Anda di halaman 1dari 27

Referat Kepada Yth :

IRIGASI PADA EMPIEMA

Presentan : dr. Eka Irawan


Hari/Tanggal : Selasa / 7 Maret 2017
Waktu : 12.00 WIB
Tempat : Ruang Konferensi Bagian Pulmonologi
FK. Unand/RS Dr.M.Djamil Padang
Pembimbing : dr. Oea Khairsyaf Sp.P (K)
dr. Russilawati Sp.P

Oponent : dr. M. Fajri


dr. Ulfahimayati
dr. Khairuddin Hamdani

BAGIAN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS /
RS.Dr.M.DJAMIL
PADANG
2017
DAFTAR ISI

Hal

DAFTAR ISI........................................................................................................................i

DAFTAR TABEL .............................................................................................. ii

DAFTAR GAMBAR....................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... ........ 1

BAB II DEFINISI, ETIOLOGI, DAN PATOGENESIS EMPIEMA ........ 3


2.1 Definisi Empiema ............................................................ 3

2.2 Etiologi Empiema ............................................................ 3

2.3 Patogenesis Empiema ............................................................ 4

BAB III DIAGNOSIS DAN MANIFESTASI KLINIS EMPIEMA ....... 9


3.1 Diagnosis Empiema .................................................................. 9
3.2 Klasifikasi Klinis ........................................................................ 11

BAB IV IRIGASI PADA EMPIEMA ...................................................... 12


4.1 Aspirasi dan Instilasi dengan Antibiotika ........................... 14
4.2 Irigasi Tertutup ...................................................................... ...... 15
4.3 Irigasi Terbuka ....................................................................... 19

4.3.1 Video – assisted thoracoscopy surgery ............................ 19

4.3.2 Dekortikasi ............................................................ 19

4.3.3 Torakostomi terbuka ................................................. 20

BAB V KESIMPULAN ...................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 22

i
DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1 Efusi ParaPneumonia .................................................................. 12

Tabel 2 Tingkatan Efusi parapneumonia menurut BTS ...................... 15


DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 1 Tahapan dari Efusi Parapneumonia ................................................ 7

Gambar 2 Algoritma manajemen diagnostik infeksi pleura ....................... 13

Gambar 3A Foto toraks lateral posisi pemasangan chest tube ......................... 17

Gambar 3B Posisi pemasangan chest tube di anterior dan aksila dada kiri ...... 17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Empiema saat ini masih menjadi masalah penting dalam bidang penyakit paru. Angka
kematian penyakit ini berkisar antara 5 hingga 30 persen dengan insidens bervariasi berdasar
kondisi komorbid. Penelitian lain melaporkan bahwa 5-10% pasien pneumonia yang dirawat
di rumah sakit berkembang menjadi empiema dan angka kematian meningkat secara
bermakna dibandingkan pasien pneumonia tanpa empiema. Angka kematian juga akan
meningkat hingga 40% pada immunocompromised.1 Walaupun terapi antibiotika berkembang
pesat, drainase pleura memadai dan pembedahan dekortikasi tersedia, terapi ini belum dapat
menurunkan angka kematian empiema. Pada 20-30% pasien empiema, pemberian antibiotika
dan drainase dengan perkutaneous chest tube gagal mengendalikan infeksi.2
Sejak ditemukannya antibiotik, penyakit ini diperkirakan sudah jauh berkurang,
namun meskipun demikian morbiditas maupun mortalitasnya masih cukup tinggi.3,11,13 Di
Inggris angka kejadian Pneumonia dilaporkan sebanyak 5 sampai 11 kasus per 1000 populasi,
dan 40 – 57% disertai empiema. Di bagian Paru RSU Dr. Soetomo Surabaya tahun 2000 -
2004, dirawat sebanyak 1,07 – 1,29% penderita dengan empiema toraks, dengan
perbandingan pria : wanita = 3,4: 1.3Efusi parapneumonia (EPP) adalah penyebab utama
Empiema toraks (ET), sekitar 20-60 % pasien yang dirawat karena pneumonia akan menjadi
efusi parapneumonia dan 5-10% akan menjadi empiema toraks.4 Sebanyak 60-70 % pasien
dengan empiema memiliki penyakit dasar yang serius. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
dan tumor paru mempunyai kontribusi sekitar sepertiga dari pasien dengan empiema. Infeksi
bakteri dan virus mempunyai peran dalam timbulnya empiema. Hampir 50% pasien dengan
empiema menunjukkan infeksi bakteri Streptococcus pneumonia, Staphylococcus aureus,
bakteri gram negatif seperti Klebsiella pneumoniae dan bakteri anaerob. Infeksi virus dan
mikoplasma hanya terjadi pada sebagian kecil pasien dengan empiema.1
Sampai saat ini terapi ET masih terus diteliti. Tahun 1875 Gotthard Biilau melakukan
irigasi tertutup dengan menggunakan chest tube pada ET tetapi Berger dkk menyatakan
bahwa irigasi secepatnya pada pasien ET dapat dilakukan pada semua pasien. Fishman dkk
menyarankan pada pasien dengan imunokompromissed secepatnya dilakukan dekortikasi.4,5
Berdasarkan The American College of Chest physicians (ACPP) dan the British Thorasic
Society (BTS) irigasi intrapleura sangat disarankan pada efusi parapneumonia komplikasi.3

1
Keberhasilan terapi dipengaruhi oleh penyakit yang mendasarinya dan penggunaan
antibiotik. Penggunaan antibiotik menurunkan insiden ET 60%-70% yang disebabkan oleh
Streptococcus pneumonia. Terapi ET yang optimal saat ini masih kontroversial. Terapi yang
dilakukan ialah pemberian antibiotik dengan atau tanpa kombinasi dengan Chest tube dan
dekortikasi. Diagnosis dan terapi yang cepat dapat mengurangi angka kesakitan dan
kematian.5,6 Dalam mengelola penderita empiema, faktor utama yang mempengaruhi
mortalitas dan morbiditas adalah tindakan yang bertujuan untuk mengosongkan pus dan
menutup rongga pleura. Untuk memperbaiki morbiditas, diperlukan diagnosa dan pendekatan
pengobatan sedini mungkin.7
Efusi parapneumonia adalah penyebab utama dari efusi pleura eksudatif dan terutama
disebabkan oleh pneumonia komuniti atau pneumonia nosokomial. Klasifikasi EPP dibagi
menjadi tiga yaitu efusi parapneumoni tidak terkomplikasi yang diterapi dengan antibiotik,
EPP komplikasi diterapi dengan irigasi rongga pleura untuk mencegah sepsis dan empiema,
tahap terakhir ialah empiema diterapi dengan antibiotik dan irigasi pus. 1 Prinsip dari
tatalaksana empiema adalah harus segera mengevakuasi pus dari rongga pleura,
tatalaksananya cukup sulit oleh karena itu penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut
tentang irigasi pada empiema sebagai tatalaksana dari empiema.
BAB II
DEFINISI, ETIOLOGI, DAN PATOGENESIS
EMPIEMA

