PENDAHULUAN
1
sering kita jumpai di rumah sakit. Berdasarkan hal diatas, penulis
tertarik untuk membahas kasus tentang Gagal Napas dan
penatalaksanaannya, sehingga hasil dari penulisan ini dapat berguna
bagi kita apabila bertemu kasus yang serupa nantinya.
2
BAB II
ILUSTRASI KASUS
Seorang pasien perempuan umur 30 tahun kiriman RST
Padang tanggal 26 Desember 2018, datang dengan keluhan sesak
meningkat sejak 1 hari yang lalu.Sesak napas menciut, dipengaruhi
cuaca, emosi, dan makanan. Diluar serangan pasien masih bisa
beraktivitas seperti biasa. Dalam 1 bulan ini pasien sering terbangun
malam hari karena sesak napasnya. Sesak napas dirasakan saat
istirahat ataupun aktivitas. Karena sesak napasnya, pasien berobat ke
IGD RST Reksodiwiryo Padang, dilakukan nebulisasi sebanyak 3 kali,
karena tidak ada perubahan, pasien dirujuk untuk penatalaksanaan
selanjutnya. Riwayat sesak sudah dirasakan sejak 15 tahun yang lalu,
pasien sudah dikenal dengan asma bronkial, rutin kontrol ke poli paru
RST mendapatkan obat hirup berotec dan seretide.
3
Pemeriksaan umum didapatkan kesadaran somnolen, keadaan
umum berat, keadaan gizi sedang,dengan tinggi badan 155 cm, berat
badan 56 kg, dan indeks mass tubuh 23,3.Tekanan darah 110/70
mmHg, nadi 140x/menit, pernapasan 36x/menit. Pemeriksaan fisik
ditemukan mata konjungtiva tidak anemis, skelera tidak ikterik, JVP
5+0 cmH2O, tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening.
4
kreatinin 0,7 mg/dl, natrium 143 mmol/l, kalium 3,9 mmol/l, klorida
109 mmol/L, total protein 7,9 g/dl, albumin 4,7g/dl, globulin3,2g/dl,
bilirubin total 0,4mg/dl. Analisa Gas darah didapatkan PH 7,19/ PCO2
63,8/PO2 182,8/HCO3- 24,7/Beecf -3,6/SO2 99,2 Kesan hasil
laboratorium gagal napas tipe 2.
5
Tatalaksana awal pasien dimulai dari :
6
Saturasi oksigen 99%
Paru : Suara nafas ekspirasi memanjang, wh +/+ ronki
-/-
Hasil labor AGD: pH 7,43, pCO2 40,6, pO2 236, BE 2,
8, HCO3- 27,3 Sp O2 99,7%
Assesment : Gagal Napas tipe 2 (perbaikan) ec asma persisten
sedang dalam serangan akut mengancam jiwa
Planning : terapi lanjut
Follow up H-2 ICU
Subjektif : pasien dalam pengaruh obat
Pasien terpasang ventilator
Objektif : tekanan darah 100/70 mmHg
Nadi 110x/menit
Nafas on ventilator
Saturasi oksigen 99%
Paru : Suara nafas ekspirasi memanjang, wh +/+ ronki
-/-
Hasil labor AGD: pH 7,468, pCO2 36, pO2 138,5, BE
3,3, HCO3- 26,8 Sp O2 99,7%
Assesment : gagal napas tipe 2 (perbaikan) ec Asma persisten Seda
ng dalam serangan akut mengancam Jiwa.
