Anda di halaman 1dari 32

Laporan Kasus

TB Paru dengan Limfadenitis Kronis disertai Gangguan Status


Gizi dan Hematologi pada Anak Umur 15 Tahun

Disusun Oleh:

dr. Evita Jodjana

Pembimbing:
dr. Aletha D. Pian, MPH

PROGRAM DOKTER INTERNSIP


KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
KOTA KUPANG
2020
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : An. KF
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 15 tahun
Agama : Katolik
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Maulafa
Nomor Rekam Medis : 472010
Tanggal Periksa di Poli : 29 Januari 2020

1.2 ANAMNESIS
Alloanamnesis (kakak dan orang tua pasien) dan Autoanamnesis ( pasien )
Keluhan Utama:
Benjolan di leher kanan dan kiri sejak 6 bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien merupakan rujukan dari RS Boromeus ke poli dengan keluhan muncul benjolan di
leher kanan dan kiri sejak 6 bulan yang lalu dan untuk dilakukan pemeriksaan FNAB dan
Foto thorax. Benjolan pertama kali muncul di leher kiri pada bulan Juli 2019, kemudian
pada bulan Oktober muncul benjolan di leher kanan. Benjolan awalnya berukuran kecil,
namun semenjak bulan Desember mulai membesar. Benjolan tidak terasa nyeri dan tidak
teraba keras. Pasien sekarang juga ada keluhan batuk, berdahak warna hijau. Batuk baru
sejak 3 minggu yang lalu. Batuk hilang setelah minum obat tapi kambuh lagi. Riwayat
batuk keluar darah tidak ada. Sebelumnya waktu muncul benjolam, pasien tidak ada
keluhan batuk. Pilek tidak ada. Nyeri tenggorokan tidak ada. Pasien juga mengeluh
sering lemas, kadang-kadang pusing dan kurang nafsu makan. Mual kadang-kadang tapi
tidak muntah terjadi beberapa hari yang lalu, sekarang pasien tidak merasakan mual.
Keluhan seperti demam, sesak nafas, nyeri dada, dan keringat malam tidak ada. Buang air
besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) pasien normal dan tidak ada masalah.

1
Riwayat Pengobatan ;
Pasien sempat berobat ke puskesmas yang di Penfui, disana diberikan obat vitamin B
compleks dan obat tambah darah, lalu pasien dirujuk ke RS Boromeus untuk dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut mengenai benjolan di leher dan saat di RS Boromeus diberikan
obat antibiotik yaitu cefadroxil, kemudian pasien dirujuk ke poli anak RSU untuk
dilakukan biopsi dan foto thorax.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien baru pertama kali mengalami hal seperti ini.
Riwayat penyakit demam tifoid tahun 2018, sempat dirawat 1 minggu.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Nenek pasien pernah mengonsumsi obat TB selama 6 bulan (tahun 2008). Saat ini nenek
pasien sudah meninggal pada tahun 2011.

Riwayat Persalinan Ibu:


Pasien dilahirkan pervaginam, cukup bulan dibantu oleh bidan di rumah dengan BBL
2600 g. Bayi lahir langsung menangis dan mengonsumsi ASI dan susu formula.

Riwayat Imunisasi
Ibu pasien mengatakan imunisasinya lengkap.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-tanda vital :
TD : 110/80 mmHg, Nadi 92x/menit , RR 20x/menit, Suhu: 36,3oC
Antropometri : Berat Badan : 36,5 kg
Tinggi Badan : 153.5 cm
Status Gizi : BB/U : 68,8 %
TB/U : 95 %
BB/TB : 84 %
Kesan : status gizi kurang

2
BB/U

TB/U

BB/TB

Kulit : pucat (-), sianosis (-), ikterus (-)


Kepala : bulat, normocephali
Rambut : hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut
Wajah : Deformitas (-), edema (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Pupil bulat isokor/isokor
dengan diameter 3mm/3mm
Telinga : otorrhea (-/-), deformitas (-/-)
Hidung : Rhinorrhea (-/-), pernapasan cuping hidung (-/-)
Mulut : mukosa lembab, Tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis
Leher : pembesaran KGB (+) di sinistra (teraba 4 benjolan), dextra (teraba 3
benjolan), konsistensi teraba tidak keras, mobile, tidak teraba hangat,
tidak nyeri tekan dan tidak terdapat pus dan darah.

3
Thorax : Bentuk simetris, pengembangan dada simteris, retraksi (-), pelebaran
interkosta tidak ada
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 5 midclavicula sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-), Gallop (-)
Paru-paru : Suara Nafas Vesikuler (+/+), rhonkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Datar,NTE (-), bising usus (+), pembesaran hepar dan lien (-), turgor
kulit baik, timpani di seluruh lapang perut
Ekstremitas : Akral hangat, edema ekstremitas superior et inferior (-/-), CRT < 2
detik
Skoring TB

Kesan : total skor 6

4
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasi Pemeriksaan Darah tanggal 24/01/2020
Darah Rutin
Hemoglobin 11,1 mg/dL
Hematokrit 34,8%
Eritrosit 4,93 juta/dL
Leukosit 8.70 103
Trombosit 351.000
LED 62 mm/jam
PCT 0.36%
MCV, MCH, MCHC
MCV 70.6 fL
MCH 22.5 pg
MCHC 31.9 g/L
Hitung Jenis
Eosinofil 2.5 %
Basofil 0.9%
Neutrofil 6.23%
Limfosit 26.8%
Monosit 7.5%

Kesan : penurunan Hb dan Ht, peningkatan LED, neutrofil, monosit dan PCT, dan
penurunan dari MCV dan MCH

Hasil USG Colli Dextra dan Sinistra

5
Terdapat nodul di kedua colli
Kesan : limfadenitis

Hasil FNAB
Makroskopik:
Dilakukan 3 kali pungture pada nodul-nodul di colli lateral dextra dan sinistra ukuran
diameter + 1-2 cm, batas tegas, kenyal. Dibuat 3 slide sediaan.
Mikroskopis:
Sediaan normoseluler, terdiri atas sebaran sel-sel neutrofil, limfosit, sel-sel sindle
epitheloid, sebagian tersusun membentuk granulom, latar belakang debrinekrotik luas.
Tidak tampak tanda ganas
Kesan:
Limfadenitis kronis granulomatous yang dapat dijumpai pada infeksi tuberkulosa
Hasil Foto Rontgen Thorax

