Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi menular yang


disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan paling sering bermanifestasi di
paru.1Mycobacterium ini ditransmisikan melalui droplet di udara dari seorang
penderita tuberkulosis paru yang merupakan sumber penyebab penularan utama
terhadap populasi di sekitarnya.1,2 Tuberkulosis (TB) paru merupakan salah satu
dari 1o penyebab kematian di dunia dan penyebab utama agen infeksius. World
Health Organization (WHO) pada tahun 2017 melaporkan 10 juta kasus TB baru
di tingkat global tahun 2018 dengan 5,8 juta laki-laki, 3,2 juta perempuan dan 1
juta anak-anak..4
Jumlah kasus TB lebih banyak ditemukan di Asia Tenggara pada tahun
2017. Negara dengan High TB Burden diperkirakan 87% dari kasus dunia, seperti
India (27%), China (29%), Indonesia (8%).4Indonesia juga mengalami
peningkatan penemuan kasus TB dari tahun ke tahun. Jumlah kasus baru TB di
Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017 (data per 17 Mei 2018)
(INFODATIN 2018)3Berdasarkan Global TB Report tahun 2018, diperkirakan
terdapat 842.000 kasus TB, atau 319 per 100.000 penduduk, dengan angka
kematian akibat TB yang masih tinggi yaitu 64.000, sebanding dengan 25 per
100.000 penduduk.4 Survei prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 mendapatkan
bahwa wilayah Sumatera menempati peringkat ke-dua tertinggi angka prevelansi
TB BTA positif di Indonesia yaitu 90 per 100.000 penduduk.2
Pengendalian TB paru saat ini dihadapkan kepada tantangan baru dengan
tingkat kompleksitas yang tinggi seperti ko-infeksi TB dengan infeksi HIV, TB
yang resisten obat dan tantangan lainnya seperti komorbid TB terhadap penyakit
kronis seperti diabetes melitus (DM).1,3 Badan kesehatan dunia mendefinisikan
negara dengan beban tinggi / high burden countries (HBC) untuk TB berdasarkan
3 indikator yaitu TB, TB/HIV dan MDR-TB. Indonesia bersama 13 negara lain,
masuk dalam daftar HBC untuk ke 3 indikator tersebut. Artinya, Indonesia
memiliki permasalahan besar dalam menghadapi penyakit TB.3

1
Sasaran nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) yang tertuang pada Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang
SDGs menetapkan target prevalensi TB pada tahun 2019 menjadi 245 per 100.000
penduduk.3
Berdasarkan hal di atas, penulis tertarik membahas tentang kasus TB
sehingga kita bisa menatalaksana kasus TB dengan tepat sehingga menurunkan
angka kejadian dan kematian akibat TB.

2
BAB II

ILUSTRASI KASUS

Pasien perempuan umur 24 tahun datang berobat poli paru dengan:

Keluhan utama: Batuk sejak 3 bulan yang lalu

Riwayat penyakit sekarang:

 Batuk sejak 3 bulan yang lalu, tidak berdahak, bersifat hilang


timbul,pasien hanya minum obat warung, dan tidak pernah ke
dokter.
 Batuk darah tidak ada, riwayat batuk darah tidak ada
 Nyeri dada tidak ada.
 Sesak nafas tidak ada.
 Demam tidak ada.
 Keringat malam ada sejak 1 bulan ini, bersifat hilang timbul.
 Penurunan nafsu makan ada.
 Penurunan berat badan ada yaitu 6 kg selama 3 bulan ini.
 Benjolan di leher kanan sebanyak 3 buah sejak 6 bulan yang
lalu.,sebesar biji jagung, tidak nyeri, warna sama dengan kulit
 Mual tidak ada, muntah tidak ada, nyeri ulu hati tidak ada
 BAK dan BAB tidak ada keluhan
 Pasien telah dilakukan swab PCR di Puskesmas dengan hasil negatif.