Planning : terapi lanjut
Follow up H-3 ICU
Subjektif : pasien sadar
Sesak sudah berkurang
Objektif : tekanan darah 100/70 mmHg
Nadi 110x/menit
7
Saturasi oksigen 99%
Paru : Suara nafas ekspirasi memanjang, wh +/+ ronki
-/-
Hasil labor AGD: pH 7,53, pCO2 , pO2 16,75, BE 9,3,
HCO3- 32,1 Sp O2 98,9%
Kesan : Alkalosis metabolik
Assesment : Perbaikan
Planning : pindah HCU paru
Di HCU paru pasien dirawat selama 4 hari dengan hasil Analisa Gas
Darah terakhir dengan FiO2 0,3/ PH 7,43 / PCO2 35,9 / PO2 93,7 /
HCO3- 27,3 / BEecf 2,1 didapatkan kesan dalam batas normal
BAB III
8
PEMBAHASAN
3.1. Definisi
3.2. Klasifikasi
9
Berdasarkan analisa gas darah arteri, gagal napas dapat
diklasifikasikan menjadi : gagal napas tipe 1 (hipoksemia) yang
dainggap mewakili kegagalan paru intrinsik, seperti yang terjadi pada
penumonia, penyakit paru interstitial dan edema paru akut, dimana
PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2 yang normal atau rendah, dan
dikatakan gagal napas tipe 2 (hiperkapnia) yang dianggap sebagai
kegagalan pompa dari otot bernapasan yang lebih dominan
hipoventilasi, apabila kadar PaO2 < 60 mmHg dengan peningkatan
PaCO2 > 50 mmHg(2, 3). Sedangkan klasifikasi lainnya yaitu gagal
napas akut, kronis dan akut-pada-kronis biasanya terdapat pada gagal
napas tipe hiperkapnia. Gagal napas hiperkapnia akut, dijumpai
peningkatan PaCO2 yang cepat mengakibatkan berlebihnya ion
hidrogen dalam darah arteri melalui peruraian asam karbonat (H 2CO3),
yang mengarah kepada asidosis respiratorik (pH <7,35). Sebaliknya
gagal napas hiperkapnia kronis ditandai dengan pH normal (7,35 -
7,45) meskipun adanya peningkatan PaCO2 yang tinggi, hal ini
disebabkan terdapat waktu untuk ginjal mengkompensasi dengan cara
retensi biakrbonat (HCO3-), yang mengakibatkan meningkatnya HCO3-
serum yang menjadi buffer ion hidrogen yang berlebih. Dan disebut
gagal napas akut pada kronis apabila terjadi perburukan yang akut
pada pasien dengan gagal napas kronis sehingga pH <7,35 meskipun
bikarbonat serum meningkat. Namun, dengan meningkatnya kadar
HCO3- serum, PaCO2 akan secara bermakna lebih tinggi dibandingkan
pasien dengan gagal napas hipeerkapnia akut.(2)
3.3. Patofisiologi
Secara umum mekanisme gangguan pertukaran gas pada
sistem respirasi meliputi gangguan diffusi, ketidaksesuaian
10
ventilasi/perpusi (V/Q missmatch), pirau kanan ke kiri (right-to-left
shunt) dan hipoventilasi.(7) Sesuai patofisiologinya gagal napas dapat
dibedakan dalam dua bentuk yaitu hipoksemia atau kegagalan
oksigenisasi dan hiperkapnia atau kegagalan ventilasi
11
Gambar 3. Mekanisme patofisiologi gagal napas hipoksemia (2)
12
manifestasi hipoksemia dan hiperkapnia. Dengan demikian gambaran
klinisnya cukup bervariasi karena berbagai faktor dapat menjadi
pencetusnya (Tabel 1).
3.5. Laboratorium
3.5.1. Analisa Gas Darah
Gejala klinis gagal napas sangat bervariasi dan tidak spesifik.
Jika gejala klinis gagal napas sudah terjadi maka analisis gas darah
harus dilakukan untuk memastikan diagnosa, dan membedakan tipe
gagal napas. Hal ini penting untuk menilai berat ringannya gagal
napas dan perencanaan terapi. Analisa gas darah dilakukan untuk
patokan terapi oksigen dan penilaian objektif dari berat-ringan gagal
napas.
Pada kasus ini dapat kita lihat nilai analisa gas darahnya ketika
pertama kali masuk IGD dengan FiO2 1 yaitu PH 7,19 / PCO2 63,8 /
13
PO2 182,8 / BEecf -3,6 / HCO3- 24,7 / SO2 99 %, dengan kesan gagal
napas tipe 2
Interpretasi hasil analisa gas darah meliputi dua bagian, yaitu
gangguan keseimbangan asam-basa dan perubahan oksigenasi
jaringan.
14
3.7. Penatalaksanaan
Terapi Oksigen
15
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang
dibutuhkan pada pasien-pasien dengan keadaan hipoksemi akut.
Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena jika tidak
diberikan akan menimbulkan cacat tetap atau kematian. Pada kondisi
ini oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu
pendek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen
diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan
meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan oksigen dapat
diberikan terus-menerus.(8)
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu low-
flow delivery (sistem arus rendah) dan high-flow delivery (sistem arus
tinggi) (Tabel 2).
