
pasien diabetes mellitus tipe 2 lebih banyak daripada tipe 1 karena jumlah pasien diabetes
mellitus tipe 2 leih besar banyak daripada tipe 1. Pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan end-
stage renal failure (ESRF) jumlahnya saat ini meningkat karena meningkatnya pula
prevalensi diabetes mellitus tipe 2 dan secara progresif akan menurunkan angka kematian
yang disebabkan oleh penyakit jantung dan pembuluh darah. Insidensi nefropati diabetik
terutama banyak terjadi pada ras kulit hitam dengan frekuensi 3-6 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan dengan ras kulit putih. Sementara itu, tidak ada perbedaan yang begitu
signifikan kejadian nefropati diabetik antara pria dan wanita.

PATOFISIOLOGI NEFROPATI DIABETIK


Sampai saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik
dalam laju kerusakan ginjal. Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron yang sehat lambat laun
akan menyebabkan sklerosis dari nefron tersebut. Mekanisme terjadinya peningkatan laju
filtrasi glomerulus pada nefropati diabetic ini masih belum jelas, tetapi kemungkinan
disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai
hormone vasoaktif, IGF-1, Nitric Oxide, prostaglandin dan glukagon. Efek langsung dari
hiperglikemia adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi
TGF-β yang diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C (PKC) yang termasuk dalam serine-
threonin kinase yang memiliki fungsi pada vascular seperti kontraktilitas, aliran darah,
proliferasi sel dan permeabilitas kapiler.
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino
dan protein (reaksi Mallard dan Browning). Pada awalnya, glukosa akan mengikat residu
amino secara non-enzymatik menjadi basa Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk
mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi masih reversible dan disebut sebagai produk
amadori. Jika proses ini berlanjut terus, akan terbentuk Advanced Glycation End-Products
(AGEs) yang irrerversibel. AGEs diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan
seluler seperti ekspresi adesi molekul yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuklear,
juga pada terjadinya hipertrofi sel, sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis nitrit
oksida. Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan
nodul serta fibrosis tubulointerstisialis. Hipertensi yang timbul bersama dengan
bertambahnya kerusakan ginjal, juga akan mendorong sklerosis pada ginjal pasien diabetes.
Diperkirakan bahwa hipertensi pada diabetes terutama disebabkan oleh spasme arteriol eferen
intrarenal atau intraglomerulus.
Glomerulosklerosis adalah lesi yang paling khas dan dapat terjadi secara difus atau
nodular. Glomerulosklerosis diabetik difus merupakan lesi yang paling sering terjadi, terdiri
atas penebalan difus matriks mesangial dengan bahan eosinofilik disertai dengan penebalan
membran basalis kapiler. Glomerulosklerosis diabetik nodular lebih jarang terjadi namun
sangat spesifik untuk penyakit ini, terdiri atas bahan eosinofilik noduler yang menumpuk dan
terletak dalam perifer glomerulus didalam inti lobus kapiler.
CARI DAN MASUKIN PATOF NEFROPATI DIABETIK DALAM GAMBAR
ATAU BAGAN!!!

FAKTOR RISIKO NEFROPATI DIABETIK


 kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa >140 – 160 mg/dl [7,7 – 8,8
mmol/L]); A1C >7-8%
 faktor-faktor genetis
 kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus,
peningkatan tekanan intraglomerulus)
 hipertensi sistemik
 sindroma resistensi insulin (sindroma metabolic)
 peradangan
 perubahan permeabilitas pembuluh darah
 asupan protein berlebih
 gangguan metabolic (kelainan metabolism polyol, pembentukan advanced glycation
end products, peningkatan produksi sitokin)
 pelepasan growth factors
 kelainan metabolism karbohidrat / lemak / protein
 kelainan structural (hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan membrane
basalis glomerulus)
 gangguan ion pumps (peningkatan Na+-H+ pump dan penurunan Ca2+ ATPase
pump)
 hyperlipidemia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia)
 aktivasi protein kinase C
KLASIFIKASI CKD
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal, yaitu atas dasar derajat
(stage) penyakit dan atas dasar etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat
berdasarkan LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai
berikut :

LGF (ml/mnt/1,73m2) = 140 – umur x berat badan


72 x Kreatinin Plasma

Derajat penyakit ginjal kronik berdasarkan LFG sesuai dengan rekomendasi KDIGO 2012 :

ETIOLOGI CKD
Berdasarkan etiologinya, penyakit gagal ginjal kronik dapat dibedakan atas 3, yaitu
penyakit ginjal diabetes, penyakit ginjal non diabetes, dan penyakit ginjal pada transplantasi.

