Anda di halaman 1dari 41

Laporan Kasus

Tuberkulosis

Oleh:

dr. Haldan Aerastama

Pendamping :

dr. Elza Astri Safitri

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

PUSKESMAS TENAM

KABUPATEN BATANGHARI PROVINSI JAMBI

2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas rahmat Allah Ta’ala Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas
kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Tuberkulosis”.

Makalah ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam Program Internsip Dokter
Indonesia stase Puskesmas Tenam periode 23 Mei 2022 – 23 November 2022. Selain
itu, besar harapan penulis dengan adanya makalah ini mampu menambah pengetahuan
para pembaca mengenai Tuberkulosis mulai dari definisi hingga penatalaksanaannya.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Elza Astri
Safitri selaku pendamping pada Program Internsip Dokter Indonesia di Puskesmas
Tenam, yang telah memberikan masukan yang berguna dalam proses penyusunan
makalah ini. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang
juga turut membantu dalam upaya penyelesaian makalah ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dari segi isi, susunan bahasa
maupun sistematika penulisan makalah ini. Kritik dan saran pembaca sangat penulis
harapkan. Akhir kata penulis berharap kiranya makalah ini dapat menjadi masukan yang
berguna dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan profesi lain yang terkait
dengan masalah kesehatan khususnya mengenai “Tuberkulosis”.

Tenam, Agustus 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Batasan Masalah 2

1.3 Tujuan Penulisan 2

1.4 Metode Penulisan 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3

2.1 Epidemiologi 3

2.2 Etiologi 4

2.3 Faktor Risiko TB-DM 5

2.4 Patofisiologi TB-DM 6

2.5 Klasifikasi TB 9

2.6 Manifestasi Klinis 12

2.7 Pemeriksaan Fisik 13

2.8 Pemeriksaan Radiologis 13

2.9 Pemeriksaan Bakteriologis 14

2.10 Diagnosis TB-DM 16

2.11 Tatalaksana 17

2.12 Evalusai Pengobatan 23

iii
2.13 Pencegahan 25

BAB III LAPORAN KASUS 26

BAB IV DISKUSI 30

DAFTAR PUSTAKA 32

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Beban penyakit tuberkulosis (TB) khususnya di negara berkembang sampai saat ini
masih tinggi meskipun berbagai strategi pencegahan telah dilakukan. World Health
Organization (WHO) memperkirakan 10,4 juta kasus baru TB terjadi dan 1,4 juta
meninggal akibat penyakit tersebut pada tahun 2015. Terlepas dari kemajuan yang telah
dicapai Indonesia, jumlah kasus TB baru di Indonesia masih menduduki peringkat
ketiga di dunia dan merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia
dan memerlukan perhatian dari semua pihak, karena memberikan beban morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Tuberkulosis merupakan penyebab kematian tertinggi setelah
penyakit jantung iskemik dan penyakit serebrovaskular.1
Berbagai faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian tuberkulosis yaitu
kemiskinan, kekurangan gizi, kepadatan penduduk, HIV/AIDS, dan diabetes. Diabetes
melitus merupakan salah satu faktor risiko independen untuk infeksi tuberkulosis. Saat
ini prevalensi terjadinya TB paru meningkat seiring peningkatan prevalensi pasien DM.
Frekuensi DM pada pasien TB dilaporkan sekitar 10-15% dan prevalensi penyakit
infeksi ini 2-5 kali lebih tinggi pada pasien diabetes dibandingkan dengan yang non-
diabetes.1 International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan beban penyakit
diabetes di seluruh dunia saat ini sekitar 415 juta, yang diproyeksikan mencapai 642
juta pada tahun 2040 (peningkatan lebih dari 60%).
Diabetes melitus dapat menyebabkan infeksi TB yang lebih parah, pengaktifan
kembali fokus tuberkulosis yang tidak aktif, dan hasil pengobatan yang buruk.2
Hubungan antara TB dan DM telah lama diketahui karena pada kondisi diabetes
terdapat penekanan pada respon imun penderita yang selanjutnya akan mempermudah
terjadinya infeksi oleh mikobakteri Mycobacterium tuberculosis (M.tb) dan kemudian
berkembang menjadi penyakit tuberkulosis. Pasien dengan diabetes memiliki risiko

1
terkena tuberkulosis sebesar 2-3 kali lipat dibandingkan dengan orang tanpa diabetes.3
Interaksi antara penyakit kronik seperti TB dengan DM perlu mendapatkan perhatian
lebih lanjut karena kedua kondisi penyakit tersebut seringkali ditemukan secara
bersamaan yaitu sekitar 42,1%, terutama pada orang dengan risiko tinggi menderita
TB.4
Diabetes mellitus telah dilaporkan dapat mempengaruhi gejala klinis TB serta
berhubungan dengan respons lambat pengobatan TB dan tingginya mortalitas.
Peningkatan reaktivasi TB juga telah dicatat pada penderita DM.4 Sebaliknya juga
bahwa penyakit tuberkulosis dapat menginduksi terjadinya intoleransi glukosa dan
memperburuk kontrol glikemik pada pasien dengan DM, namun akan mengalami
perbaikan dengan pengobatan anti TB (OAT).5 Upaya pencegahan dan pengendalian
dua penyakit mematikan DM dan TB sangat penting untuk menurunkan mortalitas
karena TB, oleh karena itu penting untuk diketahui bagaimana mekanisme DM dapat
menyebabkan TB dan bagaimana TB dapat mempengaruhi kontrol glikemik pada
penderita DM.

1.2 Batasan Masalah


Makalah ini membahas definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, diagnosis,
tatalaksana, komplikasi, dan prognosis tuberculosis dengan diabetes melitus.

1.3 Tujuan Penulisan


Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
dokter muda mengenai tuberculosis dengan diabetes melitus.

1.4 Metode Penulisan


Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang dirujuk dari
berbagai literatur.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Epidemiologi

Beberapa penelitian di seluruh dunia menunjukkan bahwa 5–30% pasien TB


mengalami DM.1 Saat ini, prevalensi terjadinya TB paru meningkat seiring dengan
peningkatan prevalensi pasien DM. Frekuensi DM pada pasien TB dilaporkan sekitar
10-15% dan prevalensi penyakit infeksi ini 2-5 kali lebih tinggi pada pasien diabetes
dibandingkan dengan yang non-diabetes.2 Terlepas dari kenyataan bahwa TB lebih
terkait dengan keadaan imunosupresif lain seperti infeksi HIV, karena jumlahnya yang
lebih besar, diabetes tetap menjadi faktor risiko yang lebih signifikan untuk infeksi TB
pada tingkat populasi. Sebuah tinjauan oleh Stevenson et al. (2007) melaporkan bahwa
diabetes meningkatkan risiko TB 1,5 hingga 7,8 kali, sementara meta-analisis oleh Jeon
dan Murray (2008) menemukan bahwa risiko relatif TB di antara pasien diabetes adalah
3,11 kali.2
Prevalensi penderita diabetes yang terinfeksi TB berkisar dari 1,9% hingga 35%
setelah dilakukan skrining. Sebuah penelitian di Amerika melaporkan bahwa pasien
diabetes berisiko 2,1 kali menderita TB Multy Drug Resistant.2 Meskipun DM lebih
umum di seluruh dunia, risiko TB pada pasien DM tipe 1 tiga sampai lima kali lebih
tinggi karena kontrol yang relatif lebih buruk, berat badan yang lebih rendah, dan usia
yang lebih muda. Sulit untuk menetapkan prevalensi DM pada populasi umum, tetapi
diperkirakan sekitar 1-6% tergantung pada kriteria diagnostik yang digunakan. Sekitar
90% kasus adalah pasien DM tipe 2 yang tidak tergantung insulin.1,2 Secara bersamaan,
TB terus menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia meskipun fakta bahwa
epidemi tampaknya di ambang penurunan. Beban global penyakit akibat DM dan TB
sangat besar. Pada tahun 2010 diperkirakan ada 285 juta orang yang hidup dengan
DM.2

