Anda di halaman 1dari 21

PORTOFOLIO KASUS EMERGENCY

FENOMENA LUCIO

Disusun oleh :
Dwi Ayu Nilamsari, dr.

Pembimbing :
Dwi Aryaningrum, dr., Sp. KK

Pendamping :
Widya Karunia, dr.

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RSUD Dr. H. Slamet Martodirdjo, Pamekasan
Portofolio Kasus
No. ID dan Nama Peserta : Dwi Ayu Nilamsari
No. ID dan Nama Wahana : RSUD Pamekasan
Topik : Kasus medik :
Tanggal (kasus):
Nama Pasien: Nn. K/ 21 tahun No RM: 467397
Tanggal Presentasi: Pendamping: dr. Dwi Aryaningrum Sp. KK

Obyektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Neonatus
Deskripsi: Pasien laki-laki usia 45 tahun datang dengan keluhan batuk lama dan sesak yang
semakin memberat.
Tujuan: Mengetahui definisi, etiologi, klasifikasi, pedoman diagnosis, tatalaksana TB paru
serta contoh laporan kasus yang terkait.
a Tinjauan Riset Kasus Audit
Pustaka
Cara Diskusi Presentasi & E-mail Pos
membahas diskusi

Data pasien Nama: Nn. K/ 21 tahun No RM: 467397


Nama Klinik: RSUD Telp: Terdaftar sejak: 28 Februari
Pamekasan 2020
Data utama untuk bahan diskusi

1. Diagnosis/ Gambaran Klinis/Laboratoris


ANAMNESIS
Keluhan Utama:
Demam dan luka pada kulit yang semakin terasa panas.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Pamekasan dengan keluhan muncul luka kemerahan dan
bernanah pada area wajah, kedua tangan , dan kedua kaki yang semakin memberat. Awalnya
luka tersebut berupa bintik-bintik kemerahan dan terasa panas yang muncul di kaki dulu,
tangan dan pada akhirnya di muka. Selain itu, gejala juga disertai demam , lemas , nyeri-nyeri
otot dan sendi. Muncul kira-kira 5 bulanan yang lalu, karena luka semakin melebar dan
menyebar 1 minggu SMRS pasien dibawa ke pengobatan alternatif oleh orang tua pasien. Di
pengobatan alternatif ditempeli seperti daun-daunan, setelah dari pengobatan alternatif
tersebut luka semakin parah, nyeri, dan sekarang disertai nanah.
Mual +, muntah -, sesak +, BAB dan BAK + normal. Nafsu makan pasien semakin
menurun selama sakit ini.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pada tahun 2018 ( 2 tahun yang lalu) pasien muncul lesi kemerahan dan semakin
membesar yang muncul pada kedua kaki . Kemudian pasien periksa ke puskesmas, dan oleh
puskesmas di diagnosis kusta. Pasien menjalani pengobatan selama 1 tahun, dan dinyatakan
sembuh oleh puskesmas.

Riwayat Alergi : disangkal


Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada kelarga pasien yang pernah sakit serupa seperti pasien.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : GCS 456
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 135 x/ menit, teratur, kuat angkat
Sp02 : 99%
Pernapasan : 20 x/menit, teratur
Suhu : 38 oC
Berat badan : 35 kg
Tinggi badan : 155 cm
BMI : 14,5 (under wight)
Kepala & leher : konjungtiva anemis +/+, ikterus (-), cyanosis (-), dyspneu (-).
pernafasan cuping hidung (-).
Thorax : simetris, bentuk normal, retraksi (-), deformitas (-)
Cor : S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Vesikuler/vesikuler, wheezing -/-, rhonchi -/-
Abdomen : Soepel +, BU (+) normal, perkusi timpanik / normal
hepar/lien tidak teraba
Extremitas : akral hangat kering merah, CRT < 2 detik,
edema ekstrimitas bawah -/-.

Status dermatologis
Regio thorak anterior et posterior, ekstremitas superior et inferior, dan fasialis
ditemukan nodul eritematus dengan diameter bervariasi 3-6 cm disertai dengan ulkus,
tepi tidak rata, dasarnya kotor, dan terdapat krusta kuning kehitaman, dan nyeri pada
perabaan.

