Anda di halaman 1dari 41

Laporan Kasus

“CHRONIC KIDNEY DISEASE et causa HIPERTENSI”

Oleh :

LYSI RAHIMISTA

NIM. 10101054

PEMBIMBING

dr.ABDUL KARIM, Sp.PD

ILMU PENYAKIT DALA RSUD TENGKU RAFI’AN


SIAK SRI INDRAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ABDURRAB
PEKANBARU
2016
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Segala puji syukur penulis panjatkan atas rahmat dan nikmat Allah SWT
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “ Chronic Kidney Disease et
causa Hipertensi ”. Laporan kasus ini diajukan sebagai persyaratan untuk mengikuti Ilmu
Penyakit Dalam di RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura

Dalam menyelesaikan laporan kasus ini penulis banyak mendapat bantuan bimbingan dan
dukungan dari berbagai pihak hingga akhirnya laporan kasus ini dapat selesai tepat pada
waktunya. Oleh karena itu sepantasnya penulis mengucapkan terima kasih kepada dokter
pembimbing dan segenap Staff Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri
Indrapura atas bimbingan dan pertolongannya selama menjalani kepanitraan klinik bagian
Penyakit Dalam dan dapat menyelesaikan penulisan dan pembahasan laporan kasus ini.

Dalam penulisan ini, penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, penulis mohon maaf atas segala kesalahan, sehingga kritik dan saran dari
pembaca yang bersifat membangun sangat dibutuhkan untuk kesempurnaan penulisan laporan
kasus berikutnya.

Siak Sri Indrapura, 01 April 2016

Penulis

Lysi Rahimista

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 02
DAFTAR ISI 03

BAB I PENDAHULUAN
I.0 Latar belakang 04

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


II.1.1 Anatomi dan Fisiologi . 06
II.1.2 Definisi chronic heart disease 07
II.1.3 Klasifikasi 07
II.1.4 Epidemiologi 09
II.1.5 Etiologi 10
II.1.6 Patogenesis 11
II.1.7 Patofisiologi 14
II.1.6 Pendekatan Diagnosis 20
II.1.7 Penatalaksanaan 21
II.1.8 Prognosis 22
II.2.1 Definisi dan klasifikasi Hipertensi 22
II.2.2 Patofisiologi 23
II.2.3 Diagnosis 24
II.2.4 Penatalaksanaan 25

II.2.5 Krisis Hipertensi 27

BAB III Ilustrasi Kasus 32

BAB IV PEMBAHASAN 40

DAFTAR PUSTAKA 41

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 3
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.
Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap,
berupa dialysis atau transplantasi ginjal.1
Di Amerika Serikat, the National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease
(NIDDK) melaporkan bahwa 1 diantara 10 laki-laki dewasa Amerika memiliki penyakit ginjal
kronik pada beberapa tingkatan. Penyakit ginjal adalah penyakit nomor sembilan sebagai
penyebab kematian di Amerika Serikat. Berdasarkan data dari NIDDK, insiden penyakit ginjal
kronik di Amerika Serikat pada kelompok usia 20-64 tahun sepanjang tahun 2000 hingga 2008
adalah kurang dari 0,5%. Hal ini sangat berbeda dengan yang dijumpai pada kelompok usia 65
tahun atau lebih yakni terjadi peningkatan insiden dari 1,8% menjadi 4,3%.2

Insidensi gagal ginjal kronik di Indonesia diduga sebesar 100-150 tiap 1 juta penduduk
per tahun. Jika dibandingkan dengan penyakit jantung koroner, stroke, diabetes mellitus dan
kanker, angka gagal ginjal kronik di Indonesia ini jauh lebih kecil, akan tetapi menimbulkan
masalah besar karena biaya pengobatannya mahal dan berjangka lama. Pada tahun 2000 terdapat
sebanyak 2.617 pasien dengan hemodialisis dengan biaya yang ditanggung oleh Askes sebesar
32,4 milyar rupiah dan pada tahun 2004 menjadi 6.314 kasus dengan biaya 67,2 milyar rupiah.3

Sebuah penelitian dilakukan dengan menggunakan data yang didapat dari Alberta Kidney
Disease Network database, dengan studi kohort pada populasi orang dewasa usia 18 tahun ke
atas di Aberta, Kanada pada Maret 1997 hingga April 2009. Dari hasil penelitian ini didapatkan
jumlah pasien sebanyak 3.089.194 orang yang bukan end stage renal desease (ESRD) dengan
laju filtrasi glomerulus > 15 mL/min/1,73 m2 dan terdapat 1.954.836 orang yang tergolong pada
stadium 3b hingga stadium 5 dari penyakit ginjal dengan peningkatan jumlah kreatinin serum.
23.706 (0,8%) pasien sekurang-kurangnya memiliki 1 batu ginjal. 5.333 (0,2%) pasien

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 4
berkembang menjadi ESRD, 68.525 (4%) pasien berkembang menjadi penyakit ginjal kronik
diantara stadium 3b hingga stadium 5 dan 6.581 (0,3%) pasien dengan peningkatan nilai
kreatinin serum. Secara keseluruhan, satu atau lebih kejadian batu ginjal selama evaluasi
berhubungan dengan peningkatan risiko kepada ESRD dengan hazard ratio 2,16. Sementara
terhadap peningkatan risiko menjadi penyakit ginjal kronik diantara stadium 3b hingga stadium 5
menunjukkan nilai harzard ratio 1,74 serta pada pasien yang menunjukkan peningkatan kreatinin
serum memiliki hazard ratio sebesar 1,94.4

Pasien dengan gangguan ginjal akibat batu ginjal ditemukan lebih banyak pada jenis
kelamin perempuan. Hal yang serupa juga ditemukan pada penelitian yang melibatkan 1,5 juta
orang United Kingdom dengan cohort study. Pada penelitian ini juga ditemukan lebih banyak
pada kelompok umur <50 tahun. Kejadian ESRD pada pasien dengan batu ginjal adalah 2,48 per
juta orang per hari dibandingkan dengan kejadian ESRD tanpa riwayat batu ginjal yaitu 0,52 per
juta orang per hari.4

Pasien dengan penyakit ginjal kronik secara umum akan berkembang menjadi penurunan
fungsi ginjal dan berisiko terjadinya ESRD. Tingkat perkembangannya bergantung pada umur,
yang mendasari diagnosis, keberhasilan penerapan pencegahan sekunder dan faktor individual
pasien. Di Amerika Serikat, mortilitas pasien dengan penyakit ginjal kronik pada tahun 2009
tercatat sebesar 56% dan mortilitas pasien dengan penyakit ginjal kronik pada stadium 4 sampai
5 adalah sebesar 76%. Lebih tinggi pada laki-laki dari pada perempuan dan lebih banyak pasa ras
berkulit hitam dari pada ras kulit putih dan lainnya serta lebih banyak pada kelompok umur > 66
tahun. Mortalitas tertinggi terjadi pada 6 bulan pertama pada tahap inisiasi hemodialisis. Survival
rate pasien ESRD dengan dialisis adalah sebesar 35% dan 25% pada pasien dengan diabetes.2