2.1 Definisi Empiema

Empiema toraks (ET) adalah akumulasi pus dirongga pleura dapat bersekat atau tidak
bersekat. Semua efusi pleura yang berhubungan dengan pneumonia bakteri, abses paru atau
bronkiektasis disebut efusi parapneumonia (EPP). Sedangkan dikatakan empiema apabila
akumulasi pus di rongga pleura dimana pemeriksaan cairan pleura didapatkan berat jenis lebih
dari 1.018, jumlah leukosit lebih dari 500sel/mm 3 atau protein lebih dari 2,5 g/dl. Vianna
mendefinisikan empiema dengan hasil kultur cairan pleura positif atau leukosit lebih dari
15000/mm3 dan protein lebih dari 3,0 g/dl.8,9

2.2 Etiologi Empiema


Penimbunan nanah pada rongga pleura disebabkan oleh invasi kuman piogenik
kedalam pleura, dapat terjadi melalui beberapa cara diantaranya : secara langsung dari
infiltrat pneumoni, penyebaran limpatika dari penyakit mediastinum, paru, dinding dada dan
diafragma, penyebaran hematogen, inokulasi dari trauma tusuk, ruptur viscera abdomen ke
rongga dada, perluasan infeksi subdiafragma.10
Penulis yang lain menyatakan penyebab dari empiema toraks:3,7,10
1. Infeksi yang berasal dari paru
2. Trauma
3. Penyebaran ”Transdiapragma”
Pneumonia dan abses paru adalah penyebab utama EPP yang akhirnya menyebabkan
efusi pleura eksudatif. Penelitian yang dilakukan di Amerika mendapatkan hasil dari 1383
pasien dengan efusi parapneumonia 70% akan menjadi empiema toraks dan dari penelitian
juga mendapatkan hasil 20-57% dari 1 juta pasien di Amerika pasien yang dirawat inap
dengan pneumonia mendapatkan komplikasi parapneumonia.11 Acharya dan Shah melaporkan
dari 40 pasien, 65% etiologinya tuberkulosis. Pada 21 paien (63,6)% ternyata tidak
ditemukan pertumbuhan kuman (steril). Tingginya kultur yang negatif berkorelasi dengan
tingginya jumlah empiema tuberkulosis.12 Infeksi bakteri dan virus mempunyai peran dalam
timbulnya empiema. Hampir 50% pasien dengan empiema menunjukkan infeksi bakteri
Streptococcuspneumoniae, Staphylococcus aureus, bakteri gram negatif seperti Klebsiella
pneumoniae dan bakteri anaerob. Infeksi virus dan mikoplasma hanya terjadi pada sebagian
kecil pasien dengan empiema.1
Penelitian retrospektif yang dilakukan Chen dkk antara tahun 1989 sampai 1998
diNational Taiwan University Hospital, mendapatkan hasil kuman yang paling banyak
ditemukan dari kultur adalah bakteri anaerob gram negatif (49,6%) dengan jenis terbanyak
adalah Klebsiella pneumoniae (24,4%)13. Dari penelitian retrospektif yang dilakukan Cheng
dkk dari tahun 1992 sampai 2004 di rumah sakit pendidikan diLos Angeles didapatkan hasil
kuman yang paling banyak adalah bakteri aerob Streptococcus viridians dan Streptococcus
pneumoniae.14 Penelitian oleh Helmi dkk pada bulan Desember 1986 sampai September1988
di RS Pringadi dan balai pengobatan penyakit paru Medan dari 50 pasien empiema yang
diteliti didapatkan kuman pada 18 pasien dengan jenis terbanyak Steptococcus sp,
Pseudomonas aeruginosa, Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus.

2.3 Patogenesis Empiema


Rongga pleura merupakan suatu rongga potensial yang terdiri dari lapisan pleura
viseral dan parietal, berisi sedikit cairan yang memisahkan kedua lapisan tersebut.Cairan
pleura ini akan selalu dibentuk dan diserap secara terus menerus dengan kecepatan yang
sama. Ketidakseimbangan antara pembentukan dan absorbsi cairan pleura akan
menyebabakan efusi pleura.19 Cairan pleura dihasilkan oleh proses filtrasi pembuluh kapiler
pleura parietal dan diserap kembali oleh pembuluh kapiler pleura viseral serta pembuluh getah
bening. Penumpukan cairan yang berlebihan di dalam rongga pleura berupa transudat dan
eksudat disebut efusi pelura. Empiema merupakan bentuk variasi dari efusi pleura.
Penumpukan cairan pleura terjadi bila pembentukan cairan lebih besar dari penyerapan
kembali melalui saluran getah bening. Cairan pleura akan terus menumpuk sampai
tercapainya suatu keseimbangan yang baru. Mekanisme terjadinya penumpukan cairan di
dalam rongga pleura disebabkan oleh: 10,11

1. Meningkatnya tekanan hidrostatik di dalam sirkulasi mikrovaskular


2. Menurunnya tekanan onkotik di dalam sirkulasi mikrovaskular
3. Menurunnya tekanan negatif di dalam rongga pleura
4. Bertambahnya permeabilitas dinding pembuluh darah pleura
5. Terganggunya penyerapan kembali cairan pleura ke pembuluh getah bening
Efusi parapneumonia terjadi pada pneumonia bakterialis yang berlokasi dekat
permukaan pleura dan menyebabkan peradangan pleura yang meningkatkan produksi cairan
pleura. Cairan pleura yang terbentuk mengandung jumlah leukosit dan konsentrasi Laktat
Dehidrogenase (LDH). Empiema terjadi bila infeksi bakteri menembus kerongga pleura dan
menyebabkan infeksi dalam rongga pleura. Cairan yang terbentuk pada empiema
mengandung banyak leukosit dengan pH rendah dan kadar LDH tinggi .12

Empiema merupakan suatu proses dinamik yang dapat berkembang melalui tiga stadium

yaitu: 1,14,19

Stadium 1 (fase eksudatif):

Proses peradangan yang mengakibatkan terkumpulnya cairan pleura jernih dengan


sedikit leukosit dalam rongga pleura simple parapneumonic effusion. Pada stadium ini terjadi
peningkatan cairan pleura yang steril akibat peningkatan permeabilitas kapiler pleura viseral.
Cairan eksudat steril ini mengandung leukosit Poli Morfo Nuclear (PMN), kadar glukosa
yang rendah dan pH yang normal. Pemberian antibiotik yang sesuai dapat menghambat
perkembangan efusi pleura dan tidak sampai diperlukan pemasangan Water Sealed Drainage
(WSD). Pemberian antibiotik yang tidak sesuai sebaliknya dapat memperberat keadaan
tersebut dan dapat berkembang menjadi stadium selanjutnya. Stadium eksudatif ini biasanya
terjadi dalam tempo 48 jam pertama.

Stadium 2 (fase fibropurulen) :

Pembentukan fibrin dalam rongga pleura tidak sesuai terbentuk septum dan lokulasi.
Cairan pleura yang terbentuk mengandung banyak leukosit, kental dan dapat berupa pus
(empiema). Pada stadium ini cairan lebih banyak lagi mengandung leukosit PMN, bakteri dan
sel-sel yang rusak. Terjadi pembentukan fibrin yang menyebabkan penurunan elastisitas paru.
Pada stadium ini didapatkan pH cairan pleura yang menurun, kadar glukosa menurun dan
LDH yang meningkat. Stadium ini dapat berlangsung selama beberapa hari hingga beberapa
minggu. Pengobatan dengan menggunakan antibiotik dan pemasangan WSD biasanya tidak
adekuat dan kadang diperlukan tindakan dekortikasi.