Gambar
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
DARAH LENGKAP (28/02/2020)
Hasil Nilai normal
Hemoglobin 8,5 12-16 g/dL
Leukosit 18.590 4.500-11.000
Trombosit 265.000 150.000-450.000
Haematocrit 26,7 38-47
Gula Darah Acak 129 General < 160 mg/dL
Kolesterol Total 83 General < 200 mg/dL
Trigliserida 101 General < 150 mg/dL
SGOT 18 0-31 UL
SGPT 40 0-35 UL
Ureum / BUN 28/14 General Urea 10-50
mg/dl
BUN 8-20 mg/dL
Kreatinin Serum 0,8 <1,1 mg/dL
Asam Urat 3,6 General 3,5-5,2 g/dL

PEWARNAAN BTA (29/02/2020)


Hasil Nilai normal
BTA ZN MH Positif (3) General Negatif

DARAH LENGKAP (02/03/2020)


Hasil Nilai normal
Hemoglobin 9,1 12-16 g/dL
Leukosit 6.160 4.500-11.000
Trombosit 207.000 150.000-450.000
Haematocrit 30,5 38-47

PROBLEM LIST
Kulit berkrusta hitam kekuningan yang terasa panas dan nyeri
Demam
Nyeri di otot dan sendi
Lemas
Sesak
Reaksi kusta kedua (relaps)
Anemis
Leukositosis
SGPT 40

ASSESMENT
Fenomena Lucio

PLAN
Diagnosis : Lab darah ( DL, GDA, RFT, LFT, SE, BUN, SK, Profil Lipid)
O2 nasal 3 lpm
Infus NaCl 0,9% 20 tpm
Infus Sanmol jika panas
Inj Ceftriaxon 1 ampul / 12 jam IV
Inj Metilprednisolon 62,5 mg/ 24 jam IV
Inj Ranitidine 1 ampul/ 12 jam IV
Kompres dengan Nacl pada luka

MONITORING
- Keluhan

- Tanda vital

EDUKASI
- Menjelaskan diagnosis penyakit kepada pasien

- Menjelaskan pemeriksaan yang akan dilakukan dan pemeriksaan penunjang yang


dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis

- Menjelaskan terapi yang diberikan pad pasien

- Menjelaskan kepada pasien mengenai prognosis dan komplikasi yang dapat terjadi

- Menjelaskan efek samping pemberian obat


TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Latar belakang

Penyakit kusta adalah penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium leprae (M. leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan
jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat. Penyakit ini merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang menggambarkan tranmisi aktif penyakit di masyarakat
dan dianggap penting, sebab berpotensi menyebabkan kecacatan yang memberikan
dampak psikososial pada pasien dan keluaraganya. Kusta merupakan endemis di
beberapa negara di kawasan Asia Tenggara , Amerika, dan Afrika. Sementara
Indonesia menempati peringkat ke 3 di dunia dan ke 2 di Asia Tenggara setelah India,
dengan laporan kasus 20.023 (PNPP Kusta, 2012).
Morbus Hansen multibasiler relaps adalah adalah suatu keadaan dimana
pasien yang sudah menyelesaikan terapi Multi Drug Treatment Multi Basiler (MDT
MB), namun kemudian menunjukkan gejala dan keluhan baru dari penyakit kusta .
Reaksi eritema nodusum leprosum (ENL) bulosa pada kusta merupakan manifestasi
dari reaksi ENL berat dan menandakan reaksi eksaserbasi akut (Kar et al., 2009).
Gambaran klinis ditandai dengan nodul dan plak eritematosa yang nyeri pada badan ,
wajah, dan bagian ekstensor ekstremitas yang tersebar simetris dan bilateral
(Amirudin et al., 2003).
Terdapat tiga tipe reaksi yang dikenal, yaitu reaksi tipe 1, reaksi tipe 2 atau
Erythema nodusum leprosum (ENL), dan reaksi lain yaitu fenomena lucio. Reaksi
terjadi pada kusta tipe Lepromatus Leprosy (LL) dan Borderline Leprosy (BL), karena
dalam tipe ini muatan basiler cenderung tinggi. ENL merupakan penyakit yang
diperantai imun kompleks, yang merupakan contoh hipersensitivitas tipe III
(klasifikasi Coombs dan Gell) atau fenomena Arthur (Ffytche et al., 1985).
Berdasarkan penelitian di rumah sakit Dr. Soetomo, tercatat 638 pasien kusta baru,
82% adalah pasien kusta tipe MB dan 26,7% dari presentase pasien baru tipe Multi
Basiler (MB), terjadi reaksi tipe 2 (ENL) (Tarida I. Sawitri, 2015).