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal

GAMBAR 1: Anatomi Ginjal

Ginjal merupakan suatu organ yang terletak retroperitoneal pada dinding abdomen di
kanan dan kiri columna vertebralis setinggi vertebra T12 hingga L3. Ginjal kanan terletak lebih
rendah dari yang kiri karena besarnya lobus hepar. Ginjal dibungkus oleh tiga lapis jaringan.
Jaringan yang terdalam adalah kapsula renalis, jaringan pada lapisan kedua adalah adiposa, dan
jaringan terluar adalah fascia renal. Ketiga lapis jaringan ini berfungsi sebagai pelindung dari
trauma dan memfiksasi ginjal (Tortora, 2011). Ginjal memiliki korteks ginjal di bagian luar yang
berwarna coklat terang dan medula ginjal di bagian dalam yang berwarna coklat gelap. Korteks
ginjal mengandung jutaan alat penyaring disebut nefron. Setiap nefron terdiri dari glomerulus
dan tubulus. Medula ginjal terdiri dari beberapa massa-massa triangular disebut piramida ginjal
dengan basis menghadap korteks dan bagian apeks yang menonjol ke medial. Piramida ginjal
berguna untuk mengumpulkan hasil ekskresi yang kemudian disalurkan ke tubulus kolektivus
menuju pelvis ginjal (Tortora, 2011).

Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia
darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengekresikan zat terlarut dan air secara selektif.
Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui glomerulus dengan reabsorpsi

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 6
sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat
terlarut dan air di eksresikan keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpulan urin (Price
dan Wilson, 2012). Menurut Sherwood (2011), ginjal memiliki fungsi yaitu: a. Mempertahankan
keseimbangan H2O dalam tubuh. b. Memelihara volume plasma yang sesuai sehingga sangat
berperan dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. c. Membantu memelihara
keseimbangan asam basa pada tubuh. d. Mengekskresikan produk-produk sisa metabolisme
tubuh. e. Mengekskresikan senyawa asing seperti obat-obatan. . Ginjal mendapatkan darah yang
harus disaring dari arteri. Ginjal kemudian akan mengambil zat-zat yang berbahaya dari darah.
Zat-zat yang diambil dari darah pun diubah menjadi urin. Urin lalu akan dikumpulkan dan
dialirkan ke ureter. Setelah ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu di kandung kemih. Bila
orang tersebut merasakan keinginan berkemih dan keadaan memungkinkan, maka urin yang
ditampung dikandung kemih akan di keluarkan lewat uretra (Sherwood, 2011). Tiga proses
utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi.
Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan yang hampir bebas protein dari
kapiler glomerulus ke kapsula Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, di
filtrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula bowman
hampir sama dengan plasma. Awalnya zat akan difiltrasi secara bebas oleh kapiler glomerulus
tetapi tidak difiltrasi, kemudian di reabsorpsi parsial, reabsorpsi lengkap dan kemudian akan
dieksresi (Sherwood, 2011).

II.2 Chronic kidney disease1,2,3,4


2.1 Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.
Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap,
berupa dialysis atau transplantasi ginjal.

2.2 Klasifikasi1

Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage)
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas
dasar laju filtrasi glomerulus (LFG) yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-
Gault sebagai berikut :

LFG (ml/menit/1,73 m2) = (140 – umur) x berat badan

72 x kreatinin plasma (mg/dl)

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 7
(Pada perempuan dikalikan 0,85)

Hasil dari perhitungan rumus tersebut dapat digunkan untuk menentuka derajat penyakit sebagai
berikut:

Tabel 2.1 Derajat kerusakan gagal ginjal kronik


Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau >90
2 meningkat 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun sedang 15-29
5 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun berat <15
Gagal ginjal

Tabel 2.2 kalsifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar derajat penyakit
Penyakit Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal Diabetes tipe 1 dan 2
diabetes
Penyakit glomerular
Penyakit ginjal (penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat, neoplasia)
nondiabetes Penyakit vascular
(penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubuluinterstitial
(pielonefritis kronik, batu, obstruksi,keracunan obat)
Penyakit kistik (Ginjal polikistik)

Rejeksi kronik
Penyakit pada Keracunan obat (siklosporin/ takrolimus)
transplantasi Penyakit recurrent (gromerular)
Transplant glomerulopathy

2.3 Epidemiologi1,3,4

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 8
Di Amerika Serikat, the National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease
(NIDDK) melaporkan bahwa 1 diantara 10 laki-laki dewasa Amerika memiliki penyakit ginjal
kronik pada beberapa tingkatan. Penyakit ginjal adalah penyakit nomor sembilan sebagai
penyebab kematian di Amerika Serikat. Berdasarkan data dari NIDDK, insiden penyakit ginjal
kronik di Amerika Serikat pada kelompok usia 20-64 tahun sepanjang tahun 2000 hingga 2008
adalah kurang dari 0,5%. Hal ini sangat berbeda dengan yang dijumpai pada kelompok usia 65
tahun atau lebih yakni terjadi peningkatan insiden dari 1,8% menjadi 4,3%.2

Insidensi gagal ginjal kronik di Indonesia diduga sebesar 100-150 tiap 1 juta penduduk
per tahun. Jika dibandingkan dengan penyakit jantung koroner, stroke, diabetes mellitus dan
kanker, angka gagal ginjal kronik di Indonesia ini jauh lebih kecil, akan tetapi menimbulkan
masalah besar karena biaya pengobatannya mahal dan berjangka lama. Pada tahun 2000 terdapat
sebanyak 2.617 pasien dengan hemodialisis dengan biaya yang ditanggung oleh Askes sebesar
32,4 milyar rupiah dan pada tahun 2004 menjadi 6.314 kasus dengan biaya 67,2 milyar rupiah.3

Sebuah penelitian dilakukan dengan menggunakan data yang didapat dari Alberta Kidney
Disease Network database, dengan studi kohort pada populasi orang dewasa usia 18 tahun ke
atas di Aberta, Kanada pada Maret 1997 hingga April 2009. Dari hasil penelitian ini didapatkan
jumlah pasien sebanyak 3.089.194 orang yang bukan end stage renal desease (ESRD) dengan
laju filtrasi glomerulus > 15 mL/min/1,73 m2 dan terdapat 1.954.836 orang yang tergolong pada
stadium 3b hingga stadium 5 dari penyakit ginjal dengan peningkatan jumlah kreatinin serum.
23.706 (0,8%) pasien sekurang-kurangnya memiliki 1 batu ginjal. 5.333 (0,2%) pasien
berkembang menjadi ESRD, 68.525 (4%) pasien berkembang menjadi penyakit ginjal kronik
diantara stadium 3b hingga stadium 5 dan 6.581 (0,3%) pasien dengan peningkatan nilai
kreatinin serum. Secara keseluruhan, satu atau lebih kejadian batu ginjal selama evaluasi
berhubungan dengan peningkatan risiko kepada ESRD dengan hazard ratio 2,16. Sementara
terhadap peningkatan risiko menjadi penyakit ginjal kronik diantara stadium 3b hingga stadium 5
menunjukkan nilai harzard ratio 1,74 serta pada pasien yang menunjukkan peningkatan kreatinin
serum memiliki hazard ratio sebesar 1,94.4

