SIROSIS HEPATIS
Oleh:
dr. Anak Agung Mas Wira Ashari
Pembimbing
dr. Ahmad Basyiruddin, Sp.PD
Pendamping Internsip:
I. IDENTITAS
Nama : Tn. M.I
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 26 tahun
Status : Belum menikah
Suku/Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Sumbersuko, Lumajang
Pekerjaan : Pegawai Swasta
No. Rekam Medik : 34.72.87
Tanggal MRS : 11 Maret 2020
Pemeriksaan : 11 Maret 2020
I. KELUHAN UTAMA
Muntah darah berwarna hitam
II. ANAMNESIS
A. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS. Dr. Haryoto pada tanggal 11 Maret 2020
dengan keluhan utama muntah darah berwarna hitam sejak 30 menit sesaat
sebelum dibawa ke igd.. Pasien mengeluh muntah darah berwarna merah
dengah bercak-bercak hitam kental sebanyak satu kali dalam kira-kira
sebanyak 200 cc. Sebelum muntah darah pasien mengaku badannya keluar
keringat dingin lalu diikuti rasa mual dan pusing berkunang-kunang.
Kemudian, dilanjutkan dengan muntah darah dan seketika pasien merasakan
berdebar-debar dan lemas, tetapi pasien merasakan nafsu makannya
normal. Pasien mengatakan setelah muntah mualnya menjadi berkurang
dan keluhan muntahnya berkurang apabila diberi obat propanolol. Pasien
juga mengeluh perut terasa begah/kembung dan nyeri sejak 3 hari sebelum
masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan badannya sumer-sumer,
lemas, letih, lesu dan pusing 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. BAB
hitam disangkal, warna BAB kuning, BAK normal bewarna kuning.
Ketika ditanya bulu ketiak rontok atau tidak, pasien mengaku tidak
memperhatikan namun axilla tidak terlihat folikel rambut jadi diduga rontok.
Pasien juga menambahkan bahwa rambut ketiaknya tidak tumbuh lagi. Pasien
menyangkal demam, pusing, mata kuning, gatal, kesemutan, sesak napas, nyeri
dada, batuk, mimisan, gusi berdarah, perut membesar, sakit ketika kencing,
pembengkakan di tangan, kaki, dan di alat kelamin. Pasien rutin kontrol tiap bulan
di poli penyakit dalam RS. Dr. Haryoto.
D. Riwayat Psikososial
E. Riwayat Nutrisi
Umumnya, pasien makan 3 kali sehari dengan porsi yang sedang. Dengan
komposis karbohidrat, protein hewani, protein nabati, lemak sayuran
sedang, dan buah-buahan sedikit. Berat badan pasien tidak mengalami
penurunan, nafsu makan pasien normal.