3
Pada tahun 2011, IDF memperkirakan sekitar 366 juta orang di seluruh dunia
menderita DM, angka yang diperkirakan tumbuh setidaknya menjadi 439 juta pada
tahun 2030, dengan sekitar 4 juta kematian (Federasi Diabetes Internasional 2009).
Delapan puluh persen dari penderita DM tinggal di negara berpenghasilan rendah dan
menengah dengan kasus TB yang tinggi. Pada tahun 2007 diperkirakan terdapat 14,4
juta orang hidup dengan TB, 9,2 juta kasus baru dan 1,7 juta kematian.2

2.2. Etiologi

Mycobacterium merupakan bakteri yang termasuk famili Mycobacteriaceae dan


orde Actinomycetales. Bakteri ini berbentuk batang, tidak membentuk spora, dan
bersifat aerob dengan ukuran tebal 1,5 μm dan panjang 3 μm. Semua jenis
mycobacteria biasanya netral pada pewarnaan gram. Namun, ketika dicuci dengan
asam alcohol warnanya tidak akan hilang. Sifat tersebut mebuatnya diklasifikasikan
menjadi bakteri tahan asam. Ketahanan tersebut terutama dikarenakan tingginya
kandungan asam mycolic, asam lemak rantai panjang, dan lipid dinding sel lainnya.
Hal tersebut menyebabkan rendahnya permeabilitas dinding sel dan mengurangi
efektivitas Sebagian besar antibiotic. Molekul lain pada dinding sel mikobakterium
yaitu lipoarabinomannan terlibat dalam interaksi host dan pathogen dan membantu
bakteri M. tuberculosis bertahan menghadapi makrofag.6

Gambar 2.1 Hapusan basilus tahan asam memperlihatkan M. tuberculosis6

4
2.3. Faktor Risiko TB-DM

Diabetes melitus merupakan faktor risiko infeksi saluran pernapasan bagian


bawah termasuk TB. Selain faktor risiko yang meliputi kemiskinan, malnutrisi,
kepadatan penduduk, dan imunosupresi termasuk HIV/AIDS, diabetes semakin diakui
sebagai faktor risiko independen untuk infeksi tuberkulosis.2 Koinfeksi TB pada DM
dikaitkan dengan kontrol glikemik yang buruk pada penderita DM. Hiperglikemia
reaktif sering menyertai infeksi kronis akibat keadaan yang terkait dengan pro inflamasi
dan pelepasan hormon stres yang berlawanan dengan regulasi seperti epinefrin,
kortisol, glucagon, dan semua antagonis insulin.7,8
Risiko perkembangan dari pajanan basil TB menjadi penyakit aktif diatur oleh faktor
risiko eksogen dan endogen. Faktor eksogen memainkan peran kunci dalam
perkembangan dari pajanan ke infeksi di antaranya banyaknya basil dalam sputum dan
kedekatan individu dengan kasus TB menular. Demikian pula, faktor endogen
menyebabkan perkembangan dari infeksi menjadi penyakit TB aktif.9 Beberapa faktor
risiko TB pada DM adalah:10
1) Faktor sosial-demografi dan ekonomi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih berisiko menderita
TB-DM daripada perempuan. Dua puluh dua penelitian melaporkan bahwa usia
yang lebih tua meningkatkan risiko TB-DM. Tempat tinggal di perkotaan,
memiliki tingkat pendidikan yang rendah, tempat lahir, etnis, status ekonomi dan
pekerjaan juga dikaitkan faktor risiko TB-DM.
2) Faktor perilaku
Penggunaan obat-obatan terlarang dan gaya hidup dilaporkan sebagai faktor
perilaku yang terkait dengan komorbiditas TB-DM. Merokok dan minum alkohol
diidentifikasi sebagai faktor risiko tinggi koinfeksi TB-DM. Seringnya
melakukan aktivitas di luar ruangan dilaporkan sebagai faktor risiko rendah untuk
komorbiditas TB-DM.

5
3) Faktor klinis
Indeks massa tubuh (BMI) yang lebih rendah dan lebih tinggi, HIV,
penurunan berat badan, dan hipertensi dilaporkan sebagai faktor terkait untuk
komorbiditas TB-DM. Riwayat DM yang sudah lama, kontrol glikemik yang
buruk pada saat diagnosis TB, pasien dengan sirosis hati dan riwayat tekanan
darah tinggi diidentifikasi meningkatkan risiko dan pengembangan komorbiditas
TB-DM.
4) Riwayat DM, penyakit TB & pengobatan TB,
Memiliki riwayat keluarga DM, riwayat penyakit dan pengobatan TB
sebelumnya, mengalami lebih banyak efek samping pengobatan anti- TB, jenis
kategori pengobatan TB, dan durasi pengobatan anti-TB yang lebih panjang
sebelumnya dilaporkan meningkatkan risiko komorbiditas TB-DM.
5) Faktor lain
Kontak dengan pasien TB dalam keluarga dilaporkan sebagai faktor risiko
terkait peningkatan komorbiditas TB-DM. Tinggal di penjara, panti asuhan, dan
rumah sakit jiwa juga dikaitkan dengan komorbiditas TB-DM.

2.4. Patofisiologi TB-DM

Peningkatan risiko TB pada penderita DM adalah multifaktorial dan diduga


akibat beberapa mekanisme. Pada penderita DM terjadi penurunan imunitas seluler
karena berkurangnya jumlah limfosit T serta fungsi dan jumlah neutrofil yang rendah.
Penderita DM menunjukkan penurunan tingkat respons sitokin T-helper 1 (Th 1),
faktor nekrosis tumor (TNF- alfa dan TNF-beta), produksi IL-1 dan IL-6. Kerentanan
penderita DM terhadap TB terutama disebabkan oleh berkurangnya jumlah dan fungsi
limfosit-T, terutama penghambatan sitokin Th 1 dari Mycobacterium tuberculosis.
Terjadi disfungsi makrofag pada penderita DM yang mengakibatkan gangguan
produksi spesies oksigen reaktif, fungsi fagositik, dan kemotaktik. Kemotaksis monosit
juga terganggu pada penderita DM, akibat kerusakan yang tidak membaik dengan
insulin.2

6
Respon stress terhadap infeksi juga dapat berperan dalam disglikemia, situasi
yang dimediasi oleh efek interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), dan TNF-alpha.2
Tidak jelas apakah DM meningkatkan kerentanan terhadap infeksi awal
Mycobacterium tuberculosis atau risiko perkembangan dari infeksi TB menjadi
penyakit aktif, tetapi bukti adanya kerusakan pada imunitas bawaan dan adaptif
penderita DM menunjukkan bahwa penyakit kronis ini dapat berdampak pada kedua
tahap TB. Penemuan terkini tentang biologi yang mendasari dan mempromosikan
hubungan TB-DM mendukung imunitas bawaan yang tidak efisien, diikuti oleh respon
seluler hipereaktif terhadap Mycobacterium tuberculosis (Mtb) namun, kontribusi dari
perubahan respon terhadap kerentanan TB atau hasil klinis yang lebih merugikan dari
pasien TB dengan DM masih belum jelas.9