Stadium 3 (fase organisasi):

Ditandai dengan proliferasi fibroblas pada permukaan pleura sehingga membentuk


lapisan tidak elastis yang menghambat pengembangan paru yang adekuat atau membentuk
membran yang disebut pleural peel (fibrotoraks). Pada stadium ini bila tidak segera diobati
eksudat dapat menjadi purulen, nanah akan pecah dan keluar melalui dinding toraks empiema
necessitatis atau menembus paru sehingga terjadi fistula bronkopleura. Stadium organisasi ini
terjadi lebih kurang tujuh hari sampai beberapa minggu sesudah terjadi pneumonia,
tergantung dari virulensi bakteri dan beratnya infeksi penumonia.

Sebagian besar kasus pneumonia disebabkan aspirasi mikroorganisme dari orofaring. 4


Jika jumlah organisme lebih besar dari sistem imun tubuh maka akan terjadi pneumonia.
Masa inkubasi berkisar antara beberapa hari sampai satu minggu. Pneumonia akan terjadi
pada lobus tertentu di bagian perifer dan bila tidak mendapat terapi dengan baik akan
menyebar sentripetal ke hilum. Terapi yang tidak adekuat dua sampai lima hari akan
menyebabkan terjadi EPP. Efusi terbentuk karena peningkatan permeabilitas kapiler yang
disebabkan aktivasi sel neutrofil yang akan melepaskan zat-zat yang menyebabkan
peningkatan tekanan intertisial sehingga cairan pindah melalui mesotel ke rongga pleura.4,9
Akibat invasi kuman piogenik ke dalam pleura, timbul peradangan akut dengan
pembentukan eksudat serous yang mengandung kuman, cairan menjadi keruh dan adanya sel-
sel polimononuklear. Cairan mula-mula masih bebas dalam rongga pleura tapi kemudian
makin kental oleh karena bertambahnya sel-sel polimononuklear yang mati maupun hidup,
disamping adanya kenaikan kadar protein. Kemudian bentukan-bentukan fibrin diendapkan
diantara pleura, membentuk kantong tertutup yang melokalisir nanah dalam satu atau lebih
banyak kantong.15,16Beberapa penulis membagi empiema dalam empiema akut dan kronis,
dimana pembagian ini berdasarkan atas lamanya dan reaksi patologis yang terjadi, biasanya
dianggap kronis bila sudah berlangsung 3 bulan.16
Cairan pleura ada sebagian yang masuk ke kapiler di pleura visceral sehingga
meningkatkan permeabilitas dan pneumonia akan terjadi pada tahap ini, pemberian antibiotik
yang adekuat sangat di perlukan untuk mencegah empiema toraks sehingga pemasangan chest
tube tidak diperlukan. Tahapan terakhir dari empiema toraks adalah tahap organisasi. Tahap
organisasi sudah terbentuk fibroblas dari cairan eksudat sehingga terdapat pleural feel antara
pleura visceral dan parietal akibatnya pengembangan paru tidak sempurna sehingga
diperlukan penganan yang lebih invasif yaitu dekortikasi atau torakotomi terbuka.
Aspirasi bakteri dari orofaring

~ 2-7 hari

Pneumonia

TAHAP
~ 2-5 hari

EKSUDATIF EPP ringan

~ 5-10 hari

FIBROPURULEN EPP berat

~ 10-20 hari

ORGANISASI Empiema

Gambar 1. Tahapan dari Efusi Parapneumonia


Dikutip dari (1)
Infeksi paru dapat menyebabkan terjadinya empiema. Infeksi adalah komplikasi
yang paling sering terjadi. Sumber infeksi yang paling jarang termasuk sepsis abdomen, yang
mana pertama sekali dapat membentuk abses subfrenik sebelum menyebar ke rongga pleura
melalui aliran getah bening. Abses hati yang disebabkan Entamoeba histolytica mungkin juga
terlibat dan infeksi pada faring, tulang thoraks atau dinding thoraks dapat menyebar ke pleura,
baik secara langsung maupun melalui jaringan mediastinum.
Pleura dan rongga pleura dapat menjadi tempat sejumlah gangguan yang dapat
menghambat pengembangan paru atau alveolus atau keduanya. Reaksi ini dapat disebabkan
oleh penekanan pada paru akibat penimbunan udara, cairan, darah atau nanah dalam rongga
pleura. Penimbunan eksudat disebabkan oleh peradangan atau keganasan pleura, dan akibat
peningkatan permeabelitas kapiler atau gangguan absorbsi getah bening. Eksudat dan
transudat dibedakan dari kadar protein yang dikandungnya dan berat jenis. Transudat
mempunyai berat jenis <1,015 dan kadar proteinnya kurang dari 3%; eksudat mempunyai
berat jenis dan kadar protein lebih tinggi, karena banyak mengandung sel. Penimbunan cairan
dalam rongga pleura disebut efusi pleura.
Infeksi oleh organisme-organisme patogen menyebabkan jaringan ikat pada membran
pleura menjadi edema dan menghasilkan suatu eksudasi cairan yang mengandung protein
yang mengisi rongga pleura yang dinamakan pus atau nanah. Terjadinya empiema thoraks
dapat melalui tiga jalan :
1. Sebagai komplikasi penyakit pneumonia atau bronchopneumonia dan absces pulmonum,
oleh karena kuman menjalar per continuitatum dan menembus pleuravisceralis.
2. Secara hematogen , kuman dari focus lain sampai di pleura visceralis.
3. Infeksi dari luar dinding thorax yang menjalar ke dalam rongga pleura, misalnya pada
trauma thoracis, abses dinding thorax.
Terjadinya empyema akibat invasi basil piogenik ke pleura, timbul peradangan akut yang
diikuti dengan pembentukan eksudat serous dengan banyak sel-sel PMN baik yang hidup
ataupun mati dan meningkatnya kadar protein, maka cairan menjadi keruh dan kental. Adanya
endapan-endapan fibrin akan membentuk kantong-kantong yang melokalisasi nanah tersebut.
Apabila nanah menembus bronkus timbul fistel bronko pleura, atau menembus dinding
thoraks dan keluar melalui kulit disebut empyema nasessitatis. Stadium ini masih disebut
empyema akut yang lama-lama akan menjadi kronis. Biasanya empiema merupakan suatu
proses luas, yang terdiri atas serangkaian daerah berkotak-kotak yang melibatkan sebagian
besar dari satu atau kedua rongga pleura. Dapat pula terjadi perubahan pleura parietal. Jika
nanah yang tertimbun tersebut tidak disalurkan keluar, maka akan menembus dinding dada ke
dalam parenkim paru-paru dan menimbulkan fistula. Piopneumothoraks dapat pula menembus
ke dalam rongga perut. Kantung-kantung nanah yang terkotak-kotak akhirnya berkembang
menjadi rongga-rongga abses berdinding tebal, atau dengan terjadinya pengorganisasian
eksudat maka paru-paru dapat menjadi kolaps sertadikelilingi oleh sampul tebal yang tidak
elastis.17
BAB III
DIAGNOSIS DAN MANIFESTASI KLINIS EMPIEMA

