Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn hasim rj laksono

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 59 tahun

Pekerjaan : petani

No. RM : 099558

Tanggal MRS : 24 januari 2018

2. ANAMNESIS
Keluhan utama : batuk berdahak kurang lebih selama 1 bulan.
Anamnesis terpimpin : batuk dialami sejak kurang lebih 1 bulan terakhir, batuk tidak
kunjung sembuh setelah minum obat, pasien merasa kadang-kadang sesak dan tidak
mengganggu aktivitas, tapi berapa hari terakhir semakin sesak dan mengganggu aktivitas
sehari-hari, pasien masih bisa tidur dengan menggunakan satu bantal, memberat saat
pasien batuk dan melakukan aktivitas, batuk ada lendir berwarna kuning kehijauan, tidak
ada darah.
Ada demam, sejak dua minggu terakhir, terus menerus dan berkurang bila minum
obat penurun demam (paracetamol), menggigil ada dan berkeringat banyak terutama pada
malam hari. Nafsu makan menurun, ada penurunan berat badan sekitar 9 kg dalam 2 bulan
terakhir tanpa penyebab yang jelas.
BAB: biasa
BAK: kesan lancar warna kuning
Riwayat penyakit sebelumnya: riwayat kontak dengan penderita batuk lama tidak jelas,
riwayat OAT sebelumnya tidak jelas, riwayat DM tidak ada, riwayat merokok (+) 30
tahun, riwayat kontak dengan perokok ada.

3. STATUS PRESENT
 Sakit sedang
 Gizi kurang
o BB : 45 kg
o TB : 165 cm
o IMT : 16,54 kg/m2 (kurang)
 Compos mentis

Tanda Vital

 TD : 110/80 mmHg
 Nadi : 98 x/menit
 Pernapasan : 28 x/menit; tipe: thoracoabdominal
 Suhu : 380C
4. PEMERIKSAAN FISIK
 Kepala
Ekspresi : normal
Simetris muka : kanan = kiri
Deformitas : (-)
Rambut : hitam, lurus, sukar dicabut
 Mata
Eksoptalmus/enoptalmus : (-)
Gerakan : ke segala arah
Kelopak mata : dalam batas normal
Kongjungtiva : anemis (+)
 Telinga
Tophi : (-)
Nyeri tekan di prosesus mastoideus: (-)
Pendengaran : dalam batas normal

 Hidung
Perdarahan : (-)
Sekret : (-)
 Mulut
Bibir : sianosis (-)
Gigi geligi : normal
Gusi : perdarahan (-)
 Leher
Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran
DVS : R-2 cmH2O
Pembuluh darah : venaectasis (-)
Kaku kuduk : (-)
Tumor : (-)
 Thorak
 Paru-paru
Inspeksi :
Bentuk : simetris kiri=kanan
Pembuluh darah : venaectasis (-)
Sela iga : semetris kiri=kanan
Lain-lain : (-)

Palpasi:
Nyeri tekan : (-)
Perkusi:
Paru : sonor pada paru kiri dan kanan
Auskultasi:
Bunyi pernapasan : vesikuler
Bunyi tambahan : Rh -/- Wh -/-

 Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : pekak, batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung I/II murni regular, bising (-)
 Abdomen
Inspeksi : datar, ikut gerak napas
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (-)
Hati : tidak teraba
Limpa : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
Perkusis : tympani, ascites (-)
Auskultasi : peristaltic (+) kesan normal
 Alat kelamin : tidak dilakukan pemeriksaan
 Anus dan rectum : tidak dilakukan pemeriksaan
 Punggung:
Palpasi : nyeri tekan (-), massa teraba (-),
Perkusi : nyeri ketok (-)
Auskultasi : Rh -/- Wh -/-
Gerakan : normal
Lain-lain : (-)
 Ekstremitas : akral hangat, edema pretibial -/-, dorsum pedis -/-, pembesaran KGB
(-),

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium
Hemoglobin : 11,5
Hematokrit : 32,2
Eritrosit : 3,89
Leukosit : 5,70
Mcv : 83
Mch : 30
Mchc : 36
Trombosit : 166
Led : 40
Gds : 72
Ureum : 57,30
Kreatinin : 0,51
Sgot : 36
Sgpt : 74
Hbsag : non reaktif
TCM : MTB detected medium rif res detected.
6. DIAGNOSIS
 TB paru resisten rimpaficin
DD : pneumonia

7. PENATALAKSANAAN AWAL
 Diet biasa RL 20 gtt makro per menit
 Ranitidine 2 x 1 amp
 Ondansetron 3 x 1 amp
 Curcuma 3 x 1
 Ambroxol 3 x 1
 PCT 3 X 1

8. RENCANA PEMERIKSAAN
 Foto thorax PA
 TCM
 SGOT/SGPT, ureum/kreatinin, GDS, LED,
 Drug sensitifitas test

9. PROGNOSIS
Dubia at Bonam

10. RESUME

Seorang laki-laki umur 59 tahun Masuk RSDSR pada tanggal 24 januari 2018 dengan
keluhan utama batuk berdahak dirasakan kurang lebih 1 bulan terakhir batuk tidak kunjung
sembuh setelah minum obat, pasien juga sering demam yang naik turun, pasien juga
merasakan sesak terutama sesak memberak jika batuk. Pasien mengeluhkan berkurangnya
nafsu makan dan akhir-akhir ini berat badan pasien menurun drastic. Pada pemeriksaan fisis
didapatkan sakit sedang, gizi kurang, compos mentis, suhu 37,60C.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang maka pasien ini didiagnosis
sebagai susp TB paru, dan pneumonia.
11. FOLLOW UP

24 januari 2018 S:batuk (+), lendir (+) warna R/


kuning, mual (+) Diet TKTP
O: KU : Sakit sedang/ gizi IVFD RL 20 tpm
kurang/ composmentis Inj ranitidine 2x1 amp
TD: 120/80 mmHG Becombin 1x1 amp (drip)
N: 96 x/menit Rifastar 1x 3
P: 24 x/menit Planning:
S: 37,80C Evaluasi BTA 1 bulan
Kepala: anemis (+), ikterus (-) bila BTA (+), rencana
Thorax: pengobatan TB-RO
BP: vesikuler; BT: Rh -/- Wh -/- regimen
BJ I/II murni regular
Abdomen:
Peristaltik (+) kesan normal
Hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas: edema -/-
Hasil lab:
Hemoglobin : 11,5
Hematokrit : 32,2
Eritrosit : 3,89
Leukosit : 5,70
Mcv : 83
Mch : 30
Mchc : 36
Trombosit : 166
Led : 40
Gds : 72
Ureum : 57,30
Kreatinin : 0,51
Sgot : 36
Sgpt : 74
Hbsag :non
reaktif
Thorax PA:
Bercak berawan pada lapangan
paru kiri dan paru kanan atas
Cavitas pada paru kiri atas
Sinus costophrenicus kiri dan
kanan tumpu, kesan TB aktifl
A:
- TB paru RR
DD : Pneumonia

