Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

Gagal napas adalah ketidakmampuan sistem pernapasan untuk


mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer
dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhna tubuh normal(1).
Gagal napas terjadi bila tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) < 60
mmHg atau tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2)> 50mmHg
(2,3) .Gagal napas adalah masalah klinis yang sangat serius, yang
dikaitkan dengan morbiditas, mortalitas, dan biaya yang tinggi.
Morbiditas dan mortalitas meningkat dengan bertambahnya usia dan
komorbiditas. Perkiraan kejadian gagal napas yang akurat sulit
ditentukan karena definisi yang tidak seragam dan heterogenitas
penyebab dan manifestasi klinis.

Epidemiologi gagal napas di dunia dapat diketahui seperti di


Amerika Selatan (10,1 per 100.000 orang / tahun), Eropa, (17,9 per
100.000 orang / tahun), Australia (34 per 100.000) orang / tahun) dan
AS (78,9 per 100.000 orang / tahun). Mortalitas pada pasien ARDS
masih tinggi (3). Dua pertiga dari pasien yang bertahan hidup setelah
gagal napas menunjukkan gangguan fungsi paru-paru. Kematian yang
signifikan terjadi pada pasien dengan hiperkapnia. Sebagian besar
pasien ini memiliki gangguan respirasi kronis dan kondisi
komorbiditas seperti gangguan kardiopulmoner, ginjal, hati atau
neurologis, dan malnutrisi (4).
Di Indonesia sendiri, tidak ada data atau informasi yang jelas
mengenai kejadian gagal napas ini, sedangkan kasus gagal napas

1
sering kita jumpai di rumah sakit. Berdasarkan hal diatas, penulis
tertarik untuk membahas kasus tentang Gagal Napas dan
penatalaksanaannya, sehingga hasil dari penulisan ini dapat berguna
bagi kita apabila bertemu kasus yang serupa nantinya.

2
BAB II

ILUSTRASI KASUS
Seorang pasien perempuan umur 30 tahun kiriman RST
Padang tanggal 26 Desember 2018, datang dengan keluhan sesak
meningkat sejak 1 hari yang lalu.Sesak napas menciut, dipengaruhi
cuaca, emosi, dan makanan. Diluar serangan pasien masih bisa
beraktivitas seperti biasa. Dalam 1 bulan ini pasien sering terbangun
malam hari karena sesak napasnya. Sesak napas dirasakan saat
istirahat ataupun aktivitas. Karena sesak napasnya, pasien berobat ke
IGD RST Reksodiwiryo Padang, dilakukan nebulisasi sebanyak 3 kali,
karena tidak ada perubahan, pasien dirujuk untuk penatalaksanaan
selanjutnya. Riwayat sesak sudah dirasakan sejak 15 tahun yang lalu,
pasien sudah dikenal dengan asma bronkial, rutin kontrol ke poli paru
RST mendapatkan obat hirup berotec dan seretide.

Batuk berdahak meningkat sejak 2 hari yang lalu, dahak putih


kekuningan. Demam saat ini tidak ada, tetapi riwayat demam ada 1
hari yang lalu, tidak tinggi, tidak mengigigil Nyeri ulu hati, mual, dan
muntah tidak ada. Penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan
tidak ada.

Riwayat Atopi ada, yaitu rhinitis alergi, diketahui sejak 15


tahun yang lalu. Riwayat minum obat anti tuberkulosis, Diabetes
Mellitus, dan hipertensi pada pasien tidak ada. Riwayat penyakit
keluarga, ditemukan ada anggota keluarga yang menderita penyakit
yang sama dengan pasien, yaitu ibu kandung pasien. Pasien seorang
ibu rumah tangga, dan tidak merokok.

3
Pemeriksaan umum didapatkan kesadaran somnolen, keadaan
umum berat, keadaan gizi sedang,dengan tinggi badan 155 cm, berat
badan 56 kg, dan indeks mass tubuh 23,3.Tekanan darah 110/70
mmHg, nadi 140x/menit, pernapasan 36x/menit. Pemeriksaan fisik
ditemukan mata konjungtiva tidak anemis, skelera tidak ikterik, JVP
5+0 cmH2O, tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening.