Riwayat penyakit dahulu:

 Riwayat TB sebelumnya tidak ada


 Riwayat DM, Hipertensi, dan penyakit jantung tidak ada

Riwayat penyakit keluarga:

 Riwayat TB ada, Ibu pasien minum OAT 6 bulan tuntas, tapi tidak
ingat tahun berapa.
 Riawayat DM, Hipertensi dan penyakit jantung tidak ada

Riwayat ekonomi, kebiasaan, sosial, budaya:

 Pasien seorang pembuat parfum


 Tidak merokok

3
Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : sedang

Kesadaran : CMC

Tekanan darah : 110/ 70 mmHg

Nadi : 90x/i

Nafas : 20x/i

Suhu : 36, 7o C

TB : 155 cm

BB : 44 kg

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik

Leher : JVP 5-2 cmH2O

Kanan : teraba KGB ukuran 2 cm x 2 cm x 1 cm, sewarna kulit, tidak terfiksir,

tidak nyeri, tidak panas

Torak

Paru

Inspeksi : statis : pergerakan kiri = kanan

Dinamis : pergerakan dada kiri sama dengan kanan

Palpasi : Fremitus kiri sama dengan kanan

Perkusi : sonor

Auskultasi : SN bronkovesikular, rhonchi -/-, wheezing -/-

Ekstremitas

Edema : -/-

4
Rontgen Thorak (23 Desember 2020):

Tampak infiltrat di kedua lapang paru,kesan : TB Paru

Diagnosa kerja : Susp TB Paru + Susp Limfadenitis TB

Rencana:

 Cek BTA I, II
 Cek TCM
 Pemeriksaan BAJH KGB coli Dextra dan Sinistra
 Cek rapid test HIV

Follow up hari Selasa tanggal 5 Januari 2021

Pasien kontrol poli Paru RSUP MDjamil dengan membawa hasil pemeriksaan
TCM dan BAJH KGB

S/ Batuk ada, bersifat hilang timbul

Demam tidak ada

O/

Keadaan umum : sedang

Kesadaran : CMC

5
Tekanan darah : 110/ 70 mmHg

Berat Badan : 45 kg

Nadi : 90x/i

Nafas : 20x/i

Suhu : 36, 7o C

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik

Leher : JVP 5-2 cmH2O

Kanan: teraba KGB ukuran 2 cm x 2 cm x 1 cm, sewarna kulit, tidak

terfiksir, tidak nyeri, tidak panas

Torak

Paru

Inspeksi : statis : pergerakan kiri = kanan

dinamis : pergerakan dada kiri sama dengan kanan

Palpasi : fremitus kiri sama dengan kanan

Perkusi : sonor

Auskultasi : SN bronkovesikular, rhonchi -/-, wheezing -/-

Hasil Pemeriksaan BAJH KGB Dextra (24/12/2019):

Tampak massa nekrosis dan beberapa sel limfosit. Tak tampak sel sel
spesifik dalam sediaan ini. Anjuran: Ulangi bajah jika nodul tidak
berkurang setelah terapi.

Hasil Pemeriksaan BTA I,II (30/12/2020) :

positif/ positif

Hasil Pemeriksaan TCM (30/12/2020)

MTB detected Medium

Rifampicin Resistance Not Detected

Hasil pemeriksaan rapid test (30/12/20) : non reaktif

6
Hasil pemeriksaan darah (30/12/20):

Hb : 10,9 g/dl HbA1C : 4,9 %

Leukosit : 7.720 /mm3

Trombosit : 385.000 /mm3

Ht : 36%

Diffcount : 0/1/3/65/24/7

GDP : 76 mg/dl

GD2jPP : 99 mg/dl

Ureum : 5 mg/dl

Creatinin : 0,7 mg/dl

Total protein : 7,1 g/dl

Albumin : 3,8 g/dl

Globulin : 3,3 g/dl

Bilirubin Total: 0,3 mg/dl

SGOT : 15 u/l

SGPT : 11 u/l

A/ TB Paru Kasus Baru Terkonfirmasi Bakteriologis + Susp Limfadenitis TB

P/ Rencana masuk OAT kategori 1

INH 1x 300 mg (PO)