25 januari 2018 S: batuk (+), lendir (+) warna R/ Diet TKTP


kuning, lemas (+) tidak nafsu IVFD RL 20 tpm
makan Inj ranitidine 2x1 amp
O: KU : Sakit sedang/ gizi Becombin 1x1 amp (drip)
kurang/ compos mentis Rifastar 1x 3
TD: 120/70 mmHG Curcuma 3 x 1
N: 96 x/menit
P: 24 x/menit Planning:
S: 360C
Kepala: anemis (+), ikterus (-)
Thorax:
BP: vesikuler; BT: Rh -/- Wh -/-
BJ I/II murni regular
Abdomen:
Peristaltik (+) kesan normal
Hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas: edema -/-
A:
- TB paru RR
DD : Pneumonia
26 januari 2018 S: demam (+), batuk (+), lendir R/ Diet TKTP
(+) , lemas (+) tidak nafsu IVFD RL 20 tpm
makan (+). Inj ranitidine 2x1 amp
O: KU : Sakit sedang/ gizi Becombin 1x1 amp (drip)
kurang/ composmentis Rifastar 1x 3
TD: 100/60 mmHG Curcuma 3 x 1
N: 90 x/menit
P: 28 x/menit Planning:
S: 37,8 0C
Kepala: anemis (+), ikterus (-)
Thorax:
BP: vesikuler; BT: Rh -/- Wh -/-
BJ I/II murni regular
Abdomen:
Peristaltik (+) kesan normal
Hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas: edema -/-
A:
- TB paru RR
DD : Pneumonia
27 januari 2018 S:batuk (+), lendir (+) kehijauan R/ Diet TKTP
, sesak (-) gatal gatal di badan IVFD RL 20 tpm
(+). Inj ranitidine 2x1 amp
O: KU : Sakit sedang/ gizi Becombin 1x1 amp (drip)
kurang/ composmentis Rifastar 1x 3
TD: 110/70 mmHG Curcuma 3 x 1
N: 90 x/menit
P: 24 x/menit Planning:
S: 37,30C
Kepala: anemis (+), ikterus (-)
Thorax:
BP: vesikuler; BT: Rh -/- Wh -/-
BJ I/II murni regular
Abdomen:
Peristaltik (+) kesan normal
Hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas: edema -/-

- A: TB paru RR
DD :Pneumonia
BAB I

PENDAHULUAN

Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Hasil surveilans


secara global menemukan bahwa OAT yang resisten terhadap M. tuberculosis sudah
menyebar dan mengancam program tuberkulosis kontrol di berbagai negara. Pada survei
WHO dilaporkan
lebih dari 90.000 pasien TB di 81 negara, ternyata angka TB-MDR lebih tinggi dari yang
diperkirakan. Enam negara dengan kekerapan TB-MDR tinggi di dunia adalah Estonia,
Kazakhstan, Latvia, Lithunia, bagian dari federasi Rusia dan Uzbekistan. WHO
memperkirakan ada 300.000 kasus TB--MDR baru per tahun. OAT yang resisten terhadap
kuman tuberculosis akan semangkin banyak, saat ini 79% dari TB-MDR adalah “ super
strains” yang resisten paling
sedikit 3 atau 4 obat antituberkulosis.

Resisten ganda (multidrugs resistant tuberculosis/TB-MDR ) merupakan masalah


terbesar terhadap pencegahan dan pemberantasan TB dunia. Pada tahun 2010 WHO
menyatakan insidens TB-MDR meningkat secara bertahap merata 2% pertahun. Prevalens TB
diperkirakan WHO meningkat 4,3% di seluruh dunia dan lebih dari 200 kasus baru terjadi di
dunia. Di Negara berkembang prevalens TB-MDR berkisar antara 4,6%-22,2%.”WHO Report
On Tuberculosis Epidemic 1995” menyatakan bahwa resisitensi ganda kini menyebar dengan
amat cepat di berbagai belahan dunia. Lebih dari 50 juta orang mungkin telah terinfeksi oleh
kuman tuberkulosis yang resisten terhadap beberapa obat anti tuberkulosis khususunya
Rifampisin dan INH, serta kemungkinan pula ditambah obat lainnya.

Laporan menghebohkan pertama tentang resisitensi ganda ini datang dari Amerika,
khususnya pada penderita TB dengan AIDS, ternyata menimbulkan angka kematian yang
amat tinggi (70-90%) dalam waktu yang amat singkat (hanya 4-16 minggu lamanya antara
diagnosis sampai terjadinya kematian). Laporan kemudian berdatangan dari berbagai rumah
sakit dan penjara, mula-mula dari daerah New York dan kemudian di berbagai negara dari
Hongkong yang menyebutkan bahwa setidaknya sekitar 20% infeksi TB terjadi dari kuman
yang telah resisten. Laporan dari Turki menyebutkan bahwa dari 785 kasus tuberkulosis paru
yang telah diteliti detemukan 35% adalah resisten terhadap setidaknya satu jenis obat, yang
resisten terhadap sedikitnya dua macam obat adalah 11,6%, tiga macam obat 3,9% dan empat
macam obat 2,8%. Di Pakistan resistensi terhadap RM, INH, dan EMB dilaporkan masing-
masing adalah 17,7%, 14,7%, dan 8,7%. Di India resisitensi terhadap INH dan SM adalah
13,9% dan 7,4%, sementara resistensi terhadap dua obat atau lebih adalah 41%. Penelitian
dari Saudi Arabia menyebutkan bahwa resistensi terhadap RMP, SM dan INH adalah 7,2%,
3,3% dan 1,2%. 5

Banyak negara sudah menerapkan strategi DOTS dalam penatalaksanaan TB hal ini
tenyata sangat bermanfaat untuk meningkatkan angka kesembuhan sehingga mengurangi
angka
resitensi termasuk resitensi ganda.

BAB II
TB – RO (Resisten obat)

2.1. DEFINISI

TB RO adalah tuberkulosis (TB) yang disebabkan oleh basil M.tuberculosis yang telah
resistan terhadap Obat Anti TB (OAT). Beberapa faktor risiko terjadinya TB RO adalah:
1.a. Pemberi jasa/petugas kesehatan, yaitu karena :
_ Diagnosis tidak tepat,
_ Pengobatan tidak menggunakan paduan yang tepat,
_ Dosis, jenis, jumlah obat dan jangka waktu pengobatan tidak adekuat,
_ Penyuluhan kepada pasien yang tidak adekuat.
2.b. Pasien, yaitu karena :
_ Tidak mematuhi anjuran dokter/ petugas kesehatan .
_ Tidak teratur menelan paduan OAT,
_ Menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya.
_ Gangguan penyerapan obat.
3.c. Program Pengendalian TB, yaitu karena :
_ Pengelolaan logistik OAT yang kurang baik
_ Kualitas OAT yang rendah .
Pemerintah sejak tahun 2009 telah memulai Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan
Obat (MTPTRO) yang dituangkan dalam Buku Petunjuk Teknis Penatalaksanaan Pasien TB
RO. Salah satu komponen yang akan mempengaruhi keberhasilan penatalaksanaan pasien
TB RO adalah penemuan pasien sedini mungkin, secara tepat dan akurat sesuai dengan
standar baku yang ditetapkan.