Pemeriksaan fisik dada dan punggung didapatkan inspeksi


simetris, pergerakan kanan sama dengan kiri. Palpasi fremitus kanan
sama dengan kiri, perkusi sonor kanan dan kiri, auskultasi suara napas
ekspirasi memanjang di kedua lapangan paru, ada wheezing, dan
ronkhi.

Pemeriksaan fisik bagian lain pada jantung, abdomen dan


ekstremitas didapatkan jantung didapatkan iktus tidak terlihat, iktus
teraba 1 jari lateral linea midclavicularis sinistra (LMCS) ruang
intercostal (RIC) V. Perkusi jantung tidak dilakukan. Auskultasi bunyi
jantung terdengar irama teratur, murmur tidak ada, gallop tidak ada.
Pemeriksaan fisik abdomen ditemukan inspeksi tidak tampak
membuncit, palpasi supel, hepar dan lien tidak teraba, ditemukan nyeri
tekan epigastrium, perkusi timpani dan auskultasi bising usus positif
normal. Pemeriksaan ekstremitas tungkai, tidak ditemukan edema dan
clubbing finger.

Pemeriksaan penunjang awal dilakukan pemeriksaan


laboratorium dan radiologi. Laboratorium didapatkan hemoglobin(Hb)
15,9g/dl, leukosit 19.820/mm3, hematokrit 48%, trombosit
587.000/mm3, gula darah sewaktu (GDS) 150 mg/dl, ureum 10 mg/dl,

4
kreatinin 0,7 mg/dl, natrium 143 mmol/l, kalium 3,9 mmol/l, klorida
109 mmol/L, total protein 7,9 g/dl, albumin 4,7g/dl, globulin3,2g/dl,
bilirubin total 0,4mg/dl. Analisa Gas darah didapatkan PH 7,19/ PCO2
63,8/PO2 182,8/HCO3- 24,7/Beecf -3,6/SO2 99,2 Kesan hasil
laboratorium gagal napas tipe 2.

Foto thoraks didapat tidak sentris, tidak simetris, densitas


sedang, tampak infiltrat di perihiler kanan, dan parakardial kiri.
Kesan Pneumonia.

Gambar 1. Rontgen Thorax


28 Desember 2018 di RSUP DR.M.Djamil
Pasien didiagnosa kerja dengan Gagal napas tipe II ec. Asma
persisten berat dalam serangan akut berat (mengancam jiwa) + Sepsis
ec. Community Acquired pneumonia

5
Tatalaksana awal pasien dimulai dari :

1. O2 via NRM 10 liter selang seling bagging

2. Terapi infus dengan IVFD Nacl 0,9% 12 jam/kolf

3. Injeksi Meropenem 3x1 gr

4. Nebu ventholin 3x1 respul selang seling nairet 3x0,3 cc

5. Injeksi dexamethason 3x2 ampul

6. Flumuicyl nebu 2x1 respul

Pasien direncanakan masuk ICU atas indikasi gagal napas tipe 2,


tetapi karena tempat penuh, pasien untuk sementara dirawat di HCU
paru RSUP DR. M. Djamil.

Follow keesokan harinya, pasien mengalami penurunan


kesadaran, dimana tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 135x/menit,
nafas 36x/menit, pasien diperiksakan analisa gas darah cito dengan
hasil PH 7,16/PCO2 98,2,dengan kesan AGD gagal napas tipe II
perburukan dari sebelumnya.Pasien lalu dikonsulkan cito ke ICU
untuk pemasangan ventilator.