Mengenai imunitas bawaan, hiperglikemia telah terbukti memiliki dampak


negatif pada fungsi kekebalan melalui akumulasi produk akhir glikasi lanjutan yang
mengubah fungsi fagosit. Khususnya, penurunan fagositosis Mtb, perubahan ekspresi
gen yang berkontribusi terhadap penahanan Mtb atau presentasi antigen, dan sekresi
peptida antimikobakteri telah dijelaskan. Monosit darah perifer mungkin juga memiliki
kerusakan karena tingkat ekspresi CCR2 yang lebih tinggi. Reseptor kemokin ini
memainkan peran penting dalam migrasi sel mononuklear ke paru, dan karena ligan
CCR2 (MCP1) meningkat di sirkulasi penderita DM tipe 2, monosit ini mungkin secara
aktif dipertahankan dalam sirkulasi daripada ke lokasi penyakit.9
Mengenai imunitas adaptif, tingkat sitokin Th1, interferon gamma (IFN-g),
interleukin 2 (IL-2) dan Th17 (IL-17A, tetapi bukan IL-22) yang lebih tinggi dan
frekuensi sel T-regulasi alami yang lebih rendah (CD4+, CD25+, CD127- ) pada awal
telah dilaporkan. Namun, hal ini juga dikaitkan dengan Interleukin 10 yang lebih tinggi,
memberi kesan bahwa sitokin anti dan pro-inflamasi diatur lebih tinggi pada penderita
TB-DM dibandingkan dengan mereka dengan TB tanpa DM. Sebaliknya pada
spesimen lavage bronchoalveolar dari pasien TB dengan DM, ditemukan IL-10 awal
yang lebih tinggi dan IFN- g yang lebih rendah, menunjukkan bahwa kompartemen
paru mungkin memiliki respon Th2 yang bias pada diabetes. Beberapa penelitian

7
menunjukkan bahwa tingkat sitokin yang lebih tinggi berkorelasi dengan kontrol
glukosa yang buruk (HbA1c tinggi).9

Autofag diperlukan untuk pengendalian patogen intraseluler yang efektif


termasuk Mtb dan diatur oleh target mamalia kompleks rapamycin (mTOR) serine/
treonin kinase, dan adenosine monophosphate-activated protein kinase (AMPK).
Perubahan jaringan autofagi dan pensinyalan AMPK sebelumnya telah dikaitkan
dengan virulensi Mtb. Baru-baru ini telah ditunjukkan bahwa metformin obat
antidiabetes pengaktif AMPK menghambat pertumbuhan intra-seluler Mtb, membatasi
imunopatologi penyakit, dan meningkatkan kemanjuran obat anti-TB konvensional.
Sehubungan dengan gangguan metabolisme, telah dibuktikan bahwa Mtb juga dapat
hidup dan bertahan di jaringan adiposa dalam keadaan tidak bereplikasi, menghindari
pengenalan oleh sistem kekebalan tubuh dan membentuk reservoir untuk kemungkinan
reaktivasi.9
Penderita DM lebih rentan terhadap TB, terutama akibat peradangan kronis yang
ditandai dengan peningkatan sitokin proinflamasi dan penurunan sitokin
imunomodulator.12 Diabetes melitus merupakan penyebab umum dislipidemia,
terutama jika glikemia tidak terkontrol dengan baik. Kerentanan terhadap TB di antara
pasien DM juga dapat disebabkan oleh dislipidemia, karena lemak tubuh inang
merupakan sumber energi esensial yang digunakan oleh mikobakteri untuk bertahan
dalam keadaan infeksi laten.12,13
Diabetes melitus dikaitkan dengan dislipidemia yang disebabkan oleh asupan
lemak makanan yang tinggi dan metabolisme lipid hati yang tidak teratur, sedangkan
TB dikaitkan dengan malnutrisi dan sindrom wasting . sehingga mengakibatkan
peningkatan aliran asam lemak bebas ke hati dan produksi berlebih dari trigliserida dan
VLDL.13 Pasien DM dengan BMI rendah, FBG tinggi, dan penurunan TG
diklasifikasikan sebagai kelompok risiko terinfeksi TB. Obesitas merupakan faktor
risiko independen utama untuk berkembang menjadi DM, tetapi pasien DM dengan
BMI yang lebih rendah (kelompok 1) memiliki peningkatan risiko TB.15,16,17. Tingkat
insulin yang tinggi menstimulasi lipogenesis dalam hepatosit yang gagal menghambat

8
lipolisis sehingga mengakibatkan peningkatan aliran asam lemak bebas ke hati dan
produksi berlebih dari trigliserida dan VLDL.17 Kadar TG berkaitan dengan beratnya
penyakit TB.18 Penelitian telah menunjukkan bahwa kolesterol memainkan peran
penting dalam imunitas seluler.19,20 Konsentrasi TG yang rendah memiliki efek
merugikan pada limfosit dan makrofag, yang memfasilitasi aktivasi TB. Kadar TG dan
HDL yang lebih rendah bertanggung jawab atas peningkatan metabolisme lipid selama
peradangan atau infeksi.21,22

Malnutrisi sendiri atau karena diabetes juga dapat mengubah fungsi sistem
kekebalan. Malnutrisi dapat menyebabkan kekurangan vitamin. Secara khusus, jika
vitamin D menurun, beberapa masalah yang berhubungan dengan pertahanan tubuh
terhadap Mtb dapat muncul, karena vitamin D merupakan modulator yang kuat dari
imunitas bawaan dan meningkatkan regulasi autofagi pada makrofag.23

2.5. Klasifikasi TB
2.5.1. Definisi Kasus
• Terduga TB
Terduga TB adalah seorang dengan gejala atau tanda TB
• Kasus TB
o Pasien TB terkonfirmasi bakteriologis
Pasien TB yang ditemukan bukti infeksi kuman MTB
berdasarkan pemeriksaan bakteriologis
o Pasien TB terdiagnosis klinis
Pasien TB yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara
bakteriologis, namun berdasarkan bbukti lain yang kuat tetap
didiagnosis dan ditatalaksana sebagai TB oleh dokter yang
merawat. Termasuk di dalam klasifikasi ini adalah :
i. Pasien TB paru BTA negative dengan hasil pemeriksaan
foto toraks mendukung TB.

9
ii. Pasien TB paru BTA negative dengan tidak ada perbaikan
klinis setelah diberikan antibiotika non OAT, dan
mempunyai factor risiko TB.
iii. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis
maupun laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi
bakteriologis.
iv. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.
Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis jika dikemudian hari
tekonfirmasi secara bakteriologis harus diklasifikasi ulang
menjadi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.
2.5.2. Lokasi infeksi
• Tuberkulosis Paru
TB yang berlokasi di parenkim paru. TB milier dianggap sebagai TB
paru. Pasien TB yang menderita TB paru dan ekstraparu bersamaan
diklasifikasikan sebagai TB paru.
• Tuberkulosis ekstra paru
TB yang terjadi di organ lain selain paru. Jika terdapat TB di organ
berbeda, pengklasifikasian dilakukan dengan menyebutkan organ
yang terberat.
2.5.3. Riwayat pengobatan
• Kasus baru TB
Kasus yang belum pernah mendapatkan obat anti tuberculosis atau
sudah pernah menelan OAT dengan total dosis kurang dari 28 hari
• Kasus yang pernah diobati TB
o Kasus kambuh
Kasus yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap
dan saat ini didiagnosis kembali dengan TB
o Kasus pengobatan gagal
Kasus yang pernah diobati dengan OAT dan dinyatakan gagal pada
pengobatan terakhir