2.2. EPIDEMIOLOGI
”WHO Report On Tuberculosis Epidemic 2008” menyatakan bahwa resisitensi ganda
kini menyebar dengan amat cepat di berbagai belahan dunia. Lebih dari 50 juta orang
mungkin telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap beberapa obat anti
tuberkulosis khususunya Rifampisin dan INH, serta kemungkinan pula ditambah obat lainnya.
7
Laporan menghebohkan pertama tentang resisitensi ganda ini datang dari Amerika,
khususnya pada penderita TB dengan AIDS, ternyata menimbulkan angka kematian yang
amat tinggi (70-90%) dalam waktu yang amat singkat (hanya 4-16 minggu lamanya antara
diagnosis sampai terjadinya kematian). Laporan kemudian berdatangan dari berbagai rumah
sakit dan penjara, mula-mula dari daerah New York dan kemudian di berbagai negara dari
Hongkong yang menyebutkan bahwa setidaknya sekitar 20% infeksi TB terjadi dari kuman
yang telah resisten. Laporan dari Turki menyebutkan bahwa dari 785 kasus tuberkulosis paru
yang telah diteliti detemukan 35% adalah resisten terhadap setidaknya satu jenis obat, yang
resisten terhadap sedikitnya dua macam obat adalah 11,6%, tiga macam obat 3,9% dan empat
macam obat 2,8%. Di Pakistan resistensi terhadap RM, INH, dan EMB dilaporkan masing-
masing adalah 17,7%, 14,7%, dan 8,7%. Di India resisitensi terhadap INH dan SM adalah
13,9% dan 7,4%, sementara resistensi terhadap dua obat atau lebih adalah 41%. Penelitian
dari Saudi Arabia menyebutkan bahwa resistensi terhadap RMP, SM dan INH adalah 7,2%,
3,3% dan 1,2%.

2.3. ETIOLOGI

5 PENYEBAB TERJADINYA TB-MDR :


1. Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutants resisten. Hal ini
amat ditakuti karena dapat terjadi resisten terhadap OAT lini pertama
2. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis akan
menyebabkan penyebaran galur resitensi obat. .Penyebaran ini tidak hanya pada pasien
di rumah sakit tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama, penjara dan keluarga
pasien
3. Pasien dengan TB-MDR diterapi dengan OAT jangka pendek akan tidak sembuh dan
akan menyebarkan kuman. Pengobatan TB-MDR sulit diobati serta memerlukan
pengobatan jangka panjang dengan biaya mahal
4. Pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman tuberkulosis yang mendapat
pengobatan jangka pendek dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah banyak
OAT yang resisten ( ’’The amplifier effect”). Hal ini menyebabkan seleksi mutasi
resisten karena penambahan obat yang tidak multipel dan tidak efektif
5. HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi TB mejadi sakit TB dan akan
memperpanjang periode infeksious

2.4. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA TB-MDRK


Kegagalan pada pengobatan poliresisten TB atau TB-MDR akan menyebabkan lebih
banyak OAT yang resisten terhadap kuman M. tuberculosis. Kegagalan ini bukan hanya
merugikan pasien tetapi juga meningkatkan penularan pada masyarakat. TB resistensi obat
anti TB (OAT) pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia, Sebagai akibat dari
pengobatan pasien TB yang tidak adekuat yang menyebabkan terjadinya penularan dari pasien
TB-MDR ke.orang lain / masyarakat. Faktor penyebab resitensi OAT terhadap kuman M.
tuberculosis antara lain :

1. FAKTOR MIKROBIOLOGIK
 Resisten yang natural
 Resisten yang didapat
 Ampli fier effect
 Virulensi kuman
 Tertular galur kuman –MDR

2. FAKTOR KLINIK
A. Penyelenggara kesehatan
 Keterlambatan diagnosis
 Pengobatan tidak mengikuti guideline
 Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang kurang
atau karena lingkungan tersebut telah terdapat resitensi yang tinggi terhadap OAT
yang digunakan misal rifampisin atau INH
 Tidak ada guideline/pedoman
 Tidak ada / kurangnya pelatihan TB
 Tidak ada pemantauan pengobatan
 Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan pada satu paduan
yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman tuberkulosis telah resisten
pada paduan yang pertama maka ”penambahan” 1 jenis obat tersebut akan menambah
panjang daftar obat yang resisten.
 Organisasi program nasional TB yang kurang baik
B. Obat
 Pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan sehingga membosankan
pasien
 Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan kompllit atau sampai
selesai gagal
 Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum setelah makan, atau
ada diare
 Kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis tetap yang mana
bioavibiliti rifampisinnya berkurang
 Regimen / dosis obat yang tidak tepat
 Harga obat yang tidak terjangkau
 Pengadaan obat terputus
C. Pasien
 Kurangnya informasi atau penyuluhan
 Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll
 Efek samping obat
 Sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada
 Masalah sosial
 Gangguan penyerapan obat

3. FAKTOR PROGRAM
 Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan
 Ampli fier effect
 Tidak ada program DOTS-PLUS
 Program DOTS belum berjalan dengan baik
 Memerlukan biaya yang besar

4. FAKTOR AIDS–HIV
 Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar
 Gangguan penyerapan
 Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar

5. FAKTOR KUMAN
Kuman M. tuberculosis super strains
 Sangat virulen
 Daya tahan hidup lebih tinggi
 Berhubungan dengan TB-MDR

2.5. KATEGORI RESISTENSI M. Tuberculosis TERHADAP OAT


Terdapat lima jenis kategori resistensi terhadap obat TB:
1. Kategori Resistansi Terhadap Obat Anti TB (OAT)

Resistansi kuman M.tuberculosis terhadap OAT adalah keadaan dimana kumansudah


tidak dapat lagi dibunuh dengan OAT.Terdapat 5 kategori resistansi terhadap obat anti TB,
yaitu:
1. Monoresistan (Monoresistance):
Resistan terhadap salah satu OAT, misalnya resistan isoniazid (H)
2. Poliresistan (Polyresistance):
Resistan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid (H) dan rifampisin (R),
misalnya resistan isoniazid dan etambutol (HE), rifampisin etambutol (RE), isoniazid

3. Multi Drug Resistance(MDR):


Resistan terhadap isoniazid dan rifampisin, dengan atau tanpa lini pertama yang lain,
misalnya resistan HR, HRE, HRES.
4. Extensively Drug Resistance(XDR):
TB MDR disertai resistansi terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon
dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua (capreomisin, kanamisin dan amikasin).
5. TB Resistan Rifampisin (TB RR) :
Resistan terhadap rifampisin (monoresistan, poliresistan,TB MDR, TB XDR) yang
terdeteksi menggunakan metode fenotip atau genotip dengan atau tanpa resistan OAT
lainnya.