Kesan : suspek KP Primer

1.5 DIAGNOSIS
1. TB paru
2. Limfadenitis kronis colli dextra dan sinistra ec TB
3. Anemia mikrositik normokrom
4. Gizi kurang

1.6 TATALAKSANA
Medikamentosa:
- OAT KDT 2RHZ 1 x 2 tab

6
- Vitamin B6 1x1
Nonmedikamentosa:
- Menjelaskan kepada Ibu pasien bahwa anaknya menderita infeksi TB, hal ini
kemungkinan didapatkan karena tertular dari anggota keluarga yang lain.
- Menyarankan untuk pemeriksaan anggota keluarga yang sering mengalami batuk
yang kambuh ke poli paru untuk pemeriksaan dahak dan foto thorak.
- Pengobatan pasien direncanakan selama 6 bulan dan akan dievaluasi pada akhir
pengobatan.
- Obat harus diminumkan secara rutin setiap pagi hari saat perut masih kosong dan
harus segera kontrol sebelum obat habis.
- Perbaikan gizi anak untuk menunjang kebutuhan dari anak.
- Menjelaskan bahwa penyakit ini bisa disembuhkan asal rutin minum obat dan orang
disekitar rumah yang dicurigai menderita TB paru segera diperiksakan dan mendapat
terapi yang sesuai untuk mengurangi resiko kekambuhan pada anak.

1.7 PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya, yang paling sering mengenai kelenjar getah bening.
Limfadenitis adalah peradangan pada kelenjar getah bening yang terjadi akibat infeksi
dari suatu bagian tubuh maka terjadi pula peradangan pada kelenjar getah bening.

7
Limfadenitis TB atau TB kelenjar getah bening termasuk salah satu penyakit TB di luar
paru (Tb Extraparu).1

2.2 Etiologi
M. Tuberculosis dapat tumbuh dengan energi yang diperoleh dair oksidasi senyawa
karbon yang sederhana. M. Tuberculosis merupakan mikroba kecil seperti batang yang
tahan terhadap desinfektan lemah dan bertahan hidup pada kondisi yang kering hingga
berminggu-minggu, tetapi hanya dapat tumbuh di dalam organisme hospes. Kuman akaan
mati pada suhu pada suhu 60oC selama 15-20 menit. Pengurangan oksigen dapat
menurunkan metabolisme kuman.1
Daya tahan kuman M. Tuberculosis lebih besar dibandingkan dengan kuman lainnya
karena sifat hidrofobik pada permukaan selnya. Kuman ini tahan terhadap asam, alkali
dan zat warna malakit. Pada sputum yang melekat pada debu dapat tahan hidup selama 8-
10 hari. M. Tuberculosis dapat dibunuh dengan pasteurisasi.1

2.3 Epidemiologi
Di negara-negara berkembang jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40-50%
dari jumlah seluruh populasi umum dan terdapat sekitar 500.000 anak di dunia menderita
TB setiap tahun.1
Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC yang setara dengan
120 kasus per 100.000 penduduk. Lima negara dengan insiden tertinggi yaitu India,
Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan.
Sebagian besar estimasi insiden TBC pada tahun 2016 terjaid di Kawasan Asia Tenggara
(45%) dimana Indonesia meruapakan salah satu di dalamnya dan 25% terjadi di kawasan
Afrika.2

8
Gambar 1. Insiden TBC Regional Tahun 2016 2
Badan kesehatan dunia mendefinisikan negara dengan beban tinggi/high burden
countries (HBC) untuk TBC berdasarkan 3 indikator TBC, TBC/HIV dan MDR-TBC.
Terdapat 48 negara yang masuk dalam daftar tersebut. Satu negara dapat masuk dalam
salah satu daftar tersebut, atau keduanya, bahkan bisa masuk dalam ketigannya. Indonesia
bersama 13 negara lain, masuk dalam daftar HBC untuk ke 3 indikator tersebut. Artinya
Indonesia memiliki permasalahan besar dalam menghadapi penyakit TBC.2

Gambar 2. Negara-
Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017.
Berdasarkan survei prevalensi tuberkulosis tahun 2013-204, prevalensi TBC dengan
konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per 100.000 penduduk berumur 15
tahun ke atas dan prevalensi TBC BTA positif sebesar 257 per 100.000 penduduk
berumur 15 tahun ke atas.
Berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin bertambah usia, prevalensinya semakin
tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktivasi TBC dan durasi paparan TBC lebih lama
dibandingkan kelompok umur di bawahnya.2

9
Gambar 3. Kejadian TBC

2.4 Patofisiologi
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Penularan TB biasanya
droplet infection. Karena infeksi secara inhalasi, maka hanya droplet nuklei yang kecil
saja (1-5 mikron) yang dapat melalui dan menembus sistem mukosilier saluran napas
untuk mencapai bronkiolus dan alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi
respons imunologis spesifik. Akan tetapi pada individu yang tidak dapat menghancurkan
seluruh kuman, makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB yang sebagian besar
dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan
terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag.
Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer
Ghon.1
Dari fokus primer Ghone, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluan limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis dan limfadenitis dinamakan
kompleks primer (primary complex).
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk,
yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji
tuberkulin positif. Selama masa inkubasi,uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian

10
besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, proliferasi kuman TB terhenti.
Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas
selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik.1
Setlah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan menglami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis
perkijauan dan enkapsulasi. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-
tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.1
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB
menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala
klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagi organ di seluruh tubuh, bersarang di
organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan
kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarag di organ lain seperti otak, hati,
tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi
tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru
disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat menglami reaktivasi dan
terjaid TB apeks paru saat dewasa.1

11
Gambar 4. Patofisiologi TB 1
2.5 Manifestasi Klinis
Gejala klinis TB pada anak dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait.
Gejala TB bersifat khas, yaitu menetap (lebih dari 2 minggu) walaupun sudah diberikan
terapi yang adekuat (misalnya antubiotika atau anti malaria untuk demam, antibiotika atau
obat asma untuk batuk lama, dan pemberian nutrisi yang adekuat untuk masalah berat
badan).1
Gejala Sistemik/umum 1
- Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi gagal
tumbuh meskipun telah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik dalam waktu 1-2
bulan.
- Demam lama ( > 2 minggu) dan atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam
tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi.
Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak
disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.