Pasien dengan gangguan ginjal akibat batu ginjal ditemukan lebih banyak pada jenis
kelamin perempuan. Hal yang serupa juga ditemukan pada penelitian yang melibatkan 1,5 juta
orang United Kingdom dengan cohort study. Pada penelitian ini juga ditemukan lebih banyak

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 9
pada kelompok umur <50 tahun. Kejadian ESRD pada pasien dengan batu ginjal adalah 2,48 per
juta orang per hari dibandingkan dengan kejadian ESRD tanpa riwayat batu ginjal yaitu 0,52 per
juta orang per hari. 4

2.4 Etiologi1
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan negara yang
lain. Berikut tabel dibawah ini menunjukkan penyebab utama dan insiden penyakit ginjal kronik
di Amerika Serikat. Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indenesia (PERNEFRI) tahun 2000
mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialysis diIndonesia.

Tabel 2.3 Penyebab utama penyak,it ginjal kronik di Amerika Serikat (1995-1999)
Penyebab Insiden
Diabetes mellitus 44%
- Tipe 1 (7%)
- Tipe 2 (37%)
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27%
Glomerulonephritis 10%
Nefritis interstisialis 4%
Kista dan penyakit bawaan yang lain 3%
Penyakit sistemik (misal: lupus dan vaskulitis) 2%
Neoplasma 2%

Tabel 2.4 Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialysis di Indonesia tahun 2000
Penyebab Insiden
Glomerulonephritis 46,39%
Diabetes mellitus 18,65%
Obstruksi dan infeksi 12,85%
Hipertensi 8,46%
Sebab lain 13,65%

2.5 Patogenesis 1,2,3


Secara umum terdapat tiga mekanisme patogenesis terjadinya CKD yaitu
glomerulosklerosis, parut tubulointerstisial, dan sklerosis vaskular.

1. Glomerulosklerosis

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 10
Proses sklerosis glomeruli yang progresif dipengaruhi oleh sel intra-glomerular dan sel
ekstra-glomerular. Kerusakan sel intra-glomerular dapat terjadi pada sel glomerulus intrinsik
(endotel, sel mesangium, sel epitel), maupun sel ekstrinsik (trombosit, limfosit,
monosit/makrofag).
a. Peran sel endotel
Sel endotel glomerular berperan penting dalam menjaga integritas jaringan
vaskular atau vascular bed termasuk glomeruli. Di dalam kapiler glomerular, sel endotel
dapat mengalami kerusakan akibat gangguan hemodinamik (shear stress), atau gangguan
metabolik dan imunologis. Kerusakan tersebut berhubungan dengan reduksi atau
kehilangan fungsi anti inflamasi dan antikoagulasi sehingga mengakibatkan aktivasi dan
agregasi trombosit serta pembentukan mikro trombus pada kapiler glomerulus. Hal ini
juga menyebabkan mikro inflamasi yang menarik sel sel inflamasi (terutama monosit)
sehingga berinteraksi denga sel mesangium dan akhirnya terjadi aktivasi, proliferasi, serta
produksi matriks ekstraselular atau extracellular matrix (ECM).
b. Peran sel mesangium
Kerusakan sel mesangium primer aupun sekunder dapat menyebabkan
glomerulosklerosis. Misalnya setelah terjadi mikroinflamasi, monosit menstimulasi
proliferasi sel mesangium melalui pelepasan mitogen (seperti platelet derived
growthfactor atau PDGF). Hiperselularitas sel mesangium tersebut mendahului terjadinya
sklerosis mesangium. Akibat pengaruh dari growth factor seperti TGF-β1, sel mesangium
yang mengalami proliferasi dapat mejadi sel miofibroblas, yang mensintesis komponen
ECM termasuk kolagen interstisial tipe III, yang bukan merupakan komponen normal
ECM glomerulus. Resolusi sklerosis mesangial dan glomerular tergantung pada
keseimbangan antara sintesis ECM yang meninsebab gkat dengan pemecahan oleh
glomerular kolagenase atau metaloproteinase.
c. Peran sel epitel
Ketidakmampuan podosit untuk bereplikasi terhadap jejas dapat menyebabkan
stretching di sepanjang membran basalis glomerulus atau glomerular
basementmembrane (GBM) sehingga area tersebut menarik sel-sel inflamasi dan sel-sel
tersebut berinteraksi dengan sel parietal epitel menyebabkan formasi adesi kapsular dan
glomeruloslerosis. Hal ini menyebabkan akumulasi material amorf di celah

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 11
paraglomerular, kerusakan glomerular-tubular junction, dan pada akhirnya terjadi atrofi
tubular serta fibrosis interstisial.
d. Peran trombosit dan koagulasi
Trombosit dan produk yang dihasilkannya terdeteksi dalam glomerulus yang
mengalami nefropati. Stimulasi kaskade koagulasi mengaktifkan sel mesangium dan
menginduksi sklerosis. Trombin mestimulasi prosukdi TGF-β1 yang menyebabkan
produksi ECM mesangial dan inhibisi metaloproteinase. Glomerulosklerosis tergantung
pada keseimbangan aktivitas trombus/antiproteolitik dengan antikoagulan/proteolitik
yang diatur oleh sistem regulasi plasminogen.
e. Peran limfosit dan monosit/makrofag
Sel limfosit T-helper dan T-cytotoxic, monosit, dan makrofag terdapat dalam
glomerulus yang rusak. Keseimbangan antara sel limfosit Th-1 yang bersifat inflamasi
dan sel Th-2 yang bersifat anti inflamasi diduga berperan penting dalam resolusi atau
bahkan progresifitas glomerulosklerosis. Deplesi sel monosit atau makrofag memiliki
efek proteksi karena sel-se tersebut dapat memproduksi sitokin dan growth factor yang
mengakibatkan glomerulosklerosis.