10
o Kasus putus obat
Kasus yang terputus pengobatannya selama minimal 2 bulan
berturut-turut
o Lain-lain
Kasus yang pernah diobati dengan OAT namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
2.5.4. Uji kepekaan
• TB Sensitif Obat (TB-SO)
• TB Resisten Obat (TB-RO)
o Monoresisten
Bakteri resisten terhadap salah satu jenis OAT lini pertama
o Resisten Rifampisis (TB RR)
Mycobacterium tuberculosis resisten terhadap Rifampisin dengan
atau tanpa resistensi terhadap OAT lain
o Poliresisten
Bakteri resisten terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama,
namun tidak Isoniazid (H) dan Rifampisisn (R) bersamaan.
o Multi drug resisten (TB-MDR)
Resisten terhadap Isoniazid (H) dan RIfampisin (R) bersamaan,
dengan atau tanpa diikuti resistensi terhadap OAT lini pertama
lainnya.
o Pre extensively drug resistant (TB Pre-XDR)
Pasien yang memenuhi kriteria TB MDR dan resistan terhadap
minimal satu florokuinolon
o Extensively drug resistant (TB XDR)
MDR yang sekaligus juga resisten terhadap salh satu OAT
golongan fuloquinolon dan minimal salah satu dari OAT grup A
(levofloksasain, moksifloksasain, bedakuilin, atau linezolid)
2.5.5. Status HIV
• TB dengan HIV positif

11
• TB dengan HIV negatif
• TB dengan status tidak diketahui.24

2.6. Manifestasi Klinis

Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam bahkan


bisa tidak bergejala. Keluhan yang terbanyak adalah:
• Demam.
Biasanya subfebri menyerupai demam influenza, namun dapat mencapai 40-
41oC
• Batuk/batuk darah
Batuk terjadi karena adanya iritasi bronkus dan juga diperlukan untuk
membuang produk-produk radang keluar. Batuk terjadi pada 90 % kasus. Sifat
batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul
peradangan menjadi produktif hingga batuk darah yang terjadi pada 20-30%
kasus. Hemoptysis berat dapat terjadi karena adanya erosi pembuluh darah pada
kavitas namun juga bisa karena pecahnya pembuluh yang berdilatasi atau
adanya aspergilloma pada cavitas lama (Harrison)
• Sesak napas
Sesak biasanya baru timbul pada penyakit yang sudah lanjut dimana infiltrasi
sudah meliputi setengah bagian paru-paru
• Nyeri dada
Gejala ini jarang ditemukan. Nyeri muncul bila infiltrasi sudah sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis
• Malaise
Penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise berupa
anoreksia, badan kurus (berat badan menurun), sakit kepala, meriang, nyeri
otot, keringat malam, dan lain-lain.25

12
2.7. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainanterutama


pada kasus-kasus dini ataupun sarang penyakit yang terletak di dalam. Secara
anamnesis dan pemeriksaan fisik, TB paru dulit dibedakan dengan pneumonia biasa.
Tempat yang paling dicurigai terdapat lesi TB paru adalah bagian apeks paru. Bila
dicurigai adanya infiltrate yang agak luas, maka akan didapatkan perkusi yang redup
dan auskultasi suara napas bronkial dan mungkin bisa didapatkan juga ronki. Bila ada
kavitas yang cukup besar, perkusi akan menghasilkan suara hipersonor atau timpani
dan auskultasi akan terdengar suara amforik.
Bila tuberculosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit
akan terlihat agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak.
Auskultasi memberikan suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.25

2.8. Pemeriksaan Radiologis

Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus
atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian
inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada tuberkulosis
endobronkial). Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneu-
monia. Gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-
batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat
berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini di kenal sebagai tuberkuloma.
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula bcrdinding lama-lama
dinding jadi sklerotik dan tedihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan yang
bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat
dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlikat sepeni fibrosis yang luas disertai
penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian
paru. Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya
tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Garnbaran radiologis lain yang sering
menyertai tuberkulosis paru adalah penebalan pleura (pleuritis), massa cairan di bagian

13
bawah paru (efusi pleur/empiema), bayangan hitam radio-lusen di pinggir paru/pleura
(pneumotoraks).25

Gambar 2.2 TB Paru Aktif 26

2.9. Pemeriksaan Bakteriologis


a. Bahan pemeriksaan
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologis ini dapat berasal dari dahak, cairan
pleura, cairan serebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar, utin, feses, dan jaringan biopsi
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi hari. Untuk
pemeriksaan TCM, pemeriksaan dahak cukup satu kali. Bahan pemeriksaan
hasil BJK (Biopsi Jarum Halus) dapat dibuat menjadi sediaan apus kering di
gelas objek. Untuk kepentingan kultur dan uji kepekaan dapat ditambahkan
NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium mikrobiologi dan patologi
anatomi.
c. Pemeriksaan mikroskopis
Mikroskopis biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskop fluoresens : pewarnaan aauramin-rhodamin

14
Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD
(International Union Against Tuberculosis and Lung Disease).
• Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif.
• Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah basil yang
ditemukan.
• Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut positif + (1+).
• Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
• Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).
d. Pemeriksaan biakan bakteri TB
Pemeriksaan biakan bakteri merupakan baku emas dalam mengidentifikasi M.
tuberculosis. Biakan bakteri untuk kepentingan klinis umu dilakukan
menggunakan dua jenis medium biakan, yaitu:
• Media padat (Lowenstein-Jensen)
• Media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube/MGIT)
e. Tes Cepat Molekular
Uji TCM dapat mengidentifikasi MTB dan secara bersamaan melakukan uji
kepekaan obat dengan mendeteksi materi genetic yang mewakili resistensi
tersebut
• GeneXpert MTB/RIF
Xpert MTB/R1F adalah uji diagnostic cartridge-based, automatis, yang
dapat mengidentifikasi MTB dan resistensi terhadap Rifampisin. Xpert
MTB/R1F berbasis Cepheid GeneXPert platform. cukup sensitivc, mudah
digunakan dengan metode nucleic acid amplification test (NAAT).
Metode ini mempurifikasi, membuat konsentrat dan amplifikasi (dcngan
real time PCR) dan inengidentinkasi sekuenscs asam nukleal pnda gcnom
TB. Lama pengelolaan uji sampai selesai memakan waktu 1 - 2 jam.
Metode ini akan bermanfaat untuk menyaring kasus suspek TB-R0 sccara
cepat dengan bahan pemeriksaan dahak. Pemeriksaan ini memiliki
sensitivitas dan spesitisitas sekitar 99%.

15
• Uji molecular lainnya
i. MTBDRplus (uji kepekaan untuk R dan H)
ii. MTBDRsl (uji kepekaan untuk etambutol, aminoglikosida, dan
florokuinolon)
iii. Molecular beacon testing (uji kepekaan untuk R)
iv. PCR Based Methods of IS6110 Genotyping
v. Spoligotyping
vi. Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)
vii. MIRU / VNTR Analysis
viii. PGRS RFLP
ix. Genomic Deletion Analysis
x. Genoscholar:
o PZA TB II (uji kepekaan untuk Z)
o NTM+MDRTB II (uji kepekaan untuk identifikasi Mycobacterium
dan uji kepekaan H+R)
o FQ+KM-TB II (uji kepekaan floroquinolon dan kanamisin) 24

2.10. Diagnosis TB-DM

Diagnosis TB pada dasarnya bersifat radiologis, bakteriologis. serta kultur tetap


menjadi standar emas untuk konfirmasi laboratorium TB. Di banyak negara
berkembang, seperti Afrika sub-Sahara, diagnosis masih hanya mengandalkan
mikroskop sputum smear dengan tingkat deteksi kasus rendah sebesar 52%.27 Untuk
memperbaiki diagnosis, WHO merekomendasikan penggunaan GeneXpert Mtb/ RIF
di semua tempat, terutama di lingkungan berpenghasilan rendah. Beberapa uji coba
menunjukkan bahwa penerapan teknik ini dapat menyebabkan hasil TB yang lebih
baik, dengan mortalitas yang menurun dan konfirmasi diagnosis lebih awal.
Pemeriksaan GeneXpert Mtb / RIF adalah tes amplifikasi asam nukleat otomatis yang
secara simultan dapat mengidentifikasi resistensi Mtb dan rifampisin, sehingga
membantu dalam strategi pengobatan.27 Glukosa dalam plasma darah vena harus

