Anda di halaman 1dari 12

Presentasi Kasus Bedah Anak

ANAK LAKI – LAKI USIA 2 TAHUN DENGAN UNDESCENCUS


TESTICULORUM SINISTRA DAN SYNDROMA NEFROTIK

Oleh:
NORMA MUKTI BIMACAHYA
G99151041

Periode : 23 – 29 Januari 2017

Pembimbing:
Suwardi, dr., Sp.B, Sp.BA

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2017

BAB I
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
I. Identitas Pasien
Nama : An D
Umur : 2 tahun
Jenis kelamin : Laki – laki
Agama : Islam
Alamat : Kebakkeramat, Karanganyar
Tanggal Diperiksa : 23 Januari 2017
No. RM : 01328xxx
I. Keluhan Utama
Testis kiri tidak teraba

II. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien adalah konsulan dari bagian Pediatri pada bulan Desember
2016. Pasien dikonsulkan karena orangtua pasien menyatakan testis bagian
kiri kempes/tidak teraba,sedangkan testis bagian kanan teraba. Keluhan ini
ditemukan oleh ibu pasien pada saat usia pasien sekitar 6-7 bulan. Keluhan
tanpa disertai rasa nyeri. BAK tidak ada keluhan, riawayat trauma
disangkal. Telah dilakukan USG scrotum pada 28 Desember 2016, dengan
hasil bacaan undescencus testiculorum sinistra. Pasien juga didiagnosis
dari bagian Pediatri dengan sindroma nefrotik.

III. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat trauma : disangkal
Riwayat mondok : (+) di RSUD Karanganyar & RSUD dr Moewardi
dengan diagnosis Sindroma Nefrotik, mendapatkan
terapi rutin Prednison 5 mg; captopril 3 x12,5 mg
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat alergi : disangkal

IV. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa : disangkal

V. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir di RSUD Karanganyar oleh dokter secara pervaginam pada
tanggal 26 Januari 2014, usia kehamilan 32 minggu. BBL 1800 gram.
Pasien kemudian dirawat di KBRT. Pasien mulai dirawat mandiri oleh
orangtua setelah BB 2200 gram.

VI. Riwayat Kehamilan


Riwayat ANC : rutin ke bidan dan dokter
Riwayat sakit saat hamil : disangkal
Riwayat konsumsi obat-obatan : disangkal

VII. Riwayat Imunisasi


Pasien telah mendapatkan program imunisasi lengkap.

B. PEMERIKSAAN FISIK
I. Keadaan Umum
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang,
b. Vital sign :
N : 88 x/menit regular, simetris, isi dan tegangan cukup
RR : 24 x/menit
TD : 90/60 mmHg
T : 36,4oC
SiO2 : 99%

I. General Survey
a. Kulit : Kulit sawo matang, kering (-), ujud kelainan kulit (-),
hiperpigmentasi (-)
b. Kepala : mesocephal, UUB cekung (-)
c. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), cekung (-/-),
reflex cahaya (+/+), pupil isokhor (2mm/2mm), air mata (+/+)
d. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-).
e. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-), keluar
darah (-).
f. Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-), lidah kotor (-), jejas (-).
g. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-).
h. Thorak : normochest, retraksi (-), gerakan dinding dada simetris
i. Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-).
j. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-).
k. Abdomen
Inspeksi : dinding perut lebih sejajar dinding dada,
Auskultasi : bising usus (+),
Perkusi : timpani, shifting dullness (-), pekak sisi (-)
Palpasi : supel, massa (-), nyeri tekan (-), defans muscular (-),
undulasi (-), hepar dan lien tidak teraba
l. Ekstremitas : CRT < 2 detik

Akral dingin Oedema


- - - -
- - - -

m. Genitourinari : palpasi scrotum dextra, teraba testis di dalamnya;


scrotum sinistra tidak teraba testis, testis teraba di regio inguinal
sinistra.