2.6. PATOFISIOLOGI
Multidrug resistant tuberculosis (MDR Tb) adalah Tb yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis (M. Tb) resisten in vitro terhadap isoniazid (H) dan rifampisin
(R) dengan atau tanpa resisten obat lainnya. Terdapat 2 jenis kasus resistensi obat yaitu kasus
baru dan kasus telah diobati sebelumnya. Kasus baru resisten obat Tb yaitu terdapatnya galur
M. Tb resisten pada pasien baru didiagnosis Tb dan sebelumnya tidak pernah diobati obat
antituberkulosis (OAT) atau durasi terapi kurang 1 bulan. Pasien ini terinfeksi galur M. Tb
yang telah resisten obat disebut dengan resistensi primer. Kasus resisten OAT yang telah
diobati sebelumnya yaitu terdapatnya galur M. Tb resisten pada pasien selama mendapatkan
terapi Tb sedikitnya 1 bulan. Kasus ini awalnya terinfeksi galur M Tb yang masih sensitif obat
tetapi selama perjalanan terapi timbul resistensi obat atau disebut dengan resistensi sekunder
(acquired).
Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetik dan hal ini membuat
obat tidak efektif melawan basil mutan. Mutasi terjadi spontan dan berdiri sendiri
menghasilkan resistensi OAT. Sewaktu terapi OAT diberikan galur M. Tb wild type tidak
terpajan. Diantara populasi M. Tb wild type ditemukan sebagian kecil mutasi resisten OAT.
Resisten lebih 1 OAT jarang disebabkan genetik dan biasanya merupakan hasil penggunaan
obat yang tidak adekuat. Sebelum penggunaan OAT sebaiknya dipastikan M. Tb sensitif
terhadap OAT yang akan diberikan. Sewaktu penggunaan OAT sebelumnya individu telah
terinfeksi dalam jumlah besar populasi M. Tb berisi organisms resisten obat. Populasi galur
M. Tb resisten mutan dalam jumlah kecil dapat dengan mudah diobati. Terapi Tb yang tidak
adekuat menyebabkan proliferasi dan meningkatkan populasi galur resisten obat. Kemoterapi
jangka pendek pasien resistensi obat menyebabkan galur lebih resisten terhadap obat yang
digunakan atau sebagai efek penguat resistensi. Penularan galur resisten obat pada populasi
juga merupakan sumber kasus resistensi obat baru. Meningkatnya koinfeksi Tb HIV
menyebabkan progresi awal infeksi MDR Tb menjadi penyakit dan peningkatan penularan
MDR Tb.

2.7. SUSPEK TB-MDR


Pasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR adalah :
Kriteria terduga TB RO
Terduga TB RO adalah pasien yang mempunyai gejala TB dengan satu atau
lebih kriteria dibawah ini, yaitu:
1. Pasien TB gagal pengobatan Kategori 2 :
pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak positif pada bulan ke-5
atau pada akhir pengobatan.
2. Pasien TB yang tidak konversi pengobatan kategori 2 :
pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah pengobatan tahap
awal.
3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar :
pasien TB yang memiliki riwayat pengobatan TB tidak sesuai dengan paduan
OAT standar ;dan atau menggunakan kuinolon serta obat injeksi lini kedua paling
sedikit selama 1 bulan.

4. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1 :


pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak positif pada bulan ke-5 atau
pada akhir pengobatan.
5. Pasien TB yang tidak konversi pengobatan kategori 1 :
pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah pengobatan tahap
awal.
6. Pasien TB kambuh pengobatan kategori 1 atau kategori 2 :
Pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini diagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis.
7. Pasien TB yang kembali setelah putus berobat (loss to follow-up) :
pasien TB yang pernahdiobati dan dinyatakan putus berobat
selama 2 bulan berturut-turut atau lebih.
8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB RO :
Terduga suspek TB yang pernah memiliki riwayat atau masih kontak erat dengan
pasien TB RO.
9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara klinis maupun
bakteriologis terhadap pemberian OAT:
pasien ko-infeksi TB-HIV yang dalam pengobatan OAT selama 2 minggu
tidak memperlihatkan perbaikan klinis
Pasien yang memenuhi salah satu kriteria terduga TB RO tersebut harus segera Dilakukan
pemeriksaan contoh uji dahak dengan Tes Cepat Molekuler TB (TCM TB) atau dirujuk ke
fasyankes yang memiliki alat Tes Cepat Molekuler (TCM) TB.

2.8. DIAGNOSIS TB-RO

Penegakan Diagnosis TB Resistan Obat RO

1.Pemeriksaan Laboratorium TB RO

Penegakan diagnosis pasien TB RO ditetapkan oleh dokter fasyankes atau Tim Ahli Klinis
TAK TAK berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan adalah:

a. Pemeriksaan mikroskopis:

Pemeriksaan mikroskopis BTA dengan pewarnaan Ziehl Neelsen dilaksanakan untuk


mendukung diagnosis dan sebagai pemeriksaan lanjutan selama masa pengobatan.

b. Pemeriksaan TCM TB tes cepat dengan GeneXpert

1. Pemeriksaan TCM TB tes cepat dengan GeneXpert dilakukan untuk menegakan

diagnosis TB dan TB Resistan Rifampisin.

2. Pemeriksaan dengan TCM TBGeneXpert dapat memberikan hasil

dalam waktu yang relatif cepat yaitu sekitar 2 jam.

3. Pemeriksaan TCM TB tes cepat GeneXpert tidak dapat digunakan

untuk memantau kemajuan pengobatan.

c. Second Line –Line Probe Assay SL -LPA

SL-LPA merupakan tes cepat lebih kurang 48 jam yang berbasis molekuler untuk
mendeteksi resistensi terhadap OATlini kedua yaitu golongan fluoroquinolone dan
obat injeksi lini kedua.

19
Kapasitas pemeriksaan cukup besar, memungkinkan untuk menguji 45 spesimen
pada saat yang bersamaan

SL-LPA yang tersedia saat ini tidak menghilangkan kebutuhan terhadap uji kepekaan
fenotipik untuk OAT lini kedua.

Sesuai dengan rekomendasi WHO, pemeriksaan SL-LPA digunakan sebagai


diagnosis awal untuk mendeteksi resistensi terhadap fluoroquinolone dan obat injeksi
lini kedua untuk keperluan pengobatan TB RO dengan paduan OAT jangka pendek
yang saat ini masih dalam tahap persiapan.

d. Biakan dan identifikasi kuman M. tuberculosis

Biakan dan identifikasi kuman M. tuberculosis dapat dilakukan pada media padat LJ)
maupun media cair MGIT) :

 Biakan menggunakan media padat relatif lebih murah dibanding media cair tetapi
memerlukan waktu yang lebih lama yaitu 3-8 minggu.

 Biakan menggunakan media cair hasil biakan sudah dapat diketahui dalam waktu 1-
2 minggu tetapi memerlukan biaya yang lebih mahal.

Masing-masing metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Pencatatan hasil biakan dilakukan sebagai berikut:

- Hasil biakan dicatat sebagai: “pos” bila positif dan “neg” bila negatif.

- Bila menggunakan media padat, terdapat tambahan informasi berupa gradasi koloni
yang dicatat sesuai tabel berikut :

20
e. Uji kepekaan M. tuberculosis terhadap OAT

Saat ini uji kepekaan terhadap M. tuberculosis dapat dilakukan dengan cara konvensional
dan TCM TB. Ketepatan uji kepekaan M. tuberculosis yang dilakukan dalam kondisi
optimum bergantung kepada jenis obat yang diuji. Uji kepekaan untuk OAT lini pertama
dengan metode konvensional, dilakukan untuk rifampisin R, isoniazid H , streptomisin S dan,
etambutol E. Untuk OAT lini kedua, uji kepekaan dilakukan untuk Amikasin Am, Kanamisin
Km dan Ofloksasin Ofl.