12
- Batuk lama > 2 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.
Batuk tidak membaik dengan pemberikan antibiotik atau obat asma (sesuai indikasi).
- Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain

Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang adekuat.

Gejala Spesifik terkait Organ 1


Pada TB esktra paru dapat dijumpai gejala dan tanda klinis yang khas pada organ yang
terkena. Infeksi TB pada kelenjar limfe superfisial, yang disebut dengan skrofula,
merupakan bentuk TB ekstrapulmonal pada anak yang paling sering terjadi, dan
terbanyak pada kelenjar limfe leher. Kebanyakan kasus timbul 6-9 bulan setelah infeksi
awal M.tuberculosis, tetapi beberapa kasus dapat timbul bertahun-tahun kemudia. Lokasi
pembesaran kelenjar limfe yang sering adalah di servikal anterior, submandibula,
supraklavikula, kelenjar limfe inguinal, epitroklear, atau daerah aksila.
TB kelenjar :
- Biasanya di daerah leher (regio colli). Limfadenitis ini paling sering terjadi unilateral,
tetapi infeksi bilateral dapat terjadi karena pembuluh limfatik di daerah dada dan
leher-bawah saling bersilangan.
- Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) tidak nyeri, konsistensi kenyal, multiple
dan kadang saling melekat (konfluens). Pembesaran biasanya perlahan-lahan.
- Ukuran besar (lebih dari 2x2 cm), biasanya pembesaran KGB terlihat jelas bukan
hanya teraba.
- Tidak berespon terhadap pemberian antibiotika
- Bisa terbentuk rongga dan discharge
- Uji tuberkulin biasanya menunjukkan hasil yang positif. Gambaran foto toraks terlihat
normal.

2.6 Penentuan Diagnosis TB Anak


Penegakan diagnosis TB pada anak didasarkan pada 4 hal yaitu:1
- Konfirmasi bakteriologis TB
Pemeriksaan bakteriologis adalah pemeriksaan yang penting untuk menentukan
diagnosis TB, baik pada anak maupun dewasa. Pemeriksaan sputum pada anak
terutama dilakukan pada anak berusia lebih dari 5 tahun, HIV positif dan gambaran
kelainan paru luas.

13
Konfirmasi dengan pemeriksaan mikrobiologi yang terdiri dari beberapa cara, yaitu
pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau biopsi jaringan untuk menemukan
BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan
pada anak karena sulitnya mendapatkan spesimen. Spesimen dapat berupa sputum,
induksi sputum atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut, apabila
fasilitas tersedia. Pemeriksaan sputum/dahak biasanya pada anak lebih dari 5 tahun
yang sudah dapat mengeluarkan sputum/dahak secara langsung dengan berdahak,
sedangkan bilas lambung dengan NGT dapat dilakukan pada anak yang tidak dapat
mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan minimal 2 hari beruturut-
turut pada pagi hari. Pemeriksaan BTA sputum sebaiknya dilakukan minimal 2 kali
yaitu sewaktu dan pagi hari. Adapun tes lain yaitu tes cepat molekuler (TCM) TB,
dengan menggunakan pemeriksaan Line Probe Assay dan NAAT-Nucleic Acid
Amplification Test). TCM dapat dilakukan dalam waktu yang cepat (kurang lebih 2
jam). TCM dapat digunakan untuk mendeteksi kuman Mycobacterium tuberculosis
secara molecular sekaligus menentukan ada tidaknya resisensi terhadap Rifampicin.
Pemeriksaan TCM mempunyai nilai diagnostik yang lebih baik dari pada pemeriksaan
mikroskopis spututm. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan gambaran
yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis
perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan
atau kuman TB. Baku emas diagnosis TB adalah dengan menemukan kuman
penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan biakan
(dari sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi
jaringan). Jenis media untuk pemeriksaan biakan yaitu:
1. Media padat : hasil biakan dapat diketahui 4-8 minggu.
2. Media cair : hasil biakan bisa diketahui lebih cepat (1-2 minggu), tetapi
lebih mahal.
- Gejala klinis yang khas TB
- Adanya bukti infeksi TB (hasil uji tuberkulin positif atau kontak erat dengan pasien
TB)
Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi hipersensitifitas terhadap
antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak langsung menandakan
bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak atau anak sudah tertular.
Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin positif) belum tentu menderita TB oleh karena

14
tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk melawan
kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien tersebut secara klinis
akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi TB laten.1
- Gambaran foto toraks sugestif TB
Gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit
lain. Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis
yang menunjang TB adalah sebagai berikut: 1
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
(visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral)
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h. Tuberkuloma

15
16
Gambar 5. Alur diagnosis tb anak 1

Penentuan diagnosis lain bisa dengan menggunakan sistem skoring. Sistem skoring dapat
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak. Sistem skoring ini
membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun
pemeriksaan penunjang sederhana sehingga mengurangi terjadi underdiagnosis maupun
overdiagnosis TB. Pada fasilitas pelayanan kesehatan dengan fasilitas terbatas atau
dengan akses yang sulit untuk pemeriksaan uji tuberkulin dan foto toraks, diagnosis TB
pada anak dapat ditegakkan tanpa menggunakan sistem skoring.1

Gambar 6. Skoring TB Anak1

17
Parameter Sistem Skoring:1
o Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis hasil
laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB 01 atau dari
hasil laboratorium.
o Penentuan status gizi:
 Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang (moment
opname).
 Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi untuk anak
usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes, sedangkan untuk anak usia >5
tahun merujuk pada kurva CDC 2000.
 Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1 bulan.

o Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik setelah diberikan
pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas
o Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa: pembesaran
kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis, konsolidasi
segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma.
Pada TB ekstra paru seperti TB kelenjar, diagnosis definitif memerlukan pemeriksaan
histologis dan bakteriologis yang diperoleh melalui biopsi, yang dapat dilakukan di
fasilitas rujukan.