Rifampicin 1 x 450 mg (PO)

Etambutol 1 x 750 mg (PO)

Pirazinamid 1 x 1000 mg (PO)

Vitamin B6 1 x 10 mg (PO)

R/ Cek GDP + GD2jPP

Kontrol poli paru tanggal 29 Januari 2021

7
BAB III

DISKUSI

Seorang pasien perempuan datang berobat ke poli paru dan diagnosis


dengan TB Paru kasus baru terkonfirmasi bakteriologis + susp. Limfadenitis TB.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Berdasarkan teori, pasien TB paru memiliki gejala klinis berupa gejala
lokal dan gejala sistemik. Jika organ yang terkena adalah paru, maka gejala lokal
adalah gejala respiratori (gejala local sesuai organ yang terlibat). Gejala
respiratorik dapat berupa batuk ≥ 2 minggu, batuk berdarah, sesak napas dan nyeri
dada. Gejala respiratorik ini bervariasi mulai dari tidak ada gejala sampai gejala
yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Gejala sistemik dapat berupa demam,
malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun. Gejala TB Ekstraparu
pada limfadenitis TB akan terjadi pembesaran kelenjar getah bening (KGB) yang
lambat dan tidak nyeri5

Definisi kasus TB terdiri dari dua, yaitu a) pasien TB yang terkonfirmasi


bakteriologis yaitu pasien TB yang terbukti positif pada hasil pemeriksaan contoh
uji biologiSuara napasya (sputum dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis
langsung, TCM sputum, atau biakan. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah
pasien TB paru BTA positif, pasien TB paru MTB detected, pasien TB dengan
TCM positif, dan TB paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA,
biakan maupun tes cepat. b) pasien TB terdiagnosis klinis adalah pasien yang
tidak memenuhi kriteria diagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai
pasien TB aktif oleh dokter dan diputuskan untuk pemberian OAT, termasuk
dalam kelompok ini TB paru BTA negatif dengan rontgen toraks mendukung TB
paru, TB BTA negatif tidak perbaikan dengan antibiotik non OAT dan
mempunyai faktor risiko TB.5

Dari anamnesis pasien mengeluhkan batuk sejak 3 bulan yang lalu, tidak
berdahak, bersifat hilang timbul. Batuk merupakan refleks pertahanan yang timbul
akibat iritasi percabangan trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk merupakan

8
mekanisme yang penting untuk membersihkan saluran nafas bagian bawah.
Rangsangan yang biasanya menyebabkan batuk adalah rangsangan mekanik,
kimia, dan peradangan. Proses peradangan batuk ini dicetuskan oleh adanya benda
asing oleh tubuh. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien
mungkin tidak ada gejala batuk.5

Pasien juga mengeluhkan benjolan di leher kanan sejak 6 bulan yang lalu.
Awalnya sebesar biji jagung ukuran 2 cm x 2cm x 1cm. Limfadenitis adalah
presentasi klinis paling sering dari TB ekstrapulmoner. Limfadenitis TB juga
dapat merupakan manifestasi lokal dari penyakit sistemik. Pasien biasanya datang
dengan keluhan pembesaran kelenjar getah bening yang lambat. Limfadenitis TB
paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis, kemudian diikuti
berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris, mesenterikus, portal
hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis.9

TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit, yaitu:13

1. TB ekstra paru ringan


a. TB kelenjar limfe
b. Pleuritis eksudatifa TB unilateral
c. TB tulang (kecuali tulang belakang)
d. TB pada sendi
e. TB pada kelenjar adrenal
2. TB ekstra paru berat
a. Meningitis TB
b. TB Milier
c. Spondilitis TB
d. Peritonitis TB
e. Pleuritis Eksudatifa TB bilateral
f. TB usus

Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung organ


yang terlibat. Pada TB paru, kelainan tergantung luas kerusakan struktur paru.
Pada awal perkembangan penyakit sulit ditemukan kelaianan. Pada pemeriksaan

9
fisik dapat ditemukan suara nafas bronkial, amforik, suara nafas melemah, ronki
basah, tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum. 5 Pada pasien ini
ditemukan suara nafas bronkovesikular, tidak ada ronki dan wheezing.