3.1 Diagnosis Empiema

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan radiologis


dan analisis cairan pleura yang diambil saat torasentesis dan identifikasi kuman penyebab
pada pemeriksaan mikrobiologi. Gambaran klinis empiema biasanya gabungan tanda dan
gejala pneumonia seperti batuk, badan lemah dan panas sampai menggigil. Pada pemeriksaan
fisik dapat dijumpai suara napas dan fremitus melemah pada sisi yang sakit. Pasien dengan
empiema anaerob biasanya mempunyai riwayat aspirasi, kondisi komorbid yang mendasari,
hygiene mulut yang buruk dan sisa makanan yang dapat menjadi sumber penyakit.18

Gejala Efusi parapneumonia harus selalu dicuriga pada awal pemeriksaan terhadap
pasien dengan pneumonia karena keterlambatan drainase dari cairan pleura dapat
menyebabkan peningkatan angka kematian. Dengan pemeriksaan foto toraks posisi anterior-
posterior maupun lateral terlihat sudut kostrofrenikus yang tumpul ataupun berubahnya
puncak diafragma. Posisi lateral dekubitus diperlukan untuk mendeteksi cairan pleura yang
kurang dari 250 cc. Organ-organ mediastinum terlihat terdorong ke sisi yang berlawanan
dengan efusi. Air-fluid level dapat dijumpai jika disertai dengan pneumotoraks, fistula
bronkopleural. Foto toraks dengan diafragma normal tetapi tampak gambaran berkantong
yang terlokalisir sebaiknya juga diperiksa ultrasonografi (USG) toraks pada pemeriksaan
dapat menunjukkan adanya septa atau sekat pada suatu empiema yang terlokalisir,
pemeriksaan ini juga dapat membantu untuk menentukan letak empiema yang perlu dilakukan
aspirasi atau pemasangan pipa drain. Pada pemeriksaan computed tomography scan (CT scan)
bila melihat gambaran efusi dan dapat menunjukkan adanya suatu penebalan dari pleura.18
Selanjutnya dilakukan torakosentesis, cairan yang didapat diperiksa warna, purulensi,
viskositas, bau dan analisis cairan pleura. Cairan pleura berupa transudat tidak dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut.1,9
Pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis, peningkatan C-Reaktif Protein (CRP)
dan Laju endap darah (LED).2,6 Kultur darah menunjukkan hasil positif pada 10-22% kasus
empiema. Pengambilan cairan pleura perlu dilakukan untuk pemeriksaan analisis cairan
pleura dan pemeriksaan mikrobiologis. 6 Kriteria light merupakan baku emas yang dipakai
untuk membedakan cairan pleura transudat atau eksudat. Eksudat memiliki pH rendah, kadar
glukosa rendah (< 40 mg/dl) kadar LDH tinggi, konsentrasi leukosit yang tinggi (>10.000
U/L) dengan dominasi sel polimorfonuklear dan perbedaaan kadar albumin darah dan cairan
pleura < 1,2 g/dl.5,9

Sputum yang purulen biasanya dapat diidentifikasi kuman penyebab. Pemeriksaan


mikrobiologis standar untuk diagnosis empiema adalah pemeriksaaan langsung kuman
dengan pewarnaan gram dan kultur cairan pleura.3 Penelitian multisenter tahun 2002
menemukan hasil kultur positif hanya pada 17% kasus. 18 Penelitian lain menemukan hasil
kultur positif pada 48% kasus.4 Pemeriksaan lain untuk mendeteksi kuman penyebab
khususnya S.pneumonia adalah pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) DNA dan
deteksi antigen lateks.3

Analisis cairan pleura akan membantu klinisi untuk menentukan tahapan dari efusi
parapneumonia sehingga dapat menetukan terapi yang tepat. Hasil analisis cairan pleura
dengan PH< 7,28 menunjukan irigasi rongga pleura akan hasil yang baik bila glukosa cairan
pleura < 40 mg/dl, perbandingan glukosa cairan pleura dengan serum 0,5 dan LDH cairan
pleura > 1000 IU/L maka harus dilakukan irigasi. Pus aspirasi dari rongga pleura merupakan
empiema maka irigasi harus secepatnya dilakukan dan dilakukan pemeriksaan mikrobiologi.
Pasien dengan efusiparapneumonia yang terkomplikasi atau empiema disarankan untuk
pemeriksaan CT scan toraks dengan kontras untuk melihat dengan jelas kelainan di pleura. 1
Klasifikasi Light untuk efusi parapneumonia yang tidak signifikan, efusi parapneumonia yang
tipikal, borderline complicated pleural effusion, efusi parapneumonia dengan komplikasi
sederhana, efusi parapneumonia dengan komplikasi yang kompleks, empiema sederhana dan
kompleks empiema.9,10
Empiema toraks dapat difus atau bersekat-sekat yang diakibatkan oleh inflamasi
kronik dan dinding dari pleura parietal dan vosceral akan bersatu dengan kapiler yang rusak
dan fibroblas. Fibrin akan menempel pada pleura yang menyebabkan penebalan dari pleura
yang terbentuk 7-10 hari setelah onset dari efusi parapneumonia. Empiema toraks yang kronik
menyebabkan proses fibrosis terus berlangsung dan mengakibatkan restriksi dari pergerakan
dinding dada dan diafragma. Tetapi bila empiema diterapi dengan cepat dan adekuat maka
komplikasi tidak terjadi,5

10
3.2. Klasifikasi Klinis
Manifestasi klinis empiema sesuai dengan penyakit primernya, seringkali didapatkan
pasien kurang respons terhadap pengobatan dan penyakitnya dengan cepat berubah menjadi
berat. Gejala yang timbul seringkali bersifat akut, ada riwayat infeksi saluran napas
sebelumnya kemudian diikuti dengan meningkatnya distres pernapasan, dispnea, batuk,
muntah, anoreksia, letargi, sputum yang purulen dan demam yang berulang. Pada
pemeriksaan fisik didapati pekak pada perkusi. Menurunnya suara napas dan menghilangnya
taktil fremitus pada sisi yang sakit.1,15Tanda dan gejala empiema secara umum adalah :
- Demam
- Keringat malam
- Nyeri pleural
- Dispnea
- Anoreksia dan penurunan berat badan
- Auskultasi dada, ditemukan penurunan suara napas
- Palpasi , ditemukan penurunan fremitus
- Perkusi dada, suara flatness
Tanda gejala empiema berdasarkan klasifikasi empiema akut dan empiema kronis
A. Empiema akut:
- Panas tinggi dan nyeri pleuritik.
- Adanya tanda-tanda cairan dalam rongga pleura.
- Nanah yang tidak segera dikeluarkan akan menimbulkan fistel bronco-pleural.
- Gejala adanya fistel ditandai dengan batuk produktif bercampur dengan darah dan
nanah banyak sekali.
B. Empiema kronis:
- Disebut kronis karena lebih dari 3 bulan.
- Badan lemah, kesehatan semakin menurun.
- Clubbing finger.
- Terjadi fibrothorak trakea dan jantung tertarik kearah yang sakit.
- Pemeriksaan radiologi menunjukkan cairan.
BAB IV
IRIGASI PADA EMPIEMA