Seiring dengan perkembangan teknologi diagnosis TB terutama tes cepat molekuler dan
untuk mengakomodir kebutuhan program MTPTRO maka laboratorium uji kepekaan
konvensional baik menggunakan media padat maupun cair juga akan menyesuaikan.
Misalnya dengan tersedianya TCM Xpert MTB/RIF maka uji kepekaan konvensional untuk
obat Rifampisin dapat dihilangkan untuk efisiensi, demikian juga untuk obat Streptomisin
dan Ethambutol. Oleh karena itu Laboratorium Rujukan Nasional LRN biakan dan uji
kepekaan sedang mengembangkan paket pemeriksaan uji kepekaan Standardized DST
Package/SDP yang di dalamnya sudah tergabung sekaligus uji kepekaan untuk OAT lini
pertama dan kedua. 5 jenis OAT yang diuji dalam paket uji kepekaan

untuk pasien yang terkonfirmasi resisten rifampisin menggunakan TCM adalah sebagai
berikut :

1. Isoniazid

2. Kanamisin

3. Capreomisin

4. Ofloksasin

5.Moksifloksasin

Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat harus dilakukan di
laboratorium yang telah disertifikasi atau lulus Pemantapan Mutu Eksternal PME berupa tes
panel oleh Laboratorium Rujukan Nasional.

21
PENATALAKSANAAN TB-MDR
Paduan pengobatan TB RO di Indonesia.
Pada dasarnya pengobatan pasien TB RO mengacu kepada strategi DOTS, terutama pada
komponen penggunaan OAT yang berkualitas, pengawasan pengobatan secara langsung dan
pencatatan dan pelaporan yang baku.
Dasar- dasar pengobatan TB RO di Indonesia:
A.Semua pasien yang sudah terbukti sebagai TB RO, yaitu pasien TB RR,TB MDR,
TB pre XDR maupun TB XDR berdasarkan pemeriksaan uji kepekaan M.Tb baik dengan
TCM TB maupun metode biakan konvensional dapat mengakses pengobatan TB RO yang
baku dan bermutu.
B.Paduan OAT untuk pasien TB RO terdiri dari paduan OAT standar dan paduan
OAT individual. Kedua paduan tersebut merupakan kombinasi dari OAT lini kedua dan lini
pertama.
C.Sesuai rekomendasi WHO 2016, prinsip paduan pengobatan RO harus terdiri dari
kombinasi sekurangnya 5 lima jenis OAT pada tahap awal, yaitu:
1. 4 empat OAT inti yaitu OAT lini kedua yang terbukti masih efektif atau belum pernah
digunakan, yaitu:
 salah satu OAT dari grup A golongan flurokuinolon
 2 OAT dari grup C golongan OAT oral lini kedua
2. 1 satu OAT lini pertama yaitu Pirazinamid grup D1, masuk sebagai bagian dari 5 obat
yang harus diberikan tetapi tidak dihitung sebagai obat inti.
3. Tidak dihitung sebagai bagian dari 5 lima OAT TB RO yang dipersyaratkan di atas
adalah OAT dari grup D1 yang bisa ditambahkan untuk memperkuat efikasi paduan.
Pasien TB RR dan TB MDR akan mendapatkan Isoniazid dosis tinggi dan atau
Etambutol.

4. OAT dari grup D2 dan D3 digunakan untuk paduan OAT individual sebagai pengganti
OAT inti dari grup A,B,C agar syarat 4 empat OAT inti dapat dipenuhi.

D .Paduan OAT standar diperuntukkan bagi pasien TB RR dan TB MDR di


Fasyankes Rujukan TB RO dan Fasyankes TB RO. Berdasarkan durasi pengobatan, Paduan
OAT standar dibedakan menjadi:
 Paduan OAT standar konvensional 20 -26 bulan
 Paduan OAT standar jangka pendek 9 -11 bulan

22
E.Paduan OAT individual diperuntukkan bagi pasien TB pre XDR dan TB XDR.
Paduan individual merupakan kombinasi OAT lini pertama,lini kedua dan OAT jenis baru.
Tatalaksana TB RO memakai paduan individual dilaksanakan di Fasyankes Rujukan TB RO.
Durasi pengobatan menggunakan OAT individual untuk pasien TB pre-XDR dan TB XDR
minimal 24 bulan.
F.Paduan OAT standar dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji kepekaan
M.Tb menjadi paduan individual yang ditetapkan oleh dokter terlatih di Fasyankes Rujukan
TB RO.
G.Paduan individual juga diberikan untuk pasien yang memerlukan OAT jenis baru
karena efek samping berat terhadap OAT lini kedua golongan fluorokuinolon grup A atau
OAT suntik lini kedua grup B sehingga dikhawatirkan mengurangi efikasi paduan OAT yang
diberikan.

23
24
Keterangan :
a. Sikloserin, Etionamid dan asam PAS dapat diberikan dalam dosis terbagi untuk
mengurangi terjadinya efek samping. Selain itu pemberian dalam dosis terbagi
direkomendasikan apabila diberikan bersamaan dengan ART.
b. Sodium PAS diberikan dengan dosis sama dengan Asam PAS yaitu 8gr kandungan aktif
obat dan bisa diberikan dalam dosis terbagi. Mengingat sediaan sodium PAS bervariasi
dalam hal persentase kandungan aktif per berat w/w maka perhitungan khusus harus
dilakukan. Misal Sodium PAS dengan w/w 60% dengan berat per sachet 4 gr akan
memiliki kandungan aktif sebesar 2,4 gr.
c. Bedaquilin diberikan 400 mg/ hari dosis tunggal selama 2 minggu, dilanjutkan dengan
dosis 200 mg intermiten 3 kali per minggu diberikan selama 22 minggu minggu 3 -24.
Pada minggu ke 25 pemberian Bedaquilin dihentikan.
d. Klofazimin diberikan dengan dosis 200-300 mg per hari dosis tunggal selama 2 bulan,
dilanjutkan dengan dosis 100 mg per hari.
e. Pada pengobatan dengan Paduan OAT standar jangka pendek, Kanamisin diberikan selama
4 bulan dengan kemungkinan perpanjangan menjadi 6 bulan bila hasil pemeriksaan
mikroskopis dahak hasinya masih BTA positif. Untuk mengurangi toksisitas injeksi
Kanamisin dapat diberikan 3 kali seminggu pada bulan-5 dan 6.
Penetapan paduan dan dosis OAT TB RO di Indonesia
Pilihan paduan OAT RO yang disediakan oleh Program saat ini adalah:
a. Paduan OAT standar
Paduan OAT standar diberikan kepada pasien TB RR dan TB MDR dengan jangka
waktu sebagai berikut :
 pengobatan OAT standar konvensional 20 -26 bulan
 pengobatan OAT standar jangka pendek 9 -11 bulan .
b.Paduan OAT Individual
Paduan OAT Individual diberikan kepada pasien yang memerlukan perubahan paduan
pengobatan yang fundamental dari pengobatan OAT standar yang sudah digunakan
sebelumnya, misal:
Pasien terkonfirmasi sebagai pasien TB pre-XDR atau TB XDR sejak awal, atau
terjadi resistensi tambahan terhadap OAT lini kedua golongan fluorokuinolon dan obat suntik
lini kedua selama pengobatan OAT standar diberikan. Lama pengobatan minimal 24 bulan.

25
Pasien TB RO yang mengalami efek samping berat terhadap OAT lini kedua
golongan fluorokuinolon dan obat suntik lini kedua. Lama pengobatan sama dengan
pengobatan OAT standar konvensional 20 -26 bulan sesuai dengan respon terhadap
pengobatan yang diberikan.
Penetapan paduan dan dosis OAT RO dilakukan oleh TAK atau dokter terlatih di Fasyankes
Rujukan TB RO atau Fasyankes TB RO.