Follow up H-1 di ICU


Subjektif : pasien dalam pengaruh obat
Pasien terpasang ventilator
Objektif : tekanan darah 120/70 mmHg
Nadi 125x/menit
Nafas 30x/menit

6
Saturasi oksigen 99%
Paru : Suara nafas ekspirasi memanjang, wh +/+ ronki
-/-
Hasil labor AGD: pH 7,43, pCO2 40,6, pO2 236, BE 2,
8, HCO3- 27,3 Sp O2 99,7%
Assesment : Gagal Napas tipe 2 (perbaikan) ec asma persisten
sedang dalam serangan akut mengancam jiwa
Planning : terapi lanjut
Follow up H-2 ICU
Subjektif : pasien dalam pengaruh obat
Pasien terpasang ventilator
Objektif : tekanan darah 100/70 mmHg
Nadi 110x/menit
Nafas on ventilator
Saturasi oksigen 99%
Paru : Suara nafas ekspirasi memanjang, wh +/+ ronki
-/-
Hasil labor AGD: pH 7,468, pCO2 36, pO2 138,5, BE
3,3, HCO3- 26,8 Sp O2 99,7%
Assesment : gagal napas tipe 2 (perbaikan) ec Asma persisten Seda
ng dalam serangan akut mengancam Jiwa.
Planning : terapi lanjut
Follow up H-3 ICU
Subjektif : pasien sadar
Sesak sudah berkurang
Objektif : tekanan darah 100/70 mmHg
Nadi 110x/menit

7
Saturasi oksigen 99%
Paru : Suara nafas ekspirasi memanjang, wh +/+ ronki
-/-
Hasil labor AGD: pH 7,53, pCO2 , pO2 16,75, BE 9,3,
HCO3- 32,1 Sp O2 98,9%
Kesan : Alkalosis metabolik
Assesment : Perbaikan
Planning : pindah HCU paru

Di HCU paru pasien dirawat selama 4 hari dengan hasil Analisa Gas
Darah terakhir dengan FiO2 0,3/ PH 7,43 / PCO2 35,9 / PO2 93,7 /
HCO3- 27,3 / BEecf 2,1 didapatkan kesan dalam batas normal

BAB III

8
PEMBAHASAN

Telah dilaporkan seorang pasien perempuan usia 30 tahun


dengan diagnosis gagal napas tipe 2 ec asma persisten berat dalam
seranngan akut berat. Diagnosis ditegakkan dari anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien ini sesak
napas meningkat sejak 2 hari yang lalu, sesak napas menciut,
menigkat dengan aktivitas, dalam satu bulan ini hampir setiap malam
pasien terbangun malam karena sesak.batuk ada sejak 2 hari yang
lalu,, dahak warna kuning, sulit dikeluarkan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan suara napas ekspirasi


memanjang dan ada ronkhi serta wheezing dikedua lapangan paru,
Hasil pemeriksaan AGD dengan FiO2 didapatkan PH 7,16/ PCO2
62,8/ PO2 182,8/ HCO3- 24,7/ SO2 99%, didapatkan kesan asidosis
respiratorik dengan gagal napas tipe 2.

3.1. Definisi

Gagal napas adalah ketidakmampuan sistem pernapasan untuk


mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer
dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhna tubuh normal1.
Gagal napas terjadi bila tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) < 60
mmHg atau tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2)> 50mmHg2, 3.
Pada pasien ini terlihat jelas pada pemeriksaan analisa gas
darahnya PCO2 > 50 mmHg, menandakan adanya gagal napas tipe 2
e.c asma persisten berat dalam serangan akut berat.