Irigasi pada empiema adalah : Tindakan pengaliran tertutup dengan menggunakan


Chest tube dan biasanya diikuti pembilasan berkala ke dalam rongga pleura dengan tujuan
mengevakuasi pus dari rongga pleura. Dalam mengelola penderita empiema, faktor utama
yang mempengaruhi mortalitas dan morbiditas adalah tindakan yang bertujuan untuk
mengosongkan pus dan menutup rongga pleura. 9 Tatalaksana Empiema toraks adalah
pemberian antibiotik, irigasi tertutup dan irigasi terbuka dari rongga pleura. Pemberian
antibiotik dapat tunggal atau dikombinasi dengan torakosentesis, tube thoracostomy,
fibrinolitik, torakoskopi, VATS dan dekortikasi.5 Tindakan yang akan dikerjakan tergantung
pada sifat empiema saat diagnosis pertama dibuat, yaitu: Fase eksudasi, Fase Fibrino purulen,
Fase organisasi 10,20

Tabel 1. Efusi Parapneumonia

Anatomi rongga Bakteriologi cairan Kimia cairan Kategori Risiko Irigasi


pleura pleura pleura Perburukan
A0 Minimal dan Bxkultur dan dan Cx pH 1 Sangat Tidakperlu
cairan pleura < gram tidak tidakdiketahui rendah
10 mm lateral diketahui
dekubitus

A1Cairan pleura dan B0 kultur dan gram dan C0 pH ≥ 7,20 2 Rendah Tidakperlu
> 10 mm dan < negatif
dari setengah
hemitoraks

A2 Cairan ≥
setengah atau B1kultur dan gram atau C1pH < 7.20 3 Sedang Perlu
hemitoraks, positif
bersekat dan
efusi dengan
pleura yang
tebal

B2 Pus 4 Tinggi Perlu

Dikutip dari (22)

Untuk memperbaiki morbiditas, diperlukan diagnosa dan pendekatan pengobatan sedini


mungkin, sehingga perlu kerangka acuan. British Thoracic Society (BTS) mengemukakan tata
cara penanganan Infeksi pleura sebagai berikut:30
Gambar 2. Algoritma manajemen diagnostik pasien dengan infeksi pleura

Anamnesa, Pemeriksaan fisik &


rontgen

Efusi pleura dan bukti


infeksi?

YA
MELIBATKAN DOKTER PARU
Nutrisi dan DVT profilaksis

Mulai antibiotik YA
Gagal pengambilan Pertimbangkan CT Scan dan
Aspirasi pleura diagnostik
Menggunakan panduan USG sampel? panduan aspirasi lanjutan
Kecil, efusi
lokulate?

PUS?
Tidak
Ulangi pengambilan
PH Cairan sample cairan
YA
Ulangi pengambilan
sample cairan
Pewarnaan gram
YA dan atau kultur
positif dan atau pH Amati kalau ada
Pasang chest tube Tidak
<7,2 indikasi klinis untuk
chest tube

Apakah pasien lebih baik? YA


(Cairan terkuras & sepsis Lepas chest Tube
meningkat) Hari 5-7

Tidak
Antibiotik
1. Check posisi tube dengan rontgen Pemeriksaan rawat
2. Perhatikan tube kumpulan sisa dengan jalan
gambaran CT scan kontras
3. Segera hubungi Bedah Thorax

Apakah pasien layak untuk Tidak Pertimbangkan besar lubang penguras;


pengobatan radikal? teknik bedah radikal, langkah-langkah
perawatan paliatif
YA

Terapi bedah

Dikutip dari (30)


4.1 Aspirasi dan Instilasi dengan Antibiotika
Beberapa penderita akan berhasil dengan cara pengobatan ini, bila pus encer atau tipis.
Pengeluaran pus dilakukan tiap 2 atau 3 hari sekali, agar produksi pus tidak berlebihan
dengan diikuti pemeriksaan radiologi. Pilihan awal terhadap antibiotik adalah secara empirik,
Pemberian antibiotik dapat secara sistemik ataupun instilasi intrapleura, didasarkan atas hasil
pewarnaan gram pada hapusan pus dan kuman-kuman yang paling mungkin pada kasus-kasus
tertentu. Pengobatan selanjutnya tergantung pada respons klinik pasien dan hasil kultur atau
sensitivitas dengan dosis dan cara pemberian yang tepat maka cairan akan menjadi steril
sesudah beberapa minggu dan cairan pus akan berkurang saat diaspirasi.10,18 Cairan pleura pH
<7,2, glukosa <40 mg/dl dan LDH >1000 IU/L mengindikasikan pasien membutuhkan
drainase cairan pleura.1,12 Sesuai prosedur penatalaksanaan antibiotik diberikan sampai pasien
tidak demam dan jumlah sel darah putih normal, drainase rongga pleura sudah tinggal <50
ml.2
Keberhasilan dari tatalaksana intervensi tergantung dari penyakit yang mendasari dan
penggunaan antibiotik yang digunakan dan dosis yang dipakai harus dapat masuk ke rongga
pleura dengan mudah seperti aminoglikosida tidak mudah masuk ke rongga pleura sedangkan
metronidazol sangat mudah masuk ke rongga pleura diikuti oleh penisilin, klindamisin,
vankomisin, ceftriaxon, gentamisin, kuinolon dan klaritromisin. Pasien dengan pneumonia
nosokomial yang tidak berat dapat diberikan flurokuinolon tunggal seperti levofloxacin,
moksifloxacin, gatifloxacin atau gemifloxacin. Pneumonia nosokomial yang berat curiga
infeksi Pseudomonas aeruginosa dapat diberikan beta laktam ditambah makrolid atau
fluroquinolon respirasi.9
Efusi para pneumonia adalah penyebab utama dari efusi pleura eksudatif dan terutama
disebabkan oleh pneumonia komuniti atau pneumonia nosokomial. Klasifikasi EPP dibagi
menjadi tiga yaitu efusi parapneumonia tidak terkomplikasi yang diterapi dengan antibiotik,
EPP komplikasi yang diterapi dengan irigasi rongga pleura untuk mencegah sepsis dan
empiema, tahap terakhir ialah empiema diterapi dengan antibiotik dan irigasi pus. 1 Klasifikasi
Transudat terdapat peningkatan tekanan hidrostatik dan penurunan tekanan onkotik. Efusi
pleura transudatif banyak terdapat pada penyakit jantung kongestif dan sirosis hepatis.1
Tatalaksana Empiema toraks terdiri dari observasi, torakosentesis, tube thoracostomy,
fibrinolitik intrapleura dan irigasi terbuka. Tujuan utama tatalaksana ialah menghilangkan
gejala dengan mengeluarkan cairan dari rongga pleura dan diikuti dengan terapi sesuai dengan
penyakit dasarnya. Empiema dan efusi parapneumonia memiliki tiga kategori yang dibagi
menjadi Kategori A, B dan C berdasarkan jumlah cairan, hasil kultur, PH cairan sehingga
dapat ditentukan klasifikasi, prognosis dan terapi.9

Tabel.2 Tingkatan Efusi Parapneumonia


Karakteristik Cairan Efusi Efusi Parapneumonia Empiema
ParapneumoniaSimplek komplek
Penampakan Makroskopik Jelas Jelas,suram/keruh pus

Analisa cairan:
pH
> 7,20 < 7,20
Konsentrasi laktat < 1.000 IU/L > 1.000 IU/L
dehidrogenase
Konsentrasi glukosa
> 40 mg/dL < 40 mg/dL Mungkin positif pada
pewarnaan Gram/kultur
Pewarnaan Gram
Tidak ada organisme pada Mungkin positif pada
pewarnaan Gram/kultur pewarnaan
Gram/kultur
Analisis
Biasanya sembuh dengan Dibutuhkan chest tube
antibiotic saja; Dibutuhkan chest tube drainage; Tidak diperlukan
Melakukan chest tube drainage drainage test biochemical;
untuk menghilangkan gejala Pengukuran pH tidak perlu
jika dibutuhkan