2.2 Epidemiologi
Morbus Hansen adalah salah satu penyakit infeksi yang menyebabkan
kecacatan dan sulit dalam penyembuhannya, dengan insidensi tercatat 250.000 kasus
baru di dunia setiap tahunnya. World Health Organization (WHO) menyatakan
prevalensi kusta di 115 negara dunia pada tahun 2013 mencapai 0,33 per 10.000
penduduk. Hal tersebut mengalami peningkatan apabila dibandingkan dengan data
prevalensi pada tahun 2012. Jumlah kasus baru kusta di negara-negara tersebut rata-
rata 4 kasus per 100.000 penduduk. Total kasus baru di seluruh dunia sebanyak 71%
terdapat di wilayah Asia Tenggara. Indonesia merupakan negara ketiga dengan
insidensi terbanyak didunia (WHO, 2013).Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Divisi Kusta Unit Rawat Jalan (URJ) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo
Surabaya didapatkan jumlah pasien baru kusta sebanyak 594 pasien (Pramatasari et
al., 2015). Mengingat komplelnya masalah penyakit kusta, maka diperlukan program
pengendalian secara terpadu dan menyeluruh melalui strategi yang sesuai dengan
endemisitas (scollard et al., 2006).
Kusta dapat terjadi pada semua usia, tetapi lebih sering terlihat pada kelompok
umur antara 20 dan 30 tahun. Di daerah endemis infeksi umumnya terjadi pada masa
kanak-kanak. Sedangkan angka kejadian kusta jika dilihat dari jenis kelamin,
memiliki perbandingan 2:1 dimana pria lebih sering terinfeksi penyakit ini (IAL
textbook, 2010)

2.3 Definisi
Kusta adalah penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh
Mycrobacterium leprae (M. leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan
tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat. Kusta merupakan penyakit endemis di
beberapa negara di kawasan Asia tenggara, Amerika, dan Afrika. Indonesia adalah
negara dengan jumlah pasien kusta terbanyak ketiga di dunia (BPNPP Kusta, 2007)
Reaksi merupakan suatu masalah penting baik untuk pasien maupun dokter.
Terdapat tiga tipe reaksi yang dikenal, yaitu reaksi tipe 1, reaksi tipe 2 atau Erythema
nodusum leprosum (ENL), dan reaksi lain yaitu fenomena lucio. Reaksi terjadi pada
kusta tipe Lepromatous Leprosy (LL) dan Borderline Leprosy (BL), karena dalam tipe
ini muatan basiler cenderung tinggi. Erythema nodusum leprosum (ENL) adalah
komplikasi imunologis yang serius serta sukar ditangani. Sebagian besar penderita
ENL akan mengalami beberapa kali episode ENL selama bertahun-tahun, yaitu
sebagai episode multiple akut atau kronik (Kawahita et al., 2008). Fenomena lucio
termasuk dalam reaksi kusta tipe 2 atau ENL dengan gejala yang lebih berat. Sebutan
lain Fenomena Lucio adalah “Latapi’s lepromatosis” atau “Lepra Bonita” (Rea Th et
al., 2008).
2.4 Etiologi
Kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae), muncul dalam
bentuk spektrum dan manifestasi yang berbeda. Ada 2 group besar yaitu tipe
Pausibasilar (PB)/ tuberkuloid dan Multibasilar (MB)/ lepromatous. Diantara dua
group besar tersebut akan di lebarkan lagi spektrumnya yaitu menjadi borderline
tuberculoid (BT), borderline borderline (BB), dan borderline lepromatous (BL).