2.7 Tatalaksana TB Anak


Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan profilaksis
(pencegahan).
Ada beberapa hal penting dalam tatalaksana TB anak adalah:1
a. Obat TB diberikan dalam paduan obat, tidak boleh diberikan sebagai
monoterapi
OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk mencegah
terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler
Terapi TB pada anak dengan BTA negatif menggunakan paduan INH, Rifampisin,
dan Pirazinamid pada fase inisial (2 bulan pertama) diikuti Rifampisin dan INH pada
4 bulan fase lanjutan.

Tabel 1. Dosis OAT dan Efek Sampingnya

18
Nama Obat Dosis Dosis Efek samping
harian maksimal
(mg/kgBB/ (mg /hari)
hari)
Isoniazid (H) 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis
perifer, hipersensitivitis
Rifampisin 15 (10-20) 600 Gangguan
(R) gastrointestinal, reaksi
kulit, hepatitis,
trombositopenia,
peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna
oranye kemerahan
Pirazinamid 35 (30-40) - Toksisitas hepar,
(Z) artralgia, gangguan
gastrointestinal
Etambutol 20 (15–25) - Neuritis optik,
(E) ketajaman mata
berkurang, buta warna
merah hijau,
hipersensitivitas,
gastrointestinal
Streptomisin 15 – 40 1000 Ototoksik, nefrotoksik
(S)

b. Pengobatan diberikan setiap hari


Untuk mempermudah pemberian OAT dan meningkatkan keteraturan minum obat,
paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/FDC.Satu paket dibuat untuk satu
pasien untuk satu masa pengobatan.1
Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75 mg, INH (H)
50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50
mg dalam satu paket.
Tabel 2. Dosis Kombinasi pada TB Anak

19
Berat badan 2 bulan 4 bulan
(kg) RHZ (75/50/150) (RH (75/50)
5-7 1 tablet 1 tablet

8-11 2 tablet 2 tablet

12-16 3 tablet 3 tablet

17-22 4 tablet 4 tablet

23-30 5 tablet 5 tablet

BB > 30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa

Gambar 7. KDT pada Dewasa 3


c. Pemberian gizi adekuat
Status gizi pada anak dengan TB akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB.
Penilaian status gizi harus dilakukan secara rutin selama anak dalam pengobatan.
Pemberian makanan tambahan sebaiknya diberikan selama pengobatan. Jika tidak
memungkinkan dapat diberikan suplementasi nutrisi sampai anak stabil dan TB dapat
di atasi. Air susu ibu, tetap diberikan jika anak masih dalam masa menyusui. 1
d. Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan

Pemantuan TB anak sebaiknya setiap 2 minggu selama fase intensif, dan sekali sebulan
pada fase lanjutan. Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis membaik. Jika
respon pengobatan tidak membaik makan pengobatan TB tetap dilanjutkan dan pasien

20
dirujuk ke sarana yang lebih lengkap untuk menilai kemungkinan resistensi obat,
komplikasi, komorbitas atau adanya penyakit paru lain. Pada pasien TB anak dengan hasil
BTA positif pada awal pengobatan, pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan dahak ulang pada akhir bulan ke-2, ke-5 dan ke-6.1

Gambar 8. Vaksin

Pengontrolan penyakit TB bergantung pada pencegahan dengan imunisasi Bacille-


Calmete-Guerin (BCG). Vaksin BCG berasal dari bakteri Mycobacterium bovis hidup
yang dilemahkan . Vaksin BCG diberikan secara intrakutan. Suntikan dilakukan didaerah
deltoid kanan, sehingga apabila terjadi reaksi limfadenitis di aksila akan mudah dideteksi.
BCG tidak boleh diberikan secara subkutan karena beresiko terjadi ulkus dan abses yang
seius. Dosis untuk neonatus dan bayi < 1 tahun adalah 0,05 ml sedangkan untuk anak dan
dewasa adalah 0,1 ml. Imunisasi BCG sebaiknya diberikan pada usia < 2 bulan. Agar
cakupan imunisasi lebih luas, pada jadwal Program Pengembangan Imunisasi (PPI) BCG
dapat diberikan pada usia 0 – 12 bulan. Pada neonatal – bayi berusia < 3 bulan, karena
belum mengalami paparan lama terhadap penyakit , pemberian BCG tidak perlu didahului
oleh uji tapis (uji tuberklin). Sebaliknya, pada usia > 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji
tuberkulin terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi komplikasi yang
terjadi akibat pemberian BCG, akibat telah adanya imunitas terhadap antigen
Mycobacterium. Pada bayi kontak erat dengan pasien TB BTA positif, sebaiknya
diberikan isoniazid (INH) profilaksis terlebih dahulu, lalu bila kontak sudah tenang
dilakukan uji tuberkulin dan apabila hasilnya negatif, dapat diberikan BCG. 4