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kroni katas Dasar Etiologi


Penyakit Ginjal Diabetes DM Tipe 1 dan 2
Penyakit Ginjal Non-Diabetes  Penyakit Glomerular
(Autoimun, infeksi sistemik, obat)
 Penyakit Vaskuler
(pembuluh darah besar, hipertensi,
mikroangiopati)
 Penyakit Tubulointerstitial
(pielonefritis kronik, batu, obstruksi,
keracunan obat)
 Penyakit Kistik
(ginjal polikistik)
Penyakit pada Transplantasi  Rejeksi Kronik
 Keracunan Obat
(Siklosporin/tacrolimus)
 Penyakit rekuren
 Transplant glomerulopati
STADIUM NEFROPATI DIABETIK
Riwayat perjalanan nefropati diabetik dari awitan hingga ESRD dapat dibagi menjadi 5
fase atau stadium.
 Stadium 1, atau fase perubahan fungsional dini
ditandai dengan hipertropi dan hiperfiltrasi ginjal. Stadium 1 sebenarnya ditemukan pada
semua pasien yang didiagnosis diabetes melitus tipe 1 (bergantung insulin), dan
berkembang pada awal penyakit. Sering terjadi peningkatan GFR hingga 40% diatas
normal. Peningkatan ini disebabkan oleh beberapa faktor, dengan faktor yang
memperburuk adalah kadar glukosa darah yang tinggi, glukagon yang abnormal, hormon
pertumbuhan, efek renin, angiotensin I, dan prostaglandin. Ginjal yang menunjukkan
peningkatan GFR ukurannya lebih besar dari normal, dan glomerulus yang bersangkutan
akan lebih besar dengan daerah permukaan yang meningkat. Perubahan ini diyakini
dapat menyebabkan glomerulosklerosis fokal.
 Stadium 2, atau fase perubahan struktural dini
ditandai dengan penebalan membran basalis kapiler glomerulus dan penumpukan sedikit
demi sedikit bahan matriks mesangial. Stadium ini terjadi sekitar 5 tahun setelah awitan
diabetes tipe 1 dan kelihatannya akan berkembang pada semua pasien diabetes melitus.
Kerasnya penebalan atau perluasan mesangial yang terlihat pada stadium 2 secara positif
berkaitan dengan perkembangan proteinuria yang akan datang dan penurunan fungsi
ginjal. Penumpukan matriks mesangial dapat mengenai lumen kapiler glomerulus,
menyebabkan iskemia dan menurunkan daerah permukaan filtrasi, namun GFR biasanya
tetap dalam kisaran normal yang tinggi. Ekskresi albumin urine biasanya normal selama
stadium 2, kecuali pada mikroalbuminemia reversibel yang terjadi dalam waktu singkat.
Hiperglikemia persisten menjadi faktor utama dalam patogenesis
glomerulosklerotik diabetik dan melibatkan beberapa mekanisme, termasuk (1)
vasodilatasi dengan meningkatkan mikrosirkulasi yang menyebabkan peningkatan
kebocoran zat terlarut kedalam pembuluh darah dan jaringan sekitarnya; (2) pembuangan
glukosa melalui jalur polyol (insulin independen), menyebabkan penimbunan polyol dan
penurunan kadar komponen selular utama, termasuk glomerulus; dan (3) glikosilasi
protein struktur glomerulus. Pada hiperglikemia, glukosa memberikan reaksi dengan
mengedarkan protein seluler secara non enzimatik (misalnya glikosilasi hemoglobin
menghasilkan A1C). Glikosilasi membran basalis dan protein mesangial dapat menjadi
faktor utama yang bertanggung jawab dalam peningkatan matriks mesangial dan
perubahan permeabilitas membran yang menyebabkan proteinuria.
 Stadium 3 nefropati diabetik mengacu pada fase nefropati insipien dan secara khas
berkembang dalam waktu sekitar 10 tahun setelah awitan diabetes melitus.
Tanda khas stadium ini adalah mikroalbuminuria yang menetap (30-300 mg/24 jam)
yang hanya dapat terdeteksi dengan radioimunoassay atau metode lab sensitif lainnya.
Normalnya urin menyekresi albumin dibawah 30 mg/24 jam. Mikroalbuminuria yang
menetap dibuktikan dengan tiga atau lebih urin nefropati yang dikumpulkan secara
terpisah selama lebih dari 3-6 bulan. Mikroalbuminuria hanya dapat dideteksi pada 25%
hingga 40% pasien, dan besar kemungkinannya untuk berkembang menjadi stadium 4
dan 5. Kadar GFR normal hingga normal tinggi dan peningkatan tekanan darah juga
merupakan gambaran pada stadium 3.
 Stadium 4, atau fase nefropati diabetik klinis
ditandai dengan proteinuria yang positif dengan carrik celup (>300 mg/24 jam) dan
dengan penurunan GFR yang progresif. Retinopati diabetik, serta hipertensi, hampir
selalu ada pada nefropati diabetik stadium 4. Stadium ini muncul kira-kira 15 tahun
setelah awitan diabetes tipe 1 dan menyebabkan ESRD pada sebagian besar kasus.
 Stadium 5 atau fase kegagalan atau insufisiensi ginjal progresif
ditandai dengan azotemia (peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum) disebabkan oleh
penurunan GFR yang cepat, yang pada akhirnya menyebabkan berkembangnya ESRD
dan membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal. Rata-rata waktu yg dibutuhkan untuk
menuju stadium ini adalah 20 tahun.

Stadium Nefropati Diabetikum


Stadium 1 (perubahan fungsional dini)
 Hipertopi Ginjal
 Peningkatan daerah permukaan kapiler glomerular
 Peningkatan GFR
Stadium 2 (Perubahan Struktur Dini)
 Penebalan membrane basalis kapiler glomerulus
 GFR normal atau sedikit meningkat
Stadium 3 (Nefropati Insipien)
 Mikroalbuminuria (30 – 300 mg/24 jam)
 Tekanan darah meningkat
Stadium 4 (Nefropati Klinis atau Menetap)
 Proteinuria (>300mg/24 jam)
 GFR menurun
Stadium 5 (Insufisiensi atau Gagal Ginjal Progresif)
 GFR menurun dengan cepat (- 1 ml/ bulan)
 Ginjal kehilangan fungsinya setiap bulan hingga 3%
Tabel . Stadium Nefropati Diabetikum (Sumber: Dunlee TP. The changing management of
diabetic nephropathy Hosp Med 30(5): 45, 1995)