2.5 Patofisiologi

Erythema nodusum leprosum (ENL) merupakan penyakit yang diperantai


imun kompleks , yang merupakan contoh hipersensitivitas tipe III (klasifikasi Coombs
dan Gell) atau fenomena Arthur. Diawali oleh Wemambu dan kawan-kawan , ENL
merupakan suatu reaksi yang diperantai oleh adanya reaksi imun kompleks disertai
dengan vaskulitis. Peningkatan TNF- α serta Interleukin-6 (IL-6) pada kasus yang
lebih berat menunjukkan bahwa respon cell-mediated immune (CMI) juga
mempunyai peranan terjadinya ENL. TNF-α berasal dari beragam sel terutama fagosit
mononuklear dan sel T yang diaktifkan oleh antigen, natural killer cell (sel NK) dan
sel mast. Efek biologinya dapat berpengaruh baik secara lokal maupun sistemik, serta
dapat bersifat protektif maupun patologis tergantung pada konsentrasi, lama pajanan,
dan tersedianya mediator lain pada lingkungan seluler (Bartawidjaja KG et al., 2009).
Produksi lokal dapat meningkatkan pertahanan tubuh terhadap patogen dengan
memberikan respon inflamasi yaitu menyebabkan datangnya neutrofil dan monosit ke
tempat infeksi serta mengaktifkan sel-sel tersebut untuk membunuh mikroba, memacu
ekspresi vascular cell adhesion molecule (VCAM), merangsang makrofag mensekresi
kemokin dan menginduksi kemotaksis, merangsang fagosit mononuklear untuk
mengsekresi IL-1 dengan efek yang sama dengan TNF-α dan sebagainya. Seperti
diketahui bahwa neutrofil berguna untuk pergerakan sel, meliputi E-selectin yang
diregulasi oleh IL-1β. Aktivasi Toll-Like Receptor 2 (TLR2) secara in-vitro
menginduksi IL-1β yang bersama dengan Interferon gamma (IFN-γ) akan
merangsang ekspresi E-selectin dan perlekatan neutrofil pada sel endotel (secara luas,
kadar TNF-α dapat membahayakan pejamu karena dapat menimbulkan terjadinya
trombus sel endotel, lebih jauh lagi dapat terjadi sindroma klinis yang sangat fatal
yang dinamakan syok septik (Agusni I, 2000).

Sekresi TNF-α yang berlebih pada ENL diduga berasal dari dinding bagian
dalam Mycodoacterium leprae yang dapat merangsang kekebalan alamiah pada tubuh
manusia, yaitu Triacetylated Lipoprotein (TLP) dan merupakan Pathogen Associated
Molecular Pattern (PAMPs). TLP merupakan komponen membran lipoprotein pada
semua genus mikobakteria dan diduga merupakan indikator utama sekresi TNF-α oleh
makrofag. IFN-γ yang diproduksi oleh sel T dan sel NK juga merangsang makrofag
untuk meningkatkan sintesis TNF-α. Sitokin pro inflamasi, diantaranya TNF-α, IFN-
γ, dan IL-1β telah dilaporkan berperan dalam mekanisme terjadinya reaksi kusta baik
reaksi tipe I (reaksi reversal) maupun reaksi tipe 2 (termasuk ENL). Pada ENL, kadar
TNF- α yang dilepaskan oleh sel mononuklear darah tepi lebih banyak dibandingkan
penyakit lain. Disalah satu pihak TNF-α dapat bekerja sinergis dengan IFN-γ sebagai
protektif imunitas dengan memperantarai terbentuknya granuloma dan menghambat
pertumbuhan M.leprae secara in-vitro. Sedangkan dilain pihak, TNF-α dapat
menimbulkan kerusakan saraf dan terjadinya nekrosis percobaan klinis, injeksi
intralesi IFN-γ untuk terapi penderita kusta, didapatkan bahwa injeksi IFN-γ 6-12
bulan dapat menimbulkan ENL pada 6 dari 10 penderita kusta tersebut. Ternyata
diketahui 6 dari penderita tersebut adalah penderita kusta tipe LL sedangkan sisanya
adalah tipe BL atau LL subpolar. Hal ini menunjukkan bahwa penderita kusta tipe
BL/LL subpolar tidak memiliki kemampuan untuk meningkatkan sistem imunitas
selulernya, sehingga yang berperan adalah sistem imunitas humoral. Selain itu injeksi
IFN-γ dapat menginduksi makrofag untuk memproduksi TNF-α sehingga makrofag
akan menjadi lebih aktif. Hal ini dapat menjadi penjelasan mengenai terjadinya ENL
setelah injeksi menggunakan IFN-γ (Listiawan MY, 2011).