16
menjadi metode standar untuk mengukur dan melaporkan konsentrasi glukosa dalam
darah. Penderita dengan TB juga harus diuji untuk hemoglobin glikosilasi (HbA1c).
Jika terdapat gejala DM, tes gula darah acak atau puasa akan membantu diagnosis DM
dini.27
Pada setiap penyandang DM harus dilakukan skrining TB dengan pemeriksaan
gejala TB dan foto toraks. Sebaliknya untuk pasien TB dilakukan penapisan DM dengan
pemeriksaan gula darah puasa dan gula darah 2 jam post prandial atau gula darah
sewaktu. Diagnosis DM ditegakkan jika gula darah puasa lebih dari 126 mg/dl atau gula
darah 2 jam post pandrial/gula darah sewaktu lebih dari 200 mg/dl. Pemeriksaan
HbA1C dapat dilakukan bila fasilitas tersedia, di diagnosis DM jika nilai HbA1c ≥
6,5%.27

17
Gambar 2.3 Alur diagnosis dan pengobatan TB-RO

2.11. Tatalaksana

Tujuan pengobatan pada pasien TB adalah : (1) Menyembuhkan pasien dan


memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup; (2) Mencegah kematian dan/atau
kecacatan karena penyakit TB atau efek lenjutannya; (3) Mencegah kekambuhan; (4)
Menurunkan risiko penularan TB; (5) Mencegah terjadinya resistensi terhadap obat
anti tuberculosis (OAT) serta penularannya.24

18
Kemoterapi pada TB dimulai pada penemuan streptomycin pada tahum 1943.
Pemberian obat ini terbukti mengurangi angka mortalitas dan banyak kasus yang dapat
disembuhkan. Namun, monoterapi ini selanjutnya menyebabkan perkembangan
resistensi terhadap obat ini dan berakibat gagalnya pengobatan. Dengan dikenalkannya
para-aminosalicylic acid dan isoniazid, telah jelas di tahun awal 1950an pengobatan
TB harus menggunakan minimal 2 obat. Kemudian, studi selanjutnya pengobatan
jangka lama yaitu 12-24 bulan dibutuhkan untuk mencegah rekurensi. Munculnya
rifampicin pada awal 1970an mengawali era kemoterapi jangka pendek yang lebih
efektif dengan jangka waktu kurang dari 12 bulan. Penemuan pyrazinamide yang
pertama digunakan pada tahun 1950an meningkatkan potensi regimen isoniazid dan
rifamipicin yang akhirnya menjadi standar terapi tb dengan regimen 3 obat dengan
waktu 6 bulan. Streptomycin kemudian ditambahkan untuk mencegah timbulnya
resistensi. 4 obat tersebut (streptomycin kemudian digantikan dengan ethambutol)
kemudian menjadi regimen terapi yang optimal untuk pasien TB.6

Regimen Pengobatan TB-SO24


Panduan OAT untuk pengobatan TB-SO di Indonesia adalah 2RHZE /4RH.
Pada fase intensif pasien diberikan kombinasi 4 obat berupa Rifampisin (R), Isoniazid
(H), Pirazinamid (Z), dan Etambutol (E) selama 2 bulan dilanjutkan dengan pemberian
Isoniazid (H) dan rifampisin ® selama 4 bulan pada fase lanjutan. Pemberian obat fase
lanjutan diberikan sebagai dosis harian (RH) sesai dengan rekomendasi WHO.
Pengobatan fase intensif dengan regimen 3 kali seminggu tidak dianjurkan lagi karena
terbukti memiliki tingkat kegagalan pengobatan yang lebih tinggi.
Tabel 2.1. Dosis OAT lepasan lini pertama untuk pengobatan TB-SO
Dosis harian
Nama obat
Dosis (mg/kgBB) Dosis maksimum (mg)
Rifampisin (R) 10 (8-12) 600
Isoniazid (H) 5 (4-6) 300
Pirazinamid (Z) 25 (20-30) -
Erambutol (E) 15 (15-20) -
Streptomisin 15 (12-18) -

19
Tabel 2.2 Dosis rekomendasi OAT lini pertama untuk dewasa pedoman nasional 2014
Dosis rekomendasi harian 3 kali per minggu
Dosis
Nama obat Dosis Dosis
maksimum
(mg/kgBB) (mg/kgBB)
(mg)
Rifampisin (R) 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
Isoniazid (H) 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Pirazinamid (Z) 25 (20-30) - 35 (30-40)
Erambutol (E) 15 (15-20) - 30 (25-35)
Streptomisin 15 (12-18) - 15 (12-18)

Untuk menunjang kepatuhan berobat, OAT lini pertama telah dikombinasikan dalam
Kombinasi Dosis Tetap (KDT). Satu tablet KDT RHZE untuk fase intensif berisi
Rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg, dan etambutol 275 mg.
Sedangkan untuk fase lanjutan KDT RH berisi 150 mg + Isoniazid 75 mg diberikan
setiap hari. Jumlah tablet KDT yang diberikan sesuai dengan berat badan pasien.

Tabel 2.3 Dosis OAT untuk pengobatan TB-SO menggunakan tablet KDT
Berat Badan (KG) Fase intensif dengan KDT Fase lanjutan setiap hari
RHZE (150/75/400/275) dengan KDT RH (150/75)
Selama 8 minggu Selama 16 minggu
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet
≥ 55 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet

Tata Laksana Koinfeksi TB-DM

Prinsip pengobatan TB-DM sama dengan TB tanpa DM, selama kadar gula
darah terkontrol. Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan
dapat dilanjutkan sampai 9 bulan. Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena
pasien DM sering mengalami komplikasi pada mata. Pemberian INH dapat
menyebabkan neuropati perifer yang dapat memperburuk atau menyerupai diabetik
neuropati maka sebaiknya diberikan suplemen Vitami B6 atau piridoksin selama

20
pengobatan. Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi
efektivitas obat oral antidiabetes (golongan sulfonilurea) sehingga diperlukan
monitoring kadar glukosa darah lebih ketat atau diganti dengan anti diabetik lainnya
seperti insulin yang dapat meregulasi gula darah dengan baik tanpa memengaruhi
efektivitas Obat Anti Tuberkulosis (OAT).7
Seperti yang direkomendasikan oleh WHO, penderita dengan penyakit ganda
harus dirawat oleh masing-masing program secara terpadu dan pendekatan manajemen
bersama yang dilakukan meliputi pencegahan, skrining, pengelolaan, serta
pengurangan berat penyakit. Bahkan pada tahap awal, pengobatan TB harus mencakup
pengawasan dan dukungan dari staf layanan kesehatan multidisiplin.28 Diabetes melitus
terkait dengan peningkatan risiko kegagalan pengobatan TB, kematian, dan
kekambuhan, tetapi belum diketahui pasti apakah dengan mengontrol gula darah secara
optimum dan menyesuaikan pengobatan TB pada penderita dengan DM dapat
mengurangi sebagian efek negatif ini. Peningkatan tingkat kegagalan pengobatan TB
pada penderita DM diakibatkan oleh resistensi obat TB, respons kekebalan yang
berubah pada individu dengan DM, atau penurunan konsentrasi obat TB pada penderita
DM. Dengan demikian, peningkatan durasi pengobatan dan dosis obat anti-TB yang
disesuaikan dengan berat badan mungkin diperlukan.29
Kontrol gula darah yang optimal dapat memperbaiki hasil pengobatan TB dan
mencegah beberapa komplikasi terkait dengan DM. Pemantauan yang sering
diperlukan untuk memastikan kontrol glikemik yang baik. Pengukuran gula darah dan
kadar gula dalam urin secara acak kurang akurat daripada gula darah puasa.29
Sehubungan dengan pemilihan obat DM, kemungkinan terjadinya interaksi obatobatan
harus diperhitungkan, terutama untuk rifampisin, obat antituberkulosis yang paling
penting karena membantu mempersingkat waktu pengobatan TB dari 18 menjadi 6
bulan.29 Resistensi terhadap rifampisin berhubungan dengan hasil pengobatan yang
lebih buruk daripada obat tuberkulosis lainnya. Rifampisin merupakan hepatic enzyme-
inducer yang paten yang meningkatkan metabolisme dari semua turunan sulfonilurea
dan menurunkan kadar sulfonilurea dalam darah dan menyebabkan terjadinya