Paduan OAT standar:

a. Paduan OAT standar konvensional yang diberikan adalah : V

26
2.10 STRATEGI PENGOBATAN

Strategi program pengobatan sebaiknya berdasarkan data uji kepekaan dan frekuensi
penggunaan OAT dinegara tersebut. Dibawah ini beberapa strategi pengobatan TB-MDR

 Pengobatan standar. Data drugs resistancy survey (DRS) dari populasi pasien yang
representatif digunakan sebagai dasar regimen pengobatan karena tidak tersedianya
hasil uji kepekaan indivisual. Seluruh pasien akan mendapatkan regimen pengobatan
yang sama. Pasien yang dicurigai TB-MDR sebaiknya dikonfirmasi dengan uji
kepekaan.
 Pengobatan empiris. Setiap regimen pengobatan dibuat berdasarkan riwayat
pengobatan TB pasien sebelumnya dan data hasil uji kepekaan populasi representatif.
Biasanya regimen empiris akan disesuaikan setelah ada hasil uji kepekaan individual.
 Pengobatan individual. Regimen pengobatan berdasarkan riwayat pengobatan TB
sebelumnya dan hasil uji kepekaan.

Pilihan berdasarkan :
 Ketersediaan OAT lini kedua (second-line)
 Pola resistensi setempat dan riwayat penggunaan OAT lini kedua
 Uji kepekaan obat lini pertama dan kedua

Klasifikasi obat anti tuberkulosis dibagi atas 5 kelompok berdasarkan potensi dan
efikasinya, yaitu :
 Kelompok 1: Sebaiknya digunakan karena kelompok ini paling efektif dan dapat
ditoleransi dengan baik (Pirazinamid, Etambutol)
 Kelompok 2: Bersifat bakterisidal (Kanamisin atau kapreomisin jika alergi terhadap
kanamisin)
 Kelompok 3: Fluorokuinolon yang bersifat bakterisidal tinggi (Levofloksasin)
 Kelompok 4: Bersifat bakteriostatik tinggi (PAS, Ethionamid, Sikloserin)
 Kelompok 5: Obat yang belum jelas efikasinya. Tidak disediakan dalam program ini.

Paduan obat TB RO
Paduan obat TB RO yang akan diberikan kepada semua pasien TB RO
(standardized treatment) adalah :
 Paduan ini hanya diberikan pada pasien yang sudah terbukti TB RO
 Paduan obat standard diatas harus disesuaikan kembali berdasarkan keadaan di

27
bawah ini:
a. Hasil uji kepekaan OAT lini kedua menunjukkan resisten terhadap salah satu
obat diatas. Etambutol dan pirazinamid tetap digunakan
b. Ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut di atas sebelumnya sehingga
dicurigai ada resistensi, misalnya : pasien sudah pernah mendapat kuinolon
untuk pengobatan TB sebelumnya, maka dipakai levofloksasin dosis tinggi.
Apabila sudah terbukti resisten terhadap levofloksasin regimen pengobatan
ditambah PAS, atas pertimbangan dan persetujuan dari tim ahli klinis atau tim
terapeutik
c. Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang sudah dapat
diidentifikasi sebagi penyebabnya
d. Terjadi perburukan keadaan klinis, sebelum maupun setelah konversi biakan.
Hal-hal yang harus diperhatikan adalah kondisi umum, batuk, produksi dahak,
demam, penurunan berat badan

Regimen standar TB RO di Indonesia adalah:


6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs
Z: Pirazinamid, E: Etambutol, Kn: Kanamisin, Lfx: Levofloksasin, Eto: Etionamid, Cs:
Sikloserin

Etambutol tidak diberikan bila terbukti resisten.

2.11. PRINSIP PADUAN PENGOBATAN TB-MDR


1. Setiap rejimen TB RO terdiri dari paling kurang 4 macam obat dengan efektifitas
yang pasti atau hampir pasti.
2. PAS ditambahkan ketika ada resistensi diperkirakan atau hampir dipastikan ada pada
fluorokuinolon. Kapreomisin diberikan bila terbukti resisten kanamisin.
3. Dosis obat berdasarkan berat badan.
Obat suntikan (kanamisin atau kapreomisin) digunakan sekurangkurangnya
selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Periode ini dikenal
sebagai fase intensif. Lama fase intensif: Pemberian obat suntik atau fase intensif
yang direkomendasikan adalah berdasarkan kultur konversi. Obat suntik diteruskan
sekurang-kurangnya 6 bulan dan minimal 4 bulan setelah hasil sputum atau kultur
yang pertama menjadi negatif. Pendekatan individual termasuk hasil kultur, sputum,
foto thorax dan keadaan klinis pasien juga dapat membantu memutuskan
menghentikan pemakaian obat suntik.

4. Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan

28
5. Definisi konversi dahak: pemeriksaan dahak dan biakan 2 kali berurutan dengan jarak
pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif. `
6. Suntikan diberikan 5x/minggu selama rawat inap dan rawat jalan. Obat per oral
diminum setiap hari. Pada fase intesif obat oral diminum didepas petugas kesehatan
kecuali pada hari libur diminum didepan PMO. Sedangkan pada fase lanjutan obat
oral diberikan maksimum 1 minggu dan diminum didepan PMO. Setiap pemberian
suntikan maupun obat oral dibawah pengawasan selama masa pengobatan.
7. Pada pasien yang mendapat sikloserin harus ditambahkan Piridoxin (vit.B6), dengan
dosis 50 mg untuk setiap 250 mg sikloserin
8. Semua obat sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal

2.12. FASE-FASE PENGOBATAN TB RO


I. Fase Pengobatan intensif
Fase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan obat injeksi (kanamisin atau
kapreomisin) yang digunakan sekurang-kurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi
konversi biakan
a. Fase rawat inap di RS 2-4 minggu
Pada fase ini pengobatan dimulai dan pasien diamati untuk:
 Menilai keadaan pasien secara cermat
 Tatalaksana secepat mungkin bila terjadi efek samping
 Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang intensif
Dokter menentukan kelayakan pasien untuk rawat jalan berdasarkan:
 Tidak ditemukan efek samping
 Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan suntikan sesuai dengan pedoman
pengobatan TB RO
b. Fase rawat jalan
Selama fase intensif baik obat injeksi dan obat minum diberikan oleh petugas kesehatan
dengan disaksikan PMO kepada pasien. Pada fase rawat jalan ini obat oral ditelan di rumah
pasien hanya pada libur
II. Fase pengobatan lanjutan
 Fase setelah pengobatan injeksi dihentikan
 Fase lanjutan minimum 18 bulan setelah konversi biakan
 Pasien yang memilih menjalani pengobatan di RS Rujukan TB RO mengambil obat
setiap minggu dan berkonsultasi dengan dokter setiap 1 bulan
PEMANTAUAN DAN HASIL PENGOBATAN
Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap pengobatan dan
mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB – batuk, berdahak, demam dan

29
BB menurun – umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Penilaian
respons pengobatan adalah konversi dahak dan biakan. Hasil uji kepekaan TB RO dapat
diperoleh setelah 2 bulan. Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase
intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien TB RO adalah:
 Penilaian klinis termasuk berat badan
 Penilaian segera bila ada efek samping
 Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase
lanjutan
 Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan
 Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan kegagalan
pengobatan
 Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan (Kanamisin
dan Kapreomisin)
 Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda hipotiroid
Konversi dahak
definisi konversi dahak : pemeriksaan dahak dan biakan 2 kali berurutan dengan jarak
pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif. `Tanggal set pertama dari sediaan apus
dahak dan kultur yang negatif digunakan sebagai tanggal konversi (dan tanggal ini digunakan
untuk menentukan lamanya pengobatan fase intensif dan lama pengobatan).

