FENOMENA LUCIO
Disusun oleh :
Dwi Ayu Nilamsari, dr.
Pembimbing :
Dwi Aryaningrum, dr., Sp. KK
Pendamping :
Widya Karunia, dr.
Obyektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Neonatus
Deskripsi: Pasien laki-laki usia 45 tahun datang dengan keluhan batuk lama dan sesak yang
semakin memberat.
Tujuan: Mengetahui definisi, etiologi, klasifikasi, pedoman diagnosis, tatalaksana TB paru
serta contoh laporan kasus yang terkait.
a Tinjauan Riset Kasus Audit
Pustaka
Cara Diskusi Presentasi & E-mail Pos
membahas diskusi
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : GCS 456
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 135 x/ menit, teratur, kuat angkat
Sp02 : 99%
Pernapasan : 20 x/menit, teratur
Suhu : 38 oC
Berat badan : 35 kg
Tinggi badan : 155 cm
BMI : 14,5 (under wight)
Kepala & leher : konjungtiva anemis +/+, ikterus (-), cyanosis (-), dyspneu (-).
pernafasan cuping hidung (-).
Thorax : simetris, bentuk normal, retraksi (-), deformitas (-)
Cor : S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Vesikuler/vesikuler, wheezing -/-, rhonchi -/-
Abdomen : Soepel +, BU (+) normal, perkusi timpanik / normal
hepar/lien tidak teraba
Extremitas : akral hangat kering merah, CRT < 2 detik,
edema ekstrimitas bawah -/-.
Status dermatologis
Regio thorak anterior et posterior, ekstremitas superior et inferior, dan fasialis
ditemukan nodul eritematus dengan diameter bervariasi 3-6 cm disertai dengan ulkus,
tepi tidak rata, dasarnya kotor, dan terdapat krusta kuning kehitaman, dan nyeri pada
perabaan.
Gambar
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
DARAH LENGKAP (28/02/2020)
Hasil Nilai normal
Hemoglobin 8,5 12-16 g/dL
Leukosit 18.590 4.500-11.000
Trombosit 265.000 150.000-450.000
Haematocrit 26,7 38-47
Gula Darah Acak 129 General < 160 mg/dL
Kolesterol Total 83 General < 200 mg/dL
Trigliserida 101 General < 150 mg/dL
SGOT 18 0-31 UL
SGPT 40 0-35 UL
Ureum / BUN 28/14 General Urea 10-50
mg/dl
BUN 8-20 mg/dL
Kreatinin Serum 0,8 <1,1 mg/dL
Asam Urat 3,6 General 3,5-5,2 g/dL
PROBLEM LIST
Kulit berkrusta hitam kekuningan yang terasa panas dan nyeri
Demam
Nyeri di otot dan sendi
Lemas
Sesak
Reaksi kusta kedua (relaps)
Anemis
Leukositosis
SGPT 40
ASSESMENT
Fenomena Lucio
PLAN
Diagnosis : Lab darah ( DL, GDA, RFT, LFT, SE, BUN, SK, Profil Lipid)
O2 nasal 3 lpm
Infus NaCl 0,9% 20 tpm
Infus Sanmol jika panas
Inj Ceftriaxon 1 ampul / 12 jam IV
Inj Metilprednisolon 62,5 mg/ 24 jam IV
Inj Ranitidine 1 ampul/ 12 jam IV
Kompres dengan Nacl pada luka
MONITORING
- Keluhan
- Tanda vital
EDUKASI
- Menjelaskan diagnosis penyakit kepada pasien
- Menjelaskan kepada pasien mengenai prognosis dan komplikasi yang dapat terjadi
Penyakit kusta adalah penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium leprae (M. leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan
jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat. Penyakit ini merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang menggambarkan tranmisi aktif penyakit di masyarakat
dan dianggap penting, sebab berpotensi menyebabkan kecacatan yang memberikan
dampak psikososial pada pasien dan keluaraganya. Kusta merupakan endemis di
beberapa negara di kawasan Asia Tenggara , Amerika, dan Afrika. Sementara
Indonesia menempati peringkat ke 3 di dunia dan ke 2 di Asia Tenggara setelah India,
dengan laporan kasus 20.023 (PNPP Kusta, 2012).