PATOGENESIS CKD PADA NEFROPATI DIABETIK


Fase awal nefropati asimptomatik dan mulai berkembang setelah 5-8 tahun pada DM
tipe 2. Proses pasti kerusakan ginjal pada diabetes tidak diketahui. Beberapa mekanisme telah
diteliti diantaranya, hiperglikemia, hiperfiltrasi, peningkatan viskositas darah, peningkatan
tekanan glomerular, albumin, protein kinase C, growth factor, Advanced Glycation End
Products (AGEs), oxidative stress, dan hiperkolesterolemia.
Kerusakan glomerulus disebabkan oleh minimal dua mekanisme, yaitu: denaturasi
protein akibat kadar glukose yang tinggi dan efek lanjut dari hipertensi intraglomerular.
Perubahan glomerulus ginjal dapat terjadi pada awal menderita diabetes. Hipertropi
glomerulus dan penebalan membrana basalis glomerulus, menyebabkan glomerulosklerosis
interkapiler difus, berkembang selama tahun tahun pertama penderita diabetes. Nodul
Kimmelstiel-Wilson, dengan penebalan pada pusat lobulus glomerulus dan penebalan
membrana basalis perifer pada individu penderita diabetes berbeda-beda.
Mikroalbuminuria merupakan manifestasi pertama yang muncul pada gangguan fungsi
ginjal. Mikroalbuminuria, kadar albumin urin 20-200μg/menit atau 30-300mg/24 jam,
merupakan stadium reversibel. Schernthaner G, melaporkan konsentrasi albumin urin lebih
dari 20mg/L dalam urin sewaktu pagi hari mengindikasikan UAE antara 20-200μg/menit
dengan sensitivitas 86 % dan spesivisitas 98 %, dengan mengukur kreatinin secara simultan
dan menghitung rasio albumin-kreatinin, sensitivitas dan spesifisitas ini tidak dapat
ditingkatkan.
Definisi nefropati klinis pada DM tipe 2 adalah, bila ekskresi albumin dalam urin >200
μg/menit, atau >300mg/24 jam, atau >0,2 rasio albumin/kreatinin, merupakan stadium yang
ireversibel. Perkembangan lanjut proteinuria tanpa terapi, umur harapan hidupnya kurang dari
10 tahun. Albumin lolos ke filtrat glomerulus disebabkan oleh faktor lain selain peningkatan
ukuran pori-pori membran, meskipun faktor lain ini tidak diketahui dengan pasti. Pada saat
gagal ginjal progresif, terjadi perubahan yang meluas baik vaskuler maupun ekstravaskuler.
Tiga jalur metabolik yang merupakan patogenesis nefropati diabetik adalah sebagai
berikut :
1) Pembentukan Advanced Glycation End Products (AGEs), merupakan hasil reaksi non-
enzimatik antara prekusor dikarbonil derivat-glukose intraseluler (glioksal, metilglioksal,
dan 3-deoksiglukoson) dengan kelompok amino dari protein intraseluler dan ekstraseluler.
* Komponen matrik ekstraseluler: matrik & interaksi matrik sel yang abnormal, cross-
linking polipeptip dari protein (kolagen), trapping protein nonglikasi (LDL, albumin),
resisten terhadap enzim proteolitik. * Intraseluler dan protein plasma: ligasi reseptor AGEs
memicu timbulnya (Reactive Oxygen Species) ROS dan aktifasi NF-κB terhadap sel target
(endotelium, sel mesangial, makrofag) dengan respons: sekresi sitokin dan growth factor,
induksi aktifitas prokoagulan, peningkatan permeabilitas vaskuler, produksi extra cellulare
matric (ECM) berlebihan.
CARI DAN MASUKIN PATOF JALUR ADVANCED GLYATION END
PRODUCT DALAM GAMBAR ATAU BAGAN!!!

2) Aktifasi Protein Kinase C (PKC), yang berefek terhadap:


 Produksi molekul proangiogenik vascular endothelial growth factor (VEGF), yang
berimplikasi terhadap neovaskularisasi, karakteristik sebagai retinopati diabetik.
 Peningkatan aktivitas vasokonstriktor endotelin-1 dan penurunan aktivitas vasodilator
endothelial nitrit oksid sinthase (eNOS).
 Produksi molekul profibrinogenik serupa transforming growth factorβ (TGF- β), yang
akan memicu deposisi matrik ekstraseluler dan material membran basal.
 Produksi molekul prokoagulan plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), memicu
penurunan fibrinolisis dan kemungkinan terjadinya oklusi vaskuler.
 Produksi sitokin pro-inflamasi oleh sel endotel vaskuler. Sering terjadi efek AGEs dan
aktifasi PKC overlapping. Pembentukan AGE dan aktifasi Protein Kinase-C oleh
hiperglikemia dapat dilihat
CARI DAN MASUKIN PATOF AKTIVASI PROTEIN KINASE C
DALAM GAMBAR ATAU BAGAN!!!

3) Hiperglikemia Intraseluler dengan perubahan polyol pathways, hiperglikemia


memicu peningkatan glukosa intraseluler yang dimetabolisme oleh enzim aldose
reductase menjadi sorbitol, poliol.
CARI DAN MASUKIN HIPERGLIKEMIA INTRASEL PLYOL PATHWAYS
DALAM GAMBAR ATAU BAGAN!!!
Dalam proses ini NADPH intraseluler berfungsi sebagai kofaktor. NADPH juga
diperlukan sebagai kofaktor oleh enzim glutathion reductase untuk regenerasi glutathion
(GSH). GSH merupakan antioksidan penting dalam mekanisme intraseluler, sehingga
penurunan kadar GSH meningkatkan kerentanan sel terhadap stres oksidatif.
Hiperglikemia diyakini sebagai penyebab komplikasi diabetes melalui reaksi glikasi,
aktifasi Protein Kinase C, dan polyol pathway, selanjutnya produksi berlebihan reactive
oxygen species dari mitokondria. Pada kenyataannya mekanisme ini saling
mempengaruhi satu sama lain. Diketahui bahwa 3-Deoxyglucosone (3-DG) terbentuk
dari fruktose melalui polyol pathway sebagai glucose-derived glycated proteins.
Selanjutnya ditemukan bahwa perkembangan komplikasi diabetes lebih cepat pada
pasien dengan kadar serum 3-DG ekstrem tinggi. Pasien dengan kadar 3-DG yang tinggi
menunjukkan tendensi komplikasi yang berat, pada kondisi dimana kadar HbA1c mereka
tidak tinggi. Sebaliknya pasien dengan kadar 3-DG yang rendah menunjukkan relatif
resisten terhadap berkembangnya komplikasi.
Dilaporkan bahwa, kadar serum 3-DG berperan pada perkembangan baik nefropati
maupun retinopati secara signifikan dibandingkan dengan lamanya diabetes. Bahkan ada
yang berpendapat bahwa, kadar 3-DG serum dapat digunakan sebagai marker untuk
prediksi prognosis mikroangiopati. Hal ini disebabkan potensi cross-linking antara 3-DG
pada polimerisasi protein lebih kuat 10 kali dibandingkan dengan glukose. Penemuan ini
menunjukkan bahwa formasi AGEs berakselerasi eksponensial ketika glukose dikonversi
menjadi 3-DG. Studi imunohistokimia juga menunjukkan bahwa 3-DG – derived AGEs
seperti pyrraline dan imidazolone terakumulasi pada lesi angiopati diabetik. Studi terbaru
mengatakan bahwa 3-DG berefek langsung pada fungsi sel. Che, dkk melaporkan highly
reactive dicarbonyls khususnya 3-DG memicu stres oksidatif intraseluler dengan
merusak bagian aktif dari enzim antioksidan. Sehingga paparan yang lama terhadap
kadar 3-DG yang tinggi terhadap sel akan menyebabkan berbagai gangguan.
Hal ini mendukung penemuan pada pasien diabetik dengan kadar 3-DG relatif tinggi
berkembang menjadi komplikasi yang berat. Peningkatan kadar 3- DG diinduksi oleh
hiperglikemia, sehingga pada pasien diabetik terdapat kadar 3- DG yang tinggi. Hal ini
merupakan harapan baru sebagai target farmakologi untuk pencegahan progresivitas
komplikasi diabetik, dengan menghambat pembentukan dicarbonyl compounds misal 3-
DG.
MANIFESTASI KLINIS CKD
Pada penyakit ginjal kronik timbul manifestasi klinis seperti lemas, mual, muntah,
sesak nafas, BAK berkurang, konjungtiva anemis, edema tungkai atau palpebra, tanda
bendungan paru. Sindrom uremia terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic
frost, perikaditis, kejang-kejang sampai koma.
Anemia terjadi pada 80 – 90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia normokrom
normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal
kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin.
Hal-hal yang ikut berperan terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah
(perdarahan saluran cerna, hematuria), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya
hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses
inflamasi akut maupun kronik.
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi,
dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan
mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan
tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) dilihat dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan histopatologis.
1) Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2) Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
3) Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4) Menentukan strategi terapi rasional
5) Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan


yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan
pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.
Anamnesis
 Pada awalnya, gagal ginjal mungkin tanpa gejala (tidak menghasilkan gejala apapun).
Seperti penurunan fungsi ginjal, gejala terkait dengan ketidakmampuan untuk
mengatur air dan elektrolit saldo, untuk membersihkan produk sisa dari tubuh, dan
untuk mempromosikan produksi sel darah merah. Kelesuan, kelemahan , sesak napas,
pembengkakan dan umum dapat terjadi. Belum diakui atau tidak diobati, keadaan
yang mengancam jiwa dapat berkembang.
 Asidosis metabolik, atau peningkatan keasaman tubuh karena ketidakmampuan untuk
memproduksi bikarbonat, akan mengubah enzim dan metabolisme oksigen,
menyebabkan gagal organ.
 Ketidakmampuan untuk mengekskresikan kalium dan kadar kalium dalam serum
meningkat ( hiperkalemia ) dikaitkan dengan gangguan irama jantung fatal ( aritmia )
termasuk takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel.
 Tingkat urea meningkat dalam darah (uremia) dapat mempengaruhi fungsi berbagai
organ mulai dari otak ( ensefalopati ) dengan perubahan pemikiran, untuk radang
selaput jantung ( perikarditis ), untuk fungsi otot menurun karena tingkat kalsium
yang rendah ( hypocalcemia).
 Kelemahan umum dapat terjadi karena anemia , suatu jumlah sel darah menurun
merah, karena tingkat lebih rendah dari erythropoietin yang dihasilkan oleh ginjal
gagal tidak cukup merangsang sumsum tulang. Penurunan sel merah sama dengan
penurunan oksigen-membawa kapasitas darah, mengakibatkan pengiriman oksigen
menurun menjadi sel bagi mereka untuk melakukan pekerjaan, sehingga ban tubuh
dengan cepat. Juga, dengan oksigen sedikit, sel-sel lebih siap menggunakan
metabolisme menyebabkan peningkatan jumlah produksi asam yang tidak dapat
ditangani oleh ginjal sudah gagal.
 Sebagai produk limbah membangun di, darah kehilangan nafsu makan , lesu, dan
kelelahan menjadi jelas. Ini akan maju ke titik di mana fungsi mental akan berkurang
dan koma dapat terjadi.
 Karena ginjal tidak dapat mengatasi beban asam yang meningkat dalam tubuh,
pernapasan menjadi lebih cepat karena paru-paru mencoba untuk buffer keasaman
dengan meniup karbon dioksida. Tekanan darah mungkin naik karena kelebihan
cairan, dan cairan ini dapat disimpan di paru-paru, menyebabkan gagal jantung
kongestif

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
 Sesuai penyakit yang mendasarinya
 Tes urin berupa urinalisis
 Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum kreatinin, dan penurunan
LFG
 Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
Diagnosis stadium klinis nefropati diabetik secara klasik adalah dengan ditemukannya
proteinuria > 0,5 gram/hari. Mengingat bahwa hampir semua ekskresi protein dalam urin
berbentuk albumin, dihubungkan juga dengan perubahan morfologi membran basal yang
terjadi, telah dibuat konsensus bahwa diagnosis klinis nefropati diabetik sudah dapat
ditegakkan bila didapatkan makroalbuminuria persisten (albuminuria > 300 mg/urin tampung
24 jam atau >200 μg/menit urin sewaktu). Disebut persisten (menetap) adalah bila 2 dari 3
kali pemeriksaan, yang dilakukan dalam kurun waktu 6 bulan, memberikan hasil positif.
Definisi nefropati klinis pada DM tipe 2 adalah, bila ekskresi albumin dalam urin : > 200
μg/menit urin sewaktu, atau > 300 mg/urin tampung 24 jam, atau > 0,2 rasio
albumin/kreatinin urin sewaktu. Mikroalbuminuria, merupakan istilah untuk ekskresi albumin
melalui urin yang melebihi batas normal tetapi kadarnya tidak terdeteksi oleh metode dipstik
konvensional. Mikroalbuminuria digunakan untuk uji saring nefropati pada pasien DM tipe2.
Mikroalbuminuria menunjukkan stadium yang reversible pada disfungsi renal, sedangkan
proteinuria klinis menunjukkan penyakit yang irreversible.

b. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis pada penyakit ginjal kronik digunakan untuk menyingkirkan
berbagai penyakit penyebab, yaitu antara lain :
 Foto polos abdomen, bisa tampak batu radiopak
 Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yamg sudah mengalami kerusakan
 Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi
 Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronephrosis atau batu ginjal, kista, massa,
ataupun kalsifikasi
 Pemeriksaan pemindai ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
 Biopsi: Sebuah contoh dari jaringan ginjal (biopsi) kadang-kadang diperlukan
dalam kasus-kasus di mana penyebab dari penyakit ginjal tidak jelas.
Biasanya, biopsi dapat dikumpulkan dengan anestesi lokal dengan
memperkenalkan jarum melalui kulit ke dalam ginjal.