Penyelesaian pengobatan fase intensif


 Lama pemberian suntikan atau fase intensif di tentukan oleh hasil konversi kultur
 Anjuran minimal untuk obat suntikan harus dilanjutkan paling kurang 6 bulan dan
sekurang-kurangnya 4 bulan setelah pasien menjadi negatif dan tetap negatif untuk
pemeriksaan dahak dan kultur

Lama pengobatan
 Lama pengobatan yang dianjurkan ditentukan oleh konversi dahak dan kultur
 Anjuran minimal adalah pengobatan harus berlangsung sekurangkurangnya 18 bulan
setelah konversi kultur sampai ada bukti-bukti lain untuk memperpendek lama
pengobatan
Hasil pengobatan TB RO (atau kategori IV)
Sembuh. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai protokol program
dan telah mengalami sekurang-kurangnya 5 kultur negatif berturut-turut dari sampel dahak
yang diambil berselang 30 hari dalam 12 bulan terakhir pengobatan. Jika hanya satu kultur
positif dilaporkan selama waktu tersebut, dan bersamaan waktu tidak ada bukti klinis
30
memburuknya keadaan pasien, pasien masih dianggap sembuh, asalkan kultur yang positif
tersebut diikuti dengan paling kurang 3 hasil kultur negatif berturut-turut yang diambil
sampelnya berselang sekurangnya 30 hari
Pengobatan lengkap. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai
protokol program tetapi tidak memenuhi definisi sembuh karena tidak ada hasil pemeriksaan
bakteriologis
Meninggal. Pasien kategori IV meninggal karena sebab apapun selama masa pengobatan TB
RO.
Gagal. Pengobatan dianggap gagal jika 2 atau lebih dari 5 kultur yang dicatat dalam 12 bulan
terakhir masa pengobatan adalah positif, atau jika salah satu dari 3 kultur terakhir hasilnya
positif. Pengobatan juga dapat dikatakan gagal apabila tim ahli klinis memutuskan untuk
menghentikan pengobatan secara dini karena perburukan respons klinis, radiologis atau efek
samping.
Lalai/Defaulted. Pasien kategori IV yang pengobatannya terputus selama berturut-turut dua
bulan atau lebih dengan alasan apapun tanpa persetujuan medik
Pindah. Pasien kategori IV yang pindah ke unit pencatatan dan pelaporan lain dan hasil
pengobatan tidak diketahui

PENANGANAN EFEK SAMPING


A. Pemantauan efek samping selama pengobatan
 OAT lini kedua mempunyai efek samping yang lebih banyak, lebih berat dan lebih
sering dari pada OAT lini pertama
 Deteksi dini efek samping penting karena makin cepat ditemukan dan ditangani
makin baik prognosanya, jadi pasien harus di monitor tiap hari
 Efek samping sering terkait dosis
 Gejala efek samping harus diketahui oleh PMO dan pasien sehingga pasien tidak
menjadi takut saat mengalaminya dan drop-out
 Efek samping bisa ringan, sedang dan berat atau serius. Semua hal harus tercatat
dalam pencatatan dan pelaporan
B. Tempat penatalaksanaan efek samping
 RS rujukan TB RO dan UPK satelit menjadi tempat penatalaksanaan efek samping
tergantung berat ringan gejala.
 Dokter Puskesmas akan menatalaksana efek samping ringan dan sedang. Tim klinis
TB RO di RS rujukan TB RO akan mendapat laporannya

31
 Pasien dengan efek samping berat atau serius dan pasien yang tidak menunjukkan
perbaikan setelah penanganan efek samping ringan atau sedang harus segera dirujuk
ke Tim Klinis RS rujukan MDR dengan transportasi dari Puskesmas
Efek samping berat atau serius:
Pasien harus menghentikan semua obat, segera dirujuk dengan didampingi ke RS rujukan TB
RO Contoh
 kulit dan mata pasien nampak kuning
 Pendengaran berkurang (tuli) atau telinga berdengung
 mendengar suara-suara, halusinasi, delusi/waham, bingung
 Reaksi alergi berat yaitu Syok anafilaktik dan angionerotik edema, harus segera
ditangani oleh dokter puskesmas sesuai standard penanganan syok sebelum segera
dirujuk ke RS rujukan TB-MDR
 Reaksi alergi berat yang lain yang berupa kemerahan pada mukosa (selaput lendir)
seperti mulut, mata dan dapat mengenai seluruh tubuh berupa pengelupasan kulit
(Steven Johnsons Syndrome)

PENGOBATAN TB RO PADA KEADAAN KHUSUS


Pengobatan TB RO pada wanita usia subur
 Semua pasien wanita usia subur harus didahului pemeriksaan kehamilan.
 pemakaian kontrasepsi dianjurkan bagi semua wanita usia produktif yang akan
mendapat pengobatan TB RO.
Pengobatan TB RO pada ibu hamil
 Kehamilan bukan kontraindikasi untuk pengobatan TB RO tetapi sampai saat ini
keamanannya belum diketahui
 Pasien hamil tidak disertakan pada uji pendahuluan ini
 Sebagian besar efek teratogenik terjadi pada trimester pertama sehingga pengobatan
bisa ditangguhkan sampai trimester kedua
Pengobatan TB RO pada ibu menyusui
 Ibu yang sedang menyusui dan mendapat pengobatan TB RO harus mendapat
pengobatan penuh
 Sebagian besar OAT akan ditemukan kadarnya dalam ASI dengan konsentrasi yang
lebih kecil
 Jika ibu dengan BTA positif, pisahkan bayinya beberapa waktu sampai BTA nya
menjadi negatif atau ibu menggunakan masker N-95
Pengobatan TB RO pada pasien yang sedang memakai kontrasepsi hormon

32
 Tidak ada kontraindikasi untuk menggunakan kontrasepsi oral dengan rejimen yang
tidak mengandung riyfamycin
 Seorang wanita yang mendapat kontrasepsi oral sementara mendapat pengobatan
dengan rifampycin bisa memilih salah satu metode berikut: gunakan kontrasepsi oral
yang mengandung dosis oestrogen yang lebih besar (50 μg) atau menggunakan
kontrasepsi bentuk lain
Pengobatan pasien TB RO dengan diabetes mellitus
 Diabetes mellitus bisa memperkuat efek samping OAT, terutama gangguan ginjal dan
neuropati perifer
 Obat-obatan hypoglycaemi oral tidak merupakan kontraindikasi selama pengobatan
TB RO, tetapi mungkin memerlukan dosis yang lebih tinggi sehingga perlu
penanganan khusus
 Penggunaan ethionamida lebih sulit penanganannya
 Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu selama bulan pertama dan
selanjutnya sekurang-kurangnya sekali sebulan
Pengobatan pasien TB RO dengan gangguan ginjal
 Pemberian OAT lini kedua pada pasien dengan gangguan ginjal harus dilakukan
dengan hati – hati
 Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu selama bulan pertama dan
selanjutnya sekurang-kurangnya sekali sebulan
 Pemberian obat, dosis dan atau interval antar dosis harus disesuaikan dengan tabel
diatas (jika terjadi gangguan ginjal).
Pengobatan pasien TB RO dengan gangguan hati
 OAT lini kedua kurang toksis terhadap hati dibanding OAT lini pertama
 Pasien dengan riwayat penyakit hati bisa mendapat pengobatan TB RO jika tidak ada
bukti klinis penyakit hati kronis, karier virus hepatitis, riwayat akut hepatitis dahulu
atau pemakaian alkohol berlebihan.
 Reaksi hepatotoksis lebih sering terjadi pada pasien diatas sehingga harus lebih
diawasi
 Pasien dengan penyakit hati kronik tidak boleh diberikan Pirazinamid
 Pemantauan kadar enzim secara ketat dianjurkan dan jika kadar enzim meningkat,
OAT harus dihentikan dan dilaporkan kepada tim therapeutic advisory
 Jika diperlukan, untuk mengobati pasien TB RO selama hepatitis akut, kombinasi
empat OAT yang tidak hepatotoksis merupakan pilihan yang paling aman