21
2.8 Pengaruh Tuberkulosis terhadap Status Gizi Anak
Anak merupakan kelompok umur yang sangat rentan terhadap berbagai penyakit infeksi
termasuk tuberkulosis dan membutuhkan zat gizi yang cukup untuk pertumbuhan dan
perkembangan. Asupan yang tidak adekuat ditambah dengan terjadinya infeksi
tuberkulosis dapat memicu malnutrisi serta memperparah kondisi infeksi tuberkulosis.
Pada pasien dengan tuberkulosis, terjadinya penurunan nafsu makan, perubahan pola
makan, malabsorbsi zat gizi, dan perubahan metabolisme dapat mengakibatkan wasting.
Dalam berbagai studi menunjukkan bahwa penderita tuberkulosis memiliki status gizi
yang lebih rendah daripada kelompok kontrol sehat. Pada umumnya penderita infeksi ini
berusia produktif (15-55 tahun) dengan gejala utama malaise dan batuk dengan dahak > 2
minggu.5
Penentuan status gizi dilakukan berdasarkann berat badan (BB) menurut panjang badan
(PB) atau tinggi badan (TB) (BB/PB atau BB/TB). Grafik pertumbuhan yang digunakan
sebagai acuan ialah grafik WHO 2006 untuk anak kurang dari 5 tahun dan grafik CDC
2000 untuk anak lebih dari 5 tahun hingga 18 tahun.6

Gambar 9. Penentuan

Hubungan malnutrisi dengan tuberkulosis terdapat dua hubungan yaitu efek tuberkulosis
terhadap status nutrisi dan efek malnutrisi terhadap manifestasi klinis dari tuberkulosis
sebagai akibat dari kelemahan sistem imun. Malnutrisi juga merupakan faktor resiko
utama dari onset aktif tuberkulosis dan juga malnutrisi dapat memperburuk prognosis dari
penyakit TB. Malnutrisi berpengaruh terhadap cell-mediated immunity (CMI) dan CMI
merupakan sistem pertahanan tubuh utama untuk melawan TB. Malnutrisi pada TB
terjadi akibat perubahan metabolik, kaheksia dan perubahan konsentrasi leptin dalam
darah (mediator utama antara nutrisi dan imunitas). Perubahan metabolik yang terjadi

22
adalah proses anabolic block (asam amino tidak dapat dibangun menjadi protein yang
lebih kompleks), penurunan nafsu makan, malabsorbsi nutrisi dan malabsorbsi
mikronutrisi. Pada penderita tuberkulosis didapatkan defisiensi beberapa mikronutrisi
seperti zink, vitamin A dan selenium. Keadaan nutrisi yang buruk dapat memperparah
keadaan anemia dan memperburuk prognosis penyakit TB paru.7
Peningkatan konsumsi zat gizi makro dapat dilakukan dengan cara pemberian makanan
jenis apapun yang paling disukai, terutama makanan yang mengandung tinggi energi dan
protein dengan porsi kecil tetapi sering. Meskipun mengalami penurunan nafsu makan,
akan tetapi kebutuhan energi dan zat gizi harus tetap terpenuhi agar tidak memperberat
infeksi penyakitnya, demi tercapainya kesehatan yang optimal dalam mencegah
terjadinya morbiditas dan mortalitas akibat infeksi tuberkulosis.8

2.9 Pengaruh Tuberkulosis dengan Abnormalitas Hematologi


Penyakit TB paru merupakan infeksi multi sistemik yang dapat menyebabkan manifestasi
di berbagai organ, salah satunya adalah berupa kelainan hematologi. Anemia merupakan
abnormalitas hematologi yang biasa terjadi pada pasien TB paru. Anemia pada TB yang
diakibatkan supresi eritropoesis oleh mediator inflamasi merupakan patogenesi tersering
dari anemia pada TB.7 Kondisi terjadi karena adanya disregulasi sistem imun terkait
dengan respon sistemik terhadap kondisi penyakit yang diderita. Peningkatan sitokin
proinflamasi seperti TNF-α, IL-6, IL-1β serta Interferon-γ berpengaruh terhadap
penurunan eritroid progenitor. Penurunan eritroid progenitor ini menghambat diferensiasi
dan proliferasi eritrosit secara langsung. Anemia pada penderita tuberkulosis paru
umumnya tergolong ringan atau sedang. Anemia dapat sembuh sejalan dengan
kesembuhan penyakit tuberkulosis dan pengobatan. Penelitian di Korea menunjukkan
hanya sekitar 64,5% pasien mengalami kesembuhan anemia selama pengobatan anti
tuberkulosis. Anemia yang terjadi pada tuberkulosis berupa anemia defisiensi besi
(anemia mikrositik hipokromik) dan anemia akibat inflamasi (anemia normositik
normokromik). Anemia penyakit kronis pada umumnya normositik normokromik (MCV
=82 – 92 fl; MCH =27 – 34 pg; dan atau MCHC >30 g/dl), tetapi ada juga penderita yang
menunjukkan sel mikrositik (MCV <80 fl). Anemia defisiensi besi digambarkan
dengan mikrositik hipokromik (MCV <80 fl; MCH <27 pg; dan atau MCHC <31 g/dl).
Anemia penyakit kronis lebih sering ditemukan pada penderita tuberkulosis ekstra paru
dan tuberkulosis diseminata. Obat anti tuberkulosis anak pada fase awal terdiri
dari Isoniazid, Pirazinamid dan Rifampisin, pada fase lanjutan hanya terdiri dari