Dikutip dari (30)


Modalitas terapi yang dilakukan pada ET terdiri dari irigasi tertutup dengan tube
thoracostomy dan irigasi terbuka dengan VATS, thoracoplasty, dekortikasi dan open window
thoracoplasty. Tatalaksana yang diberikan sesuai dengan tahapan dari empiema dan penyakit
dasar. Terapi yang agresif pada empiema sangat diperlukan untuk mengurangi resiko infeksi.
Keputusan terapi berdasarkan tahapan empiema, Tahap satu dan dua dapat diterapi dengan
irigasi sedangkan tahap tiga diterapi dengan dekortikasi.11

4.2 Irigasi Tertutup


Metode pertama yang dilakukan pada pasien EPP dan ET ialah dengan Chest Tube.
Merupakan cara ”drainage” yang dianjurkan untuk empiema pada stadium awal, dimana pus
masih belum kental. Sebaiknya pemasangan ”drainage” dilakukan dalam kurun waktu 3 (tiga)
hari sesudah diagnosis empiema ditegakkan dan pada waktu 3-14 hari bila dikonfirmasi
dengan laboratorium serta pemberian antibiotika yang tepat akan sangat efektif. Pengamatan
terhadap perkembangan klinis penderita sebaiknya dilakukan dengan cermat, disertai dengan
pembuatan serial foto toraks.10,20 Chest tube yang direkomendasikan berukuran 28-36 French
(F) karena chest tube yang berukuran kecil kemungkinan akan mengalami sumbatan akibat
cairan yang kental tetapi keuntungan dari chest tube berukuran kecil lebih mudah digunakan
dan tidak terlalu menyakiti pasien. Studi prospektif oleh Rahman dkk membandingkan chest
tube berukuran kecil <14F dengan chest tube berukuran besar > 14F pada pasien dengan
diagnosis ET didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna diantara keduanya.
Keberhasilan dari Chest Tube diketahui dari evaluasi dari foto toraks dan klinis 24 jam setelah
pemasangan chest tube bila setelah evaluasi 24 jam tidak ada perubahan maka harus
dievaluasi antibiotik yang digunakan, letak chest tube, ET yang bersekat-sekat dan fibrin
antara pleura parietalis dan visceralis. Irigasi pada ET adalah prosedur pertama yang
dilakukan dengan angka keberhasilan 67% - 74%.20,22
Ukuran chest tube yang ideal sampai saat ini belum jelas karena tidak ada penelitian
randomised control trial yang mendukungnya. Chest Tube berukuran kecil mudah digunakan,
lebih nyaman dan adekuat untuk irigasi cairan pleura untuk beberapa kasus. Chest tube
berukuran kecil disarankan rutin melakukan pencucian dengan normal salin 30 ml setaip 6
jam untuk mencegah sumabatan selain itu disarankan penggunaan continous suction 20
cmH2O.21 Pasien dengan diagnosis empiema difus atau empiema bersekat harus dilakukan
torakosintesis dan irigasi intrapleura dengan normal saline dan antimikroba yang tidak
mengiritasi rongga pleura. Pada pasien ET harus dilakukan pengambilan cairan untuk
pemeriksaan mikroba untuk menetukan antimikroba yang akan diberikan intrapleura. Pada
pasien ET difus dilakukan pemasangan chest tube pada intercostal 6 linea axilaris posterior
sedangkan pada ET yang bersekat chest tube dipasang pada daerah yang paling banyak
cairannya. Pemasangan chest tube pada ET bersekat dilakukan dengan panduan USG dan CT
scan. Studi yang dilakukan oleh hospital university de matto grosso tahun 1999 melakukan
penelitian pada 17 pasien dengan diagnosis ET difus dan bersekat. Penelitian ini melakukan
pemasangan chest tube pada dua tempat yaitu pada daerah yang terbanyak cairannya dan
chest tube lainnya diletakkan diatas dua sela iga chest tube pertama. Dilakukan irigasi normal
salin 1000 cc dari chest tube kedua setelah dilakukan irigasi dengan normal salin dilanjutkan
irigasi dengan gentamisin 80 mg. Dilakukan evaluasi dengan foto thoraks setiap dua hari dan
hasil yg di dapatkan cairan pleura berkurang. Hasil penelitian ini mendapatkan dari 17 pasien
hanya 2 pasien yang harus mendapatkan terapi irigasi terbuka dengan dekortikasi. 23Closed
chest tube drainage dilakukan pada semua pasien empiema pada penelitian Yaacob. 24
Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa closed tube drainage tidak cukup dan
sepertiga kasus memerlukan metode bedah. Tindakan bedah berupa torakotomi dilakukan
terhadap dua pasien sedangkan satu pasien membutuhkan reseksi iga dan satu dirujuk ke
rumah sakit lain.24
Gambar 3A. Foto toraks lateral posisi pemasangan chest tube. 3B. Posisi pemasangan chest
tube di anterior dan aksila dada kiri.

Penelitian yang dilakukan Takamay dkk melakukan penelitian pada pasien ET dengan
hasil kultur cairan pleura Pseudomonas aeruginosa. Dilakukan irigasi Intrapleura dengan
normal salin dan povidone iodine 0,1% selama tiga hari dan hasil kultur menjadi negatif.
Gharagozloo dkk melakukan penelitian pada 22 pasien ET dengan melakukan irigasi
intrapleura povidone iodine 0,1% dilanjutkan dengan salin normal dan gentamisin 80mg
selama 24 jam. Dilakukan evaluasi dengan foto toraks dan produksi cairan pleura kemudian
didapatkan hasil 22 pasien mengalami remisi sempurna, tidak kambuh dan lama perawatan
berkurang.16,18

Pasien empiema biasanya didapatkan kesulitan mengeluarkan cairan atau pus dari
dalam rongga pleura dikarenakan cairan pleura tersebut atau pus tersebut terlokulasi di dalam
membran fibrin yang sebenarnya berfungsi mencegah penyebaran nanah atau pus ke organ
tubuh yang lain, tetapi akan menimbulkan kesulitan bagi kita ketika kita akan mengeluarkan
pus. Cara pemberian streptokinase adalah dengan menggunakan chest tube ukuran 24F atau
28F. Kemudian cairan yang terdiri dari 100 ml larutan salin ditambah dengan 250000 Unit
Internasional (UI) streptokinase dimasukan melalui chest tube tersebut. Larutan tersebut
kemudian dibilas dengan menggunakan salin sebanyak 20 ml dan diklem selama 2 jam.
Tindakan ini dilakukan sekali setiap hari selama 7 hari atau sampai pus yang terbentuk kurang
dari 100 ml per hari. Penelitian di India pada 42 pasien menunjukkan bahwa pemberian
streptokinase 250.000 UI dicampur dengan 100 ml salin kemudian dimasukan melalui kateter
ternyata lebih efektif dalam mengeluarkan nanah/pus dibandingkan hanya irigasi saja dengan
salin. Dahulu Tillet dan kawan–kawan melaporkan penggunakaan streptokinase dan
streptodornase dengan disuntikan kedalam rongga pleura. Perkembangan selanjutnya
mengatakan bahwa penyuntikan streptokinase dan streptodornase sudah ditinggalkan oleh
karena kurang efektif, terutama efek samping sistemik obat yang akan timbul pada manusia
seperti febris, malaise dan leukositosis. Berg dan kawan-kawan Akhir tahun 1970
melaporkan penggunaan streptokinase saja dalam rongga pleura dan hasilnya menunjukan
bahwa 10 dari 12 pasien mengalami kemajuan radiologis. Penelitian yang dilakukan akhir-
akhir ini menunjukan bahwa pemberian streptokinase tidak mengurangi efek masa
hospitalisasi dan penggunaan intervensi bedah.9,25