Morbus Hansen multibasiler relaps adalah adalah suatu keadaan dimana
pasien yang sudah menyelesaikan terapi Multi Drug Treatment Multi Basiler (MDT
MB), namun kemudian menunjukkan gejala dan keluhan baru dari penyakit kusta .
Reaksi eritema nodusum leprosum (ENL) bulosa pada kusta merupakan manifestasi
dari reaksi ENL berat dan menandakan reaksi eksaserbasi akut (Kar et al., 2009).
Gambaran klinis ditandai dengan nodul dan plak eritematosa yang nyeri pada badan ,
wajah, dan bagian ekstensor ekstremitas yang tersebar simetris dan bilateral
(Amirudin et al., 2003).
Terdapat tiga tipe reaksi yang dikenal, yaitu reaksi tipe 1, reaksi tipe 2 atau
Erythema nodusum leprosum (ENL), dan reaksi lain yaitu fenomena lucio. Reaksi
terjadi pada kusta tipe Lepromatus Leprosy (LL) dan Borderline Leprosy (BL), karena
dalam tipe ini muatan basiler cenderung tinggi. ENL merupakan penyakit yang
diperantai imun kompleks, yang merupakan contoh hipersensitivitas tipe III
(klasifikasi Coombs dan Gell) atau fenomena Arthur (Ffytche et al., 1985).
Berdasarkan penelitian di rumah sakit Dr. Soetomo, tercatat 638 pasien kusta baru,
82% adalah pasien kusta tipe MB dan 26,7% dari presentase pasien baru tipe Multi
Basiler (MB), terjadi reaksi tipe 2 (ENL) (Tarida I. Sawitri, 2015).
2.2 Epidemiologi
Morbus Hansen adalah salah satu penyakit infeksi yang menyebabkan
kecacatan dan sulit dalam penyembuhannya, dengan insidensi tercatat 250.000 kasus
baru di dunia setiap tahunnya. World Health Organization (WHO) menyatakan
prevalensi kusta di 115 negara dunia pada tahun 2013 mencapai 0,33 per 10.000
penduduk. Hal tersebut mengalami peningkatan apabila dibandingkan dengan data
prevalensi pada tahun 2012. Jumlah kasus baru kusta di negara-negara tersebut rata-
rata 4 kasus per 100.000 penduduk. Total kasus baru di seluruh dunia sebanyak 71%
terdapat di wilayah Asia Tenggara. Indonesia merupakan negara ketiga dengan
insidensi terbanyak didunia (WHO, 2013).Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Divisi Kusta Unit Rawat Jalan (URJ) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo
Surabaya didapatkan jumlah pasien baru kusta sebanyak 594 pasien (Pramatasari et
al., 2015). Mengingat komplelnya masalah penyakit kusta, maka diperlukan program
pengendalian secara terpadu dan menyeluruh melalui strategi yang sesuai dengan
endemisitas (scollard et al., 2006).
Kusta dapat terjadi pada semua usia, tetapi lebih sering terlihat pada kelompok
umur antara 20 dan 30 tahun. Di daerah endemis infeksi umumnya terjadi pada masa
kanak-kanak. Sedangkan angka kejadian kusta jika dilihat dari jenis kelamin,
memiliki perbandingan 2:1 dimana pria lebih sering terinfeksi penyakit ini (IAL
textbook, 2010)
2.3 Definisi
Kusta adalah penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh
Mycrobacterium leprae (M. leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan
tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat. Kusta merupakan penyakit endemis di
beberapa negara di kawasan Asia tenggara, Amerika, dan Afrika. Indonesia adalah
negara dengan jumlah pasien kusta terbanyak ketiga di dunia (BPNPP Kusta, 2007)
Reaksi merupakan suatu masalah penting baik untuk pasien maupun dokter.