2. Parut tubulointerstisial
Derajat keparahan tubulointerstitial fibrosis (TIF) lebih berkorelasi dengan fungsi ginjal
dibandingkan dengan glomerulosklerosis. Proses ini termasuk inflamasi,proliferasi fibroblas
interstisial dan deposisi ECM yang berlebih. Sel tubular yang mengalami kerusakan
berperan sebagai antigen presenting cell yang mengekspresikan cell adhesion molecules dan
melepaskan sel mediator inflamasi seperti sitokin, kemokin, dan growth factor, serta
meningkatkan produksi ECM dan menginvasi ruang periglomerular dan peritubular.
Resolusi deposisi ECM tergantung pada dua jalur yaitu aktivasi matriks metaloproteinase
dan aktivasi enzim proteolitik plasmin oleh aktivator plasminogen. Parut ginjal terjadi akibat
gangguan kedua jalur kolagenolitik tersebut, sehingga teradi gangguan keseimbangan
produksi ECM dan pemecahan ECM yang mengakibatkan fibrosis yang irreversibel.

3. Sklerosis vaskular

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 12
Perubahan pada arteriol dan kerusakan kapiler peritubular oleh berbagai sebab (misalnya
diabetes, hipertensi, glomerulonefritis kronis) akan menimbulkan terjadinya eksaserbasi
iskemi interstisial dan fibrosis. Iskemi serta hipoksia akan menyebabkan sel tubulus dan
fibroblas untuk memproduksi ECM dan mengurangi aktivitas kolagenolitik. Kapiler
peritubular yang rusak akan menurunkan produksi proangiogenic vascular endothelial
growth factor (VEGF) dan ginjal yang mengalami parut akan mengekspresikan
thrombospondin yang bersifat antiangiogenic sehingga terjadi delesi mikrovaskular dan
iskemik.

2.6 Patofisiologi1,2,3,4,5
Orang dengan gangguan monogenetik yang menyebabkan terbentuknya batu ginjal
seperti primary hiperoxaluria dan cystinuria memiliki risiko tinggi terjadinya ESRD dimana
terjadi kerusakan ginjal akibat kedudukan batu. Pada keadaan lain terdapat multifaktor yang
mempengaruhi terbentuknya batu yang pada akhirnya mempengaruhi fungsi ginjal. Hubungan
antara batu kalsium ginjal dan perkembangan penurunan fungsi ginjal mungkin adalah akibat
langsung dari perkembangan kalsifikasi diantara interstitial renal dan lebih spesifik pada
basement membrane tubular dan sekitar duktus Bellini yang pada akhirnya mengakibatkan
kerusakan ginjal lebih banyak dan berpotensi terbentuknya skars, penyakit ginjal kronik dan
ESRD. Kristalisasi pada lumen mengakibatkan kerusakan epitel tubular dan obstruksi akan
berlanjut membentuk skars.4
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang
diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.1

Adanya peningkatan aktivitas aksis renin angiotensin aldosteron intrarenal , ikut


memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi , sklerosis dan progresifitas tersebut.

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 13
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal
kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas
interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.1

Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal
(renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian
secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien
masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti
nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG
dibawah 30%, pasien meperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah
dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi
saluran napas maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air
seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan
kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala komplikasi yang lebih serius , dan pasien
sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.1
Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi :

- Anemia

Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan produksi


eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit menimbulkan anemia
ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan kadar Hb dan diikuti dengan
penurunan kadar hematokrit darah. Selain itu GGK dapat menyebabkan gangguan
mukosa lambung (gastripati uremikum) yang sering menyebabkan perdarahan saluran
cerna. Adanya toksik uremik pada GGK akan mempengaruhi masa paruh dari sel darah
merah menjadi pendek, pada keadaan normal 120 hari menjadi 70 – 80 hari dan toksik
uremik ini dapat mempunya efek inhibisi eritropoiesis.

- Sesak nafas

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 14
Menurut saya disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus juxtaglomerulus
sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting
enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II merangsang
pelepasan aldosteron dan ADH ssehingga menyebabkan retensi NaCl dan air  volume
ekstrasel meningkat (hipervolemia)  volume cairan berlebihan  ventrikel kiri gagal
memompa darah ke perifer  LVH  peningkatan tekanan atrium kiri  peningkatan
tekanan vena pulmonalis  peningkatan tekanan di kapiler paru  edema paru 
sesak nafas

- Asidosis

Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat penurunan kemampuan
ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai dengan penurunan kadar bikarbonat (HCO3)
dan pH plasma. Patogenesis asidosis metabolik pada gagal ginjal kronik meliputi
penurunan eksresi amonia karena kehilangan sejumlah nefron, penurunan eksresi fosfat,
kehilangan sejumlah bikarbonat melalui urin. Derajat asidosis ditentukan oleh
penurunan pH darah. Apabila penurunan pH darah kurang dari 7,35 dapat dikatakan
asidosis metabolik. Asidosis metabolik dpaat menyebabkan gejala saluran cerna seperti
mual, muntah, anoreksia dan lelah. Salah satu gejala khas akibat asidosis metabolik
adalah pernapasan kussmaul yang timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan eksresi
karbon dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis

- Hipertensi

Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga menyebabkan
penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal tersebut menyebabkan
terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus juxtaglomerulus sehingga
mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting enzyme,
angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki efek
vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan tekanan darah.

- Hiperlipidemia

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 15
Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas oleh ginjal
sehingga menyebabkan hiperlipidemia.

- Hiperurikemia

Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam darah
(hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan pengendapan kristal
urat dalam sendi, sehingga sendi akan terlihat membengkak, meradang dan nyeri.

- Hiponatremia

Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon peptida


natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus ginjal. Bila fungsi
ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan jumlah nefron, natriuresis akan
meningkat. Hiponatremia yang disertai dengan retensi air yang berlebihan akan
menyebabkan dilusi natrium di cairan ekstraseluler. Keadaan hiponetremia ditandai
dengan gangguan saluran pencernaan berupa kram, diare dan muntah.

- Hiperfosfatemia

Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga fosfat banyak
yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya terlampaui, fosfat akan bergabung
deng Ca2+ untuk membentuk kalsium fosfat yang sukar larut. Kalsium fosfat yang
terpresipitasi akan mengendap di sendi dan kulit ( berturut-turut menyebabkan nyeri
sendi dan pruritus)

- Hipokalsemia

Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat. Keadaan


hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga
memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi demineralisasi tulang
(osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi fosfat di dalam plasma
tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadi meskipun terjadi
mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma tidak berlebihan dan
konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun pada insufisiensi ginjal, eksresinya melalui
ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga konsentrasi fosfat di plasma meningkat.
Selanjutnya konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di plasma tetap

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 16
rendah. Oleh karena itu, rangsangan untuk pelepasan PTH tetap berlangsung. Dalam
keadaan perangsangan yang terus-menerus ini, kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi
bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH. Kelaina yang berkaitan dengan
hipokalsemia adalah hiperfosfatemia, osteodistrofi renal dan hiperparatiroidisme
sekunder. Karena reseptor PTH selain terdapat di ginjal dan tulang, juga terdapat di
banyak organ lain ( sistem saraf, lambung, sel darah dan gonad), diduga PTH berperan
dalam terjadinya berbagai kelainan di organ tersebut.
Pembentukan kalsitriol berkurang pada gagal ginjal juga berperan dalam
menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Biasanya hormon ini merangsang
absorpsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena terjadi penurunan kalsitriol, maka
menyebabkan menurunnya absorpsi fosfat di usus, hal ini memperberat keadaan
hipokalsemia

- Hiperkalemia

Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H + plasma meningkat, maka
ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel –sel ginjal sehingga mengakibatkan
kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan konsentrasi ion H + dalam sel ginjal
akan menyebabkan peningkatan sekresi hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal
akan berkurang sehingga menyebabkan hiperkalemia. Gambaran klinis dari kelainan
kalium ini berkaitan dengan sistem saraf dan otot jantung, rangka dan polos sehingga
dapat menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon dalam, gangguan
motilitas saluran cerna dan kelainan mental.