Gejala sistemik yang terjadi pada ENL seperti demam, penurunan berat badan,
peningkatan laju endap darah (LED), nekrosis serta lesi yang nyeri berhubungan
dengan kadar sitokin pro-inflamasi (TNF-α dan IL-1) yang tinggi termasuk dalam
reaksi kusta tipe 2 atau ENL dengan gejala yang lebih berat. Sebutan lain Fenomena
Lucio adalah "Latapi's lepromatosis" atau "Lepra Bonita" (Rea TH et al., 2008).
Patofisiologi terjadinya fenomena ini belum sepenuhnya dimengerti. Terdapat dugaan
terjadinya perubahan sel endotel pembuluh darah oleh karena adanya TNF-α. Adanya
sitokin ini menyebabkan pembentukan suatu trombus dan terjadinya koagulopati.
TNF-α juga meningkatkan agregasi dan perlekatan leukosit PMN sehingga
menyebabkan respons inflamasi baik secara langsung maupun melalui stimulasi
endotel oleh IL-1. Mekanisme inilah yang berperan pada patogenesis terjadinya
vaskulitis sistemik yang disertai nekrosis pada ENL. Membaiknya klinis ENL
ditandai dengan penurunan suhu yang signifikan, hal ini dihubungkan dengan
penurunan kadar IL-1. Begitu juga dengan kadar IL-6 dan TNF-α yang merupakan
suatu pirogen endogen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa IL-1, TNF-α dan IL-6
memiliki peran pada imunopatogenesis terjadinya demam (Lockwood DNJ, 2010).

2.6 Diagnosis

2.6.1 Anamnesis

Gejala kusta secara Cardinal sign berupa (1) kelainan kulit yang
hipopigmentasi atau eritematosis dengan anestesi yang jelas, (2) kelainan syaraf tepi
berupa penebalan syaraf dengan anestesi, (3) hapusan kulit positif untuk kuman tahan
asam. Diagnosis ditegakkan bila dijumpai satu tanda utama tersebut diatas (WHO,
2013). Sedangkan reaksi tipe 2 dapat terjadi sebelum, selama ataupun setelah
pengobatan. Gejala terutama pada kulit berupa Eritema Nodusum leprosum (ENL)
yaitu adanya nodul nodul kemerahan yang nyeri, pada perabaan dapat superfisial
ataupun dalam. Pada reaksi tipe 2 berat, lesi ENL menjadi vesikuler atau bulat dan
pecah, disebut sebagai eritema nekrotikans. Dapat juga menyerang mata
(iridosiklisis), testis (orkhitis), ginjal (nefritis), sendi (artritis), limpadenik dan
neuritis. Gejala klinis berupa malaise, panas badan, sakit kepala dan nyeri otot.
Sedangkan jika fenomena lucio, gejala biasanya berupa nodule eritematus yang
bagian tengahnya mengalami nekrosis dan meninggalkan jaringan parut yang atrofi.
Bedakan dengan eritema nekrotikans (Atlas kulit dan kelamin FK UNAIR, 2016).