21
hiperglikemia.29 Efek maksimum ini terlihat 1 minggu setelah memulai penggunaan
rifampisin dan menghilang 2 minggu setelah rifampisin dihentikan.30
Rifampisin juga meningkatkan metabolisme agen hipoglikemik oral yang lain
seperti biguanid, yang menyebabkan konsentrasi biguanid dalam plasma darah
menurun dan menyebabkan hiperglikemia.31 Beberapa faktor lain yang menentukan
pemilihan obat antidiabetes yang akan digunakan pada penderita TB adalah
ketersediaan, biaya, kemudahan administrasi, dan keamanannya. Masalah keamanan
meliputi hipoglikemia dengan sulfonilurea dan insulin, asidosis laktat (terutama di
bawah kondisi hipoksia) dengan biguanid, dan keluhan gastrointestinal dengan
biguanid, meglitinida, dan penghambat alfa-glukosidase, serta hipersensitivitas
terhadap sulfonilurea (yang mungkin tumpang tindih dengan efek samping obat
antituberkulosis).29

Penggunaan insulin pada awal pengobatan tuberkulosis telah disarankan.


Beberapa pedoman pengobatan nasional sangat menyarankan penggunaan insulin
untuk penderita DM dengan TB meskipun tidak ada basis bukti yang mendukung
pendekatan itu. Hal ini karena insulin tidak dimetabolisme, tidak ada interaksi
farmakokinetik dengan rifampisin atau obat antituberkulosis lainnya, namun insulin
memiliki beberapa kekurangan potensial saat digunakan seperti biaya, ketersediaan,
penyimpanan, dan pengiriman. Metformin adalah obat lini pertama untuk DM tipe 2
dan biasanya tidak menyebabkan hipoglikemia. Metformin tidak dimetabolisme oleh
enzim P450, sehingga konsentrasinya tidak menurun akibat efek induktif rifampisin
pada enzim metabolik ini. Kemungkinan efek samping penggunaan metformin pada
penderita dengan TB meliputi keluhan pada gastrointestinal dan yang sangat jarang
adalah laktat asidosis.26,27 Penderita DM dengan TB mungkin memerlukan kebutuhan
khusus selama masa tindak lanjut pengobatan. Pemantauan fungsi hati dan ginjal
mungkin perlu lebih intens daripada pada pasien dengan tuberkulosis saja. Meskipun
bukan bagian rutin di klinik TB, pedoman internasional merekomendasikan
pengukuran tekanan darah dan kolesterol secara teratur untuk penderita DM, dengan
ambang batas rendah untuk memulai obat antihipertensi atau
terapi statin.29

22
Efek samping Obat
1. Isoniazid
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda gangguan' pada syaraf
tepi berupa kesemulan, rasa terbakar di kaki-tangan, dan nyeri otot. Efek ini
dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau
dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat
diteruskan, Kelainan lain yang dapat terjadi adalah gejala defisiensi piridoksin
(sindrom pellagra). Efek samping berat dapat berupa hepatilis imbas obat yang
dapat timbul pada kurang lebih 0,5% pasien.
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simptomatis adalah :
• Sindrom flu berupa demam, mengigil, dan nyeri tulang
• Sindrom dispepsia berupa sakit perut, mual, penurunan nafsu makan,
muntah, diarc.

Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi adalah :


• Hepatitis imbas obat dan ikterik, bila terjadi maka OAT harus diberhentikan
sementara.
• Purpura, anemia hemolitik akut, syok, dan gagal ginjal. Bila salah satu dari
gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan
lagi meskipun gejala telah menghilang.
• Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas.
Rifampisin dapat menyebabkan wama kemerahan pada air seni, keringat, air
mata, dan air liur. Wama merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat
dan tidak berbahaya.
3. Pirazinamid
Efek samping herat yang dapat terjadi adalah hepatitis imbas obat .Nyeri
sendi iuga dapat terjadi dan dapat diatasi dengan pcmberian antinyeri, misalnya
aspirin. Terkadang dapat terjadi serangan artritis Gout, hal ini kemungkinan

23
disebabkan penurunan ekskresi dan penimbunan asam urat. Terkadang terjadi
reaksi demam, mual, kemerahan, dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol apat menyebabkan gangguan penglihatan berupa penurunan
ketajaman penglihatan dan buta warna merah dan hijau. Namun gangguan
penglihatan tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, sangat jarang teijadi
pada penggunaan dosis 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg./Icg BB yang
diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam
beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan
pada anak karena risiko kerusakan saraf obit, sulit untuk dideteksi, terutama
pada anak yang kurang kooperatif.
5. Streptomisin
Efek samping utama adabh kerusakan syaraf kedelapan yangg betkailan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebtit akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien.
Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi
ginjal. Gejala efek samping yang dapat dirasakan adalah telinga berdenging
(tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapai dipulihkan
bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi. iika pengobatan diteruskan
maka kerusakan dapat berlanjut dan menetap (kehilangan keseimbangan dan
tuli).
Reaksi hipersensitivitas kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-
tiba disertai sakit kepala, muntah, dan eritema pada kulit. Efck samping
sementara dan ringan (jarang terjadi) scperti kesemutan sekitar mulut dan
telinga berdenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini
mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0.25gram.
Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh
diberikan pada perempuan hamil karena dapat merusak fungsi pendengaran
janin.24

24
2.12. Evaluasi Pengobatan
2.12.1. Evaluasi klinis
• Pasien dievaluasi secara periodik minimal setiap bulan
• Evaluasi terhadap respon pengobatan, efek samping obat, dan
komplikasi
• Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, dan pemeriksaan fisik
2.12.2. Evaluasi bakteriologis (0 – 2 – 3 – 6/8 bulan pengobatan)
• Mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
• Bila ada fasilitas biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan uji
kepekaan

Tabel 3. Definisi hasil pengobatan OAT


Hasil pengobatan Definisi
Sembuh Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakieriologis
positif pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan
bakteriologis pada akhir pengobatan menjadi negatif dan
pada salah satu pemeriksaan sebelumnya.
Pengobatan lengkap Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara
lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir
pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil
pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan.
Gagal Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
masa pcngobatan; atau kapan saja dalam masa pengobatan
diperoleh hasil laboraorium yang menunjukkan adanya
resistensi OAT.
Meninggal Pasicn TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum
memulai atau sedang dalam pengobatan.

25
Putus berobat Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang
pengobatannya terputus terus menerus selama 2 bulan atau
lebih.
Tidak dievaluasi Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya.
Termasuk dalam kriteria ini adalah "pasien pindah (transfer
out)” ke kabupaten/kota lain dimana hasil akhir
pengobatannya tidak diketahui oleh kabupaten/kota yang
ditinggalkan.