23
Isoniazid dan Rifampisin. Isoniazid diketahui meningkatkan ekskresi B6 melalui urin
dan dapat mengakibatkan defisiensi B6. Vitamin B6 dalam bentuk Pyridoxal
phosphate merupakan kofaktor dalam proses biosintesis heme.9
Abnormalitas hematologi lain pada TB paru bisa ditemukan adanya peningkatan neutrofil
dan monosit. Neutrofilia ditemukan pada 20% penderita tuberkulosis paru dengan
infiltrasi ke sumsum tulang. Neutrofilia disebabkan karena reaksi imunologis dengan
mediator sel limfosit T dan membaik setelah pengobatan.10 Monosit berperan penting
dalam respon imun pada infeksi tuberkulosis paru. Monosit merupakan sel utama dalam
pembentukan tuberkel. Aktivitas pembentukan tuberkel ini dapat tergambar dengan
adanya monositosis dalam darah. Monositosis dianggap sebagai petanda aktifnya
penyebaran tuberkulosis paru.10,11 Kelainan hematologi lain yang dapat menjadi petanda
bahwa proses tuberkulosis aktif adalah limfopenia. Tuberkulosis yang aktif menyebabkan
penurunan total limfosit T sebagai akibat penurunan sel T4. Sel B total juga menurun.
Pengobatan tuberkulosis yang berhasil memperbaiki jumlah sel-sel tersebut menjadi
normal atau bisa terjadi limfositosis.10
Selain melihat dari monosit atau limfosit untuk menentukan proses TB sedang aktif juga
bisa dinilai dari LED. Peningkatan LED menunjukkan proses inflamasi, peningkatan ini
menunjukkan adanya infeksi baik akut maupun kronis, dengan kata lain pertumbuhan
kuman mikrobakterium tuberkulosa sedang menyebar atau meluas mencapai puncaknya.
Kenaikan LED terjadi pada 62-99% penderita tuberkulosis. Peningkatan LED terjadi
akibat pelepasan protein fase akut ke dalam sirkulasi menyebabkan peningkatan
viskositas plasma serta peningkatan fibrinogen yang dapat mengakibatkan eritrosit mudah
rouleaux.12
Tes laboratorium lainnya yang dapat mengetahui adanya infeksi seperti CRP, namun tes
tersebut bersifat tidak spesifik sehingga etiologi infeksi paru sulit sekali ditentukan dalam
waktu cepat. Prokalsitonin (PCT) merupakan suatu biomarker yang lebih spesifik
terhadap infeksi bakteri dan dapat dideteksi lebih awal dibandingkan gejala atau tanda
infeksi lain.13

24
Gambar 10. Kadar prokalsitonin dalam darah 13
Kadar PCT < 0,05 ng/mL, nilai normal untuk individu yang sehat tidak ada reaksi
inflamasi sistemik, <0,5 ng/mL reaksi sistemik yang rendah, peradangan lokal dan infeksi
lokal, kadar PCT > 0,5 dan <2,0 ng/mL terjadi sepsis, tetapi peningkatan kadar
prokalsitonin dapat disebabkan oleh serangkaian kondisi, pasien harus dimonitor dan
prokalsitonin harus dinilai kembali dalam waktu 6-24 jam, > 2,0 dan <10 risiko tinggi
untuk berkembang menjadi sepsis berat dan memiliki resiko tinggi untuk terjadinya
gangguan fungsi organ, kadar prokalsitonin > 10 ini merupakan gambaran dari suatu
sepsis atau syok sepsis yang disebabkan oleh bakteri, dan dapat menyebabkan disfungsi
organ.13
PCT pada pasien TB paru yang HIV-nya negatif pada dasarnya rendah dan merupakan
biomarker yang berguna untuk membedakan tuberkulosis paru dengan pneumonia.
Namun, ketika serum PCT >0,5 ng/mL itu adalah penanda prognostik yang buruk pada
pasien TB paru. 13
BAB III
ANALISA KASUS

Pada penderita ini, diagnosis tuberkulosis ditegakkan dengan sistem skoring berdasarkan
manifestasi klinik dan pemeriksaan penunjang yang mana sistem skoring penderita berjumlah
enam.
Tabel 3 : Sistem Skoring Diagnosis Tuberkulosis Anak 1
Parameter 0 1 2 3 Skor

Kontak TB tidak - laporan BTA (+) 2


jelas keluarga,
BTA (-)/
tidak tahu/
BTA tidak
jelas
Uji Tuberkulin negatif - - Positif 0
(Mantoux) ( ≥ 10 mm
atau

25
≥ 5 mm pada
keadaan
imunosupresif
)
Berat badan/ - BB/TB < 90% klinis gizi - 1
keadaan gizi atau buruk atau
BB/U < 80% BB/TB <
70%
atau
BB/U <
60%
Demam yang tidak - ≥ 2 minggu - - 0
diketahui
penyebabnya
Batuk kronik - ≥ 3 minggu - - 1
Pembesaran - ≥ 1 cm, - - 1
kelenjar limfe jumlah > 1,
kolli, aksila, tidak nyeri
inguinal
Pembengkakan - ada - -
tulang/sendi pembengkakan
panggul, lutut,
falang
Foto toraks normal/ gambaran - - 1
kelainan sugestif TB
tidak
jelas
TOTAL SKOR 6

Pada sistem scoring terbaru, skor total > sudah bisa didiagnosi TB dan obati dengan
OAT.Pada pasien ini, tidak dilakukannya uji tuberkulin dikarenakan tidak ada fasilitas atau
tidak ada akses untuk uji tuberkulin. Oleh karena itu jika anak ada riwayat kontak erat dengan
pasien TB menular, anak dapat didiagnosis TB dan diberikan OAT.1
Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat kontak dengan nenek penderita yang tinggal
di rumah yang sama dengan penderita, tetapi ini hanya berdasarkan laporan keluarga. Laporan
ini pun tidak jelas karena ibu penderita tidak pernah memeriksakan diri sehingga keluarga
tidak tahu pasti apakah nenek penderita menderita penyakit tuberkulosis, hanya didasarkan
pada adanya riwayat batuk lama dan ada riwayat pengobatan selama 6 bulan pada tahun
2008. Akan tetapi berdasarkan laporan yang diberikan keluarga, kemungkinan besar nenek
penderita menderita penyakit TB paru. Penderita diduga sudah terinfeksi TB pada masa itu,
namun tidak diketahui karena tidak muncul gejala klinis yang khas pada TB. . Hal ini mungkin