TATALAKSANA NEFROPATI DIABETIK


Tanda klinik bagi setiap tahap nefropati diabetik adalah hiperglikemia, hipertensi, dan
selalu dijumpai hiperlipidemia. Keseluruhan tanda klinik ini sekaligus merupakan faktor
resiko untuk progresifitas ke tahap selanjutnya. Faktor resiko lainnya ialah konsumsi rokok.
Dengan demikian maka terapi di tiap tahapan umumnya sama dan adalah juga merupakan
tindakan pencegahan untuk memperlambat progresivitas program yang dimaksud. Terapi
dasar adalah kendalikan gula darah, kendali tekanan darah dan kendali lemak darah. Di
samping itu perlu dilakukan usaha mengubah gaya hidup seperti pengaturan diet,
menurunkan berat badan bila berlebih, latihan fisik, menghentikan kebiasaan merokok, dll,
juga tindakan preventif terhadap penyakit kardiovaskuler.

1. Pengendalian kadar gula darah


Berbagai penelitian klinik jangka panjang (5-7 tahun), dengan melibatkan ribuan pasien
telah menunjukkan bahwa pengendalian kadar gula darah secara intensif akan mencegah
progresifitas dan mencegah timbulnya penyulit kardiovaskuler, baik pada pasien DM tipe
1 maupun DM tipe 2. Oleh karena itu perlu sekali diupayakan agar ini dilaksanakan
sesegera mungkin. Yang dimaksud dengan pengendalian secara intensif adalah
pencapaian kadar HbA1C <7%, kadar gula darah preprandial 90 – 130 mg/dl, post
prandial < 180 mg/dl.

2. Pengendalian Tekanan Darah


Pengendalian tekanan darah juga telah ditunjukkan memberi efek perlindungan yang
besar, baik terhdap ginjal, renoproteksi, maupun terhadap organ kardiovaskuler. Pada
umumnya target adalah tekanan darah <130/90 mmHg, akan tetapi bila proteinuria lebih
berat >1 gram/24 jam maka target perlu lebih rendah, yaitu <125/75 mmHg. Hal yang
paling penting diperhatikan adalah tercapainya tekanan darah yang ditargetkan. Tetapi
karena ACE Inhibitor dan ARB dikenal memiliki efek proteinurik maupun renoproteksi
yang baik, maka obat-obatan ini sebagai obat awal hipertensi pada pasien DM.

3. Pengaturan Diet
Dalam upaya mengurangi progresivitas nefropati maka pemberian diet rendah protein
sangat penting. Umumnya dewasa ini disepakati pemberian diet mengandung protein
sebanyak 0,8 gram/kgBB/hari, atau sekitar 10% kebutuhan kalori, pada pasien dengan
Nefropati Overt, tetapi bila LFG telah mulai menurun maka pembatasan protein dalam
diet menjadi 0,6 gram/kgBB/hari mungkin bermanfaat untuk memperlambat penurunan
LFG selanjutnya. Pada pasien DM sendiri cenderung mengalami keadaan dislipidemia
diatasi dengan statin, dengan target LDL Kolesterol <100 mg/dl pada pasien DM dan
<70 mg/dl bila sudah ada kelainan kardiovaskular.

4. Penanganan Multifaktorial
Suatu penelitian klinik dari Steno Diabetes Center di Kopenhagen mendapatkan bahwa
penanganan intensif secara multifaktorial pada pasien DM tipe 2 dengan
mikroalbuminuria menunjukkan pengurangan faktor resiko yang jauh melebihi
penanganan sesuai panduan umum penanganan diabetes nasional. Penangan harus secara
intensif, artinya terapi yang dititrasi sampai mencapai target, baik tekanan darah, kadar
gula darah, lemak darah, dan mikroalbuminuria, serta juga disertai pencegahan penyakit
kardiovaskuler dengan pemberian aspirin. Obat obat ACE inhibitor dan ARB lebih
banyak digunakan. Untuk pengendalian lemak darah lebih banyak menggunakan statin.

TATALAKSANA CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)


Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:
 Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
 Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
 Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
 Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
 Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
 Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan
LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal
secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi
yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari
normal terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat

Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid


Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat penurunan LFG pada pasien penyakit ginjal
kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors) yang dapat
memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat
nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.