Alat oksigen arus tinggi diantaranya ventury mask dan
reservoir nebulizer blenders. Alat venturi mask menggunakan prinsip
jet mixing (efek Bernoulli). Dengan sistem ini bermanfaat untuk
mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35%).Dua
indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini
adalah pasien yang memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien dengan
ventilasi abnormal.(7)
16
Alat 02 flow rate FiO2 Keuntungan Kerugian
(L/m)
17
Pada pasien gagal napas akut, pilihan didasarkan pada apakah
oksigen, obat-obatan pernapasan, dan terapi pernapasan via jalan
napas alami cukup adekuat ataukah lebih baik dengan jalan napas
artifisial. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah seperti pada
Tabel 3.
Tabel 3. Indikasi Intubasi dan ventilasi mekanik
Secara Fisiologis
Secara Klinis
d. Sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan pasien, dan butuh
penyedotan
18
Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal
napas atau keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas (gawat nafas
yang tidak segera teratasi). Kondisi yang mengarah ke gagal napas
adalah termasuk hipoksemia yang refrakter, hiperkapnia akut atau
kombinasi keduanya.Keputusan untuk memasang ventilator harus
dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75% pasien yang dipasang
ventilator umumnya memerlukan alat tersebut lebih dari 48 jam. Bila
seorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam maka kemungkinan dia
tetap hidup keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas dari ventilator)
jadi lebih kecil. Secara statistik angka survival berhubungan sekali
dengan diagnosa utama, usia, dan jumlah organ yang mengalami
kegagalan fungsi.(7)
3.7.3. Terapi suportif Lainnya
Fisioterapi Dada
Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal napas juga unutk
tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernapas dengan baik, bila
perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan
telapak tangan pada saat inspirasi. PAsien melakukan batuk yang
efektif. Dilakukan juga tepuka-tepukan pada dada, punggung,
dilakukan perkusi, vibrasi dan drainage postural. Kadang-kadang
diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator(1)
Bronkodilator (Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik)
Obat-obat ini lebih efektif diberikan dalam bentuk inhalasi
dibandingkan jika diberikan secara parenteral atau oral, karena untuk
efek bronkodilatasi yang sama, efek samping secara inhalasi lebih
sedikit sehingga dosis besar dapat diberikans ecara inhalasi.Pemilihan
obat didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian, dan efek
19
samping. Diantara yang tersedia adalah elbuterol, metaproterenal,
terbutalin. Efek samping meliputi tremor, takikardia, palpitasi, aritmia,
dan hipokalemia.(7)
Teofiilin
Teofilin adalah penghambat fosfodiesterasi yang tidak selektif.
Selain bronkodilatasi, teofilin meningkatkan laju pust pernapasan,
daya tahan otot pernapasan, pembersihan mukosiliar, curah jantung
dan pelebaran arteri paru. Teofilin jarang digunakan karena memiliki
potensi efek samping seperti takikari, mual dan muntah. Komplikasi
syang lebih parah ialah aritmia jantung, hipokalemia, perubahan status
mental, dan kejang.(1, 9)
Kortikosteroid
Kortikosteroid biasanya digunakan pada pasien dengan latar
belakang penyakit PPOK atau asma untuk mengurangi inflamasi
saluran napas dan hiperaktifitas dari otot-otot trakeo-bronkial. Steroid
serosol kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan hampir
selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Efek samping berupa
hiperglikemia, hipokalemia, retensi natrium dan air, miopati steroid
akut, gangguan sistem imu, kelainan psikiatrik, gastritis dan
perdarahan gastrointestinal dapat terjadi pada pemakaian
kortikosteroid parenteral. (1, 4)
20
BAB IV
KESIMPULAN
1. Amin Z, Purwoto J. Gagal napas akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K
MS, Setati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5 ed. Jakarta:
InternaPublishing; 2009. p. 218-26.
6. Unyainah ZNA. Terapi Oksigen. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS,
2009. p. 161-5.
7. Sue DY, Vintch JRE. Respiratory Failure. In: Bongard FS, Sue DY, Vintch JRE,
editors. Current Diagnosis & Treatment Critical Care. 3rd ed. New York: Lange
14581283.
16875048.