B. Kepala Leher
Jugular Venous Pressure
Tidak didapatkan peningkatan
Umum
Anemia (+), icterus (-), cyanosis (-), dyspnea (-)
Mata
Alis: normal Sclera: normal
Bola mata: normal Pupil: bulat, isokor, reflex cahaya +
Kelopak: normal Lensa: normal
Konjungtiva: anemis Visus: normal
Telinga
Bentuk : normal
Lubang telinga : normal
Can.audit.ext : normal
Pendengaran : normal
Hidung
Penyumbatan : tidak ditemukan penyumbatan
Daya penciuman : normal
Mulut
Bibir : tidak ada tanda sianosis
Gusi : tidak didapat perdarahan
Lidah : tidak kotor, tidak membesar
Mukosa : pucat
Palatum : pucat, tidak hyperemia
Bau mulut: tidak ada
Leher
Kel.limfe : tidak didapatkan pembesaran
Trakea : di tengah
Tiroid : tidak didapatkan pembesaran kelenjar
Vena Jugularis : tidak didapatkan distensi
Arteri Carotis : teraba pulsasi
Retraksi : tidak ada
C. Thorax
Umum
Bentuk : normal, retraksi interkostal -,
Payudara : simetris, gynecomastia -
Kulit : spider naevi -, vena kolateral -
Axilla : tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening, tidak
berambut (bulu rontok)
Paru
Depan Belakang
Pemeriksaan
Kanan Kiri Kanan Kiri
INSPEKSI
Simetris √ √ √ √
Bentuk
Pergerakan Simetris √ √ √ √
Trachea Di tengah
Pergerakan Simetris √ √ √ √
+ + + +
Fremitus raba sama + + + +
+ + + +
Nyeri di epigastrium -
PERKUSI
Sonor Sonor Sonor Sonor
Suara ketok Sonor Sonor Sonor Sonor
Sonor Sonor Sonor Sonor
Nyeri ketok - - - -
AUSKULTASI
Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Suara nafas Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Suara amforik - - - -
Suara Percakapan
Bronkofoni/Egofoni - - - -
- - - -
Ronkhi - - - -
- - - -
Wheezing - - - -
Jantung
Inspeksi Iktus: tak tampak
Pulsasi jantung : tak tampak
Palpasi Iktus: teraba, di ICS V di midclavicular line sinistra
Thrill: tidak didapat
Perkusi Batas kanan: di ICS IV, linea parasternal dextra
Pinggang jantung: ICS III, parasternal line sinistra
Batas kiri: ICS V, midclavicular line sinistra
Auskultasi S1, S2: tunggal, murmur -, gallop -, ekstrasistole -
D. Abdomen
Inspeksi Bentuk: flat
Umbilicus: normal
Kulit: normal
Auskultasi Bising usus: positif normal
Perkusi Tympani
Palpasi Turgor normal, tonus normal
Undulasi (-)
Murphy sign (-)
Hepar tidak teraba
Splenomegaly teraba Hacket II, Schuffner II
Bruit abdominal –
Vena kolateral –
Nyeri tekan (+) di semua regio
Ginjal tak teraba.
Nyeri ketok ginjal (-)
F. Extremitas
Atas Akral hangat kering pucat, CRT < 2 detik
Sendi: tidak didapatkan nyeri sendi
Kuku: normal
Jari: tidak didapat kelainan
Edema: tidak didapatkan
Eritema palmaris + di palmar
Spider naevi -
Axilla tidak berbulu, tidak ada pembesaran KGB
Flapping tremor -
Bawah Sendi: tidak ada nyeri
Kuku: normal
Jari: tidak didapat kelainan
Edema –
V. Analisis
SUBJEKTIF
OBJEKTIF
KU: lemah
Gizi: kurang
Konjungtiva anemi
Mukosa dan palatum pucat
Rambut axilla rontok
Nyeri tekan (+) di semua regio
Splenomegaly H2 S
Akral pucat
Eritema palmaris
Hb :6,3 g/dL↓
RBC 2.15 x 106 /µL↓
HCT 19 % ↓
PLT 148 x 103/µL↓
SGOT 87 mU/ml
SGPT 74 mU/ml
VII. Planning
a. Terapi:
Non medikamentosa:
- Bed rest
- Edukasi keluarga mengenai penyakit, tatalaksana dan komplikasi
penyakit
Medikamentosa:
- Pasang NGT è evaluasi hematemesis
- Maintenance PZ 1000 cc/hari
- Inj Omeprazole4x40mg iv
- Inj. Asam Traneksamat 3x500 (k/p) iv
- Transfusi PRC 1 kolf/hari s/d Hb ≥8
- Syr Lactulosa 3x1 C
- Propranolol 3x10mg PO
- Furosemide 40mg-0-0 PO
- Spironolactone100-100-50 mg PO
- Diet Hati 1700kkal/hr
VIII. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Sirosis hepatis adalah fase lanjut dari penyakit hati kronis yang
menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif,
ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus
regeneratif. Sirosis hepatis ditandai oleh proses keradangan difus menahun pada
hati, nekrosis sel hati, usaha regenerasi dan proliferasi jaringan ikat difus
(fibrosis) di mana seluruh kerangka hati menjadi rusak disertai dengan bentukan-
bentukan regenerasi nodul.6,8,9,13,14 Sirosis hepatis pada akhirnya dapat
mengganggu sirkulasi darah intrahepatik dan pada kasus lanjut, menyebabkan
kegagalan fungsi hati secara bertahap.7
Secara klinis, sirosis hati dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang
gejala klinisnya belum nyata dan dekompensata yang gejala dan tanda klinisnya
sudah jelas. Sirosis hati kompensata sendiri merupakan kelanjutan dari proses
hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaan klinis, untuk
membedakan hanya melalui biopsi hati.4
III. Etiologi
Di negara barat penyebab dari sirosis hepatis yang tersering akibat
alkoholik sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B
maupun C. Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan penyebab terbanyak dari
sirosis hepatis adalah virus hepatitis B (30-40%), virus hepatitis C (30-40%), dan
penyebab yang tidak diketahui (10-20%). Adapun beberapa etiologi dari sirosis
hepatis antara lain: 1,4,9
1. Virus hepatitis (B,C,dan D)
2. Alkohol (alcoholic cirrhosis)
3. Kelainan metabolik, misalnya: hemokromatosis, penyakit Wilson,
nonalkoholik steato hepatis, dan lain-lain
4. Kholestasis berkepanjangan (baik intra maupun ekstrahepatik)
5. Obstruksi vena hepatica, misalnya sindrom Budd-chairi
6. Gangguan autoimun, misalnya hepatitis autoimun
7. Toksin dan obat-obatan, misalnya : methotrexate, amiodaron, arsenik, dan
lain-lain
8. Kriptogenik
Hepar memiliki dua sumber suplai darah, dari saluran cerna dan limpa
melalui vena porta hepatika dan dari aorta melalui arteri hepatika. Arteri hepatika
keluar dari aorta dan memberikan 80% darahnya kepada hepar, darah ini masuk
ke hepar membentuk jaringan kapiler dan setelah bertemu dengan kapiler vena
akan keluar sebagai vena hepatica. Vena hepatica mengembalikan darah dari
hepar ke vena kava inferior. Vena porta yang terbentuk dari vena lienalis dan vena
mesenterika superior, mengantarkan 20% darahnya ke hepar, darah ini
mempunyai kejenuhan oksigen hanya 70 % sebab beberapa O2 telah diambil oleh
limpa dan usus. Darah yang berasal dari vena porta bersentuhan erat dengan sel
hepar dan setiap lobulus dilewati oleh sebuah pembuluh sinusoid atau kapiler
hepatika. Pembuluh darah halus yang berjalan di antara lobulus hepar disebut
vena interlobular7.
Vena porta membawa darah yang kaya dengan bahan makanan dari
saluran cerna, dan arteri hepatika membawa darah yang kaya oksigen dari sistem
arteri. Arteri dan vena hepatika ini bercabang menjadi pembuluh-pembuluh yang
lebih kecil membentuk kapiler di antara sel-sel hepar yang membentik lamina
hepatika. Jaringan kapiler ini kemudian mengalir ke dalam vena kecil di bagian
tengah masing-masing lobulus, yang menyuplai vena hepatika. Pembuluh-
pembuluh ini menbawa darah dari kapiler portal dan darah yang mengalami
deoksigenasi yang telah dibawa ke hepar oleh arteri hepatika sebagai darah yang
telah deoksigenasi. Selain vena porta, juga ditemukan arteriol hepar didalam
septum interlobularis. Anterior ini menyuplai darah dari arteri ke jaringan jaringan
septum diantara lobules yang berdekatan, dan banyak arterior kecil mengalir
langsung ke sinusoid hepar, paling sering pada sepertiga jarak ke septum
interlobularis7.