Menghambat Pemburukan Fungsi Ginjal


Faktor utama penyebab pemburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus.
Cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah:
 Pembatasan Asupan Protein
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG < 60 ml/mnt, sedangkan diatas
nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-
0,8 kg.bb/hari, yang 0,35 – 0,50 gr diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi.
Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30 -35 kkal/kgBB/hari. Ddibutuhkan pemantauan
yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi jumlah asupan kalori
dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan
protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah dipecah menjadi urea dan subtansi
nitrogen lain , yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian
diet tinggi protein pada pasien Penyakit Ginjal Kronik akan mengakibatkan penimbunan
subtansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan
metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian pembatasan asupan protein akan
mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah supan
protein berlebih (protein overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal
berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus
hyperfiltration), yang akan meningkattkan progresifitas pemburuan fungsi ginjal.
Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena
protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk
mencegah terjadinya hiperfosfatemia.
 Pembatasan garam: Batasi untuk 4-6 gram sehari untuk menghindari retensi cairan dan
membantu mengontrol tekanan darah tinggi.
 Asupan cairan: asupan air yang berlebihan tidak membantu mencegah penyakit ginjal.
Pembatasan asupan air disamakan dengan jumlah air yang keluar melalui urin
(penampungan urin per 24 jam) dikurangkan sedikit untuk asupan air.
 Pembatasan Kalium: Hal ini diperlukan pada penyakit ginjal maju karena ginjal tidak
mampu mengeluarkan kalium. Tingginya kadar kalium bisa menyebabkan irama jantung
abnormal . Contoh makanan tinggi kalium meliputi pisang, jeruk, kacang-kacangan, dan
kentang.
 Terapi Farmakologis
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat anti hipertensi, disamping
bermanfaat untuk memperkecil resiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa
pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan
pembatasan asupan protein dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrogi
glomerulus. Disamping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat
proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria merupakan faktor resiko
terjadi pemburukan fungsi ginjal dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan
proses pemburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Beberapa obat
antihipertensi, terutama Penghambat Ensim Komveting Angiotensin (Angiotensin
Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat
proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai
antihipertensi dan antiproteinuria.
Terapi Simptomatik
 Asidosis metabolic
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan
suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena
bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
 Anemia
Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis inisial 50 u/kg IV
3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis pemberian menjadi
2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tiga kali dalam
seminggu. Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus
hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.
 Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada
GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari
GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut
sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan
obat-obatan simtomatik.
 Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
 Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis regular yang
adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
 Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym Konverting
Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor). Melalui berbagai
studi
terbukti dapat memperlambat proses pemburukan antihipertensi dan antiproteinuria.
 Kelainan sistem kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang
penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh
penyakit
kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular
yang
diderita, termasuk pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, hiperfosfatemia,
dan
terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbanagan elektrolit.

Terapi Pengganti Ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal,
dan transplantasi ginjal.
 Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia,
dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang
belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis,
yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi
absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah
persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.
Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah,
dan astenia berat.
CARI DAN MASUKIN GAMBARAN HEMODIALISA!!!

 Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal menawarkan hasil terbaik dan kualitas terbaik dari kehidupan.
Transplantasi ginjal Sukses terjadi setiap hari di Amerika Serikat. Transplantasi ginjal
dapat berasal dari donor hidup terkait, donor hidup tidak berhubungan, atau orang yang
telah meninggal karena sebab lain (donor kadaver). Pada penderita diabetes tipe I,
transplantasi ginjal-pankreas dikombinasikan sering merupakan pilihan yang lebih baik.
Namun, tidak semua orang merupakan kandidat untuk transplantasi ginjal. Orang perlu
menjalani pengujian ekstensif untuk memastikan kesesuaian mereka untuk transplantasi.
Ada kekurangan organ untuk transplantasi, membutuhkan waktu tunggu dari bulan
sampai tahun sebelum mendapatkan transplantasi.
Seseorang yang membutuhkan transplantasi ginjal mengalami beberapa tes untuk
mengidentifikasi karakteristik sistem kekebalan tubuh nya. Penerima dapat menerima
hanya ginjal yang berasal dari donor yang cocok tertentu karakteristik imunologi nya.
Donor lebih mirip berada dalam karakteristik ini, semakin besar kemungkinan
kesuksesan jangka panjang dari transplantasi. Transplantasi dari donor yang terkait hidup
umumnya memiliki hasil terbaik.
Terapi antibodi Antilymphocyte induksi bervariasi dan termasuk antiserum poliklonal,
monoclonals mouse, dan apa yang disebut monoclonals manusiawi. Antiserum
poliklonal, seperti globulin antilymphocyte (ALG), antilymphocyte serum (ALS), dan
antithymocyte globulin (ATG), adalah kuda, kambing, atau antiserum kelinci ditujukan
terhadap sel-sel limfoid manusia. Efeknya adalah untuk secara signifikan lebih rendah
dan hampir menghapuskan sel limfoid beredar yang sangat penting untuk respon
penolakan. Imunologi co-stimulasi blokade dengan Belatacept (Nulojix) telah
menjanjikan sebagai agen imunosupresif perawatan baru untuk meningkatkan fungsi
ginjal. Itu mungkin memainkan peran dalam menekan ketergantungan pada kalsineurin
inhibitor (tacrolimus dan siklosporin) untuk imunosupresi.

TERAPI OBAT ANTIDIABETIK PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK


Pasien dengan tingkat EGFR, 60 mL / menit / 1,73 m2 lebih rentan terhadap
hipoglikemia karena penurunan clearance agen hipoglikemik dan penurunan glukoneogenesis
oleh ginjal. Dengan demikian, penyesuaian dosis diperlukan untuk agen hipoglikemik bila
digunakan pada pasien dengan penyakit ginjal diabetik.
 Metformin
Penggunaan metformin merupakan kontraindikasi pada pria dengan kreatinin serum
≥1,5 mg / dL dan pada wanita dengan serum CRE- atinine ≥1,4 mg / dL. Metformin juga
harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan kondisi yang mengganggu metabolisme
dan ekskresi asam laktat, seperti gagal jantung dan penyakit hati, dan selama penyakit akut
dan / atau hipoksia jaringan.
Penggunaan metformin baru-baru ini harus dievaluasi ulang pada eGFR, 45 mL/
menit/1,73 m2 dengan reduksi dalam dosis maksimum 1.000 mg / hari dan dihentikan pada
saat, 30 mL / menit / 1,73 m2 serta dalam situasi yang terkait dengan risiko tinggi AKI,
sepsis, hipotensi, infark miokard akut, dan penggunaan kontras radiografi atau agen
nefrotoksik lain.
Pada PGK stadium 3 (LFG 45-60 mL/menit) dosis metformin sebaiknya tidak melebihi 1.500
mg/hari, sedangkan apabila LFG 30-45 mL/menit dosisnya sebaiknya tidak melebihi 1.000
mg/hari dan tidak memulai pemberian metformin baru. Pada PGK stadium 4 dan 5 (LFG <30
mL/menit) metformin sebaiknya dihentikan.