26
disebabkan karena terbentuknya imunitas seluler. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.1
Penurunan berat badan merupakan gejala umum yang sering dijumpai pada TB paru pada
anak. Umumnya pasien TB anak mempunyai status gizi kurang atau bahkan gizi buruk.
Dengan alasan tersebut, kriteria penurunan berat badan menjadi penting. Hal ini dikarenakan
Pada pasien dengan tuberkulosis, terjadinya penurunan nafsu makan, perubahan pola makan,
malabsorbsi zat gizi, dan perubahan metabolisme dapat mengakibatkan wasting. Pada
umumnya penderita infeksi ini berusia produktif (15-55 tahun) dengan gejala utama malaise
dan batuk dengan dahak > 2 minggu.7 Penentuan status gizi dilakukan berdasarkann berat
badan (BB) menurut panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB) (BB/PB atau BB/TB). Grafik
pertumbuhan yang digunakan sebagai acuan ialah grafik WHO 2006 untuk anak kurang dari 5
tahun dan grafik CDC 2000 untuk anak lebih dari 5 tahun hingga 18 tahun. 6 Pada penderita ini
karena berusia 15 tahun, maka grafik pertumbuhan yang digunakan adalah grafik CDC 2000,
dari grafik tersebut didapatkan BB/TB : 83%. Berdasarkan hasil tersebut angka 83% tersebut
menunjukkan status gizi kurang
Dari anamnesis diketahui penderita mengeluhkan adanya benjolan di kedua leher sejak
6 bulan yang lalu. Benjolan semakin banyak dan membesar. Benjolan tidak nyeri dan tidak
merah serta sebagian benjolan teraba sedikit keras dan sebagiannya teraba lunak. Benjolan
juga tidak mengeluarkan pus. Dari hasil FNAB yang dilakukan diperoleh kesimpulan
limfadenitis kronis tuberkulosis. Limfadenitis biasanya merupakan komplikasi dini TB primer,
umunya terjadi dalam 6 bulan pertama setelah infeksi.Selama 6 bulan tersebut, pasien juga
tidak mengeluhkan adanya batuk, demam ataupun keringat malam. Pada kuman TB selama
masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan
hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limpa regional
membentuk kompleks prier, atau berlanjut menyebar secar limfohematogen. Penyebaran
hematogen yang paling sering terjadi adalah bentuk penyebaran hematogenik tersamar.
Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehinga tidak
menimbulkan gejala klinis. Itulah sebabnya selama 6 bulan tersebut, pasien tidak
mengeluhkan adanya batuk, demam ataupun keringat malam (gejala klinis yang khas pada
TB).1
Pada penderita ditemukan batuk sejak 3 minggu yang lalu. Sebagian besar TB paru pada
anak tidak menunjukkan manifestasi respiratorik yang menonjol. Hal ini dikarenakan TB paru
pada anak biasanya berlokasi di parenkim paru sebagai lanjutan dari proses TB primer, yang
mana pada daerah tersebut tidak terdapat reseptor batuk. Tetapi, gejala batuk kronik pada anak

27
dapat timbul bila limfadenitis regional menekan bronkus sehingga merangsang reseptor batuk
secara kronik. Selain itu, karena imunitas tubuh yang menurun akibat penekanan sitokin anti-
inflamasi maka anak mudah mengalami infeksi respiratorik akut berulang.1 Pada pasien ini,
batuk baru dirasakan 3 minggu ini, mungkin dikarenakan sistem imunitas pasien yang sudah
mulai menurun. Penurunan ini mungkin bisa disebabkan karena pasien sudah mulai merasa
lemas dan penurunan nafsu makan sehingga menyebabkan penurunan berat badan yang pada
akhirnya mempengaruhi sistem pertahanan tubuh.
Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidaklah khas, karena kelainan-kelainan
radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit-penyakit lain. Sebaliknya foto Rontgen
toraks yang normal (tidak terdeteksi secara radiologis) tidak dapat menyingkirkan diagnosis
TB jika klinis dan pemeriksaan penunjang lainnya mendukung. Dengan demikian,
pemeriksaan foto Rontgen toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali
gambaran milier.1,4
Pemeriksaan foto Rontgen toraks penderita menunjukkan adanya gambaran suspek KP
primer.Ini merupakan salah satu gambaran sugestif TB paru.
Dari kedelapan parameter scoring system TB paru pada anak diatas,diperoleh total skor
enam, yang mana anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6. Diagnosis pasti TB paru pada
anak ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB pada pemeriksaan apusan langsung (direct
smear) dan/atau biakan yang merupakan pemeriksaan baku emas (gold standard) atau
gambaran PA TB. Pemeriksaan sputum BTA yang dilakukan sebanyak 2 kali menunjukkan
hasil negatif. Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa pemeriksaan kuman Mycobacterium
tuberculosis menunjukkan hasil positif hanya pada 10 - 15% pasien yang mana hal ini
dikarenakan jumlah kuman yang sedikit pada TB anak (paucibacillary) dan lokasi kuman di
daerah parenkim yang jauh dari bronkus. Akan tetapi pemeriksaan sputum BTA atau bilas
lambung tetap penting untuk dilakukan.1,14
Hasil pemeriksaan penunjang lain yaitu pemeriksaan hematologi. Anemia merupakan
abnormalitas hematologi yang biasa terjadi pada pasien TB paru. Anemia yang terjadi pada
tuberkulosis berupa anemia defisiensi besi (anemia mikrositik hipokromik) dan anemia akibat
inflamasi (anemia normositik normokromik). Anemia penyakit kronis pada umumnya
normositik normokromik (MCV =82 – 92 fl; MCH =27 – 34 pg; dan atau MCHC >30 g/dl),
9
tetapi ada juga penderita yang menunjukkan sel mikrositik (MCV <80 fl).
Abnormalitas hematologi lainnya yaitu neutrofilia, monositosis, peningkatan Laju Endap
Darah (LED) dan PCT juga bisa ditemukan pada penderita TB. Neutrofilia disebabkan karena
reaksi imunologis dengan mediator sel limfosit T dan monositosis dianggap sebagai petanda