Hepar terdiri atas bermacam-macam sel. Hepatosit meliputi 60% sel hepar,
sedangkan sisanya terdiri atas sel-sel epithelial sistem empedu dalam jumlah yang
bermakna dan sel-sel non parenkimal yang termasuk di dalamnya endothelium, sel
Kuppfer dan sel Stellata yang berbentuk seperti bintang16.
Hepatosit sendiri dipisahkan oleh sinusoid yang tersusun melingkari eferen
vena hepatika dan ductus hepatikus. Saat darah memasuki hepar melalui arteri
hepatica dan vena porta menuju vena sentralis maka akan didapatkan pengurangan
oksigen secara bertahap. Sebagai konsekuensinya, akan didapatkan variasi penting
kerentanan jaringan terhadap kerusakan asinus. Membran hepatosit berhadapan
langsung dengan sinusoid yang mempunyai banyak mikrofili. Mikrofili juga
tampak pada sisi lain sel yang membatasi saluran empedu dan merupakan
penunjuk tempat permulaan sekresi empedu. Permukaan lateral hepatosit memiliki
sambungan penghubungan dan desmosom yang saling bertautan dengan
disebelahnya16.
Sinusoid hepar memiliki lapisan endothelial berpori yang dipisahkan dari
hepatosit oleh ruang Disse (ruang perisinusoidal). Sel-sel lain yang terdapat dalam
dinding sinusoid adalah sel fagositik Kuppfer yang merupakan bagian penting
dalam sistem retikuloendotelial dan sel Stellata (juga disebut sel Ito, liposit atau
perisit) yang memiliki aktivitas miofibriblastik yang dapat membantu pengaturan
aliran darah sinusoidal disamping sebagai faktor penting dalam perbaikan
kerusakan hepar. Peningkatan aktivitas sel-sel Stellata tampaknya menjadi faktor
kunci pembentukan fibrosis di hepar16.
Gambar 2.4 Histologi hepar (www. ekskresi.co.cc)
V. Fisiologi Hepar
Hepar merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh dan memiliki fungsi yang
kompleks (Tabel 2.1)17.
Hepar juga merupakan organ venosa yang mampu bekerja sebagai tempat
penampungan darah yang bermakna di saat volume darah berlebihan dan mampu
menyuplai darah ekstra di saat kekurangan volume darah. Selain itu, hepar juga
merupakan suatu kumpulan besar sel reaktan kimia dengan laju metabolisme yang
tinggi, saling memberikan substrat dan energi dari satu sistem metabolisme ke
sistem yang lain, mengolah dan mensintesis berbagai zat yang diangkut ke daerah
tubuh lainnya, dan melakukan berbagai fungsi metabolisme lain. Fungsi
metabolisme yang dilakukan oleh hepar adalah10 :
Hepar memiliki aliran darah yang tinggi dan resistensi vaskuler yang
rendah. Kira-kira 1050 milimeter darah mengalir dari vena porta ke sinusoid hepar
setiap menit, dan tambahan 300 mililiter lagi mengalir ke sinusoid dari arteri
hepatika dengan total rata-rata 1350 ml/menit. Jumlah ini sekitar 27 persen dari
sisa jantung. Rata-rata tekanan di dalam vena porta yang mengalir ke dalam hepar
adalah sekitar 9 mmHg dan rata-rata tekanan di dalam vena hepatika yang
mengalir dari hepar ke vena cava normalnya hampir tepat 0 mmHg. Hal ini
menunjukkan bahwa tahanan aliran darah melalui sinusoid hepar normalnya
sangat rendah namun memiliki aliran darah yang tinggi. Namun, jika sel-sel
parenkim hepar hancur, sel-sel tersebut digantikan oleh jaringan fibrosa yang
akhirnya akan berkontraksi di sekeliling pembuluh darah, sehingga sangat
menghambat darah porta melalui hepar. Proses ini terjadi pada sirosis hepatis.