2.12.3. Evaluasi radiologis (0 – 2 – 6/8 bulan pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:


• Sebelum pengobatan
• Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga
dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan
pengobatan).
• Pada akhir pengobatan 24

2.13. Pencegahan

Cara utama mencegah TB adalah mendiagnosis dan mengisolasi pasien TB


secara cepat dan memberikan terapi hingga pasien berstatus non-infeksius (biasanya 2-
4 minggu setelah pengobatan) hingga akhirnya sembuh. Strategi lain termasuk
vaksinasi BCG.

Vaksinasi BCG
BCG dibuat dari strain M. bovis dan pertama kali digunakan pada manusia pada
tahun 1921. Pada studi meta-analisis vaksinasi ini memiliki efikasi yang tinggi untuk
melindungi bayi dan anak-anak dari bentuk TB yang berat seperti meningitis TB dan
TB milier. Vaksin ini aman dan jarang menyebabkan komplikasi serius. Ulserasi dan
limpadenitis regional hanya terjadi pada 1-10% peserta vaksin. Beberapa strain vaksin
menyebabkan osteomyelitis pada ~1 per sejuta peserta vaksin, dan komplikasi tersebut

26
hanya mengenai peserta dengan gangguan imunitas. Vaksin ini rutin diberikan pada
bayi di negara dengan prevelansi TB yang masih tinggi.6

Investigasi Kontak
Investigasi Kontak (IK) adalah kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan
penemuan kasus TBC dengan cara mendeteksi secara dini dan sistematis terhadap
orang yang kontak dengan sumber infeksi TBC. Pedoman WHO menyatakan bahwa
kegiatan IK bermanfaat untuk mendeteksi kasus TBC secara dini, mencegah penyakit
yang lebih berat serta mengurangi penularan TBC pada orang lain. Selain itu, IK dapat
juga menemukan orang dengan infeksi TBC laten yang membutuhkan pengobatan
pencegahan. Kegiatan IK diselenggarakan melalui kolaborasi antara pemberi layanan
kesehatan dengan komunitas yang ada di masyarakat seperti kader kesehatan, PMO,
pendidik sebaya dan sebagainya.

Gambar 2.4 Alur kerja kader dalam pelaksanaan IK

27
BAB III
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien

Nama : Tn M

Usia : 36 tahun

JenisKelamin : Laki-laki

Alamat : RT 01 Napal Sisik

Status Pernikahan : Menikah

Agama : Islam

Pekerjaan : Petani

PendidikanTerakhir : SMA

Suku : Minangkabau

Nomor MR : KS / 1434 / 22

Jenis Anamnesis : Autoanamnesis

2. Anamnesis
Seorang pasien laki-laki berumur 35 tahun dirujuk balik dari RSUD HAMBA
dengan:

Keluhan Utama : Batuk yang tidak sembuh sejak 2 minggu sebelum berobat ke
puskesmas
Riwayat Penyakit Sekarang
- Batuk ada sejak 2 minggu sebelum berobat ke puskesmas
- Badan terasa lemas sejak 2 minggu
- Mual dan muntak tidak ada
- BAB tidak ada keluhan

28
- BAK tidak ada keluhan
Riwayat Penyakit Dahulu

• Tidak ada Riwayat DM

• Tidak ada riwayat hipertensi

Riwayat penyakit keluarga

• Tidak ada anggota keluarga yang mempunyai keluhan yang sama dengan pasien

Riwayat ekonomi, sosial dan lingkungan

• Pasien seorang petani dengan aktivitas sedang-berat

3. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Umum

Vital Sign
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Composmentis Kooperatif
TekananDarah : 110/76
Nadi : 94x/menit
Nafas : 18x/ menit
Suhu : 39,6 oC
Berat Badan : 39,6 kg
Tinggi Badan : 150 cm

Status Generalisata
Kepala : Normocephal

Rambut : Hitam dan tidak mudah dicabut

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Telinga : Tidak ditemukan kelainan

Hidung : Tidak ditemukan kelainan

29
Tenggorokan : Tonsil T1-T1, tidak hiperemis, kripta tidak melebar

Gigi dan Mulut : Perdarahan gusi tidak ada

Leher : Inspeksi : Tidak tampak massa di regio colli dextra

Palpasi : Tidak teraba pembesaran KGB

Kulit : Teraba hangat, turgor kembali cepat

Thorax

Paru

Inspeksi : Pergerakan dinding dada kiri dan kanan sama


Palpasi : Fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi : redup di hemithoraks kiri
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki (+/+), wheezing tidak ada, suara
nafas hemithoraks kiri menurun

Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis kuat angkat, iktus kordis teraba di 1 jari medial

LMCS RIC V, tidak teraba thrill

Perkusi : Batas jantung

Kiri : 1 jari medial LMCS RIC V

Kanan : linea sternalis dextra

Atas : RIC II

30
: Bunyi jantung reguler, tidak terdapat bising jantung
Auskultasi

Abdomen

Inspeksi : Perut tidak tampak membuncit

Palpasi : Teraba supel, hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : Timpani
: Bising usus (+) normal
Auskultasi

Punggung : Deformitas tidak ada, nyeri ketok tidak ada

Alat kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan

Anus : Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas : Akral hangat, CRT<2”

4. Pemeriksaan Laboratorium

BTA : -/-/-
B.20 : -
GDS : 370 mg/dL

5. Diagnosis Kerja

Diagnosis Primer :

TB Paru terkonfirmasi rontgen

Diagnosis Sekunder :

DM tipe 2 dependen insulin

31
6. Diagnosis Banding

7. Penatalaksanaan

- FDC fase intensif 1x3 tab


- Vit B6 1x1 tab
- Novorapid 10 IU/hari

- Menghindari kontak erat terutama dengan bayi dan anak-anak

- Menunjuk salah satu keluarga terdekat untuk menjadi PMO (pengawas menelan obat)

- Penjelasan mengenai efek samping obat yang mungkin terjadi

- Mengatur ruangan tempat tinggal agar memiliki ventilasi yang baik dan terkena sinar
matahari

32
BAB IV
DISKUSI

Dilaporkan seorang pasien Laki-laki usia 35 tahun dengan diagnosis TB paru


dengan diabetes melitus tipe 2 tidak terkontrol diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Dari autoanamnesis pasien didapatkan batuk yang tidak sembuh sembuh lebih
dari 2 minggu dan badan terasa lemas. Gejala-gejala tersebut sesuai dengan gejala TB.
Buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan. Diabetes melitus merupakan
faktor risiko infeksi saluran pernapasan bagian bawah termasuk TB. Koinfeksi TB pada
DM dikaitkan dengan kontrol glikemik yang buruk pada penderita DM. Hiperglikemia
reaktif sering menyertai infeksi kronis akibat keadaan yang terkait dengan pro inflamasi
dan pelepasan hormon stres yang berlawanan dengan regulasi seperti epinefrin,
kortisol, glucagon, dan semua antagonis insulin. Pada keluarga, tidak ada anggota
keluarga yang menderita keluhan yang sama, tidak ada anggota keluraga amapun orang
sekitar yang sedang mengkonsumsi obat 6 bulan. Sumber penularan adalah pasien TB
BTA positif melalui percik renik dahak yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti
bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman
dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang
terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi
melalui pemeriksaan mikroskopis langsung. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih
memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA
positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26%
sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.
Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik renik
dahak yang infeksius tersebut. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan
kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali
batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