Terdapat tiga tipe reaksi yang dikenal, yaitu reaksi tipe 1, reaksi tipe 2 atau Erythema
nodusum leprosum (ENL), dan reaksi lain yaitu fenomena lucio. Reaksi terjadi pada
kusta tipe Lepromatous Leprosy (LL) dan Borderline Leprosy (BL), karena dalam tipe
ini muatan basiler cenderung tinggi. Erythema nodusum leprosum (ENL) adalah
komplikasi imunologis yang serius serta sukar ditangani. Sebagian besar penderita
ENL akan mengalami beberapa kali episode ENL selama bertahun-tahun, yaitu
sebagai episode multiple akut atau kronik (Kawahita et al., 2008). Fenomena lucio
termasuk dalam reaksi kusta tipe 2 atau ENL dengan gejala yang lebih berat. Sebutan
lain Fenomena Lucio adalah “Latapi’s lepromatosis” atau “Lepra Bonita” (Rea Th et
al., 2008).
2.4 Etiologi
Kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae), muncul dalam
bentuk spektrum dan manifestasi yang berbeda. Ada 2 group besar yaitu tipe
Pausibasilar (PB)/ tuberkuloid dan Multibasilar (MB)/ lepromatous. Diantara dua
group besar tersebut akan di lebarkan lagi spektrumnya yaitu menjadi borderline
tuberculoid (BT), borderline borderline (BB), dan borderline lepromatous (BL).
2.5 Patofisiologi
Sekresi TNF-α yang berlebih pada ENL diduga berasal dari dinding bagian
dalam Mycodoacterium leprae yang dapat merangsang kekebalan alamiah pada tubuh
manusia, yaitu Triacetylated Lipoprotein (TLP) dan merupakan Pathogen Associated
Molecular Pattern (PAMPs). TLP merupakan komponen membran lipoprotein pada
semua genus mikobakteria dan diduga merupakan indikator utama sekresi TNF-α oleh
makrofag. IFN-γ yang diproduksi oleh sel T dan sel NK juga merangsang makrofag
untuk meningkatkan sintesis TNF-α. Sitokin pro inflamasi, diantaranya TNF-α, IFN-
γ, dan IL-1β telah dilaporkan berperan dalam mekanisme terjadinya reaksi kusta baik
reaksi tipe I (reaksi reversal) maupun reaksi tipe 2 (termasuk ENL). Pada ENL, kadar
TNF- α yang dilepaskan oleh sel mononuklear darah tepi lebih banyak dibandingkan
penyakit lain. Disalah satu pihak TNF-α dapat bekerja sinergis dengan IFN-γ sebagai
protektif imunitas dengan memperantarai terbentuknya granuloma dan menghambat
pertumbuhan M.leprae secara in-vitro. Sedangkan dilain pihak, TNF-α dapat
menimbulkan kerusakan saraf dan terjadinya nekrosis percobaan klinis, injeksi
intralesi IFN-γ untuk terapi penderita kusta, didapatkan bahwa injeksi IFN-γ 6-12
bulan dapat menimbulkan ENL pada 6 dari 10 penderita kusta tersebut. Ternyata
diketahui 6 dari penderita tersebut adalah penderita kusta tipe LL sedangkan sisanya
adalah tipe BL atau LL subpolar. Hal ini menunjukkan bahwa penderita kusta tipe
BL/LL subpolar tidak memiliki kemampuan untuk meningkatkan sistem imunitas
selulernya, sehingga yang berperan adalah sistem imunitas humoral. Selain itu injeksi
IFN-γ dapat menginduksi makrofag untuk memproduksi TNF-α sehingga makrofag
akan menjadi lebih aktif. Hal ini dapat menjadi penjelasan mengenai terjadinya ENL
setelah injeksi menggunakan IFN-γ (Listiawan MY, 2011).