Penelitian acak tersamar ganda, sebanyak 454 pasien secara acak menerima 250000
UI streptokinase atau salin 2 kali sehari selama 3 hari. Ternyata tidak ada perbedaan yang
bermakna antara pemberian streptokinase dan salin. Studi acak tersamar ganda lain
menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara kelompok pasien yang
menerima streptokinase ataupun salin pada hari ke 3, akan tetapi setelah 7 hari, kelompok
yang menerima streptokinase mempunyai angka keberhasilan klinis yang lebih besar.9 Bouros
dan kawan-kawan melaporkan keberhasilan pemberian urokinase intrapleura pada 15 pasien
empiema. Setiap pasien menerima 100000 unit urokinase yang dilarutkan dalam 100 ml salin.
Enambelas pasien lain sebagai kontrol hanya menerima 100 ml normal salin tanpa pemberian
urokinase. Respons dinilai dari tampilan klinis, foto toraks, USG, volume pus yang
dikeluarkan. Tiga belas pasien yang menerima urokinase mengalami kemajuan tampilan
klinis dan foto toraks dibandingkan dengan 4 pasien yang menerima salin saja. Kesimpulan
dari penelitian ini adalah bahwa pemberian urokinase efektif dalam mengatasi empiema yang
terlokulasi dibandingkan dengan pemberian normal salin saja.26

Penelitian lain yang melaporkan kesuksesan penggunaan streptokinase dan urokinase


menunjukan hasil yang positif berdasarkan pengamatan terhadap jumlah cairan atau nanah
yang dapat dikeluarkan. Penelitian yang menggunakan varidase yang mengandung fibrinolitik
(streptokinase) dan DNAase (streptodornase) menunjukan bahwa tidak ada likuefaksi yang
signifikan pada percobaan ini. Inkubasi pus dengan menggunakan varidase menunjukan
bahwa pus tersebut akan mencair setelah 4 jam masa inkubasi. Simpson dan kawan-kawan
bahwa DNAase sangat efektif dalam menurunkan viskositas cairan pleura. Pemberian
rekombinan DNAase ditambah dengan aktivator plasminogen jaringan (tPA) menunjukan
hasil yang signifikan pada empiema skor, dikatakan juga bahwa pemberian streptokinase
tunggal mungkin tidak efektif , menjadi komplek aktivator. 9
Chin-Ko dkk menyatakan irigasi dengan anti jamur intrapleura pada pasien empiema
jamur efektif dalam menurunkan resiko kematian. Penelitian ini dilakukan terhadap 67 pasien
yang didiagnosis jamur paru, yang mengalami leukositosis, peningkatan suhu tubuh
(>38,3°C), pasien tersebut. Sebelas pasien yang menjalani irigasi pleura dengan anti jamur
terhindar dari kematian. Pada pasien-pasien yang mempunyai risiko tinggi kematian seperti
pasien defisiensi imun, tindakan ini efektif menurunkan risiko kematian oleh karena
empiema.27

4.3 Irigasi Terbuka

4.3. 1 Video – assisted thoracoscopy surgery

Tujuan utama terapi ET adalah mengontrol infeksi, mencegah penyakit pleura yang
persisten, kambuh dan memperbaiki fungsi paru. Pada tahun 1993, Filen dan Fergusson
mulai melakukan drainase, debridemen dan dekortikasi. Suatu tindakan operasi
menggunakan alat torakoskopi dengan membuat insisi tiga buah yaitu pada sela iga VI-VII
garis aksilaris media, sela iga IV pada garis aksilaris anterior dan margo anterior skapula,
pada tahap selanjutnya dilanjutkan debridemen, irigasi dan pemasangan 2 buah drain.
Tindakan ini dianjurkan pada empiema akut sehingga dapat didapatkan hasil yang maksimal.
VATS merupakan pilihan yang terbaik pada pasien dengan empiema pada stadium
fibropurulen dipandang dari aspek angka keberhasilan, lamanya pengobatan dan biaya
perawatan.20,26

Studi retrospektif pada tahun 2002 – 2008 di Brazil yang membandingkan VATS
dengan dekortikasi mendapatkan hasil bahwa VATS lebih rendah komplikasi dan angka
kematiannya dibandingkan dengan dekortikasi. Diagnosis ET ditegakkan dengan foto toraks.
Ct scan dan USG membantu diagnosis pada empiema toraks yang bersekat-sekat yang tidak
dapat diterapi maksimal dengan tube thoracostomy sehingga VATS atau dekortikasi
diperlukan. Video – assisted thoracoscopy surgery efektif untuk evakuasi empiema yang
fibrinopurulen dan bersekat-sekat. Angka kegagalan VATS hanya 9%.28

4.3.2 Dekortikasi

Dekortikasi adalah tindakan torakotomi dengan melepaskan jaringan fibrin antara


pleura visceralis dan parietalis dan evakuasi seluruh pus di ruang intrapleura. Selain itu
dekortikasi juga pilihan pada Trapped lung akibat dari proses inflamasi dan merupakan
prosedur dasar terapi Empiema toraks akibat tuberkulosis dan post traumatic Trapped lung
yang dilakukan pada tahap III ET. Dekortikasi akan mengurangi resiko infeksi dan
meningkatkan pengembangan paru. Dekortikasi sebagian besar diawali dengan VATS. Pasien
dengan empiema toraks yang dilakukan dekortikasi akan menurunkan lama perawatan. Angka
mortalitas dekortikasi adalah 10%.9
Indikasi untuk melakukan dekortikasi adalah : Empiema totalis yang mengalami
organisasi pada pleura visceralis (peel sangat tebal), sehingga terjadi kolaps paru yang luas.
Empiema yang tidak dapat diaspirasi atau di “drainage” selayaknya karena pus yang
membentuk kantong- kantong (“pocketed empyema”). Empiema yang letaknya sukar dicapai
dengan aspirasi atau “drainage”, misalnya didaerah mediastinum (mediastinum
empiema), interlobar empiema.9,20