Pada limfadenitis TB, terlihat pembesaran KGB, tersering di leher, kadang


– kadang di ketiak. Pada pasien ini ditemukan pembesaran KGB di
kanan,berjumlah 3 buah, seawarna kulit, tidak terfiksir dan tidak nyeri. Menurut
Jones dan Campbell dalam Mohapatra (2009)9 limfadenopati tuberkulosis perifer
dapat diklasifikasikan ke dalam lima stadium yaitu:

1. Stadium 1, pembesaran kelenjar berbatas tegas, mobile dan diskret.


2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksir ke jaringan
sekitar oleh karena adanya periadenitis.
3. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat
pembentukan abses.
4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess.
5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus.

Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit.


Kelenjar limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali, terjadi infeksi sekunder
bakteri, pembesaran kelenjar yang cepat atau koinsidensi dengan infeksi HIV.
Abses kelenjar limfe dapat pecah, dan kemudian kadang-kadang dapat terjadi
sinus yang tidak menyembuh secara kronis dan pembentukan ulkus. Pembentukan
fistula terjadi pada 10% dari limfadentis TB servikalis.9,10
Pada pemeriksaan rontgen thorak PA, TB dapat memberikan gambaran
bermacam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai lesi aktif :
bayangan berawan/nodular, di segmen apical dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah.. Kemudian gambaran kavitas, bercak milier, dan
efusi pleura. Pada rontgen torak PA pasien ini, tampak infiltrat pada kedua
lapangan paru terutama di apeks kanan dan kiri serta lapangan paru kiri.12

Luas lesi yang tampak pada foto torak untuk kepentingan pengobatan,
dibagi menjadi:

1. Lesi minimal (minimal lesion)

10
Jika proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak
lebih dari volume paru yang terletakndi atas chondrosternal junction dari
iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau
korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti.
2. Lesi luas (far advanced)
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.13

Kemudian pasien direncanakan pemeriksaan sputum BTA I, II dan TCM


serta pemeriksaan BAJH KGB Dextra . Pada pemeriksaan BTA I , II di dapatkan
hasil positif/positif dan pada pemeriksaan TCM didapatkan hasil pemeriksaan
MTB detected Medium Rifampicin Resistance Not Detected. Sehingga pasien
didiagnosis TB Paru Kasus Baru Terkonfirmasi Bakteriologis.

Pemeriksaan BAJH (Biopsi Aspirasi Jarum Halus) merupakan salah satu

prosedur untuk mendiagnosis limfadenitis TB yang simpel, aman, dan murah.

Selain memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 78,95% dan

90,32% menurut penelitian dari Qasmi dkk (2012)14

Dari hasil sampel yang didapat dari pemeriksaan BAJH, dilakukan


pemeriksaan Patologi Anatomi (PA) yang menunjukkan gambaran granuloma
yang ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh
limfosit. Granuloma tersebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area
nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya adalah
ditemukannya multinucleated giant cell (sel datia Langhans). Diagnosis
histopatologi dapat ditegakkan dengan menemukan perkijuan (kaseosa), sel
epiteloid, limfosit, dan sel datia Langhans. Kadang dapat ditemukan juga BTA.15,16

Hasil Pemeriksaan BAJH KGB Dextra pasien ini adalah tampak massa
nekrosis dan beberapa sel limfosit, tak tampak sel-sel spesifik . Anjuran: Ulangi
bajah jika nodul tidak berkurang setelah terapi.