 Sulfonylurea
Penggunaan sulfonilurea pada CKD membutuhkan perhatian yang cermat pada dosis
untuk menghindari hipoglikemia. Glyburide secara ekstensif dimetabolisme di hati dan
menjadi beberapa metabolit aktif yang diekskresikan oleh ginjal sehingga tidak
direkomendasikan untuk digunakan pada pasien CKD. Glipizide dimetabolisme oleh hati dan
menjadi beberapa metabolit tidak aktif, pembersihan dan eliminasinya tidak terpengaruh oleh
penurunan eGFR sehingga penyesuaian dosis pada pasien dengan CKD tidak diperlukan.
Perhatian utama penggunaan repaglinide dan nateglinida pada pasien CKD adalah sangat
berpotensi terjadinya hipoglikemia. Sehingga dosis awal konservatif agen ini dianjurkan.
Pada praktik sehari-hari, pasien DMT2 dengan PGK sering diberikan gikuidon.
Glikuidon merupakan golongan SU yang dikatakan penggunaannya aman pada PGK karena
ekskresinya melalui sistem bilier sehingga tidak memerlukan penyesuaian dosis pada PGK.
Namun, saat ini belum ada publikasi penelitian tentang efikasi glikuidon pada pasien DMT2
dengan PGK dalam hal penghambatan progresi PGK.
Golongan SU lainnya, seperti gliklazid dan glipizid, ternyata memiliki bukti ilmiah
yang lebih banyak dibandingkan glikuidon. Gliklazid dan glipizid terbukti efektif
menurunkan kadar glukosa darah dan juga menghambat progresi PGK. Namun demikian,
tetap perlu berhati-hati terkait dengan risiko hipoglikemia. Gliklazid dimetabolisme oleh hati
menjadi metabolit yang tidak aktif untuk kemudian dieliminasi melalui ginjal sehingga risiko
hipoglikemianya pada penggunaan di kasus dengan PGK lebih rendah. Gliklazid dapat
digunakan pada PGK dengan LFG >30 mL/menit, pada LFG yang lebih rendah datanya lebih
terbatas, tetapi melihat proses metabolismenya sepertinya relatif aman.
Sementara itu glipizide tidak memerlukan penyesuaian dosis bahkan pada PGK stadium
lanjut, tetapi tetap dikaitkan dengan risiko hipoglikemia. Penggunaan glibenklamid pada
PGK awal (LFG 60-90 mL/menit tetap harus hati-hati karena dengan penurunan dosis
sekalipun masih meningkatkan risiko hipoglikemia.
Glibenklamid dikontraindikasikan pada PGK dengan LFG <60 mL/menit. Sementara
itu, glimepirid relatif aman digunakan pada PGK dengan LFG >60 mL/menit, dan dengan
penurunan dosis boleh digunakan pada PGK dengan LFG >30 mL/menit.
 Glinid
OAD golongan glinid jarang digunakan di Indonesia. Repaglinid dan nateglinid cara
kerjanya mirip dengan SU tapi kerjanya lebih pendek sehingga risiko hipoglikemianya lebih
rendah. Repaglinid dapat digunakan di PGK stadium 4 dan 5 bahkan tanpa penuruna dosis,
sedangkan nateglinid perlu penyesuaian dosis pada PGK stadium 4 dan dikontraindikasikan
pada PGK stadium 5.

 Thiazolidinediones (Pioglitazone)
Thiazolidinediones (TZD) hampir sepenuhnya dimetabolisme oleh hati sehingga tidak
memerlukan penyesuaian dosis pada PGK. Penggunaan TZD umumnya dihindari di CKD
karena efek samping seperti retensi cairan, hipertensi, dan peningkatan risiko fraktur
(osteoporosis) sehingga pada PGK stadium akhir obat golongan ini penggunaannya terbatas
dan dosisnya biasanya diturunkan menjadi 15 mg/hari.

 Inhibitor a-glukosidase
Inhibitor a-glukosidase, acarbose dan miglitol, diserap minimal dari saluran
pencernaan, namun kadar plasma dapat meningkat pada pasien CKD. Oleh karena itu,
disarankan hati-hati untuk penggunaan agen ini pada pasien diabetes dengan eGFR rendah
( 30 mL / menit / 1,73 m2).

 Inhibitor DPP-4
OAD golongan penghambat DPP-4 mulai banyak digunakan di Indonesia karena risiko
hipoglikemianya yang rendah dan tidak memengaruhi berat badan. Selain itu OAD golongan
ini cukup efektif menurunkan HbA1c pada pasien PGK.18 Namun demikian, OAD golongan
ini sepertinya tidak memiliki efek menghambat progresi PGK pada DMT2.
Dari semua OAD golongan penghambat DPP-4 di Indonesia, hanya linagliptin yang
tidak memerlukan penyesuaian dosis pada PGK karena sebagian besar eliminasinya melalui
system bilier.17 Pada pasien DMT2 dengan LFG 30-45 mL/menit, dosis sitagliptin,
vildagliptin, dan saxagliptin sebaiknya diturunkan sebanyak 50% (atau ½ dosis). Pada PGK
dengan LFG <30 mL/menit dosis sitagliptin perlu diturunkan lagi menjadi ¼ dosis, sementara
saxagliptin tidak perlu.