- Proteinuria

Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari kerusakan ginjal pada
GGK seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi. Proteinuria glomerular berkaitan
dengan sejumlah penyakit ginjal yang melibatkan glomerulus. Beberapa mekanisme
menyebabkan kenaikan permeabilitas glomerulus dan memicu terjadinya
glomerulosklerosis. Sehingga molekul protein berukuran besar seperti albumin dan
immunoglobulin akan bebas melewati membran filtrasi. Pada keadaan proteinuria berat
akan terjadi pengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang disebu dengan sindrom nefrotik.

- Uremia

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 17
Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari uremia pada GGK
adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal sehingga dapat terjadi akumulasi
ureum dalam darah. Urea dalam urin dapat berdifusi ke aliran darah dan menyebabkan
toksisitas yang mempengaruhi glomerulus dan mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus
ginjal. Bila filtrasi glomerulus kurang dari 10% dari normal, maka gejala klinis uremia
mulai terlihat. Pasien akan menunjukkan gejala iritasi traktus gastrointestinal, gangguan
neurologis, nafas seperti amonia (fetor uremikum), perikarditis uremia dan pneumonitis
uremik. Gangguan pada serebral adapat terjadi pada keadaan ureum yang sangat tinggi
dan menyebabkan koma uremikum.

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 18
Skema 1: Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 19
2.5 Pendekatan Diagnosis1

Gambaran Klinis
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, SLE dan lain sebagianya.
b. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-
kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,klorida).2

Gambaran Laboratoris
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan LFG.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar
asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokhloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic.
d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosituria, cast, isostenuria.

Gambaran Radiologis
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
b. Pielogafi intravena jarang dikerjakan
c. Pielografi antegrad atau retrograde sesuai indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis, kista, massa,kalsifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi

Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal


Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana
diagnosis secara noninvasive tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan
untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan untuk mengevaluasi hasil terapi
yang telah diberikan. Biopsy ginjal indikasi-kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 20
yang sudah mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik,
gangguan pembekuan darah, gagal nafas dan obesitas.

2.8 Penatalaksanaan1

Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya


Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Bila LFG sudah menurun
sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasarnya sudah tidak banyak bermanfaat.

Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid


Faktor-faktor komorbid antara lain: gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak
terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan
radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.

Memperlambat perburukan fungsi ginjal


Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah pembatasan
asupan protein dan terapi farmakologis. Pembatasan protein mulai dilakukan pada LFG
≤60ml/mnt, sedangkan diatas nilai tersebut pembatasan protein tidak dianjurkan. Protein
diberikan 0,6-0,8/kgbb/hari, yang 0,35-0,5 gr diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi.
Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Pembatasan asupan protein akan
mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Asupan protein yang berlebih akan
mnegakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan
glomerulus yang akan meningkatkan progresifitas perburukan fungsi ginjal. Pembatasan protein
juga berkaiatan dengan pembatasan fosfat karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber
yang sama.
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat hemoglobin ≤ 10 g% atau hematokrit ≤ 30%,
meliputi evaluasi terhadap status besi, mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, dan lain
sebagainya. Pemberian eritropeitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi
pada CKD berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat.

Osteodistrofi renal merupakan komplikasi CKD yang sering terjadi. Penatalaksanaannya


dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian kalsitriol. Penatalaksanaan
KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 21
hiperfosfatemia dengan cara membatasi asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan
menghambat absorbsi fosfat di saluran cerna.

Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada CKD stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15
ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialysis atau
transplantasi ginjal.

2.7 Prognosis
Pasien dengan penyakit ginjal kronik secara umum akan berkembang menjadi penurunan
fungsi ginjal dan berisiko terjadinya ESRD. Tingkat perkembangannya bergantung pada umur,
yang mendasari diagnosis, keberhasilan penerapan pencegahan sekunder dan faktor individual
pasien. Di Amerika Serikat, mortilitas pasien dengan penyakit ginjal kronik pada tahun 2009
tercatat sebesar 56% dan mortilitas pasien dengan penyakit ginjal kronik pada stadium 4 sampai
5 adalah sebesar 76%. Lebih tinggi pada laki-laki dari pada perempuan dan lebih banyak pasa ras
berkulit hitam dari pada ras kulit putih dan lainnya serta lebih banyak pada kelompok umur > 66
tahun. Mortalitas tertinggi terjadi pada 6 bulan pertama pada tahap inisiasi hemodialisis. Survival
rate pasien ESRD dengan dialisis adalah sebesar 35% dan 25% pada pasien dengan diabetes.2

II.2.1 Hipertensi 8,9,10

1. Definisi dan Klasifikasi


Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi esensial.
Hipertensi esensial disebut juga hipertensi primer karena penyebabnya belum diketahui. Menurut
The Seventh Report of The Joint National Comitee on Prevention, Detection, Evaluation and
Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi
menjadi kelompok normal, prehipertensi, Hipertensi derajat 1 dan derajat 2.2
 Normal: sistolik < 120 mmHg, diastolik < 80 mmHg
 Prehipertensi: sistolik 120-130 mmHg, diastolik 80-89 mmHg
 Derajat I: sistolik 140-159 mmHg, diastolic 90-99 mmHg
 Derajat II: sistolik 160 mmHg atau lebih, diastolik 100 mmHg atau lebih

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 22
JNC 8 yang dirilis bulan Desember 2013, merekomendasikan target tekanan darah dan
ambang inisiasi penatalaksanaan yang kurang agresif pada pasien lanjut usia dan pada pasien
yang berusia kurang dari 60 tahun disertai diabetes dan penyakit ginjal dibandingkan JNC 7, dan
tidak lagi merekomendasikan diuretic thiazide sebagai satu-satunya terapi awal pada sebagian
besar pasien. Intinya, JNC 8 merekomendasikan target 150/90 mmHg pada pasien yang berusia
lebih dari 60 tahun, dan pada umumnya 140/90 mmHg.4,5