Gejala sistemik yang terjadi pada ENL seperti demam, penurunan berat badan,
peningkatan laju endap darah (LED), nekrosis serta lesi yang nyeri berhubungan
dengan kadar sitokin pro-inflamasi (TNF-α dan IL-1) yang tinggi termasuk dalam
reaksi kusta tipe 2 atau ENL dengan gejala yang lebih berat. Sebutan lain Fenomena
Lucio adalah "Latapi's lepromatosis" atau "Lepra Bonita" (Rea TH et al., 2008).
Patofisiologi terjadinya fenomena ini belum sepenuhnya dimengerti. Terdapat dugaan
terjadinya perubahan sel endotel pembuluh darah oleh karena adanya TNF-α. Adanya
sitokin ini menyebabkan pembentukan suatu trombus dan terjadinya koagulopati.
TNF-α juga meningkatkan agregasi dan perlekatan leukosit PMN sehingga
menyebabkan respons inflamasi baik secara langsung maupun melalui stimulasi
endotel oleh IL-1. Mekanisme inilah yang berperan pada patogenesis terjadinya
vaskulitis sistemik yang disertai nekrosis pada ENL. Membaiknya klinis ENL
ditandai dengan penurunan suhu yang signifikan, hal ini dihubungkan dengan
penurunan kadar IL-1. Begitu juga dengan kadar IL-6 dan TNF-α yang merupakan
suatu pirogen endogen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa IL-1, TNF-α dan IL-6
memiliki peran pada imunopatogenesis terjadinya demam (Lockwood DNJ, 2010).
2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Gejala kusta secara Cardinal sign berupa (1) kelainan kulit yang
hipopigmentasi atau eritematosis dengan anestesi yang jelas, (2) kelainan syaraf tepi
berupa penebalan syaraf dengan anestesi, (3) hapusan kulit positif untuk kuman tahan
asam. Diagnosis ditegakkan bila dijumpai satu tanda utama tersebut diatas (WHO,
2013). Sedangkan reaksi tipe 2 dapat terjadi sebelum, selama ataupun setelah
pengobatan. Gejala terutama pada kulit berupa Eritema Nodusum leprosum (ENL)
yaitu adanya nodul nodul kemerahan yang nyeri, pada perabaan dapat superfisial
ataupun dalam. Pada reaksi tipe 2 berat, lesi ENL menjadi vesikuler atau bulat dan
pecah, disebut sebagai eritema nekrotikans. Dapat juga menyerang mata
(iridosiklisis), testis (orkhitis), ginjal (nefritis), sendi (artritis), limpadenik dan
neuritis. Gejala klinis berupa malaise, panas badan, sakit kepala dan nyeri otot.
Sedangkan jika fenomena lucio, gejala biasanya berupa nodule eritematus yang
bagian tengahnya mengalami nekrosis dan meninggalkan jaringan parut yang atrofi.
Bedakan dengan eritema nekrotikans (Atlas kulit dan kelamin FK UNAIR, 2016).
Tanda – tanda orang tersangka kusta (suspek) , (1) tanda pada kulit berupa
bercak kulit yang merah atau putih dan atau plakat pada kulit terutama pada wajah
dan telinga, bercak kurang / mati rasa, bercak yang tidak gatal, kulit mengkilap atau
kering bersisik, adanya kelainan kulit yang tidak berkeringat dan atau tidak berambut,
lepuh tidak nyeri, (2) tanda-tanda pada saraf yaitu nyeri tekan dan atau spontan pada
saraf , rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota gerak, kelemahan
anggota gerak dan atau wajah , adanya cacat (deformitas), luka (ulkus) yang sulit
sembuh, (3) lahir dan tinggal di daerah endemic kusta dan mempunyai kelainan kulit
yang tidak sembuh dengan pengobatan rutin, terutama bila terdapat keterlibatan saraf
tepi.