3.2. Klasifikasi

9
Berdasarkan analisa gas darah arteri, gagal napas dapat
diklasifikasikan menjadi : gagal napas tipe 1 (hipoksemia) yang
dainggap mewakili kegagalan paru intrinsik, seperti yang terjadi pada
penumonia, penyakit paru interstitial dan edema paru akut, dimana
PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2 yang normal atau rendah, dan
dikatakan gagal napas tipe 2 (hiperkapnia) yang dianggap sebagai
kegagalan pompa dari otot bernapasan yang lebih dominan
hipoventilasi, apabila kadar PaO2 < 60 mmHg dengan peningkatan
PaCO2 > 50 mmHg(2, 3). Sedangkan klasifikasi lainnya yaitu gagal
napas akut, kronis dan akut-pada-kronis biasanya terdapat pada gagal
napas tipe hiperkapnia. Gagal napas hiperkapnia akut, dijumpai
peningkatan PaCO2 yang cepat mengakibatkan berlebihnya ion
hidrogen dalam darah arteri melalui peruraian asam karbonat (H 2CO3),
yang mengarah kepada asidosis respiratorik (pH <7,35). Sebaliknya
gagal napas hiperkapnia kronis ditandai dengan pH normal (7,35 -
7,45) meskipun adanya peningkatan PaCO2 yang tinggi, hal ini
disebabkan terdapat waktu untuk ginjal mengkompensasi dengan cara
retensi biakrbonat (HCO3-), yang mengakibatkan meningkatnya HCO3-
serum yang menjadi buffer ion hidrogen yang berlebih. Dan disebut
gagal napas akut pada kronis apabila terjadi perburukan yang akut
pada pasien dengan gagal napas kronis sehingga pH <7,35 meskipun
bikarbonat serum meningkat. Namun, dengan meningkatnya kadar
HCO3- serum, PaCO2 akan secara bermakna lebih tinggi dibandingkan
pasien dengan gagal napas hipeerkapnia akut.(2)
3.3. Patofisiologi
Secara umum mekanisme gangguan pertukaran gas pada
sistem respirasi meliputi gangguan diffusi, ketidaksesuaian

10
ventilasi/perpusi (V/Q missmatch), pirau kanan ke kiri (right-to-left
shunt) dan hipoventilasi.(7) Sesuai patofisiologinya gagal napas dapat
dibedakan dalam dua bentuk yaitu hipoksemia atau kegagalan
oksigenisasi dan hiperkapnia atau kegagalan ventilasi

3.3.1.Kegagalan Oksigenisasai (Gagal napas tipe 1/Hipoksemia)


Gagal napas hipoksemia adalah tidak adekuatnya pertukaran
gas di paru karena ketidakmampuan untuk mengoksidasi darah vena.
Ciri utama gagal napas hipoksemia adalah adanya kadar PaO2

Gambar 2. Klasifikasi Gagal Napas(2)

dibawah 60 mmHg pada udara ruangan yang sesuai dengan SpO2

11
Gambar 3. Mekanisme patofisiologi gagal napas hipoksemia (2)

3.3.2. Kegagalan Ventilasi (Gagal Napas tipe II/Hiperkapnea)


Gagal napas tipe II adalah kegagalan tubuh untuk
mengeluarkan CO2, pada umumnya disebabkan oleh kegagalan

ventilasi yang ditandai dengan retensi CO2 (peningkatan PaCO2 atau


hiperkapnia) disertai dengan penurnan pH yang abnormal dan
penurunan PO2 atau hipoksemia. Hal ini muncul sebagai akibat dari
ketidakseimbangan antara tiga komponen pompa otot pernapasan;
beban pada sistem pernapasan, kapasitas pompa otot pernapasan dan
dorongan dari persyarafan pernapasan.(2, 4)
3.4. Diagnosis
3.4.1. Tanda dan gejala
Manifestasi dari gagal napas mencerminkan gabungan dari
gambaran klinis penyakit yang mendasarinya, faktor pencetus, serta

12
manifestasi hipoksemia dan hiperkapnia. Dengan demikian gambaran
klinisnya cukup bervariasi karena berbagai faktor dapat menjadi
pencetusnya (Tabel 1).

Tabel 1. Manifestasi klinis hipoksemia dan hiperkapnia(4)


Hipoksemia Hiperkapnia

Neurologis Anietas Somnolen dan letargi


Perubahan status mental Asteriks
Kejang Tidak dapat tenang
bingung Bicara kacau
Sakit kepala
Penurunan kesadaran

Kardiovaskular Takikardi Vasodilaatasi perifer


Aritmia Takikardi
Bradikardi dan hipotensi (jika memberat) Aritmia

Pernapasan Takipnu Tanda obstruksi atau


Penggunaan otot aksessoris pernapasan penyempitan jalan napas
(cth: stridor, mengi)