33
Pada pemeriksaan fisik penderita nampak sakit sedang, kesadaran
komposmentis E4M6V5, Tekanan darah 110/76 nadi 94 kali/menit , pernafasan 16
x/menit, suhu 39,6º C. Pada pemeriksaan khusus anemis (-), sklera ikterik (-), mata
cekung tidak ada, cor dalam batas normal, pulmo, inspeksi pergerakan dinding dada
kiri sama dengan kanan, fremitus kiri sama dengan kanan, perkusi pekak di seluruh
hemithorax, Auskultasi suara nafas vesikuler, rhonki (+/+), wheezing tidak ada,
abdomen supel, nyeri tekan epigastrium (-) dan pada ekstremitas akral dingin tidak ada.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda infeksi pada paru.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya hiperglikemia.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini antara lain insulin kerja cepat karena insulin
lebih dianjurkan pada penderita DM dengan TB, 2(HRZE)/4(HR)3 obat TB kategori-1
karena merupakan kasus baru, dan vitamin B6. Pasien juga diberikan edukasi bahwa
penyakit ini bersifat menular melalui udara oleh karena itupasien dianjurkan untuk
menghindari kontak erat terutama dengan bayi dan anak-anak dan mengatur ruangan
tempat tinggal agar memiliki ventilasi yang baik dan terkena sinar matahari. Untuk
menunjang keberhasilan pengobatan tenaga Kesehatan dapat menunjuk salah satu
keluarga terdekat untuk menjadi PMO (pengawas menelan obat). Pasien diberi
penjelasan mengenai efek samping obat yang mungkin terjadi dan efek samping mana
yang berbahaya.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional pengendalian


tuberkulosis. 2019. Jakarta, Indonesia.
2. Yorke E, Atiase Y, Akpalu J, Sarfo-Kantanka O, Boima V, Dey ID. The Bidirectional
relationship between tuberculosis and diabetes. Tuberc Res Treat. 2017:1702578.
doi:10.1155/2017/1702578.
3. Sulaiman SA, Mohd Zain FA, Abdul Majid S, Munyin N, Mohd Tajuddin NS,
Khairuddin Z, et al. Tuberculosis among diabetic patient. Webmed Central
Infectious Diseases. 2011;2(12):1-13.
4. Palomino JC, Leão SC, Ritacco V. Tuberculosis 2007: From basic science to
patient care 1st ed. Argentina. Bouciller Kamps. 2007. P.26-52.
5. Dooley KE, Chaisson RE. Tuberculosis and diabetes mellitus : convergence of two
epidemics. Lancet Infect Dis. 2009;9(12):737-46.
6. Raviglione M. (2018). Tuberculosis. dalam J. Jameson, A. Fauci, D. Kasper, S.
Hauser , D. Longo, & J. Loscalzo, Harrison's Principles of Internal Medicine, 20e.
McGraw-Hill Education
7. Soelitijo SA, Lindarto D, Decroli E, Permana H, Sucipto K,Kusnadi Y, et al. Buku
pedoman pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 dewasa di Indonesia. Jakarta.
2019. Indonesia: PB Perkeni Press.
8. Khateeb J, Fuchs E, Khamaisi M. Diabetes and lung disease: A neglected relationship.
Rev Diabet Stud. 2019;(25):15:1-15
9. Elorriargia G, Pineda DL. Type 2 diabetes mellitus as a risk factor for tuberculosis. J
Mycobac Dis. 2014;4:1-12.
10. Workneh MH, Bjune GA, Yimer SA. Prevalence and associated factors of tuberculosis
and diabetes mellitus comorbidity: a systematic review. PLoS ONE. 2017;12:1-25.
11. Kumar NP, Babu S. Inflfluence of diabetes mellitus on immunity to human tuberculosis.
Immunology. 2017;152(1):13–24.
12. Hensel RL, Kempker RR, Tapia J, Oladele A, Blumberg HM, Magee MJ. Increased risk
of latent tuberculous infection among persons with pre- diabetes and diabetes mellitus.
Int J Tuberc Lung Dis. 2016;20(1):71–8.

35
13. Tsai IF, Kuo CP, Lin AB, Chien MN, Ho HT, Wei TY, et al. Potential effect of ezetimibe
against Mycobacterium tuberculosis infection in type II diabetes. Respirology
2017;22(3):559–66.
14. Anuradha R, Munisankar S, Bhootra Y, Dolla C, Kumaran P, Babu S. High body mass
index is associated with heightened systemic and mycobacterial antigen-spesific
proinflammatory cytokines in latent tuberculosis. Tuberculosis. 2016;101:56-61.
15. Cai J, Ma A, Wang Q, Han X, Zhao S, Wang Y, et al. Association between body mass index
and diabetes mellitus in tuberculosis patients in China: a community based crosssectional
study. BMC Public Health. 2017;17:228-40.
16. Skowronski M, Zozulinska D, Barinow A. Tuberculosis and diabetes mellitus - an
underappreciated association. Arch Med Sci. 2014;10:1019–27.
17. Vrieling F, Ronacher K, Kleynhans L, Akker E, Walzl G, Ottenhoff T. Patients with
concurrent tuberculosis and diabetes have a pro-atherogenic plasma lipid profifile.
E.BioMedicine. 2018;32:192–200.
18. Sahin F, Yildiz P. Distinctive biochemical changes in pulmonary tuberculosis and
pneumonia. Arch Med Sci. 2013;9:656–61.
19. Chan J, Mehta S, Bharrhan S, Chen Y, Achkar JM, Casadevall A. The role of B cells and
humoral immunity in Mycobacterium tuberculosis infection. Semin Immunol.
2014;26:588–600.
20. Garcia JL, Uhia I, Galan B. Catabolism and biotechnological applications of cholesterol
degrading bacteria. Microb Biotechnol 2012;5(6):679–99,
21. Lin YH, Chen CP, Chen PY, Huang JC, Ho C, Weng HH, et al. Screening for pulmonary
tuberculosis in type 2 diabetes elderly: a cross-sectional study in a community hospital.
BMC Public Health 2015b;15(1):3
22. Girardi E, 6nama?, et al. The global dynamics of diabetes and tuberculosis: the impact of
migration and policy implications. International Journal of Infectious Diseases. 2017;56:
45–53.
23. Pal R, Ansari MA, Hameed S, Fatima Z. Diabetes mellitus as hub for tuberculosis
infection: a snapshot. Int J Chronic Dis. 2016;1:1-7.
24. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2021). Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
25. Amin, Z., & Bahar, A. (2014). Tuberkulosis Paru. dalam A. Sudoyono, B.
Setiyahadi, I. Akwi, M. Simadribata, & S. Setiati, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

36
Jilid 2 (pp. 998-1010). Jakarta: Internal Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam.
26. Eng, P., & Cheah, F.-K. (2005). Interpreting Chest X-Rays. New York: Cambridge
University Press.
27. Pizzol D, Gennaro FD, Chhaganlal KD, Fabrizio C, Monno L, Putato G. Tuberculosis and
diabetes: current state and future perspectives. Trop Med Int Health. 2016;21:694702.
28. WHO consolidated guidelines on tuberculosis. Module 2: screening – systematic screening
for tuberculosis disease. Geneva: World Health Organization; 2021. Licence:
CC BY-NC-SA 3.0 IGO.
29. Restrepo BI. Diabetes and tuberculosis. Microbiol Spectrum. 2016;4:1-11.
30. Niazi AK, Kalra S. Diabetes and tuberculosis: a review of the role of optimal glycemic
control. J Diabetes Metab Disord. 2012;11:1-4.
31. Restrepo BI, Schlesinger LS. Impact of diabetes on the natural history of tuberculosis.
Diabetes Res Clin Pract .2014;106:191-9.

37

Anda mungkin juga menyukai