Tanda tanda tersebut merupakan tanda-tanda tersangka kusta dan belum dapat
digunakan sebagai dasar diagnosis penyakit kusta jika diagnosis kusta belum dapat
ditegakkan , tindakan yang dapat gilakukan adalah : (1) pikirkan kemungkinan
penyakit kulit lain (seperti panu, kurap, kudis, psoriasis , vitiligo), (2) pengambilan
kerokan jaringan kulit , (3) bila tidak ada petugas terlatih dan tidak tersedia sarana
pemeriksaan kerokan jaringan kulit, tunggu 3-6 bulan dan periksa kembali adanya
tanda utama . jika ditemukan tanda utama , diagnosis kusta dapat ditegakan.
B. Pemeriksaan Serologis
C. Pemeriksaan Histopatogi
Banyak penyakit lain yang memiliki gambaran klinis seperti kusta, adapun
beberapa penyakit kulit yang digolongkan berdasarkan kemiripannya (WHO, 2000) :
(1) diagnosis bercak merah : (a) psoriasis : bercak merah berbatas tegas , dengan
sisik berlapis. (b) tinea circinata : bercak meninggi , sering meradang ,
mengandung vesikel/krusta. (c) dermatitis seboroik : lesi di daerah sebore
(berminyak) dengan sisik kuning berminyak , gatal , kronis , residif , tidak ada
rasa baal.
(2) Diagnosis banding bercak putih : (a) vitiligo : pigmen kulit hilang total warna
kulit amat putih , (b) pitiriasis vesikolor : punggung tampak lesi berupa plak
hipopigmentasi dengan skuama halus dan berbatas tegas, (c) pitiriasis alba :
macula bentuk bundar atau oval dengan sisik , rasa raba normal.
(3) Diagnosis banding nodul : (a) neuro fibromatosis : bercak café au lait (bercak
coklat muda berbatas tegas) yang sering timbul sejak lahir nodus dan tumor
bertangkai pada usia yang lebih lanjut tersebar luas tanpa rasa baal,
pemeriksaan BTA negative, (b) sarcoma kaposi : nodus lunak berwarna biru
keunguan lokalisata terutama pada kaki dengan BTA negative , (c) veruka
vulgaris : papul papul diatas dengan permukaan kasar.
2.8 Klasifikasi
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan
pausibasilar. Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL, dan BB pada
klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri lebih dari 2+ sedangkan
pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan indeks bakteri kurang dari 2+.
Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995). (FKUI)
PB MB
1. Lesi kulit - 1-5 lesi - > 5 lesi
(macula datar, - Hipopigmentasi - Distribusi
papul yang - Distribusi tidak lebih simetris
meninggi, simetris - Hilangnya
nous) - Hilangnya sensasi sensasi
yang jelas kurang jelas
2. Kerusakan - Hanya satu cabang - Banyak
saraf saraf cabang saraf
(menyebabkan
hilangnya
sensasi/kelem
ahan otot yang
dipersarafi
oleh saraf
yang terkena
2.9 Penatalaksanaan
disederhanakan menjadi:
(drop out rate) pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi
dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum di
rumah
Anak-anak 450 mg/bulan 50 mg/hari 150 mg/bulan
(10-14 th)
diminum di depan diminum di rumah diminum di depan
dilanjutkan dg 50
mg selang sehari
diminum di rumah
Tabel Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)
PB dengan lesi 2 – 5. Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama 6-9 bulan.
MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan
Reaksi Kusta
Reaksi kusta merupakan episode akut dalam perjalanan kronik yang termasuk
lepraae bereaksi dengan limfosit T karena adanya perubahan yang yang cepat dari
imunitas seluler. Gejala berupa makula eritematosa menebal rasa panas dan nyeri
Nodusum Leprosum) yaitu nodul kemerahan nyeri pada perabaan dimana lesinya
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan
obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-5
hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
dan sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian
Obat-obat anti reaksi, Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 – 6x/hari ),
Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon
per ml) yang diberikan 2-3 ml secara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30
ml. Antimon jarang dipakai oleh karena toksik. Thalidomide juga jarang
dosis tunggal pada pagi hari lebih baik walaupun dapat juga diberikan dosis