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
I. Laboratorium Darah (19 Januari 2017)

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


Hematologi Rutin
Hemoglobin 14,2 g/dl 15,0 – 24,6
Hematokrit 40 % 47 - 75
Leukosit 22,3 ribu/µl 5,0 - 19,5
Trombosit 391 ribu/µl 150 - 450
Eritrosit 4,78 juta/µl 3,70 - 6,80
Golongan Darah A
Hemostasis
PT 11,1 Detik 10,0-15,0
APTT 25,9 Detik 20,0-40,0
INR 0,820
Kimia Klinik
GDS 79 Mg/dl 50 - 80
SGOT 18 u/l <31
SGPT 21 u/l <45
Albumin 4,4 g/dl 3,8-5,4
Creatinin 0,2 Mg/dl 0,2 – 0,4
Ureum 17 Mg/dl <42
Elektrolit
Natrium darah 139 mmol/L 129 - 147
Kalium darah 3,1 mmol/L 3,6 - 6,1
Kalsium ion 1,07 mmol/L 1,17 – 1,29
II. Pemeriksaan USG
USG Scrotum di RSUD dr. Moewardi (28 Desember 2016)

Hasil :
Scrotum dextra : ukuran normal, intensitas echoparenkim normal,
tidak tampak cairan, vaskularisasi normal berada di dalam scrotum
dextra.
Scrotum sinistra : testis berada di canalis inguinalis sinistra, scortum
sinistra kosong
Kesimpulan :
Undescencus testiculorum sinistra. (testis berada di di dalam canalis
inguinalis sinistra)

D. ASSESSMENT
Undescencus testiculorum sinistra
Sindroma Nefrotik
E. PLANNING
1. Mondok bangsal anak
2. IV line D5 ¼ NS 8 tpm
3. Inj. Ceftriaxon 250mg/ 12jam
4. Inj. Ranitidin 10 mg/12 jam
5. Orchidopexy sinistra
6. Konsul TS pediatri untuk tatalaksana syndroma nefrotik dan toleransi
operasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Undescensus testiculorum (UDT) adalah suatu keadaan dimana testis
tidak ada pada skrotum. Penyakit ini adalah penyakit kongenital tersering pada
anak laki-laki dengan prevalensi 3-6% pada bayi cukup bulan dan 30% pada
bayi prematur (Firdaoessaleh, 2007).

II. EMBRIOLOGI
Pembentukan testis dipengaruhi oleh lengan pendek dari kromosom Y
yang disebut dengan gen SRY (sex-determining region Y). Adanya mutasi
pada gen ini dapat menyebabkan kelainan pada testis seperti UDT. Ekspresi
gen SRY pada sel mesenkimal somatik pembentuk gonad menyebabkan
pembentukan protein SRY yang juga disebut sebagai testis-determining factor
(TDF) (Niedzielski et al, 2016).

III. ANATOMI TESTIS


Dalam bahasa yunani testis disebut orchis. Testis secara anatomi
merupakan bagian pars genitalies masculina interna. Testis berfungsi untuk
menghasilkan spermatozoa dan juga sebagai kelenjar endokrin yang
menghasilkan hormon androgen yang berguna untuk mempertahankan tanda-
tanda kelamin sekunder. Testis bersama tunica vaginalis propria terletak dalam
cavum scroti, letak testis normal sebelah kiri lebih rendah jika dibandingkan
dengan sebelah kanan.
Stuktur anatomi testes jika dipotong dari margo anterior ke margo
posterior maka akan terlihat tunica albuginea. Tunica albuginea ini memberi
lanjutan-lanjutan ke dalam parenchim testis, yang disebut septula testis.
Septula testis ini membagi testis menjadi beberapa lobus testis. Pada daerah
dekat margo posterior yang tidak dicapai oleh septula testis, tersusun atas
jaringan ikat fibrosa yang memadat yang disebut mediastinum testis. Parenkim
testis yang terletak dalam lobulus testis terdiri atas tubulus seminiferus
contortus, ini merupakan daerah yang nampak seperti benang-benang halus
yang berkelok-kelok. Tubulus seminiferus yang mendekati mediastinum testis
bergabung membentuk tubukus seminiferi recti.
Beberapa tubulus seminiferi recti memasuki mediastinum dan
berhubungan satu sama lain, sehingga membentuk anyaman yang disebut rete
testis. Dari rete testis dibentuk saluran-saluran yang memasuki caput
epididimis yang disebut ductus efferen testis (Afiatunnisa, 2013).