2.6.2 Pemeriksaan fisik

Tanda – tanda orang tersangka kusta (suspek) , (1) tanda pada kulit berupa
bercak kulit yang merah atau putih dan atau plakat pada kulit terutama pada wajah
dan telinga, bercak kurang / mati rasa, bercak yang tidak gatal, kulit mengkilap atau
kering bersisik, adanya kelainan kulit yang tidak berkeringat dan atau tidak berambut,
lepuh tidak nyeri, (2) tanda-tanda pada saraf yaitu nyeri tekan dan atau spontan pada
saraf , rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota gerak, kelemahan
anggota gerak dan atau wajah , adanya cacat (deformitas), luka (ulkus) yang sulit
sembuh, (3) lahir dan tinggal di daerah endemic kusta dan mempunyai kelainan kulit
yang tidak sembuh dengan pengobatan rutin, terutama bila terdapat keterlibatan saraf
tepi.

Tanda tanda tersebut merupakan tanda-tanda tersangka kusta dan belum dapat
digunakan sebagai dasar diagnosis penyakit kusta jika diagnosis kusta belum dapat
ditegakkan , tindakan yang dapat gilakukan adalah : (1) pikirkan kemungkinan
penyakit kulit lain (seperti panu, kurap, kudis, psoriasis , vitiligo), (2) pengambilan
kerokan jaringan kulit , (3) bila tidak ada petugas terlatih dan tidak tersedia sarana
pemeriksaan kerokan jaringan kulit, tunggu 3-6 bulan dan periksa kembali adanya
tanda utama . jika ditemukan tanda utama , diagnosis kusta dapat ditegakan.

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang


A. Pemeriksaan Bakteriologis

Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan pewarnaan Zielhl Nieslen,


dengan sediaan diambil dari kedua cuping telinga dan lesi yang ada di kulit.
Kepadatan kuman dinyatakan dalam indeks bakteri dan indeks morfologi.

B. Pemeriksaan Serologis

Lepromin test, MLPA (Mycobacterium Lepra Particle Agglutination), dan


PCR (Polimerase Chain Reaction).

C. Pemeriksaan Histopatogi

Merupakan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis dan menentukan tipe


kusta. Berdasarkan pemeriksaan histopatologi, infiltrate inflamasi pada ENL terletak
di dermis dan subkutan, dimana biopsi pada < 72 jam akan menunjukkan neutrofil
sebagai infiltrat yang dominan disertai dengan eosinofil dan sel mast sedangkan
biopsi yang dikerjakan pada waktu yang lebih lama akan menunjukkan limfosit, sel
plasma, dan histiosit yang menunjukkan infiltrat inflamasi kronis. Temuan
histopatologis lain adalah edema dermis dan subkutan, vaskulitis, dan panikulitis
(Mabalay MC et al., 1965).

2.7 Diagnosis Banding

Banyak penyakit lain yang memiliki gambaran klinis seperti kusta, adapun
beberapa penyakit kulit yang digolongkan berdasarkan kemiripannya (WHO, 2000) :

(1) diagnosis bercak merah : (a) psoriasis : bercak merah berbatas tegas , dengan
sisik berlapis. (b) tinea circinata : bercak meninggi , sering meradang ,
mengandung vesikel/krusta. (c) dermatitis seboroik : lesi di daerah sebore
(berminyak) dengan sisik kuning berminyak , gatal , kronis , residif , tidak ada
rasa baal.

(2) Diagnosis banding bercak putih : (a) vitiligo : pigmen kulit hilang total warna
kulit amat putih , (b) pitiriasis vesikolor : punggung tampak lesi berupa plak
hipopigmentasi dengan skuama halus dan berbatas tegas, (c) pitiriasis alba :
macula bentuk bundar atau oval dengan sisik , rasa raba normal.

(3) Diagnosis banding nodul : (a) neuro fibromatosis : bercak café au lait (bercak
coklat muda berbatas tegas) yang sering timbul sejak lahir nodus dan tumor
bertangkai pada usia yang lebih lanjut tersebar luas tanpa rasa baal,
pemeriksaan BTA negative, (b) sarcoma kaposi : nodus lunak berwarna biru
keunguan lokalisata terutama pada kaki dengan BTA negative , (c) veruka
vulgaris : papul papul diatas dengan permukaan kasar.