II.2.2. Patofisiologi8,9,10
Hipertensi esensial adalah penyakit yang disebabkan oleh interaksi multifaktorial. Faktor-
faktor risiko yang mendorong timbulnya kenaikan tekanan darah tersebut adalah.2
1. Faktor risiko, seperti: diet dan asupan garam, stress, ras, obesitas, merokok, genetik
2. Sistem saraf simpatis: tonus simpatis dan variasi diurnal
3. Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi
4. Pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin, angiotensin dan
aldosteron

Penyebab hipertensi yang telah diidentifikasi, yaitu:6

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 23
• Sleep apnea
• Akibat obat atau berkaitan dengan obat
• Penyakit ginjal kronik
• Aldosteronisme primer
• Penyakit renovaskular
• Tatalaksana steroid kronik dan sindrom cushing
• Feokromositoma
• Koarktasi aorta
• Penyakit tiroid atau paratiroid
Kerusakan organ target yang sering terjadi pada pasien hipertensi adalah:2
1. Jantung (hipertrofi ventrikel kiri, angina atau infark miokardium, gagal jantung)
2. Otak (stroke atau transient ischemic attack)
3. Penyakit ginjal kronis
4. Penyakit arteri perifer
5. Retinopati
Sedangkan faktor risiko penyakit kardiovaskuler pada pasien hipertensi antara lain:2
 Merokok
 Obesitas
 Kurangnya aktivitas fisik
 Dislipidemia
 Diabetes mellitus
 Mikroalbuminuria atau perhitungan LFG <60 ml/menit
 Umur (laki-laki >55 tahun, perempuan >65 tahun)
 Riwayat keluarga dengan penyakit jantung kardiovaskuler premature (laki-laki <55
tahun, perempuan <65 tahun)

II.2.3. Diagnosis8,9
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil rata-rata pengukuran tekanan darah yang
dilakukan minimal 2 kali tiap kunjungan pada 2 kali kunjungan atau lebih dengan menggunakan
cuff yang meliputi minimal 80% lengan atas pada pasien dengan posisi duduk dan telah
beristirahat 5 menit (tekanan sistolik merupakan suara fase I dan tekanan diastolic merupakan

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 24
suara fase II). Pengukuran pertama kali harus dilakukan pada kedua sisi lengan untuk
menghindari kesalahan karena kelainan pembuluh darah kapiler. Pengukuran tekanan darah pada
waktu berdiri dianjurkan pada pasien dengan risiko hipotensi postural (lanjut usia, pasien DM
dll).
Diagnosis banding hipertensi dapat berupa peningkatan tekanan darah akibat white coat
hypertension, rasa nyeri, peningkatan tekanan intraserebral, ensefalitis, akibat obat, dll.
Pemeriksaan penunjang diperlukan pada pasien hipertensi yang meliputi:
• Urinalisis
• Tes fungsi ginjal
• Gula darah
• Elektrolit
• Profil lipid
• Foto thoraks
• EKG
• Sesuai penyakit penyerta à asam urat, aktivitas renin plasma, aldosteron, katekolamin
urin, ISG pembuluh darah besar, USG ginjal, ekokardiografi

2.4. Penatalaksanaan8.9
Berikut merupakan algoritme penatalaksanaan hipertensi berdasarkan Panduan Pelayanan
Medik PAPDI.1

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 25
KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 26
Dimana tujuan pengobatan pasien hipertensi, yaitu:2
1. Target tekanan darah <140/90 mmHg, untuk individu berisiko tinggi (diabetes, gagal
ginjal proteinuria) <130/80 mmHg
2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler
3. Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria
Terapi nonfarmakologis terdiri dari:2
 Menghentikan merokok
 Menurunkan berat badan berlebih
 Menurunkan konsumsi alcohol berlebih
 Latihan fisik
 Menurunkan asupan garam
 Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak

2.7. Krisis Hipertensi8,9,10


Krisis hipertensi adalah suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang
sangat tinggi (tekanan darah sistolik ≥180 mm Hg dan / atau diastolik ≥120 mm Hg) yang
membutuhkan penanganan segera.7,8
Angka kejadian krisis HT menurut laporan dari hasil penelitian dekade lalu di negara
maju berkisar 2 – 7% dari populasi HT, terutama pada usia 40 – 60 tahun dengan pengobatan

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 27
yang tidak teratur selama 2 – 10 tahun. Angka ini menjadi lebih rendah lagi dalam 10 tahun
belakangan ini karena kemajuan dalam pengobatan HT, seperti di Amerika hanya lebih kurang
1% dari 60 juta penduduk yang menderita hipertensi9,10. Di Indonesia belum ada laporan tentang
angka kejadian ini.
Berdasarkan keterlibatan organ target, krisis hipertensi dibagi menjadi dua kelompok
yaitu:7,8,9
Hipertensi darurat (emergency hypertension) : kenaikan tekanan darah mendadak
(sistolik ≥180 mm Hg dan / atau diastolik ≥120 mm Hg) dengan kerusakan organ target yang
bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan segera, dalam hitungan menit sampai
jam.
Hipertensi mendesak (urgency hypertension) : kenaikan tekanan darah mendadak
(sistolik ≥180 mm Hg dan / atau diastolik ≥120 mm Hg) tanpa kerusakan organ target yang
progresif atau minimal. Sehingga penurunan tekanan darah bisa dilaksanakan lebih lambat,
dalam hitung jam sampai hari.
Faktor penyebab krisis hypertensi masih belum dipahami secara jelas. Peningkatan
tekanan darah secara cepat disertai peningkatan resistensi vaskular dipercaya menjadi penyebab.
Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis
fibrinoid arteriol kemudian berdampak pada kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan
kerusakan fungsi autoregulasi.10,11,12

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 28
Gambar 2 Faktor pencetus krisis hipertensi1

Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan kerusakan organ target yang ada.
Tanda dan gejala krisis hipertensi berbeda – beda setiap pasien. Sakit kepala, perubahan tingkat
kesadaran dan atau tanda neurologi fokal bisa terjadi pada pasien dengan hipertensi ensefalopati 1.
Pada pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati dengan perubahan arteriola,
Perdarahan dan eksudasi maupun papiledema. Pada sebagian pasien yang lain manifestasi
kardiovaskular bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal
jantung kiri akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal akut dengan oliguri dan atau
hematuria bisa saja terjadi.7,10,13

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 29
Skema :Patofisiologi krisis hipertensi1

Dalam penatalaksaan kegawatan hipertensi dua hal penting perlu dipertimbangkan yaitu
berapa cepat dan berapa rendah tekanan darah harus diturunkan. Penurunan tekanan darah
sampai normal pada umumnya tidak diperlukan bahkan pada keadaan tertentu bukan merupakan
tujuan pengobatan.12,13,14
Tujuan pengobatan Hipertensi emergensi adalah memperkecil kerusakan organ target
akibat tingginya tekanan darah dan menghindari pengaruh buruk akibat pengobatan. Berdasarkan