Sistem porta juga kadang-kadang terhambat oleh suatu gumpalan besar yang
berkembang di dalam vena porta atau cabang utamanya. Bila sistem porta tiba-
tiba tersumbat, kembalinya darah dari usus dan limpa melalui system aliran darah
porta hepar ke sirkulasi sistemik menjadi sangat terhambat, menghasilkan
hipertensi portal. 10
Varises
Hipertensi Sintesis Volume Darah
Esofagus
Portal Albumin Inaktifasi aldosteron & ADH
Splenomegali
Tekanan Aldosteron & ADH
Onkotik
Tekanan
Hidrostatik
Na & Retensi
Cairan
Ascites
Edema
Gambar 2.5 Proses dalam patofisiologi sirosis hepatis
VII. Klasifikasi
Berdasarkan morfologi, Sherlock membagi sirosis hepatis atas 3 jenis, yaitu : 1,4
1. Mikronodular
Yaitu sirosis hepatis dimana nodul-nodul yang terbentuk berukuran < 3
mm.
2. Makronodular
Yaitu sirosis hepatis dimana nodul-nodul yang terbentuk berukuran > 3
mm.
3. Campuran
Yaitu gabungan dari mikronodular dan makronodular. Nodul-nodul yang
terbentuk ada yang berukuran < 3 mm dan ada yang berukuran > 3 mm.
VIII. Diagnosis
1. Gambaran Klinik
Stadium awal sirosis hepatis yaitu stadium kompensata, sering
tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan
pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit lain sehingga
kebetulan memeriksakan faal hepar. Keluhan subjektif baru timbul bila
sudah ada kerusakan sel-sel hati, umumnya berupa:4,6
Penurunan nafsu makan dan berat badan
Mual
Perasaaan perut kembung
Perasaan mudah lelah dan lemah, kelemahan otot terjadi akibat
kekurangan protein dan adanya cairan dalam otot.
Kegagalan parenkim hati ditandai dengan protein yang rendah,
gangguan mekanisme pembekuan darah, gangguan keseimbangan
hormonal (eritema palmaris, spider nevi, ginekomastia, atrofi
testis, dan gangguan siklus haid)
Ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, terjadi pada
proses aktif dan sewaktu-waktu dapat jatuh ke koma hepatikum
jika tidak dirawat intensif.
Hipertensi portal (tekanan sistem portal > 10 mmHg), ditandai
splenomegali, ascites, dan kolateral. Dan umumnya, penderita akan
dirawat inap karena adanya penyulit seperti perdarahan saluran
cerna atas akibat pecahnya varises esophagus, asites yang hebat,
serta ikterus yang dalam.
2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang bisa didapatkan dari penderita sirosis
hepatis antara lain4 :
a. SGOT (serum glutamil oksalo asetat) atau AST (aspartat
aminotransferase) dan SGPT (serum glutamil piruvat transferase) atau
ALT (alanin aminotransferase) meningkat tapi tidak begitu tinggi.
AST lebih meningkat dibanding ALT. Namun, bila enzim ini normal,
tidak mengenyampingkan adanya sirosis hepatis
b. Alkali fosfatase (ALP), meningkat kurang dari 2-3 kali batas normal
atas. Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis
sklerosis primer dan sirosis bilier primer.
c. Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), meningkat sama dengan
ALP. Namun, pada penyakit hati alkoholik kronik, konsentrasinya
meninggi karena alcohol dapat menginduksi mikrosomal hepatic dan
menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit.
d. Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis kompensata dan
meningkat pada sirosis yang lebih lanjut (dekompensata)
e. Globulin, konsentrasinya meningkat akibat sekunder dari pintasan,
antigen bakteri dari sistem porta masuk ke jaringan limfoid yang
selanjutnya menginduksi immunoglobulin.
f. Waktu protrombin memanjang karena disfungsi sintesis factor
koagulan akibat sirosis
g. Na serum menurun, terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan
dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas.
h. Pansitopenia dapat terjadi akibat splenomegali kongestif berkaitan
dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.