2.8 Klasifikasi

Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan
pausibasilar. Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL, dan BB pada
klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri lebih dari 2+ sedangkan
pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan indeks bakteri kurang dari 2+.
Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995). (FKUI)

PB MB
1. Lesi kulit - 1-5 lesi - > 5 lesi
(macula datar, - Hipopigmentasi - Distribusi
papul yang - Distribusi tidak lebih simetris
meninggi, simetris - Hilangnya
nous) - Hilangnya sensasi sensasi
yang jelas kurang jelas
2. Kerusakan - Hanya satu cabang - Banyak
saraf saraf cabang saraf
(menyebabkan
hilangnya
sensasi/kelem
ahan otot yang
dipersarafi
oleh saraf
yang terkena
2.9 Penatalaksanaan

Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang

direkomendasikan oleh WHO/DEPKES RI . Untuk itu klasifikasi kusta

disederhanakan menjadi:

1. Pausi Basiler (PB)


2. Multi Basiler (MB)

Dengan memakai regimen pengobatan MDT (Multi Drug Treatment).

Kegunaan MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat,

mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat

(drop out rate) pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi

persistensi kuman kusta dalam jaringan.8

Terapi Pausi Basiler (PB)


Rifampicin Dapson
Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hr diminum di
Diminum di depan petugas kesehatan
rumah
Anak-anak Regimen 450 mg/bulan 50 mg/hari diminum di
(10-14 th) Diminum di depan petugas kesehatan
rumah

Tabel MDT pada kusta Pausibasiler (PB)

Terapi Multi Basiler (MB)


Rifampicin Dapson Lamprene
Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hari 300 mg/bulan

diminum di depan diminum di rumah diminum di depan

petugas kesehatan petugas kesehatan

dilanjutkan dgn 50

mg/hari diminum di

rumah
Anak-anak 450 mg/bulan 50 mg/hari 150 mg/bulan
(10-14 th)
diminum di depan diminum di rumah diminum di depan

petugas petugas kesehatan

dilanjutkan dg 50

mg selang sehari

diminum di rumah
Tabel Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)

Sediaan MDT Morbus Hansen

PB dengan lesi 2 – 5. Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama 6-9 bulan.

MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan

selama 12-18 bulan.

Reaksi Kusta

Reaksi kusta merupakan episode akut dalam perjalanan kronik yang termasuk

dalam penyakit immunologis. Sehingga mengakibatkan kerugian pada penderita.

Reaksi tipe1 disebabkan karena hipersensitivitas tipe IV antigen dari M.

lepraae bereaksi dengan limfosit T karena adanya perubahan yang yang cepat dari

imunitas seluler. Gejala berupa makula eritematosa menebal rasa panas dan nyeri

tekan serta neuritis, gejala sistemik jarang ditemukan.


Reaksi tipe II terjadi karena kompek imun yang berupa g ejala ENL (Eritema

Nodusum Leprosum) yaitu nodul kemerahan nyeri pada perabaan dimana lesinya

dapat menjadi vesikuler atau bula pecah disebut eritema nekrotikan.

Pengobatan reaksi kusta.

Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan

obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-5

hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik

dan sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian

obat-obat anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.

Obat-obat anti reaksi, Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 – 6x/hari ),

Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon

per ml) yang diberikan 2-3 ml secara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30

ml. Antimon jarang dipakai oleh karena toksik. Thalidomide juga jarang

dipakai,terutama pada wanita (teratogenik). Dosis 400 mg/hari kemudian diturunkan

sampai mencapai 50 mg/hari. Pemberian Kortikosteroid, dimulai dengan dosis

tinggi atau sedang. Digunakan prednison atau prednisolon. Gunakan sebagai

dosis tunggal pada pagi hari lebih baik walaupun dapat juga diberikan dosis

berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off) setelah terjadi respon

maksimal (Koasih et al., 2009).

Anda mungkin juga menyukai