 Inhibitor SGLT-2
Selanjutnya, empagliflozin dan canagiflozin, golongan penghambat SGLT-2, terbukti
dapat menurunkan progresi PGK dibandingkan penggunaan plasebo, dengan risiko
hipoglikemia yang sebanding dengan placebo. Efek penghambatan progresi nefropati diabetik
pada OAD golongan ini mungkin tidak hanya terkait efeknya terhadap kendali glukosa, tetapi
terkait penurunan proses hiperfiltrasi pada nefropati diabetik. Penghambat SGLT-2
menurunkan reabsorbsi natrium di tubulus proksimal, menyebabkan umpan balik
tubuloglomerular, vasokonstriksi arteriol aferen, dan penurunan hiperfiltrasi. Hal ini disertai
penurunan respons inflamasi dan fibrosis di sel-sel tubulus proksimal ginjal.
Studi-studi baru secara konsisten menunjukkan bahwa OAD golongan ini dapat
menurunkan albuminuria, namun demikian masih perlu menunggu hasil uji klinis dengan
keluaran utama fungsi ginjal (renal outcome trials) untuk membuktikan apaka OAD
penghambat SGLT-2 ini memiliki efek proteksi ginjal di luar efeknya terkait kendali glukosa
darah.
Tabel . Rekomendasi dosis obat noninsulin antihiperglikemik agen pada Penyakit
Ginjal Diabetik
PROGNOSIS
Prognosis Nefropati Diabetik
Secara keseluruhan prevalensi dari mikroalbuminuria dan makroalbuminuria pada
kedua tipe diabetes melitus diperkirakan 30-35%. Nefropati diabetik jarang berkembang
sebelum sekurang-kurangnya 10 tahun pada pasien IDDM, dimana diperkirakan 3% dari
pasien dengan NIDDM yang baru didiagnosa menderita nefropati. Puncak rata-rata insidens
(3%/th) biasanya
ditemukan pada orang yang menderita diabetes selama 10-20 tahun.
Mikroalbuminuria sendiri memperkirakan morbiditas kardiovaskular, dan
mikroalbuminuria dan makroalbuminuria meningkatkan mortalitas dari bermacam-macam
penyebab dalam diabetes melitus. Mikroalbuminuria juga memperkirakan coronary and
peripheral vascular disease dan kematian dari penyakit kardiovaskular pada populasi umum
nondiabetik. Pasien dengan proteinuria yang tidak berkembang memiliki tingkat mortalitas
yang relative rendah dan stabil, dimana pasien dengan proteinuria memiliki 40 kali lipat lebih
tinggi tingkat relatif mortalitasnya. Pasien dengan IDDM dan proteinuria memiliki
karakteristik hubungan antara lamanya diabetes /umur dan mortalitas relatif, dengan
mortalitas relatif maksimal pada interval umur 34-38 tahun (dilaporkan pada 110 wanita dan
80 pria).
ESRD adalah penyebab utama kematian, 59-66% kematian pada pasien dengan IDDM
dan nefropati. Tingkat insidens kumulatif dari ESRD pada pasien dengan proteinuria dan
IDDM adalah 50%, 10 tahun setelah onset proteinuria, dibandingkan dengan 3-11%, 10 tahun
setelah onset proteinuria pada pasien Eropa dengan NIDDM. Penyakit kardiovaskular juga
penyebab utama kematian (15-25%) pada pasien dengan nefropati dan IDDM, meskipun
terjadi pada usia yang relatif muda.

Prognosis Penyakit Ginjal Kronik


Angka kematian yang berhubungan dengan hemodialisis yang mencolok dan
menunjukkan bahwa harapan hidup pasien masuk ke hemodialisis nyata dipersingkat. Pada
tahun 2003, lebih dari 69.000 pasien dialisis terdaftar dalam program ESRD meninggal.
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau stadium V.
Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari, keberhasilan terapi, dan
juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani dialisis kronik akan mempunyai
angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang
menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani dialisis kronik.
Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%), kelainan
pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%).
DAFTAR PUSTAKA

1. Physiology of Kidney. 2012. http://www.ivyrose.


co.uk/HumanBody/Urinary/Urinary_System_Kidneys_Actions.php
2. Laurelle Sherwood. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta. 2001.
3. Guyton, Arthur C. Text Book of Medical Physiology, Elevent Edition. Department of
Physiology and Biophysics University of Mississippi Medical Center Jackson, Mississippi.
2006.
4. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of
Chronic Kidney Disease
http://www.kdigo.org/clinical_practice_guidelines/pdf/CKD/KDIGO_2012_CKD_GL.pdf
5. Arsono, Soni. 2005. Diabetes Melitus Sebagai Faktor Risiko Kejadian Gagal Ginjal
Terminal (Studi Kasus Pada Pasien RSUD Prof.Dr. Margono Soekarjo Purwokert. Jurnal
Epidemiologi.
6. Ayodele, O.E., Alebiosu, C.O., Salako, B.L. 2004. Diabetik nephropathy areview of
the natural history, burden, risk factors and treatment. Dalam:Journal National Medical
Association: 1445–54.
7. Dronavalli, S., Duka I., Bakris G.L. 2008. The pathogenesis of diabetik nephropathy.
Nature clinical practice endocrinology and metabolism. August 2008 VOL 4 NO 8.
8. Hendromartono. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi IV : Nefropati Diabetik
. Jakarta, Balai Penerbit FKUI.
9. DENNIS L. KASPER, ANTHONY S. FAUCI, et al1. 16th Edition Harrison’s
Principles of Internal. 2005.
10. Setyo Raharjo. Pengaruh Hemodialisis Terhadap Kadar TNF α dan Prokalsitonin pada
Pasie Nefropati Diabetik Stadium V. Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit
Dalam, Fakultas Kedokteran UNS. 2010.
11. Toth-Manikowski dan M. G. Atta. 2015. Review Article Diabetic Kidney Disease:
Pathophysiology and Therapeutic Targets. Hindawi Publishing Corporation Journal of
Diabetes Research Vol. 2015.
12. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord Handbook of
Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University; 2007. 294-97.
13. Molitch, M. E., DeFronzo, R. A., Franz, M. J., Keane, W. F., Mogensen, C. E.,
Parving, H-H., Steffes, M. W. 2004. Nephropathy in Diabetes. Dalam : Diabetes Care
January, 27 (Supplemen I), 79-83
14. Bidaya Eny, Tjokroprawiro Askandar. Nefropati Diabetik. Cermin Dunia Kedokteran
No. 43, 1987.
15. Roesli, R. Susalit, E. Djafaar, J. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. III :
Nefropati Diabetik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
16. Davey, Patrick. At a Glance Medicine. 2005. Penerbit : Erlangga. Hal : 258, Gagal
ginjal Kronis dan pasien dialisis.
17. Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcelinus Simadibrata K, Siti
Setiati. 2006. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanisme Terjadinya, Diagnosis, dan Strategi
Pengelolaan dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. FK UI : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam hal 1184-88.
18. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK,
Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.
19. Sihotang RC, Ramadhani R, dan Tahapary DL. 2018. Efikasi dan Keamanan Obat
Anti Diabetik Oral pada PAsien Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Penyakit Ginjal Kronik.
Jurnal Penyakit Dalam Vol.5 No.3.
20. Abe M, Okada K, Som M. 2011. Antidiabetic Agents in Patients with Chronic
Kidney Disease and End-Stage Renal Disease on Dialysis: Metabolism and Clinical Practice.
Current Drug Metabolism.Vol. 12, No. 1.

Anda mungkin juga menyukai