33
Pengobatan pasien TB RO dengan gangguan kejang-kejang (epilepsi)
 Tentukan apakah gangguan kejang terkendali atau telah menelan obat anti kejang
 Jika kejangnya tidak terkendali, pengobatan atau penyesuaian pengobatan anti kejang
diperlukan sebelum mulai pengobatan
 Bila tidak terkendali tidak masuk dalam proyek ini
 Jika ada sebab lain yang menyebabkan kejang, kejangnya harus diatasi
 Cycloserine harus dihindarkan pada pasien dengan gangguan kejang yang aktif dan
tidak cukup terkontrol dengan pengobatan
dengan gangguan psikiatris

STRATEGI DOTS PLUS


Penerapan strategi DOTS plus mempergunakan kerangka yang sana dengan strategi DOT ,
dimana setiap komponen yang ada lebih ditekankan kepada penanganan TB RO
Strategi DOTS plus juga sama terdiri dari 5 komponen kunci :
1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR/XDR.
2. Strategi penemuan kasussecara rasional yang akurat dan tepat waktu menggunakan
pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis ,biakan dan uji kepekaan yang
terjaminmutunya.
3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua ,dengan pengawasan yang
ketat (Direct Observed Treatment/DOT).
4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku
Setiap komponen dalam penanganan TB RO lebih kompleks dan membutuhkan biaya lebih
banyak dibandingkan dengan pasien TB bukan MDR Pelaksanaan program DOTS plus akan
memperkuat Program Penanggulangan TB Nasional.

2.13. PEMBEDAHAN TB-MDR

Prosedur pengobatan yang paling sering dilakukan pada pasien TB-MDR. Dari hasil beberapa
penelitian pembedahan efektif dan relatif aman. Pembedahan tidak diindikasikan pada
penderita dengan gangguan paru luas bilateral. Pembedahan dilakukan pada kasus awal-awal
seperti kelainan suatu lobus atau paru dan setelah pemberian pengobatan selama 2 bulan
untuk menurunkan infeksi bakteri dalam paru. Setelah pembedahan, pengobatan tetap
diberikan selama 12-24 bulan.

BAB III

KESIMPULAN

34
Harus diakui bahwa pengobatan terhadap tuberkulosis dengan resistensi ganda ini
amat sulit dan memerlukan waktu yang amat lama dan pada beberapa keadaan bahkan sampai
24 bulan lamanya. Ada yang menganjurkan agar pasien dirawat di rumah sakit untuk
mencegah penularan dan mengontrol pengobatannya dengan lebih baik. Obat yang dapat
digunakan antara lain adalah golongan fluorokuinolon (ofloksasin dan siprofloksasin),
aminoglikosida (amikasin, kanamisin, dan kapreomisin), etionamid, sikloserin, klofazimin,
amoksilin + as klavulanat dan lain-lain. Pemberian pengobatannya pada dasarnya ”tailor
made”, bergantung dari hasil uji kepekaan. Untuk mereka yang resisten terhadap SM
misalnya Iseman menganjurkan pemberian PZA, EMB, kuinolon dan amikasin selama 18
sampai 24 bulan.

Hasil pengobatan terhadap resistensi ganda tuberkulosis ini juga kurang


menggembirakan. Pada penderita non HIV maka konversi hanya didapat sekitar 50% kasus,
sementara pada penderita dengan HIV (+) maka kematian biasanya terjadi dalam waktu 8
bulan dengan 72%-89% diantaranya meninggal dalam 4 sampai 9 minggu. Laporan lain
menyebutkan bahwa pada penderita non HIV, ”response rate” didapatkan pada 65% kasus
dan kesembuhan pada 56% kasus. Sedangkan penderita TB resistensi ganda dan HIV (+),
angka kematiannya sekitar 70% sampai 80%.

Kepustakaan juga menyebutkan tentang upaya profilaksis khususnya bagi tenaga


kesehatan yang merawat penderita TB dengan resistensi ganda. Beberapa upaya fisik yang
memungkainkan dapat menolong adalah pemberian sinar ultraviolet, penggunaan masker
yang baik, filtrasi udara dan penggunaan ”negative pressure ventilation”. Walaupun WHO
telah menyatakan bahwa upaya-upaya fisik diatas semata-mata adalah ”partial protection”.
Pemberian kemoprofilaksis juga diupayakan, khusus terhadap TB denagn resitensi ganda ini.
Obat yang dianjurkan antara lain adalah kombinasi Pirazinamid 1500 mg/hari dan
siprofloksasin 750 mg dua kali sehari selama empat bulan.

Resistensi ganda terhadap obat tuberkulosis adalah masalah besar dalam


penanggulangan tuberkulosis dewasa ini. Pemberian obat tuberkulosis yang benar dan
terawasi secara baik merupakan salah satu kunci penting untuk mencegah dan mengatasi
masalah ini. Konsep ”Direcly Observed Treatment Short Course” (DOTS) merupakan salah
satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat penderita dan menaggulangi masalah
tuberkulosis khususnya resistensi ganda ini. Perkembangan obat baru mungkin juga
diperlukan untuk menanggulangi hal ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed 3. Balai Penerbit FKUI; 2001.


2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2006.
3. PDPI. Standard Pelayanan Medik Paru. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia cabang
Jakarta; 1998

35
4. Rasad sjahrir, Sukonto Kartoleksono, dan Iwan Ekayuda. Radiologi Diagnostik. Balai
Penerbit FKUI; 2000.
5. Tuberkulosis diagnosis, terapi dan masalahnya, ed III. Lab Mikrobiologi RSUP
Persahabatan / WHO Collaborating Center for Tuberculosis ; 2000
6. Tuberkulosis pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia ; 2006.
7. World Health Organization. Guideline for the programmatic management of
drugresistant tuberculosis . Emergency Update 2008

8. Priantini NN. MDR-TB masalah dan penanggulangannya. Medicinal 2003;4:27-33

9. Why DOTS-Plus for MDR-TB (cited 2008


april).http://www.who.int/gtb/publication/busdocs/index.html

10. Rabia J, Elizabeth MS, Gail EL, Warren RM, Paul DH, Thomas CV . Drug
Resistance in Mycobacterium tuberculosis. Curr. Issues Mol.Biol.8:97-112

36
37

Anda mungkin juga menyukai