Kendala pemeriksaan PA adalah sulitnya didapatkan spesimen yang


representatif. Spesimen yang paling mudah dan paling sering diperiksa adalah

11
limfadenopati kolli. Idealnya kelenjar diambil secara utuh agar gambaran
histopatologi yang khas dapat terlihat.15,16
Pada pasien ini diberikan terapi OAT kategori I dengan regimen 2(HRZE)/
4 (HR) dengan obat tunggal yang dosisnya disesuaikan dengan berat badan
pasien yaitu INH 1x 300 mg , Rifampicin 1 x 450 mg , Etambutol 1 x 750 mg,
Pirazinamid 1 x 1000 mg. dan diberikan vitamin B6 1 x 10 mg, sambil kita
mengevaluasi pembengkakan yang terjadi di daerah leher berkurang atau
tidaknya. Pemberian OAT pada TB bertujuan menghilangkan rantai penularan,
mengobati infeksi yang terjadi, mencegah kematian, dan mencegah kekambuhan
atau resistensi terhadap OAT. 2,5

Tabel 1 Jenis dan dosis OAT


Obat Dosis Harian Intermitte Dosis <40 Dosis > 60
(Mg/ n maks (mg)
KgBB/ha (mg) 40-
ri 60mg

R 8-12 10 10 600 300 450 600


H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500

Dikutip dari (5)

Tabel 2 Jenis dan dosis OAT FDC


Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
(tiap hari selama 2 (3 kali seminggu selama 4
bulan) bulan)
30 – 37 kg 2 tablet 4FDC 2 tablet 2 FDC
38 – 54 kg 3 tablet 4FDC 3 tablet 2 FDC
55 – 70 kg 4 tablet 4 FDC 4 tablet 2 FDC
70 kg 5 tablet 4 FDC 5 tablet 2 FDC
Dikutip dari (5)

Prinsip pengobatan TB ekstraparu tidaklah berbeda dengan TB paru


seperti yang dinyatakan oleh American Thoracic Society22,23 Pada kasus TB
dengan penyulit terdapat perbedaan pada dosis, waktu pengobatan, dan kombinasi

12
obat, seperti TB meningitis, TB tulang, yang memiliki penanganan berbeda.
Pemberian terapi selama 6 bulan merupakan standar yang dipakai untuk
pengobatan TB paru dan TB ekstraparu secara umum. Dosis OAT adalah dosis
individual yang sesuai dengan berat badan.12,20,23

Pada pasien ini juga dilakukan pemeriksaan rapid test dan gula darah
puasa dan gula darah 2 jam pos prandial untuk penelusuran HIV dan DM sebagai
faktor immunokompromise pada pasien TB. Pada pasien ini didapatkan hasil rapid
test nonrekatif dan gula darah normal.

Terkait dengan pengendalian TB saat ini mendapat tantangan lain seperti


TB resistensi obat (MDR-TB), koinfeksi TB-HIV dan tantangan lain dengan
tingkat kompleksitas yang semakin tinggi.21 Pandemi HIV/AIDS di dunia akan
berdampak pada peningkatan jumlah kasus TB di masyarakat. TB adalah penyakit
infeksi yang paling banyak diderita oleh ODHA dan merupakan penyebab utama
kematian pada ODHA (sekitar 40 – 50%). Bila dibandingkan dengan orang yang
tidak terinfeksi HIV, maka orang yang terinfeksi HIV beresiko 10 kali lebih besar
untuk mendapatkan sakit TB. Sekitar 25% diantaranya adalah TB ekstra paru.20

13
BAB IV

KESIMPULAN

1. Telah ditatalaksana seorang pasein wanita umur 24 tahun di poli paru RSUP
dr. M. Djamil dengan diagnosis awal susp TB paru + susp Limfadenitis TB
dan diagnosis akhir TB paru kasus baru terkonfirmasi bakteriologis + susp
susp Limfadenitis TB.
2. Diagnosis TB paru didukung dari pemeriksaan BTA yang positif dan hasil
TCM yang menunjukkan hasil MTB detected medium..
3. Diagnosis Limfadenitis TB tidak dapat ditegakkan karena hasil pemeriksaan
patologi anatomi dari hasil sampel BAJH KGB tidak menunjukkan
gambaran khas untuk Limfadenitis TB, tetapi dari klinis pasien mendukung
ke arah limfadenitis TB
4. Pasien memiliki kasus TB paru kasus baru terkonfirmasi bakteriologis dan
TB ekstra paru yang diterapi dengan panduan OAT kategori I dengan
regimen 2(HRZE)/ 4(HR) sesuai Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis 2014.
5. Penyakit TB dapat dicegah dan diobati, pentingnya edukasi dan penjelasan
dari petugas kesehatan kepada penderita TB terhadap pengobatan TB dan
komplikasi serta kerugian yang mungkin terjadi jika tidak diobati.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian


Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010 - 2014.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2014.h.1-20
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2014. h.2-24
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Tuberkulosis. Jakarta: Pusat Data
dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. H1-8
4. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2018. Geneva: WHO
Press. 2018
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman, Diagnosis, dan
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: badan penerbit FKUI;
2016. h. 1-27
6. Michael RC, Michael JS. Tuberculosis in otorhinolaryngology: clinical
presentation and diagnostic challenges. International journal of
otolaryngology. 2011:686-94.
7. Broek P. Acute and Chronic Laryngitis. In: Scott Browns Otolaryngology.
Laryngology Head and Neck Surgery. 6th eds. Philadelphia: Awolters
Kluwer Company; 1997. p.14-5.
8. Spelman D. Tuberculous Lymphadenitis. [Online] 2013 [cited 2019 January
15]. Available from: www.uptodate.com.
9. Sharman SK, Mohan A. Extrapulmonary Tuberculosis. Indian Journal of
Medicine Mikrobiologi Res.2004; p.317-321
10. Reis JG, Reis CS, da Costa DC, Lucena MM, Schubach Ade O, Oliveira Rde
V, et al. Factors Associated with Clinical and Topographical Features of
Laryngeal Tuberculosis. PLoS One. 2016;11(4).
11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman, Diagnosis, dan Tatalaksana
Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: badan penerbit FKUI; 2011. h. 16-17
12. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman, diagnosis, dan tatalaksana
tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: badan penerbit FKUI; 2006. h. 21

15
13. Qasmi SA, Kiani F, Malik AI, Salamtullah J. Farooq MO, Abassi MA.
Cervical Lymphadenopathy: A Common Diagnostic Dilemma. J Int Surgery
Pakistan. 2012;17 (2):76-80
14. Bazemore AW. Smucker DR. Lymphadenitis and malignancy. Am Fam
Physician. 2012;66:2103-10.

15. Robbins KT, Clayman G, Levine PA, Medina J, Sessions R. Neck dissetion
clasification update. Revision proposed by the American Head and Neck
Society and the American Academy of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2012;128:751-8.
16. Rohan R, Walveltar BC, Loehn M N, Wilson. Infection, infiltration and
benign neoplasm of the larynx. In: Bailey BJ,editors. Head and Neck Surgery
Otolaryngology. 5th editions. Philadelphia : Lippincont- Raven Publisher;
2014.p. 978-988.
17. Verma S, Mahajan V. Laryngeal tuberculosis co-existent with Pulmonary
tuberculosis. Int J of Pulmo Med. 2007;(10):1-3
18. Cohen JT, Safadi A, Fliss DM, Gil Z, Horowitz G. Reliability of a Transnasal
Flexible Fiberoptic Biopsy. JAMA Otolaryngol Head Neck Surg. 2013;
139(4): 341-5.
19. World Health Organization. Guidelines for Treatment of Drug-susceptible
Tuberculosis and Patient Care 2017 Update. Geneva: WHO Press. 2017;
p.16-18
20. American Thoracic Society. Treatment of Tuberculosis. America: Centers for
Disease Control and Prevention Disease Society of America; 2002.p.646-649
21. Official American Thoracic Society. Infectoius Diseases Society of America
Clinical Practice Guidelines: Treatment of Drug-Susceptible Tuberculosis.
America: Centers for Disease Control and Prevention; 2016.p856-860
22. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Tata Laksana
Klinis Koinfeksi TB-HIV. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;
2012. p. 1-16.
23. World Health Organization. TB/HIV: Clinical Manual, 2nd Edition. Geneva:
WHO Press; 2004.p.1-26

16
17

Anda mungkin juga menyukai