4.3.3 Torakostomi terbuka

Empiema toraks kronik dapat ditatalaksana dengan irigasi terbuka. Pasien dengan
empiema toraks yang tidak diterapi dengan cepat akan menjadi empiema toraks kronik dan
tatalaksana dilakukan dengan torakotomi terbuka dan dekortikasi. Metode torakotomi terbuka
terdiri dari open windows thoracostomy, reseksi coste, toracoplasti, clagget’s procedure dan
irigasi perkutaneus dengan panduan USG atau Ct Scan. Pada torakotomi terbuka angka
morbiditas dan mortalitias meningkat. Pada saat operasi dilakukan reseksi iga, intercostal
spaces dan pleura parietal diatas empiema dan dilakukan pembersihan rongga pleura.
Torakotomi terbuka sering dilanjutkan dengan Torakoplasti.29 Tujuan dari torakoplasti adalah
mengisi rongga kosong antara pleura parietalis dan visceralis setelah empiema di evakuasi.
Tujuan dari prosedur ini untuk mengurangi proses inflamasi. Pada empiema toraks yang
sudah di irigasi tetapi paru belum dapat mengembang maka harus dapat dilakukan
22
torakoplasti terutama pada pasien yang memiliki fistel bronkopleura. Metoda yang
digunakan untuk mengisi rongga pleura adalah dengan otot. Pada tahun 1980 Robinson
melakukan pengisian rongga pleura dengan otot Lattisimus dorsi. Andrew melakukan
pengisian rongga pleura menggunakan jaringan dengan vaskularisasi yang baik sehingga
dapat mengurang infeksi. 20,29

20
BAB V
KESIMPULAN

1. Empiema toraks adalah akumulasi pus dirongga pleura dapat bersekat atau tidak
bersekat.
2. Etiologi empiema bisa dari infeksi yang berasal dari paru, trauma, dan
Penyebaran ”transdiapragma”.
3. Ada 3 fase empiema : fase eksudatif, fase fibropurulen, fase organisasi, fase –fase ini
menetukan terhadap tatalaksana yang akan dilaksanakan.
4. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan radiologis
dan analisis cairan pleura yang diambil saat torasentesis dan identifikasi kuman
penyebab pada pemeriksaan mikrobiologi.
5. Manifestasi klinis empiema sesuai dengan penyakit primernya, dengan gejala yang
timbul seringkali bersifat akut, ada riwayat infeksi saluran napas sebelumnya
pemeriksaan fisik didapati pekak pada perkusi, menurunnya suara napas
6. Tatalaksana Empiema toraks terdiri dari observasi, torakosentesis, Chest Tube,
fibrinolitik intrapleura dan irigasi. Tujuan utama tatalaksana irigasi pada empiema
ialah menghilangkan gejala dengan mengeluarkan cairan dari rongga pleura dan
diikuti dengan terapi sesuai dengan penyakit dasarnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sahn SA. Diagnosis and management of parapneumonic effusions and empyema. Clin
Infect Dis. 2007;45:1480-6.
2. Mayse ML. Non-malignant pleural effusions. In: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA,
Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM, editors. Fishman's pulmonary diseases and
disorders. 4th eds. New York: McGraw Hill; 2008.p.1489-93.
3. Alsagaff H. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan VIII Ilmu Penyakit Paru. 2006: 1-4.
4. Ahmed AE, Yacoub TE, Empyema thoracis [review]. Clinical medicine insight:
circulating, respiratory and pulmonary medicine.2010;4: 1-8.
5. Shrestha K, Shah S, Tulung S, Karki b, Pokhrel DP. Envolving experience in the
management of emphyema thoracis. Kathmandu Univ Med J. 2011;33(1):5-7.
6. Davies CWH, Gleeson FV, Davies RJO. BTS guidlines for the management of
pleural infection. Thorax.2003;58:18-28.
7. Ashbaugh DG. Empyema thoracis. Factors influencing morbidity and
mortality.Chest.1991. 99 : 1162-5.
8. Singh DR, Josh MR, Thapa P. Nath S. Empyema thoracis. Kathmandu Univ Med J.
2007;5(4):521-5.
9. Light RW. Parapneumonic Effusions and empyema. Bab 12. Pleural Disease. Fifth
edition. Philadelphia, USA. 2011:179-210.
10. Richard WL. Parapneumonic Effusions and Empyema. Proceedings of the American
Thoracic Society.2006.3: 75-80.
11. Yu H. Management of pleural effusion, empyema and lung abcess. Seminars in
Interventional radiology.2011;28:75-86.
12. Acharya PR, Shah KV. Empyema thoracis : Aclinicalstudy. Ann Thorac Med.
2007;2:14-7.
13. Chen KY, Hsueh PR, Liaw YS, Yang PC, Luh KT. A 10-year experience with
bacteriology of acute thoracic empyema: Emphasis on klebsiella pneumonia in
patients with diabetes mellitus. Chest. 2000;117:1685-9.
14. Cheng G, Vintch JRE. Aretrospective analysis of the management of parapneumonic
empyemas in acounty teaching facility from 1992 to 2004. Chest. 2005;128:3284-90.
15. Mason RJ, Broaddus VC, Murray JF, Nadel JA. Murray and Nadel’s Textbook of
Respiratory Medicine.2005. 2 : 1932-8.
16. Marc Tobler MD. Empyema. July 26, 2004.//E:/eMedicine-Empyema Article by Marc
Tobler, MD.htm.2004.3:21-7.
17. Somantri I.2009. Tatalaksana pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta:
Salemba Medika.2009.2: 17-28.
18. Murray JF, Nadel JA. Empyema. In: Murray JF, Nadel JA. Respiratory medicine; 2nd.
ed. Philadelphia: Saunders, 1994:1082-4.
19. Yataco JC, Dweik RA. Pleural effusion: Evaluation and management. Clev Clin J
Med 2005; 72:854-72.
20. Colice GL, Curtis A, Deslauriers J, et al. Medical and Surgical Treatment of
Parapnemonic Effusions. Cest. 2000. 118 : 1158-71
21. Tsang KY, Leung WS, Chan VL, Lin AWL, Chu CM.Complicated parapneumonic
effusion and empyema thoracis: Microbiology and predictors of adverse outcomes.
Hong Kong Med J. 2007; 13:178-85.
22. Light RW. Parapneumonia effusion and emphyema. Proc Am Thorac Soc. 2005;
3:75 – 80.
23. Takayama K, Hirata M, Nabeshima S, Nabeshima A, Hara H, Kashiwagi S, Pleural
washing with Povidone-Iodine for treatment of emphyema. Kansenshogaku
zasshi.2003;67:218-22.
24. Yaacob I, Ariffin Z. Empyema thoracis and lung abcess. Singapore Med J. 1991;
32:63-6.
25. Prasad BM, Bhattachryya, Luthra M, Mathur AD. Management of empyema thoracis
with pleura pigtail drainage and intrapleural thrombolytic therapy. Am J Respir Crit
Care Med.2009;179:44-50
26. Bouros D, Schiza S, Tzanakis N, Chalkiadakis G, Drositis J, Siafakas N. Intrapleural
urokinase versus normal saline in the treatment of complicated parapneumonic
effusion and empyema. Am J Respir Crit Care Med.1999;159:37-42.
27. Chin Ko S,Yu Chen K, Hsueh PR, Luh KT, Yang PC.Fungal empyema thoracis: An
emerging clinical entity. Chest.2000;117:1672-8.
28. Cassina CP, Hauser M, Hillejan L, Greschucna D, Stamatis G, Video – assisted
thoracoscopy in the threatment of pleural. J Thorac Cardiovasc Surgery. 2009, 117:
234-8.
29. Botianu PVH, Botianu AM. Thoracomyoplasty in the Treatments of emphyema
Current indications, basic principles and results [review]. Pulmonary medicine 2012:
1-6
30. Helen ED, Robert JD, Christopher WH. Management of pleural infection in adults :
British Thoracic Society pleural disease guideline. Thorax. 2010; 65(Suppl 2): ii41-
ii53.

Anda mungkin juga menyukai