Umum Sianosis Perifer hangat


Diaporesis

3.5. Laboratorium
3.5.1. Analisa Gas Darah
Gejala klinis gagal napas sangat bervariasi dan tidak spesifik.
Jika gejala klinis gagal napas sudah terjadi maka analisis gas darah
harus dilakukan untuk memastikan diagnosa, dan membedakan tipe
gagal napas. Hal ini penting untuk menilai berat ringannya gagal
napas dan perencanaan terapi. Analisa gas darah dilakukan untuk
patokan terapi oksigen dan penilaian objektif dari berat-ringan gagal
napas.
Pada kasus ini dapat kita lihat nilai analisa gas darahnya ketika
pertama kali masuk IGD dengan FiO2 1 yaitu PH 7,19 / PCO2 63,8 /

13
PO2 182,8 / BEecf -3,6 / HCO3- 24,7 / SO2 99 %, dengan kesan gagal
napas tipe 2
Interpretasi hasil analisa gas darah meliputi dua bagian, yaitu
gangguan keseimbangan asam-basa dan perubahan oksigenasi
jaringan.

3.6. Pemeriksaan Penunjang


3.6.1. Pulse Oximetri
Saturasi oksigen darah kapiler > 90% dianggap normal.
Penurunan SpO2 secara tiba-tiba <80% berhubungan dengan gagal
napas. Pada umumnya, pasien menunjukkan gejala klinis gagal napas
ketika SpO2 <90%. Bersamaan dengan pengukuran saturasi SpO2,
serum bikarbonat (HCO3) dapat menolong untuk menentukan apakah
suatu penyakit ini dengan retensi karbon dioksida (HCO3 meningkat)
yang mendasari gagal napas tersebut atau adanya suatu asidosis
(HCO3 menurun). (5)
3.6.2. Foto Toraks
Harus dilakukan pada pasien dengan gagal napas dalam rangka
untuk membantu diagnosis penyebab. Gambaran infiltrat yang difus
pada foto toraks berhubungan dengan pneumonia, edema paru,
aspirasi, penyakit paru interstitial yang progresif, memar paru, dan
perdarahan alveolar. Perubahan minimal pada foto toraks sering
terlihat pada eksaserbasi akut penyakit paru obstruktif kronis, asma,
emboli paru dan depresi pernapasan. Foto toraks juga digunakan untuk
menilai pneumotoraks, kolpas paru dan efusi. Pada pasien asma,
hiperinflasi paru berhubungan dengan obstruksi saluran udara kecil
yang berat.

14
3.7. Penatalaksanaan

Gagal napas merupakan salah satu kegawatdaruratan. Untuk


itu penanganannnya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum
di rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU),
dimana segala perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal
napas tersedia. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal napas
adalah: membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan
perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying disease, yaitu
penyakit yang mendasari gagal napas tersebut.

3.7.1. Atasi Hipoksemia

Terapi Oksigen

Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya


untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal
napas dari penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien
sudah terbiasa dengan keadaan hiperkapnia sehingga pusat pernapasan
tidak terangsang oleh hiperbaric drive melainkan terhadap hypoxemic
drive. Akibatnya kenaikan PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat
menjadi apnoe.(6)
Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah
pasien benar-benar membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian
oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur dalam
jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi
dan menghindari toksisitas.(7)

15
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang
dibutuhkan pada pasien-pasien dengan keadaan hipoksemi akut.
Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena jika tidak
diberikan akan menimbulkan cacat tetap atau kematian. Pada kondisi
ini oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu
pendek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen
diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan
meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan oksigen dapat
diberikan terus-menerus.(8)
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu low-
flow delivery (sistem arus rendah) dan high-flow delivery (sistem arus
tinggi) (Tabel 2).
Alat oksigen arus tinggi diantaranya ventury mask dan
reservoir nebulizer blenders. Alat venturi mask menggunakan prinsip
jet mixing (efek Bernoulli). Dengan sistem ini bermanfaat untuk
mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35%).Dua
indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini
adalah pasien yang memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien dengan
ventilasi abnormal.(7)