Selain itu, pemeriksaan radiologis yang bisa dilakukan, yaitu :
a. Barium meal, untuk melihat varises sebagai konfirmasi adanya
hipertensi porta
b. USG abdomen untuk menilai ukuran hati, sudut, permukaan, serta
untuk melihat adanya asites, splenomegali, thrombosis vena porta,
pelebaran vena porta, dan sebagai skrinning untuk adanya karsinoma
hati pada pasien sirosis.
XI. Prognosis
Prognosis sirosis hepatis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah
faktor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hepar, komplikasi, dan penyakit lain
yang menyertai sirosis. Klasifikasi Child-Pugh juga untuk menilai prognosis
pasien sirosis yang akan menjalani operasi, variabelnya meliputi konsentrasi
bilirubin, albumin, ada tidaknya asites, ensefalopati, dan status nutrisi.4
Klasifikasi Child-Pugh berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka
kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan Child A, B, dan C
berturut-turut 100%, 80%, dan 45%.4
Tabel 2. Klasifikasi Sirosis dengan Skor Child-Turcotte-Pugh
Kriteria Klinis dan Nilai*
Biokimia 1 2 3
Bilirubin (mg/dl) < 2,0 2,0-3,0 > 3,0
Albumin (g/dl) > 3,5 2,8-3,5 < 2,8
Ascites - Ringan-Sedang Berat atau refrakter
terhadap diuretik
Ensefalopati - Stadium I/II Stadium III/IV
Waktu Protrombin#
Perpanjangan <4 4-6 >6
INR <1,7 1,7-2,3 >2,3
1. Sutadi, S.M. 2003. Sirosis hati. USU digital library Fakultas Kedokteran
Bagian Ilmu Penyakit Dalam USU: Medan.
2. Suyono,dkk. 2006. Sonografi Sirosis Hepatis di RSUD Dr. Moewardi.
3. Raymon, T.C. & Daniel, K.P. 2005. Cirrhosis and its complications in
Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition. Mc-Graw Hill:
USA.
4. Nurdjanah, S. 2006. Sirosis hati dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi 4. Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI:
Jakarta.
5. Amiruddin, R. 2006. Fisiologi dan Biokimia Hati dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi 4. Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran UI: Jakarta.
6. Konthen, P.G. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag./SMF Ilmu
Penyakit Dalam. Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo:Surabaya.
7. Lindseth, G.N. 2006. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas.
Dalam Patofisiologi Sylvia A.Price et.al. Edisi 6. EGC: Jakarta.
8. Siregar, G.A. 2001. Cirrhosis Hepatis pada Usia Muda. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara: Medan.
9. Setiawan, P.B., dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo:
Surabaya.
10. Hall & Guyton. 2004. Fisiologi Kedokteran Edisi 11. EGC: Jakarta
11. Kumar V., Cotran R.S., & Robbins S.L. 2004. Hati dan saluran empedu
dalam Robbins Buku Ajar Patologi 7th Edition Volume 2. EGC: Jakarta.
12. Taylor CR. 2011. Cirrhosis. [serial on line].
http://emedicine.medscape.com/article/366426-overviewm. [9 maret 2020]
13. Mansjoer, A., dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran UI: Jakarta.
14. Fauci, A.S. et all. 2008. Cirrhosis and its complications in Harrison’s
Principles of Internal Medicine 17th Edition. Mc-Graw Hill: USA
15. Putz, R. & Pabst, R. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Batang Badan,
Panggul, Ekstremitas Bawah Edisi 22 Jilid 2. EGC: Jakarta
16. Junqueira, L.C.,et all. 1997. Histologi Dasar. EGC: Jakarta
17. Ganong, W.F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC: Jakarta