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 30
prinsip ini maka obat anti hipertensi pilihan adalah yang bekerja cepat, efek penurunan tekanan
darah dapat dikontrol dan dengan sedikit efek samping.Tujuan pengobatan menurunkan tekanan
arteri rata-rata (MABP) sebanyak 25 % atau mencapai tekanan darah diastolic 100 – 110 mmHg
dalam waktu beberapa menit sampai satu atau dua jam.13,14,15

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 31
BAB III

ILUSTRASI KASUS

1. Identitas pasien
Nama : Tn. AH
Umur : 25 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh
Status : Menikah
Alamat : Sialang sakti- Dayun
No-MR :14-06-00
Masuk RS : 04 Maret 2016

ANAMNESIS (Autoanamnesis)

 Keluhan Utama : Sesak sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak sejak 1 hari yang lalu, Sesak yang dirasakan
tidak dipengaruhi oleh aktifitas, sesak tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi, debu,
udara dingin, ataupun alergen lainnya, nyeri dada (-), sesak napas sering dirasakan
beberapa hari terakhir dan mengganggu aktivitas sehari-hari dan memberat sejak 1 hari
ini selain itu pasien mengeluhkan cepat terasa lelah, badan terasa lemas, dan
mengeluhkan pusing, berdenyut-denyut tanpa disertai pandangan kabur. Kaki pernah
bengkak sebelumnya (-).
Pasien mengeluhkan batuk berdahak sejak dirawat dirumah sakit, batuk bewarna
putih disertai lendir, batuk disertai darah disangkal. Batuk sering muncul malam hari dan
mengganggu tidur pasien dan nyeri ulu hati saat batuk muncul disertai mual, muntah (-).
2 bulan sebelumnya pasien memeriksakan diri ke klinik setempat dengan keluhan
mudah lelah dan tekanan darah tinggi, sebelumnya pasien tidak pernah memeriksakan
rutin tekanan darahnya dan riwayat minum obat hipertensi disangkal.

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 32
Riwayat Penyakit Dahulu:

 Riwayat penyakit Asma tidak ada


 Hipertensi ada sejak 2 bulan yang lalu
 Diabetes melitus tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga:

 Riwayat hipertensi pada Ibu pasien


 Riwayat diabetes mellitus tidak ada

Riwayat pekerjaan, kebiasaan, dan sosial ekonomi :

- Pasien bekerja sebagai buruh


- Sosial ekonomi menengah.
- Pasien memiliki kebiasaan merokok 1 bungkus perhari sejak SMA sampai sekarang,
mengkonsumsi alkohol disangkal

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Komposmentis

Tekanan darah : 140/90 mmHg

Nadi : 100 kali/menit, reguler

Pernafasan : 28 kali/menit

Suhu : 36,7oC

Keadaan gizi

BB : 65 kg

TB : 160 cm

IMT : 65/(1.60)2 = 20,3 kg/m2 → normal

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 33
STATUS GENERALISATA

Kepala

Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera tidak ikterik(-/-), pupil bulat,

isokor, reflek cahaya +/+

Bibir : mukosa bibir normal, sianosis (-)

Leher : KGB tidak membesar, tidak ada peningkatan JVP

Thorak

Paru :

- Inspeksi : Bentuk dan gerakan dinding simetris kiri dan kiri. Tidak tampak
penggunaan otot bantu pernapasan.
- Palpasi : Vocal fremitus sama kanan dan kiri
- Perkusi : sonor pada semua lapangan paru bagian kanan dan kiri.
- Auskultasi : suara paru vesicular kanan dan kiri tidak ditemukan suara
tambahan wheezing maupun rhonki.
Jantung :
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat.
- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba.
- Perkusi : Batas jantung kanan adalah linea sternalis dekstra dan batas
jantung kiri adalah 2 jari medial linea midclavicula sinistra intercostalis V.
- Auskultasi : Bunyi jantung (S1 dan S2) normal.
Abdomen :

- Inspeksi : Perut cembung, tidak ada venektasi, scars, lesi dan ruam.
- Auskultasi : Bising usus didengar dalam batas normal
- Palpasi : Supel, nyeri tekan pada epigastrium, nyeri ketok tidak ada. Hepar
dan lien tidak teraba.
- Perkusi : Timpani, tidak ada shifting dullness.

Ekstremitas :

- akral hangat

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 34
- Capillary refill time < 2 second.
- tidak ada edema.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Tanggal 04 Maret 2016

- Darah Rutin
Leukosit : 10.400/μl

HB : 5,4 gr/dl

Hematokrit : 16,5 %

Trombosit : 116.000/μl

Eritrosit : 2.23juta/mm3

- Serologi
HbsAg : Positif (+) non reaktif
- Fungsi Hati
SGOT/AST : 14 mg/dl
SGPT/AST : 13 mg/dl
- Elektrolit
Na+ : 127 mEq/l
Ka+ : 4.2 mEq/l
Cl- : 103 mEq/l
- Tes fungsi ginjal
Ureum : 200 mg/dl
Kreatinin : 20.5 mg/dl
Asam Urat : 7.6 mg/dl

Tanggal 05 Maret 2016

- Darah Rutin
Leukosit : 7.300/μl

HB : 6,3 gr/dl

Hematokrit : 19,1 %

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 35
Trombosit : 103.000/μl

Eritrosit : 2.46 juta/mm3

Tanggal 06 Maret 2016

- Darah Rutin
Leukosit : 8.100/μl

HB : 6,6 gr/dl

Hematokrit : 20,2 %

Trombosit : 102.000/μl

Eritrosit : 2.51juta/mm3

RESUME

Pasien Tn. AH usia 25 tahun, datang ke RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura
dengan keluhan sesak napas sejak 1 hari SMRS. Sesak yang dirasakan tidak dipengaruhi oleh
aktifitas, sesak tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi, debu, udara dingin, ataupun alergen
lainnya, nyeri dada (-), sesak napas sering dirasakan beberapa hari terakhir dan mengganggu
aktivitas sehari-hari dan memberat sejak 1 hari ini selain itu pasien mengeluhkan cepat terasa
lelah, badan terasa lemas, dan mengeluhkan pusing, berdenyut-denyut tanpa disertai pandangan
kabur. Kaki pernah bengkak sebelumnya (-). Pasien mengeluhkan batuk berdahak sejak dirawat
dirumah sakit, batuk bewarna putih disertai lendir, batuk disertai darah disangkal. Batuk sering
muncul malam hari dan mengganggu tidur pasien dan nyeri ulu hati saat batuk muncul disertai
mual, muntah (-). 2 bulan sebelumnya pasien memeriksakan diri ke klinik setempat dengan
keluhan mudah lelah dan tekanan darah tinggi, sebelumnya pasien tidak pernah memeriksakan
rutin tekanan darahnya dan riwayat minum obat hipertensi disangkal.
Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 140/90 mmHg dengan nadi 100 kali/menit,
frekuensi nafas 28 kali/menit dengan suhu 36.5OC. Kongjungtiva tampak anemis (+/+), sklera
ikterik (-/-). Pemeriksaan thoraks jantung dan paru didapatkan dalam batas normal. Nyeri tekan
pada daerah epigastrium (-) disertai mual, muntah tidak ada. Hasil laboratorium Hb: 5,4 gr/dl dan
Hematokrit: 16,5 % pada hari pertama pasien datang kerumah sakit dengan HbSAg (+) non
reaktif, Hb terakhir diperiksa 6,6 gr/dl dan Hematokrit: 20,2 % selain itu tes fungsi ginjal
didapatkan hasil ureum 200 mg/dl dan kreatinin 20.5 mg/dl elektrolit Na+ 127mEq/l
(hiponatremia)