Tabel 2. Cara pemberian Oksigen (7)

16
Alat 02 flow rate FiO2 Keuntungan Kerugian

(L/m)

Low flow delivery devices :

Kanul nasal 2-6 0,24 - Pasien nyaman FiO2


0,35 bervariasi
dengan
Volume
ekspirasi

Simple mask 4-8 0,24 - - FiO2


0,40 bervariasi
dengan
Volume
ekspirasi

High-flow delivery devices :

Venturi mask 2 - 12 0,25 - FiO2 konstan dengan Aliran tidak


0,50 Volume ekspirasi adekuat pada
FiO2 tinggi

Nonrebreathing 6 -15 0,70 - FiO2 tinggi Tidak


mask 0,90 nyaman;
FiO2 tidak
dapat
disesuaikan

High-flow O2 6 - 20 0,50 - FiO2 tinggi pada


blender 0,90 aliran total tinggi

3.7.2. Atasi Hiperkarbia


Jalan Napas (airway)
Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenisasi dan
pemberian obat-obatan pernapasan. Pada semua pasien gangguan
pernapasan harus dipikirkan dan diperikja adanya obstruksi jalan
napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan napas artifisial seperti
endotracheal tube (ETT) berdasarkan manfaat dan risiko jalan napas
artifisial dibandingkan jalan napas alami.(1, 7)

17
Pada pasien gagal napas akut, pilihan didasarkan pada apakah
oksigen, obat-obatan pernapasan, dan terapi pernapasan via jalan
napas alami cukup adekuat ataukah lebih baik dengan jalan napas
artifisial. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah seperti pada
Tabel 3.
Tabel 3. Indikasi Intubasi dan ventilasi mekanik

Secara Fisiologis

a. Hipoksemia menetap setelah pemberian oksigen

b. PaCO2 > 55mmHg dengan pH<7,25

c. Kapasitas vital < 15 ml/kgBB dengan penyakit neuromuskular

Secara Klinis

a. Perubahan status mental dengan gangguan proteksi jalan napas

b. Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik

c. Obstruksi jalan napas (pertimbangkan trakeostomi jika obstruksi


terletak di atas trakea)

d. Sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan pasien, dan butuh
penyedotan

Panduan untuk memilih pasien yang memerlukan intubasi


endotrakeal di atas mungkin berguna, tetapi pengkajian klinis respon
terhadap terapi lebih berguna dan bermanfaat. Faktor lain yang perlu
dipikirkan adalah ketersediaan fasilitas dan potensi manfaat ventilasi
tekanan positif tanpa ETT (ventilasi tekanan-positif non-invasif,
NIPPV=NIV)(1, 7)

18
Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal
napas atau keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas (gawat nafas
yang tidak segera teratasi). Kondisi yang mengarah ke gagal napas
adalah termasuk hipoksemia yang refrakter, hiperkapnia akut atau
kombinasi keduanya.Keputusan untuk memasang ventilator harus
dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75% pasien yang dipasang
ventilator umumnya memerlukan alat tersebut lebih dari 48 jam. Bila
seorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam maka kemungkinan dia
tetap hidup keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas dari ventilator)
jadi lebih kecil. Secara statistik angka survival berhubungan sekali
dengan diagnosa utama, usia, dan jumlah organ yang mengalami
kegagalan fungsi.(7)
3.7.3. Terapi suportif Lainnya
Fisioterapi Dada
Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal napas juga unutk
tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernapas dengan baik, bila
perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan
telapak tangan pada saat inspirasi. PAsien melakukan batuk yang
efektif. Dilakukan juga tepuka-tepukan pada dada, punggung,
dilakukan perkusi, vibrasi dan drainage postural. Kadang-kadang
diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator(1)
Bronkodilator (Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik)
Obat-obat ini lebih efektif diberikan dalam bentuk inhalasi
dibandingkan jika diberikan secara parenteral atau oral, karena untuk
efek bronkodilatasi yang sama, efek samping secara inhalasi lebih
sedikit sehingga dosis besar dapat diberikans ecara inhalasi.Pemilihan
obat didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian, dan efek