IV. FISIOLOGI PENURUNAN TESTIS


Testis turun dari abdomen menuju skrotum untuk mendapatkan suhu
yang lebih rendah untuk pembentukan sperma (2-4oC). Testis turun dengan
dua fase, fase transabdominal pada masa gestasi minggu ke 8 – 15 dan fase
inguinoskrotal pada masa gestasi minggu ke 25 - 35. Interval 10 minggu
antara fase transabdominal dan inguinoskrotal belum dapat dijelaskan
(Niedzielski et al, 2016).
Pada pasien UDT 70 – 77% testis dapat turun ke dalam skrotum secara
spontan pada umur 3 bulan (Firdaoessaleh, 2007).

V. ETIOLOGI
Etiologi UDT masih belum jelas. Beberapa kemungkinan yang
ditemukan adalah kelainan letak plasenta dengan berkurangnya sekresi hCG
(Barteczko dan Jacob, 2000) atau kelianan pada testis itu sendiri Skakkebaek
et al, 2001).
Namun demikian, Davies et al (1986) menyatakan bahwa terdapat
beberapa faktor risiko seperti:
a. Intrauterine growth restriction (IUGR)
b. Prematur
c. Asfiksia prenatal
d. Anak laki-laki pertama atau kedua
e. Sectio Caesaria
f. Toksemia pada kehamilan
g. Subluxatio panggul kongenital
h. Musim dingin
Secara umum dapat dibagi menjadi 3 (Virtanen el atl, 2007; Ritzen,
2008), yaitu:
1. Anatomis: Anomali pada testis, epididimis, dan vas deferens; penempelan
yang tidak tepat pada gubernakulum; patent processus vaginalis dan hernia
inguinalis; anomali pada kanal inguinalis
2. Hormonal: Defisiensi GnRH atau ketidakreseptifan reseptor GnRH dan LH;
defisiensi produksi androgen; defisiensi produksi AMH, INSL3, CGRP atau
ketidakreseptifan reseptornya.
3. Genetik: Mutasi gen reseptor androgen; 5α-reduktase; HOXA10; Insl3 dan
Lgr8; penambahan insidensi polimorfil alel SF-1.
VI. GEJALA KLINIS
Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain:
1. Tidak teraba testis pada skrotum
2. Riwayat operasi daerah inguinal
3. Riwayat prenatal: terapi hormonal pada ibu, hamil kembar, prematuritas
4. Riwayat keluarga: UDT, hipospadia, infertilitas, intersex, pubertas prekoks.
(Firdaoessaleh, 2007).

VII. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada posisi pasien supine dan berdiri atau
frog leg atau baseball catcher. Ruangan dan tangan pemeriksaan harus dalam
kondisi hangat. Dilakukan palpasi pada skrotum, kantung inguinal, kanalis
inguinalis, dan abdomen (Mathers et al, 2009; Firdaoessaleh, 2007).
UDT kemudian akan dibagi menjadi beberapa (Mathers et al, 2009):
1. Undescended testis: Testis terdapat di intraabdominal atau kanalis inguinalis,
dan teraba insersi yang normal pada gubernaculum.
2. Kriptokirdisme: Testis non-palpable dan berada intra-abdomen atau tidak ada
sama sekali
3. Testis ektopi: Testis berada di bawah kulit secara superfisial, perineal, pada
paha atau penis
4. Testis inguinalis: Testis teraba pada selangkangan
5. Gliding testicle: Testis berada pada scrotal entrance atau di atas skrotum.
Dapat ditarik ke bawah namun akan naik lagi ke tempatnya semula.
6. Testis retraktil: Testis naik secara fisiologis ke atas akibat refleks kremaster
namun akan turun kembali ke dalam skrotum seperti semula.
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dapat dilakukan tes stimulasi hCG pada pasien dengan umur >3 bulan.
Apabila tidak terdapat peningkatan testosteron namun terdapat peningkatan
LH/FSH, maka pasien dapat didiagnosis sebagai anorchia (Firdaoessaleh,
2007).
USG, CT-Scan, dan MRI dapat digunakan untuk melihat adanya testis
daerah inguinal, namun pada daerah ini testis dapat diraba. Pada testis
intraabdomen lebih baik menggunakan MRI dengan akurasi 90% daripada
USG dan CT Scan dengan akurasi 0 – 50% (Firdaoessaleh, 2007).