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 36
DAFTAR MASALAH

- Sesak
- Hipertensi
- Anemia

DIAGNOSIS KERJA

- Chronic kidneys disease (CKD) grade V


- Hipertensi stage 1
- Anemia
- Hepatitis B
RENCANA PEMERIKSAAN

- Rontgen Thoraks PA
- USG
- Darah rutin, tes fungsi ginjal, analisis gas darah dan cek elektrolit
RENCANA PENATALAKSANAAN
a. Non-medikamentosa
- Tirah baring
- O2 (3-4 liter)
- Diet rendah protein
a. Medikamentosa
- IVFD NaCl 0,9 % 20 tpm/ 8 jam
- Injeksi Ceftriaxon 2 amp x 1
- Injeksi Ranitidine 2 amp x 1
- Lasix 1x1
- Codein 10 mg
- Aspar k
- Transfusi PRC 2 kolf
- Hemodialisa

FOLLOW UP
Kamis, 05 Maret 2016

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 37
S : sesak napas dan batuk berdahak, mual (+)

O : Tekanan darah : 130/90 mmHg, nadi : 96 x/menit, pernafasan : 28 x/menit, suhu: 36,6oC

A : Chronic kidney disease grade V dengan anemia + Hipertensi stage 1 + Hepatitis B

P : - IVFD NaCl 0,9 % 20 tpm/ 8 jam


- Injeksi Ceftriaxon 2 amp x 1
- Injeksi Ranitidine 2 amp x 1
- Lasix 1x1
- Codein 10 mg
- Aspar k
- Transfusi PRC 2 kolf
- Hemodialisa

Jum’at, 06 Maret 2016

S : sesak napas dan batuk berdahak, mual (+), muntah (-), nyeri ulu hati

O : Tekanan darah : 140/90 mmHg, nadi : 100 x/menit, pernafasan : 28 x/menit, suhu:
36,6oC

A : Chronic kidney disease grade V dengan anemia + Hipertensi stage 1 + Hepatitis B

P : - IVFD NaCl 0,9 % 20 tpm/ 8 jam


- Injeksi Ceftriaxon 2 amp x 1
- Injeksi Ranitidine 2 amp x 1
- Lasix 1x1
- Codein 10 mg
- Aspar k
- Transfusi PRC 1 kolf
- Hemodialisa

Kamis, 07 Maret 2016

S : sesak napas dan batuk berdahak, mual (+)

O : Tekanan darah : 150/90 mmHg, nadi : 96 x/menit, pernafasan : 28 x/menit, suhu: 36,6oC

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 38
A : Chronic kidney disease grade V dengan anemia + Hipertensi stage 1 + Hepatitis B

P : - IVFD NaCl 0,9 % 20 tpm/ 8 jam


- Injeksi Ceftriaxon 2 amp x 1
- Injeksi Ranitidine 2 amp x 1
- Lasix 1x1
- Codein 10 mg
- Aspar k
- Hemodialisa
Catatan: Rujuk keRSUD Arifin Achmad Pekanbaru untuk dihemodialisa

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 39
BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosis dari kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Sesak napas dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan suplai oksigen
dengan kebutuhan, selain itu bisa disebabkan oleh kelainan paru dan ekstra paru. Pada pasien
ini, sesak disebabkan oleh gangguan fungsi ginjal yang bisa disebabkan oleh hipertensi yang
diderita pasien yang menyebabkan gangguan metabolic berupa asidosis metabolic sehingga
frekuensi nafas meningkat. Semakin menurunnya fungsi renal terjadi asidosis metabolik akibat
ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Laju penurunan fungsi ginjal dan
perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein
dalam urin, dan adanya hipertensi.
Pasien juga menderita hipertensi. Hipertensi pada pasien ini diakibatkan karena banyak
faktor. Salah satu elemen yang berperan yaitu keseimbangan natrium. Retensi natrium dan
sekresi renin mengakibatkan kenaikan volume plasma dan volum cairan ekstraseluler. Ekspansi
volume plasma akan mempertinggi tekanan pengisian jantung dan cardiac output akan
mempertinggi tonus arteriol dan pengecilan diameter arteriol sehingga tahanan perifer
meningkat. Pada gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein
yang normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka gejala akan
semakin berat. Penurunan jumlah glomeruli yang normal menyebabkan penurunan klirens
substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Dengan menurunnya glomerulo filtrat
rate (GFR) mengakibatkan penurunan klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum.
Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia,
nause maupun vomitus yang menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Peningkatan ureum dan kreatinin sampai ke otak mempengaruhi fungsi kerja,
mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada neurosensori. Selain itu Blood Ureum
Nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat. Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat
dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan
elektrolit. Natrium dan cairan tertahan meningkatkan resiko gagal jantung kongestif.

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 40
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, A. W dkk. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi
V. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2009. p. 1035 – 1040.
2. Kamaludin Ameliana. 2010. Gagal Ginjal Kronik. Jakarta : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UPH.
3. Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification and
stratification, New York National Kidney Foundation, 2002.
4. Sherwood, Lauralee. Sistem Kemih. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran ECG ; 2001. p. 463 – 503.
5. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC; 2008. 172-4.
6. Silbernagl, S dan Lang, F. Gagal Ginjal kronis. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2007. p. 110 – 115.
7. Nafrialdi. Antihipertensi. Farmakologi dan Terapi. Edisi 6. Jakarta: Gaya Baru; 2007. 341-3.
8. Sharma S, et all. Hypertension. 2008; http//:www.emedicine.com. [diakses tanggal 28 Maret
2011].
9. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi VI.
Jakarta: EGC; 2006.
10. Armilawaty, Amalia H, Amiruddin R. Hipertensi dan Faktor Risikonya dalam Kajian
Epidemiologi.http://www.ridwanamiruddin.wordpress.com/2007/ 12/08/ hipertensi-dan-
faktor-risikonya-dalam-kajian-epidemiologi/ [diakses 3 juni 2013]

KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura Page 41

Anda mungkin juga menyukai