19
samping. Diantara yang tersedia adalah elbuterol, metaproterenal,
terbutalin. Efek samping meliputi tremor, takikardia, palpitasi, aritmia,
dan hipokalemia.(7)
Teofiilin
Teofilin adalah penghambat fosfodiesterasi yang tidak selektif.
Selain bronkodilatasi, teofilin meningkatkan laju pust pernapasan,
daya tahan otot pernapasan, pembersihan mukosiliar, curah jantung
dan pelebaran arteri paru. Teofilin jarang digunakan karena memiliki
potensi efek samping seperti takikari, mual dan muntah. Komplikasi
syang lebih parah ialah aritmia jantung, hipokalemia, perubahan status
mental, dan kejang.(1, 9)
Kortikosteroid
Kortikosteroid biasanya digunakan pada pasien dengan latar
belakang penyakit PPOK atau asma untuk mengurangi inflamasi
saluran napas dan hiperaktifitas dari otot-otot trakeo-bronkial. Steroid
serosol kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan hampir
selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Efek samping berupa
hiperglikemia, hipokalemia, retensi natrium dan air, miopati steroid
akut, gangguan sistem imu, kelainan psikiatrik, gastritis dan
perdarahan gastrointestinal dapat terjadi pada pemakaian
kortikosteroid parenteral. (1, 4)

20
BAB IV

KESIMPULAN

1. Gagal napas adalah ketidakmampuan sistem pernapasan untuk


mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan
sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhna tubuh normal.
2. Pada pasien ini berdasarkan analisa gas darah arteri ketika pertama kali
masuk IGD,, kriteria untuk gagal napas tipe 2 sudah terpenuhi, dilihat dari
nilai PH 7,19 / PCO2 63,8 / PO2182,8 / HCO3- 24,7 / BEecf -3,6 / SO2
99,2%.
3. Penurunan kesadaran yang terjadi pada pasien merupakan manifestasi
klinis dari gagal napas pada sistem neurologis, takikardia pada sistem
kardiovaskuler, dan tanda obstruksi (mengi) pada sistem pernapasan.
4. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal napas adalah: membuat
oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta
menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal
napas tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

1. Amin Z, Purwoto J. Gagal napas akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K
MS, Setati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5 ed. Jakarta:
InternaPublishing; 2009. p. 218-26.

2. Suh E-S, Hart N. Respiratory failure. Medicine. 2102;40(6):293–7.

3. Belda FJ, Soro M, Ferrando C. Pathophysiology of respiratory failure. Trends in

Anaesthesia and Critical Care. 2013;3(5):265-9.

4 Bhandary R, Randles D. Respiratory failure. Surgery. 2012;30(10):518-24.

5. Jubran A. Pulse oximetry. Critical care. 1999;3(2):R11-R7. PubMed PMID:

11094477. Pubmed Central PMCID: 137227.

6. Unyainah ZNA. Terapi Oksigen. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS,

Setati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5 ed. Jakarta:


InternaPublishing;

2009. p. 161-5.

7. Sue DY, Vintch JRE. Respiratory Failure. In: Bongard FS, Sue DY, Vintch JRE,

editors. Current Diagnosis & Treatment Critical Care. 3rd ed. New York: Lange

Medical Books/McGraw-Hill; 2008. p. 247-313.

8. Brusasco V, Pellegrino R. Oxygen in the rehabilitation of patients with chronic

obstructive pulmonary disease: an old tool revisited. American journal of

respiratory and critical care medicine. 2003 Nov 1;168(9):1021-2. PubMed


PMID:

14581283.

9. Forte P, Mazzone M, Portale G, Falcone C, Mancini F, Silveri NG. Approach to

respiratory failure in emergency department. European review for medical and

pharmacological sciences. 2006 May-Jun;10(3):135-51. PubMed PMID:

16875048.

Anda mungkin juga menyukai