28
aktifnya penyebaran tuberkulosis paru.10,11 Peningkatan LED juga menunjukkan adanya
infeksi kronis. Akan tetapi nilai LED dapat meningkat pada berbagai keadaan infeksi atau
inflamasi kronis sehingga LED sama sekali tidak khas untuk TB. LED mempunyai manfaat
untuk pemantauan keberhasilan terapi bila sebelum terapi nilainya tinggi. 12 Tes laboratorium
lainnya yang dapat mengetahui adanya infeksi seperti CRP, namun tes tersebut bersifat tidak
spesifik sehingga etiologi infeksi paru sulit sekali ditentukan dalam waktu cepat. Prokalsitonin
(PCT) merupakan suatu biomarker yang lebih spesifik terhadap infeksi bakteri dan dapat
dideteksi lebih awal dibandingkan gejala atau tanda infeksi lain. Peningkatan PCT pada pasien
ini tidak menunjukkan terjadinya sepsis hanya beruba peradangan lokal dan infeksi lokal. 13
Pada pasien ini ditemukan adanya anemia mikrositk normokrom, neutrofilia, monositosis,
peningkatan LED dan PCT.
Berdasarkan sistem skoring, pasien harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat
Obat Anti Tuberkulosis. Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (dua bulan
pertama) dan dilanjutkan dengan fase lanjutan/sterilisasi (empat bulan atau lebih). Pemberian
panduan obat ini bertujuan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh
kuman intraselular dan ekstraselular, sedangkan pemberian obat jangka panjang bertujuan
selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan. 1
Terapi yang diberikan pada pasien ini menggunakan KDT disesuaikan dengan berat badan
pasien, pada kasus ini pasien memilik berat badan 36,5 kg, dimana berat badan > 30 kg, dosis
KDT yang diberikan mengikuti dosis KDT orang dewasa, sehingga pada pasien ini KDT yang
harus diminum sebanyak 2 tablet dalam sekali minum.1,3 Selain itu pada pasien ini juga
diberikan tambahan berupa vitamin B6, dikarenkan OAT yaitu Isoniazid diketahui
meningkatkan ekskresi B6 melalui urin dan dapat mengakibatkan defisiensi B6. Vitamin B6
dalam bentuk Pyridoxal phosphate merupakan kofaktor dalam proses biosintesis heme,
yang nantinya bisa menyebabkan anemia. Mengingat pada pasien ini sudah terdapat
anemia.Pemberian B6 ini untuk mencegah terjadinya perburukan dari anemia-nya.9
Prognosis tergantung pada faktor deteksi dini, pengobatan yang efektif dan komplikasi
yang ada. Prognosis pada kasus ini adalah dubia ad bonam karena penderita dapat terdeteksi
sebelum mengalami komplikasi berat seperti adanya deformitas tulang, gangguan neurologis
dan lain-lain. Diharapkan selain kepatuhan pengobatan penderita, adanya penanganan gizi
dapat mendukung proses penyembuhan penderita. Karena keadaan nutrisi yang buruk dapat
memperparah keadaan anemia dan memperburuk prognosis penyakit TB paru.7 Peningkatan
konsumsi zat gizi makro dapat dilakukan dengan cara pemberian makanan jenis apapun yang
paling disukai, terutama makanan yang mengandung tinggi energi dan protein dengan porsi

29
kecil tetapi sering. Meskipun mengalami penurunan nafsu makan, akan tetapi kebutuhan
energi dan zat gizi harus tetap terpenuhi agar tidak memperberat infeksi penyakitnya, demi
tercapainya kesehatan yang optimal dalam mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas
akibat infeksi tuberkulosis.8

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana


tb anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.2016;1-34
2. Kementrian Kesehatan RI. Info datin tuberkulosis. 2018. Diunduh dari https:// pusdatin.
kemkes.go.id/article/view/18101500001/infodatin-tuberkulosis 2018.html, 13 Februari
2020
3. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman penanggulangan tuberkulosis (TB).
Diunduh dari https://www.persi.or.id/images/regulasi/kepmenkes/kmk3642009.pdf
4. Mardjanis S., I. Budiman. Imunisasi BCG pada Anak. Dalam : Nastiti N.R., Bambang S.,
Darmawan B.S., penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta : Badan Penerbit
IDAI; 2008. Hal 252-258.
5. Harmatz P, Butensky E, Cabin B. Nutritional Anemias. In: Nutrition in Pediatrics,
Basic Science and Clinical Applications. 3th ed. Canada: BC Decker; 2003. p.831
6. Sjarif D, Nasar S, Devaera Y, Tanjung C. Asuhan nutrisi pediatrik. IDAI:2011. Diunduh
dari http://www.idai.or.id/professional-resources/guideline-consensus/asuhan-nutrisi-
pediatrik, 16 Februari 2020

30
7. Nasution SD. Malnutrisi dan anemia pada penderita tuberkulosis paru. November 2015.
Diunduh dari https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/1469,
16 Februari 2020
8. Lazulfa RW, Wirjatmadi B, Adriani M. Tingkat kecukupan zat gizi makro dan status gizi
pasien tuberkulosis dengan sputum bta (+) dan sputum bta (-). 2016. Diunduh dari
https://e-journal.unair.ac.id/MGI/article/view/7449/4458
9. Sadewo S, Salam A, Rialita A. Gambaran status anemia pada pasien tuberkulosis paru di
unit pengobatan penyakit paru provinsi Kalimantan Barat tahun 2010-2012. Diunduh
dari https://media.neliti.com/media/publications/193104-ID-gambaran-status-anemia-
pada-pasien-tuber.pdf, 15 Februari 2020
10. Oehadian A. Aspek hematologi tuberkulosis. Diunduh dari
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2009/11/aspek_hematologi_tuberkulosis.pdf, 18 Februari 2020
11. Baldy CM. Komposisi darah dan sistem makrofag-monosit. Dalam:
Patofisiologi (Konsep klinis proses-proses penyakit) edisi 6 volume 1. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2006. p.250-2.
12. Hartini S. Pemeriksaan laju endap darh pada pasien tuberkulosis paru. Diunduh dari
http://ptki.ac.id/jurnal/index.php/readystar/article/view/13, 18 Februari 2020
13. Thermofisher scientific. PCT: sepsis diagnosis and monitoring. Februari 2017. Diunduh
dari https://www.procalcitonin.com/images/downloads/brahms-pct-procalcitonin-
clinical-guide-en.pdf, 16 Februari 2020
14. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W, editor. Kapita Selekta
Kedokteran Jilid 2, Ed. 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2000. h. 459-61.

31

Anda mungkin juga menyukai