IX. TATALAKSANA
UDT diberikan tatalaksana menggunakan dua prinsip: Hormonal dan Operasi.
Tujuan dari tatalaksana UDT adalah:
1. Mencegah kegagalan spermatogenesis
2. Mencegah dan mengurangi risiko Ca Testis
3. Memfasilitasi pemeriksaan lanjutan pada testis
4. Mengoreksi hernia inguinalis yang biasana menyertai UDT
5. Meminimalisasi risiko torsio testis (Nietzielsi et al, 2016).
Pada pemberian terapi hormon digunakan hCG dan GnRH dengan dosis
sebagai berikut:
a. hCG: Injeksi IM 50IU/kgBB 2 kali seminggu selama 3 – 5 minggu (dengan
total dosis 6000-9000IU)
b. GnRH: Spray nasal 3x400mcg/hari (misalnya 3x 1 puff 200mcg ke tiap lubang
hidung) selama 4 minggu (Tekgul et al, 2014).
Pada pemberian tindakan operasi orchiopexy dilakukan pada pasien
dengan usia 6 – 12 bulan untuk mencegah kelainan spermatogenesis.
Orchipexy dilakukan untuk memberikan mobilisasi yang luas dan aliran darah
pada testis, menutup kantung hernia, serta fiksasi testis yang kuat pada
skrotum. Indikasi aboslut dari orchipexy adalah kegagalan terapi hormonal,
testis ektopik, dan terdapat kelainan lain seperti hernia dengan/atau prosesus
vaginalis yang terbuka. Komplikasi dari tindakan adalah posisi testis yang
tidak baik, atrofi testis, trauma pada vas deferens, torsio pascaoperasi,
epididimiorkitis, pembengkakan skrotum (Firdaoessaleh, 2007; Hrivatakis et
al, 2014).

X. KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi apabila UDT tidak ditangani adalah Ca Testis,
gangguan spermatogenesis, hernia inguinalis (Pettersson et al, 2007;
Firdaoessaleh, 2007).

XI. PROGNOSIS
Keberhasilan terapi hormon adalah 6 – 80% dengan rata-rata 20%
sedangkan untuk terapi operasi adalah 95% (Niedzielski et al, 2016).
DAFTAR PUSTAKA

Firdaoessaleh (2007). Diagnosis dan Tatalaksana Undescended Testis. Maj Kedokt


Indon; 57(1): 33-36.

Niedzielski JK, Oszukowska E, Slowikowska-Hilczer J (2016). Undescended


testis – current trends and guidelines: a review of the literature. Arch Med
Sci; 12(3): 667-677.

Ritzen EM (2008). Undescended testis: a consensus in management. Eur J


Endocrinol; 159(Suppl 1): S87-90.

Tekgul S et al (2014). Guidelines on Pediatric Urology.


www.uroweb.org/fileadmin/user_upload/Guidelines/Paediatric
%20Urology.pdf [Diakses pada Agustus 2016].

Barteczko KJ, Jacob MI (2000). The testicular descent in human: Origin,


development, and fate of the gubernaculum Hunteri, processus vaginalis
peritonei, and gonadal ligaments. Adv Anat Embryol Cell Biol; 156(III-X):
1-98.

Davies TW, Williams DDR, Whitaker RH (1986). Risk factors for undescended
testis. Int J Epidemiol; 15: 197-201.

Skakkebaek NE, Berthelsen JG, Muller J (1982). Carcinoma-in-situ in


undescended testis. Urol Clin North Am; 9: 98-99

Afiatunnisa (2013). Thanatologi.


eprints.undip.ac.id/43707/2/Afifatunnisa_G2A009012_BAB_2.pdf
[Diakses pada Agustus 2016].

Pettersson A et al (2007). Age at Surgery for Undescended Testis and Risk of


Testicular Cancer. NEJM; 356: 1835-1841.
Hrivatakis G et al (2014). The timing of surgery for Undescended Testis. Dtsch
Arztebl Int; 111(39): 649-657.

Anda mungkin juga menyukai